Terapi supportif dan psikoedukasi untuk meningkatkan pemahaman diri pada penderita skizofrenia paranoid
Triharim. K. S. Pilpala
ABSTRAK. Problem schizophrenia paranoid di rumah sakit jiwa banyak dijumpai. Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan psikoterapi suportif dan psikoedukasi keluarga dilakukan pada pasien yang mengalami Schizophrenia Paranoid. Studi kasus ini melibatkan 1 pasien yang memenuhi kriteria schizophrenia paranoid. Instrumen adalah observasi, wawancara dan tes psikologi (Rorschach). Intervensi dalam studi kasus dilakukan dalam 3 tahapan yaitu initation, working process, dan evaluasi. Hasil intervensi menunjukkan pasien belum mampu memberikan perubahan yang signifikan serta belum adanya keinginan untuk mengontrol suara-suara yang menggangunya. Kata kunci: Terapi suportif, psikoedukasi keluarga, schizophrenia paranoid
Schizophrenia merupakan gangguan mental klasifikasi berat dan kronik (psikotik). Secara umum ditandai oleh distorsi pikiran, persepsi yang khas, dan gangguan afek yang tidak wajar. Schizophrenia disebabkan oleh hal yang multikompleks, seperti ketidakseimbangan neurotransmitter di otak, faktor edukasi dan perkembangan mental sejak masa anak-anak, stressor psikososial berat yang menumpuk, dengan sifat perjalanan penyakit yang progresif, cenderung menahun, (kronik), eksaserbasi (kumat-kumatan), sehingga terkesan penderita tidak bisa disembuhkan seumur hidup (Jeste, D. V., Dolder, C. R., 2007). Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16 sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah (Kaplan, & Sadock, 1997). Dalam skizofrenia terdapat beberapa tipe yaitu tipe tak terorganisasi, tipe katatonik dan tipe paranoid (DSM-IV-TR; APA, 2000). Dari perilaku yang terlihat, Klien E termasuk ke dalam skizofrenia tipe paranoid yang memiliki halusinasi auditori visual. Klien E sama sekali tidak menunjukkan gejala skizofrenia tipe tidak terorganisasi (seperti perilaku yang kacau, tidak tenang, tidak menjaga kebersihan dan penampilan, dan afek datar) dan tipe katatonik (seperti posisi tubuh yang tetap). 46
Simptom utama dari skizofrenia paranoid adalah delusi persecusion dan grandeur, di mana individu merasa dikejar-kejar. Hal tersebut terjadi karena segala sesuatu ditanggapi secara sensitif dan egosentris seolah-olah orang lain akan berbuat buruk kepadanya. Oleh karena itu, sikapnya terhadap orang lain agresif. Delusi tersebut diperkuat oleh halusinasi penglihatan dan pendengaran, misalnya terlihat wajahwajah yang menakutkan, terdengar suara mengancam, dan sebagainya sehingga timbul reaksi menyerang atau agresi karena terganggu. Hal-hal tersebut juga bisa mendorong penderita untuk membunuh orang lain atau sebaliknya bunuh diri, sebagai usahanya untuk menghindari delusi persecusion. Terdapat kecenderungan homoseksualitas, di mana penderita laki-laki akan mengancam laki-laki dan penderita perempuan akan mengancam perempuan. Adanya delusion of gender dapat menimbulkan delusion of persecusion, di mana individu menganggap orang lain cemburu kepada kepintaranya, kekayaannya, kepopulerannya, kecantikannya, kedudukan sosiaalnya, dan sebagainya. Pada penderita timbul Ideas of Reference, yaitu terjadi pencampuran antara waham dan halusinasi dengan kecenderungan untuk memberikan impresi/nuansa pribadi terhadap segala kejadian yang dialaminya. Misalnya suara klakson mobil di jalan depan rumah dianggapnya sebagai terompet tanda penyerbuan terhadap dirinya segera akan dimulai (Coleman, 1976).
Instrumen
Observasi dilakukan pada saat wawancara, kegiatan sehari-hari klien dan juga pada saat tes psikologi berlangsung. Tujuan dari penggunaan metode observasi adalah untuk melihat pola perilaku dan juga ekspresi wajah klien dalam segala keadaan / situasi. Wawancara dilakukan dengan E (autoanamnesa) dan juga dari kepala perawat (alloanamnesa). Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengumpulkan data-data terkait dengan subjek E guna menunjang dalam melakukan penegakan diagnosa dari permasalahan E Tes psikologi yang diberikan adalah Rorshach. Tujuan penggunaan tes psikologi ini untuk memperkuat hasil wawancara dan juga mengetahui pola kepribadian E (Rorshach).
Diagnosis
Diagnosis Multiaksial berdasarkan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder)
Axis III : Tidak ada diagnosis Axis IV : Masalah dengan primary support group (keluarga) Axis V : GAF 50 gejala serius (serious), disabilitas serius
Intervensi
Intervensi yang diberikan ada 2 macam yaitu 1) terapi suportif dengan pendekatan katarsis emosional (ventilasi psikologis) yang bertujuan untuk mengeluarkan perasaan-perasaan yang direpres pada masa lalu yang menjadi sumber masalah yaitu kekecewaan kepada teman. Kerentanan yang terjadi pada diri klien, secara psikologis karena klien mempunyai sifat yang introvert, cenderung menarik diri dari lingkungan, dan mudah frustasi sehingga memilih mekanisme pertahanan ego terhadap masalah dengan cara represi ketika di bawah tekanan yang berlebihan. Dengan katarsis ini, maka klien bisa mengeluarkan perasaanperasaan yang dia pendam selama ini. 2) psikoedukasi kepada keluarga yang bertujuan untuk memberikan informasi dan pemahaman mengenai permasalahan yang dialami klien kepada pihak keluarga dan meminta keluarga agar dapat selalu memberikan dukungan dan pendampingan kepada klien. Dalam prosedur pelaksanaan intervensi ini dilakukan 6 sesi. Sesi 1 yaitu Memberitahukan kepada klien hasil assessment yang telah dilakukan serta tujuan yang akan dicapai sehingga klien dapat lebih terbuka dan percaya kepada terapis dan membuat kesepakatan antara klien dan terapis mengenai intervensi yang akan diberikan Sesi 2 yaitu memberikan tugas kepada klien untuk membuat catatan yang terkait dengan kelebihan dan kelemahannya serta keinginan dan halangannya hal ini
Pembahasan
Dalam menangani permasalahan klien ini, terapis menggunakan 2 jenis terapi yaitu terapi suportif dengan teknik katarsis dan terapi psikoedukasi yang ditujukan untuk keluarga klien. Intervensi pertama yang dilakukan oleh terapis yaitu terapi individu menggunakan pendekatan psikoanalisa dengan teknik katarsis. Terapi individu yang diberikan terapis kepada klien menunjukkan hasil bahwa klien belum memiliki insight akan kelebihan dan kekurangannya. Klien juga memiliki perasaan tidak mampu (inferior) yang merupakan lanjutan dari tingkah laku parasit yang dibuat pada usia 4 atau 5 tahun di mana mengembangkan perasaan inferior yang berlebihan dan berusaha mengkompensasikannya dengan membuat tujuan menjadi superior secara personal (Adler dalam Alwisol : 76, 2008). klien yang diasuh dengan gaya hidup manja yang dilakukan oleh paman dan ibunya membuat ia menikmati pemanjaan tersebut, berkeinginan kuat tetap dimanja dan mengembangkan hubungan yang parasit terhadap paman dan ibunya ke orang lain dalam lingkungan sosialnya. Klien juga mengharapkan orang lain memperhatikan dirinya, melindungi dirinya dan memuaskan semua keinginannya yang mementingkan diri sendiri. Akan tetapi harapan klien tersebut pada lingkungan sosialnya tidak didapatkan yang membuat kalian merasa inferior dan diperparah dengan kehilangan perhatian dari paman serta ibunya membuat klien merasa diabaikan, diperlakukan tidak adil dengan adik tirinya yang semakin menguat perasaan inferior klien. Dari perasaan inferior yang berlebihan tersebut membuat klien berusaha mengkompensasikannya untuk melindungi 50
Simpulan
Dalam pemberian intervensi yang sesuai dengan kondisi klien saat ini yaitu psikoterapi suportif yang dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar klien tidak merasa putus asa
Daftar Pustaka
APA. DSM IV-TR. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision. Washington DC: Published by American Psychiatric Association.
Brown, J. H., & Christensen, Dana. N. (1999). Family Therapy (Theory and Practice). California: University of Louisville. Corey, Gerald. (2007). Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama. Davidson, C., Gerald, & Neale, M. John. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Fausiah, F., & Widury, Julianti. (2008). Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: Universitas Indonesia press. Hand-Book. (1999). Konsep Dasar Penguasaan Diagnostik. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. Hawari, D., 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hurlock, E. B. (1996). Psikologi perkembangan Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Jeste, D. V., Dolder, C. R. Schizophrenia and paranoid disorders. In: Blazer DG, Steffens DC, Busse EW, eds. Essentials of Geriatric Psychiatry. Arlington: American Psychiatric Publishing. Maslim, R., 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. Nevid, Jeffrey. (2003). Psikologi Abnormal. Jilid 1. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Novalis, P., Rojcewicz, S., Peele, R. Clinical guide psychotherapy suportif washington, DC: American Psychiatric Press, Inc, 129-56. Sadock, Kaplan. (1997). Sinopsis Psikiatri. Edisi Ketujuh. Jilid. Jakarta: Binarupa Aksara. Schultz, Duane., 1981. Theories of Personality. California: Brooks/Cole Publishing Company. Subandi, & Wulan, Ratna. (2005). Tes Rorschach (administrasi dan skoring). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Press.
51