Anda di halaman 1dari 9

TATA KELOLA ASET DAERAH DALAM KERANGKA REFORMASI BIROKRASI Ari Subowo

A. Pendahuluan Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Potensi ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat. Pemahaman akan aset bisa berbeda antara ilmu perencanaan, manajemen keuangan, dan akuntansi. Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar APBD. Aset atau barang daerah dapat berasal : Pertama, Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output/outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Kedua, Aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD. Dalam hal ini, pemerolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanaj pegawai dan belanja barang & jasa. Pengelolaan aset daerah diatur dalam PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri No.17/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Sedangkan lingkup pengelolaan aset dimaksud meliputi: (1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran, (2) pengadaan, (3) penggunaan, (4) pemanfaatan, (5) pengamanan dan pemeliharaan, (6) penilaian, (7) penghapusan, (8) pemindahtanganan, (9) penatausahaan, (10) pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.

Meskipun sudah ada aturan yang sangat rinci, persoalan aset daerah hingga saat ini masih mengalami beberapa kendala. Salah satu persoalan yang muncul

terkait dengan proses perencanaan dan penganggaran. Dalam praktek pengelolaan aset daerah sering dianggarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan, sedangkan yang dibutuhkan tidak dianggarkan. Hal ini bisa terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti rente, yang diterima oleh aparatur daerah sebelum pengadaan barang dilaksanakan. Persoalan lainnya seperti pada kasus pengadaan barang atau jasa. Tahapan ini paling sulit karena selain rawan dengan praktik korupsi, ancaman menjadi tersangka (lalu menjadi terpidana) cukup besar. Oleh karena itu, masalah yang paling sering muncul adalah: mekanisme pengadaannya penunjukan langsung, pemilihan langsung, atau tender bebas?. Beberapa aparatur daerah sering tidak bersedia menjadi panitia pengadaan karean takut terjerat kasus korupsi. Meskipun aparatur daerah telah mengikuti ujian sertifikasi (sebagai syarat menjadi panitia pengadaan barang dan jasa sesuai Keppres No.80/2003), umumnya mereka lebih senang untuk tidak lulus sehingga tidak bertanggungjawab terhadap proses pengadaan barang dan jasa. Diamping itu terjadi pula di beberapa daerah kabupaten/kota dalam i Setiap pemeliharaan terkait dengan anggaran untuk pemeliharaan. Belanja pemeliharaan ternyata salah satu objek belanja yang paling sering difiktifkan pertanggungjawabannya. Jika dicermati dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA), atau dalam Perhitungan APBD, biasanya anggaran belanja pemeliharaan terealisasi 100%. Habis tak bersisa. Berdasarkan penelitian ( World Bank, 2008) fenomena ghost expenditures merupakan hal yang biasa. Artinya, alokasi untuk pemeliharaan selalu dianggarkan secara incremental meskipun banyak aset yang sudah tidak berfungsi atau hilang. hal ini terjadi karena tidak adanya transparansi dalam penghapusan dan pemidahtanganan aset-aset pemerintah. Persoalan yang tidak kalah penting dalam pengelolaan asset daerah ini terletak pada penghapusan asset daerah. Penghapusan aset bermakna tidak ada lagi nilai suatu aset yang akan dicantumkan di neraca. Penghapusan dari buku besar dilakukan setelah kepemilikan aset tersebut tidak lagi di daerah, tetapi di pihak lain atau dimusnahkan atau dibuang. Dalam persepktif akuntansi, penghapusan dilakukan dengan cara membuat jurnal, misalnya: mendebit

rekening Ekuitas Dana-Diinvestasikan dalam Aset Tetap dan mengkredit Aset Tetap. Dari 36 pemerintahan di Jateng, yakni 35 kabupaten/ kota dan pemprov, yang laporan keuangan tahun 2010 sudah diperiksa oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) Perwakilan Jateng, baru 2 yang menerima opini wajar tanpa pengecualian (WTP), yakni Kota Surakarta dan Kabupaten Jepara. Status WTP adalah opini audit yang diberikan jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material. Dengan opini ini berarti auditor meyakini pemerintah daerah telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik. Kalaupun ada kesalahan, dianggap tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan. Sejak pemberlakukan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), salah satu tolok ukur kinerja pemda dapat dilihat dari laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), yang harus terlebih dahulu diaudit oleh BPK. Informasi dalam LKPD harus dapat memenuhi kebutuhan penggunanya, yang menurut SAP adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, dan pemerintah. B. Pembahasan B.1.Urgensi manajemen aset Sejak tahun 1970-an pemerintah mengeluarkan ketentuan terkait dengan pengelolaan aset, akan tetapi sampai sekarang manajemen aset kita masih terpuruk, masih dalam proses pembenahan, artinya belum sampai kepada tahap dimana setiap saat pimpinan dapat memantau keberadaan aset di bawah penguasaannya secara cepat dan akurat. Hal ini terbukti, diantaranya bahwa belum seluruhnya unit kerja dalam suatu instansi telah melakukan inventarisasi aset, sehingga otomatis nilai aset secara keseluruhan tidak diketahui yang pada akhirnya penyajian di dalam Laporan Keuangan tidak dapat diyakini kewajarannya. Kondisi seperti ini terjadi hampir seluruhnya pada instansi yang memiliki aset besar seperti Departemen Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Kementerian lainnya yang pada umumnya mempunyai ratusan unit kerja dibawahnya. Aset diperoleh dari pengadaan barang melalui mekanisme APBN atau APBD yang menjadi cikal bakal penyajian aset di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Memasuki tahun ke empat sejak LKPP diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 2004, opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum beranjak dari Disclaimer atau Tanpa Memberikan Pendapat. Dari berbagai alasan inti tentang konsideran BPK memberikan pendapat seperti tersebut di atas salah satunya terkait dengan tidak terinventarisasinya aset pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara transparan. Jadi, bagaimana sebenarnya manajemen aset bisa mengatasi kondisi ini sehingga aset dapat tercatat dan terpelihara dengan baik melalui manajemen aset yang memadai. B.2.Tahapan Manajemen Aset Pengadaan aset, proses manajemen aset tahun berjalan dimulai dengan pengadaan barang yang dilakukan berdasarkan rencana pengadaan menurut belanja modal dalam DIPA tahun berjalan. Bukti pendukung terjadinya transaksi aset harus diperoleh dengan lengkap yaitu SPP, SPM, SP2D serta bukti pendukung aset tetap berupa dokumen tender, kontrak, progress report, BA pemeriksaan, BA serah terima barang bahkan kebenaran fisiknya. Serah terima aset. Serah terima kepada rutin instansi dimaksudkan untuk keperluan database sebagai dasar pemantauan fisik aset baik luas tanah, bangunan, jumlah kendaraan dan inventaris termasuk nilainya sebagai bagian dari manajemen aset Sesudah proses pengadaan barang selesai, segera aset diserah terimakan kepada rutin instansi untuk dicatat dan diakui sebagai di bawah penguasaan instansi tersebut. Pencatatan dan pelaporan aset. Pencatatan dan pelaporan aset merupakan satu kesatuan, artinya dalam proses aplikasi begitu proses input data transaksi dilakukan, maka secara otomatis akan tercatat pada buku harian, buku besar dan langsung ke Neraca, dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA). Sesudah proses serah terima kepada rutin instansi selesai, maka berdasarkan dokumen

pendukung transaksi seperti SPM, SP2D dilakukan pencatatan dengan menggumakan aplikasi . Dalam pelaksanaanya dapat saja terjadi belanja barang tetapi hasilnya berupa aset. Dalam proses ini sudah harus benar-benar diyakini outputnya apakah fisik yang berbentuk aset tetap atau barang habis pakai. Contohnya dalam DIPA sebuah instansi merencanakan pembuatan anjungan pameran hasil bumi. Karena sifatnya tidak dimaksudkan untuk permanen, diusulkan sebagai belanja barang. Namun dalam pelaksanannya pimpinan instansi merasa perlu untuk sekaligus dibuat permanen saja supaya dapat digunakan untuk pameran tahun depan tanpa mengeluarkan biaya anjungan lagi. Sehingga menjadi sebuah anjungan secara permanen. Hasil audit menyatakan itu adalah aset tetap, karena menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), kategori yang dapat dikatakan aset tetap diantaranya adalah mempunyai umur teknis dan ekonomis lebih dari 12 tahun, dapat disusutkan, nilainya material. Tetapi karena dalam DIPA tercantum belanja barang maka dicatat dalam aplikasi sebagai barang bukan aset tetap. Tetapi karena outputnya berupa aset tetap, auditor akan melakukan koreksi. Kondisi seperti inilah yang harus dicermati dalam pengadaan barang dan proses pencatatan hasil aset. Kondisi tersebut seharusnya tercantum sebagai aset di Neraca. Beberapa tahun yang lalu, proses manajemen aset dilakukan secara sederhana, yaitu selesai pengadaan barang, dilakukan serah terima kepada rutin instansi, diberi nomor registrasi, dibuatkan kartu barang, dicatat dalam laporan mutasi barang/aset (LMBT) dan selesai begitu saja, tidak dilakukan inventarisasi sehingga tidak ada Database yang dapat diandalkan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi sekarang untuk setiap pengadaan barang dilakukan pencatatan melalui aplikasi , yaitu sistim yang mengakomodasi pencatatan barang secara langsung mulai dari proses input, pencacatan dalam buku besar, neraca percobaan sampai jadi neraca instansi. Namun proses inipun tidak serta merta berlangsung cepat, masih banyak kendala di lapangan dalam penerapannya. Setelah dua tahun semenjak dikeluarkannya PP nomor 6 tahun 2006 proses perubahan pola pikir pengelolaan aset dari semula fokusnya pendekatan administrasi aset menuju pendekatan manajemen aset ternyata belum dapat dilakukan.

Sampai saat ini belum semua instansi mempunyai database yang memadai, database dapat diandalkan (reliable) yang dapat membuat kita yakin bahwa suatu kementerian memiliki total nilai aset yang tersebar di beberapa lokasi terutama yang banyak unit kerjanya masih terdapat aset yang belum dikelola dan ditatausahakan sesuai PP nomor 6 tahun 2006. Masih terdapat aset yang belum diamankan baik secara fisik, administrasi dan hukum serta masih terdapat aset yang tidak digunakan sesuai tupoksi Kementerian lembaga dan juga mengabaikan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mungkin dihasilkan. Perubahan yang diperlukan dalam mengimplementasikan manajemen aset adalah terkait dengan pihak pengelola barang, pengguna barang dan pihak ketiga yang akan memanfaatkan/ memindahtangankan aset dengan cara memperkuat partisipasi publik (diwakili oleh masyarakat), privat (diwakili pihak ketiga/swasta) dan komunitas (Pengelola dan Pengguna Barang) dengan menciptakan accountability (akuntabilitas), transparency (transparan) dan rule of law (ketaatan peraturan) yang konsisten, opennes (terbuka/fokus kepada stakeholder) sehingga stakeholder dapat menilai kinerja masing-masing pihak yang terlibat dalam manajemen aset, fairness (perlakuan yang adil) yang dapat meyakinkan berbagai pihak, terutama pihak swasta, bahwa tidak ada korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemanfaatan atau pemindahtanganan aset. B.3. Opini Disclimer BPK Sebagai salah satu tolok ukur yang paling riil dalam menilai kinerja pihakpihak yang terkait dengan manajemen aset adalah opini yang di dapat oleh Kementerian/Lembaga dari aparat pengawas eksternal yaitu BPK. Dalam rilis resmi yang dikeluarkan oleh lembaga ini terdapat 16 Kementerian/Lembaga yang telah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Yang patut digarisbawahi adalah kementerian/lembaga ini adalah kementrian lembaga yang baru dibentuk yang asset atau BMN nya secara kuantitas tidak terlalu besar. Hal ini tentu saja mempermudah dalam pengelolaan dan penatausahaan atas aset atau BMN yang mereka miliki. Lain hal pada Kementerian Agama yang mempunyai ribuan unit kerja yang mempunyai aset yang tersebar dan yang wajib melaksanakan aplikasi aset tentunya wajar saja apabila masih

mempunyai beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Di lain pihak, tidak kurang dari 60 lebih kementerian/lembaga yang masih mendapatkan opini disclaimer terkait dengan manajemen aset yang mereka kelola dan tatausahakan. B.4. Analisis dan Kinerja Manajemen Aset Propinsi Jawa Tengah Dari 36 pemerintahan di Jateng, yakni 35 kabupaten/ kota dan pemprov, yang laporan keuangan tahun 2010 sudah diperiksa oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) Perwakilan Jateng, baru 2 yang menerima opini wajar tanpa pengecualian (WTP), yakni Kota Surakarta dan Kabupaten Jepara. Status WTP adalah opini audit yang diberikan jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material. Dengan opini ini berarti auditor meyakini pemerintah daerah telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik. Kalaupun ada kesalahan, dianggap tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan. Sejak pemberlakukan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), salah satu tolok ukur kinerja pemda dapat dilihat dari laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), yang harus terlebih dahulu diaudit oleh BPK. Informasi dalam LKPD harus dapat memenuhi kebutuhan penggunanya, yang menurut SAP adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, dan pemerintah. Untuk mendapatkan opini WTP atas LKPD dari tim audit BPK memang cukup sulit mengingat biasanya pengelolaan cash flow tidak dikontrol dengan baik, sistem pengendalian intens pemerintah (SPIP) daerah atas pengelolaan keuangan masih lemah, dan pengelolaan aset daerah tidak dilengkapi dengan bukti administrasi lengkap. Hasil pendalaman BPK terdapat beberapa kelemahan signifikan dalam penyajian aset tetap antara lain : 1. Pencatatan kartu inventaris barang (KIB) tidak didukung pencatatan pendukung seperti kartu inventaris ruangan (KIR).

2. Sebagian besar fisik barang tidak bisa langsung diidentifikasi karena tidak diberi nomor register barang atau nomor register yang menempel pada fisiknya, 3. Ada barangnya tetapi tidak terdata dalam KIB 4. Kartu inventaris tidak dibuat berdasarkan data realisasi fisik barang tetapi mengikuti data dari DPPAD. 5. Adanya ketidaksamaan nilai perolehan antara KIB dan neraca. Manajemen aset yang memadai seharusnya meliputi proses pengadaan aset, serah terima aset, inventarisasi aset, akuntansi aset sistem informasi manajemen dan akuntansi barang milik aerah, dan penyusunan laporan keuangan. Kalau semua proses berjalan dengan baik maka informasi mengenai aset suatu daerah akan akurat dan laporan keuangannya terhindar dari opini disclaimer. Kelemahan yang harus diperbaiki terkait kelemahan yang berhubungan dengan aset yang bisa memengaruhi opini BPK antara lain : 1. Belum semua SKPD/ dinas menginventarisasi dan menilai kembali aset tetapnya. 2. Pencatatan aset yang hanya dari belanja modal tahun berjalan sehingga aset yang berasal dari belanja modal tahun sebelumnya tidak secara akumulasi dilaporkan, 3. Saldo awal aset tetap pada neraca belum disesuaikan dengan saldo akhir hasil audit BPK tahun sebelumnya sehingga saldo akhir neraca sesudah ditambah dengan mutasi tahun berjalan akhirnya tetap menampilkan kesalahan data. B.5. Startegi Peningkatan Opini Pada tahun 2010, Laporan Pengelolaan Keuangan BPK menyebutkan bahwa Provinsi Jawa Tengah masih mendapat opini wajar dengan pengecualian (WDP). Namun demikian pada laporan tahun 2010 terdapat kemajuan signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk tahun 2010 terdapat dua masalah yaitu di pos aset tetap dan persediaan. Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan persolan ini antara lain

(1) Menyelesaikan masalah aset dengan cara melanjutkan validasi dan inventarisasi seluruh aset SKPD secara komprehensif; (2) Memantapkan sistem dan prosedur pengelolaan anggaran yang terkait dengan pengadaan aset; dan (3) Mensosialisasikan tata kelola keuangan yang baik pada seluruh jajaran pemerintahan sesuai dengan PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No 13 Tahun 2006 dengan pola bimbingan teknis serta diklat yang berkesinambungan. (4) sistem teknologi informasi yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mempunyai fasilitas e-audit yang terintregasi seperti Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang dikelola oleh Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Pemprov Jateng. Sedangkan sistem yang lain belum dikembangkan secara terintegrasi, antara lain : Sistem Informasi Management Pembangunan Daerah(Simbangda); Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIPKD); Sistem Informasi Management Hasil Pengawasan (SIMHP); Sistem Pengelolaan Barang Milik Daerah (belum dimiliki Pemprov Jateng).

Referensi Undang-Undang No. 7 tahun 2003 tentang keuangan negara (ps 3) : keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan. Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara (ps 55 ayat 2) : menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/ pengguna barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan; Undang-Undang No.15 tahun 2004 tentang pemeriksaan dan tanggung jawab keuangan negara

Anda mungkin juga menyukai