Anda di halaman 1dari 6

Procedia Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2013,Volume 1 (1), 46-51

Terapi supportif dan psikoedukasi untuk meningkatkan pemahaman diri pada penderita skizofrenia paranoid
Triharim. K. S. Pilpala

ABSTRAK. Problem schizophrenia paranoid di rumah sakit jiwa banyak dijumpai. Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan psikoterapi suportif dan psikoedukasi keluarga dilakukan pada pasien yang mengalami Schizophrenia Paranoid. Studi kasus ini melibatkan 1 pasien yang memenuhi kriteria schizophrenia paranoid. Instrumen adalah observasi, wawancara dan tes psikologi (Rorschach). Intervensi dalam studi kasus dilakukan dalam 3 tahapan yaitu initation, working process, dan evaluasi. Hasil intervensi menunjukkan pasien belum mampu memberikan perubahan yang signifikan serta belum adanya keinginan untuk mengontrol suara-suara yang menggangunya. Kata kunci: Terapi suportif, psikoedukasi keluarga, schizophrenia paranoid

Schizophrenia merupakan gangguan mental klasifikasi berat dan kronik (psikotik). Secara umum ditandai oleh distorsi pikiran, persepsi yang khas, dan gangguan afek yang tidak wajar. Schizophrenia disebabkan oleh hal yang multikompleks, seperti ketidakseimbangan neurotransmitter di otak, faktor edukasi dan perkembangan mental sejak masa anak-anak, stressor psikososial berat yang menumpuk, dengan sifat perjalanan penyakit yang progresif, cenderung menahun, (kronik), eksaserbasi (kumat-kumatan), sehingga terkesan penderita tidak bisa disembuhkan seumur hidup (Jeste, D. V., Dolder, C. R., 2007). Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16 sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah (Kaplan, & Sadock, 1997). Dalam skizofrenia terdapat beberapa tipe yaitu tipe tak terorganisasi, tipe katatonik dan tipe paranoid (DSM-IV-TR; APA, 2000). Dari perilaku yang terlihat, Klien E termasuk ke dalam skizofrenia tipe paranoid yang memiliki halusinasi auditori visual. Klien E sama sekali tidak menunjukkan gejala skizofrenia tipe tidak terorganisasi (seperti perilaku yang kacau, tidak tenang, tidak menjaga kebersihan dan penampilan, dan afek datar) dan tipe katatonik (seperti posisi tubuh yang tetap). 46

Simptom utama dari skizofrenia paranoid adalah delusi persecusion dan grandeur, di mana individu merasa dikejar-kejar. Hal tersebut terjadi karena segala sesuatu ditanggapi secara sensitif dan egosentris seolah-olah orang lain akan berbuat buruk kepadanya. Oleh karena itu, sikapnya terhadap orang lain agresif. Delusi tersebut diperkuat oleh halusinasi penglihatan dan pendengaran, misalnya terlihat wajahwajah yang menakutkan, terdengar suara mengancam, dan sebagainya sehingga timbul reaksi menyerang atau agresi karena terganggu. Hal-hal tersebut juga bisa mendorong penderita untuk membunuh orang lain atau sebaliknya bunuh diri, sebagai usahanya untuk menghindari delusi persecusion. Terdapat kecenderungan homoseksualitas, di mana penderita laki-laki akan mengancam laki-laki dan penderita perempuan akan mengancam perempuan. Adanya delusion of gender dapat menimbulkan delusion of persecusion, di mana individu menganggap orang lain cemburu kepada kepintaranya, kekayaannya, kepopulerannya, kecantikannya, kedudukan sosiaalnya, dan sebagainya. Pada penderita timbul Ideas of Reference, yaitu terjadi pencampuran antara waham dan halusinasi dengan kecenderungan untuk memberikan impresi/nuansa pribadi terhadap segala kejadian yang dialaminya. Misalnya suara klakson mobil di jalan depan rumah dianggapnya sebagai terompet tanda penyerbuan terhadap dirinya segera akan dimulai (Coleman, 1976).

Procedia Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2013,Volume 1 (1), 46-51


Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison et al., 1994; Rathus et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangan membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual. Psikoterapi suportif (juga disebut psikoterapi berorientasi hubungan) menawarkan dukungan kepada pasien oleh seorang tokoh yang berkuasa selama periode penyakit, kekacauan atau dekompensasi sementara. Pendekatan ini juga memiliki tujuan untuk memulihkan dan memperkuat pertahanan pasien dan mengintegrasikan kapasitas yang telah terganggu. Cara ini memberikan suatu periode penerimaan dan ketergantungan bagi pasien yang membutuhkan bantuan untuk menghadapi rasa bersalah, malu dan kecemasan dan dalam menghadapi frustasi atau tekanan eksternal yang mungkin terlalu kuat untuk dihadapi (Misch, 2000). Psikoterapi suportif, bagaimanapun, dapat memainkan peran kunci dalam mencegah eksaserbasi dari lebih mengganggu kehidupan pasien. Sangat penting untuk memahami fluktuasi penyakit ini dalam konteks penilaian risiko. Sebagai contoh, risiko bunuh diri tertinggi dalam dua minggu pertama setelah pulang dari sebuah rumah sakit rawat inap. Oleh karena itu penting untuk memberikan psikoterapi suportif ini dan masa stress lain transisi. Penelitian telah menunjukkan penurunan tiga kali lipat dalam kambuhnya tunawisma pada pasien yang memiliki pelatihan keterampilan sosial dan terapi suportif selama masa transisi mereka dari tempat penampungan ke perumahan masyarakat (Novalis P, Rojcewicz S, Peele R, 1993). Berdasarkan fenomena di atas maka diperlukan terapi suportif dalam memulihkan dan memperkuat pertahanan pasien dan mengintegrasikan kapasitas yang telah terganggu. Disamping itu juga diperlukan psikoedukasi kepada keluarga untuk membantu penyembuhan atau pemulihan klien. yang merupakan saudara tiri klien. Sejak klien berusia lima tahun, ibu dan ayah kandung klien memutuskan untuk bercerai. Menurut klien, ayahnya seorang yang berperawakan besar, jahat dan suka marah-marah sehingga apabila klien melihat ayahnya, klien akan menangis dan berusaha untuk tidak mendekati ayahnya. Perpisahan yang dialami kedua orangtuanya membuat klien membutuhkan tempat berlindung yang dapat memenuhi kebutuhan klien, hal tersebut di dapatkan pada paman klien yang merupakan adik dari ibu klien. Paman klien yang belum menikah mencurahkan kasih sayangnya kepada klien, pamannya sering membelikan barang-barang yang diinginkan klien sehingga membuat klien merasa mendapatkan figur ayah yang belum didapatkannya pada ayah kandung klien. Di samping klien mendapatkan kasih sayang yang utuh dari pamannya, klien juga mendapatkan kasih sayang dari ibu klien yang juga selalu menuruti keinginan klien, klien yang saat itu menjadi anak tunggal merasa tidak tersaingi oleh orang lain untuk mendapatkan perhatian dari paman dan ibunya tersebut. Hal tersebut berlangsung hingga empat tahun sebelum ibu klien memutuskan menikah lagi dengan seorang pria yang menurut ibu klien dapat menjaga dan melindungi klien beserta ibunya. Setelah ibunya bercerai dan pamannya menikah, klien mulai malas untuk belajar dan pergi ke sekolah. Selain itu, temanteman sekolah klien mulai meninggalkan klien karena klien tidak seperti dulu lagi yang memiliki banyak uang jajan untuk mentraktir teman-temannya tersebut. Klien yang merasa kehilangan pamannya sebagai figur pelindung juga merasakan kehilangan teman-teman sepermainannya. Rasa kehilangan pada paman dan teman-temannya membuat klien banyak menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan dirumah, tidak pergi ke sekolah, nonton televisi dan berdiam diri di kamar. Pada usia sepuluh tahun yang saat itu klien sedangg duduk di bangku 5 SD, klien mendapatkan seorang adik dari hasil pernikahan ibu dengan ayah tiri klien. Dengan adanya kehadiran seorang adik perempuan, ibu dan ayah tirinya cenderung membiarkan klien karena beranggapan klien telah dewasa dan dapat mengurus kebutuhannya sendiri. Selain itu, dalam pernikahan ibu klien terdapat berbagai permasalahan sehingga ayah tiri klien memutuskan untuk bercerai dan menikah lagi dengan wanita lain. Beban 47

Kasus dan Metode Riwayat Kasus


Klien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, adik klien seorang perempuan

Procedia Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2013,Volume 1 (1), 46-51


tanggung jawab ibu klien semakin bertambah dengan adanya adik klien yang masih kecil dan belum genap berusia satu tahun. Hal ini membuat ibu klien mulai mengalami perekonomian yang mengkhawatirkan bahkan untuk mencukup kebutuhan seharihari seperti sandang dan pangan ibu klien mengalami kesulitan. Serta paman klien memutuskan untuk menikahi seorang gadis yang juga berasal dari daerah yang sama memilih menempati rumah yang berbeda dan mulai fokus menafkahi keluarga barunya. Klien yang memiliki hubungan yang dekat dengan pamannya, merasa ditinggalkan, sedih, merasa kehilangan dan sakit hati. Ketika klien duduk di kelas 3 SMP, klien yang sering tidak masuk sekolah dan tidak ikut ujian karena klien merasa pusing, mudah lelah dan tidak bersemangat membuat klien tidak lulus ujian. Keadaanya ini diperparah dengan anggapan klien bahwa pamannya lebih memberikan perhatian kepada adik tirinya yang masih kecil. Ketika klien berumur kira-kira enam belas tahun, ibu klien merasa bahwa klien telah dapat mandiri dan tidak bergantung lagi secara finansial pada ibunya. ibu klien yang telah memasuki umur empat puluh tahun mulai merasa capek dan sakit-sakitan untuk membiayai klien dan adik tirinya. Klien di minta ibunya untuk mencari pekerjaan agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Akan tetapi klien yang telah terbiasa mendapatkan kebutuhan baik primer maupun sekunder merasa tidak nyaman dan menginginkan pekerjaan yang dapat membuatnya kaya raya dan banyak memiliki teman-teman. Selama klien tidak memiliki pekerjaan, klien sering diejek teman-temannya bahwa klien adalah seorang anak yang miskin dan tidak memiliki uang, teman-temannya tidak mau mengajak klien jika ada kegiatan kumpul-kumpul atau acara dangdutan. Hal ini semakin membuat klien sedih dan sering membayangkan apabila klien memiliki uang banyak akan membuat klien dapat diterima baik oleh temantemannya. Klien merasa kecewa dan sakit hati tetapi lebih memilih untuk menyimpan perasaannya tersebut tanpa memberitahukan keluarganya sejak itu klien cenderung mengurung diri di dalam kamar, marah-marah pada ibunya, mudah tersinggung dan mengancam akan membunuh ibunya. Selain itu klien juga sering mendengar suara-suara baik suara perempuan maupun suara laki-laki yang mengatakan jelek, goblok, miskin. Suara48 suara tersebut sangat mengganggu klien setiap saat kecuali klien sedang tidur. Klien merasa heran karena suara-suara tersebut tidak memiliki wujud seperti manusia. Hal ini membuat klien marah dan mencari-cari sumber suara-suara tersebut. Selain itu klien juga sering merasa bahwa ada seseorang yang akan memberikannya penyakit pada mulutnya jika ia sedang tertidur, ia sering mendengar suara tersebut akan mencelakai dirinya, kejadian ini menambah kekhawatiran dan kegelisahan klien. Akhirnya pada tahun 2006 klien dimasukkan ke RSJ karena klien mengancam ibunya dengan menggunakan senjata tajam dan merusak alat-alat rumah tangga. Saat ini kondisi klien telah berada di RSJ sejak tanggal 22 Agustus 2011. Selama perawatan di RSJ, klien merasa bahwa ia masih sering mendengar suara-suara yang akan mencelakainya, akan tetapi klien masih dapat membiarkan dan mencoba mengalihkan perhatiannya pada kegiatan yang lain agar ia tidak dapat mengontrol emosinya. Menurut penuturan aparat desa yang membawa klien di RSJ, ketika berada di rumah klien sering berlaku agresif pada lingkungan sekitarnya, mondar-mandir, bicara dan tertawa sendiri. Hal ini dilakukan karena klien merasa sangat diganggu dengan suara-suara yang tidak memiliki wujud tersebut.

Instrumen
Observasi dilakukan pada saat wawancara, kegiatan sehari-hari klien dan juga pada saat tes psikologi berlangsung. Tujuan dari penggunaan metode observasi adalah untuk melihat pola perilaku dan juga ekspresi wajah klien dalam segala keadaan / situasi. Wawancara dilakukan dengan E (autoanamnesa) dan juga dari kepala perawat (alloanamnesa). Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengumpulkan data-data terkait dengan subjek E guna menunjang dalam melakukan penegakan diagnosa dari permasalahan E Tes psikologi yang diberikan adalah Rorshach. Tujuan penggunaan tes psikologi ini untuk memperkuat hasil wawancara dan juga mengetahui pola kepribadian E (Rorshach).

Diagnosis
Diagnosis Multiaksial berdasarkan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder)

Procedia Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2013,Volume 1 (1), 46-51


Axis I Axis II : 295. 30 Schizophrenia Paranoid : V71. 09 tidak ada diagnosis dimaksudkan agar klien dapat menjelaskan kecemasan atau permasalahan yang dialaminya saat ini maupun dulu lebih mendalam Sesi 3 yaitu klien diminta untuk menceritakan suara-suara yang menganggunya serta pada situasi/kondisi kapan klien mendengar suara-suara tersebut. Dari pembicaraan klien mengenai situasi/ kondisi munculnya suara dapat membuat klien menceritakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang pernah dialami klien. Kemudain terapis memberitahukan bahwa suara-suara yang didengar klien berasal dari pemikiran klien ketika klien menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Suarasuara yang mengganggu klien tidak akan menyakiti klien jika klien mampu mengontrol pemikirannya tentang suatu yang dicemaskan klien pada kondisi yang tidak menyenangkan tersebut. Sesi 4 yaitu Terapis meminta klien untuk menuliskan nama-nama anggota keluarga di mana klien merasa nyaman jika ia dapat menceritakan sedikit masalah yang dihadapinya. Serta alasan mengapa klien lebih mempercayai anggota keluarga tersebut. Serta klien diminta menuliskan anggota keluarga yang paling tidak klien sukai untuk menceritakan masalahnya beserta alasan. Kemudian terapis memberitahukan kepada klien bahwa jika klien lebih dapat mengungkapkan masalahnya pada orang yang dipercayai hal ini dapat mengurangi beban yang ada diri klien sehingga klien dapat bersosialisasi kembali dengan keluarganya. Sesi 5 yaitu pada sesi ini, klien berkunjung ke rumah klien Menjelaskan kepada keluarga tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan klien relaps(kambuh) sehingga keluarga dapat waspada, serta diagnosis dan pengobatannya Sesi 6 yaitu terapis dan klien secara bersama mengevaluasi hasil intervensi secara keseluruhan dan mengambil kesimpulan dari proses intervensi yang telah dijalani serta memberikan dukungan kepada klien agar klien tetap berusaha untuk mengontrol pemikirian negatifnya.

Axis III : Tidak ada diagnosis Axis IV : Masalah dengan primary support group (keluarga) Axis V : GAF 50 gejala serius (serious), disabilitas serius

Prognosis dan intervensi Prognosis


Berdasarkan permasalahan yang dialami klien, maka dapat diperkirakan klien memiliki prognosa Negatif, hal ini didasari atas faktor-faktor yaitu stressor tidak jelas, lama perjalanan penyakit sekitar 12 tahun, usia onset remaja, tidak adanya dukungan dari keluarga dan tidak teratur minum obat.

Intervensi
Intervensi yang diberikan ada 2 macam yaitu 1) terapi suportif dengan pendekatan katarsis emosional (ventilasi psikologis) yang bertujuan untuk mengeluarkan perasaan-perasaan yang direpres pada masa lalu yang menjadi sumber masalah yaitu kekecewaan kepada teman. Kerentanan yang terjadi pada diri klien, secara psikologis karena klien mempunyai sifat yang introvert, cenderung menarik diri dari lingkungan, dan mudah frustasi sehingga memilih mekanisme pertahanan ego terhadap masalah dengan cara represi ketika di bawah tekanan yang berlebihan. Dengan katarsis ini, maka klien bisa mengeluarkan perasaanperasaan yang dia pendam selama ini. 2) psikoedukasi kepada keluarga yang bertujuan untuk memberikan informasi dan pemahaman mengenai permasalahan yang dialami klien kepada pihak keluarga dan meminta keluarga agar dapat selalu memberikan dukungan dan pendampingan kepada klien. Dalam prosedur pelaksanaan intervensi ini dilakukan 6 sesi. Sesi 1 yaitu Memberitahukan kepada klien hasil assessment yang telah dilakukan serta tujuan yang akan dicapai sehingga klien dapat lebih terbuka dan percaya kepada terapis dan membuat kesepakatan antara klien dan terapis mengenai intervensi yang akan diberikan Sesi 2 yaitu memberikan tugas kepada klien untuk membuat catatan yang terkait dengan kelebihan dan kelemahannya serta keinginan dan halangannya hal ini

Hasil dan pembahasan Hasil


Klien belum memiliki insight akan kelebihan dan kekurangannya. Klien masih berpikir bahwa hidupnya suram dan tidak memiliki 49

Procedia Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2013,Volume 1 (1), 46-51


masa depan. Akan tetapi klien cukup terbuka walaupun terkadang klien ragu-ragu untuk menceritakaannya. Selain itu klien dapat memahami bahwa suara-suara yang sangat mengganggunya berasal dari pemikirannya sendiri tetapi klien masih belum berkeinginan untuk mengontrol karena ketakutan klien masih besar. Dalam permasalahan keluarga, klien belum dapat bersikap terbuka dan menerima apa adanya tentang kondisi keluarga klien. Klien masih beranggapan bahwa keluarganya hanyalah sebuah keluarga miskin yang tidak dapat dibanggakan sama sekali sehingga klien bersikap tidak peduli terhadap keluarganya. dirinya dari rasa malu dengan cara agresi di mana klien cenderung merendahkan dan menghina orang lain sehingga klien akan merasa menjadi lebih baik serta menuduh, menyalahkan orang lain dan mencari pembalasan dendam sehingga mengamankan kelemahan harga dirinya. Klien juga kurang dapat mengontrol emosinya, menjadi depresi dan karena tidak mendapatkan penanganan secara tepat, depresi klien menjadi semakin parah dan muncul simtom-sintom schizophrenia dalam bentuk halusinasi. Salah satu sintom yang muncul ketika seseorang mengalami schizophrenia adalah halusinasi dimana klien mengalami halusinasi dengar. Berbagai jenis pendekatan psikoterapi suportif terus berkembang yang salah satunya adalah katarsis emosional (Misch, 2000). Klien diberi penjelasan bahwa hampir semua orang pernah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan dan disimpan dalam kehidupannya. Intervensi selanjutnya adalah terapi psikoedukasi kepada keluarga klien dan hasilnya keluarga dapat memahami permasalahan klien dan meminimkan tingkat stressor yang dapat mengakibatkan kekambuhan. Intervensi ini dapat dikatakan berhasil karena keluarga sangat kooperatif terhadap pelaksanaan terapi dan keluarga klien mempunyai motivasi yang tinggi untuk mendukung kesembuhan klien. Intervensi pertama yang dilakukan oleh terapi ini hasilnya keluarga dapat memahami permasalahan klien dan meminimkan tingkat stresor yang dapat mengakibatkan kekambuhan. Berbagai program menggunakan bermacam teknik untuk menerapkan berbagai strategi di atas. Dibandingkan dengan berbagai terapi standar (biasa hanya pemberian obat), terapi keluarga ditambah pemberian obat umumnya menurunkan tingkat kekambuhan dalam periode satu hingga dua tahun. Temuan positif ini diperoleh terutama dalam berbagai studi dimana penanganan berlangsung sekurangkurangnya sembilan bulan (Davison, Neale, & Kring, 2006).

Pembahasan
Dalam menangani permasalahan klien ini, terapis menggunakan 2 jenis terapi yaitu terapi suportif dengan teknik katarsis dan terapi psikoedukasi yang ditujukan untuk keluarga klien. Intervensi pertama yang dilakukan oleh terapis yaitu terapi individu menggunakan pendekatan psikoanalisa dengan teknik katarsis. Terapi individu yang diberikan terapis kepada klien menunjukkan hasil bahwa klien belum memiliki insight akan kelebihan dan kekurangannya. Klien juga memiliki perasaan tidak mampu (inferior) yang merupakan lanjutan dari tingkah laku parasit yang dibuat pada usia 4 atau 5 tahun di mana mengembangkan perasaan inferior yang berlebihan dan berusaha mengkompensasikannya dengan membuat tujuan menjadi superior secara personal (Adler dalam Alwisol : 76, 2008). klien yang diasuh dengan gaya hidup manja yang dilakukan oleh paman dan ibunya membuat ia menikmati pemanjaan tersebut, berkeinginan kuat tetap dimanja dan mengembangkan hubungan yang parasit terhadap paman dan ibunya ke orang lain dalam lingkungan sosialnya. Klien juga mengharapkan orang lain memperhatikan dirinya, melindungi dirinya dan memuaskan semua keinginannya yang mementingkan diri sendiri. Akan tetapi harapan klien tersebut pada lingkungan sosialnya tidak didapatkan yang membuat kalian merasa inferior dan diperparah dengan kehilangan perhatian dari paman serta ibunya membuat klien merasa diabaikan, diperlakukan tidak adil dengan adik tirinya yang semakin menguat perasaan inferior klien. Dari perasaan inferior yang berlebihan tersebut membuat klien berusaha mengkompensasikannya untuk melindungi 50

Simpulan
Dalam pemberian intervensi yang sesuai dengan kondisi klien saat ini yaitu psikoterapi suportif yang dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar klien tidak merasa putus asa

Procedia Studi Kasus dan Intervensi Psikologi 2013,Volume 1 (1), 46-51


dan semangat juangnya dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun. Selain itu diberikan Psikoedukasi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan hubungan klien dengan keluarganya. Dimana ibu klien sering menjadi sasaran kemarahan klien. Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami gangguan jiwa skizofrenia dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan klien. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran yaitu Klien disarankan untuk tidak berhenti melatih kemampuan sosialnya dengan terus membuka dan membangun hubungan interpersonal baik dengan orang-orang yang selama ini telah dikenalnya maupun orang-orang yang baru. Dalam keluarga lebih memberi perhatian terhadap masalah dan kebutuhan klien, lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas komunikasi dalam keluarga, dan mengurangi bentuk komunikasi yang menuntut atau selalu menilai. Hal ini dapat dilakukan dengan cara lebih sering mengajak berdialog, mengajak klien beraktifitas bersama, misal dengan jalan-jalan, hal ini dilakukan untuk kebutuhan afeksinya, agar klien tidak merasa kesepian, dan tidak semakin merasa rendah diri serta cemas untuk membuka hubungan interpersonal dengan lingkungan sosial.

Daftar Pustaka
APA. DSM IV-TR. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision. Washington DC: Published by American Psychiatric Association.

Brown, J. H., & Christensen, Dana. N. (1999). Family Therapy (Theory and Practice). California: University of Louisville. Corey, Gerald. (2007). Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama. Davidson, C., Gerald, & Neale, M. John. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Fausiah, F., & Widury, Julianti. (2008). Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: Universitas Indonesia press. Hand-Book. (1999). Konsep Dasar Penguasaan Diagnostik. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. Hawari, D., 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hurlock, E. B. (1996). Psikologi perkembangan Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Jeste, D. V., Dolder, C. R. Schizophrenia and paranoid disorders. In: Blazer DG, Steffens DC, Busse EW, eds. Essentials of Geriatric Psychiatry. Arlington: American Psychiatric Publishing. Maslim, R., 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. Nevid, Jeffrey. (2003). Psikologi Abnormal. Jilid 1. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Novalis, P., Rojcewicz, S., Peele, R. Clinical guide psychotherapy suportif washington, DC: American Psychiatric Press, Inc, 129-56. Sadock, Kaplan. (1997). Sinopsis Psikiatri. Edisi Ketujuh. Jilid. Jakarta: Binarupa Aksara. Schultz, Duane., 1981. Theories of Personality. California: Brooks/Cole Publishing Company. Subandi, & Wulan, Ratna. (2005). Tes Rorschach (administrasi dan skoring). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Press.

51

Anda mungkin juga menyukai