Anda di halaman 1dari 9

Geografis dan Demografis 1. Wilayah Teritorial.

Wilayah Keuskupan Agats merupakan kawasan bagian pantai Barat Daya pulau Papua yang berada pada dataran rendah (pada ketinggian 0 - 20 m di atas permukaan laut, antara 4-7 Lintang Selatan dan 137-141 Bujur Timur. Keuskupan Agats meliputi seluruh wilayah Kabupaten Asmat (luas wilayah 25.520 Km dan satu distrik wilayah Kabupaten Mappi). Kabupaten Asmat sendiri dimekarkan dari Kabupaten Merauke melalui UU Otonomi Khusus tahun 2001 dan telah mengalami dua kali pergantian kepala daerah (pada 2005 dan 2010). Pada sebelah Timur, Keuskupan Agats berbatasan dengan Keuskupan Agung Merauke, Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digul. Sebelah Selatan berbatasan dengan Keuskupan Agung Merauke dan Kabupaten Merauke. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Arafura dan Keuskupan Timika sedangkan sebelah Utara, Keuskupan Agats berbatasan dengan Keuskupan Jayapura, Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yahukimo. Keuskupan Agats memiliki 12 paroki yang dibagi dalam 4 wilayah (setara kevikepan) menurut rumpun suku dan teritorial pemerintahan (distrik). Wilayah Agats meliputi: Paroki Agats, Ewer, dan Ayam). Wilayah Sawa-Erma meliputi Paroki Sawa-Erma, Yamasj dan Komor. Wilayah Atsj meliputi Paroki Atsj, Yaosakor dan Senggo sedangkan Wilayah Pantai Kasuari meliputi Paroki Pirimapun, Bayun dan Basim.

2. Kondisi Alam.
Kurang lebih 80 % wilayah Keuskupan Agats merupakan daerah rawa berlumpur dengan ribuan sungai yang lebar dan dalam. Sungai-sungai dan lautnya kaya akan berbagai ikan, udang, kepiting, berjenis-jenis siput dan buaya. Pada saat pasang air laut, sungai-sungai bagaikan luapan banjir yang menggenangi daratan. Secara periodik dalam setahun sekali, antara Januari Maret ketinggian air pasang mencapai 1 meter di atas permukaan tanah (4 5 meter dari permukaan laut). Sirkulasi air pasang-surut bergerak tiap hari sehingga tingkat abrasi/ pengikisan lumpur sangat tinggi. Selain itu, daerah Asmat juga memiliki hutan yang cukup lebat yang ditumbuhi berbagai pohon produktif seperti kayu besi/ merbau, berbagai jenis bakau, kayu merah, ketapang hutan, kayu gaharu dan berbagai jenis kayu lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun demikian, sejak Asmat dimekarkan tahun 2001 lalu, penebangan kayu gencar dilakukan untuk kepentingan pembangunan sarana-prasarana pemerintah sehingga

hutan Asmat semakin menipis. Berbagai jenis binatang juga mendiami hutanhutan Asmat seperti aneka unggas, burung Nuri, Kakatua, Cenderawasih, Merpati hutan, Kasuari, babi, buaya dll. Orang tidak gampang keluar masuk hutan karena medan yang berlumpur juga terhalang oleh akar-akar pepohonan, tali-talian dan rotan yang malang-melintang. Di tengah hutan terdapat rimbunan pohon sagu yang tumbuh liar menjadi makanan pokok Suku Asmat.

3. Iklim.
Iklim di seluruh Asmat sangat lembab dengan curah hujan sekitar 4000-5000 mm per tahun. Hutannya merupakan jenis hutan hujan yang mengakibatkan tingginya kelembaban udara. Hampir setiap tahun turun hujan (100 150 hari). Frekwensi agak berkurang saat musim Kemarau dan melimpah saat musim Hujan (antara Mei-Juni mencapai 1.200 mm). Tidak adanya sumber air tanah akibat lumpur dan naiknya air laut maka curah hujan yang demikian besar dimanfaatkan sebagai sumber air untuk kebutuhan hidup harian. Hampir setiap rumah dilengkapi dengan tangki-tangki atau drum-ember guna menampung air hujan.

4. Bangunan dan Sarana Transportasi.

Semua bangunan di wilayah Asmat merupakan rumah-rumah panggung kecuali sebagian kecil wilayah Paroki Senggo yang perumahannya langsung di atas tanah. Meskipun di situ juga ada rawa tapi ada tempat yang dijadikan kampung merupakan bukit-bukit yang berpasir. Kampung-kampung Asmat yang berbatasan langsung dengan Kabuaten Yahukimo dan Nduga juga merupakan daratan tinggi sehingga rumah dibangun langsung di atas tanah. Saat ini bangunan pemerintah di Distrik Suru-Suru terbuat dari bahan semen. Meskipun demikian umumnya rumah penduduk di Asmat menggunakan bahan dasar dari hasil hutan seperti batang pohon kayu besi, kayu merah, bakau, kayu garam, nipah-palma dan daun sagu sebagai atap dan dinding. Bangunan rumah tradisional merupakan gubuk-gubuk yang dibuat dari batang-batang pohon bakau dan jenis pohon lain. Lantainya dilapisi kulit kayu atau tapin/ tikar yang terbuat dari pandan hutan sedangkan atap ditutupi anyaman daun sagu. Rumah-rumah modern

terbuat dari papan dan balok kayu besi, kayu merah dll dan ditutupi seng. Jalan-jalan panggung ala jembatan dengan lebar rata-rata 1 meter cukup untuk pejalan kaki. Sampai saat ini kurang-lebih 200 meter jalan utama di Agats, pusat kesukupan terbuat dari beton dengan tiang dan rangka besi. Alat transportasi air (laut dan sungai) berupa perahu tradisional dari kayu Ketapang Hutan dengan menggunakan dayung dari kayu besi. Ada juga Longboat (motor tempel), speedboat dah ketinting (perahu bertenaga mesin dengan baling-baling menyerupai mesin babat rumput). Speedboat rata-rata terbuat dari fiberglass sedangkan kebanyakan milik Keuskupan terbuat dari aluminium. Alat transportasi air ini menjadi sarana utama di dalam Asmat dan sesekali orang bepergian ke Timika dengan speedboat. Untuk jalur keluar dan masuk Asmat, tersedia pesawat Twin Otter milik Merpati dan Trigana serta Caesna dan Pilatus potter milik AMA (perusahan penerbangan yang mendukung pelayanan Gereja Katolik di Papua. Landasan pesawat terletak di Kampung Ewer yang ditempuh 15 menit dari Agats dengan speedboat 45 Pk. Ada juga kapal Pelni yang sampai saat dua kali dalam satu bulan merapat di Agats dari Timika dan Merauke. Selain itu kapal-kapal perintis dan kapal-kapal kayu yang masuk ke Agats guna menjual berbagai sembako dan peralatan rumah tangga.

Untuk transportasi darat terutama pusat-pusat distrik maupun Agats-ibukota kabupaten, penduduk menggunakan kendaran pribadi berupa sepeda dan motor elektrik yang lazim disebut motor cas. Jalan panggung dengan ketinggian rata-rata dua meter dari permukaan lumpur dengan lebar hanya dua meter menyebabkan jalan terasa sesak. Bila Anda bersepeda atau mengendarai motor cas maka Anda harus terbiasa sabar ketika berpapasan dengan kendaraan lain atau pejalan kaki. Jalan papan yang terbuat dari kayu besi ini sangat licin di kala hujan akibat lumut sehingga Anda harus hati-hati sebelum jatuh ke lumpur alias lumpur picah kata orang Agats. Kondisi transportasi Asmat yang umumnya menggunakan sarana sungai dan laut membuat biaya perjalanan baik intern maupun ekstern Asmat menjadi sangat mahal dan memakan waktu cukup lama. Tingginya harga BBM menjadi biangnya. Hingga kini untuk Agats saja, minyak tanah Rp. 6000.- per liter (subsidi pemerintah) sedangkan bensin dan solar mencapai Rp. 12.000.- per liter. Kondisi transportasi demikian berdampak pula pada aktivitas pastoral di

Keuskupan Agats. Pelayanan dari Agats-pusat keuskupan ke paroki-paroki menelan biaya rata-rata empat juta rupiah untuk sekali perjalanan, belum lagi pastoral dari pusat paroki ke stasi-stasi. Umat di kampung-kampung yang umumnya menggunakan perahu tradisional, seringkali harus bermalam di tengah jalan bila bepergian ke pusat-pusat distrik maupun ke Agats, ibukota kabupaten. Alur sungai yang berkelok-kelok dan arus pasang-surut yang deras membuat perjalanan menjadi lama dan mahal.

5. Penduduk.
Mayoritas penduduk adalah Suku Asmat. Suku Asmat terbagi dalam 12 sub suku (rumpun) yaitu Emari Ducur, Unir Sirau, Unir Epmak, Joerat, Bismam, Simai, Kenekap, Becmbub, Safan, Aramatak/Yomagau, Jupmakcain dan Bras. Masing-masing rumpun merupakan satu kelompok masyarakat yang mendiami-menguasai satu wilayah dan dusun (hutan tempat mencari makan). Semua rumpun memakai bahasa Asmat namun dengan dialek masingmasing. Selain Suku Asmat, ada juga suku-suku pribumi dengan populasi kecil di bagian pantai Asmat yaitu Sawi, Kaigar dan Atokhoim. Ada juga suku-suku pendatang seperti Suku Auyu, Muyu (Merauke), Suku Kamoro (Mimika), sukusuku dari wilayah utara Papua, suku-suku Sulawesi (Toraja, Makasar, Buton, Bugis), Suku Kei, Tanimbar (Maluku), Flores dan Jawa. Mereka kebanyak entah sebagai pedagang, pengusaha, PNS, TNI-Polri, guru, dan tenaga medis. Kebayakan pendatang mendiami pusat-pusat distrik dan ibu kota kabupaten. Tak dapat dipungkiri bahwa persentuhan suku-suku ini beserta nilai dan adat budaya masing-masing membawa dampak positif maupun negatif bagi orang dan wilayah Asmat.

Masyarakat Asmat sendiri hidup sebagai peramu yang mencari, memanfaatkan dan mengumpulkan hasil hutan, sungai dan laut. Meskipun demikian harus diakui bahwa saat ini banyak gerenasi muda yang sudah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Konsndisi tanah berlumpur dan naiknya air laut tidak memungkinkan untuk bertani. Mereka harus ke hutan untuk memangkur sagu, mengambil ulat sagu, berburu binatang liar dan mencari ikan, udang di sungai. Seringkali mereka ke hutan dalam

beberapa minggu dan menghuni bevak (pondok sementara di tepi sungai). Irama hidup ini menyebabkan kampung seringkali lengang. Sebagian besar sumber nafkah hanya ditumpukan kemurahan alam sehingga mereka tidak mempunyai pendapatan tetap. Keuskupan Agats melalui Delegatus Sosial melaksanakan berbagai program pendampingan bagi berbagai kelompok tani maupun nelayan di paroki. Meskipun hasil yang dicapai belum maksimal tetapi diharapkan umat bisa memanfaatkan potensi alam mereka sekaligus melatih nilai kemandirian yang dicita-citakan bersama Gereja Lokal Keuskupan Agats. Meskipun rata-rata tanah di Asmat berlumpur tetapi tidak mungkin tidak bisa ditanami beberapa jenis tanaman palawija untuk memenuhi kebutuhan harian dan dipasarkan untuk menambah pendapatan keluarga. Pihak pemerintah daerah juga memberikan berbagai bantuan pertanian baik dana maupun peralatan bagi masyarakat. Saat ini sedang diuji coba penanaman padi di beberapa distrik dan ternyata bisa dipanen meski masih terbatas produksinya. Potensi perikanan Asmat cukup menjanjikan. Berbagai jenis ikan seperti kakap, bandeng, hiu, tenggiri, bulanak dll mendiami Laut Arafura. Umat di wilayah pantai (Paroki Bayun, Basim dan Pirimapun) cocok untuk mengembangkan bidang perikanan ini. Sampai saat ini, beberapa kelompok nelayan Pirimapun yang didampingi pastor paroki, sedang mengolah ikan asin yang kemudian dipasarkan melalui Kios Maju Bersama (Agats) milik keuskupan. Menarik bahwa para nelayan tersebut menjadi anggota Credit Union Ndar Sesepok. Dengan sendirinya, pendapatan mereka dari ikan asin disetor sebagian ke tabungan mereka. Lagi-lagi, unsur pengolahan keuangan yang umumnya masih cukup sulit di tengah umat sedang dimotivasi petugas pastoral untuk bisa menabung uang demi masa depan mereka. Pola hidup suku pribumi (Asmat dan suku-suku kecil lainnya) amat menyatu dengan alam; hutan, sungai dan laut. Sikap dan pandangan hidup secara khusus Suku Asmat terhadap Sang Pencipta, asal-usul manusia, para leluhur yang telah mendahului mereka, perang dan lain-lain amat dilatarbelakangi oleh lingkungan yang membentuk mereka sebagaimana yang tersirat dalam berbagai mitologi mereka. Suku Asmat sangat menekankan keselarasan dan keharmonisan hidup bersama dengan alam, manusia dan para leluhur. Namun pola hidup bersih masih jauh dari harapan. Minimnya sarana dan prasarana tempat tinggal (sebuah ruangan tanpa sekat dan ventilasi udara yang cukupdapur/tungku api ada dalam satu ruangan yang sekaligus juga berfungsi sebagai ruang tamu, tidur dsb.) Rumah tipe sederhana yang oleh pemerintah disebut program Rumah Sehat yang sudah dibangun untuk beberapa kepala keluarga di tiap kampung belum banyak memberi dampak positif terhadap perubahan perilaku dalam menata tingkat hiegenitas dan sanitasi rumah tangga. Ketiadaan air bersih menjadi bentuknya. Pemerintah telah memberi bantuan berupa blong-blong air umum di tiap kampung tapi belum

dimanfaatkan secara maksimal. Kebiasaan masyarakat untuk mengkonsumi air mentah baik dari air sungai maupun air hujan masih menjadi pemandangan sehari-hari ketika Anda mengunjungi warga di kampung-kampung. Sedangkan angka kesakitan (Malaria, ISPA-infeksi saluran pernapasan akut, gizi buruk serta kematian ibu dan anak) masih tinggi.

6. Unsur Seni Ukir dalam Budaya Asmat.


Selain sebagai peramu, Suku Asmat juga terkenal dengan bakat-bakat seni ukirnya. Pada awalnya seni ukir ini lebih dipergunakan untuk mengungkapkan keeratan relasi dengan alam (yang mengandung unsur ilahi) dan para leluhur yang telah meninggal dan dibuat untuk kepentingan ritual-Pesta Adat. Hingga kini berkembang berbagai jenis ukiran tetapi jenis ukiran tradisional/ asli antara lain: salawaku/perisai, tifa, Bis-tiang berukir dan patung leluhur masih tetap dipertahankan. Sejak masuknya misi di wilayah Asmat maka berkembang yang namanya panel (modifikasi dari perisai), kerawangan/ papan tembus dll. Meski demikian, motif dan ornament asli masih tetap dipertahankan. Motif dan ornament ukiran terinspirasi dari kosmos Asmat seperti pusaran air, jejak kaki dan tulang binatang-manusia, bunga-bungaan hutan, gejala alam, makluk-makluk gaib, leluhur dll. Dalam dimensinya yang dalam, ukiran Asmat dijadikan sarana representasi Yang Ilahi dan para leluhur (dalam rupa roh) yang digunakan saat ritual. Dua alat musik di Asmat yakni tifa dan terompet bambu sampai sekarang masih tetap digunakan. Baru pada era kemudian menjadi nyata bahwa ukiran Asmat memiliki nilai seni yang unggul dan diakui dunia sebagai seni ukir yang sangat natural dan unik.

Pada era 1960-an menjadi masa kelabu bagi ukiran dan budaya Asmat umumnya. Ketika itu masih terjadi peperangan dan pengayauan antar kampung. Pemerintah lokal beranggapan bahwa adatistiadat menjadi biangnya. Oleh karena pemerintah melarang pelaksanaan ritual adat (dengan sendirinya mematikan kegiatan mengukir) dan membakar rumah-rumah adat. Demi penyelamatan dan peremajaan budaya Asmat maka pihak misionaris melalui prakarsah Uskup pertama (Mgr. Alphonse Sowada, OSC) mendirikan Museum Kebudayaan dan Kemajuan Amat pada tahun 1973.

Pada Hari Proklamasi 1974, museum dibuka untuk publik. Usaha ini kemudian dilanjutkan dengan penelitian budaya secara mendalam. Pada tahun 1982 mulai diselenggarakan Lomba Mengukir dengan peserta 36 pengukir. Kegiatan ini memberi motivasi bagi orang-orang di kampung untuk kembali mengukir. Pada tahun 1992, Pihak Pemerintah Merauke bersedia bekerjasama dengan pihak Keuskupan Agats dalam penyelenggaraannya dan sejak saat itu, namanya berubah menjadi Pesta Budaya Asmat. Kegiatan ini juga membuka kesempatan kepada orang Asmat untuk melakukan pameran kebudayaan ke Amerika, Australia dan Eropa. Sejak 2003, Pemerintah Kabupaten Asmat turut mendukung pendanaan festival tahunan tersebut dan bekerja sama dengan Keuskupan Agats dalam penyelenggaraannyaa. Pada tahun 2009 lalu, Pesta Budaya Asmat memasuki ulang tahunnya yang ke-26 dengan peserta ternominasi sebanyak 200 orang dari 956 peserta yang diseleksi di enam (6) distrik Kabupaten Asmat.

7. Relasi Kekerabatan.
Umat Suku Asmat amat erat hubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan sosial mereka. Kekentalan relasi sosial itu selain nyata dalam dinamika harian, juga tampak dalam berbagai ritual adat dan simbol-simbol ukiran. Dalam kekerabatan mereka, unsur reprositas amat kuat pengaruhnya sehingga selalu ada ketergantungan satu sama lain untuk saling berbagi. Dalam ukiran terutama patung-patung, ada yang disebut patung bersusun dimana antar figur selalu saling kait-mengait dan berpegangan. Inilah simbol kuatnya relasi personal maupun sosial Suku Asmat. Ada kesan hidup komunal masyarakat amat kuat sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kebebasan pribadi untuk menyesuaikan dan mengembangkan diri. Kekerabatan anggota kelompok Suku Asmat dipelihara dan diorganisir dalam rumah adat (Jew) mereka. Di dalamnya ada sekian tungku api yang menunjukkan sekian fam/marga di kampung tersebut. Tiap fam memiliki hubungan perkawinan dengan tungku-tungku lain sehingga turun-temurun tetap terpelihara kekerabatan mereka. Ada tungku utama yang menjadi sentral dalam interior Jew dimana para tetua adat bertanggung jawab menjaga dan mewariskan berbagai hal-ikwal adat kepada anggota masyarakat melalui mitologi, syair, nasehat, larangan dll. Dalam tradisi asli, hutan dan sungai adalah milik seluruh anggota suatu fam/marga sehingga hasil mencari makan satu keluarga harus dibagi rata kepada semua anggota fam, anak-anak sampai orang tua. Semua anggota mempunyai hak yang sama atas hasil tersebut. Mentalitas sosial ini masih kuat hinggi kini dan mempengaruhi seluruh sendi hidup mereka.

8. Dinamika Pendidikan.
Pola hidup alamiah masyarakat Asmat membawa konsekwensi tersendiri bagi banyak program baik dari pihak Keuskupan maupun Pemerintah. Misalnya program pendidikan dan pembinaan-pemberdayaan ekonomi masyarakat Asmat. Sampai sekarang pendidikan tetap menjadi masalah klasik yang masih jauh dari harapan. Antara orang tua dan para pendidik formal (guru) terjadi saling tuding-menuding seputar masih rendahnya kualitas pendidikan di lumpur Asmat. Di satu pihak, fakta memperlihatkan bahwa irama hidup masyarakat Asmat yang selalu bepergian ke dusun-dusun dalam beberapa minggu bahkan bulan dengan membawa serta anak-anak mereka yang sekolah juga kebanyakan guru yang tidak betah di kampung menjadi lingkaran setan problem pendidikan di Asmat. Di tingkat sekolah dasar, bisa ditemukan lebih banyak anak laki-laki dibandingkan para gadis. Tidak sedikit gadis yang dikawinkan orang tua mereka pada usia masih sangat muda. Hanya sedikit yang bisa menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sarjana.

Sejak dekade 1980-an, Keuskupan Agats memberikan dukungan khusus kepada pendidikan putra-putri asli Asmat melalui program beasiswa dari tingkat SMU sampai perguruan tinggi. Banyak anak disekolahkan ke luar Asmat (Jayapura, Merauke, Tual dan ke Jawa. Tidak sedikit dari mereka yang kini menjadi guru, perawat, menjadi pemimpin di eksekutif dan legislatif dan ada pula yang kembali mengabdi di keuskupan. Dengan terbentuknya Asmat sebagai kabupaten, memberi peluang bagi kaum pribumi untuk melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Program beasiswa juga diberikan oleh pihak Pemda Asmat yang diharapkan membantu putra-putri Asmat untuk menaikan tingkat SDM mereka sehingga bisa menjadi tuan di negeri sendiri yang selama ini terus digemahkan di tanah Papua. Pihak Keuskupan Agats melalui Komisi Pendidikan yang membawahi Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Yan Smit gencar melakukan program pendidikan formal yang berbasis budaya Asmat. Sampai saat ini, telah hadir Sekolah Satu Atap berbasis budaya Asmat di Paroki Sawa-Erma. Siswa-siswi SD yang lolos seleksi kualitas di tiap sekolah kemudian diasramakan dan disekolahkan di Sawa-Erma. Diharapkan bahwa siswa-siswa bisa berkembang dimensi intelektualitasnya tetapi juga tak kehilangan

identitas budayanya. Oleh karenanya pembinaan budaya menjadi program penting di sekolah tersebut. Play Group Kristus Amore di Paroki Sawa-Erma juga demikian. Selain itu, sedang diusahkan Kurikulum Muatan Lokal berbasis Budaya Asmat dan penerbitan cerita-cerita rakyat Asmat yang diharapkan dapat mendukung proses internalisasi nilai-nilai budaya Asmat bagi kaum muda.

Anda mungkin juga menyukai