Anda di halaman 1dari 2

Misi Profetik Menulis

Menulis bagi kita memiliki tujuan yang mungkin berbeda. Ada di antara kita yang
menulis untuk aktualisasi diri, ada juga yang menulis untuk memenuhi tugas akademik.
Di sisi lain, ada yang menulis untuk melepaskan penat dan mengurangi ketegangan jiwa.
Tujuan menulis lainnya adalah untuk mendapatkan penghasilan atau popularitas.
Jelasnya, ada beragam tujuan dari masing-masing diri kita ketika berhasrat menggoreskan
pena.
Adanya tujuan dari aktivitas menulis yang kita lakukan tentu saja penting. Dengan
memiliki tujuan, aktivitas menulis kita memiliki arah dan target yang jelas. Tujuan itulah
yang membingkai jiwa kepenulisan kita untuk terus menulis, menulis, dan menulis.
Beragam tujuan menulis dari masing-masing diri kita pastinya tidak bisa hitam putih
dinilai tepat atau tidak, mulia atau tidak. Sebut saja ketika ada yang menulis untuk
mendapatkan penghasilan, kita tidak bisa mengatakannya sebagai penulis materialistik.
Keikhlasan dalam menulis dinilai dari niat yang tentu saja tidak bisa kita indera. Niat
urusannya dengan Tuhan. Ketika kita menulis untuk menambah penghasilan, itu sah-sah
saja. Tujuan menulisnya agar mampu menafkahi diri sendiri sehingga bisa hidup mandiri
menurut saya tidak salah karena agama pun mengajarkan kepada kita untuk mampu
menafkahi diri sendiri. Kita bisa saja bertujuan menambah penghasilan dari menulis
untuk memperbanyak sedekah.
Meskipun demikian, tujuan-tujuan di atas menurut saya belum menguatkan diri
kita sebagai penulis. Mencari penghasilan lewat menulis sah-sah saja, tapi bagaimana jika
menulis tak menambah pundi-pundi uang kita? Ada yang menulis untuk mencari
ketenaran, tapi apakah menulis sebatas agar bisa tenar? Bagaimana jika menulis justru
tidak dapat mengurangi ketegangan jiwa kita? Apakah menulis sekadar untuk aktualisasi
diri? Menurut saya tujuan menulis sekadar untuk itu tidak menjamin konsistensi
seseorang untuk menulis. Jika ternyata menulis tidak memberikan penghasilan, maka bisa
jadi kita akan berhenti menulis. Kita pun belum tentu menjadi terkenal dengan menulis,
bahkan memang tidak harus terkenal. Jika tujuan menulis agar diri kita tenar tidak
tercapai, kita seketika bisa mematahkan pena. Kita pun berhenti menulis jika ternyata
menulis tidak mengatasi ketegangan jiwa karena tujuannya sekadar untuk itu.
Pada titik ini, saya ingin mencoba membangun misi profetik dalam aktivitas
menulis kita. Misi profetik ini menjadi arah kita dalam menghasilkan tulisan-tulisan.
Profetik yang artinya kenabian bukan berarti kita menganggap diri sebagai Nabi yang
menunggu wahyu Tuhan sebelum menulis. Misi profetik menegaskan aktivitas menulis
dalam upaya mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan.
Ada lima tujuan menulis dalam misi profetik. Pertama, menulis untuk mengikat
ilmu. Setiap ilmu yang kita didapatkan akan terekam kuat jika kita tuliskan. Ilmu adalah
sesuatu yang berharga sehingga kita menjaganya dengan menuliskannya. Seperti kata Ali
bin Abi Thalib, kita perlu menulis untuk mengikat ilmu. Kedua, menyampaikan ilmu.
Ilmu yang kita dapatkan tentu perlu kita sebarluaskan untuk kemaslahatan bersama. Kita
tidak hanya belajar, tapi juga mengajarkan ilmu dengan menyebarluaskannya lewat
tulisan. Ketiga, menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf) atau humanisasi dalam istilah
Kuntowijoyo. Dengan menulis, kita mengajak manusia menuju pada kebaikan. Keempat,
mencegah kemungkaran (nahi munkar) atau dalam istilah Kuntowijoyo disebut liberasi.
Tulisan-tulisan yang kita hasilkan berawal dari kegelisahan untuk menentang kezaliman
dan berkata tidak pada setiap kemungkaran. Kelima, meneguhkan keimanan manusia.
Aktivitas menulis kita seyogianya mampu mendekatkan diri kita dan orang lain kepada
Tuhan. Transendensi dalam konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo merupakan
landasan dan arah dari humanisasi dan liberasi. Artinya, nilai transendental menjadi titik
pijak kita menulis untuk mengarahkan kehidupan pada kesadaran ber-Tuhan.
Entah apa yang menjadi tujuan kita dalam menulis, misi profetik menjadi
keniscayaan agar tulisan-tulisan kita lebih bermakna bagi peradaban. Menulis tidak harus
di surat kabar. Kita bisa menulis di blog, buletin dan koran dinding kampus/sekolah atau
media lainnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat forum kepenulisan pada Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
Sabtu, 20 Juni 2009

Anda mungkin juga menyukai