Anda di halaman 1dari 158

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS HUKUM

Studi tentang Bentuk Pertanggungjawaban Negara Indonesia Terhadap Protes Malaysia


dan Singapura Dalam Masalah Kabut Asap Kebakaran Hutan di Propinsi Riau pada tahun
2006 Penulisan Hukum ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam memperoleh
gelar Sarjana Hukum Oleh : Nama NIM Bagian : Ronald Eberhard : 03/167564/HK/16349
: Hukum Internasional YOGYAKARTA 2007
HALAMAN PERSETUJUAN

Penulisan hukum ini telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, Pada hari , tanggal

Penyusun

Ronald Eberhard No. Mahasiswa: 03/167564/HK/16349

Menyetujui: Dosen Pembimbing I

Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M NIP 131598151 .:


HALAMAN PENGESAHAN Penulisan Hukum ini telah dipertahankan dihadapan Dewan penguji
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Pada

Hari......................., Tanggal............................ Dewan Penguji


Ketua

NIP .:.............................................

Anggota I

Anggota II

NIP .:............................... ........ Mengetahui

NIP .:............................. ........

Ketua Bagian Hukum____________________

NIP .:.......................................
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Penulisan Hukum ini tidak pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi lain, dan
sepanjang pengetahuan saya didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Yogyakarta, 31
Desember 2007
HALAMAN MOTTO

Don’t Look Back in Anger (Oasis)


HALAMAN PERSEMBAHAN

Thanks to: 1. Father and Mother, for your big support 2. MAPAGAMA, for the idea of
making this 3. Mr. Marsudi, for the help and support 4. Mrs. Agustina Merdekawati,
for the topic and the assistance 5. All my friends supporting me : especially
MGers, Gelanggangers, KWers, that I may mention the names Hendra, Mindy (El Camino
rocks guys !), Sidik, Baskoro, Agus, Tulus, Sharfan, Enggar, Angga, DM, Daru,
Jabrik, Jinggo, Haznan, Dirga, and the others that I may forget. 6. For my beauty
queen : Nancy, Ririn, Dea, Gris 7. For someone in somewhere : Kania 8. My friends
at Law Faculty, my international law classmates : Dody, Tyas, Ayu, Diana, Saidah,
my law friends : Teguh, Kenzo, Pandu, Togu, although not so much times spent with
you guys but you all become helpful in such little chance. 9. Last but not least,
thanks for the people giving time so this is finish, and I may mention the name
again, Mr. Rajpal Singh, Mbak Riena, Pak Anuar, and Mbak Rina,
KATA PENGANTAR

Sebelumnya penulis ingin mengucapkan terimakasih pada Tuhan YME atas kesempatan
yang diberikan untuk menyelesaikan penulisan hukum ini beserta segala rahmat yang
diberikan untuk menyusun penulisan hukum ini. Adapun dukungan dari keluarga dan
teman-teman terdekat juga menyumbang bagi kelangsungan penulisan hukum ini. Oleh
karena itu penulis ini ingin

mempersembahkan penulisan hukum ini untuk mereka. Adapun tujuan penulisan hukum
ini adalah menyelesaikan kewajiban penulis sebagai mahasiswa fakultas hukum UGM.
Banyak terimakasih ingin penulis sampaikan bagi seluruh civitas akademika karena
telah membimbing penulis sampai ke titik ini. Penulisan hukum ini juga ingin
penulis persembahkan bagi khasanah ilmu pengetahuan agar referensi akan masalah
yang penulis angkat semakin bertambah. Akhir kata, tidak ada gading yang tak retak
oleh karena itu biarlah penulisan ini diuji oleh para pembaca sekalian. Saran dan
kritik akan penulis terima secara terbuka. Sekali lagi, terimakasih atas perhatian
dan waktu yang saudara/i berikan untuk penulisan hukum ini
DAFTAR ISI Halaman Sampul Depan Halaman Judul…….......…………………………………………………..…….i
Halaman
Persetujuan.......................................................................
ii Halaman
Pengesahan......................................................................ii
i Halaman
Pernyataan.......................................................................i
v Halaman
Motto.............................................................................
....v Halaman
Persembahan...................................................................vi
Kata
Pengantar.........................................................................
......vii Daftar
isi...............................................................................
.........viii Daftar
Tabel.............................................................................
.........x Daftar
Lampiran..........................................................................
....xi Bab I. Pendahuluan A.
Judul.............................................................................
..........1 B. Latar
Belakang.......................................................................1
C. Perumusan
Masalah...............................................................9 D. Tujuan
Penelitian....................................................................9 E.
Manfaat
Penelitian................................................................10 F.
Keaslian
Penelitian...............................................................10 G.
Cara
Penelitian.....................................................................15

BAB II. Tinjauan


Pustaka...............................................................20
BAB III. Pembahasan A. Kebakaran Hutan di Riau pada Tahun
2006..............................44 B. Peraturan Berkaitan dengan Kebakaran
Hutan........................52 C. Penanganan Kebakaran Hutan di
Riau......................................57 D. Kebakaran Hutan di Riau sebagai
Bencana Alam.....................62 E. Transboundary Haze Pollution akibat
Kebakaran Hutan..........65 F. Peraturan yang Berkaitan dengan Transboundary Haze
Pollution.........................................................................
................66 G. Penanganan Transboundary Haze
Pollution..............................67 H. Peraturan yang Berkaitan dengan
Tanggungjawab Negara.....79 I. Yurisprudensi-yurisprudensi Transboundary
Pollution..............86 BAB III. Penutup A.
Kesimpulan........................................................................
...98 B.
Saran.............................................................................
.....101

Daftar
Pustaka...........................................................................
..103
Lampiran..........................................................................
............107

DAFTAR TABEL Tabel 1. Pembagian wilayah daratan Riau Tabel 2. Jumlah titik api
pada tahun 2006 Tabel 3. Propinsi dengan jumlah titik api terbanyak
Tabel 4. Jenis penggunaan lahan yang menyebabkan kebakaran hutan Tabel 5. Kualitas
udara di Malaysia dan Singapura pada tahun 2006

DAFTAR LAMPIRAN ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ILC Draft of


Prevention of Transboundary Harm from Hazardous Activities, 2001
DEKLARASI RIO (terjemahan) Bagan birokrasi ASEAN untuk penanganan kabut asap Bagan
prinsip hukum lingkungan internasional yang berhubungan dengan kabut asap Bagan
pertanggungjawaban negara dalam kasus kabut asap
BAB I
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah
masalah yang pelik. Propinsi Riau yang letaknya berdekatan dengan Malaysiaa dan
Singapura menjadi sumber transboundary haze pollution bagi kedua negara tersebut.
Dari sejumlah titik api yang terdeteksi terbanyak ditemukan di Riau dan Kalimantan
Barat. Dalam periode 1-30 Juli 2006, berdasarkan Data Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer, di Provinsi Riau terdeteksi sejumlah 1.419 titik api, yang
terdiri dari: lahan masyarakat (55,39%), kawasan HTI (23,82%) dan perkebunan
(20,79%).1 Dampak langsung dari kebakaran hutan di Riau tersebut antara lain :
Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat.
Kedua, berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam
skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan. Ketiga,
terancamnya habitat asli Macan Sumatera membakar habitat dan Gajah mereka. karena
Keempat, kebakaran hutan juga timbulnya persoalan

internasional asap dari kebakaran hutan di Riau menimbulkan kerugian materiil dan
imateriil di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
1 Fire Bulletin No. 1-2006_3Aug.doc, WWF
Penyebab dari masalah kebakaran hutan adalah karena kesalahan sistemik dalam
pengelolaan hutan secara nasional. Dalam hal ini, ada pengusaha perkebunan sawit
yang lebih memilih metode land clearing dengan cara membakar daripada metode lain,
pekerja-pekerja pembuka lahan yang berasal dari masyarakat setempat. Pemerintah
memberikan hak penguasaan hutan (HPH) kepada pengusaha-pengusaha perkebunan sawit.
Tidak terlaksananya inilah mekanisme yang pembukaan inti lahan yang

seharusnya

menjadi

permasalahan.

Ketidaktersediaan teknologi yang memadai membuat metode land clearing dengan cara
membakar dinilai efisien. Dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode ini
terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya. Faktor ekonomi menjadi latar

belakang kenapa metode ini lazim dilakukan di Riau. Penerapan metode land clearing
dengan pembakaran hutan ini bertentangan dengan hukum nasional Indonesia sendiri.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Bab III Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa
”Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.2
Selain itu, UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 Paska Amandemen
menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan
2 UU No. 23 Tahun 1997 pasal 5 ayat (1)
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.3 Perlu diperhatikan juga mengenai status Riau sebagai propinsi di
bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena berkaitan dengan kewenangan
propinsi Riau terhadap hutan yang berada di wilayahnya. Ada beberapa kelemahan
dalam UU No. 32 tahun 2004 dimana basis otonomi diberikan kepada kabupaten dan
bukan propinsi sehingga jika terjadi kebakaran hutan di suatu kabupaten
pencemarannya dapat mencakup daerah lainnya. Penyebab kebakaran hutan di Riau jika
ditarik garis lurus maka akan melibatkan pengusaha-pengusaha kertas dan pengelola
perkebunan sawit. Produsen kertas membutuhkan kayu sebagai bahan baku produksi.
Hutan membutuhkan pemeliharaaan dan perawatan yang berkelanjutan agar tetap
lestari. Karena mengejar keuntungan pengusaha kertas dan kebun sawit dalam
mengelola kertas dan minyak sawit seringkali mengabaikan konsep

konservasi. Terhadap masalah kebakaran hutan ini masyarakat

sebenarnya bisa membela sumber daya alam yang berada di sekitarnya. Indonesian
Centre for Environmental Law (ICEL) mengutarakan ada hak masyarakat untuk
mengajukan gugatan kepada perusahaan-perusahaan yang kegiatannya berdampak

3 Amandemen UUD 1945


buruk terhadap lingkungan. Hak-hak yang dapat digunakan oleh seseorang tersebut
antara lain : a. hak mengajukan gugatan; b. pertanggungjawaban (liability), c.
beban pembuktian, dan d. penentuan ganti kerugian.
4

Mengenai hak mengajukan gugatan dapat dibagi atas beberapa macam yakni : a.
gugatan perwakilan kelompok b. hak gugat LSM dalam hal terjadinya kerugian negara
c. gugatan masyarakat atau citizen suit5 Adapun mengenai masalah pembuktian dalam
kasus ini dapat ditempuh dengan 2 cara yakni: a. Konvensional (163 HIR dan 1865
BW) “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau

menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu
hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan
itu.” b. Terbalik Kewajiban penggugat sebatas mengajukan bukti

awal/pendahuluan atau prima facie evidence dan tidak perlu legal evidence.
4 Rino Subagyo, 2005, Hukum Lingkungan : Aspek Pidana,, Indonesian Centre for
environmental Law 5 Ibid
Ada 2 jenis implikasi jenis pertanggungjawaban terhadap pembuktian ini yakni : a.
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yakni : 1.
Kesalahan (fault) 2. Kerugian (damages) 3. Kausalitas (casual link) 4. Beban
pembuktian terhadap ketiga unsur di atas terdapat pada penggugat (163 HIR dan 1865
BW) b. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no fault liability/strict liability),
yakni: 1. Kerugian (damages) 2. Kausalitas (casual link) 3. Beban pembuktian
terhadap kedua unsur di atas tetap merupakan beban penggugat (163 HIR dan 1865 BW)
4. Beban pembuktian tentang ada faktor pada penghapus diri tergugat

pertanggungjawaban/pembelaan

sebagaimana layaknya suatu pembelaan (tidak terdapat pemindahan beban pembuktian).


Khusus penggunaan strict liability adalah pada kegiatan yang : a. Berdampak besar
dan penting b. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun dalam proses
produksi c. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun
6

Memang setiap negara tetap memiliki kedaulatan terhadap wilayahnya. Negara dapat
menurunkan peraturan hukum wajib untuk wilayahnya, memiliki kekuatan eksekutif
(adiminstratif, kebijakan), dan pengadilannya adalah satu-satunya yang

berwenang untuk mengadili. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah


internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga
(transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia
atas terjadinya masalah ini. Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup
ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia
dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi Indonesia
tidak langsung setuju dengan permintaan Malaysia dan Singapura. Protes Malaysia
dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah
menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan pariwisata mereka.
Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah dikeluarkan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura karena mereka
belum merasa puas. Inti ketidakpuasan dari negara-negara
6 Ibid
ASEAN terutama Malaysia dan Singapura, Indonesia sampai saat ini belum
meratifikasi The 1997 ASEAN
7

Agreement

on

Transboundary Haze Pollution (AATHP).

Negara ASEAN lain sudah meratifikasi AATHP kecuali Filipina. Sampai dengan bulan
Juli 2005, tujuh negara ASEAN telah meratifikasi yakni Brunei, Malaysia, Myanmar,
Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja.8 Untuk menyelesaikan persoalan
pencemaran lintas batas ini sebaiknya diperhatikan ketentuan hukum internasional,
khususnya hukum kebiasaan internasional. Prinsip yang berkenaan adalah good
neighbourliness. Prinsip ini tersirat dalam Deklarasi

Stockholm. Prinsip ini mengatakan kalau setiap negara memiliki kedaulatan untuk
mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain. Contoh kasus yang
serupa dengan kasus ini adalah Trail Smelter Case. Prinsip-prinsip internasional
ini juga telah diakui dalam Mahkamah Internasional dan dalam dokumen-dokumen hukum
lingkungan internasional seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992.
Walaupun prinsip-prinsip ini belum dikodifikasikan dalam perjanjian internasional,
tetapi bisa

dikatakan bahwa kebiasaan internasional telah berkembang.9


7 Virtual Information Center,2006, Special Press Summary : ASEAN SubRegional
Ministerial Meeting on Transboundary Haze Pollution, Pekanbaru 8 Eyes on The
Forest, Forest Fire Rages Again – Stop Conversion on Peatlands, 2006, hlm 5. 9
Azmi Sharom,
Hukum lingkungan internasional pada mulanya berkembang dalam bentuk hukum
kebiasaan, yaitu keputusan-keputusan yang dibentuk oleh badan-badan arbitrasi,
yang dibentuk oleh negara-negara yang bersengketa, yang ingin menyelesaikan
sengketanya secara damai. Pada umumnya mengacu kepada prinsipprinsip hukum
internasional, yaitu prinsip tanggungjawab negara (state responsibility), yang
mewajibkan setiap negara bertanggungjawab terhadap setiap akibat tindakannya yang
merugikan negara lain. Orientasi penerapan prinsip tersebut bukanlah perlindungan
lingkungan, melainkan perlindungan dan pemulihan hakhak negara yang dirugikan. 10
Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara
yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan
yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya

pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa
satisfaction, misalnya permohonan ma'af secara resmi, ataupun berwujud pecuniary
reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.11 Goldie menyatakan
bahwa istilah 'responsibility' digunakan untuk menunjuk pada kewajiban (duty),
atau menunjuk pada standar pemenuhan suatu peran sosial yang ditetapkan oleh
sistem hukum tertentu. Sedangkan istilah 'liability' digunakan untuk
http://thestar.com.my/columnists/story.asp?file=/2007/7/12/columnists/bravenew
world/18255105&sec=Brave%20New%20World (diakses pada 5-8-2007 pukul 23.00) 10 Ida
Bagus Wyasa Putra, 2003 Hukum Lingkungan Internasional, Refika Aditama,, halaman
18 11 F, Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Yogyakarta:Penerbitan
UAJYogyakarta,, hlm 77-78.
menunjuk pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan
suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah
ditetapkan.12 Lebih jelasnya lagi dapat diketahui dari rumusan ketentuan Art. 139
(1 & 2) KHL-1982, sebagai berikut: 1. States Parties shall have the responsibility
to ensure that activities in the Area, whether carried out by States Parties, or
state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of
States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, shall be
carried out in conformity with this Part. The same responsibility applies to
international organizations for activities in the Area carried out by such
organizations. 2. Without prejudice to the rules of international law and Annex
III, article 22, damage caused by the failure of a State Party or international
organization to carry out its responsibilities under this Part shall entail
liability: States Parties or international organization acting together shall bear
joint and several liability. A State Party shall not however be liable for damage
caused by any failure to comply with this Part by a person whom it has sponsored
under article 153, paragraph 2 (b), if the State Party has taken all necessary and
appropriate measures to secure effective compliance under article 153, paragraph
4, and Annex III, article 4, paragraph 4.13 Dalam konteks perlindungan lingkungan,
untuk mengetahui ada tidaknya pertanggungjawaban negara (responsibility) dan atau
liability) dalam suatu peristiwa, Zemanek mengingatkan perlunya dilakukan
penelitian terhadap empat aspek dari keadaan faktual yang bersangkutan, yang
meliputi: akibat (effect); kegiatan

(activity); tempat/ruang lingkup (space); serta sumber dan korban


12 Marsudi Triatmodjo, Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingukungan
Internasional, hlm. 3 13 Ibid
(sources and victims).6 Mengenai ada tidaknya akibat yang ditimbulkan dalam suatu
peristiwa, pertama-tama perlu untuk dibedakan mengenai pengertian kerusakan
(damage) dan

pengertian membahayakan (harm). Dalam hukum internasional, yaitu sebagaimana


dirumuskan dalam Art. 1 (a) Liability Treaty-1972, pengertian 'kerusakan'
didefinisikan sebagai berikut: "the term 'damage' means loss of life, personal
injury or other impairment of health, or loss of or damage to property of States
or persons, natural or juridical, or property of international intergovernmental
organizations".14 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Pasal 25 juga
memberikan pernyataan bahwa (1) Everyone has the right to a standard of living
adequate for the health and well-being of himself and of his family, including
food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the
right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood,
old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control. (2)
Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All
children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social
protection.15

Ketentuan Pasal 1 Draft International Law Commision (ILC) tentang


Pertanggungjawaban Negara berisi bahwa: ”Every

internationally wrongful act of a State entails the international

14 961 UNTS 187 15 Universal Decalarations of Human Right


responsibility of that State”.16 Selain itu sesuai dengan prinsip ke14 Deklarasi
Rio 1992 yang megatakan “Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu
negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah.”17

B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah


sebagai berikut : Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap

protes Malaysia dan Singapura dalam kasus kabut asap akibat kebakaran hutan di
Riau pada tahun 2006 ?

C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan obyektif : 1. Untuk mengetahui bagaimana


pertanggungjawaban negara terhadap lingkungan terutama dikaitkan dengan adanya
protes dari negara lain Tujuan subyektif: 2. Untuk menyelesaikan tanggungjawab
sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UGM dan memperoleh gelar Sarjana Hukum.

16 International Law Commision Draft on State Responsibility Article 1 17


Deklarasi Rio 1992 prinsip ke 14
D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini: 1. Bagi ilmu pengetahuan, memperkaya
referensi penulisan hukum 2. Bagi masyarakat luas, memberikan referensi akan
masalah kabut asap dan bentuk pertanggungjawabannya.

E. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian mengenai PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA DALAM


PENYELESAIAN PERSOALAN RITUAL KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN INDONESIA YANG BERDAMPAK
SECARA INTERNASIONAL RESPONSIBILITY BERDASARKAN sebenarnya sudah KONSEP ada
sebelumnya STATE yang

dikerjakan oleh Agustina Merdekawati pada tahun 2007 dan sudah dipulikasikan UGM
Research Week pada yahun 2007 tetapi sepanjang penelusuran kepustakaan di
Perpustakaan Pasca

Sarjana UGM dan Perpustakaan FH UGM, belum ditemukan judul penelitian dengan
permasalahan “Studi tentang Bentuk

Pertanggungjawaban Negara Indonesia Terhadap Protes Malaysia dan Singapura Dalam


Masalah Kabut Asap Kebakaran Hutan di Propinsi Riau pada tahun 2006” sehingga
penelitian ini dapat dianggap memenuhi kaedah keaslian penelitian. Penelitian
untuk penulisan hukum mengenai kebakaran
hutan telah dilakukan oleh Fitri Sumarni, berjudul TINJAUAN TERHADAP TANGGUNG
JAWAB KORPORASI DALAM KASUS KEBAKARAN HUTAN/LAHAN. Permasalahan yang diangkat

meliputi analisa pengutusan pengadilan terhadap tindak pidana lingkungan yang


dilakukan oleh korporasi. Terdapat juga penelitian tentang kebakaran hutan yang
pernah dilakukan oleh Edy Suasono pada tahun 2003 dengan judul PELAKSANAAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN PONTIANAK


PROPINSI

KALIMANTAN BARAT. Penelitian dalam tesis tersebut membahas mengenai kebijakan


faktor-faktor pemerintah yang dalam mempengaruhi upaya pelaksanaan dan

pencegahan

penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta peran serta masyarakat dalam
pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten
Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Penelitian juga dilakukan secara kelembagaan
oleh

beberapa institusi yang empati terhadap kasus kebakaran hutan, misalnya beberapa
LSM yang bergerak pada bidang lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup RI,
dan Pusat Studi Lingkungan Hidup. Penelitian mengenai pertanggungjawaban negara
pernah
dilakukan pada tahun 2005 oleh Marsudi Triatmodjo di Fakultas Hukum UGM yang
berjudul PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN INTERNASIONAL,

yang memfokuskan permasalahan mengenai kewajiban yang dapat memaksa negara untuk
tidak melakukan kegiatan mencemari lingkungan daerah di luar batas yurisdiksinya
dan konsekuensinya jika kewajiban itu dilanggar. Selain itu, juga pernah ada
penelitian yang berjudul TANGGUNG JAWAB NATO ATAS KERUSAKAN LINGKUNGAN YANG
DIAKIBATKAN OLEH PENGGUNAAN METODE

ENVIRONMENTAL WARFARE DALAM KRISIS KOSOVO., yang mengangkat mengenai tanggung


jawab organisasi internasional dalam menggunakan metode berperang yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Penelitian ini dilakukan oleh Agung

Rahmawati Saptasiwi pada tahun 2005. Fokus permasalahan yang penulis kaji dalam
penelitian ini berbeda dengan fokus penelitian yang telah ada sebelumnya. Fokus
kajian dalam penelitian sebelumnya umumnya membahas tentang masalah penyebab dan
penanggulangan masalah kabut asap kebakaran hutan dengan fokus lokasi pada
keseluruhan wilayah Indonesia serta pertanggungjawaban negara terhadap

pencemaran lingkungan internasional. Dalam penelitian ini fokus pembahasannya


lebih pada masalah kabut asap kebakaran hutan
yang berdampak secara internasional yang dikaitkan dengan protes Malaysia dan
Singapura berdasarkan konsep hukum pertanggungjawaban negara berdasarkan Draft
Internasional Law Commision (ILC) tentang state responsibility. Dengan demikian
penelitian penelitian. ini dapat dianggap memenuhi kaedah keaslian

F. CARA PENELITIAN Penelitian ini akan dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. 1. Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan dilakukan
dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data yang terdapat dalam buku atau
literatur, tulisan– tulisan ilmiah, dokumen-dokumen dan peraturan–peraturan

perundang–undangan yang berhubungan dengan obyek penelitian, yang meliputi: Bahan


Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : a. Bahan hukum
yang mengikat yang terdiri dari : 1.) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup 2.) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan 3.) Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah 4.) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang. b.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang

menjelaskan bahan hukum primer yang terdiri dari : 1.) ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution 2.) Deklarasi Rio 1992 tentang HAM dan Lingkungan
(KTT Bumi) 3.) Draft Articles of Responsibilities of State for Internatioanal
Wrongful Acts with Comementaries, Commentaries of the Draft, ILC 4.) Buku-buku
mengenai Hukum Lingkungan Internasional 5.) Bahan-bahan lain yang berkaitan dengan
transboundary pollution. 6.) Majalah, surat kabar, tulisan yang berkaitan dengan
materi penelitian c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier
meliputi : 1.) Kamus Hukum 2.) Kamus Besar Bahasa Indonesia
2. Penelitian Lapangan Penelitian Lapangan adalah penelitian yang dilakukan secara
langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan berkaitan
dengan masalah yang diteliti. a. Data Data yang diperoleh dari penelitian lapangan
adalah data

sekunder, yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber yang dipilih dan
dianggap mengetahui masalah yang diteliti. b. Lokasi penelitian Penelitian
dilakukan di Jakarta dan Riau mengingat kemudahan untuk mengakses kantor-kantor
pemerintahan dan elemen yang terkait di kasus ini. c. Cara pengambilan sampel Cara
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probabilitas
(non probability sampling), yaitu cara pengambilan sampel yang tidak memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap sampel dalam populasi untuk dipilah,

sedangkan

jenis

sampel

yang

digunakan

adalah

purposive

sampling, yaitu calon sampel yang dipilah berdasarkan kriteria atau ciri-ciri yang
dianggap berhubungan erat dengan

permasalahan yang diteliti. d. Responden dan Narasumber Narasumber adalah pihak –


pihak yang mengetahui mengenai
permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini, namun tidak terlibat langsung
di dalam permasalahan. Pihak – pihak yang dijadikan narasumber di dalam penelitian
ini adalah : 1.) Wakil dari ASEAN : Riena R. Prasidha, Technical Officer,
Environment and Disaster Management Bureau for

Resources Development 2.) Wakil dari Pemerintah Malaysia : Anuar Zaki Bakar, Setia
Usaha II Politik dan Ekonomi 3.) Wakil dari Departemen Luar Negeri RI : Rina Dwi
Astuti, Dinas 2 Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosbud 4.) Wakil dari Pemerintah
Singapura : Rajpal Singh, First Seceretary e. Alat pengumpulan data Alat
pengumpulan data yang digunakan menggunakan pedoman wawancara semi struktur, yaitu
kombinasi antara pedoman

wawancara yang terstruktur dengan pedoman wawancara tidak terstruktur. Pedoman


wawancara semi struktur untuk menghindari terlewatinya inti pertanyaan yang
diajukan. Dalam hal ini, mula – mula diajukan beberapa pertanyaan yang sudah
terstruktur, kemudian dari beberapa pertanyaan dikembangkan untuk

memperoleh keterangan lebih lanjut sehingga diperoleh jawaban yang lengkap dan
mendalam. f. Analisis Data
Dari data yang telah dikumpulkan, baik itu dari penelitian kepustakaan atau
penelitian lapangan kemudian diseleksi dan dianalisis secara kualitatif dengan
metode deskriptif. Analisis data ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah. 1)
Kualitatif Yaitu metode analisis data dengan mengelompokkan data yang diperoleh
berdasarkan kualitas kebenarannya, kemudian disajikan dalam bentuk uraian kalimat.
2) Deskriptif Yaitu menganalisis data yang diperoleh kemudian berusaha menyajikan
dan menggambarkan data agar pembaca dapat

memahami dengan baik dan jelas keadaan yang sebenarnya Pada bab pembahasan, sub-
sub bab dibagi dalam : a. Kebakaran Hutan di Riau pada tahun 2006 Pada sub bab ini
dibahas mengenai sebab kebakaran hutan dan kerugian-kerugian yang ditimbulkannya
b. Peraturan Berkaitan dengan Kebakaran Hutan Pada sub bab ini dibahas menegenai
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebakaran hutan. Interpretasi sistematis
dan gramatikal digunakan untuk mengetahui hierarki perundangundangan dan peraturan
mengenai kebakaran hutan. Pada sub bab ini juga dapat disimpulkan siapa yang
bertanggungjawab atas kebakaran hutan.
c. Penanganan Kebakaran Hutan di Riau Pada sub bab ini dibicarakan langkah-langkah
pencegahan, pemantauan, dan penanggulangan kebakaran hutan d. Kebakaran Hutan di
Riau sebagai Bencana Alam Pada sub bab ini akan dibicarakan penggolongankebakaran
hutan di Riau sebagai bencana alam e. Transboundary Haze Pollution akibat
kebakaran hutan Pada sub bab ini dibahas mengenai akibat kebakaran hutan yang
berdampak secara internasional yakni kabut asap. f. Peraturan yang Berkaitan
dengan Transboundary Haze Pollution Pada sub bab ini hampir sama dengan sub bab b,
namun kali ini yang lebih ditinjau adalah hukum internasional g. Penanganan
Transboundary Haze Pollution Pada sub bab ini dibahas mengenai penyelesaian
masalah ini secara internasional baik deri segi politik dan hukum internasional h.
Peraturan yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Negara Pada sub bab ini dibahas
mengenai pertanggungjawaban negara atas kasus ini, ditinjau dari segi hukum
nasional dan internasional i. Yurisprudensi berkaitan Transboundary Pollution
Pada

sub

bab

ini

dipaparkan

mengenai

kasus-kasus

Transboundary Pollution lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prinsip bahwa setiap negara berdaulat diakui dan dilindungi oleh hukum
internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat
internasional harus mengakui dan menghormati hal tersebut. Namun kedaulatan yang
dimiliki oleh negara itu bukan tak terbatas. Maksudnya adalah bahwa di dalam
kedaulatan itu, terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak

menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Jadi jika suatu negara melanggar ketentuan-


ketentuan internasional atau melakukan tindakan yang tidak sah secara
internasional akan dikenai suatu tanggung jawab negara.18
18 Report of International Law Commission on the work of its Thirty Seventh, 1985
Dalam

tatahukum

internasional,

ketentuan

berkenaan

dengan masalah pertanggungjawaban negara ini memang belum ada yang pasti.
International Law Commision (ILC), salah satu organ PBB yang bertugas untuk
melakukan perumusan dan pembahasan ketentuan dan hukum internasional sampai saat
ini masih berusaha merumuskan dan membahas draft tentang

ketentuan tanggung jawab negara. Meskipun hasil kerjanya masih dalam bentuk draft,
tetapi aktivitas ILC dalam mempersiapkan dan melakukan perkembangan hukum
internasional khususnya

mengenai tanggung jawab negara yang dilakukan oleh para ahli hukum terkemuka yang
mewakili kebudayaan-kebudayaan

terpenting di dunia yang mempunyai nilai tinggi yang tergabung di dalam Panitia
Hukum Internasional (ILC), dapat digunakan

sebagai sumber tambahan hukum internasional. Jika ketentuan ini dipakai dalam
praktek kenegaraan maka akan menjadi hukum kebiasaan internasional. Sampai saat
ini walaupun belum ada ketentuan yang mapan, tanggung jawab negara tetap merupakan
suatu prinsip

fundamental dalam hukum internasional. Dalam hal ini baru bisa dikemukakan
mengenai syarat-syarat atau karakteristik tanggung jawab negara, seperti
dikemukakan oleh Shaw yang dikutip oleh Huala Adolf19 sebagai berikut :
19 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Radja Grafindo
Persada, ed. 1, cet. 2., Jakarta, 1996, h. 174
1. Ada suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara
tersebut; 2. Ada suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar

kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; dan
3. Ada kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya

tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian Persyaratan-persyaratan ini kerapkali


digunakan untuk

menangani sengketa yang berkaitan dengan tanggung jawab negara. Misalnya dalam
kasus the Spanish Zone of Morocco Claims. Hakim Huber dalam kasus ini menegaskan
bahwa

tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari adanya suatu hak. Hak-hak yang
bersifat internasional tersangkut di dalamnya tanggung jawab internasional.
Tanggung jawab ini melahirkan kewajiban untuk mengganti kerugian manakala suatu
negara tidak memenuhi kewajibannya.20 Dalam Draft Articles on State Responsibility
yang diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (ILC), pada Article 1 ditegaskan
bahwa setiap tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan
tanggung jawab bagi negara tersebut. Sedangkan pada Article 2 ditegaskan bahwa
negara merupakan subyek yang dimungkinkan melakukan tindakan tidak sah secara
20 Huala Adolf, ibid., hlm. 174-175
internasional.

Perbuatan

yang

sah

secara

internasional

menimbulkan kerugian atau kerusakan menyebabkan suatu negara dibebani kewajiban


untuk memperbaikinya. Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan

didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan


yang berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang
membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas negara.
Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap negara mempunyai hak yang
sama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga negaranya. Pasal
5 butir 1 UndangUndang Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas
lingkungan yang baik dan sehat. Demikian pula Deklarasi Universal PBB mengenai
Hak-Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas
standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya.21
Pembahasan masalah tanggung jawab atas lingkungan

seperti telah dikemukakan di atas berkaitan dengan prinsip kedaulatan negara dan
prinsip hormat-menghormati negara lain.
21 The Universal Declaration of Human Rights : A Guide for Journalist. Terjemahan
: Hendriati Trianita, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia : Panduan bagi
Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), cet. 2, Jakarta, 2000, h. 36
Menurut Daud Silalahi konsep state responsibility-liability dalam kerangka hukum
lingkungan internasional mengacu pada

pembahasan the principle of sovereignity dan the freedom of the high seas.22
Prinsip ini sangat berguna dalam menyelesaikan sengketa lingkungan lintas
internasional batas yakni dalam hal terjadi yang

pencemaran

(transboundary

pollution)

menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah negara lain, misal dalam kasus Trail
Smelter. Tanggung jawab negara terhadap akibat-akibat dari

tindakannya terhadap negara lain dan hak-hak negara terhadap lingkungan ditegaskan
pula dalam Konferensi PBB tentang

Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm (Resolusi


MU No. 2992 (XXVII)) 15 Desember 1972) menyatakan bahwa setiap negara mempunyai
hak berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya dan bertanggung jawab agar
kegiatan eksploitasi yang dilakukan di dalam wilayah atau di bawah pengawasannya
tersebut tidak menyebabkan kerugian atau kerusakan terhadap negara lain. Rumusan
yang sama ditetapkan dalam Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 198223 yaitu bahwa negara
harus mengambil tindakan yang perlu untuk menjamin agar kegiatan-kegiatan yang
berada di bawah yurisdiksinya atau di bawah pengawasannya dilakukan dengan cara
sedemikian rupa
22 Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Penegakkan Hukum
Lingkungan di Indonesia, Penerbit Alumni, ed. 2, cet. 1, Bandung, h. 129,171. 23
UN Doc. A/CONF.62/122
sehingga

tidak

mencemari

wilayah

negara

lain.

Sedangkan

ketentuan Prinsip 22 Deklarasi Stockholm berkaitan dengan masalah tanggung jawab


dan kompensasi bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya yang
disebabkan oleh kegiatan di dalam wilayah yurisdiksi atau di bawah

pengawasan suatu negara. Hal serupa dikemukakan Komar Kantaatmadja, yakni bahwa
perbuatan yang menyebabkan

terjadinya kerugian menimbulkan kewajiban untuk memenuhi ganti rugi.24 Upaya


masyarakat internasional dalam membahas hak

(dasar) negara ini, misalnya saja dilakukan pada tahun 1916 oleh American
Institute of International Law (AIIL), sebuah organisasi internasional
beranggotakan negara-negara di benua Amerika, yang berhasil memutuskan
“Declarations of the Rights and Duties of Nations” Upaya ini disusul dengan sebuah
kajian yang berjudul “Fundamental Rights and Duties of American Republics”; dan
dirampungkannya Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang hak dan kewajiban negara-
negara oleh negara-negara Amerika Latin.25 Upaya penting lainnya adalah
dikeluarkannya draft

Deklarasi tentang hak dan kewajiban negara-negara yang disusun oleh komisi hukum
internasional PBB pada tahun 1949. Draft
24 Komar Kantaatmadja,1982, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Alumni, Bandung , h,
51 25 Huala Adolf,2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali
Press, hlm. 38
deklarasi hukum internasional ini semula dibuat agar dapat disahkan oleh Majelis
Umum PBB. Tetapi kenyataan kemudian, Majelis Umum tidak pernah mengesahkannya.26
Adapun prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban negara seperti termuat dalam
rancangan Deklarasi dapat digunakan sebagai pedoman untuk saat ini. Adapun hak-hak
dan kewajiban tersebut adalah :
α. 1. 2.

Hak-hak negara : Hak atas kemerdekaan (Pasal 1) Hak untuk melaksanakan jurisdiksi
terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya (Pasal 2)

3.

Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negara-negara lain (Pasal
5);

4.

Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12).

β. 1.

Kewajiban negara Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap

masalah-masalah yang terjadi di negara lain (Pasal 3);


2.

Kewajiban untuk tidak menggerakkkan pergolakan sipil di negara lain (Pasal 4);

3.

Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan


memperhatikan hak-hak asasi manusia

26 Idem
(Pasal 6);
4.

Kewajiban

untuk

menjaga

wilayahnya

agar

tidak

membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7);


5.

Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8);

6.

Kewajiban

untuk

tidak

menggunakan

kekuatan

atau

ancaman senjata (Pasal 9);


7.

Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya pasal 9 di atas;

8.

Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara


kekerasan (Pasal 12);

9.

Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal


13); dan

10.

Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negaranegara lain sesuai dengan hukum
internasional (Pasal 14).27 Doktrin persamaan kedudukan negara-negara ini dapat

ditemukan pula dalam dokumen-dokumen internasional, serta putusan-putusan


pengadilan. Di antaranya adalah:
1.
Komisi

khusus

PBB

tentang

prinsip-prinsip

hukum

Internasional tentang hubungan baik dan kerjasama antar negara (the United Nations
Special Committee on Principles
27 idem
of International Law concerning Peaceful Relation and Cooperation among States)
berhasil mencapai konsensus tentang persamaan kedudukan negara-negara tahun 1964.
Konsensus tersebut menetapkan sebagai berikut : All states enjoy sovereign
quality. As subjects of international law they have equal rights and duties.
α. β. χ.

States are judicially equal Each State enjoys the rights inherent in full
sovereignty Each State has the duty to respect the personality of other states;

δ.

The territorial integrity and political independence of the State are inviolable

ε.

Each State has the right freely to choose and develop its political, social,
economic and cultural systems

φ.

Each state has the duty to comply fully and in good faith with its international
obligations, and to live in peace with other states Negara sebagai subyek hukum
internasional adalah pihak

yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak
dan kewajiban yang diatur oleh hukum

internasional itu mencakup hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional
material dan hukum internasional formal.28
28 F. Sugeng Istanto, op.cit.,,h. 16
Adapun

pandangan

lain

dinyatakan

oleh

Kelsen

yang

menyatakan bahwa individu merupakan subyek hukum yang sesungguhnya merupakan dari
hukum dari internasional, hukum karena nasional individu maupun

subyek

segala

internasional. Hal ini bertitik tolak dari anggapan bahwa negara dijalankan dan
dibentuk oleh sekumpulan individu yang terikat hukum. Namun pandangan di atas
tidak bisa diberlakukan begitu saja mengingat pengaturan hukum internasional sudah
mengatur mengenai hak dan kewajiban negara. Tanggung jawab secara harafiah dapat
diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa
boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi
menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain.29 Menurut Sugeng
Istanto, pertanggungjawaban berarti

kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang
terjadi dan kewajiban untuk memberikan

pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Menurut hukum internasional


pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara itu merugikan negara lain.
Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang

melanggar hukum internasional saja. Perbuatan suatu negara yang


29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, h. 1006
merugikan negara lain tetapi tidak melanggar hukum internasional tidak menimbulkan
pertanggungjawaban. Misalnya perbuatan negara menolak seorang warga negara asing
yang masuk ke dalam wilayah negaranya.30 Pertanggungjawaban negara atau
responsibility of states mengandung kewajiban dalam bagian dari suatu negara untuk
memperbaiki kerusakan yang dihasilkan dari sebuah serangan yang dilakukan dalam
wilayah yurisdiksinya dan melawan anggota lainnya dari komunitas internasional.31
Prinsip bahwa setiap negara adalah berdaulat memang diakui dan dilindungi oleh
hukum internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari
masyarakat internasional harus menghormati dan mengakui hal tersebut. Namun

kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara itu tidak tak terbatas. Artinya dalam
melaksanakan hak berdaulat itu terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak
menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Suatu negara dapat dimintai
pertanggungjawaban untuk tindakantindakannya yang melawan hukum akibat kelalaian-
kelalaiannya. Latar belakang timbulnya tanggung jawab di dalam hukum internasional
adalah bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat menikmati hak-haknya
tanpa menghormati hak negara lain. Setiap perbuatan atau kelalaian terhadap hak
negara lain,
30 F Sugeng Istanto,op.cit., hlm. 77 31 Joseph P Harris – Consulting editor,1935,
Introduction to the Law of Nations, McGraw Hill Series Inc., Political science,
New York-Toronto-London, hlm.133
menyebabkan

negara

tersebut

wajib

untuk

memperbaiki

pelanggaran hak tersebut. Ketentuan hukum internasional yang mengatur masalah


tanggung jawab negara hingga kini belum ada yang mapan, dan terus mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Para ahli hukum internasional
mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental hukum
internasional.32 International Law Commision (ILC) merupakan sebuah badan PBB yang
bertugas mengurusi dan membahas draft tentang ketentuan tanggungjawab negara.
Walaupun masih dalam bentuk draft tetapi karena disusun oleh para ahli hukum

terkemuka yang mewakili berbagai kebudayaan terpenting di dunia dan mempunyai


nilai tinggi serta tergabung dalam panitia hukum internasional, seperti yang
tergabung dalam kepanitiaan penyusunan draft tentang tanggung jawab negara dalam
ILC, maka ketentuan tanggung jawab negara ini dapat digunakan sebagai sumber
tambahan di dalam hukum internasional.33 Secara garis besar tanggung jawab negara
dibagi menjadi : a. Tanggung liability) Tanggungj jawab ini lahir dari setiap
kesalahan atau kelalaian
32 M.N. Shaw, International Law, Butterworths, edisi 2, 1986, h. 466, Ian
Brownlie, Principles of Public International Law, 1979, h. 431, seperti dikutip
oleh Huala Adolf,1996, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Radja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 174 33 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit. h. 143

jawab

perbuatan

melawan

hukum

(delictual
suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayah negaranya atau wilayah negara
lain. Hal ini dapat timbul karena : 1. Eksplorasi ruang angkasa 2. Eksplorasi
nuklir 3. Kegiatan Lintas Batas Nasional b. Tanggung jawab atas pelanggaran
perjanjian Pertanggungjawaban negara timbul karena suatu negara

melanggar perjanjian internasional (treaty) yang dibuat dengan negara lain yang
mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya. Menurut Sharon Williams, ada empat
kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara
yaitu :34 1. Subjective fault criteria 2. Objective fault criteria 3. Strict
Liability 4. Absolute Liability Subjective fault criteria menentukan arti
pentingnya

kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk menetapkan adanya


pertanggungjawaban negara. Dalam konsep objective fault criteria ditentukan adanya
pertanggungjawaban negara yang timbul dari adanya suatu pelanggaran terhadap suatu
kewajiban
34 Sharon Williams, “Public International Governing Trans-boundary Pollution” 13
Univ. of Queensland L.J. (1984), h. 114-118 dikutip oleh Marsudi Triatmodjo, ibid,
h. 177
internasional. Jika suatu negara dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau
adanya dapat tindakan dibebaskan pihak dari ketiga, negara yang

bersangkutan tersebut. Konsep

pertanggungjawaban

strict

liability

membebani

negara

dengan

pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat yang terjadi di


wilayahnya yang di menimbulkan wilayah pencemaran lain, dan

mengakibatkan

kerugian

negara

meskipun

berbagai persyaratan pencegahan pencemaran telah diterapkan. Dalam konsep ini acts
of God, tindakan pihak ketiga atau forcé majeure dapat digunakan sebagai alasan
pemaaf (exculpate). Menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang
dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini terdapat
total pertanggungjawaban walaupun segala standar telah dipenuhi.35 Pengertian
sumber hukum dalam hukum internasional ada dua yakni sumber hukum formal dan
sumber hukum material. Sumber hukum formal adalah proses atau prosedur yang

mnghasilkan norma-norma hukum internasional, yakni hukum internasional perjanjian


kebiasaan (international (treaty). customary law) dan

internasional

Sedangkan

sumber

hukum

material menunjuk pada substansi atau isi dari prinsip hukum


35 Ibid
yang mendasari yang berlaku, yakni misalnya prinsip ius cogens. Prinsip ius cogens
ialah serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat dirubah (preemptory), yang
tidak boleh diabaikan dan yang karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu
traktat atau perjanjian antara negara-negara dalam hal traktat atau perjanjian itu
tidak sesuai dengan norma atau prinsip tersebut.36 Menurut Pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice), sumber-sumber
hukum

internasional yang dapat diterapkan oleh Mahkamah Internasional untuk


menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya adalah sebagai berikut : 1.
Traktat/international treaty (perjanjian internasional) 2. Hukum internasional
kebiasaan (international custom) 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
bangsabangsa beradab; 4. Keputusan-keputusan pengadilan; dan 5. Ajaran para
sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan
kaedah hukum. Di samping ketentuan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional di atas, kini sejalan dengan perkembangan dalam beberapa bidang
hukum internasional seperti hak asasi manusia, juga pada hukum lingkungan
internasional ada penambahan
36 Starke, op.cit., h. 66
sumber hukum baru dari yang telah ada sebelumnya. Kiss dan Shelton menyebutnya
sebagai “new sources of law” yang terdiri dari “binding resolutions” dan “non-
binding resolutions”.37 Binding resolutions adalah resolusi yang dihasilkan oleh
organisasi internasional terhadap para anggotanya, sedangkan non-binding
resolutions ialah resolusi yang dikeluarkan oleh konferensi atau oleh organisasi
internasional, yang menurut isinya dapat diklasifikasikan menjadi of tiga kategori
dan yaitu directive of

recommendations,

program

action

declaration

principles.38 Berbagai dokumen internasional semacam ini dapat juga disebut


sebagai soft law, yaitu “rules which have to be considered as law so far as they
fix norms with which states would comply, but which cannot be enforced in the
traditional meaning of them”.39 Daud Silalahi menyatakan bahwa konsep state

responsibility-liability (tanggung jawab negara atas lingkungan) dalam kerangka


hukum lingkungan internasional mengacu pada pembahasan the principle of
sovereignity dan the freedom highseas. Pelaksanaan kegiatan di dalam suatu wilayah
negara
37 Alexander Kiss and Dinah Shelton, 1991, Introduction to International
Environmental Law, London, : Graham & Trotman Ltd., h. 108-113 seperti dikutip
oleh Marsudi Triatmodjo,1999, dalam “Pengembangan Penagturan Hukum dan Kelembagaan
Pencemaran Laut dari Darat di Kawasan Asia Tenggara”, Hukum dan Lingkungan Hidup
di Indonesia, Jakarta, h. 243-244 38 Ibid., h. 243 39 Alexander Kiss, 1976,
“Survey of Current Development in International Environmental Law”, IUCN
Environmental Policy and Law Paper, No. 10(1976), h. 23 dikutip oleh Marsudi T.
dalam ibid.
terhadap lingkungannya merupakan perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika
kegiatan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lainnya (the act injuries to
another states) maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip responsibility-
liability dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya untuk melakukan

pencegahan terhadap aktivitas dengan cara menetapkan/mengatur standar permisible


injury atau ambang batas dari kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan
(environmental injuries) dapat pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang timbul
dari kegiatan ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan ambang
batas atau baku mutu lingkungan.40 Penetapan permisible level of injury (ambang
batas

kerusakan dari lingkungan) dilakukan melalui hasil putusan pengadilan


internasional, yang atau dapat penetapan menimbulkan standar kerusakan

perbuatan/tindakan

lingkungan, dan melalui pelaksanaan fungsi pengaturan oleh badan-badan


internasional. Sebagian besar tanggungjawab negara ini didasarkan pada ketentuan
larangan injury of one state to another. Jika akibat timbul di luar wilayah suatu
negara, pada wilayah yang termasuk common heritage of mankind (wilayahwilayah yang
merupakan warisan bersama umat manusia) maka tanggung jawab yang timbul adalah
tanggung jawab

40 Daud Silalahi, op.cit., h. 129-137


internasional.41 Salah satu prinsip yang terkenal dari hukum lingkungan
internasional adalah sic utere tuo, ut alienum non laedas atau principles of good
neighbourliness. Pada intinya prinsip itu mengatakan kedaulatan wilayah suatu
negara tidak boleh

diganggu oleh negara lain. Hal ini patut berlaku pada saat terjadi aktivitas dalam
negara yang menggangu negara lain. Ada juga prinsip lain yakni preservation and
the protection of environment yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan perlu
diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan bagi kondisi yang baik di
masa depan. Kemudian prinsip preventif yang menekankan tindakan pencegahan bagi
kerusakan lingkungan. Selanjutnya pelanggaraan prinsip-prinsip ini akan membawa
kepada

penerapan prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi Stockholm yang menuntut


negara pencemar untuk melakukan usaha memperbaiki kerusakan lingkungan yang
dibuatnya.

Pendekatan yang sama ini bisa juga dilihat dalam artikel 2(1) dari Konvensi ECE
tentang Pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus
mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi dampak pencemaran lintas batas.
Pada

umumnya kewajiban setiap negara adalah mewujudkan langkahlangkah administratif dan


legislatif untuk melindungi lingkungan
41 Ibid
sehingga dapat dikatakan sebagai pemerintah yang baik.42 Prinsip kedua yang
dikenal luas juga adalah kerjasama antara negara untuk mitigasi resiko kerusakan
lingkungan lintas batas. Prinsip ini juga tercantum dalam prinsip ke 24 Deklarasi
Stockholm.43. Prinsip berikutnya adalah polluter pays principle. Pada intinya ini
adalah prinsip ekonomi dimana negara dituntut untuk membiayai tindakan yang
dibutuhkan agar lingkungan kembali pada kondisi semula.44 Lalu ada juga prinsip
’balance of interest’ (keseimbangan kepentingan) pihak-pihak yang telah dirugikan.
Prinsip ini terdapat di dalam Article 9 Draft on State Responsibility. Kemudian
ada juga prinsip non-diskriminasi (nondiscrimination) yang mewajibkan negara untuk

mengatasi/menanggulangi akibat-akibat yang diderita oleh negara lain dengan cara


yang sama dengan yang dipergunakan jika akibat-akibat tersebut sudah terjadi di
negaranya sendiri. Prinsip ini terdapat di dalam Article 11 dan 15 Draft on State

Responsibility. Ukuran untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang

digolongkan sebagai abnormally dangerous (the standard of abnormality) didasarkan


pada pertimbangan sebagai berikut : 1. Tingkat risiko (the degree of risk). Risiko
dianggap tinggi
42 Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle,1992, International Law & The Environment,
Oxford, hlm. 89-93 43 Idem 44 idem
apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang lazim atau menurut kemampuan
teknologi yang telah ada 2. Tingkat bahaya (the gravity of harm) sulit untuk
dicegah pada saat mulai terjadinya. 3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan (the
appropriateness), sudah dilakukan upaya pencegahan secara maksimal; 4.
Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya (value of activity) telah
dilakukan secara memadai. Sementara itu merujuk pada the restatement of the law
torts in America, menentukan apakah suatu kegiatan termasuk ke dalam kegiatan yang
berbahaya (abnormally dangerous) yakni :45 1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat
bahaya yang tinggi bagi manusia, tanah, atau benda bergerak (the activity involves
a high degree of some harm to the person, land or chattels of others) 2. Kerusakan
yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut

mempunyai kemungkinan untuk menjadi besar (the harm which may result from it is
likely to be great) 3. Risiko tidak dapat dihilangkan meskipun kehati-hatian yang
layak sudah diterapkan (the risk cannot be eliminated by the exercise of
reasonable care)
45 M Ramdan Andri GW., Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban (“Liability
Theories”), Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan ISSN 0854-
7378 Tahun V No. I/1999, h. 5
4. Kegiatan itu tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim (the activity is not a
matter of common usage) 5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat dimana kegiatan
itu dilakukan (the activity is inappropriate to the place where it is carried on)
6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (the value of activity to
the community) Berdasarkan prinsip pencemar membayar (the polluter must pay) dan
asas strict liability dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang disebut
shifting or alleviating the burden of proofs.46 Penerapan asas strict liability
dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan :47 1. Strict liability with
contributory negligence defense, yakni strict liability diterapkan kepada tergugat
sepanjang pihak korban tidak mempunyai andil kesalahan atas timbulnya kerugian,
dibuktikan; 2. Negligence with contributory negligence defense, yakni tergugat
bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul karena kesalahannya, beban pembuktian
ada pada tangan penggugat; 3. Comparative negligence, yakni ganti kerugian akan
kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu

46 Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., h. 378 47 M Ramdan Andri GW., op.cit., h. 5


disesuaikan dengan proporsi dari besarnya andil terhadap timbulnya kerugian. Masih
berkaitan dengan strict liability, Green Paper

menyediakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan :48 1. Tipe bahaya yang dihasilkan
oleh kegiatan tertentu 2. Kemungkinan terjadinya kerugian dari suatu kegiatan dan
kemungkinan meluasnya kerugian 3. Insentif yang akan akan disediakan oleh strict
liability berupa pengelolaan risiko dan pencegahan kerugian yang lebih baik; 4.
Kemungkinan pelaksanaan dan biaya-biaya pemulihan

kerugian yang diperkirakan akan terjadi 5. Beban keuangan yang harus ditanggung
oleh sektor-sektor ekonomi yang terlibat, yang ditetapkan berdasarkan strict
liability, dan 6. Kebutuhan akan tersedianya asuransi. Kalau ditelaah butir-butir
prinsip yang ditelurkan oleh konferensi internasional mengenai lingkungan
Stockholm 1972 itu, terlihat penuh dengan kompromi antara negara-negara maju dan
berkembang, inilah salah satu faktor menurut penulis, justru mengurangi kepastian
dan mengikatnya ketentuan internasional mengenai lingkungan ini. Ditambah dengan
kenyataan, bahwa
48 Ibid., h. 6
dalam prinsip-prinsip itu diakui hak berdaulat setiap negara untuk mengelola
sumber-sumber alam dan lingkungannya sendiri sesuai dengan ”sistem nilai-nilai
yang berlaku di tiap negara” (Prinsip XXIII), makin menjadi kabur ketentuan
internasional ini. Kunci keberhasilan hukum lingkungan internasional ini terletak
pada ”pengaturan kerja sama multilateral dan bilateral antara negara-negara” untuk
pengawasan efektif, pencegahan, pengurangan dan peniadaan dampak yang merusak
lingkungan (Prinsip XXIV). Kelihatannya Eropa Barat cukup berhasil dalam
menciptakan pengaturan kerja sama regional seperti dimaksud ini, sehingga dapat
dikatakan menjadi pencetus lahirnya European Environmental Law. Kerja sama
antarnegara Eropa Barat tersebut kelihatan dalam praktik efektifnya, misalnya jika
dilihat penyelesaiaannya kasus Seveso di Italia yang pusat perusahaan yang
mencemar itu ada di Swiss. Baik penyelesaian ganti kerugian (perdata) yang telah
disebut sebelumnya, maupun penyelesaian hukum

pidananya. Para pelaku atau yang dipandang bertanggung jawab atas kelalaian
terlambat melapor kepada pemerintah tentang terjadinya kebocoran zat kimia yang
berbahaya ke atmosfer telah dijatuhi pidana penjara dari dua setengah sampai lima
tahun. Empat terdakwa dibebaskan di pengadilan banding sedangkan seorang pidananya
ditunda. Karena kejadian di wilayah Italia dan
pembuat melakukan delik juga di Italia, dengan sendirinya hakim Italia berwenang
mengadili dan hukum (pidana) juga dilakukan, karena semua terdakwa berada di
Italia. Diplomasi hutan mempunyai nilai strategis bagi

penyelamatan dunia dari perubahan iklim yang mengerikan. Hutan diyakini sebagai
penhasil seperempat dari total emisi gas efek rumah kaca global akibat
penggundulan hutan, kebakaran hutan, illegal logging, dan bencana hutan lainnya.
Namun pada waktu bersamaan, hutan juga menjadi paru-paru dunia guna menyerap emisi
gas rumah kaca, yang justru 75% di antaranya dihasilkan oleh negara-negara
industri maju. Di sini posisi hutan tropis menjadi penting, karena 80% dari
seluruh hutan dunia berada di wilayah tropis. Yakni, daerah yang berada di belahan
dunia antara 10 derajat Lintang Utara dan 10 derajat Lintang Selatan. Sehingga
beres atau tidaknya kondisi hutan tropis sangat menentukan kadar emisi gas rumah
kaca. Luas hutan tropis Indonesia sendiri mencapai sekitar 10% dari total hutan
tropis.49 Hutan tropis menjadi andalan bumi dalam penyerapan karbon, karena
potensinya yang cepat bisa mengabsorbsi gas asam arang tersebut dalam jumlah
besar. Sinar matahari dan air yang melimpah sepanjang tahun adalah potensi yang
amat besar
49 Hidayat Gunadi, Bernadetta Febriana, 2007, “Diplomasi Hutan dan Laut”, GATRA
No. 02 Thn. XIV, hlm 116
bagi proses fotosintesis. Belum lagi keragaman hayatinya, yang menyediakan jenis-
jenis pepohonan yang cepat tumbuh.

BAB III PEMBAHASAN A. KEBAKARAN HUTAN DI RIAU PADA TAHUN 2006

Rully

Syumanda,

Direktur

Eksekutif

Walhi

Riau,

berpendapat, bila ditarik ke belakang, pada dasarnya bencana kebakaran hutan dan
lahan merupakan sebuah pengulangan dari bencana yang sama beberapa tahun yang
lalu. Sebuah gejala dari memburuknya kesehatan hutan alam Riau akibat eksploitasi
hutan secara massif sejak 1980-an. Setelah ratusan ribu hektare hutan
dilepaskan

kepada

pengusaha

HPH,

Pemerintah

kemudian

melakukan politik konversi dengan memberikan peluang yang besar kepada pengusaha
sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Pemerintah juga memberikan insentif bagi
IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) kepada pengusaha perkebunan dan Dana Reboisasi kepada
pengusaha HTI. Pada saat yang bersamaan, akhir tahun 90-an kebutuhan dunia akan
CPO (minyak sawit) semakin meningkat. Ditambah ambisi dua industri pulp dan paper
menjadi eksportir kertas terbesar dunia plus keinginan Pemerintah Daerah untuk

memperluas perkebunan sawit menjadi 1,02 juta hektar dari 2,5 juta yang
ditargetkan, terjadilah simbiosi mutualisme antara pengusaha yang pada akhirnya
merusak tutupan hutan alam Riau menjadi hanya tersisa 785 ribu hektare pada April
2003. Demikianlah, didasarkan pada kebutuhan dunia, kebijakan pemerintah, dan
kebutuhan biaya pengusaha untuk memperoleh lahan (land

keuntungan dengan

murah,

pembersihan

clearing) dengan pembakaran pun dipraktekkan. Inilah kesalahan dari sebuah model
pengelolaan hutan yang salah. Pada dasarnya, praktek pembakaran lahan merupakan
salah satu cara yang digunakan oleh Perkebunan Besar di Riau untuk menaikkan pH
tanah, di samping pertimbangan biaya murah.
Dengan pembakaran pH tanah, bisa dinaikkan menjadi antara 5-6, sehingga cocok
untuk tanaman tahunan seperti sawit. Contoh kasus, misalnya pembakaran yang
dilakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry, di mana perusahaan bersangkutan
akhirnya didenda Rp. 100 juta ditambah kurungan badan 2 tahun bagi pimpinan
perusahaan bersangkutan. Sayangnya, menurut Walhi Riau, praktek land clearing
dengan biaya murah ini tidak mempertimbangkan kerugian yang tercipta, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 2003 saja, Walhi Riau mencatat hanya
dalam waktu sepuluh hari (2-12 Juni 2003) ada lebih dari 2.400 titik api tersebar
di 57 perusahaan perkebunan dan HTI dengan luasan lebih dari 50 ribu hektar. Total
kerugian langsung mencapai Rp. 19 milyar lebih. Itu pun tanpa memasukkan variabel
transportasi, perdagangan,

hilangnya kesempatan panen, dan peningkatan penderita ISPA (infeksi saluran


pernafasan akut) akibat asap. Selain kerugian ekonomi, belum dihitung kerugian
akibat terjadinya erosi karena tanah 20-30 kali lebih peka dibandingkan daerah
hutan yang tidak terbakar, terjadinya percepatan

perubahan iklim global, kerugian tidak langsung akibat hilangnya habitat satwa dan
erosi berbagai bibit benih tumbuhan, dan fauna di lantai hutan, mempercepat
penghilangan biomassa lantai hutan,
mempercepat proses pencucian hara tanah, terjadinya banjir di daerah yang hutan
gambutnya terbakar, dan polusi udara dan air. Kebakaran hutan juga berdampak pada
kesuburan tanah. Sifat fisika tanah juga berubah dengan rusaknya struktur tanah
sehingga menurunkan infiltrasi dan perkolasi tanah. Hilangya tumbuhan juga membuat
tanah menjadi terbuka sehingga energi pukulan air hujan tidak lagi tertahan oleh
tajuk pepohonan. Pada fisik kimia tanah, juga terjadi peningkatan keasaman tanah
dan air sungai. Tangketasik (1987) menunjukkan terjadinya penurunan sifat-sifat
retensi kelembaban serta kapasitas kation pada tanah yang memiliki kebakaran.
Untuk sifat fisik biologi tanah,

kebakaran hutan membunuh organisme tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan


kesuburan tanah. Makroorganisme, seperti cacing tanah, yang dapat meningkatkan
aerasi dan drainase tanah juga menghilang di samping hilangnya mikroorganisme
tanah, seperti mikorisa, untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, tambang
(Cu), magnesium (Mg), dan besi (Fe). Rusaknya hutan menyebabkan turunnya daya
serap alam terhadap gas polutan. Hutan yang terbakar bahkan menambah beban
atmosfir bumi dengan karbondioksida, gas polutan yang paling besar pengaruhnya
dalam mendorong pemanasan global. Akibatnya, gelombang panjang sinar matahari
makin tertahan di
permukaan bumi dan kian memanaskan temperatur udara.50 Sejumlah dampak tersebut di
atas, tentunya harus menjadi perhatian agar nominal kerugian yang tercipta tidak
terus membesar. Namun, lagi-lagi ada kelemahan mendasar yang menyebabkan
pembakaran hutan dan lahan terus menjadi

bencana di Riau, yaitu lemahnya penegakan hukum. Walaupun bukti-bukti sudah


menunjukkan bahwa kegiatan land clearing yang dilakukan oleh perkebunan merupakan
penyebab utama terjadinya kebakaran hutan, namun sering sekali banyak oknum yang
belum ditindak. Tabel 2 Jumlah titik api pada tahun 2006 Waktu Agustus September
Oktober Tabel 3 Propinsi dengan jumlah titik api terbanyak Lokasi Kalimantan
Tengah Kalimantan Barat Sumater Barat Riau Jumlah titik api 46.285 28.061 21.030
10.784 Jumlah titik api 48.943 47.810 35.829

50 E. Sukendar, 2007, “Menjalankan Bisnis Memelihara Planet”, GATRA No. 02 Thn.


XIV, hlm. 68
Tabel 4 Jenis penggunaan lahan yang menyebabkan kebakaran hutan Jenis lokasi
Konsesi perkebunan sawit Hutan Tanaman Industri Hak Pengusahaan Hutan Areal
Penggunaan lain Persentase 23,37% 16,16% 1,88% 58,59 %

Sumber : WWF, http://www.wwf.or.id/admin/file-upload/files/FCT1177083164.pdf


(diakses pada 27-9-2007 pukul 00.26)

Walaupun fakta di atas menyebutkan kawasan hutan alami di Riau sudah banyak yang
rusak, tetapi secara historis kebakaran hutan di Riau dapat dilihat kembali dari
tiga faktor utama penyebab. Pertama, dari kemampuan hutan alam Riau dalam
menyediakan bahan baku bagi industri kayu yang ada. Dengan kebutuhan 14,7 juta
meter³ pertahun, industri kayu di Riau memaksa hutan alam dan hutan industri
menyuplai kayu jauh di atas kemampuannya, yang secara lestari hanya mampu

menyediakan 7,7 juta meter kubik³ pertahun. Kedua, besarnya peluang yang diberikan
pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi hutan menjadi perkebunan
monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit maupun kebun kayu (HTI).
Ketiga, laju konversi yang dianggap menjadi penyebab maraknya kebakaran hutan
dengan pelaksanaan praktek buka lahan dengan
membakar.51 Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah yang
berulang. Kebakaran hutan itu mengusik ekosistem bumi dari dua segi. Material kayu
dan serasah yang terbakar itu

menghasilkan gas-gas rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global. Sedangkan asap
hitamnya menggangu secara langsung kehidupan manusia.52 Banyak faktor yang
menyebabkan hal ini berulang terus, salah satunya adalah pengelolaan hutan yang
tidak sesuai dengan peruntukannya dan metode pembukaan lahan yang salah. Konversi
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah salah satu contoh nyata. Menurut
laporan Global Forest

Resources Assesment 2005 Indonesia adalah salah satu negara dengan luas hutan
terbesar di dunia. Luas hutan Indonesia adalah 48,8% dari luas daratannya
sendiri.53 Bisa disimpulkan kalau Indonesia adalah salah satu penyumbang terbesar
bagi dunia untuk memerangi efek gas rumah kaca. Di lain sisi, kebakaran hutan di
Indonesia adalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca dalam negeri dibanding
emisi dari kegiatan industri,

transportasi, dan lainnya. Kembali ke topik pengelolaan hutan, penyebab dari


kebakaran hutan salah satunya adalah kekurangan
51 Rully Syumanda, Pembakaran Hutan : Bencana Tahunan Riau, 2003,
http://www.walhi.or.id/ kampanye/bencana/bakarhutan/pembakar_hut_benc_riau_200603/
52 Aries Kelana, Elmy Diah Larasati, “Bumi Memanas, Kuman Penyakit Mengganas”,
GATRA No. 02 Thn XIV, hlm 30 53 Global Forest Resources Assesment 2005
masyarakat Indonesia terutama yang bekerja di hutan adalah dalam menyerap
teknologi baru sehingga konsep perlindungan hutan seperti zero burning principle
tidak dapat berjalan dengan baik di Indonesia. Hal ini harus segera ditangani oleh
Indonesia mengingat ini adalah masalah dalam negeri yang berdampak ke luar negeri.
Negara lain atau pihak ketiga hanya dapat

memberikan bantuan seperti penyuluhan-penyuluhan dan transfer teknologi. Untuk


bantuan dana mengatasi masalah ini dapat dikatakan akan sulit didapatkan mengingat
posisi Indonesia didesak oleh negara tetangga untuk menyelesaikan masalah ini dan
masalah kemudian menjadi masalah regional, dalam hal ini lingkup Asia Tenggara.
Laporan PT. Pelangi Energi Abadi Citra Enviro (PEACE) atas dukungan Bank Dunia dan
Departemen Pembangunan

Internasional Inggris menekankan bahwa penggundulan hutan, degradasi lahan gambut,


dan kebakaran hutan menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil gas rumah
kaca terbesar di dunia, bersama raksasa industri, seperti Amerika Serikat, Cina,
dan Jepang. Sekitar 75% emisi karbon dioksida sektor kehutanan Indonesia berasal
dari penggundulan hutan dan konversi lahan. PT. Riau Pulp Andalan Pulps and Paper
(Riaupulp) melalui induk perusahaannya, Asia Pacific Resources International

Holdings Ltd (APRIL) bekerjasama dengan Global Nexus Institute


menggelar expert panel discussion dan jumpa pers di Washington DC pada 1 November
2007. Salah satu pembicaranya adalah Dr. Neil Franklin, Sustainability Director
APRIL. Menurut Franklin, sebanyak 80% dari jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia
berasal dari peralihan fungsi lahan. ”Emisi dari peralihan fungsi lahan ini
menyumbang 8% pada emisi global,” menurut Franklin. Kini Indonesia menempati
urutan ketiga setelah Amerika Serikat (USA) dan China sebagai

penyumbang emisi CO2 terbesar dunia. Padahal sebagian besar dari emisi tersebut
dapat dihindari dengan penerapan Sustainable Forest Management dan pengelolaan
hutan secara

bertanggungjawab.

B. Peraturan berkaitan dengan Kebakaran Hutan Dalam kasus kebakaran hutan dapat
ditarik hierarki

perundang-undangan. Paling tinggi dimulai dengan Pasal 33 UUD 45 ayat 3 yang


berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Interpretasi
gramatikal atas pasal ini membawa kepada pengertian bahwa negara

bertanggungjawab atas sumber daya alam. Pasal ini secara interpretasi sistematis
melahirkan pasal 25 dan 27 UU no. 23
tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal-pasal ini menekankan kepad
tanggung jawab pemerintah untuk mengawasi pengelolaan hutan. Pasal 41 dan 42 UU
no. 23 tahun 1997 menegaskan bahwa ada sanksi pidana bagi pencemaran

lingkungan hidup. Pasal UU no. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga menegaskan
bahwa setiap orang dilarang membakara hutan. Tindakan pencegahan tercantum dalam
pasal 12 PP no. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran
Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan. Pelaksanaan
otonomi daerah perlu ditelaah karena Pemda

Riau sudah menyusun Tata Ruang Propinsi Riau yang pada pelaksanaannya ternyata
tidak sesuai dengan harapan. Dasar hukumnya adalah UU No. 34 tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah. Terdapat pertentangan antara Tata Ruang Propinsi Riau dan UU
Kehutanan No 41 Tahun 1999 Pasal 18 dan Ayat (1) yang

menyebutkan,

Pemerintah

menetapkan

mempertahankan

kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran
sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan
manfaat ekonomi masyarakat setempat. Ayat (2), Luas kawasan hutan yang harus
dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas daerah
aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang
proporsional. Sebagai pembanding terhadap UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 Pasal 18
Ayat (1) wilayah daratan Riau telah terbagi-bagi menjadi: Tabel 1 No 1 2 3 Jenis
HPH HTI Kebun TOTAL Luas Tanah 3.481.868 ha 1.621.693 ha 1.316.762 ha 6.420.323 ha

Sumber : Data Potensi Sumberdaya Hutan dan kebun Propinsi Riau 1999 dan 2000 milik
Dephutbun

Dengan jumlah luas keseluruhan Propinsi Riau (dalam hektare) mencapai 9.456.000
ha, maka lahan tersisa di Riau hanya tinggal 3.035.837 ha. Bila luasan tersebut
kemudian dipotong dengan luas Kotamadya, Kota Kabupaten, Kota Kecamatan, dan desa-
desa yang ada maupun areal untuk peruntukan lain, seperti ladang dan lahan
perkebunan masyarakat, bisa jadi luas tersisa hanya mencapai 1,5 juta ha. Cukup
jauh dari nilai 30% yang seharusnya tersisa untuk kawasan hutan alami yang harus
dipertahankan, sebagaimana termaktub dalam undang-undang
yang telah disebutkan di atas.54 Pembahasan berikutnya adalah kewenangan
Pemerintah Daerah Riau dalam menangani kebakaran hutan di daerahnya. Menurut pasal
13 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004 maka dikatakan bahwa Pemerintah Daerah
bertanggungjawab dalam hal

pengendalian lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 155 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004
dinyatakan bahwa sumber keuangan yang menjadi kewenangan daerah didanai oleh
Pemerintahan Daerah. Jika dikaitkan dengan penanggulangan kebakaran hutan di Riau
maka dapat dikatakan ini termasuk kewenangan Pemda Riau terutama dalam hal
pembiayaan. Kewenangan ini berbentuk pemberian hak pengelolaan hutan (HPH) kepada
pihak-pihak lain. Pasal 160 ayat 3 mengatakan kalau ini termasuk pemasukan dari
Dana Bagi Hasil. Ketimpangan akan terlihat saat Pasal 162 ayat (1) mengatakan Dana
Alokasi Khusus dari APBN akan diberikan untuk masalah yang berskala nasional.
Masalah kebakaran hutan di Riau telah melewati batas negara dan menjadi masalah
internasional. Sehingga dapat disimpulkan kalau pemerintah pusat harus terlibat
dalam masalah kebakaran hutan di Riau baik secara moril maupun materiil. Kebakaran
hutan ini sebenarnya di dalam negeri sendiri sudah ada yang diselesaikan lewat
jalur pengadilan karena ada gugatan yang diajukan terhadap perusahaan. Contoh dari

54 Teguh Surya, Kritik konstruktif terhadap RTRWP Riau 2000-2015, 2004


http://www.walhi.or.id/ kampanye/psda/040910_rtrwpriau_li/
penyelesaian secara pidana bisa dilihat dalam kasus kebakaran hutan di Bangkinang.
Saat itu putusan Mahkamah Agung

menyatakan kalau perusahaan bertanggungjawab secara pidana atas kebakaran hutan


yang terjadi di wilayahnya. Dalam hal ini manager sebagai pemberi perintah
dikenakan sanksi pidana. Hal ini bisa digolongkan sebagai tindak pidana korporasi
sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1997 pasal 46.55 Dari enam perusahaan perkebunan di
Riau yang diajukan ke persidangan pada tahun 2001, hanya PT. Adei Plantation &
Industry dan PT. Jatim Jaya Perkasa yang dijatuhi hukuman. Sedangkan, sisanya,
yaitu PT. Multi Gambut, PT. Musim Mas, PT. Indo Sawit Subur, dan PT. Inti Prona,
tidak terdengar lagi kabarnya hingga hari ini. Pada pertengahan 2003, Walhi Riau
mengajukan gugatan atas 7 Pemerintah Daerah dan 32 perusahaan yang diduga terlibat
dalam pembakaran hutan. Setelah 7 kali sidang, hakim menolak gugatan pendakwa
hanya karena kesalahan interpretasi hakim atas Pasal 53 di mana Walhi Riau meminta
Pemerintah mencabut izin perusahaan dan dimungkinkan melalui PN, namun diartikan
bahwa hal ini harus melalui PTUN. Kekurangan pemerintah dalam melakukan pencegahan
bisa
55 Sukma Violetta, Hukum Lingkungan : Aspek Pidana, Indonesian Centre for
Environmental Law
dilihat dari Undang-Undang tentang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, di mana menurut
Walhi tidak ada pasal yang secara jelas, melarang orang untuk melakukan
pembakaran. Pasal 50 ayat 3 huruf d, misalnya, secara jelas, membuka peluang
dihidupkannya kembali pembukaan lahan dengan cara bakar karena larangan membakar
hutan dapat dikecualikan dengan tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari
pejabat yang berwenang. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan
kebijakan tegas (tanpa pengecualian) tentang larangan

pembukaan lahan tanpa bakar, seperti diatur dalam pasal 29 A dan 29 B Malaysian
Environment Quality Act 1974 (diamandemen

tahun 1998). Undang-undang ini, secara tegas, mengancam pelaku pembakaran hutan,
baik pemilik maupun penggarap, dengan hukuman 5 tahun penjara atau denda 500.000
ringgit.

C. Penanganan Kebakaran Hutan di Riau Pada aspek pencegahan, berbagai kebijakan


yang sifatnya meminimalisir kemungkinan kebakaran harus diutamakan,

termasuk penguatan sistem informasi manajemen kebakaran hutan, lahan, kebijakan-


kebijakan yang menyertai konversi, dan pembukaan lahan. Sedangkan, untuk aspek
pemantauan harus dikembangkan sistem peringatan dini dan tentu saja kapabilitas
pemadam kebakarannya sebagai salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam aspek
penanggulangan kebakaran. Dalam perspektif Walhi Riau, ada beberapa hal yang harus
dilakukan berkenaan dengan upaya pencegahan,

penanggulangan, dan pemantauan kebakaran hutan diantaranya adalah : 1. Aspek


pencegahan Adanya sistem informasi manajemen kebakaran hutan dan lahan. Kecepatan
pertukaran informasi kebakaran, merupakan kunci keberhasilan peringatan dini dan
pemadaman dini di lapangan. Untuk itu, diperlukan perangkat komunikasi dan

perangkat-perangkat lainnya. Sistim Informasi Kebakaran (SIK) dan Sistem Informasi


Kebakaran Hutan dan Lahan (SIKHL) harus dikembangkan dengan sistem komputer agar
data dan informasi bisa dipadukan untuk mendukung kebijakan. Sebagai data masukan
untuk SIK, dapat menggunakan peta penggunaan lahan terbaru untuk daerah propinsi,
termasuk batas seluruh konsesi HPH, perkebunan dan transmigrasi. Selanjutnya, data
jaringan infrastruktur, aktivitas manusia serta data tingkat kekeringan yang
diperoleh Badan Meteorologi dan Geofisika manajemen kebakaran hutan dan penentuan
dipadukan

dengan

data

citra

inderaja,

seperti

NOAA-

AVHHRR/NDVI Landsat TM dan ERS-2-SAR sebagai data lanjutan. Sensor yang terdapat
pada satelit tersebut, memberikan informasi yang sangat berguna untuk manajemen
kebakaran, seperti deteksi kebakaran harian, pemetaan daerah yang terbakar,
perbedaan vegetasi, dan bahan bakar api. Selanjutnya, dikeluarkannya menghentikan
yang konversi secara lahan sebelum mampu

peraturan

menyeluruh,

menjamin dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta melarang dengan
tegas metode bakar dalam melakukan land clearing dan sesegera mungkin menyusun
Pedoman Pembukaan Lahan tanpa Bakar yang sifatnya tegas, jelas, dan mudah
dipahami, secara awam. Kemudian, mencabut seluruh izin usaha bagi
perusahaanperusahaan yang terbukti menggunakan metode bakar dalam proses land
clearing dan memberlakukan hukuman bagi pelanggar hukum secara proporsional,
dengan melakukan pertimbangan terhadap sejumlah kerugian dan dampak yang
ditimbulkannya. Terakhir dengan memberlakukan insentif ekonomi sebagai rangsangan
kepada perusahaan yang melakukan land clearing tanpa metode bakar, dengan secepat
mungkin menyusun sebuah rancangan undang-undang tentang pencegahan, pemantauan,
dan
penanggulangan kebakaran hutan, baik yang berdiri sendiri maupun yang tercantum
dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 1999. 2. Aspek Pemantauan Dengan adanya sistem
peringatan dini, semua daerah yang berpotensi besar dalam kebakaran hutan dan
lahan bisa

mempersiapkan semua peralatan, mensiagakan petugas, dan lain sebagainya. Sistem


ini sangat berguna untuk mengurangi resiko tingkat rawan kebakaran suatu lokasi
dan mengetahui tingkat bahaya kebakaran di suatu lokasi. Masyarakat juga harus
ikut serta mendorong dan mengawasi kinerja aparat dalam melakukan pencegahan,
pemantauan, dan penanggulangan kebakaran hutan sekaligus dalam hal penegakan hukum
terhadap kasus kebakaran. 3. Aspek Penanggulangan Kelembagaan penanggulangan
kebakaran, terjadinya

kebakaran hutan dan lahan di areal HPH, HTI atau perkebunan skala besar sepenuhnya
menjadi tanggung jawab masing-masing pihak pemilik konsesi lahan. Sedangkan, untuk
penanganan kebakaran di tingkat propinsi menjadi tanggung jawab Pusat Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdakarhutla) daerah
yang melibatkan instansi terkait. Untuk itu perlu ada koordinasi antar instansi
terkait agar penegakan hukum bagi pembakaran hutan tidak menjadi

permasalahan yang terpisah-pisah, sehingga tidak terdapat lagi saling lempar


tanggung jawab. Dalam hal kelembagaan ini juga, Gubernur Propinsi Riau
mengeluarkan SK dengan No. KPTS 25/V/2000 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Riau kemudian pada bulan Juni kembali
mengeluarkan keputusan tentang Pembentukan Tim Terpadu Kerjasama Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Penataan kembali diperlukan dengan harapan utama agar rantai
birokrasi pemantauan dan pelaporan kebakaran hutan tidak terlalu panjang sehingga
menyulitkan aspek penanggulangan itu sendiri (tidak menunggu instruksi atasan
saja). Untuk Bidang Pemantauan yang selama ini berada di tangan Dinas Kehutanan
lebih baik dikelola langsung oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bapedalda) dan Bapedal Regional sehingga dapat mengoordinir semua pihak dalam
upaya pendeteksian dini dan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan
untuk bidang pencegahan dan penanggulangan dapat diserahkan pada Dinas Kehutanan
sehingga dapat mengembangkan sistem dan jenis pelatihan, pencegahan, dan pemadaman
kebakaran hutan
dan

lahan,

sampai

dengan

tingkat

daerah.

Serta

perlunya

pengembangan mobilisasi potensi sumber daya, baik personil regu pemadam kebakaran
maupun sarana dan prasarana. Mewajibkan setiap perusahaan untuk membangun sumur
artesis dan peralatan pemadam kebakaran di lahan konsesi yang dianggap potensial
terjadi kebakaran dengan menyertakan aspek pemeliharaan bersama masyarakat (bila
ada dan berdekatan). Mempersiapkan dan meyempurnakan pedoman teknis

pemadaman kebakaran dengan mengikutsertakan masyarakat di dan sekitar hutan


sebagai mitra sejajar dan membangun pusat kebakaran hutan dan lahan propinsi dan
lokal yang berisikan : pengadaan gudang dan drasi, pelatihan peralatan, distribusi
peralatan dan kendaraan pemadam kebakaran hutan, peralatan komunikasi, komputer
dengan sistem e-mail dan internet.

D. Kebakaran Hutan di Riau sebagai Bencana Alam Kebakaran hutan di Riau tergolong
multi dimensi dan kompleks dampaknya oleh karena itu dapat dikategorikan sebagai
bencana alam. Salah satu indikator kebakaran hutan Riau sebagai bencana
internasional adalah bentuknya yang dapat digolongkan sebagai transboundary
environmental degradation. Penurunan kualitas lingkungan tidak hanya dirasakan di
Indonesia tetapi juga
terjadi di Singapura dan Malaysia. Bencana secara internasional sendiri dapat
didefinisikan sebagai sebuah kejadian yang secara fisik merugikan, fenomena atau
aktivitas manusia yang bisa menghilangkan nyawa, kerusakan prasarana, gangguan
ekonomi dan sosial dan degradasi

lingkungan. Bencana dapat mencakup ancaman yang akan datang dan penyebabnya pun
berbeda : alami (geologis, hidrometeorologi, dan biologis) atau disebabkan oleh
ulah manusia (degradasi lingkungan dan bencana teknologi.56 Sementara itu, saat
ini sudah ada pemahaman yang jelas bahwa Sasaran-Sasaran Pembangunan Milenium

(Millennium Development Goals/MDGs) tidak akan tercapai tanpa pertimbangan risiko


bencana, dan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai kalau pengurangan
risiko bencana tidak diarusutamakan ke dalam kebijakan-kebijakan, perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan. Sudah secara luas diakui bahwa perspektif pengurangan
bencana harus dipadukan kedalam perencanaan pembangunan setiap negara dan dalam
strategi pelaksanaannya yang terkait. Kabar baiknya, teknologi sekarang memberikan
kemampuan tentang dan kesempatan akan pemahaman lebih baik tentang risiko bencana
dan dalam

mengambil tindakan proaktif untuk mengurangi kerugian akibat


56 Hyogo Framework For Action halaman 3
bencana

sebelum

bencana

terjadi.

Konteks

ini

telah

mempengaruhi hasil dokumen WCDR: Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015: Membangun
Ketahanan Bangsa dan

Komunitas terhadap Bencana (Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the
Resilience of Nations and

Communities to Disasters/HFA). Dokumen ini telah diadopsi untuk para negara


anggota PBB yang turut serta dalam WCDR, yang menunjukkan komitmen global terhadap
pengurangan risiko bencana dalam konteks pembangunan.57 Sejak WCDR, Komite
Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) tentang Pengelolaan Bencana telah
berkomitmen untuk memperkuat pelaksanaan HFA melalui program-program regional
ASEAN untuk pengelolaan bencana. Pada bulan Agustus 2007, negara-negara ASEAN
mengadopsi kesepakatan ASEAN tentang Pengelolaan Bencana dan Respon terhadap
Keadaan Darurat, lebih jauh meningkatkan kerja sama regional antar negara anggota.
Komite Konsultatif Regional ADPC (RCC) untuk Pengelolaan Bencana pada bulan Mei
2005 mengadopsi pernyataan RCC5 Hanoi tentang mengarusutamakan pengelolaan risiko
bencana ke dalam pembangunan di negara-negara ASEAN, dimana para negara anggota
berkomitmen untuk mengarusutamakan

pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan, perencanaan dan


57 Aksi Beijing Untuk Pengurangan Risiko Bencana di Asia halaman 2
pelaksanaan

pembangunan.58 Oleh karena itu ASEAN patut

bekerja keras untuk mengatasi masalah ini mengingat statusnya sebagai bencana
internasional.

E.

TRANSBOUNDARY

HAZE

POLLUTION

AKIBAT

KEBAKARAN HUTAN Polusi kabut asap adalah asap dari kebakaran hutan atau lahan yang
menghasilkan efek berbahaya bagi kesehatan manusia, makhluk hidup lainya,
ekosistem, instalasi umum, dan

bertentangan dengan standar baku mutu lingkungan. Tabel 5 Kualitas udara di


Malaysia dan Singapura pada tahun 2006 Lokasi Kuching, Malaysia Nilai, Malaysia
Singapura Tanggal 7-8 2006 9 2006 7 2006 API (nilai Keterangan normal 100) Oktober
150 Tidak sehat Oktober 198 Oktober 150 Sangat sehat Tidak ehat tidak

Sumber : The Associated Press,


http://www.iht.com/articles/ap/2006/10/16/asia/AS_GEN_Singapore_Haze.php
Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/2006_Southeast_Asian_haze#Malaysia

Jenis kerugian yang dialami oleh Malaysia dan Singapura dapat digolongkan kerugian
secara tidak langsung. Kabut asap yang memasuki wilayah kedua negara tersebut
dapat dibilang tidak
58 idem

mengancam

jiwa

penduduk

Malaysia

dan

Singapura.
Kerugian besar justru disebabkan oleh produktivitas penduduk yang menjadi
berkurang, yang secara garis besar dapat dihitung berupa materiil. Hal ini
berdampak pada pemasukan kedua negara tersebut. Kabut asap membuat wisatawan luar
negeri enggan bepergian kepada kedua negara tersebut jika ada kabut asap.
Pembatalan terhadap tiket penerbangan dan hotel lumrah terjadi saat ada kabut
asap. Hal ini dikarenakan faktor keselamatan penerbangan yang banyak terganggu
oleh kabut asap.

Produktivitas dalam negeri menurun karena karyawan dan anakanak sekolah dihimbau
untuk tidak banyak melakukan aktivitas di luar. Penyebab penyakit pernafasan pada
kedua negara tersebut sebagaian besar disinyalir oleh kabut asap yang menerpa pada
beberapa bulan di tahun 2006. Kerugian yang ditaksir secara materiil mencapai
jutaan dollar. Seorang ahli ekonomi dari Nanyang Technological University
Singapura, misalnya,

memperkirakan kerugian Singapura akibat asap kita dalam satu bulan terakhir telah
mencapai hampir Rp500 miliar.59 Walaupun begitu kerugian secara langsung juga
dialami oleh Malaysia dan Singapura dimana kualitas udara menurun. Hal ini diukur

menggunakan indeks kualitas udara yang telah diakui secara internasional.

59 Media Indonesia, Sabtu, 14 Oktober 2006


F. Peraturan yang Berkaitan dengan Transboudary Haze Pollution Transboundary haze
pollution adalah polusi kabut asap yang berasal dari suatu negara tetapi efeknya
sampai ke negara lain, biasanya sampai sulit dibedakan sumbernya. Setiap orang
berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, setidaknya seperti yang dijamin oleh
hukum internasional. Atau tercantum juga dalam prinsip 21 deklarasi Stockholm yang
menyatakan hal yang sama, dan hak seperti ini dilindungi oleh hak mengajukan
gugatan. Hak-hak tersebut juga dilengkapi dengan hak atas perlakuan yang sama.
Walaupun hak-hak tersebut juga memiliki batas. Adapun tanggungjawab sipil memiliki
penyelesaian untuk masalah di atas dimana protes antara negara nantinya tidak akan
diperlukan. Tanggungjawab sipil juga menerapkan prinsip polluter pays dengan baik.
Tetapi penerapan tanggungjawab ini tidak akan jalan tanpa adanya kerjasama
internasional. Lalu terakhir yang tidak kalah penting adalah hak anak cucu bagi
lingkungan yang baik kelak.60 Hal inilah yang dirasakan oleh Malaysia dan
Singapura dimana mereka mengalami kerugian akibat bencana kabut asap.

G. Penanganan Transboundary Haze Pollution


60 Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, International Law & the Environment, Oxford,
1992, hlm. 190-214
Bentuk kerugian yang dialami Malaysia dan Singapura sebenarnya bisa membuat mereka
menuntut ganti rugi materiil. Belum lagi pembebanan biaya kepada Indonesia untuk
melakukan rehabilitasi lingkungan. Rehabilitasi lingkungan yang tergolong kompleks
secara internasional karena menyangkut terancamnya spesies Gajah dan Macan
Sumatera. Protes, atau dapat didefinisikan sebagai komunikasi formal dari suatu
subyek internasional kepada subyek internasional lainnya untuk mengutarakan
kebaratan terhadap pelanggaran hukum internasional61, Malaysia dan Singapura belum
diajukan secara resmi lewat jalur yuridis namun paksaan dengan jalur diplomatik
dari kedua negara tersebut kepada Indonesia sudah cukup besar untuk mengatasi
masalah ini. Cara penyelesaian sengketa yang paling tradisional adalah dengan
perundingan secara langsung (negotiation). Perundingan diadakan dalam

bentuk-bentuk pembicaraan langsung antara negara-negara yang bersengketa dalam


pertemuan tertutup antara wakil-wakilnya. Perundingan-perundingan langsung ini
biasanya dilakukan

menteri-menteri luar negeri, duta-duta besar atau wakil-wakil yang ditugaskan ad


khusus hoc. untuk berunding dalam kerangka itu juga

diplomasi

Ada

kalanya

sengketa

dinternasionalisasikan dalam sebuah konferensi internasional.62


61 Black’s Law Dictionary 62 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan
dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2000 hlm. 190
Untuk kasus ini sepertinya bentuk inilah yang sedang berjalan, terbukti dengan
negoisiasi-negosiasi Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dalam menyusun draft-
draft kesepakatan dalam menyelesaikan masalah kabut asap. Konferensi internasional
juga terbukti dengan adanya Sub Regional Ministerial Meeting dalam lingkup ASEAN.
Politik luar negeri adalah cara dalam melaksanakan

hubungan luar negeri antara satu negara dengan negara lainnya. Pada kenyataanya
politik luar negeri banyak dipengaruhi oleh intrik-intrik yang disebabkan oleh
tujuan masing-masing negara yang berbeda. Obyek politik luar negeri sendiri luas
menyangkut perjanjian-perjanjian internasional. Adapun subyek-subyek

pelakunya luas mencakup kepala negara hingga warga negaranya. Dalam menjalankan
politik luar negerinya, setiap negara memiliki gayanya masing-masing, yang tentu
akan dipengaruhi oleh faktor kebudayaan yang berlaku di masing-masing negara. Oleh
karena itu kajian politik internasional tidak akan lepas dari disiplin ilmu lain
seperti ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Sikap kedua negara atau boleh dibilang
politik luar negeri sedikit berbeda menanggapi masalah ini. Singapura mengambil
sikap netral dengan membantu Indonesia lewat program

penyuluhan kebakaran hutannya, sedangkan Malaysia mengambil sikap yang pasif


dengan mengembalikan tanggungjawab
permasalahan

ini

kepada

Indonesia.

Jika

melihat

prinsip

pertanggungjawaban secara internasional terutama dalam kasus pencemaran lingkungan


maka kasus pencemaran dapat dilihat sebagai kasus yang universal. Artinya,
prinsip-prinsip yang berlaku disini adalah prinsip-prinsip atau kebiasaan hukum
internasional. Mengingat lingkupnya adalah internasional maka sudah dapat
dipastikan kalau kasus ini sendiri akan membawa dampak bagi masyarakat
internasional. Jika dibandingkan dengan kasus-kasus transboundary pollution yang
lain maka kasus ini belum dapat diselesaikan secara yuridis karena memiliki
beberapa kekurangan bagi dasar penyelesaiannya yakni : 1. Belum ada peraturan
hukum secara internasional yang mengikat bagi pihak yang merugikan dan dirugikan
2. Substansi permasalahan ada pada kebakaran hutan dan kabut asap itu sendiri pada
saat ini dan bukan pada mekanisme pertanggungjawabannya sehingga yang

diprioritaskan adalah penananganan kebakaran hutan Maksudnya adalah dalam


pembahasan dalam kasus ini hanya akan mengarah kepada mekanisme apa yang cocok
untuk dapat dijalankan di kasus ini. Oleh karena itu sebaiknya bagi pihak yang
merugikan adalah menyelesaikan kasus ini dalam lingkup dalam negeri terlebih
dahulu agar untuk ke depannya kasus ini tidak akan berlanjut
kepada arbitrasi atau mahkamah internasional. Sementara itu bagi pihak yang
dirugikan itu adalah melihat yakni kepada substansi

permasalahan

sendiri

kepada

pencemaran

lingkungannya. Prinsip yang berlaku dalam kasus ini salah satunya adalah prinsip
cooperation atau kerjasama. Hal ini berlaku dalam negara-negara ASEAN menghadapai
masalah kabut asap. Salah satu yang dibahas dalam AATHP adalah masalah haze fund
yang disediakan negara-negara ASEAN untuk menangani masalah ini. Inti yang dapat
ditarik dari kerjasama ini adalah kata sepakat atau konsensus di antara negara
anggotanya untuk segera

menyelesaikan masalah ini. Berdasarkan Bab IV the Treaty of Amity and Cooperation
in Southeast Asia (TAC), terdapat 3 (tiga) mekanisme atau prosedur penyelesaian
sengketa yang dikenal negara-negara anggota

ASEAN, meliputi : 1. Penghindaran Timbulnya Sengketa dan Penyelesaian Melalui


Negosiasi secara langsung Pasal 13 TAC mensyaratkan negara-negara anggota untuk
sebisa mungkin dengan iktikad baik mencegah timbulnya sengketa di antara mereka.
Namun apabila sengketa tetap lahir dan tidak mungkin dicegah maka para pihak wajib
menahan diri untuk tidak menggunakan (ancaman) kekerasan. Pasal ini selanjutnya

mewajibkan para pihak untuk menyelesaikannya melalui negosiasi


secara baik-baik (friendly negotiations) dan langsung di antara mereka. Pasal 13
TAC berbunyi : The High Contracting Parties shall have the determination and good
faith to prevent disputes from arising. In case disputes on matters directly
affecting them should arise, especially disputes likely to disturb regional peace
and harmony, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all
times settle such disputes among themselves through friendly negotiations. 2.
Penyelesaian Sengketa Melalui the High Council Manakala negosiasi secara langsung
oleh para pihak gagal, penyelesaian sengketa masih dimungkinkan dilakukan oleh the
High Council (Pasal 14 TAC). Pasal 14 TAC berbunyi : To settle disputes through
regional process, the High Contracting Parties shall constitute, as a continuing
body, a High council comprising a Representative at ministerial level from each of
the High contracting parties to take cognizance of the existence of disputes or
situations likely to disturb regional peace and harmony. The Council terdiri dari
setiap negara anggota ASEAN. Apabila sengketa timbul maka the Council akan memberi
rekomendasi mengenai cara-cara penyelesaian sengketanya. The High Council juga
diberi wewenang untuk memberikan jasa baik, mediasi, penyelidikan atau konsiliasi,
apabila para pihak menyetujuinya (Pasal 15 dan 16 TAC). Pasal 15 TAC berbunyi : In
the event no solution is reached through direct
negotiations, the High Council shall take cognizance of the dispute or the
situation and shall recommend to the parties in dispute appropriate means of
settlement such as good offices, mediation, inquiry or conciliation. The High
council may however offer its good offices, or upon agreement of the parties in
dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation, inquiry
or conciliation. The high Council may however offer its good offices, or upon
agreement of the parties in dispute, constitute itself into a committee of
mediation, inquiry or conciliation. When deemed necesarry, the High Council shall
recomend appropriate measures for the prevention of a deterioration of the dispute
or the situation. Pasal 16 TAC berbunyi : The foregoing provision of this Chapter
shall not apply to a dispute unless all the parties to the dispute agree to their
application to that dispute. However this shall not preclude the other High
Contracting Parties not party to the dispute from offering all possible assistance
to settle the said dispute. Parties to the dispute should be well disposed of
towards such offers of assistance. 3. Cara-Cara penyelesaian Sengketa Berdasarkan
pasal 33 Ayat (1) Piagam PBB Meskipun terdapat mekanisme di atas, TAC tidak

menghalangi para pihak untuk menempuh cara atau metode penyelsaian sengketa
lainnya yang para pihak sepakati

sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB (Pasal 17 TAC). Dalam
praktik, para pihak yang bersengketa lebih

cenderung untuk menyelesaikan sengketanya secara hukum. Misalnya penyelesaian


sengketa sesuai dengan Pasal 17 TAC, yaitu penyelesaian sengketa sesuai dengan
Pasal 17 TAC, yaitu
penyelesaian sengketa ke Mahkamah Internasional (ICJ). Contoh langkah seperti ini
misalnya adalah sengketa Indonesia-Malaysia mengenai status kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan, atau antara Malaysia-Singapura mengenai status kepemilikan Pulau
Batu Puteh. Pasal 17 TAC berbunyi: Nothing in this Treaty shall preclude recourse
to the modes to peaceful settlement contained in Article 33 (1) of the Charter of
the United Nations. The High Contracting parties which are parties to a dispute
should be encouraged to take initiatives to solve it by friendly negotiations
before resorting to the other procedures provided for in the Charter of the United
Nations. Uraian di atas mengisyaratkan beberapa kesimpulan berikut. Pertama,
berdirinya dari instrumen-instrumen internasional hukum regional, yang mendasari
adanya

organisasi

tersirat

kehendak dari negara-negara pendirinya untuk menghindari caracara kekerasan dalam


penyelesaian sengketa. Instrumen-

instrumen tersebut mengakui dan menyadari bahwa penyelesaian sengketa harus


dilaksanakan secara damai di antara mereka. Kedua, mensyaratkan badan-badan kata
organisasi untuk internasional menentukan regional atau

sepakat

cara

mekanisme yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa mereka. Tiga,


organisasi-organisasi internasional regional

memberikan fungsi non yudisial kepada lembaga baik yang sudah


ada atau yang secara khusus dibentuk. Empat, kecenderungan lain yang juga tampak
adalah latar belakang dan tujuan pembentukan suatu organisasi yang sedikit banyak
akan memberi warna terhadap penyelesaian sengketa. Organisasi regional yang dikaji
di atas umumnya adalah organisasi regional persoalan politis. atau Karena sengketa
ditempuh itu tampaknya timbul wajar di pula apabila mereka hal ini,

yang secara

antara Dalam

penyelesaiannya

politis.

penyelesaiannya misalnya dilakukan secara negosiasi, mediasi atau penyelesaian


melalui bantuan pihak ketiga lainnya, baik oleh suatu lembaga permanen atau suatu
lembaga ad hoc (sementara). Lima, pemanfaatan Pasal 33 ayat (1) piagam PBB,
khususnya penyelesaian melalui jalur hukum, dalam hal ini oleh Mahkamah
Internasional (ICJ), hanya ditempuh oleh para pihak manakala cara-cara
penyelesaian sengketa secara langsung (atau melalui pihak ketiga) telah ditempuh
dan ternyata gagal. Relevansi kasus ini dengan AATHP adalah letak AATHP yang
menjadi mekanisme yuridis atau dasar hukum bagi penyelesaian kasus ini kelak AATHP
adalah salah satu jenis traktat multilateral yang mengandung nilai-nilai dan
prinsip kerjasama yang dianut oleh ASEAN. AATHP juga menyediakan mekanisme
penyelesaian masalah kabut asap yang akan berjalan dalam lingkup kerjasama
internasional.
Traktat adalah metode yang paling sering dilakukan untuk membuat peraturan
internasional yang mengikat terkait dengan lingkungan. Pada dasarnya itu adalah
perjanjian dengan berbagai bentuk diantara negara yang diatur oleh hukum
internasional. Pembentukannya mengacu pada Konvensi Wina 1969. Negara yang telah
menandatangani traktat namun belum meratifikasinya dilarang untuk melakukan
aktivitas yang dilarang oleh traktat.63 Salah satu traktat yang berpengaruh dalam
kasus ini adalah Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources
yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 9 Juli 1985. Traktat ini menjamin
perlindungan bagi sumber daya alam.yang tercantum dalam prinsip dasar pada pasal
1. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, yaitu suatu perjanjian
multilateral di antara negara-negara ASEAN untuk menuntaskan masalah kabut asap.
Menarik untuk diulas karena persoalan kabut asap ini telah berulang-ulang kali
terjadi dan merugikan banyak pihak. Oleh karena itu dibuatlah perangkat ini
sebagai salah satu alat untuk menangani masalah tersebut. Traktat ini
ditandatangani tanggal 10 Juni tahun 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada saat itu
negara-negara yang menandatangani adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia,
Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan
63 Patricia W. Birnie, Alan E. Boyle, International Law & the Environment, Oxford,
1992, hlm. 11-14
Vietnam. Traktat ini menekankan kembali kepada Deklarasi ASEAN 8 Agustus 1967 yang
mengibarkan semangat kerjasama regional diantara negara-negara ASEAN. Juga
mengingat kembali pada pertemuan di Kuala Lumpur mengenai Lingkungan dan
Pembangunan yang menyatakan perlunya pencegahan polusi lintas batas negara. Juga
lanjutan dari Rencana ASEAN akan Polusi Lintas Batas pada tahun 1995 yang khusus
membahas mengenai polusi lintas batas negara dalam udara, dan menetapkan prosedur
dan mekanisme kerjasama diantara negara ASEAN dalam

pencegahan dan mitigasi kebakaran hutan dan kabut asap. Traktat ini bertujuan
untuk menggerakkan Rencana Kabut Asap 1997 dan Rencana Hanoi yang bermaksud

mengimplementasikan Rencana Kerjasama ASEAN terhadap Polusi Lintas Batas 1995,


dengan penekanan Rencana Regional Kabut Asap sampai tahun 2001. Substansi yang
diatur dalam AATHP adalah pengikatan kerjasama antara para pihak dalam ASEAN untuk
menuntaskan masalah polusi kabut asap lintas batas. Adapun hambatan yang
menghalangi tercapainya tujuan ini secara sempurna adalah belum semua negara ASEAN
meratifikasi perjanjian ini, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia sendiri

peratifikasian perjanjian ini akan menguntungkan karena dijamin bantuan dari para
Pihak untuk menyelesaikan masalah kabut asap yang nota bene sebagian berasal dari
negara ini. Saran terhadap
traktat ini sendiri adalah pencantuman klausula formal yang jelas karena secara
teknis belum jelas panduan pelaksanaannya dalam traktat ini. Peratifikasian AATHP
adalah salah satu kunci bagi kasus ini agar memiliki mekanisme secara
internasional. Perjanjian ini sendiri sudah terbentuk pada tahun 1997. Hingga saat
ini hanya Indonesia dan Filipina yang belum meratifikasinya. Bagi Indonesia proses
di DPR yang menghambat proses ratifikasi. Walaupun secara eksplisit dalam pasal 6
UU no. 37 tahun 1999 memang dikatakan untuk perjanjian internasional adalah
wewenang badan legislatif. Walaupun perjanjian ini tergolong soft law, salah satu
alasannya adalah karena tidak ada sanksi yang mengikat bagi para pihak, tetapi
dengan semangat kerjasama yang diusung ASEAN telah berlangsung usaha-usaha untuk
mengatasi masalah ini. Dalam perjanjian ini juga disinggung mengenai Conference of
the Parties. Indonesia dan Filipina walaupun belum meratifikasi AATHP tetapi
mereka diundang kepada setiap konferensi. Political will dibutuhkan Indonesia
untuk meratifikasi AATHP karena akan muncul implikasi-implikasi berikutnya.
Persetujuan ini

memerlukan ratifikasi, penerimaan, persetujuan, dan aksesi dari setiap negara


pihak untuk dapat berlaku ke dalam hukum nasionalnya. Pembukaan atas instrumen-
instrumen tersebut
adalah pada hari setelah persetujuan tersebut tertutup untuk penandatanganan.
Dalam pasal 28 juga menyebutkan bahwa

“This Agreement shall be subject to ratification, acceptance, approval or


accession by the Member States. It shall be opened for accession from the day
after the date on which the Agreement is closed for signature. Instruments of
ratification, acceptance, approval or accession shall be deposited with the
Depositary” Artinya pemberlakuan atas instrumen-instrumen tersebut di atas harus
disimpan oleh depositary sebelumnya. Yang

dimaksud dengan depositary disini adalah Sekretaris Jenderal ASEAN yang akan
membuat salinan dari instrumen-instrumen tersebut dari setiap negara anggota.
Salah satu implikasi adalah perubahan citra negara

peratifikasi yang harus bertanggungjawab terhadap ketentuanketentuan yang


mengikatnya. Peratifikasian perjanjian ini

memakan waktu yang lama karena proses yang berlangsung di badan legislatif
Indonesia. Sementara itu, selama proses ini berjalan juga telah ada Memorandum of
Understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia juga antara Indonesia dan

Singapura. Walaupun MoU in belum ditandatangani, proses negosiasi telah berjalan


sejak bulan Februari. Salah satu poin penting dan substansial yang dibahas dalam
MoU ini adalah mengenai kerjasama antara kedua belah pihak untuk melakukan
transfer of knowledge dalam menangani masalah kabut asap. Satu hal yang tidak
disinggung dalam MoU ini adalah masalah finansial atau pendanaan. Berbeda dengan
AATHP dimana para pihak telah sepakat untuk menyumbang iuran yang besarnya sama.

H. PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN TANGGUNG JAWAB NEGARA

Ketentuan Pasal 1 Draft International Law Commision (ILC) tentang


Pertanggungjawaban Negara berisi bahwa “Setiap

tindakan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum internasional membawakan


tanggungjawab internasional bagi negara itu.” Selain itu kita juga melanggar
prinsip ke-14 Deklarasi Rio 1992 yang mengatakan “Pencegahan peralihan bahan
perusak

lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah.” Menurut
hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang
bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang

melanggar hukum internasional. Prinsip-prinsip internasional yang berkaitan antara


lain : 1. sic utere tuo ut alienum non laedas 2. Draft ILC art. 7 dan 8 yang
mewajibkan meminimilasir transboundary pollution
3. abuse of rights Bentuk pertanggungjawaban internasional seringkali

bersumber pada hukum kebiasaan. Contoh kasus yang mirip dengan ini adalah kasus
Trail Smelter. Kasus Trail Smelter

bermula dari kasus pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk
milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada, dekat sungai
Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Mulai tahun 1920
produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandung
sulfur dioksida, menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Pada tahun
1930 jumlah emisi tersebut mencapai lebih dari 300 ton sulfur setiap hari. Emisi
tersebut, karena terbawa angin, bergerak ke arah wilayah AS melalui lembah sungai
Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air dan udara,
kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya. AS kemudian
melakukan klaim terhadap Kanada dan

meminta Kanada bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita AS. Setelah


melakukan negosiasi, kedua negara sepakat untuk menyelesaikan kasus itu melalui
International Joint

Commision, suatu badan adminsitratif yang dibentuk berdasarkan Boundary Waters


Treaty 1907. Badan itu tidak mempunyai yurisdiksi terhadap masalah-masalah
pencemaran udara dan
sesungguhnya hanya mempunyai yurisdiksi terhadap sengketasengketa yang berkaitan
dengan masalah perbatasan perairan. Pada tahun 1931, komisi tersebut berhasil
menyelesaikan pekerjaannya, untuk mengumpulkan fakta, dan melaporkan bahwa
kerugian yang diderita AS, termasuk yang terjadi dan yang masih diperkirakan,
mencapai jumlah 350.000 dolar ASD. Kanada yang tidak mempersoalkan jumlah tersebut
menyetujui membayar jumlah tersebut. Tetapi setelah tahun 1931, AS kembali
menuntut ganti rugi dari pihak Kanada berhubung polusi yang terjadi masih terus
berlangsung. Besar tuntutan ganti yang diajukan AS adalah 2 (dua) juta dolar AS.
Tuntutan kedua ini diselesaikan melalui Badan Arbitrase yang dibentuk oleh kedua
negara. Badan Arbitrase menetapkan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip hukum
umum, yaitu prinsip abuse of rights, dan tanggungjawab negara dengan menyatakan
bahwa: ..no States has the right to use or permit the use of its territory in such
a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another or the
properties os persons therein… Badan Arbitrase, dalam keputusannya, menetapkan dua
hal, pertama, mewajibkan Kanada membayar ganti rugi sebesar 78.000 dólar AS, dan
kedua, mewajibkan Kanada untuk mencegah kerugian yang mungkin timbul pada masa-
masa selanjutnya (to
prevent the future damage), menurunkan emisi sampai tingkat tidak melampaui ambang
batas (acceptable level). Kasus tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian kasus
lingkungan internasional, menggunakan prinsip-prinsip hukum umum sebagai dasar
untuk memutuskan sengketa. Pada sisi lain, dalam menerapkan prinsip tanggungjawab
ganti untuk rugi negara, (liability) hakim dalam

arbitrase kombinasi

menerapkan dengan

prinsip

kewajiban

mencegah

kerugian

selanjutnya (duty to prevent). Peran hukum nasional bagi berlakunya hukum


internasional adalah besar, dan ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, hukum
nasional adalah wadah untuk mengimplementasikan kewajiban internasionalnya baik ke
dalam maupun ke luar negeri. Kedua, hukum nasional bisa digunakan untuk
menempatkan

tanggungjawab pencemaran langsung kepada pencemar bukan kepada negara secara tidak
langsung nasional jika bisa memang menjaga tidak dari

mencemari.

Ketiga,

hukum

kemungkinan dari terjadinya polusi lintas batas.64 Oleh karena itu otonomi daerah
dalam kasus kabut asap di Indonesia perlu dilibatkan untuk menerapkan ketiga
alasan di atas. Hal ini juga menjadi alasan kuat mengingat kebakaran hutan terjadi
di daerah Riau dan Riau sendiri sudah memiliki otonomi daerah yang
64 Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, International Law & the Environment, Oxford,
1992, hlm. 190
mengaturnya. Dalam bidang lingkungan hidup, otonomi daerah berarti : a.
Menyesuaikan kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam dengan ekosistem setempat.
b. Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat di dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari c. Tidak
berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan batas ekologi (bioecoregion)
d. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan menghancurkan
daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati daya dukung e. Pelibatan
secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling
berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup. Syarat-syarat agar otonomi berjalan dengan baik : a. Otonomi
adalah perwujudan kedaulatan rakyat b. Otonomi harus menghormati hukum
internasional65 Menurut Pasal 13 UU no. 32 tahun 2004 Pemerintah Daerah diberikan
kewenangan seperti berikut : a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b.
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c.penyelenggaraan masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f.
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g.
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
65 WALHI, Otonomi Daerah : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, hlm.
4

ketertiban

umum

dan

ketentraman
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas
kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan
administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk
lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh
peraturan

perundang-undangan. Dalam hal ini adalah poin j yakni pengendalian lingkungan


hidup maka beberapa propinsi yang telah menyumbang kabut asap dapat disebut
melanggar pasal ini. Walaupun kemudian dalam pasal 15 dikatakan bahwa sumber uang
berasal dari Pemerintah Pusat namun tetap daerahlah yang mengelolanya untuk
melaksanakan kewajiban sesuai dengan Pasal 13. Pasal 21 memang menyebutkan daerah
boleh mengeksploitasi kekayaan sumber daya alamnya namun ini tidak boleh
bertentangan lagi dengan prinsip yang terdapat pada pasal 13. Menurut pasal 155,
dikatakan kalau urusan daerah maka dibiayai oleh Pemda sedangkan jika urusan
Pusat maka dibiayai oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal ini urusan daerah termasuk
pemeliharaan lingkungan hidup sedangkan penanggulangannya termasuk urusan
kebakaran hutan menjadi beban Pemerintah Pusat. PP no. 4 tahun 2001 juga mengatur
pertanggungjawaban kasus ini secara nasional. Pasal 11 secara tegas melarang
setiap orang untuk melakukan pembakaran hutan. Bagi yang melanggar bisa dikenakan
sanksi ganti kerugian seperti tercantum dalam pasal 49.

I.

Yurisprudensi-yurisprudensi

berkaitan

Transboundary

Pollution Beberapa kasus internasional yang menarik perhatian dan dapat dijadikan
bahan studi perbandingan yang menyangkut hukum perdata lingkungan internasional
khusus perbuatan

melanggar hukum (onrectmatige daad; tort) dan juga hukum publik seperti kasus
bocornya pabrik Union Carbide di Bhopal India. Malapetaka ini menimbulkan banyak
korban jiwa,

kesehatan, harta, tanaman, dan hewan. Ia menimbulkan masalah perdata karena


perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad; tort) antara pabrik di satu pihak
dan para korban di lain pihak. Ini pun menimbulkan kaitan dengan hukum perdata
internasional, karena pusat pabrik itu berada di Amerika Serikat yang sudah jelas
dapat timbul masalah hukum eksekusi. Tempat perbuatan
(locus actus) dan kerugian yang timbul (locus damni) berada di satu tempat
(negara), yaitu Bhopal, India. Jadi, masalah hakim nasional (India) dan hukum
nasional (India) dapat diterapkan. Yang mungkin menjadi masalah adalah hukum
eksekusi, jika pabrik di Bhopal itu tidak mampu membayar ganti kerugian yang
pusatnya ada di Amerika Serikat. Sampai kini masih belum tuntas benar masalah
ganti kerugian itu. Sebagaimana dikemukakan oleh Jessurum d’Oliveira ada tiga
masalah dalam hukum perdata lingkungan internasional, yaitu : a. Wewenang hukum
nasional untuk memutuskan perkara b. Dapat ditetapkan hukum nasional; c. Hukum
eksekusi Masalah yang lebih rumit jika tempat dilakukannya

perbuatan (locus actus) berada di negara yang satu, tetapi akibat perbuatan yang
menimbulkan kerugian (locus damni) berada di negara lain. Jadi, terjadilah
pencemaran dan perusakan

lingkungan yang transnasional (melampaui batas negara). Pada umumnya ini terjadi
dalam hal pencemaran air sungai yang mengalir di lebih dari satu negara,
pencemaran udara,

pencemaran laut, dan mungkin juga kebakaran hutan seperti antara Serawak dan
Kalimantan Barat, Sabah dan Kalimantan, Timur Swiss dan Austria, dan lain-lain.
Pencemaran sungai Rijn di hulu (Swiss) dapat membawa
akibat berupa kerugian di Jerman atau Belanda atau pembakaran hutan di Serawak
dapat merembet ke wilayah Kalimantan Barat Indonesia. Begitu pula pencemaran Selat
Malaka yang berasal dari daratan Malaysia dapat membawa akibat di perairan Sumatra
Indonesia. Semuanya ini menunjukkan bahwa locus actus berbeda dengan locus damni.
Walaupun locus actus dan locus damni berada di dalam suatu negara, yaitu India
dalam kasus Bhopal, namun pemerintah India atas nama korban sebagai parens patriae
menggugat Union Carbide yang berpusat di Amerika Serikat di pengadilan distrik
federal Southern District, New York. Mungkin dengan

pertimbangan sulitnya melakukan eksekusi jika gugatan perdata diajukan di India.


Dua tahun sesudah gugatan diajukan, pengadilan distrik tersebut menolak gugatan
dengan alasan antara lain bahwa Union Carbide bersedia memenuhi putusan pengadilan
di India. Pada permulaan bulan September 1986 diajukan gugatan oleh

Pemerintah India kepada pengadilan di Bhopal India karena bocornya gas di pabrik
Union Carbide yang menimbulkan

kerugian. Gugatan itu meliputi $ 3 miliar sebagai ganti kerugian. Masalah yang
paling rumit dalam kasus ini adalah masalah hukum eksekusi karena kekayaan Union
Carbide berada di Amerika Serikat.
Jauh sebelum peristiwa Bhopal, yaitu pada tahun 1976 terjadi malapetaka di pabrik
kimia di Seveso Italia. Pada tanggal 10 Juli 1976, suatu ledakan terjadi di pabrik
kepunyaan Givaudan di Mede. Suatu pabrik yang menjadi cabang dari pabrik Hoffman
La Roche di Swiss. Terjadi awan berupa gas trichiorophenol dengan bau obat yang
sangat tajam berisi kira-kira 4 setengah pon subtansi 2, 3, 7, 8 dibenzo-
paradioxine, terkenal dengan nama TCDD atau dioxine. Zat itu masuk ke atmosfir di
sekitar pabrik, kemudian jatuh kebagian 7 kota Italia, tiga daerah yang sangat
parah terkena polusi, yaitu Mede, Seveso, dan Cecano Mardeno. Kerugian yang
diakibatkan oleh kelalaian pengelola pabrik terutama karena terlambat melaporkan
kejadian (ledakan) sangat besar, begitu pula akibatnya terhadap kesehatan manusia.

Menurut penelitian medis di kalangan pekerja pabrik, banyak di antaranya merasa


mual, muntah-muntah, terbakar, melepuh, dan pusing. Segera setelah kejadian itu,
permintaan perabot dan pakaian yang dijual pedagang setempat dibatalkan dan
ditawarkan dengan rabat yang sangat besar. Pabrik ditutup selamanya setelah lebih
sebulan timbul kejadian. Dilakukan evakuasi dari daerah yang tercemar. Rumah-rumah
di daerah yang paling tercemar

dirubuhkan dan bangunan lain didekontamninasi. Akhirnya, Pemerintah Italia dan


daerah Lombardy mencapai
perhatian dengan perusahaan LaRoche , yaitu perwakilannya, Givaudan, berupa
kompensasi untuk Seveso. Givaudan berjanji untuk membayar kedua pemerintah sebesar
$ 80 juta untuk pengeluaran oleh berbagai kementerian, reklamasi tanah,

pembangunan kembali sarana kesehatan di daerah itu, kerusakan panen, dan


dekontaminasi. Mengenai pidana kepada mereka yang bertanggung jawab, akan disebut
di bagian B di belakang mengenai penegakan hukum publik lingkungan internasional.
Malapetaka terhadap lingkungan karena kebocoran reaksi nuklir terjadi di
Chernobyl, Ukraina. Malapetaka Chernobyl menwaskan 31 orang, 237 orang menderita
radiasi, saebagaian ditransplantasi tulangnya, dan 135.000 orang diungsikan dari
radius 18 mil dari sekitar tenaga pembangkit itu. Puluhan ribu burh
didekontaminasi, 60.000 bangunan dalam 500 desa dibangun tembok beton berjarak 50
kaki dari bawah tanah sekitar pusat pembangkit itu untuk membelok air yang sudah
tercemar dan memotong tanah dari radioaktif serta memotong tanah sekitar beberapa
mil persegi. Bahaya Pemerintah radioaktif Polandia menimpa beberapa negara Eropa.

mengambil

tindakan

melarang

menggembalakan sapi dan supaya sapi diberi rumput, melarang anak-anak minum susu
di beberapa daerah dan memberi mereka
iodine. Di Prancis tingkat radioaktif naik menjadi 400 kali yang tercatat secara
normal. Di Inggris orang dilarang minum air hujan karena tercatat awan radio aktif
di Kent. Begitu pula halnya dengan Finlandia, Italia dan Irlandia. Di Swiss,
nelayan dilarang menangkap ikan di Danau Ugano karena ada radioaktif di situ.
Pemerintah Swiss mengganti kerugian nelayan karena dilarang menangkap ikan.
Meskipun parlemen Eropa mendesak agar menuntut ganti kerugian dari Uni Soviet
tetapi tidak ada kepastian mengenai hal itu. Mungkin karena Uni Soviet masih
berpaham komunis dan perang dingin masih berlangsung, lagi pula Uni Soviet masih
merupakan salah satu negara adidaya pada masa itu. Enam bulan setelah terjadi
malapetaka Chernobyl, yaitu pada tanggal 1 November 1986 terjadi kebakaran zat
kimia yang hebat di pabrik Sandoz, suatu industria multinasional Swiss di Basel.
Pemerintah Swiss menyatakan terjadi 30 ton zat kimia tumpah ke sungai Rijn
termasuk herbicides, pestisida, dan mercury beracun. Akan tetapi, pemerintah
Prancis mengatakan semuanya 1.000 ton. Sandoz melaporkan, bahwa sebagian besar
dari 1.246 ton vahan di dalam gudang tumpah ke Sungai Rijn sewaktu pemadam
kebakaran melakukan pemadaman di pabrik itu, yang terdiri atas
824 ton insecticide, 4 ton obat pelarut, 12 ton komponen organik berisi mercury.
Pencemaran sungai Rijn ini memberi dampak ke Jerman, Prancis, dan Belanda di
samping Swiss sendiri. Segera pemerintah mengundang semua menteri lingkungan dari
negara-negara yang dilalui sungai Rijn, dan mengaku telah mengeluarkan seperempat
juta dólar untuk pengawasan pencemaran. Pemerintah Prancis menyodorkan kepada
pemerintah Swiss tuntutan $ 38 juta sebagai ganti atas kerugian industri, sistem
ekologi, dan kerugian

potensial berupa biaya membangun bendungan dan fasilitas lain sepanjang sungai
Rijn, seperti sistem pompa air. Pemerintah Swiss dan Sandoz beserta CIBA Geigy

menunjukkan perhatian untuk mengganti kerugian, walaupun tidak jelas siapa yang
bertanggungjawab dan berapa yang dituntut. Sebagai tindakan pencegahan pencemaran
oleh industri terhadap sungai Rijn di masa depan, diadakanlah pertemuan menteri
dan mencapai persetujuan pada tanggal 1 Desember 1986 untuk menanggulangi
pencemaran sungai Rijn oleh industri. Perlu pula disebutkan di sini beberapa
kejadian pencemaran laut karena minyak tumpah dari kapal tangki. Yang menyangkut
Indonesia adalah peristiwa kandasnya kapal tangki Showa Maru di Selat Malaka pada
tanggal 6 Januari 1975. Kapal tangki
berbendera Jepang milik perusahaan Taiheyo Kaiun Co. Ltd. Di Tokyo yang berbobot
mati 237.698 metrik ton kandas di sebuah karang yang namanya Buffalo Rock di selat
Singapura wilayah Indonesia. Mahkamah nakhoda kapal pelayaran melakukan menyatakan
antara lain, yang bahwa kurang

tindakan-tindakan

bijaksana seperti : a. Kelalaian untuk memplot posisi kapal secara terus menerus
guna mengetahui apakah kapal itu benar berlayar secara terus menerus guna
mengetahui apakah kapal itu benar berlayar pada trayek yang telah direncanakan
semula, yang sangat perlu di dalam suatu daerah pelayaran yang

berbahaya bagi kapalnya dan yang dipengaruhi oleh arus pasang surut; b. Kelalaian
untuk memeriksa kembali posisi-posisi kapal

dengan misalnya memakai pedoman guna membaring titiktitik baringan yang dapat
dilihat secara visual; c. Kepercayaan untuk selalu mempercayai alat bantú navigasi
radar dengan hanya membaring satu titik baringan saja, sedangkan pada daerah
pelayaran ini terdapat banyak titik baringan yang lebih tepat posisinya seperti
mercusuar Raffles dan St. John; d. Kelalaian untuk tidak menyuruh perwira navigasi
lain yang
juga berada di anjungan, seperti subcaptain dan mualim I supaya mengadakan
baringan ulang; e. Kelalaian untuk tidak memakai alat perum dan sonar doppler
sewaktu mengubah haluan untuk memeriksa

kedalaman air; f. Kelalaian untuk tidak mempelajari sifat-sifat dan periode suar
sebelum dibaring, satu dan lain untuk dapat

membedakan suar-suar satu sama lain. Pada bagian lain konsiderans putusan mahkamah
dikatakan: “Ditinjau dari segi nautik dan teknis dan dihubungkan dengan besarnya
kapal, sempit serta dangkalnya Selat Singapura bagi kapal-kapal raksasa, mahkamah
menilai kejadian tersebut sebagai sesuatu yang sesungguhnya dapat dicegah dan
tidak perlu terjadi, seandainya saran dan anjuran yang diberikan sebelumnya untuk
tidak melayani selat tersebut dengan kapal-kapal itu diindahkan.” Akibat kandasnya
kapal dan tumpahnya minyak ke laut cukup besar seperti dampaknya terhadap : 1.
Pulau-pulau Takong, Pemping, Bulan, Kasu, Ampar, dan lumban besar; 2. Jaring-
jaring ikan terkena minyak di utara Pulau Kelapa Jernih dan Pemping; 3. Minyak
tebal dijumpai di pantai di sebelah utara Pulau Kelapa Jernih; 4. Gumpalan minyak
dijumpai di pantai Pulau Karimun Besar. Lebih jauh ada dampaknya terhadap :
a. Pulau

Pemping,

Pulau

Pelampong,

dan

Pulau

Takong

kelihatannya telah tercemari pula oleh minyak mentah; b. Rumah-rumah dan tiang-
tiang kelihatan terkena minyak; c. Jala-jala nelayan terkena minyak; d. Hutan
bakau tempat bertelur dan bersemai ikan tercemar minyak. Indonesia mengajukan
tuntutan (claim) tanggal 29 Mei 1975 sebagai berikut. 1. Biaya langsung yang
meliputi biaya pengumpulan data kerusakan pencemaran beserta hal-hal bersangkutan
dengan itu, biaya pencegahan dan penangkalan pencemaran serta perluasan pencemaran
di pantai, dan biaya pembersihan tumpukan minyak. 2. Kerugian sosial ekonomis yang
meliputi tiga sektor utama, yaitu sektor produksi, sektor perdagangan, dan sektor
sosial. 3. Kerugian ekologis, yaitu keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk
operasi monitoring dan rehabilitasi wilayah tercemar. Dibuatlah perjanjian antara
pencemar, yaitu The Britania Insurance Company Limited yang mewakili Taiheyo Kaiun
Co. Ltd. Kuasa pemerintahan Republik Indonesia, yaitu Agreement and release
tanggal 21 Desember 1976. Masih ada tumpahan minyak laut yang berasal dari kapal
tangki yang lain yang tercatat secara internasional seperti
kecelakaan tangki Exxon Valders yang merupakan pencemaran tumpahan minyak yang
terbesar dalam sejarah Amerika. Peristiwa ini terjadi bulan Maret 1989 yang
merupakan tumpah minyak di perairan Alaska sebanyak sebelas juta galon. Malapetaka
ini menyebabkan Amerika Serikat tersentak, sehingga kongres

mengeluarkan Oil Pollution Act yang ditandatangani oleh presiden tanggal 18


Agustus 1990. Di dalam bulan Juni tahun 1990 supertanker Mega Brog meledak dan
membakar Teluk Meksiko. Peristiwa itu terjadi ketika kapal itu memindahkan
muatannya sebanyak 1 juta galon ke kapal yang lebih kecil. Ledakan telah
menewaskan dua orang serta dua orang lagi hilang diduga tewas dan banyak yang
terluka. Ketika ledakan terjadi, telah 3 juta galon minyak dipindahkan ke kapal
lain. Tumpahan minyak seluas 30 mil panjangnya dan 10 mil lebarnya lepas pantai
Galveston Texas. Jika 38 juta galon yang sisa tumpah semuanya Exxon ke laut,
akibatnya lebih dari riga kali

kecelakaan

Valders.

Kebakaran

terjadi

seminggu,

menyebabkan awan menjadi kelabu. Usaha mencegah meluasnya pencemaran kurang


berhasil. Ditaburkan bakteri untuk merombak minyak yang tumpah namun kurang
efektif. Empat juta galon tumpah, tetapi sebagian habis karena kebakaran. Usaha

pemadaman dari kapal laut dan udara. Andaikata kapal karam,


maka tumpahan minyak hebat sekali. Untung kapal tidak karam. Kecelakaan kapal
tangki Amaco Cadiz lebih hebat, yaitu 68 juta galon tumpah ke laut di Utara
Prancis pada tahun 1978. Pencemaran terjadi 80 mil panjangnya dan 18 mil lebarnya.
Di dalam bulan Juni 1990 putusan hakim untuk ganti kerugian sebanyak $160 juta
ditimpahkan Arnoco.66

66 Prof. Dr. jur. Andi Hamzah. Penegakan Hukum Lingkungan, hlm. 133
BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN Bentuk pertanggungjawaban negara yang paling tepat

adalah penerapan tanggungjawab berupa ganti rugi (pecuniary reparation) kerusakan.


dengan Menurut kewajiban definisi untuk Goldie mencegah tentang terulangnya maka

liability

pemberian ganti

rugi layak dilakukan karena negara yang

merugikan tidak memenuhi standar baku mutu lingkungan, dalam hal ini kualitas
udara. Menurut konsep objective fault criteria dari Sharon Williams maka obyek
pelanggarannya adalah kewajiban internasional. Kewajiban internasional yang
dilanggar adalah kewajiban untuk tidak menimbulkan kerugian di negara lain.
Besarnya ganti rugi ditentukan oleh negara yang dirugikan. Pertanggungjawaban
negara dalam hal ini bisa mucul karena sesuai dengan hukum nasional yang berlaku
dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 1997 dimana hutan
termasuk kekayaan alam yang harus dikelola oleh pemerintah. Dalam hal ini sudah
selayaknya pemerintah melakukan

pengawasan terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan


kebakaran hutan seperti land clearing. Oleh karena itu secara in eventu tanggung
jawab atas kebakaran hutan ini dapat

dibebankan kepada negara. Penggolongan kebakaran hutan di Riau sebagai bencana


alam membawa konsekuensi kepada penanganan masalah ini. Bencana alam secara
internasional dianggap sebagai suatu

musibah yang harus ditangani bersama. Dalam hal ini, bantuan patut diberikan
kepada yang mengalami. Pada pelaksanaannya,

Malaysia sudah memberikan bantuan berupa posko di Riau. Menimbang pertimbangan di


atas, maka sudah dapat

disimpulkan bahwa kebakaran hutan adalah pertanggungjawaban negara untuk menangani


kebakaran hutan secara tuntas sehingga tidak akan mucul lagi transboundary
environmental degradation berupa haze pollution. Setiap negara dalam hal ini
dibebani dengan kewajiban untuk menyelesaikan sengketa dengan damai. Kasus ini
adalah kasus hukum lingkungan internasional dimana subyek hukumnya melibatkan
negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Obyek hukum yang dipermasalahkan dalam
hal ini adalah kerugian moril dan materiil yang diderita Malaysia dan Singapura
dalam masalah kabut asap dari propinsi Riau pada tahun 2006 kemarin. ASEAN sebagai
organisasi regional yang menaungi daerah bencana ini patut memberikan bantuan
Perkembangan terakhir menunjukkan masalah ini sedang
diselesaikan lewat jalur diplomatik. Dalam hal ini mekanisme yang dipilih adalah
negosiasi. Negosiasi yang berlangsung sifatnya tertutup antara negara pihak.
Walaupun begitu hasil-hasil atau kesimpulan dari negosiasi-negosiasi tersebut
dapat dilihat dalam press statement yang dikeluarkan oleh para pihak. ASEAN dalam
hal ini sebagai organisasi tempat para pihak bernaung secara internasional
memiliki perangkat yuridis berupa traktat internasional yakni ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution. Tetapi perangkat tersebut tidak bisa sepenuhnya
dijalankan mengingat sampai tulisan ini dibuat Indonesia belum juga meratifikasi
traktat tersebut. Menurut asas pacta sunt servanda, maka Indonesia tidak terikat
oleh traktat tersebut. Secara garis besar hukum internasional memiliki 4 sumber
hukum yang mengikat sesuai dengan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional,
yakni : 1. Traktat-traktat internasional 2. Kebiasaan internasional, yang terbukti
dari praktek umum telah diterima sebagai hukum 3. Prinsip-prinsip umum hukum yang
diakui oleh bangsabangsa beradab 4. Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para
sarjana yang terkemuka dari berbagai Negara sebagai sumber tambahan untuk
menetapkan aturan kaidah hukum.
Tata urutan penerapan sumber hukum material di atas disusun menurut prioritas
penggunaannya. Sampai saat ini yang bisa berjalan dalam kasus ini adalah nomor 2,
3 dan 4. Tampaknya kasus ini akan berujung kepada dua jenis penyelesaian. Pertama,
adalah penyelesaian diplomatik lewat negosiasi dan konsultasi. Kedua, adalah
penyelesaian yuridis lewat arbitrase. Untuk penyelesaian diplomatik sendiri saat
ini sedang berjalan dengan adanya negosiasi bilateral baik antara Indonesia dan
Malaysia juga antara Indonesia dan Singapura. Sementara itu alasan kuat bagi
penyelesaian yuridis lewat arbitrase adalah sampai saat ini hanyalah Trail Smelter
Case yang dapat

dipadankan dengan kasus ini sebagai yurisprudensi. Bentuk pertanggungjawaban


Indonesia nantinya akan diatur dengan pasal-pasal dalam kesepakatan mengenai
penyelesaian masalah ini. Adapun posisi Indonesia diuntungkan dengan adanya
penggolongan bencana kabut asap sebagai bencana internasional. Penggolongan ini
akan berakibat pada penggolongan pelanggaran yang dilakukan oleh Indonesia dapat
digolongkan sebagai force majeure sehingga baik Malaysia dan Singapura tidak dapat
mengajukan klaimnya secara yuridis kelak. Belum bisa dibilang sengketa karena
sampai saat ini baru protes yang secara resmi diajukan dan baru dapat digolongkan
protes melalui jalur diplomasi saja. Oleh karena itu penyelesaian
yuridis lewat arbitrasi hanya dapat dicapai jika kebakaran hutan sudah bertambah
parah dan kedua pihak yang dirugikan akan mulai mengajukan klaim secara yuridis.
Mengenai kebakaran hutan itu sendiri untuk beberapa tahun ke depan diperkirakan
masih akan terjadi lagi, jadi diperlukan usaha-usaha teknis untuk menangani
masalah ini agar tidak berkelanjutan. Salah satu perkembangan yang terjadi adalah
penggolongan fenomena ini sebagai bencana internasional. Hal ini akan
memperbolehkan intervensi pihak asing guna menyelesaikan permasalahan yang
berulang kali terjadi ini. Setelah adanya konferensi UNFCC di Bali Desember 2007
lalu, yang memunculkan skema REDD. Indonesia sebagai negara tropis akan mendapa
insentif mengingat hutan yang dimiliki cukup luas sebagai penopang iklim melawan
pemanasan global.

Kerjasama internasional yang juga dibentuk lewat F11 diharapkan dapat membantu
dalam mengembangkan kawasan hutan tropis. Keuntungan lewat kerjasama internasional
ini dapat menjadi jalan keluar lain setelah proses perundingan di ASEAN yang
memakan waktu lama. Insentif dapat mendorong untuk melestarikan hutan dan melawan
kebakaran hutan.

B. SARAN 1. Bagi Indonesia :


a. Mengembangkan

usaha-usaha

penangangan

kebakaran

hutan secara preventif dengan membentuk komisi khusu penanggulangan bencana


kebakaran hutan berskala nasional b. Melakukan mitigasi secara sigap terhadap
kebakaran hutan yang telah terjadi dengan menyiagakan petugas pemadam kebakaran
hutan di setiap hot spot yang telah berulang kali menyebabkan kemarau c. Melakukan
ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Poluution secepatnya. Mengingat
alasan Indonesia belum meratifikasi perjanjian ini adalah karena adanya tuntutan
untuk memasukkan pengaturan mengenai illegal logging dan penambangan pasir ke
dalam AATHP makan hal ini seharusnya bisa dilakukan menggunakan mekanisme
amandemen yang oleh dilakukan oleh negara yang telah meratifikasi traktat
tersebut. Eksekutif dan legislatif harus bekerjasama dengan baik dalam hal ini.
Eksekutif atau pemerintah dalam hal ini membangun hubungan kebakaran hutan
terutama pada musim

internasional yang baik terutama dengan Malaysia dan Singapura. Sedangkan


legislatif atau DPR dalam hal ini merumuskan perangkat peraturan dalam menangani
kasus bencana kabut asap dan mempercepat proses ratifikasi di DPR guna mencegah
sengketa internasional kelak. Langkah
ini bisa ditempuh dengan memprioritaskan pembahasan masalah ini pada tahun 2008.
d. Menggalakkan upaya reforestasi dan aforestasi sesuai

dengan mekanisme CDM yang telah disepakati. e. Mengaktualisasikan konsep REDD ke


dalam rencana teknis yang dapat memberikan insentif.

2. Bagi Malaysia dan Singapura : a. Membentuk komisi pencari fakta untuk


menghitung

kerugian jika mekanisme penyelesaian arbitase yang dipilih sebagai alternatif


penyelesaian sengketa kelak, juga untuk mencari fakta-fakta di lapangan yang dapat
mendukung solusi bagi bencana kabut asap. b. Membuat nota kesepakatan dengan
Indonesia dalam

penyelesaian masalah ini mengingat bencana kabut asap dapat digolongkan sebagai
bencana internasional sehingga diharapkan bantuan dari negara-negara maju dapat

mengatasi masalah ini. c. Mengintensifkan bantuan internasional dalam hal ini di


propinsi Riau untuk bias menanggulangi bencana kabut asap ini meningat Indonesia
sendiri dalam hal ini tidak mampu menangani dengan cepat dan tanggap. Jadi yang
diharapkan adalah prinsip kerjasama internasional.
DAFTAR PUSTAKA A. Daftar Buku Tsani, Burhan., Hukum dan Hubungan Internasional,
Liberty, Yogyakarta, 1990 Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta, 1994 Putra, Wyasa, Bandung, 2003 Hukum Lingkungan Internasional,
Refika,

Thontowi, Iskandar., Hukum Internasional Kontemporer, Refika, Bandung 2006 Hoof,


Van., Pemikiran Kembali Sumber-Sumber internasional, Alumni, Bandung, 2000 Hukum

Starke, J.G., Introduction to International Law, 10th ed., London: Butterworths,


1990 Blach, H.C., Black’s Law Dictionary, St, Paul, Minn.: West Publishing Co.,
1990 Daryanto, Masalah Pencemaran, Tarsito, Bandung 1995 Suherman, Hukum Udara
Indonesia & Internasional, Alumni, Bandung, 1983 Sjamsumar, Riswandi., Kerjasama
ASEAN : Latar Belakang, Perkembangan dan Masa Depan, Ghalia, Jakarta, 1995 L.
Guruswamy, B. Hendricks, International Environmental Law, West Publishing Co.,
1997, St. Paul M. Sunkin, D.M. Ong, R. Wight, Sourcebook on Environmental Law,
Cavendish Publishing Ltd., 1998, London P .W. Birnie, A.E. Boyle, International
Law & The Environment, Clarendon Press, 1992, Oxford R.V. Percival, D.C.
Alevizatos, Law and The Environment,
Temple University Press 1997, Philadelphia Suparto Wijoyo, Hukum Lingkungan :
Mengenal Instrumen Hukum Pengendalian Pencemaran Udara di Indonesia, Airlangga
University Press, 2004, Surabaya Simorangkir, Erwin, Prasetyo, Kamus Hukum, Sinar
Grafika, 2004, Jakarta Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan
Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, 2000, Bandung Andi Hamzah, Penegakan
Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, 2005, Jakarta B. Peraturan dan Perundang-undangan
United Nation Millenium Development Goals Aksi Beijing Untuk Pengurangan Risiko
Bencana di Asia United Nation Framework on Climate Change Hyogo Framework for
Action 2005-2015 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Deklarasi
Stockholm 1972 Deklarasi Rio 1992 Draft Articles of Responsibilities of State for
Internatioanal Wrongful Acts with Comementaries, Commentaries of the Draft, ILC
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang C. Makalah Violetta, Sukma,
Hukum Lingkungan Indonesian Centre for Environmental Law : Aspek Pidana,

Subagyo, Rino, Hukum Lingkungan : Aspek Perdata, 2005, Indonesian Centre For
Environmental Law D Asril, Peranan Walhi Riau Dalam Menjaga Kelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2004, Yogyakarta
Global Forest Resources Assesment 2005 WALHI, Otonomi Daerah : Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup D. Internet Surya, Teguh, Krituk konstruktif
terhadap RTRWP Riau
20002015,2004,http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/040910_rtrwp riau_li/ Syumanda,
Rully., Pembakaran Hutan : Bencana Tahunan Riau,
2003,http://www.walhi.or.id/kampanye/bencana/bakarhutan/pe
mbakar_hut_benc_riau_200603/ Syumanda, Rully., ASAP – Ritual Bencana Tahunan Riau,
http://www.walhi.or.id/ kampanye/bencana/040915_asapriau/
http://www.unescap.org/drpad/vc/orientation/M3anx_asean_int. htm Azmi Sharom,
http://thestar.com.my/columnists/story.asp?file=/2007/7/12/columnists/brave
newworld/18255105&sec=Brave%20New%20World (diakses pada 5-8-

2007 pukul 23.00) WWF, http://www.wwf.or.id/admin/file-


upload/files/FCT1177083164.pdf
http://app.mewr.gov.sg/press.asp?id=CDS4376

The Associated Press,


http://www.iht.com/articles/ap/2006/10/16/asia/AS_GEN_Singapore_Haze.ph p
http://app.mfa.gov.sg/2006/press/view_press_print.asp?post_id=1851
http://www.deplu.go.id/?hotnews_id=1836

E. Majalah Stolzenburg, William, Conservacy, June 2001

Fire

in

the

Rain

Forest,

Nature

Gatra, Mandat Bali : Selamatkan Bumi, No. 02 Thn. XIV, November 2007 F. Kasus The
1941 Trail Smelter Arbitration. 35 A.J.I.L. 684 (1941)
LAMPIRAN

ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

The Parties to this Agreement, REAFFIRMING the commitment to the aims and purposes
of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) as set forth in the Bangkok
Declaration of 8 August 1967, in particular to promote regional co-operation in
Southeast Asia in the spirit of equality and partnership and thereby contribute
towards peace, progress and prosperity in the region, RECALLING the Kuala Lumpur
Accord on Environment and Development which was adopted by the ASEAN Ministers of
Environment on 19 June 1990 which calls for, inter alia, efforts leading towards
the harmonisation of transboundary pollution prevention and abatement practices,
RECALLING ALSO the adoption of the 1995 ASEAN Co-operation Plan on Transboundary
Pollution, which specifically addressed transboundary atmospheric pollution and
called for, inter alia, establishing procedures and mechanisms for co-operation
among ASEAN Member States in the prevention and mitigation of land and/or forest
fires and haze, DETERMINED to give effect to the 1997 Regional Haze Action Plan
and to the Hanoi Plan of Action which call for fully implementing the 1995 ASEAN
Cooperation Plan on Transboundary Pollution, with particular emphasis on the
Regional Haze Action Plan by the year 2001, RECOGNISING the existence of possible
adverse effects of transboundary haze pollution,
CONCERNED that a rise in the level of emissions of air pollutants within the
region as forecast may increase such adverse effects, RECOGNISING the need to
study the root causes and the implications of the transboundary haze pollution and
the need to seek solutions for the problems identified, AFFIRMING their
willingness to further strengthen international cooperation to develop national
policies for preventing and monitoring transboundary haze pollution, AFFIRMING
ALSO their willingness to co-ordinate national action for preventing and
monitoring transboundary haze pollution through exchange of information,
consultation, research and monitoring, DESIRING to undertake individual and joint
action to assess the origin, causes, nature and extent of land and/or forest fires
and the resulting haze, to prevent and control the sources of such land and/or
forest fires and the resulting haze by applying environmentally sound policies,
practices and technologies and to strengthen national and regional capabilities
and cooperation in assessment, prevention, mitigation and management of land
and/or forest fires and the resulting haze, CONVINCED that an essential means to
achieve such collective action is the conclusion and effective implementation of
an Agreement, Have agreed as follows:

PART I. GENERAL PROVISIONS

Article 1 Use of Terms For the purposes of this Agreement: 1. “Assisting Party”
means a State, international organisation, any other entity or person that offer
and/or render assistance to a Requesting Party or a Receiving Party in the event
of land and/or forest fires or haze pollution.
2. “Competent authorities” means one or more entities designated and authorised by
each Party to act on its behalf in the implementation of this Agreement. 3.
“Controlled burning” means any fire, combustion or smouldering that occurs in the
open air, which is controlled by national laws, rules, regulations or guidelines
and does not cause fire outbreaks and transboundary haze pollution. 4. “Fire prone
areas” means areas defined by the national authorities as areas where fires are
most likely to occur or have a higher tendency to occur. 5. “Focal point” means an
entity designated and authorised by each Party to receive and transmit
communications and data pursuant to the provisions of this Agreement. 6. “Haze
pollution” means smoke resulting from land and/or forest fire which causes
deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living
resources and ecosystems and material property and impair or interfere with
amenities and other legitimate uses of the environment. 7. “Land and/or forest
fires” means fires such as coal seam fires, peat fires, and plantation fires. 8.
“Member State” means a Member State of the Association of Southeast Asian Nations.
9. “Open burning” means any fire, combustion or smouldering that occurs in the
open air. 10. “Party” means a Member State of ASEAN that has consented to be bound
by this Agreement and for which the Agreement is in force. 11. “Receiving Party”
means a Party that accepts assistance offered by an Assisting Party or Parties in
the event of land and/or forest fires or haze pollution. 12. “Requesting Party”
means a Party that requests from another Party or Parties assistance in the event
of land and/or forest fires or haze pollution. 13. “Transboundary haze pollution”
means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within
the area under the national jurisdiction of one Member State and which is
transported into the area under the jurisdiction of another Member State. 14.
“Zero burning policy” means a policy that prohibits open burning but may allow
some forms of controlled burning. Article 2 Objective The objective of this
Agreement is to prevent and monitor
transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should
be mitigated, through concerted national efforts and intensified regional and
international co-operation. This should be pursued in the overall context of
sustainable development and in accordance with the provisions of this Agreement.

Article 3 Principles The Parties shall be guided by the following principles in


the implementation of this Agreement: 1. The Parties have, in accordance with the
Charter of the United Nations and the principles of international law, the
sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental
and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities
within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment and
harm to human health of other States or of areas beyond the limits of national
jurisdiction. 2. The Parties shall, in the spirit of solidarity and partnership
and in accordance with their respective needs, capabilities and situations,
strengthen co-operation and co-ordination to prevent and monitor transboundary
haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated.
3. The Parties should take precautionary measures to anticipate, prevent and
monitor tranboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which
should be mitigated, to minimise its adverse effects. Where there are threats of
serious or irreversible damage from transboundary haze pollution, even without
full scientific certainty, precautionary measures shall be taken by Parties
concerned. 4. The Parties should manage and use their natural resources, including
forest and land resources, in an ecologically sound and sustainable manner. 5. The
Parties, in addressing transboundary haze pollution, should involve, as
appropriate, all stakeholders, including local communities, non-governmental
organisations, farmers and private enterprises. Article 4 General Obligations In
pursuing the objective of this Agreement, the Parties shall: 1. Co-operate in
developing and implementing measures to
prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest
fires which should be mitigated, and to control sources of fires, including by the
identification of fires, development of monitoring, assessment and early warning
systems, exchange of information and technology, and the provision of mutual
assistance. 2. When the transboundary haze pollution originates from within their
territories, respond promptly to a request for relevant information or
consultations sought by a State or States that are or may be affected by such
transboundary haze pollution, with a view to minimising the consequences of the
transboundary haze pollution. 3. Take legislative, administrative and/or other
measures to implement their obligations under this Agreement. PART II. MONITORING,
ASSESSMENT, PREVENTION AND RESPONSE

Article 5 ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control 1.


The ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control,
hereinafter referred to as “the ASEAN Centre”, is hereby established for the
purposes of facilitating co-operation and co-ordination among the Parties in
managing the impact of land and/or forest fires in particular haze pollution
arising from such fires. 2. The ASEAN Centre shall work on the basis that the
national authority will act first to put out the fires. When the national
authority declares an emergency situation, it may make a request to the ASEAN
Centre to provide assistance. 3. A Committee composed of representatives of the
national authorities of the Parties shall oversee the operation of the ASEAN
Centre. 4. The ASEAN Centre shall carry out the functions as set out in Annex and
any other functions as directed by the Conference of the Parties. Article 6
Competent Authorities and Focal Points 1. Each Party shall designate one or more
Competent Authorities and a Focal Point that shall be authorised to act on its
behalf in the performance of the administrative functions required by this
Agreement. 2. Each Party shall inform other Parties and the ASEAN Centre, of its
Competent Authorities and Focal Point, and of any subsequent changes in their
designations. 3. The ASEAN Centre shall regularly and expeditiously provide to
Parties and relevant international organisations the information referred to in
paragraph 2 above. Article 7 Monitoring Each Party shall take appropriate measures
to monitor: a. all fire prone areas, b. all land and/or forest fires, c. the
environmental conditions conducive to such land and/or forest fires, and d. haze
pollution arising from such land and/or forest fires. 2. Each Party shall
designate one or more bodies to function as National Monitoring Centres, to
undertake monitoring referred to in paragraph 1 above in accordance with their
respective national procedures. 3. The Parties, in the event that there are fires,
shall initiate immediate action to control or to put out the fires. Article 8
Assessment 1. Each Party shall ensure that its National Monitoring Centre, at
agreed regular intervals, communicates to the ASEAN Centre, directly or through
its Focal Point, data obtained relating to fire prone areas, land and/or forest
fires, the environmental conditions conducive to such land and/or forest fires,
and haze pollution arising from such land and/or forest fires. 2. The ASEAN Centre
shall receive, consolidate and analyse the data communicated by the respective
National Monitoring Centres or Focal Points. 3. On the basis of analysis of the
data received, the ASEAN Centre shall, where possible, provide to each Party,
through its Focal Point, an assessment of risks to human health or the environment
arising from land and/or forest transboundary haze pollution. fires and the
resulting
Article 9 Prevention Each Party shall undertake measures to prevent and control
activities related to land and/or forest fires that may lead to transboundary haze
pollution, which include: a. Developing and implementing legislative and other
regulatory measures, as well as programmes and strategies to promote zero burning
policy to deal with land and/or forest fires resulting in transboundary haze
pollution; b. Developing other appropriate policies to curb activities that may
lead to land and/or forest fires; c. Identifying and monitoring areas prone to
occurrence of land and/or forest fires; d. Strengthening local fire management and
firefighting capability and co-ordination to prevent the occurrence of land and/or
forest fires; e. Promoting public education and awareness-building campaigns and
strengthening community participation in fire management to prevent land and/or
forest fires and haze pollution arising from such fires; f. Promoting and
utilising indigenous knowledge and practices in fire prevention and management;
and g. Ensuring that legislative, administrative and/or other relevant measures
are taken to control open burning and to prevent land clearing using fire. Article
10 Preparedness 1. The Parties shall, jointly or individually, develop strategies
and response plans to identify, manage and control risks to human health and the
environment arising from land and/or forest fires and related haze pollution
arising from such fires. 2. The Parties shall, as appropriate, prepare standard
operating procedures for regional co-operation and national action required under
this Agreement. Article 11 National Emergency Response 1. Each Party shall ensure
that appropriate legislative, administrative and financial measures are taken to
mobilise equipment, materials, human and financial resources required to respond
to and mitigate the impact of land and/or forest fires and haze pollution arising
from such fires.
2. Each Party shall forthwith inform other Parties and the ASEAN Centre of such
measures. Article 12 Joint Emergency Response through the Provision of Assistance
1. If a Party needs assistance in the event of land and/or forest fires or haze
pollution arising from such fires within its territory, it may request such
assistance from any other Party, directly or through the ASEAN Centre, or, where
appropriate, from other States or international organisations. 2. Assistance can
only be employed at the request of and with the consent of the requesting Party,
or, when offered by another Party or Parties, with the consent of the receiving
Party. 3. Each Party to which a request for assistance is directed shall promptly
decide and notify the requesting Party, directly or through the ASEAN Centre,
whether it is in a position to render the assistance requested, and of the scope
and terms of such assistance. 4. Each Party to which an offer of assistance is
directed shall promptly decide and notify the assisting Party, directly or through
the ASEAN Centre, whether it is in a position to accept the assistance offered,
and of the scope and terms of such assistance. 5. The requesting Party shall
specify the scope and type of assistance required and, where practicable, provide
the assisting Party with such information as may be necessary for that Party to
determine the extent to which it is able to meet the request. In the event that it
is not practicable for the requesting Party to specify the scope and type of
assistance required, the requesting Party and assisting Party shall, in
consultation, jointly assess and decide upon the scope and type of assistance
required. 6. The Parties shall, within the limits of their capabilities, identify
and notify the ASEAN Centre of experts, equipment and materials which could be
made available for the provision of assistance to other Parties in the event of
land and/or forest fires or haze pollution resulting from such fires as well as
the terms, especially financial, under which such assistance could be provided.
Article 13 Direction and Control of Assistance Unless otherwise agreed: 1. The
requesting or receiving Party shall exercise the overall direction, control, co-
ordination and supervision of the assistance
within its territory. The assisting Party should, where the assistance involves
personnel, designate in consultation with the requesting or receiving Party, the
person or entity who should be in charge of and retain immediate operational
supervision over the personnel and the equipment provided by it. The designated
person or entity should exercise such supervision in co-operation with the
appropriate authorities of the requesting or receiving Party. 2. The requesting or
receiving Party shall provide, to the extent possible, local facilities and
services for the proper and effective administration of the assistance. It shall
also ensure the protection of personnel, equipment and materials brought into its
territory by or on behalf of the assisting Party for such purposes. 3. A Party
providing or receiving assistance in response to a request referred to in
paragraph (1) above shall co-ordinate that assistance within its territory.
Article 14 Exemptions and Facilities in Respect of the Provision of Assistance 1.
The requesting or receiving Party shall accord to personnel of the assisting Party
and personnel acting on its behalf, the necessary exemptions and facilities for
the performance of their functions. 2. The requesting or receiving Party shall
accord the assisting Party exemptions from taxation, duties or other charges on
the equipment and materials brought into the territory of the requesting or
receiving Party for the purpose of the assistance. 3. The requesting or receiving
Party shall facilitate the entry into, stay in and departure from its territory of
personnel and of equipment and materials involved or used in the assistance.
Article 15 Transit of Personnel, Equipment and Materials in Respect of the
Provision of Assistance Each Party shall, at the request of the Party concerned,
seek to facilitate the transit through its territory of duly notified personnel,
equipment and materials involved or used in the assistance to the requesting or
receiving Party.

PART III. TECHNICAL CO-OPERATION AND SCIENTIFIC RESEARCH


Article 16 Technical Co-operation In order to increase the preparedness for and to
mitigate the risks to human health and the environment arising from land and/or
forest fires or haze pollution arising from such fires, the Parties shall
undertake technical co-operation in this field, including the following: a.
Facilitate mobilisation of appropriate resources within and outside the Parties;
b. Promote the standardisation of the reporting format of data and information; c.
Promote the exchange of relevant information, expertise, technology, techniques
and know-how; d. Provide or make arrangements for relevant training, education and
awareness-raising campaigns, in particular relating to the promotion of zero-
burning practices and the impact of haze pollution on human health and the
environment; e. Develop or establish techniques on controlled burning particularly
for shifting cultivators and small farmers, and to exchange and share experiences
on controlled-burning practices; f. Facilitate exchange of experience and relevant
information among enforcement authorities of the Parties; g. Promote the
development of markets for the utilisation of biomass and appropriate methods for
disposal of agricultural wastes; h. Develop training programmes for firefighters
and trainers to be trained at local, national and regional levels; and i.
Strengthen and enhance the technical capacity of the Parties to implement this
Agreement. The ASEAN Centre shall facilitate activities cooperation as identified
in paragraph 1 above. for technical

Article 17 Scientific Research The Parties shall individually or jointly,


including in co-operation with appropriate international organisations, promote
and, whenever possible, support scientific and technical research programmes
related to the root causes and consequences of transboundary haze pollution and
the means, methods, techniques and equipment for land and/or forest fire
management, including fire fighting.
PART IV. INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS

Article 18 Conference of the Parties 1. A Conference of the Parties is hereby


established. The first meeting of the Conference of the Parties shall be convened
by the Secretariat not later than one year after the entry into force of this
Agreement. Thereafter, ordinary meetings of the Conference of the Parties shall be
held at least once every year, in as far as possible in conjunction with
appropriate meetings of ASEAN. 2. Extraordinary meetings shall be held at any
other time upon the request of one Party provided that such request is supported
by at least one other Party. 3. The Conference of the Parties shall keep under
continuous review and evaluation the implementation of this Agreement and to this
end shall: a. Take such action as is necessary to ensure the effective
implementation of this Agreement; b. Consider reports and other information which
may be submitted by a Party directly or through the Secretariat; c. Consider and
adopt protocols in accordance with the Article 21 of this Agreement; d. Consider
and adopt any amendment to this Agreement; e. Adopt, review and amend as required
any Annexes to this Agreement; f. Establish subsidiary bodies as may be required
for the implementation of this Agreement; and g. Consider and undertake any
additional action that may be required for the achievement of the objective of
this Agreement. Article 19 Secretariat 1. A Secretariat is hereby established. 2.
The functions of the Secretariat shall include: a. Arrange for and service
meetings of the Conference of the Parties and of other bodies established by this
Agreement; b. Transmit to the Parties notifications, reports and other information
received in accordance with this Agreement; c. Consider inquiries by, and
information from, the Parties, and to consult with them on questions relating to
this Agreement; d. Ensure the necessary co-ordination with other relevant
international bodies and in particular to enter into administrative arrangements
as may be required for the effective discharge of the
Secretariat functions; and e. Perform such other functions as may be assigned to
it by the Parties. The ASEAN Secretariat shall serve as the Secretariat to this
Agreement.

Article 20 Financial Arrangements 1. A Fund is hereby established for the


implementation of this Agreement. 2. It shall be known as the ASEAN Transboundary
Haze Pollution Control Fund. 3. The Fund shall be administered by the ASEAN
Secretariat under the guidance of the Conference of the Parties. 4. The Parties
shall, in accordance with the decisions of the Conference of the Parties, make
voluntary contributions to the Fund. 5. The Fund shall be open to contributions
from other sources subject to the agreement of or approval by the Parties. 6. The
Parties may, where necessary, mobilise additional resources required for the
implementation of this Agreement from relevant international organisations, in
particular regional financial institutions and the international donor community.
PART V. PROCEDURES

Article 21 Protocols 1. The Parties shall co-operate in the formulation and


adoption of protocols to this Agreement, prescribing agreed measures, procedures
and standards for the implementation of this Agreement. 2. The Conference of the
Parties may, at ordinary meetings, adopt protocols to this Agreement by consensus
of all Parties. 3. The text of any proposed protocol shall be communicated to the
Parties by the Secretariat at least six months before such a session. 4. The
requirements for the entry into force of any protocol shall be established by that
instrument. Article 22 Amendments to the Agreement
1. Any Party may propose amendments to the Agreement. 2. The text of any proposed
amendment shall be communicated to the Parties by the Secretariat at least six
months before the Conference of the Parties at which it is proposed for adoption.
The Secretariat shall also communicate proposed amendments to the signatories to
the Agreement. 3. Amendments shall be adopted by consensus at an ordinary meeting
of the Conference of the Parties. 4. Amendments to this Agreement shall be subject
to acceptance. The Depositary shall circulate the adopted amendment to all Parties
for their acceptance. The amendment shall enter into force on the thirtieth day
after the deposit with the Depositary of the instruments of acceptance of all
Parties. 5. After the entry into force of an amendment to this Agreement any new
Party to this Agreement shall become a Party to this Agreement as amended. Article
23 Adoption and Amendment of Annexes 1. Annexes to this Agreement shall form an
integral part of the Agreement and, unless otherwise expressly provided, a
reference to the Agreement constitutes at the same time a reference to the annexes
thereto. 2. Annexes shall be adopted by consensus at an ordinary meeting of the
Conference of the Parties. 3. Any Party may propose amendments to an Annex. 4.
Amendments to an Annex shall be adopted by consensus at an ordinary meeting of the
Conference of the Parties. 5. Annexes to this Agreement and amendments to Annexes
shall be subject to acceptance. The Depositary shall circulate the adopted Annex
or the adopted amendment to an Annex to all Parties for their acceptance. The
Annex or the amendment to an Annex shall enter into force on the thirtieth day
after the deposit with the Depositary of the instruments of acceptance of all
Parties. Article 24 Rules of Procedure and Financial Rules The first Conference of
the Parties shall by consensus adopt rules of procedure for itself and financial
rules for the ASEAN Transboundary Haze Pollution Control Fund to determine in
particular the financial participation of the Parties to this Agreement.

Article 25 Reports
The Parties shall transmit to the Secretariat reports on the measures taken for
the implementation of this Agreement in such form and at such intervals as
determined by the Conference of the Parties.

Article 26 Relationship with Other Agreements The provisions of this Agreement


shall in no way affect the rights and obligations of any Party with regard to any
existing treaty, convention or agreement to which they are Parties.

Article 27 Settlement of Disputes Any dispute between Parties as to the


interpretation or application of, or compliance with, this Agreement or any
protocol thereto, shall be settled amicably by consultation or negotiation.

PART VI. FINAL CLAUSES

Article 28 Ratification, Acceptance, Approval and Accession This Agreement shall


be subject to ratification, acceptance, approval or accession by the Member
States. It shall be opened for accession from the day after the date on which the
Agreement is closed for signature. Instruments of ratification, acceptance,
approval or accession shall be deposited with the Depositary.

Article 29 Entry into Force 1. This Agreement shall enter into force on the
sixtieth day after the deposit of the sixth instrument of ratification,
acceptance, approval or accession. 2. For each Member State ratifying, accepting,
approving or acceding to the Agreement after the deposit of the sixth instrument
of ratification, acceptance, approval or accession, the Agreement shall enter into
force on the sixtieth day after the deposit by such Member State of its instrument
of ratification,
acceptance, approval or accession. Article 30 Reservations Unless otherwise
expressly provided by this Agreement no reservations may be made to the Agreement.

Article 31 Depositary This Agreement shall be deposited with the Secretary General
of ASEAN, who shall promptly furnish each Member State a certified copy thereof.
Article 32 Authentic Text This Agreement shall be drawn up in the English
language, and shall be the authentic text.

IN WITNESS WHEREOF the undersigned, being duly authorised by their respective


Governments have signed this Agreement.

Done at Kuala Lumpur, Malaysia on the tenth day of June in the year two thousand
and two.

For the Government of Brunei Darussalam

For the Government of the Kingdom of Cambodia

H.E. Mr. Keo Puth Reasmey Ambassador Royal Embassy of the Kingdom of Cambodia in
Malaysia
For the Government of the Republic of Indonesia

Ms. Liana Bratasida Deputy Minister for Environment Conservation State Ministry of
Environment For the Government of Lao People’s Democratic Republic

H.E. Prof. Dr. Bountiem Phissamay Minister to the Prime Minister’s Office Chairman
of Science, Technology and Environment Agency For the Government of Malaysia H.E.
Dato’ Seri Law Hieng Ding Minister of Science, Technology and the Environment For
the Government of the Union of Myanmar

U Thane Myint Secretary, National Commission for Environmental Affairs Director-


General of the Ministry of Foreign Affairs

For the Government of the Republic of the Philippines

For the Government of the Republic of Singapore


H.E. Mr. Lim Swee Say Minister for the Environment For the Government of the
Kingdom of Thailand H.E. Mr. Chaisiri Anamarn Ambassador Extraordinary and
Plenipotentiary Royal Thai Embassy in Malaysia For the Government of the Socialist
Republic of Viet Nam H.E. Mr. Nguyen Van Dang Vice Minister of Agriculture and
Rural Development
ANNEX

Terms of Reference of the ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze


Pollution Control

The ASEAN Centre shall: Establish and maintain regular contact with the respective
National Monitoring Centres regarding the data, including those derived from
satellite imagery and meteorological observation, relating to: a. b. c. from Land
and /or forest fire; Environmental conditions conducive to such fires; and Air
quality and levels of pollution, in particular haze arising such fires.

2. Receive from the respective National Monitoring Centres or Focal Points the
data above, consolidate, analyse and process the data into a format that is easily
understandable and accessible. 3. Facilitate co-operation and co-ordination among
the Parties to increase their preparedness for and to respond to land and/or
forest fires or haze pollution arising from such fires. 4. Facilitate co-
ordination among the Parties, other States and relevant organisations in taking
effective measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze
pollution arising from such fires. 5. Establish and maintain a list of experts
from within and outside of the ASEAN region who may be utilised when taking
measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution
arising from such fires, and make the list available to the Parties. 6. Establish
and maintain a list of equipment and technical facilities from within and outside
of the ASEAN which may be made available when taking measures to mitigate the
impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires, and
make the list available to the Parties. 7. Establish and maintain a list of
experts from within and outside of the ASEAN region for the purpose of relevant
training, education and awareness-raising campaigns, and make the list available
to the Parties. 8. Establish and maintain contact with prospective donor
States and organisations for mobilising financial and other resources required for
the prevention and mitigation of land and/or forest fires or haze pollution
arising from such fires and preparedness of the Parties, including fire-fighting
capabilities. 9. Establish and maintain a list of such donors, and make the list
available to the Parties. 10. Respond to a request for or offer of assistance in
the event of land and/or forest fires or haze pollution resulting from such fires
by: a. Transmitting promptly the request for assistance to other States and
organisations; and b. Co-ordinating such assistance, if so requested by the
requesting Party or offered by the assisting Party. 11. Establish and maintain an
information referral system for the exchange of relevant information, expertise,
technology, techniques and know-how, and make it available to the Parties in an
easily accessible format. 12. Compile and disseminate to the Parties information
concerning their experience and any other practical information related to the
implementation of the Agreement. 13. Assist the Parties in the preparation of
standard operating procedures (SOP).
Prevention of Transboundary Harm from Hazardous Activities
2001
Copyright © United Nations 2005

Text adopted by the Commission at its fifty-third session, in 2001, and submitted
to the General Assembly as a part of the Commission’s report covering the work of
that session. The report, which also contains commentaries on the draft articles,
appears in Official Records of the General Assembly, Fifty-sixth Session,
Supplement No. 10 (A/56/10). Prevention of Transboundary Harm from Hazardous
Activities The States Parties, Having in mind Article 13, paragraph 1 (a), of the
Charter of the United Nations, which provides that the General Assembly shall
initiate studies and make recommendations for the purpose of encouraging the
progressive development of international law and its codification, Bearing in mind
the principle of permanent sovereignty of States over the natural resources within
their territory or otherwise under their jurisdiction or control, Bearing also in
mind that the freedom of States to carry on or permit activities in their
territory or otherwise under their jurisdiction or control is not unlimited,
Recalling the Rio Declaration on Environment and Development of 13 June 1992,
Recognizing the importance of promoting international cooperation, Have agreed as
follows: Article 1 Scope The present articles apply to activities not prohibited
by international law which involve a risk of causing significant transboundary
harm through their physical consequences. Article 2 Use of terms For the purposes
of the present articles: (a) “Risk of causing significant transboundary harm”
includes risks taking the form of a high probability of causing significant
transboundary harm and a low probability of causing disastrous transboundary harm;
(b) “Harm” means harm caused to persons, property or the environment; (c)
“Transboundary harm” means harm caused in the territory of or in other places
under the jurisdiction or control of a State other
than the State of origin, whether or not the States concerned share a common
border; (d) “State of origin” means the State in the territory or otherwise under
the jurisdiction or control of which the activities referred to in article 1 are
planned or are carried out; (e) “State likely to be affected” means the State or
States in the territory of which there is the risk of significant transboundary
harm or which have jurisdiction or control over any other place where there is
such a risk; (f) “States concerned” means the State of origin and the State likely
to be affected. Article 3 Prevention The State of origin shall take all
appropriate measures to prevent significant transboundary harm or at any event to
minimize the risk thereof. Article 4 Cooperation States concerned shall cooperate
in good faith and, as necessary, seek the assistance of one or more competent
international organizations in preventing significant transboundary harm or at any
event in minimizing the risk thereof. Article 5 Implementation States concerned
shall take the necessary legislative, administrative or other action, including
the establishment of suitable monitoring mechanisms to implement the provisions of
the present articles. Article 6 Authorization 1. The State of origin shall require
its prior authorization for: (a) Any activity within the scope of the present
articles carried out in its territory or otherwise under its jurisdiction or
control; (b) Any major change in an activity referred to in subparagraph (a); (c)
Any plan to change an activity which may transform it into one falling within the
scope of the present articles. 2. The requirement of authorization established by
a State shall be made applicable in respect of all pre-existing activities within
the scope of the present articles. Authorizations already issued by the State for
pre-existing activities shall be reviewed in order to comply with the present
articles. 3. In case of a failure to conform to the terms of the authorization,
the State of origin shall take such actions as appropriate, including where
necessary terminating the authorization.
Article 7 Assessment of risk Any decision in respect of the authorization of an
activity within the scope of the present articles shall, in particular, be based
on an assessment of the possible transboundary harm caused by that activity,
including any environmental impact assessment. Article 8 Notification and
information 1. If the assessment referred to in article 7 indicates a risk of
causing significant transboundary harm, the State of origin shall provide the
State likely to be affected with timely notification of the risk and the
assessment and shall transmit to it the available technical and all other relevant
information on which the assessment is based. 2. The State of origin shall not
take any decision on authorization of the activity pending the receipt, within a
period not exceeding six months, of the response from the State likely to be
affected. Article 9 Consultations on preventive measures 1. The States concerned
shall enter into consultations, at the request of any of them, with a view to
achieving acceptable solutions regarding measures to be adopted in order to
prevent significant transboundary harm or at any event to minimize the risk
thereof. The States concerned shall agree, at the commencement of such
consultations, on a reasonable time frame for the consultations. 2. The States
concerned shall seek solutions based on an equitable balance of interests in the
light of article 10. 3. If the consultations referred to in paragraph 1 fail to
produce an agreed solution, the State of origin shall nevertheless take into
account the interests of the State likely to be affected in case it decides to
authorize the activity to be pursued, without prejudice to the rights of any State
likely to be affected. Article 10 Factors involved in an equitable balance of
interests In order to achieve an equitable balance of interests as referred to in
paragraph 2 of article 9, the States concerned shall take into account all
relevant factors and circumstances, including: (a) The degree of risk of
significant transboundary harm and of the availability of means of preventing such
harm, or minimizing the risk thereof or repairing the harm; (b) The importance of
the activity, taking into account its overall advantages of a social, economic and
technical character for the State of origin in relation to the potential harm for
the State likely to be affected;
(c) The risk of significant harm to the environment and the availability of means
of preventing such harm, or minimizing the risk thereof or restoring the
environment; (d) The degree to which the State of origin and, as appropriate, the
State likely to be affected are prepared to contribute to the costs of prevention;
(e) The economic viability of the activity in relation to the costs of prevention
and to the possibility of carrying out the activity elsewhere or by other means or
replacing it with an alternative activity; (f) The standards of prevention which
the State likely to be affected applies to the same or comparable activities and
the standards applied in comparable regional or international practice. Article 11
Procedures in the absence of notification 1. If a State has reasonable grounds to
believe that an activity planned or carried out in the State of origin may involve
a risk of causing significant transboundary harm to it, it may request the State
of origin to apply the provision of article 8. The request shall be accompanied by
a documented explanation setting forth its grounds. 2. In the event that the State
of origin nevertheless finds that it is not under an obligation to provide a
notification under article 8, it shall so inform the requesting State within a
reasonable time, providing a documented explanation setting forth the reasons for
such finding. If this finding does not satisfy that State, at its request, the two
States shall promptly enter into consultations in the manner indicated in article
9. 3. During the course of the consultations, the State of origin shall, if so
requested by the other State, arrange to introduce appropriate and feasible
measures to minimize the risk and, where appropriate, to suspend the activity in
question for a reasonable period. Article 12 Exchange of information While the
activity is being carried out, the States concerned shall exchange in a timely
manner all available information concerning that activity relevant to preventing
significant transboundary harm or at any event minimizing the risk thereof. Such
an exchange of information shall continue until such time as the States concerned
consider it appropriate even after the activity is terminated. Article 13
Information to the public States concerned shall, by such means as are
appropriate, provide the public likely to be affected by an activity within the
scope of
the present articles with relevant information relating to that activity, the risk
involved and the harm which might result and ascertain their views. Article 14
National security and industrial secrets Data and information vital to the
national security of the State of origin or to the protection of industrial
secrets or concerning intellectual property may be withheld, but the State of
origin shall cooperate in good faith with the State likely to be affected in
providing as much information as possible under the circumstances. Article 15 Non-
discrimination Unless the States concerned have agreed otherwise for the
protection of the interests of persons, natural or juridical, who may be or are
exposed to the risk of significant transboundary harm as a result of an activity
within the scope of the present articles, a State shall not discriminate on the
basis of nationality or residence or place where the injury might occur, in
granting to such persons, in accordance with its legal system, access to judicial
or other procedures to seek protection or other appropriate redress. Article 16
Emergency preparedness The State of origin shall develop contingency plans for
responding to emergencies, in cooperation, where appropriate, with the State
likely to be affected and competent international organizations. Article 17
Notification of an emergency The State of origin shall, without delay and by the
most expeditious means, at its disposal, notify the State likely to be affected of
an emergency concerning an activity within the scope of the present articles and
provide it with all relevant and available information. Article 18 Relationship to
other rules of international law The present articles are without prejudice to any
obligation incurred by States under relevant treaties or rules of customary
international law. Article 19 Settlement of disputes 1. Any dispute concerning the
interpretation or application of the present articles shall be settled
expeditiously through peaceful means of settlement chosen by mutual agreement of
the parties to
the dispute, including negotiations, mediation, conciliation, arbitration or
judicial settlement. 2. Failing an agreement on the means for the peaceful
settlement of the dispute within a period of six months, the parties to the
dispute shall, at the request of any of them, have recourse to the establishment
of an impartial fact-finding commission. 3. The Fact-finding Commission shall be
composed of one member nominated by each party to the dispute and, in addition, a
member not having the nationality of any of the parties to the dispute chosen by
the nominated members who shall serve as Chairperson. 4. If more than one State is
involved on one side of the dispute and those States do not agree on a common
member of the Commission and each of them nominates a member, the other party to
the dispute has the right to nominate an equal number of members of the
Commission. 5. If the members nominated by the parties to the dispute are unable
to agree on a Chairperson within three months of the request for the establishment
of the Commission, any party to the dispute may request the Secretary-General of
the United Nations to appoint the Chairperson who shall not have the nationality
of any of the parties to the dispute. If one of the parties to the dispute fails
to nominate a member within three months of the initial request pursuant to
paragraph 2, any other party to the dispute may request the Secretary-General of
the United Nations to appoint a person who shall not have the nationality of any
of the parties to the dispute. The person so appointed shall constitute a single-
member Commission. 6. The Commission shall adopt its report by a majority vote,
unless it is a single-member Commission, and shall submit that report to the
parties to the dispute setting forth its findings and recommendations, which the
parties to the dispute shall consider in good faith. _____________
DEKLARASI RIO Prinsip I : Bahwa manusia mempunyai hak-hak dasar untuk merdeka,
persamaan dan keseimbangan kondisi kehidupan dalam suatu lingkungan yang
berkualitas yang memungkinkan kehidupan yang terhormat dan baik, dan manusia
mempunyai tanggung jawab yang suci untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan
sekarang dan untuk generasi mendatang. Dalam hal ini suatu publik yang
menganjurkan rasial, atau

melaksanakan

apartheid,

perbedaan

diskriminasi,

colonial dan segala bentuk pemerasan serta dominasi asing dikutuk dan harus
dihapuskan. Prinsip II : Sumber-sumber alamiah dari bumi yang meliputi udara, air,
tanah, flora, dan fauna serta contoh-contoh khusus dari ecosystem alamiah harus
dilindungi untuk generasi

sekarang dan mendatang melalui perencanaan atau manajemen yang teliti yang sesuai.
Prinsip III : Kesanggupan bumi untuk memproduksi sumbersumber yang dapat
diperbarui yang vital harus dipertahankan dan di mana mungkin dipulihkan dan
diperbaiki. Prinsip IV : Manusia mempunyai tanggung jawab yang khusus untuk
mengamankan dan mengelola secara bijak warisan binatang liar dan habitatnya yang
sekarang telah dirusak dengan hebatnya oleh kombinasi berbagai factor. Konservasi
alam yang meliputi binatang liar harus diutamakan dalam perencanaan pembangunan
ekonomi. Prinsip V : Sumber-sumber yang tidak dapat diperbarui dari bumi harus
dipergunakan dengan cara menjaga terhadap bahaya dari pengurasannya di masa depan
dan menjamin manfaat dari pemakaiannya dinikmati oleh seluruh umat manusia.
Prinsip VI : Membebaskan bahan berbahaya dan bahan lain dan pelepasan panas dalam
jumlah atau konsentrasi yang

melampaui kemampuan lingkungan untuk memulihkan menjadi tidak merusak. Prinsip VII
: Negara-negara akan mengambil langkah-langkah yang mungkin untuk mencegah
pencemaran laut oleh bahanbahan yang dapat menimbulkan bahaya terhadap kesehatan
manusia yang merusak sumber-sumber hidup dan kehidupan kelautan yang merusak
kenyamanan atau mengganggu

pemakaian laut yang sah. Prinsip VIII : Pembangunan ekonomi social adalah esensial
untuk menjamin lingkungan yang menyenangkan untuk hidup serta bekerja untuk
manusia dan penciptaan kondisi terhadap bumi yang penting bagi perbaikan kualitas
hidup. Prinsip IX : Kerusakan lingkungan disebabkan oleh kondisi kurang berkembang
(under development) dan bencana alam
merupakan masalah besar dan dapat dipulihkan paling baik dengan mempercepat
pembangunan dengan pengalihan

sejumlah uang yang substansial dan bantuan teknologi sebagai bantuan kepada usaha
dalam negeri Negara-negara

berkembang dan bantuan pada waktunya jika dibutuhkan. Prinsip X : Untuk Negara-
negara berkembang stabilitas harga dan perolehan yang memadai untuk barang-barang
primer dan bahan mentah adalah esensial bagi pengelolaan lingkungan karena factor
ekonomi dan juga proses ekologis harus

diperhitungkan. Prinsip XI : Untuk Negara-negara berkembang stabilitas harga dan


perolehan dan tidak member dampak kurang baik untuk pembangunan potensial sekarang
dan masa depan Negaranegara berkembang, dan biaya yang berasal dari

dimasukkannya pengalaman lingkungan ke dalam perencanaan pembangunan dan keperluan


menyediakan bagi mereka

bantuan tambahan teknik dan keuangan internasional untuk tujuan ini. Prinsip XII :
Sumber-sumber harus dijadikan tersedia untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan,
memperhitungkan

keadaan dan persyaratan khusus Negara-negara berkembang, dan biaya yang berasal
dari dimasukkannya pengalaman lingkungan ke dalam perencanaan pembangunan dan
keperluan
menyediakan bagi mereka bantuan tambahan teknik dan keuangan internasional untuk
tujuan ini. Prinsip XIII : Dengan tujuan untuk mencapai manajemen yang lebih
rasional terhadap sumber-sumber dan dengan demikian memperbaiki lingkungan. Negara
harus menerima pendekatan terpadu dan terkoordinasi terhadap perencanaan
pembangunan mereka sehingga menjamin bahwa pembangunan dapat

digabungkan dengan keperluan melindungi dan memperbaiki lingkungan manusia untuk


keperluan penduduk mereka. Prinsip XIV : Perencanaan rasional menciptakan suatu
alat esensial untuk mendamaikan setiap pertentangan antara

kebutuhan pembangunan dan kebutuhan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan.


Prinsip XV : Perencanaan harus ditetapkan kepada permukiman dan urbanisasi manusia
dengan maksud untuk menghindari dampak buruk terhadap lingkungan dan memperoleh
manfaat maksimum sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk semua. Dalam hal ini proyek
yang diperuntukkan bagi dominasi kolonialis dan rasialis harus dihentikan. Prinsip
XVI : Politik demografis yang tanpa merugikan hak asasi manusia yang didampingi
sesuai pemerintah yang

bersangkutan, harus diterapkan kepada wilayah-wilayah yang pertimbangan


pertumbuhan penduduk atau konsentrasi
penduduk yang sangat mungkin mempunyai dampak yang buruk terhadap lingkungan dan
pembangunan atau di tempat kepadatan penduduk yang jarang, dapat mencegah
perbaikan lingkungan manusia dan merintangi pembangunan. Prinsip XVII : Lembaga-
lembaga nasional yang cocok harus diberi kepercayaan dengan tugas perencanaan,
pengeloalaan dan pengawasan sumber-sumber lingkungan Negara-negara dengan maksud
meningkatkan kualitas lingkungan. Prinsip XVIII : Ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai bagian kontribusi kepada pembangunan ekonomi dan sosial harus diterapkan
kepada identifikasi, penghindaran dan pengawasan risiko lingkungan dan pemecahan
berbagai masalah lingkungan dan untuk kebaikan umum bagi kemanusiaan. Prinsip XIX
: Pendidikan soal-soal lingkungan kepada generasi muda begitu pula kepada orang
dewasa, member pertimbangan yang tepat kepada mereka yang kurang diutamakan adalah
esensial untuk memperluas basis untuk suatu pencerahan pandangan dan tingkah laku
yang bertanggung jawab oleh perorangan, perusahaan dan masyarakat dalam melindungi
dan memperbaiki lingkungan dalam dimensi kemanusiaan yang penuh. Juga esensial
bahwa media massa dan komunikasi menghadapi kontribusi terhadap kerusakan
lingkungan, tetapi sebaliknya menyebarkan informasi yang bersifat mendidik
dengan maksud melindungi, memperbaiki lingkungan untuk memungkinkan orang untuk
berkembang dalam segala hal. Prinsip XX : Penelitian ilmiah dan pembangunan dalam
kaitan dengan masalah-masalah lingkungan baik nasional dan

multinasional, harus dimajukan di semua Negara khususnya Negara berkembang. Dalam


hal ini penyiaran bebas informasi ilmiah yang up to date dan pengalihan
pengetahuan harus ditunjang dan dibantu untuk memecahkan berbagai masalah
lingkungan, teknologi lingkungan harus tersedia di Negara-negara berkembang

dengan batas yang akan meningkatkan penyiaran secara luas tanpa menimbulkan beban
ekonomi kepada Negara

berkembang. Prinsip XXI : Negara-negara mempunyai sesuai dengan piagam PBB dan
prinsip-prinsip hukum internasional hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber-
sumber sendiri sesuai dengan politik lingkungan mereka sendiri dan tanggung jawab
untuk menjamin aktivitas dalam yurisdiksi mereka atau pengawasan yang tidak
merusak lingkungan Negara lain atau wilayahwilayah di luar batas yurisdiksi
nasional. Prinsip XXII : Negara-negara akan bekerja sama untuk

mengembangkan lebih lanjut hukum internasional mengenai tanggung jawab dan


kompensasi untuk korban pencemaran dan
kerusakan lingkungan lain yang disebabkan oleh aktivitasaktivitas dalam yurisdiksi
atau pengawasan Negara-negara demikian kepada wilayah di luar yurisdiksi mereka.
Prinsip XXIII : Tanpa prasangka kepada kriteria demikian, yang dapat disetujui
oleh masyarakat internasional atau standar yang akan ditentukan secara nasional
adalah esensial untuk semua kasus dalam memperhatikan sistem nilai-nilai yang
berlaku di tiap Negara dan tentang dapatnya diterapkan standar yang berlaku bagi
Negara-negara maju, tetapi mungkin tidak cocok dan biaya sosial yang tidak dapat
dijamin terhadap Negara-negara berkembang. Prinsip XXIV : Masalah-masalah
internasional mengenai pertimbangan dan perbaikan lingkungan harus ditangani

dengan jiwa kerja sama oleh semua Negara, besar, dan kecil yang berdiri sama
tinggi. Kerja sama melalui pengaturan multilateral dan bilateral atau cara-cara
lain yang sesuai adalah esensial untuk pengawasan efektif mencegah, mengurangi,
dan meniadakan dampak

merusak lingkungan sebagai dampak akibat berbagai aktivitas yang dilakukan semua
bidang dengan cara demikian bahwa perhitungan yang tepat diimbali bagi kedaulatan
dan

kepentingan semua Negara. Prinsip XXV : Negara-negara akan menjamin organisasi


internasional memainkan suatu permainan yang terkoordinasi, efisien, dan dinamis
untuk perlindungan dan perbaikan

lingkungan. Prinsip XXVI : Manusia dan lingkungannya harus dijaga dari dampak
senjata-senjata nuklir dan semua jenis perusakanperusakan massal yang lain.
Negara-negara harus berusaha untuk mencapai persetujuan relevan segera untuk dalam
badan-badan dan

internasional

yang

meniadakan

menghancurkan secara tuntas senjata-senjata demikian itu.

Anda mungkin juga menyukai