Penulisan hukum ini telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, Pada hari , tanggal
Penyusun
NIP .:.............................................
Anggota I
Anggota II
NIP .:.......................................
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Penulisan Hukum ini tidak pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi lain, dan
sepanjang pengetahuan saya didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Yogyakarta, 31
Desember 2007
HALAMAN MOTTO
Thanks to: 1. Father and Mother, for your big support 2. MAPAGAMA, for the idea of
making this 3. Mr. Marsudi, for the help and support 4. Mrs. Agustina Merdekawati,
for the topic and the assistance 5. All my friends supporting me : especially
MGers, Gelanggangers, KWers, that I may mention the names Hendra, Mindy (El Camino
rocks guys !), Sidik, Baskoro, Agus, Tulus, Sharfan, Enggar, Angga, DM, Daru,
Jabrik, Jinggo, Haznan, Dirga, and the others that I may forget. 6. For my beauty
queen : Nancy, Ririn, Dea, Gris 7. For someone in somewhere : Kania 8. My friends
at Law Faculty, my international law classmates : Dody, Tyas, Ayu, Diana, Saidah,
my law friends : Teguh, Kenzo, Pandu, Togu, although not so much times spent with
you guys but you all become helpful in such little chance. 9. Last but not least,
thanks for the people giving time so this is finish, and I may mention the name
again, Mr. Rajpal Singh, Mbak Riena, Pak Anuar, and Mbak Rina,
KATA PENGANTAR
Sebelumnya penulis ingin mengucapkan terimakasih pada Tuhan YME atas kesempatan
yang diberikan untuk menyelesaikan penulisan hukum ini beserta segala rahmat yang
diberikan untuk menyusun penulisan hukum ini. Adapun dukungan dari keluarga dan
teman-teman terdekat juga menyumbang bagi kelangsungan penulisan hukum ini. Oleh
karena itu penulis ini ingin
mempersembahkan penulisan hukum ini untuk mereka. Adapun tujuan penulisan hukum
ini adalah menyelesaikan kewajiban penulis sebagai mahasiswa fakultas hukum UGM.
Banyak terimakasih ingin penulis sampaikan bagi seluruh civitas akademika karena
telah membimbing penulis sampai ke titik ini. Penulisan hukum ini juga ingin
penulis persembahkan bagi khasanah ilmu pengetahuan agar referensi akan masalah
yang penulis angkat semakin bertambah. Akhir kata, tidak ada gading yang tak retak
oleh karena itu biarlah penulisan ini diuji oleh para pembaca sekalian. Saran dan
kritik akan penulis terima secara terbuka. Sekali lagi, terimakasih atas perhatian
dan waktu yang saudara/i berikan untuk penulisan hukum ini
DAFTAR ISI Halaman Sampul Depan Halaman Judul…….......…………………………………………………..…….i
Halaman
Persetujuan.......................................................................
ii Halaman
Pengesahan......................................................................ii
i Halaman
Pernyataan.......................................................................i
v Halaman
Motto.............................................................................
....v Halaman
Persembahan...................................................................vi
Kata
Pengantar.........................................................................
......vii Daftar
isi...............................................................................
.........viii Daftar
Tabel.............................................................................
.........x Daftar
Lampiran..........................................................................
....xi Bab I. Pendahuluan A.
Judul.............................................................................
..........1 B. Latar
Belakang.......................................................................1
C. Perumusan
Masalah...............................................................9 D. Tujuan
Penelitian....................................................................9 E.
Manfaat
Penelitian................................................................10 F.
Keaslian
Penelitian...............................................................10 G.
Cara
Penelitian.....................................................................15
Daftar
Pustaka...........................................................................
..103
Lampiran..........................................................................
............107
DAFTAR TABEL Tabel 1. Pembagian wilayah daratan Riau Tabel 2. Jumlah titik api
pada tahun 2006 Tabel 3. Propinsi dengan jumlah titik api terbanyak
Tabel 4. Jenis penggunaan lahan yang menyebabkan kebakaran hutan Tabel 5. Kualitas
udara di Malaysia dan Singapura pada tahun 2006
internasional asap dari kebakaran hutan di Riau menimbulkan kerugian materiil dan
imateriil di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
1 Fire Bulletin No. 1-2006_3Aug.doc, WWF
Penyebab dari masalah kebakaran hutan adalah karena kesalahan sistemik dalam
pengelolaan hutan secara nasional. Dalam hal ini, ada pengusaha perkebunan sawit
yang lebih memilih metode land clearing dengan cara membakar daripada metode lain,
pekerja-pekerja pembuka lahan yang berasal dari masyarakat setempat. Pemerintah
memberikan hak penguasaan hutan (HPH) kepada pengusaha-pengusaha perkebunan sawit.
Tidak terlaksananya inilah mekanisme yang pembukaan inti lahan yang
seharusnya
menjadi
permasalahan.
Ketidaktersediaan teknologi yang memadai membuat metode land clearing dengan cara
membakar dinilai efisien. Dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode ini
terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya. Faktor ekonomi menjadi latar
belakang kenapa metode ini lazim dilakukan di Riau. Penerapan metode land clearing
dengan pembakaran hutan ini bertentangan dengan hukum nasional Indonesia sendiri.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Bab III Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa
”Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.2
Selain itu, UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 Paska Amandemen
menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan
2 UU No. 23 Tahun 1997 pasal 5 ayat (1)
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.3 Perlu diperhatikan juga mengenai status Riau sebagai propinsi di
bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena berkaitan dengan kewenangan
propinsi Riau terhadap hutan yang berada di wilayahnya. Ada beberapa kelemahan
dalam UU No. 32 tahun 2004 dimana basis otonomi diberikan kepada kabupaten dan
bukan propinsi sehingga jika terjadi kebakaran hutan di suatu kabupaten
pencemarannya dapat mencakup daerah lainnya. Penyebab kebakaran hutan di Riau jika
ditarik garis lurus maka akan melibatkan pengusaha-pengusaha kertas dan pengelola
perkebunan sawit. Produsen kertas membutuhkan kayu sebagai bahan baku produksi.
Hutan membutuhkan pemeliharaaan dan perawatan yang berkelanjutan agar tetap
lestari. Karena mengejar keuntungan pengusaha kertas dan kebun sawit dalam
mengelola kertas dan minyak sawit seringkali mengabaikan konsep
sebenarnya bisa membela sumber daya alam yang berada di sekitarnya. Indonesian
Centre for Environmental Law (ICEL) mengutarakan ada hak masyarakat untuk
mengajukan gugatan kepada perusahaan-perusahaan yang kegiatannya berdampak
Mengenai hak mengajukan gugatan dapat dibagi atas beberapa macam yakni : a.
gugatan perwakilan kelompok b. hak gugat LSM dalam hal terjadinya kerugian negara
c. gugatan masyarakat atau citizen suit5 Adapun mengenai masalah pembuktian dalam
kasus ini dapat ditempuh dengan 2 cara yakni: a. Konvensional (163 HIR dan 1865
BW) “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau
menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu
hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan
itu.” b. Terbalik Kewajiban penggugat sebatas mengajukan bukti
awal/pendahuluan atau prima facie evidence dan tidak perlu legal evidence.
4 Rino Subagyo, 2005, Hukum Lingkungan : Aspek Pidana,, Indonesian Centre for
environmental Law 5 Ibid
Ada 2 jenis implikasi jenis pertanggungjawaban terhadap pembuktian ini yakni : a.
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yakni : 1.
Kesalahan (fault) 2. Kerugian (damages) 3. Kausalitas (casual link) 4. Beban
pembuktian terhadap ketiga unsur di atas terdapat pada penggugat (163 HIR dan 1865
BW) b. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no fault liability/strict liability),
yakni: 1. Kerugian (damages) 2. Kausalitas (casual link) 3. Beban pembuktian
terhadap kedua unsur di atas tetap merupakan beban penggugat (163 HIR dan 1865 BW)
4. Beban pembuktian tentang ada faktor pada penghapus diri tergugat
pertanggungjawaban/pembelaan
Memang setiap negara tetap memiliki kedaulatan terhadap wilayahnya. Negara dapat
menurunkan peraturan hukum wajib untuk wilayahnya, memiliki kekuatan eksekutif
(adiminstratif, kebijakan), dan pengadilannya adalah satu-satunya yang
Agreement
on
Negara ASEAN lain sudah meratifikasi AATHP kecuali Filipina. Sampai dengan bulan
Juli 2005, tujuh negara ASEAN telah meratifikasi yakni Brunei, Malaysia, Myanmar,
Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja.8 Untuk menyelesaikan persoalan
pencemaran lintas batas ini sebaiknya diperhatikan ketentuan hukum internasional,
khususnya hukum kebiasaan internasional. Prinsip yang berkenaan adalah good
neighbourliness. Prinsip ini tersirat dalam Deklarasi
Stockholm. Prinsip ini mengatakan kalau setiap negara memiliki kedaulatan untuk
mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain. Contoh kasus yang
serupa dengan kasus ini adalah Trail Smelter Case. Prinsip-prinsip internasional
ini juga telah diakui dalam Mahkamah Internasional dan dalam dokumen-dokumen hukum
lingkungan internasional seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992.
Walaupun prinsip-prinsip ini belum dikodifikasikan dalam perjanjian internasional,
tetapi bisa
pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa
satisfaction, misalnya permohonan ma'af secara resmi, ataupun berwujud pecuniary
reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.11 Goldie menyatakan
bahwa istilah 'responsibility' digunakan untuk menunjuk pada kewajiban (duty),
atau menunjuk pada standar pemenuhan suatu peran sosial yang ditetapkan oleh
sistem hukum tertentu. Sedangkan istilah 'liability' digunakan untuk
http://thestar.com.my/columnists/story.asp?file=/2007/7/12/columnists/bravenew
world/18255105&sec=Brave%20New%20World (diakses pada 5-8-2007 pukul 23.00) 10 Ida
Bagus Wyasa Putra, 2003 Hukum Lingkungan Internasional, Refika Aditama,, halaman
18 11 F, Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Yogyakarta:Penerbitan
UAJYogyakarta,, hlm 77-78.
menunjuk pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan
suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah
ditetapkan.12 Lebih jelasnya lagi dapat diketahui dari rumusan ketentuan Art. 139
(1 & 2) KHL-1982, sebagai berikut: 1. States Parties shall have the responsibility
to ensure that activities in the Area, whether carried out by States Parties, or
state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of
States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, shall be
carried out in conformity with this Part. The same responsibility applies to
international organizations for activities in the Area carried out by such
organizations. 2. Without prejudice to the rules of international law and Annex
III, article 22, damage caused by the failure of a State Party or international
organization to carry out its responsibilities under this Part shall entail
liability: States Parties or international organization acting together shall bear
joint and several liability. A State Party shall not however be liable for damage
caused by any failure to comply with this Part by a person whom it has sponsored
under article 153, paragraph 2 (b), if the State Party has taken all necessary and
appropriate measures to secure effective compliance under article 153, paragraph
4, and Annex III, article 4, paragraph 4.13 Dalam konteks perlindungan lingkungan,
untuk mengetahui ada tidaknya pertanggungjawaban negara (responsibility) dan atau
liability) dalam suatu peristiwa, Zemanek mengingatkan perlunya dilakukan
penelitian terhadap empat aspek dari keadaan faktual yang bersangkutan, yang
meliputi: akibat (effect); kegiatan
protes Malaysia dan Singapura dalam kasus kabut asap akibat kebakaran hutan di
Riau pada tahun 2006 ?
dikerjakan oleh Agustina Merdekawati pada tahun 2007 dan sudah dipulikasikan UGM
Research Week pada yahun 2007 tetapi sepanjang penelusuran kepustakaan di
Perpustakaan Pasca
Sarjana UGM dan Perpustakaan FH UGM, belum ditemukan judul penelitian dengan
permasalahan “Studi tentang Bentuk
pencegahan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta peran serta masyarakat dalam
pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten
Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Penelitian juga dilakukan secara kelembagaan
oleh
beberapa institusi yang empati terhadap kasus kebakaran hutan, misalnya beberapa
LSM yang bergerak pada bidang lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup RI,
dan Pusat Studi Lingkungan Hidup. Penelitian mengenai pertanggungjawaban negara
pernah
dilakukan pada tahun 2005 oleh Marsudi Triatmodjo di Fakultas Hukum UGM yang
berjudul PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN INTERNASIONAL,
yang memfokuskan permasalahan mengenai kewajiban yang dapat memaksa negara untuk
tidak melakukan kegiatan mencemari lingkungan daerah di luar batas yurisdiksinya
dan konsekuensinya jika kewajiban itu dilanggar. Selain itu, juga pernah ada
penelitian yang berjudul TANGGUNG JAWAB NATO ATAS KERUSAKAN LINGKUNGAN YANG
DIAKIBATKAN OLEH PENGGUNAAN METODE
Rahmawati Saptasiwi pada tahun 2005. Fokus permasalahan yang penulis kaji dalam
penelitian ini berbeda dengan fokus penelitian yang telah ada sebelumnya. Fokus
kajian dalam penelitian sebelumnya umumnya membahas tentang masalah penyebab dan
penanggulangan masalah kabut asap kebakaran hutan dengan fokus lokasi pada
keseluruhan wilayah Indonesia serta pertanggungjawaban negara terhadap
F. CARA PENELITIAN Penelitian ini akan dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. 1. Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan dilakukan
dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data yang terdapat dalam buku atau
literatur, tulisan– tulisan ilmiah, dokumen-dokumen dan peraturan–peraturan
menjelaskan bahan hukum primer yang terdiri dari : 1.) ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution 2.) Deklarasi Rio 1992 tentang HAM dan Lingkungan
(KTT Bumi) 3.) Draft Articles of Responsibilities of State for Internatioanal
Wrongful Acts with Comementaries, Commentaries of the Draft, ILC 4.) Buku-buku
mengenai Hukum Lingkungan Internasional 5.) Bahan-bahan lain yang berkaitan dengan
transboundary pollution. 6.) Majalah, surat kabar, tulisan yang berkaitan dengan
materi penelitian c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier
meliputi : 1.) Kamus Hukum 2.) Kamus Besar Bahasa Indonesia
2. Penelitian Lapangan Penelitian Lapangan adalah penelitian yang dilakukan secara
langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan berkaitan
dengan masalah yang diteliti. a. Data Data yang diperoleh dari penelitian lapangan
adalah data
sekunder, yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber yang dipilih dan
dianggap mengetahui masalah yang diteliti. b. Lokasi penelitian Penelitian
dilakukan di Jakarta dan Riau mengingat kemudahan untuk mengakses kantor-kantor
pemerintahan dan elemen yang terkait di kasus ini. c. Cara pengambilan sampel Cara
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probabilitas
(non probability sampling), yaitu cara pengambilan sampel yang tidak memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap sampel dalam populasi untuk dipilah,
sedangkan
jenis
sampel
yang
digunakan
adalah
purposive
sampling, yaitu calon sampel yang dipilah berdasarkan kriteria atau ciri-ciri yang
dianggap berhubungan erat dengan
Resources Development 2.) Wakil dari Pemerintah Malaysia : Anuar Zaki Bakar, Setia
Usaha II Politik dan Ekonomi 3.) Wakil dari Departemen Luar Negeri RI : Rina Dwi
Astuti, Dinas 2 Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosbud 4.) Wakil dari Pemerintah
Singapura : Rajpal Singh, First Seceretary e. Alat pengumpulan data Alat
pengumpulan data yang digunakan menggunakan pedoman wawancara semi struktur, yaitu
kombinasi antara pedoman
memperoleh keterangan lebih lanjut sehingga diperoleh jawaban yang lengkap dan
mendalam. f. Analisis Data
Dari data yang telah dikumpulkan, baik itu dari penelitian kepustakaan atau
penelitian lapangan kemudian diseleksi dan dianalisis secara kualitatif dengan
metode deskriptif. Analisis data ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah. 1)
Kualitatif Yaitu metode analisis data dengan mengelompokkan data yang diperoleh
berdasarkan kualitas kebenarannya, kemudian disajikan dalam bentuk uraian kalimat.
2) Deskriptif Yaitu menganalisis data yang diperoleh kemudian berusaha menyajikan
dan menggambarkan data agar pembaca dapat
memahami dengan baik dan jelas keadaan yang sebenarnya Pada bab pembahasan, sub-
sub bab dibagi dalam : a. Kebakaran Hutan di Riau pada tahun 2006 Pada sub bab ini
dibahas mengenai sebab kebakaran hutan dan kerugian-kerugian yang ditimbulkannya
b. Peraturan Berkaitan dengan Kebakaran Hutan Pada sub bab ini dibahas menegenai
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebakaran hutan. Interpretasi sistematis
dan gramatikal digunakan untuk mengetahui hierarki perundangundangan dan peraturan
mengenai kebakaran hutan. Pada sub bab ini juga dapat disimpulkan siapa yang
bertanggungjawab atas kebakaran hutan.
c. Penanganan Kebakaran Hutan di Riau Pada sub bab ini dibicarakan langkah-langkah
pencegahan, pemantauan, dan penanggulangan kebakaran hutan d. Kebakaran Hutan di
Riau sebagai Bencana Alam Pada sub bab ini akan dibicarakan penggolongankebakaran
hutan di Riau sebagai bencana alam e. Transboundary Haze Pollution akibat
kebakaran hutan Pada sub bab ini dibahas mengenai akibat kebakaran hutan yang
berdampak secara internasional yakni kabut asap. f. Peraturan yang Berkaitan
dengan Transboundary Haze Pollution Pada sub bab ini hampir sama dengan sub bab b,
namun kali ini yang lebih ditinjau adalah hukum internasional g. Penanganan
Transboundary Haze Pollution Pada sub bab ini dibahas mengenai penyelesaian
masalah ini secara internasional baik deri segi politik dan hukum internasional h.
Peraturan yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Negara Pada sub bab ini dibahas
mengenai pertanggungjawaban negara atas kasus ini, ditinjau dari segi hukum
nasional dan internasional i. Yurisprudensi berkaitan Transboundary Pollution
Pada
sub
bab
ini
dipaparkan
mengenai
kasus-kasus
Prinsip bahwa setiap negara berdaulat diakui dan dilindungi oleh hukum
internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat
internasional harus mengakui dan menghormati hal tersebut. Namun kedaulatan yang
dimiliki oleh negara itu bukan tak terbatas. Maksudnya adalah bahwa di dalam
kedaulatan itu, terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak
tatahukum
internasional,
ketentuan
berkenaan
dengan masalah pertanggungjawaban negara ini memang belum ada yang pasti.
International Law Commision (ILC), salah satu organ PBB yang bertugas untuk
melakukan perumusan dan pembahasan ketentuan dan hukum internasional sampai saat
ini masih berusaha merumuskan dan membahas draft tentang
ketentuan tanggung jawab negara. Meskipun hasil kerjanya masih dalam bentuk draft,
tetapi aktivitas ILC dalam mempersiapkan dan melakukan perkembangan hukum
internasional khususnya
mengenai tanggung jawab negara yang dilakukan oleh para ahli hukum terkemuka yang
mewakili kebudayaan-kebudayaan
terpenting di dunia yang mempunyai nilai tinggi yang tergabung di dalam Panitia
Hukum Internasional (ILC), dapat digunakan
sebagai sumber tambahan hukum internasional. Jika ketentuan ini dipakai dalam
praktek kenegaraan maka akan menjadi hukum kebiasaan internasional. Sampai saat
ini walaupun belum ada ketentuan yang mapan, tanggung jawab negara tetap merupakan
suatu prinsip
fundamental dalam hukum internasional. Dalam hal ini baru bisa dikemukakan
mengenai syarat-syarat atau karakteristik tanggung jawab negara, seperti
dikemukakan oleh Shaw yang dikutip oleh Huala Adolf19 sebagai berikut :
19 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Radja Grafindo
Persada, ed. 1, cet. 2., Jakarta, 1996, h. 174
1. Ada suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara
tersebut; 2. Ada suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar
kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; dan
3. Ada kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya
menangani sengketa yang berkaitan dengan tanggung jawab negara. Misalnya dalam
kasus the Spanish Zone of Morocco Claims. Hakim Huber dalam kasus ini menegaskan
bahwa
tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari adanya suatu hak. Hak-hak yang
bersifat internasional tersangkut di dalamnya tanggung jawab internasional.
Tanggung jawab ini melahirkan kewajiban untuk mengganti kerugian manakala suatu
negara tidak memenuhi kewajibannya.20 Dalam Draft Articles on State Responsibility
yang diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (ILC), pada Article 1 ditegaskan
bahwa setiap tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan
tanggung jawab bagi negara tersebut. Sedangkan pada Article 2 ditegaskan bahwa
negara merupakan subyek yang dimungkinkan melakukan tindakan tidak sah secara
20 Huala Adolf, ibid., hlm. 174-175
internasional.
Perbuatan
yang
sah
secara
internasional
seperti telah dikemukakan di atas berkaitan dengan prinsip kedaulatan negara dan
prinsip hormat-menghormati negara lain.
21 The Universal Declaration of Human Rights : A Guide for Journalist. Terjemahan
: Hendriati Trianita, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia : Panduan bagi
Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), cet. 2, Jakarta, 2000, h. 36
Menurut Daud Silalahi konsep state responsibility-liability dalam kerangka hukum
lingkungan internasional mengacu pada
pembahasan the principle of sovereignity dan the freedom of the high seas.22
Prinsip ini sangat berguna dalam menyelesaikan sengketa lingkungan lintas
internasional batas yakni dalam hal terjadi yang
pencemaran
(transboundary
pollution)
menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah negara lain, misal dalam kasus Trail
Smelter. Tanggung jawab negara terhadap akibat-akibat dari
tindakannya terhadap negara lain dan hak-hak negara terhadap lingkungan ditegaskan
pula dalam Konferensi PBB tentang
tidak
mencemari
wilayah
negara
lain.
Sedangkan
pengawasan suatu negara. Hal serupa dikemukakan Komar Kantaatmadja, yakni bahwa
perbuatan yang menyebabkan
(dasar) negara ini, misalnya saja dilakukan pada tahun 1916 oleh American
Institute of International Law (AIIL), sebuah organisasi internasional
beranggotakan negara-negara di benua Amerika, yang berhasil memutuskan
“Declarations of the Rights and Duties of Nations” Upaya ini disusul dengan sebuah
kajian yang berjudul “Fundamental Rights and Duties of American Republics”; dan
dirampungkannya Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang hak dan kewajiban negara-
negara oleh negara-negara Amerika Latin.25 Upaya penting lainnya adalah
dikeluarkannya draft
Deklarasi tentang hak dan kewajiban negara-negara yang disusun oleh komisi hukum
internasional PBB pada tahun 1949. Draft
24 Komar Kantaatmadja,1982, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Alumni, Bandung , h,
51 25 Huala Adolf,2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali
Press, hlm. 38
deklarasi hukum internasional ini semula dibuat agar dapat disahkan oleh Majelis
Umum PBB. Tetapi kenyataan kemudian, Majelis Umum tidak pernah mengesahkannya.26
Adapun prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban negara seperti termuat dalam
rancangan Deklarasi dapat digunakan sebagai pedoman untuk saat ini. Adapun hak-hak
dan kewajiban tersebut adalah :
α. 1. 2.
Hak-hak negara : Hak atas kemerdekaan (Pasal 1) Hak untuk melaksanakan jurisdiksi
terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya (Pasal 2)
3.
Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negara-negara lain (Pasal
5);
4.
Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12).
β. 1.
Kewajiban untuk tidak menggerakkkan pergolakan sipil di negara lain (Pasal 4);
3.
26 Idem
(Pasal 6);
4.
Kewajiban
untuk
menjaga
wilayahnya
agar
tidak
6.
Kewajiban
untuk
tidak
menggunakan
kekuatan
atau
8.
9.
10.
Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negaranegara lain sesuai dengan hukum
internasional (Pasal 14).27 Doktrin persamaan kedudukan negara-negara ini dapat
khusus
PBB
tentang
prinsip-prinsip
hukum
Internasional tentang hubungan baik dan kerjasama antar negara (the United Nations
Special Committee on Principles
27 idem
of International Law concerning Peaceful Relation and Cooperation among States)
berhasil mencapai konsensus tentang persamaan kedudukan negara-negara tahun 1964.
Konsensus tersebut menetapkan sebagai berikut : All states enjoy sovereign
quality. As subjects of international law they have equal rights and duties.
α. β. χ.
States are judicially equal Each State enjoys the rights inherent in full
sovereignty Each State has the duty to respect the personality of other states;
δ.
The territorial integrity and political independence of the State are inviolable
ε.
Each State has the right freely to choose and develop its political, social,
economic and cultural systems
φ.
Each state has the duty to comply fully and in good faith with its international
obligations, and to live in peace with other states Negara sebagai subyek hukum
internasional adalah pihak
yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak
dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional itu mencakup hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional
material dan hukum internasional formal.28
28 F. Sugeng Istanto, op.cit.,,h. 16
Adapun
pandangan
lain
dinyatakan
oleh
Kelsen
yang
menyatakan bahwa individu merupakan subyek hukum yang sesungguhnya merupakan dari
hukum dari internasional, hukum karena nasional individu maupun
subyek
segala
internasional. Hal ini bertitik tolak dari anggapan bahwa negara dijalankan dan
dibentuk oleh sekumpulan individu yang terikat hukum. Namun pandangan di atas
tidak bisa diberlakukan begitu saja mengingat pengaturan hukum internasional sudah
mengatur mengenai hak dan kewajiban negara. Tanggung jawab secara harafiah dapat
diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa
boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi
menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain.29 Menurut Sugeng
Istanto, pertanggungjawaban berarti
kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang
terjadi dan kewajiban untuk memberikan
kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara itu tidak tak terbatas. Artinya dalam
melaksanakan hak berdaulat itu terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak
menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Suatu negara dapat dimintai
pertanggungjawaban untuk tindakantindakannya yang melawan hukum akibat kelalaian-
kelalaiannya. Latar belakang timbulnya tanggung jawab di dalam hukum internasional
adalah bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat menikmati hak-haknya
tanpa menghormati hak negara lain. Setiap perbuatan atau kelalaian terhadap hak
negara lain,
30 F Sugeng Istanto,op.cit., hlm. 77 31 Joseph P Harris – Consulting editor,1935,
Introduction to the Law of Nations, McGraw Hill Series Inc., Political science,
New York-Toronto-London, hlm.133
menyebabkan
negara
tersebut
wajib
untuk
memperbaiki
jawab
perbuatan
melawan
hukum
(delictual
suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayah negaranya atau wilayah negara
lain. Hal ini dapat timbul karena : 1. Eksplorasi ruang angkasa 2. Eksplorasi
nuklir 3. Kegiatan Lintas Batas Nasional b. Tanggung jawab atas pelanggaran
perjanjian Pertanggungjawaban negara timbul karena suatu negara
melanggar perjanjian internasional (treaty) yang dibuat dengan negara lain yang
mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya. Menurut Sharon Williams, ada empat
kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara
yaitu :34 1. Subjective fault criteria 2. Objective fault criteria 3. Strict
Liability 4. Absolute Liability Subjective fault criteria menentukan arti
pentingnya
pertanggungjawaban
strict
liability
membebani
negara
dengan
mengakibatkan
kerugian
negara
meskipun
berbagai persyaratan pencegahan pencemaran telah diterapkan. Dalam konsep ini acts
of God, tindakan pihak ketiga atau forcé majeure dapat digunakan sebagai alasan
pemaaf (exculpate). Menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang
dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini terdapat
total pertanggungjawaban walaupun segala standar telah dipenuhi.35 Pengertian
sumber hukum dalam hukum internasional ada dua yakni sumber hukum formal dan
sumber hukum material. Sumber hukum formal adalah proses atau prosedur yang
internasional
Sedangkan
sumber
hukum
recommendations,
program
action
declaration
perbuatan/tindakan
diganggu oleh negara lain. Hal ini patut berlaku pada saat terjadi aktivitas dalam
negara yang menggangu negara lain. Ada juga prinsip lain yakni preservation and
the protection of environment yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan perlu
diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan bagi kondisi yang baik di
masa depan. Kemudian prinsip preventif yang menekankan tindakan pencegahan bagi
kerusakan lingkungan. Selanjutnya pelanggaraan prinsip-prinsip ini akan membawa
kepada
Pendekatan yang sama ini bisa juga dilihat dalam artikel 2(1) dari Konvensi ECE
tentang Pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus
mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi dampak pencemaran lintas batas.
Pada
mempunyai kemungkinan untuk menjadi besar (the harm which may result from it is
likely to be great) 3. Risiko tidak dapat dihilangkan meskipun kehati-hatian yang
layak sudah diterapkan (the risk cannot be eliminated by the exercise of
reasonable care)
45 M Ramdan Andri GW., Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban (“Liability
Theories”), Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan ISSN 0854-
7378 Tahun V No. I/1999, h. 5
4. Kegiatan itu tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim (the activity is not a
matter of common usage) 5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat dimana kegiatan
itu dilakukan (the activity is inappropriate to the place where it is carried on)
6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (the value of activity to
the community) Berdasarkan prinsip pencemar membayar (the polluter must pay) dan
asas strict liability dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang disebut
shifting or alleviating the burden of proofs.46 Penerapan asas strict liability
dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan :47 1. Strict liability with
contributory negligence defense, yakni strict liability diterapkan kepada tergugat
sepanjang pihak korban tidak mempunyai andil kesalahan atas timbulnya kerugian,
dibuktikan; 2. Negligence with contributory negligence defense, yakni tergugat
bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul karena kesalahannya, beban pembuktian
ada pada tangan penggugat; 3. Comparative negligence, yakni ganti kerugian akan
kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu
menyediakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan :48 1. Tipe bahaya yang dihasilkan
oleh kegiatan tertentu 2. Kemungkinan terjadinya kerugian dari suatu kegiatan dan
kemungkinan meluasnya kerugian 3. Insentif yang akan akan disediakan oleh strict
liability berupa pengelolaan risiko dan pencegahan kerugian yang lebih baik; 4.
Kemungkinan pelaksanaan dan biaya-biaya pemulihan
kerugian yang diperkirakan akan terjadi 5. Beban keuangan yang harus ditanggung
oleh sektor-sektor ekonomi yang terlibat, yang ditetapkan berdasarkan strict
liability, dan 6. Kebutuhan akan tersedianya asuransi. Kalau ditelaah butir-butir
prinsip yang ditelurkan oleh konferensi internasional mengenai lingkungan
Stockholm 1972 itu, terlihat penuh dengan kompromi antara negara-negara maju dan
berkembang, inilah salah satu faktor menurut penulis, justru mengurangi kepastian
dan mengikatnya ketentuan internasional mengenai lingkungan ini. Ditambah dengan
kenyataan, bahwa
48 Ibid., h. 6
dalam prinsip-prinsip itu diakui hak berdaulat setiap negara untuk mengelola
sumber-sumber alam dan lingkungannya sendiri sesuai dengan ”sistem nilai-nilai
yang berlaku di tiap negara” (Prinsip XXIII), makin menjadi kabur ketentuan
internasional ini. Kunci keberhasilan hukum lingkungan internasional ini terletak
pada ”pengaturan kerja sama multilateral dan bilateral antara negara-negara” untuk
pengawasan efektif, pencegahan, pengurangan dan peniadaan dampak yang merusak
lingkungan (Prinsip XXIV). Kelihatannya Eropa Barat cukup berhasil dalam
menciptakan pengaturan kerja sama regional seperti dimaksud ini, sehingga dapat
dikatakan menjadi pencetus lahirnya European Environmental Law. Kerja sama
antarnegara Eropa Barat tersebut kelihatan dalam praktik efektifnya, misalnya jika
dilihat penyelesaiaannya kasus Seveso di Italia yang pusat perusahaan yang
mencemar itu ada di Swiss. Baik penyelesaian ganti kerugian (perdata) yang telah
disebut sebelumnya, maupun penyelesaian hukum
pidananya. Para pelaku atau yang dipandang bertanggung jawab atas kelalaian
terlambat melapor kepada pemerintah tentang terjadinya kebocoran zat kimia yang
berbahaya ke atmosfer telah dijatuhi pidana penjara dari dua setengah sampai lima
tahun. Empat terdakwa dibebaskan di pengadilan banding sedangkan seorang pidananya
ditunda. Karena kejadian di wilayah Italia dan
pembuat melakukan delik juga di Italia, dengan sendirinya hakim Italia berwenang
mengadili dan hukum (pidana) juga dilakukan, karena semua terdakwa berada di
Italia. Diplomasi hutan mempunyai nilai strategis bagi
penyelamatan dunia dari perubahan iklim yang mengerikan. Hutan diyakini sebagai
penhasil seperempat dari total emisi gas efek rumah kaca global akibat
penggundulan hutan, kebakaran hutan, illegal logging, dan bencana hutan lainnya.
Namun pada waktu bersamaan, hutan juga menjadi paru-paru dunia guna menyerap emisi
gas rumah kaca, yang justru 75% di antaranya dihasilkan oleh negara-negara
industri maju. Di sini posisi hutan tropis menjadi penting, karena 80% dari
seluruh hutan dunia berada di wilayah tropis. Yakni, daerah yang berada di belahan
dunia antara 10 derajat Lintang Utara dan 10 derajat Lintang Selatan. Sehingga
beres atau tidaknya kondisi hutan tropis sangat menentukan kadar emisi gas rumah
kaca. Luas hutan tropis Indonesia sendiri mencapai sekitar 10% dari total hutan
tropis.49 Hutan tropis menjadi andalan bumi dalam penyerapan karbon, karena
potensinya yang cepat bisa mengabsorbsi gas asam arang tersebut dalam jumlah
besar. Sinar matahari dan air yang melimpah sepanjang tahun adalah potensi yang
amat besar
49 Hidayat Gunadi, Bernadetta Febriana, 2007, “Diplomasi Hutan dan Laut”, GATRA
No. 02 Thn. XIV, hlm 116
bagi proses fotosintesis. Belum lagi keragaman hayatinya, yang menyediakan jenis-
jenis pepohonan yang cepat tumbuh.
Rully
Syumanda,
Direktur
Eksekutif
Walhi
Riau,
berpendapat, bila ditarik ke belakang, pada dasarnya bencana kebakaran hutan dan
lahan merupakan sebuah pengulangan dari bencana yang sama beberapa tahun yang
lalu. Sebuah gejala dari memburuknya kesehatan hutan alam Riau akibat eksploitasi
hutan secara massif sejak 1980-an. Setelah ratusan ribu hektare hutan
dilepaskan
kepada
pengusaha
HPH,
Pemerintah
kemudian
melakukan politik konversi dengan memberikan peluang yang besar kepada pengusaha
sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Pemerintah juga memberikan insentif bagi
IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) kepada pengusaha perkebunan dan Dana Reboisasi kepada
pengusaha HTI. Pada saat yang bersamaan, akhir tahun 90-an kebutuhan dunia akan
CPO (minyak sawit) semakin meningkat. Ditambah ambisi dua industri pulp dan paper
menjadi eksportir kertas terbesar dunia plus keinginan Pemerintah Daerah untuk
memperluas perkebunan sawit menjadi 1,02 juta hektar dari 2,5 juta yang
ditargetkan, terjadilah simbiosi mutualisme antara pengusaha yang pada akhirnya
merusak tutupan hutan alam Riau menjadi hanya tersisa 785 ribu hektare pada April
2003. Demikianlah, didasarkan pada kebutuhan dunia, kebijakan pemerintah, dan
kebutuhan biaya pengusaha untuk memperoleh lahan (land
keuntungan dengan
murah,
pembersihan
clearing) dengan pembakaran pun dipraktekkan. Inilah kesalahan dari sebuah model
pengelolaan hutan yang salah. Pada dasarnya, praktek pembakaran lahan merupakan
salah satu cara yang digunakan oleh Perkebunan Besar di Riau untuk menaikkan pH
tanah, di samping pertimbangan biaya murah.
Dengan pembakaran pH tanah, bisa dinaikkan menjadi antara 5-6, sehingga cocok
untuk tanaman tahunan seperti sawit. Contoh kasus, misalnya pembakaran yang
dilakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry, di mana perusahaan bersangkutan
akhirnya didenda Rp. 100 juta ditambah kurungan badan 2 tahun bagi pimpinan
perusahaan bersangkutan. Sayangnya, menurut Walhi Riau, praktek land clearing
dengan biaya murah ini tidak mempertimbangkan kerugian yang tercipta, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 2003 saja, Walhi Riau mencatat hanya
dalam waktu sepuluh hari (2-12 Juni 2003) ada lebih dari 2.400 titik api tersebar
di 57 perusahaan perkebunan dan HTI dengan luasan lebih dari 50 ribu hektar. Total
kerugian langsung mencapai Rp. 19 milyar lebih. Itu pun tanpa memasukkan variabel
transportasi, perdagangan,
perubahan iklim global, kerugian tidak langsung akibat hilangnya habitat satwa dan
erosi berbagai bibit benih tumbuhan, dan fauna di lantai hutan, mempercepat
penghilangan biomassa lantai hutan,
mempercepat proses pencucian hara tanah, terjadinya banjir di daerah yang hutan
gambutnya terbakar, dan polusi udara dan air. Kebakaran hutan juga berdampak pada
kesuburan tanah. Sifat fisika tanah juga berubah dengan rusaknya struktur tanah
sehingga menurunkan infiltrasi dan perkolasi tanah. Hilangya tumbuhan juga membuat
tanah menjadi terbuka sehingga energi pukulan air hujan tidak lagi tertahan oleh
tajuk pepohonan. Pada fisik kimia tanah, juga terjadi peningkatan keasaman tanah
dan air sungai. Tangketasik (1987) menunjukkan terjadinya penurunan sifat-sifat
retensi kelembaban serta kapasitas kation pada tanah yang memiliki kebakaran.
Untuk sifat fisik biologi tanah,
Walaupun fakta di atas menyebutkan kawasan hutan alami di Riau sudah banyak yang
rusak, tetapi secara historis kebakaran hutan di Riau dapat dilihat kembali dari
tiga faktor utama penyebab. Pertama, dari kemampuan hutan alam Riau dalam
menyediakan bahan baku bagi industri kayu yang ada. Dengan kebutuhan 14,7 juta
meter³ pertahun, industri kayu di Riau memaksa hutan alam dan hutan industri
menyuplai kayu jauh di atas kemampuannya, yang secara lestari hanya mampu
menyediakan 7,7 juta meter kubik³ pertahun. Kedua, besarnya peluang yang diberikan
pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi hutan menjadi perkebunan
monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit maupun kebun kayu (HTI).
Ketiga, laju konversi yang dianggap menjadi penyebab maraknya kebakaran hutan
dengan pelaksanaan praktek buka lahan dengan
membakar.51 Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah yang
berulang. Kebakaran hutan itu mengusik ekosistem bumi dari dua segi. Material kayu
dan serasah yang terbakar itu
menghasilkan gas-gas rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global. Sedangkan asap
hitamnya menggangu secara langsung kehidupan manusia.52 Banyak faktor yang
menyebabkan hal ini berulang terus, salah satunya adalah pengelolaan hutan yang
tidak sesuai dengan peruntukannya dan metode pembukaan lahan yang salah. Konversi
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah salah satu contoh nyata. Menurut
laporan Global Forest
Resources Assesment 2005 Indonesia adalah salah satu negara dengan luas hutan
terbesar di dunia. Luas hutan Indonesia adalah 48,8% dari luas daratannya
sendiri.53 Bisa disimpulkan kalau Indonesia adalah salah satu penyumbang terbesar
bagi dunia untuk memerangi efek gas rumah kaca. Di lain sisi, kebakaran hutan di
Indonesia adalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca dalam negeri dibanding
emisi dari kegiatan industri,
penyumbang emisi CO2 terbesar dunia. Padahal sebagian besar dari emisi tersebut
dapat dihindari dengan penerapan Sustainable Forest Management dan pengelolaan
hutan secara
bertanggungjawab.
B. Peraturan berkaitan dengan Kebakaran Hutan Dalam kasus kebakaran hutan dapat
ditarik hierarki
bertanggungjawab atas sumber daya alam. Pasal ini secara interpretasi sistematis
melahirkan pasal 25 dan 27 UU no. 23
tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal-pasal ini menekankan kepad
tanggung jawab pemerintah untuk mengawasi pengelolaan hutan. Pasal 41 dan 42 UU
no. 23 tahun 1997 menegaskan bahwa ada sanksi pidana bagi pencemaran
lingkungan hidup. Pasal UU no. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga menegaskan
bahwa setiap orang dilarang membakara hutan. Tindakan pencegahan tercantum dalam
pasal 12 PP no. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran
Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan. Pelaksanaan
otonomi daerah perlu ditelaah karena Pemda
Riau sudah menyusun Tata Ruang Propinsi Riau yang pada pelaksanaannya ternyata
tidak sesuai dengan harapan. Dasar hukumnya adalah UU No. 34 tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah. Terdapat pertentangan antara Tata Ruang Propinsi Riau dan UU
Kehutanan No 41 Tahun 1999 Pasal 18 dan Ayat (1) yang
menyebutkan,
Pemerintah
menetapkan
mempertahankan
kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran
sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan
manfaat ekonomi masyarakat setempat. Ayat (2), Luas kawasan hutan yang harus
dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas daerah
aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang
proporsional. Sebagai pembanding terhadap UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 Pasal 18
Ayat (1) wilayah daratan Riau telah terbagi-bagi menjadi: Tabel 1 No 1 2 3 Jenis
HPH HTI Kebun TOTAL Luas Tanah 3.481.868 ha 1.621.693 ha 1.316.762 ha 6.420.323 ha
Sumber : Data Potensi Sumberdaya Hutan dan kebun Propinsi Riau 1999 dan 2000 milik
Dephutbun
Dengan jumlah luas keseluruhan Propinsi Riau (dalam hektare) mencapai 9.456.000
ha, maka lahan tersisa di Riau hanya tinggal 3.035.837 ha. Bila luasan tersebut
kemudian dipotong dengan luas Kotamadya, Kota Kabupaten, Kota Kecamatan, dan desa-
desa yang ada maupun areal untuk peruntukan lain, seperti ladang dan lahan
perkebunan masyarakat, bisa jadi luas tersisa hanya mencapai 1,5 juta ha. Cukup
jauh dari nilai 30% yang seharusnya tersisa untuk kawasan hutan alami yang harus
dipertahankan, sebagaimana termaktub dalam undang-undang
yang telah disebutkan di atas.54 Pembahasan berikutnya adalah kewenangan
Pemerintah Daerah Riau dalam menangani kebakaran hutan di daerahnya. Menurut pasal
13 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004 maka dikatakan bahwa Pemerintah Daerah
bertanggungjawab dalam hal
pengendalian lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 155 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004
dinyatakan bahwa sumber keuangan yang menjadi kewenangan daerah didanai oleh
Pemerintahan Daerah. Jika dikaitkan dengan penanggulangan kebakaran hutan di Riau
maka dapat dikatakan ini termasuk kewenangan Pemda Riau terutama dalam hal
pembiayaan. Kewenangan ini berbentuk pemberian hak pengelolaan hutan (HPH) kepada
pihak-pihak lain. Pasal 160 ayat 3 mengatakan kalau ini termasuk pemasukan dari
Dana Bagi Hasil. Ketimpangan akan terlihat saat Pasal 162 ayat (1) mengatakan Dana
Alokasi Khusus dari APBN akan diberikan untuk masalah yang berskala nasional.
Masalah kebakaran hutan di Riau telah melewati batas negara dan menjadi masalah
internasional. Sehingga dapat disimpulkan kalau pemerintah pusat harus terlibat
dalam masalah kebakaran hutan di Riau baik secara moril maupun materiil. Kebakaran
hutan ini sebenarnya di dalam negeri sendiri sudah ada yang diselesaikan lewat
jalur pengadilan karena ada gugatan yang diajukan terhadap perusahaan. Contoh dari
pembukaan lahan tanpa bakar, seperti diatur dalam pasal 29 A dan 29 B Malaysian
Environment Quality Act 1974 (diamandemen
tahun 1998). Undang-undang ini, secara tegas, mengancam pelaku pembakaran hutan,
baik pemilik maupun penggarap, dengan hukuman 5 tahun penjara atau denda 500.000
ringgit.
dengan
data
citra
inderaja,
seperti
NOAA-
AVHHRR/NDVI Landsat TM dan ERS-2-SAR sebagai data lanjutan. Sensor yang terdapat
pada satelit tersebut, memberikan informasi yang sangat berguna untuk manajemen
kebakaran, seperti deteksi kebakaran harian, pemetaan daerah yang terbakar,
perbedaan vegetasi, dan bahan bakar api. Selanjutnya, dikeluarkannya menghentikan
yang konversi secara lahan sebelum mampu
peraturan
menyeluruh,
menjamin dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta melarang dengan
tegas metode bakar dalam melakukan land clearing dan sesegera mungkin menyusun
Pedoman Pembukaan Lahan tanpa Bakar yang sifatnya tegas, jelas, dan mudah
dipahami, secara awam. Kemudian, mencabut seluruh izin usaha bagi
perusahaanperusahaan yang terbukti menggunakan metode bakar dalam proses land
clearing dan memberlakukan hukuman bagi pelanggar hukum secara proporsional,
dengan melakukan pertimbangan terhadap sejumlah kerugian dan dampak yang
ditimbulkannya. Terakhir dengan memberlakukan insentif ekonomi sebagai rangsangan
kepada perusahaan yang melakukan land clearing tanpa metode bakar, dengan secepat
mungkin menyusun sebuah rancangan undang-undang tentang pencegahan, pemantauan,
dan
penanggulangan kebakaran hutan, baik yang berdiri sendiri maupun yang tercantum
dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 1999. 2. Aspek Pemantauan Dengan adanya sistem
peringatan dini, semua daerah yang berpotensi besar dalam kebakaran hutan dan
lahan bisa
kebakaran hutan dan lahan di areal HPH, HTI atau perkebunan skala besar sepenuhnya
menjadi tanggung jawab masing-masing pihak pemilik konsesi lahan. Sedangkan, untuk
penanganan kebakaran di tingkat propinsi menjadi tanggung jawab Pusat Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdakarhutla) daerah
yang melibatkan instansi terkait. Untuk itu perlu ada koordinasi antar instansi
terkait agar penegakan hukum bagi pembakaran hutan tidak menjadi
lahan,
sampai
dengan
tingkat
daerah.
Serta
perlunya
pengembangan mobilisasi potensi sumber daya, baik personil regu pemadam kebakaran
maupun sarana dan prasarana. Mewajibkan setiap perusahaan untuk membangun sumur
artesis dan peralatan pemadam kebakaran di lahan konsesi yang dianggap potensial
terjadi kebakaran dengan menyertakan aspek pemeliharaan bersama masyarakat (bila
ada dan berdekatan). Mempersiapkan dan meyempurnakan pedoman teknis
D. Kebakaran Hutan di Riau sebagai Bencana Alam Kebakaran hutan di Riau tergolong
multi dimensi dan kompleks dampaknya oleh karena itu dapat dikategorikan sebagai
bencana alam. Salah satu indikator kebakaran hutan Riau sebagai bencana
internasional adalah bentuknya yang dapat digolongkan sebagai transboundary
environmental degradation. Penurunan kualitas lingkungan tidak hanya dirasakan di
Indonesia tetapi juga
terjadi di Singapura dan Malaysia. Bencana secara internasional sendiri dapat
didefinisikan sebagai sebuah kejadian yang secara fisik merugikan, fenomena atau
aktivitas manusia yang bisa menghilangkan nyawa, kerusakan prasarana, gangguan
ekonomi dan sosial dan degradasi
lingkungan. Bencana dapat mencakup ancaman yang akan datang dan penyebabnya pun
berbeda : alami (geologis, hidrometeorologi, dan biologis) atau disebabkan oleh
ulah manusia (degradasi lingkungan dan bencana teknologi.56 Sementara itu, saat
ini sudah ada pemahaman yang jelas bahwa Sasaran-Sasaran Pembangunan Milenium
sebelum
bencana
terjadi.
Konteks
ini
telah
mempengaruhi hasil dokumen WCDR: Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015: Membangun
Ketahanan Bangsa dan
Komunitas terhadap Bencana (Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the
Resilience of Nations and
bekerja keras untuk mengatasi masalah ini mengingat statusnya sebagai bencana
internasional.
E.
TRANSBOUNDARY
HAZE
POLLUTION
AKIBAT
KEBAKARAN HUTAN Polusi kabut asap adalah asap dari kebakaran hutan atau lahan yang
menghasilkan efek berbahaya bagi kesehatan manusia, makhluk hidup lainya,
ekosistem, instalasi umum, dan
Jenis kerugian yang dialami oleh Malaysia dan Singapura dapat digolongkan kerugian
secara tidak langsung. Kabut asap yang memasuki wilayah kedua negara tersebut
dapat dibilang tidak
58 idem
mengancam
jiwa
penduduk
Malaysia
dan
Singapura.
Kerugian besar justru disebabkan oleh produktivitas penduduk yang menjadi
berkurang, yang secara garis besar dapat dihitung berupa materiil. Hal ini
berdampak pada pemasukan kedua negara tersebut. Kabut asap membuat wisatawan luar
negeri enggan bepergian kepada kedua negara tersebut jika ada kabut asap.
Pembatalan terhadap tiket penerbangan dan hotel lumrah terjadi saat ada kabut
asap. Hal ini dikarenakan faktor keselamatan penerbangan yang banyak terganggu
oleh kabut asap.
Produktivitas dalam negeri menurun karena karyawan dan anakanak sekolah dihimbau
untuk tidak banyak melakukan aktivitas di luar. Penyebab penyakit pernafasan pada
kedua negara tersebut sebagaian besar disinyalir oleh kabut asap yang menerpa pada
beberapa bulan di tahun 2006. Kerugian yang ditaksir secara materiil mencapai
jutaan dollar. Seorang ahli ekonomi dari Nanyang Technological University
Singapura, misalnya,
memperkirakan kerugian Singapura akibat asap kita dalam satu bulan terakhir telah
mencapai hampir Rp500 miliar.59 Walaupun begitu kerugian secara langsung juga
dialami oleh Malaysia dan Singapura dimana kualitas udara menurun. Hal ini diukur
diplomasi
Ada
kalanya
sengketa
hubungan luar negeri antara satu negara dengan negara lainnya. Pada kenyataanya
politik luar negeri banyak dipengaruhi oleh intrik-intrik yang disebabkan oleh
tujuan masing-masing negara yang berbeda. Obyek politik luar negeri sendiri luas
menyangkut perjanjian-perjanjian internasional. Adapun subyek-subyek
pelakunya luas mencakup kepala negara hingga warga negaranya. Dalam menjalankan
politik luar negerinya, setiap negara memiliki gayanya masing-masing, yang tentu
akan dipengaruhi oleh faktor kebudayaan yang berlaku di masing-masing negara. Oleh
karena itu kajian politik internasional tidak akan lepas dari disiplin ilmu lain
seperti ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Sikap kedua negara atau boleh dibilang
politik luar negeri sedikit berbeda menanggapi masalah ini. Singapura mengambil
sikap netral dengan membantu Indonesia lewat program
ini
kepada
Indonesia.
Jika
melihat
prinsip
permasalahan
sendiri
kepada
pencemaran
lingkungannya. Prinsip yang berlaku dalam kasus ini salah satunya adalah prinsip
cooperation atau kerjasama. Hal ini berlaku dalam negara-negara ASEAN menghadapai
masalah kabut asap. Salah satu yang dibahas dalam AATHP adalah masalah haze fund
yang disediakan negara-negara ASEAN untuk menangani masalah ini. Inti yang dapat
ditarik dari kerjasama ini adalah kata sepakat atau konsensus di antara negara
anggotanya untuk segera
menyelesaikan masalah ini. Berdasarkan Bab IV the Treaty of Amity and Cooperation
in Southeast Asia (TAC), terdapat 3 (tiga) mekanisme atau prosedur penyelesaian
sengketa yang dikenal negara-negara anggota
menghalangi para pihak untuk menempuh cara atau metode penyelsaian sengketa
lainnya yang para pihak sepakati
sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB (Pasal 17 TAC). Dalam
praktik, para pihak yang bersengketa lebih
organisasi
tersirat
sepakat
cara
yang secara
antara Dalam
penyelesaiannya
politis.
pencegahan dan mitigasi kebakaran hutan dan kabut asap. Traktat ini bertujuan
untuk menggerakkan Rencana Kabut Asap 1997 dan Rencana Hanoi yang bermaksud
peratifikasian perjanjian ini akan menguntungkan karena dijamin bantuan dari para
Pihak untuk menyelesaikan masalah kabut asap yang nota bene sebagian berasal dari
negara ini. Saran terhadap
traktat ini sendiri adalah pencantuman klausula formal yang jelas karena secara
teknis belum jelas panduan pelaksanaannya dalam traktat ini. Peratifikasian AATHP
adalah salah satu kunci bagi kasus ini agar memiliki mekanisme secara
internasional. Perjanjian ini sendiri sudah terbentuk pada tahun 1997. Hingga saat
ini hanya Indonesia dan Filipina yang belum meratifikasinya. Bagi Indonesia proses
di DPR yang menghambat proses ratifikasi. Walaupun secara eksplisit dalam pasal 6
UU no. 37 tahun 1999 memang dikatakan untuk perjanjian internasional adalah
wewenang badan legislatif. Walaupun perjanjian ini tergolong soft law, salah satu
alasannya adalah karena tidak ada sanksi yang mengikat bagi para pihak, tetapi
dengan semangat kerjasama yang diusung ASEAN telah berlangsung usaha-usaha untuk
mengatasi masalah ini. Dalam perjanjian ini juga disinggung mengenai Conference of
the Parties. Indonesia dan Filipina walaupun belum meratifikasi AATHP tetapi
mereka diundang kepada setiap konferensi. Political will dibutuhkan Indonesia
untuk meratifikasi AATHP karena akan muncul implikasi-implikasi berikutnya.
Persetujuan ini
dimaksud dengan depositary disini adalah Sekretaris Jenderal ASEAN yang akan
membuat salinan dari instrumen-instrumen tersebut dari setiap negara anggota.
Salah satu implikasi adalah perubahan citra negara
memakan waktu yang lama karena proses yang berlangsung di badan legislatif
Indonesia. Sementara itu, selama proses ini berjalan juga telah ada Memorandum of
Understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia juga antara Indonesia dan
lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah.” Menurut
hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang
bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang
bersumber pada hukum kebiasaan. Contoh kasus yang mirip dengan ini adalah kasus
Trail Smelter. Kasus Trail Smelter
bermula dari kasus pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk
milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada, dekat sungai
Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Mulai tahun 1920
produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandung
sulfur dioksida, menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Pada tahun
1930 jumlah emisi tersebut mencapai lebih dari 300 ton sulfur setiap hari. Emisi
tersebut, karena terbawa angin, bergerak ke arah wilayah AS melalui lembah sungai
Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air dan udara,
kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya. AS kemudian
melakukan klaim terhadap Kanada dan
arbitrase kombinasi
menerapkan dengan
prinsip
kewajiban
mencegah
kerugian
tanggungjawab pencemaran langsung kepada pencemar bukan kepada negara secara tidak
langsung nasional jika bisa memang menjaga tidak dari
mencemari.
Ketiga,
hukum
kemungkinan dari terjadinya polusi lintas batas.64 Oleh karena itu otonomi daerah
dalam kasus kabut asap di Indonesia perlu dilibatkan untuk menerapkan ketiga
alasan di atas. Hal ini juga menjadi alasan kuat mengingat kebakaran hutan terjadi
di daerah Riau dan Riau sendiri sudah memiliki otonomi daerah yang
64 Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, International Law & the Environment, Oxford,
1992, hlm. 190
mengaturnya. Dalam bidang lingkungan hidup, otonomi daerah berarti : a.
Menyesuaikan kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam dengan ekosistem setempat.
b. Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat di dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari c. Tidak
berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan batas ekologi (bioecoregion)
d. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan menghancurkan
daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati daya dukung e. Pelibatan
secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling
berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup. Syarat-syarat agar otonomi berjalan dengan baik : a. Otonomi
adalah perwujudan kedaulatan rakyat b. Otonomi harus menghormati hukum
internasional65 Menurut Pasal 13 UU no. 32 tahun 2004 Pemerintah Daerah diberikan
kewenangan seperti berikut : a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b.
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c.penyelenggaraan masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f.
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g.
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
65 WALHI, Otonomi Daerah : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, hlm.
4
ketertiban
umum
dan
ketentraman
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas
kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan
administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk
lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh
peraturan
I.
Yurisprudensi-yurisprudensi
berkaitan
Transboundary
Pollution Beberapa kasus internasional yang menarik perhatian dan dapat dijadikan
bahan studi perbandingan yang menyangkut hukum perdata lingkungan internasional
khusus perbuatan
melanggar hukum (onrectmatige daad; tort) dan juga hukum publik seperti kasus
bocornya pabrik Union Carbide di Bhopal India. Malapetaka ini menimbulkan banyak
korban jiwa,
perbuatan (locus actus) berada di negara yang satu, tetapi akibat perbuatan yang
menimbulkan kerugian (locus damni) berada di negara lain. Jadi, terjadilah
pencemaran dan perusakan
lingkungan yang transnasional (melampaui batas negara). Pada umumnya ini terjadi
dalam hal pencemaran air sungai yang mengalir di lebih dari satu negara,
pencemaran udara,
pencemaran laut, dan mungkin juga kebakaran hutan seperti antara Serawak dan
Kalimantan Barat, Sabah dan Kalimantan, Timur Swiss dan Austria, dan lain-lain.
Pencemaran sungai Rijn di hulu (Swiss) dapat membawa
akibat berupa kerugian di Jerman atau Belanda atau pembakaran hutan di Serawak
dapat merembet ke wilayah Kalimantan Barat Indonesia. Begitu pula pencemaran Selat
Malaka yang berasal dari daratan Malaysia dapat membawa akibat di perairan Sumatra
Indonesia. Semuanya ini menunjukkan bahwa locus actus berbeda dengan locus damni.
Walaupun locus actus dan locus damni berada di dalam suatu negara, yaitu India
dalam kasus Bhopal, namun pemerintah India atas nama korban sebagai parens patriae
menggugat Union Carbide yang berpusat di Amerika Serikat di pengadilan distrik
federal Southern District, New York. Mungkin dengan
Pemerintah India kepada pengadilan di Bhopal India karena bocornya gas di pabrik
Union Carbide yang menimbulkan
kerugian. Gugatan itu meliputi $ 3 miliar sebagai ganti kerugian. Masalah yang
paling rumit dalam kasus ini adalah masalah hukum eksekusi karena kekayaan Union
Carbide berada di Amerika Serikat.
Jauh sebelum peristiwa Bhopal, yaitu pada tahun 1976 terjadi malapetaka di pabrik
kimia di Seveso Italia. Pada tanggal 10 Juli 1976, suatu ledakan terjadi di pabrik
kepunyaan Givaudan di Mede. Suatu pabrik yang menjadi cabang dari pabrik Hoffman
La Roche di Swiss. Terjadi awan berupa gas trichiorophenol dengan bau obat yang
sangat tajam berisi kira-kira 4 setengah pon subtansi 2, 3, 7, 8 dibenzo-
paradioxine, terkenal dengan nama TCDD atau dioxine. Zat itu masuk ke atmosfir di
sekitar pabrik, kemudian jatuh kebagian 7 kota Italia, tiga daerah yang sangat
parah terkena polusi, yaitu Mede, Seveso, dan Cecano Mardeno. Kerugian yang
diakibatkan oleh kelalaian pengelola pabrik terutama karena terlambat melaporkan
kejadian (ledakan) sangat besar, begitu pula akibatnya terhadap kesehatan manusia.
mengambil
tindakan
melarang
menggembalakan sapi dan supaya sapi diberi rumput, melarang anak-anak minum susu
di beberapa daerah dan memberi mereka
iodine. Di Prancis tingkat radioaktif naik menjadi 400 kali yang tercatat secara
normal. Di Inggris orang dilarang minum air hujan karena tercatat awan radio aktif
di Kent. Begitu pula halnya dengan Finlandia, Italia dan Irlandia. Di Swiss,
nelayan dilarang menangkap ikan di Danau Ugano karena ada radioaktif di situ.
Pemerintah Swiss mengganti kerugian nelayan karena dilarang menangkap ikan.
Meskipun parlemen Eropa mendesak agar menuntut ganti kerugian dari Uni Soviet
tetapi tidak ada kepastian mengenai hal itu. Mungkin karena Uni Soviet masih
berpaham komunis dan perang dingin masih berlangsung, lagi pula Uni Soviet masih
merupakan salah satu negara adidaya pada masa itu. Enam bulan setelah terjadi
malapetaka Chernobyl, yaitu pada tanggal 1 November 1986 terjadi kebakaran zat
kimia yang hebat di pabrik Sandoz, suatu industria multinasional Swiss di Basel.
Pemerintah Swiss menyatakan terjadi 30 ton zat kimia tumpah ke sungai Rijn
termasuk herbicides, pestisida, dan mercury beracun. Akan tetapi, pemerintah
Prancis mengatakan semuanya 1.000 ton. Sandoz melaporkan, bahwa sebagian besar
dari 1.246 ton vahan di dalam gudang tumpah ke Sungai Rijn sewaktu pemadam
kebakaran melakukan pemadaman di pabrik itu, yang terdiri atas
824 ton insecticide, 4 ton obat pelarut, 12 ton komponen organik berisi mercury.
Pencemaran sungai Rijn ini memberi dampak ke Jerman, Prancis, dan Belanda di
samping Swiss sendiri. Segera pemerintah mengundang semua menteri lingkungan dari
negara-negara yang dilalui sungai Rijn, dan mengaku telah mengeluarkan seperempat
juta dólar untuk pengawasan pencemaran. Pemerintah Prancis menyodorkan kepada
pemerintah Swiss tuntutan $ 38 juta sebagai ganti atas kerugian industri, sistem
ekologi, dan kerugian
potensial berupa biaya membangun bendungan dan fasilitas lain sepanjang sungai
Rijn, seperti sistem pompa air. Pemerintah Swiss dan Sandoz beserta CIBA Geigy
menunjukkan perhatian untuk mengganti kerugian, walaupun tidak jelas siapa yang
bertanggungjawab dan berapa yang dituntut. Sebagai tindakan pencegahan pencemaran
oleh industri terhadap sungai Rijn di masa depan, diadakanlah pertemuan menteri
dan mencapai persetujuan pada tanggal 1 Desember 1986 untuk menanggulangi
pencemaran sungai Rijn oleh industri. Perlu pula disebutkan di sini beberapa
kejadian pencemaran laut karena minyak tumpah dari kapal tangki. Yang menyangkut
Indonesia adalah peristiwa kandasnya kapal tangki Showa Maru di Selat Malaka pada
tanggal 6 Januari 1975. Kapal tangki
berbendera Jepang milik perusahaan Taiheyo Kaiun Co. Ltd. Di Tokyo yang berbobot
mati 237.698 metrik ton kandas di sebuah karang yang namanya Buffalo Rock di selat
Singapura wilayah Indonesia. Mahkamah nakhoda kapal pelayaran melakukan menyatakan
antara lain, yang bahwa kurang
tindakan-tindakan
bijaksana seperti : a. Kelalaian untuk memplot posisi kapal secara terus menerus
guna mengetahui apakah kapal itu benar berlayar secara terus menerus guna
mengetahui apakah kapal itu benar berlayar pada trayek yang telah direncanakan
semula, yang sangat perlu di dalam suatu daerah pelayaran yang
berbahaya bagi kapalnya dan yang dipengaruhi oleh arus pasang surut; b. Kelalaian
untuk memeriksa kembali posisi-posisi kapal
dengan misalnya memakai pedoman guna membaring titiktitik baringan yang dapat
dilihat secara visual; c. Kepercayaan untuk selalu mempercayai alat bantú navigasi
radar dengan hanya membaring satu titik baringan saja, sedangkan pada daerah
pelayaran ini terdapat banyak titik baringan yang lebih tepat posisinya seperti
mercusuar Raffles dan St. John; d. Kelalaian untuk tidak menyuruh perwira navigasi
lain yang
juga berada di anjungan, seperti subcaptain dan mualim I supaya mengadakan
baringan ulang; e. Kelalaian untuk tidak memakai alat perum dan sonar doppler
sewaktu mengubah haluan untuk memeriksa
kedalaman air; f. Kelalaian untuk tidak mempelajari sifat-sifat dan periode suar
sebelum dibaring, satu dan lain untuk dapat
membedakan suar-suar satu sama lain. Pada bagian lain konsiderans putusan mahkamah
dikatakan: “Ditinjau dari segi nautik dan teknis dan dihubungkan dengan besarnya
kapal, sempit serta dangkalnya Selat Singapura bagi kapal-kapal raksasa, mahkamah
menilai kejadian tersebut sebagai sesuatu yang sesungguhnya dapat dicegah dan
tidak perlu terjadi, seandainya saran dan anjuran yang diberikan sebelumnya untuk
tidak melayani selat tersebut dengan kapal-kapal itu diindahkan.” Akibat kandasnya
kapal dan tumpahnya minyak ke laut cukup besar seperti dampaknya terhadap : 1.
Pulau-pulau Takong, Pemping, Bulan, Kasu, Ampar, dan lumban besar; 2. Jaring-
jaring ikan terkena minyak di utara Pulau Kelapa Jernih dan Pemping; 3. Minyak
tebal dijumpai di pantai di sebelah utara Pulau Kelapa Jernih; 4. Gumpalan minyak
dijumpai di pantai Pulau Karimun Besar. Lebih jauh ada dampaknya terhadap :
a. Pulau
Pemping,
Pulau
Pelampong,
dan
Pulau
Takong
kelihatannya telah tercemari pula oleh minyak mentah; b. Rumah-rumah dan tiang-
tiang kelihatan terkena minyak; c. Jala-jala nelayan terkena minyak; d. Hutan
bakau tempat bertelur dan bersemai ikan tercemar minyak. Indonesia mengajukan
tuntutan (claim) tanggal 29 Mei 1975 sebagai berikut. 1. Biaya langsung yang
meliputi biaya pengumpulan data kerusakan pencemaran beserta hal-hal bersangkutan
dengan itu, biaya pencegahan dan penangkalan pencemaran serta perluasan pencemaran
di pantai, dan biaya pembersihan tumpukan minyak. 2. Kerugian sosial ekonomis yang
meliputi tiga sektor utama, yaitu sektor produksi, sektor perdagangan, dan sektor
sosial. 3. Kerugian ekologis, yaitu keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk
operasi monitoring dan rehabilitasi wilayah tercemar. Dibuatlah perjanjian antara
pencemar, yaitu The Britania Insurance Company Limited yang mewakili Taiheyo Kaiun
Co. Ltd. Kuasa pemerintahan Republik Indonesia, yaitu Agreement and release
tanggal 21 Desember 1976. Masih ada tumpahan minyak laut yang berasal dari kapal
tangki yang lain yang tercatat secara internasional seperti
kecelakaan tangki Exxon Valders yang merupakan pencemaran tumpahan minyak yang
terbesar dalam sejarah Amerika. Peristiwa ini terjadi bulan Maret 1989 yang
merupakan tumpah minyak di perairan Alaska sebanyak sebelas juta galon. Malapetaka
ini menyebabkan Amerika Serikat tersentak, sehingga kongres
kecelakaan
Valders.
Kebakaran
terjadi
seminggu,
66 Prof. Dr. jur. Andi Hamzah. Penegakan Hukum Lingkungan, hlm. 133
BAB IV PENUTUP
liability
pemberian ganti
merugikan tidak memenuhi standar baku mutu lingkungan, dalam hal ini kualitas
udara. Menurut konsep objective fault criteria dari Sharon Williams maka obyek
pelanggarannya adalah kewajiban internasional. Kewajiban internasional yang
dilanggar adalah kewajiban untuk tidak menimbulkan kerugian di negara lain.
Besarnya ganti rugi ditentukan oleh negara yang dirugikan. Pertanggungjawaban
negara dalam hal ini bisa mucul karena sesuai dengan hukum nasional yang berlaku
dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 1997 dimana hutan
termasuk kekayaan alam yang harus dikelola oleh pemerintah. Dalam hal ini sudah
selayaknya pemerintah melakukan
musibah yang harus ditangani bersama. Dalam hal ini, bantuan patut diberikan
kepada yang mengalami. Pada pelaksanaannya,
Kerjasama internasional yang juga dibentuk lewat F11 diharapkan dapat membantu
dalam mengembangkan kawasan hutan tropis. Keuntungan lewat kerjasama internasional
ini dapat menjadi jalan keluar lain setelah proses perundingan di ASEAN yang
memakan waktu lama. Insentif dapat mendorong untuk melestarikan hutan dan melawan
kebakaran hutan.
usaha-usaha
penangangan
kebakaran
penyelesaian masalah ini mengingat bencana kabut asap dapat digolongkan sebagai
bencana internasional sehingga diharapkan bantuan dari negara-negara maju dapat
Subagyo, Rino, Hukum Lingkungan : Aspek Perdata, 2005, Indonesian Centre For
Environmental Law D Asril, Peranan Walhi Riau Dalam Menjaga Kelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2004, Yogyakarta
Global Forest Resources Assesment 2005 WALHI, Otonomi Daerah : Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup D. Internet Surya, Teguh, Krituk konstruktif
terhadap RTRWP Riau
20002015,2004,http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/040910_rtrwp riau_li/ Syumanda,
Rully., Pembakaran Hutan : Bencana Tahunan Riau,
2003,http://www.walhi.or.id/kampanye/bencana/bakarhutan/pe
mbakar_hut_benc_riau_200603/ Syumanda, Rully., ASAP – Ritual Bencana Tahunan Riau,
http://www.walhi.or.id/ kampanye/bencana/040915_asapriau/
http://www.unescap.org/drpad/vc/orientation/M3anx_asean_int. htm Azmi Sharom,
http://thestar.com.my/columnists/story.asp?file=/2007/7/12/columnists/brave
newworld/18255105&sec=Brave%20New%20World (diakses pada 5-8-
Fire
in
the
Rain
Forest,
Nature
Gatra, Mandat Bali : Selamatkan Bumi, No. 02 Thn. XIV, November 2007 F. Kasus The
1941 Trail Smelter Arbitration. 35 A.J.I.L. 684 (1941)
LAMPIRAN
The Parties to this Agreement, REAFFIRMING the commitment to the aims and purposes
of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) as set forth in the Bangkok
Declaration of 8 August 1967, in particular to promote regional co-operation in
Southeast Asia in the spirit of equality and partnership and thereby contribute
towards peace, progress and prosperity in the region, RECALLING the Kuala Lumpur
Accord on Environment and Development which was adopted by the ASEAN Ministers of
Environment on 19 June 1990 which calls for, inter alia, efforts leading towards
the harmonisation of transboundary pollution prevention and abatement practices,
RECALLING ALSO the adoption of the 1995 ASEAN Co-operation Plan on Transboundary
Pollution, which specifically addressed transboundary atmospheric pollution and
called for, inter alia, establishing procedures and mechanisms for co-operation
among ASEAN Member States in the prevention and mitigation of land and/or forest
fires and haze, DETERMINED to give effect to the 1997 Regional Haze Action Plan
and to the Hanoi Plan of Action which call for fully implementing the 1995 ASEAN
Cooperation Plan on Transboundary Pollution, with particular emphasis on the
Regional Haze Action Plan by the year 2001, RECOGNISING the existence of possible
adverse effects of transboundary haze pollution,
CONCERNED that a rise in the level of emissions of air pollutants within the
region as forecast may increase such adverse effects, RECOGNISING the need to
study the root causes and the implications of the transboundary haze pollution and
the need to seek solutions for the problems identified, AFFIRMING their
willingness to further strengthen international cooperation to develop national
policies for preventing and monitoring transboundary haze pollution, AFFIRMING
ALSO their willingness to co-ordinate national action for preventing and
monitoring transboundary haze pollution through exchange of information,
consultation, research and monitoring, DESIRING to undertake individual and joint
action to assess the origin, causes, nature and extent of land and/or forest fires
and the resulting haze, to prevent and control the sources of such land and/or
forest fires and the resulting haze by applying environmentally sound policies,
practices and technologies and to strengthen national and regional capabilities
and cooperation in assessment, prevention, mitigation and management of land
and/or forest fires and the resulting haze, CONVINCED that an essential means to
achieve such collective action is the conclusion and effective implementation of
an Agreement, Have agreed as follows:
Article 1 Use of Terms For the purposes of this Agreement: 1. “Assisting Party”
means a State, international organisation, any other entity or person that offer
and/or render assistance to a Requesting Party or a Receiving Party in the event
of land and/or forest fires or haze pollution.
2. “Competent authorities” means one or more entities designated and authorised by
each Party to act on its behalf in the implementation of this Agreement. 3.
“Controlled burning” means any fire, combustion or smouldering that occurs in the
open air, which is controlled by national laws, rules, regulations or guidelines
and does not cause fire outbreaks and transboundary haze pollution. 4. “Fire prone
areas” means areas defined by the national authorities as areas where fires are
most likely to occur or have a higher tendency to occur. 5. “Focal point” means an
entity designated and authorised by each Party to receive and transmit
communications and data pursuant to the provisions of this Agreement. 6. “Haze
pollution” means smoke resulting from land and/or forest fire which causes
deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living
resources and ecosystems and material property and impair or interfere with
amenities and other legitimate uses of the environment. 7. “Land and/or forest
fires” means fires such as coal seam fires, peat fires, and plantation fires. 8.
“Member State” means a Member State of the Association of Southeast Asian Nations.
9. “Open burning” means any fire, combustion or smouldering that occurs in the
open air. 10. “Party” means a Member State of ASEAN that has consented to be bound
by this Agreement and for which the Agreement is in force. 11. “Receiving Party”
means a Party that accepts assistance offered by an Assisting Party or Parties in
the event of land and/or forest fires or haze pollution. 12. “Requesting Party”
means a Party that requests from another Party or Parties assistance in the event
of land and/or forest fires or haze pollution. 13. “Transboundary haze pollution”
means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within
the area under the national jurisdiction of one Member State and which is
transported into the area under the jurisdiction of another Member State. 14.
“Zero burning policy” means a policy that prohibits open burning but may allow
some forms of controlled burning. Article 2 Objective The objective of this
Agreement is to prevent and monitor
transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should
be mitigated, through concerted national efforts and intensified regional and
international co-operation. This should be pursued in the overall context of
sustainable development and in accordance with the provisions of this Agreement.
Article 25 Reports
The Parties shall transmit to the Secretariat reports on the measures taken for
the implementation of this Agreement in such form and at such intervals as
determined by the Conference of the Parties.
Article 29 Entry into Force 1. This Agreement shall enter into force on the
sixtieth day after the deposit of the sixth instrument of ratification,
acceptance, approval or accession. 2. For each Member State ratifying, accepting,
approving or acceding to the Agreement after the deposit of the sixth instrument
of ratification, acceptance, approval or accession, the Agreement shall enter into
force on the sixtieth day after the deposit by such Member State of its instrument
of ratification,
acceptance, approval or accession. Article 30 Reservations Unless otherwise
expressly provided by this Agreement no reservations may be made to the Agreement.
Article 31 Depositary This Agreement shall be deposited with the Secretary General
of ASEAN, who shall promptly furnish each Member State a certified copy thereof.
Article 32 Authentic Text This Agreement shall be drawn up in the English
language, and shall be the authentic text.
Done at Kuala Lumpur, Malaysia on the tenth day of June in the year two thousand
and two.
H.E. Mr. Keo Puth Reasmey Ambassador Royal Embassy of the Kingdom of Cambodia in
Malaysia
For the Government of the Republic of Indonesia
Ms. Liana Bratasida Deputy Minister for Environment Conservation State Ministry of
Environment For the Government of Lao People’s Democratic Republic
H.E. Prof. Dr. Bountiem Phissamay Minister to the Prime Minister’s Office Chairman
of Science, Technology and Environment Agency For the Government of Malaysia H.E.
Dato’ Seri Law Hieng Ding Minister of Science, Technology and the Environment For
the Government of the Union of Myanmar
The ASEAN Centre shall: Establish and maintain regular contact with the respective
National Monitoring Centres regarding the data, including those derived from
satellite imagery and meteorological observation, relating to: a. b. c. from Land
and /or forest fire; Environmental conditions conducive to such fires; and Air
quality and levels of pollution, in particular haze arising such fires.
2. Receive from the respective National Monitoring Centres or Focal Points the
data above, consolidate, analyse and process the data into a format that is easily
understandable and accessible. 3. Facilitate co-operation and co-ordination among
the Parties to increase their preparedness for and to respond to land and/or
forest fires or haze pollution arising from such fires. 4. Facilitate co-
ordination among the Parties, other States and relevant organisations in taking
effective measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze
pollution arising from such fires. 5. Establish and maintain a list of experts
from within and outside of the ASEAN region who may be utilised when taking
measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution
arising from such fires, and make the list available to the Parties. 6. Establish
and maintain a list of equipment and technical facilities from within and outside
of the ASEAN which may be made available when taking measures to mitigate the
impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires, and
make the list available to the Parties. 7. Establish and maintain a list of
experts from within and outside of the ASEAN region for the purpose of relevant
training, education and awareness-raising campaigns, and make the list available
to the Parties. 8. Establish and maintain contact with prospective donor
States and organisations for mobilising financial and other resources required for
the prevention and mitigation of land and/or forest fires or haze pollution
arising from such fires and preparedness of the Parties, including fire-fighting
capabilities. 9. Establish and maintain a list of such donors, and make the list
available to the Parties. 10. Respond to a request for or offer of assistance in
the event of land and/or forest fires or haze pollution resulting from such fires
by: a. Transmitting promptly the request for assistance to other States and
organisations; and b. Co-ordinating such assistance, if so requested by the
requesting Party or offered by the assisting Party. 11. Establish and maintain an
information referral system for the exchange of relevant information, expertise,
technology, techniques and know-how, and make it available to the Parties in an
easily accessible format. 12. Compile and disseminate to the Parties information
concerning their experience and any other practical information related to the
implementation of the Agreement. 13. Assist the Parties in the preparation of
standard operating procedures (SOP).
Prevention of Transboundary Harm from Hazardous Activities
2001
Copyright © United Nations 2005
Text adopted by the Commission at its fifty-third session, in 2001, and submitted
to the General Assembly as a part of the Commission’s report covering the work of
that session. The report, which also contains commentaries on the draft articles,
appears in Official Records of the General Assembly, Fifty-sixth Session,
Supplement No. 10 (A/56/10). Prevention of Transboundary Harm from Hazardous
Activities The States Parties, Having in mind Article 13, paragraph 1 (a), of the
Charter of the United Nations, which provides that the General Assembly shall
initiate studies and make recommendations for the purpose of encouraging the
progressive development of international law and its codification, Bearing in mind
the principle of permanent sovereignty of States over the natural resources within
their territory or otherwise under their jurisdiction or control, Bearing also in
mind that the freedom of States to carry on or permit activities in their
territory or otherwise under their jurisdiction or control is not unlimited,
Recalling the Rio Declaration on Environment and Development of 13 June 1992,
Recognizing the importance of promoting international cooperation, Have agreed as
follows: Article 1 Scope The present articles apply to activities not prohibited
by international law which involve a risk of causing significant transboundary
harm through their physical consequences. Article 2 Use of terms For the purposes
of the present articles: (a) “Risk of causing significant transboundary harm”
includes risks taking the form of a high probability of causing significant
transboundary harm and a low probability of causing disastrous transboundary harm;
(b) “Harm” means harm caused to persons, property or the environment; (c)
“Transboundary harm” means harm caused in the territory of or in other places
under the jurisdiction or control of a State other
than the State of origin, whether or not the States concerned share a common
border; (d) “State of origin” means the State in the territory or otherwise under
the jurisdiction or control of which the activities referred to in article 1 are
planned or are carried out; (e) “State likely to be affected” means the State or
States in the territory of which there is the risk of significant transboundary
harm or which have jurisdiction or control over any other place where there is
such a risk; (f) “States concerned” means the State of origin and the State likely
to be affected. Article 3 Prevention The State of origin shall take all
appropriate measures to prevent significant transboundary harm or at any event to
minimize the risk thereof. Article 4 Cooperation States concerned shall cooperate
in good faith and, as necessary, seek the assistance of one or more competent
international organizations in preventing significant transboundary harm or at any
event in minimizing the risk thereof. Article 5 Implementation States concerned
shall take the necessary legislative, administrative or other action, including
the establishment of suitable monitoring mechanisms to implement the provisions of
the present articles. Article 6 Authorization 1. The State of origin shall require
its prior authorization for: (a) Any activity within the scope of the present
articles carried out in its territory or otherwise under its jurisdiction or
control; (b) Any major change in an activity referred to in subparagraph (a); (c)
Any plan to change an activity which may transform it into one falling within the
scope of the present articles. 2. The requirement of authorization established by
a State shall be made applicable in respect of all pre-existing activities within
the scope of the present articles. Authorizations already issued by the State for
pre-existing activities shall be reviewed in order to comply with the present
articles. 3. In case of a failure to conform to the terms of the authorization,
the State of origin shall take such actions as appropriate, including where
necessary terminating the authorization.
Article 7 Assessment of risk Any decision in respect of the authorization of an
activity within the scope of the present articles shall, in particular, be based
on an assessment of the possible transboundary harm caused by that activity,
including any environmental impact assessment. Article 8 Notification and
information 1. If the assessment referred to in article 7 indicates a risk of
causing significant transboundary harm, the State of origin shall provide the
State likely to be affected with timely notification of the risk and the
assessment and shall transmit to it the available technical and all other relevant
information on which the assessment is based. 2. The State of origin shall not
take any decision on authorization of the activity pending the receipt, within a
period not exceeding six months, of the response from the State likely to be
affected. Article 9 Consultations on preventive measures 1. The States concerned
shall enter into consultations, at the request of any of them, with a view to
achieving acceptable solutions regarding measures to be adopted in order to
prevent significant transboundary harm or at any event to minimize the risk
thereof. The States concerned shall agree, at the commencement of such
consultations, on a reasonable time frame for the consultations. 2. The States
concerned shall seek solutions based on an equitable balance of interests in the
light of article 10. 3. If the consultations referred to in paragraph 1 fail to
produce an agreed solution, the State of origin shall nevertheless take into
account the interests of the State likely to be affected in case it decides to
authorize the activity to be pursued, without prejudice to the rights of any State
likely to be affected. Article 10 Factors involved in an equitable balance of
interests In order to achieve an equitable balance of interests as referred to in
paragraph 2 of article 9, the States concerned shall take into account all
relevant factors and circumstances, including: (a) The degree of risk of
significant transboundary harm and of the availability of means of preventing such
harm, or minimizing the risk thereof or repairing the harm; (b) The importance of
the activity, taking into account its overall advantages of a social, economic and
technical character for the State of origin in relation to the potential harm for
the State likely to be affected;
(c) The risk of significant harm to the environment and the availability of means
of preventing such harm, or minimizing the risk thereof or restoring the
environment; (d) The degree to which the State of origin and, as appropriate, the
State likely to be affected are prepared to contribute to the costs of prevention;
(e) The economic viability of the activity in relation to the costs of prevention
and to the possibility of carrying out the activity elsewhere or by other means or
replacing it with an alternative activity; (f) The standards of prevention which
the State likely to be affected applies to the same or comparable activities and
the standards applied in comparable regional or international practice. Article 11
Procedures in the absence of notification 1. If a State has reasonable grounds to
believe that an activity planned or carried out in the State of origin may involve
a risk of causing significant transboundary harm to it, it may request the State
of origin to apply the provision of article 8. The request shall be accompanied by
a documented explanation setting forth its grounds. 2. In the event that the State
of origin nevertheless finds that it is not under an obligation to provide a
notification under article 8, it shall so inform the requesting State within a
reasonable time, providing a documented explanation setting forth the reasons for
such finding. If this finding does not satisfy that State, at its request, the two
States shall promptly enter into consultations in the manner indicated in article
9. 3. During the course of the consultations, the State of origin shall, if so
requested by the other State, arrange to introduce appropriate and feasible
measures to minimize the risk and, where appropriate, to suspend the activity in
question for a reasonable period. Article 12 Exchange of information While the
activity is being carried out, the States concerned shall exchange in a timely
manner all available information concerning that activity relevant to preventing
significant transboundary harm or at any event minimizing the risk thereof. Such
an exchange of information shall continue until such time as the States concerned
consider it appropriate even after the activity is terminated. Article 13
Information to the public States concerned shall, by such means as are
appropriate, provide the public likely to be affected by an activity within the
scope of
the present articles with relevant information relating to that activity, the risk
involved and the harm which might result and ascertain their views. Article 14
National security and industrial secrets Data and information vital to the
national security of the State of origin or to the protection of industrial
secrets or concerning intellectual property may be withheld, but the State of
origin shall cooperate in good faith with the State likely to be affected in
providing as much information as possible under the circumstances. Article 15 Non-
discrimination Unless the States concerned have agreed otherwise for the
protection of the interests of persons, natural or juridical, who may be or are
exposed to the risk of significant transboundary harm as a result of an activity
within the scope of the present articles, a State shall not discriminate on the
basis of nationality or residence or place where the injury might occur, in
granting to such persons, in accordance with its legal system, access to judicial
or other procedures to seek protection or other appropriate redress. Article 16
Emergency preparedness The State of origin shall develop contingency plans for
responding to emergencies, in cooperation, where appropriate, with the State
likely to be affected and competent international organizations. Article 17
Notification of an emergency The State of origin shall, without delay and by the
most expeditious means, at its disposal, notify the State likely to be affected of
an emergency concerning an activity within the scope of the present articles and
provide it with all relevant and available information. Article 18 Relationship to
other rules of international law The present articles are without prejudice to any
obligation incurred by States under relevant treaties or rules of customary
international law. Article 19 Settlement of disputes 1. Any dispute concerning the
interpretation or application of the present articles shall be settled
expeditiously through peaceful means of settlement chosen by mutual agreement of
the parties to
the dispute, including negotiations, mediation, conciliation, arbitration or
judicial settlement. 2. Failing an agreement on the means for the peaceful
settlement of the dispute within a period of six months, the parties to the
dispute shall, at the request of any of them, have recourse to the establishment
of an impartial fact-finding commission. 3. The Fact-finding Commission shall be
composed of one member nominated by each party to the dispute and, in addition, a
member not having the nationality of any of the parties to the dispute chosen by
the nominated members who shall serve as Chairperson. 4. If more than one State is
involved on one side of the dispute and those States do not agree on a common
member of the Commission and each of them nominates a member, the other party to
the dispute has the right to nominate an equal number of members of the
Commission. 5. If the members nominated by the parties to the dispute are unable
to agree on a Chairperson within three months of the request for the establishment
of the Commission, any party to the dispute may request the Secretary-General of
the United Nations to appoint the Chairperson who shall not have the nationality
of any of the parties to the dispute. If one of the parties to the dispute fails
to nominate a member within three months of the initial request pursuant to
paragraph 2, any other party to the dispute may request the Secretary-General of
the United Nations to appoint a person who shall not have the nationality of any
of the parties to the dispute. The person so appointed shall constitute a single-
member Commission. 6. The Commission shall adopt its report by a majority vote,
unless it is a single-member Commission, and shall submit that report to the
parties to the dispute setting forth its findings and recommendations, which the
parties to the dispute shall consider in good faith. _____________
DEKLARASI RIO Prinsip I : Bahwa manusia mempunyai hak-hak dasar untuk merdeka,
persamaan dan keseimbangan kondisi kehidupan dalam suatu lingkungan yang
berkualitas yang memungkinkan kehidupan yang terhormat dan baik, dan manusia
mempunyai tanggung jawab yang suci untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan
sekarang dan untuk generasi mendatang. Dalam hal ini suatu publik yang
menganjurkan rasial, atau
melaksanakan
apartheid,
perbedaan
diskriminasi,
colonial dan segala bentuk pemerasan serta dominasi asing dikutuk dan harus
dihapuskan. Prinsip II : Sumber-sumber alamiah dari bumi yang meliputi udara, air,
tanah, flora, dan fauna serta contoh-contoh khusus dari ecosystem alamiah harus
dilindungi untuk generasi
sekarang dan mendatang melalui perencanaan atau manajemen yang teliti yang sesuai.
Prinsip III : Kesanggupan bumi untuk memproduksi sumbersumber yang dapat
diperbarui yang vital harus dipertahankan dan di mana mungkin dipulihkan dan
diperbaiki. Prinsip IV : Manusia mempunyai tanggung jawab yang khusus untuk
mengamankan dan mengelola secara bijak warisan binatang liar dan habitatnya yang
sekarang telah dirusak dengan hebatnya oleh kombinasi berbagai factor. Konservasi
alam yang meliputi binatang liar harus diutamakan dalam perencanaan pembangunan
ekonomi. Prinsip V : Sumber-sumber yang tidak dapat diperbarui dari bumi harus
dipergunakan dengan cara menjaga terhadap bahaya dari pengurasannya di masa depan
dan menjamin manfaat dari pemakaiannya dinikmati oleh seluruh umat manusia.
Prinsip VI : Membebaskan bahan berbahaya dan bahan lain dan pelepasan panas dalam
jumlah atau konsentrasi yang
melampaui kemampuan lingkungan untuk memulihkan menjadi tidak merusak. Prinsip VII
: Negara-negara akan mengambil langkah-langkah yang mungkin untuk mencegah
pencemaran laut oleh bahanbahan yang dapat menimbulkan bahaya terhadap kesehatan
manusia yang merusak sumber-sumber hidup dan kehidupan kelautan yang merusak
kenyamanan atau mengganggu
pemakaian laut yang sah. Prinsip VIII : Pembangunan ekonomi social adalah esensial
untuk menjamin lingkungan yang menyenangkan untuk hidup serta bekerja untuk
manusia dan penciptaan kondisi terhadap bumi yang penting bagi perbaikan kualitas
hidup. Prinsip IX : Kerusakan lingkungan disebabkan oleh kondisi kurang berkembang
(under development) dan bencana alam
merupakan masalah besar dan dapat dipulihkan paling baik dengan mempercepat
pembangunan dengan pengalihan
sejumlah uang yang substansial dan bantuan teknologi sebagai bantuan kepada usaha
dalam negeri Negara-negara
berkembang dan bantuan pada waktunya jika dibutuhkan. Prinsip X : Untuk Negara-
negara berkembang stabilitas harga dan perolehan yang memadai untuk barang-barang
primer dan bahan mentah adalah esensial bagi pengelolaan lingkungan karena factor
ekonomi dan juga proses ekologis harus
bantuan tambahan teknik dan keuangan internasional untuk tujuan ini. Prinsip XII :
Sumber-sumber harus dijadikan tersedia untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan,
memperhitungkan
keadaan dan persyaratan khusus Negara-negara berkembang, dan biaya yang berasal
dari dimasukkannya pengalaman lingkungan ke dalam perencanaan pembangunan dan
keperluan
menyediakan bagi mereka bantuan tambahan teknik dan keuangan internasional untuk
tujuan ini. Prinsip XIII : Dengan tujuan untuk mencapai manajemen yang lebih
rasional terhadap sumber-sumber dan dengan demikian memperbaiki lingkungan. Negara
harus menerima pendekatan terpadu dan terkoordinasi terhadap perencanaan
pembangunan mereka sehingga menjamin bahwa pembangunan dapat
dengan batas yang akan meningkatkan penyiaran secara luas tanpa menimbulkan beban
ekonomi kepada Negara
berkembang. Prinsip XXI : Negara-negara mempunyai sesuai dengan piagam PBB dan
prinsip-prinsip hukum internasional hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber-
sumber sendiri sesuai dengan politik lingkungan mereka sendiri dan tanggung jawab
untuk menjamin aktivitas dalam yurisdiksi mereka atau pengawasan yang tidak
merusak lingkungan Negara lain atau wilayahwilayah di luar batas yurisdiksi
nasional. Prinsip XXII : Negara-negara akan bekerja sama untuk
dengan jiwa kerja sama oleh semua Negara, besar, dan kecil yang berdiri sama
tinggi. Kerja sama melalui pengaturan multilateral dan bilateral atau cara-cara
lain yang sesuai adalah esensial untuk pengawasan efektif mencegah, mengurangi,
dan meniadakan dampak
merusak lingkungan sebagai dampak akibat berbagai aktivitas yang dilakukan semua
bidang dengan cara demikian bahwa perhitungan yang tepat diimbali bagi kedaulatan
dan
lingkungan. Prinsip XXVI : Manusia dan lingkungannya harus dijaga dari dampak
senjata-senjata nuklir dan semua jenis perusakanperusakan massal yang lain.
Negara-negara harus berusaha untuk mencapai persetujuan relevan segera untuk dalam
badan-badan dan
internasional
yang
meniadakan