Anda di halaman 1dari 117

Corby show: Komersialisasi kejahatan

Koran SINDO
Selasa, 11 Februari 2014

CORBY, si ratu mariyuana, dalam usia 36 tahun masih menyita perhatian. Bukan karena penampilan dengan belahan dada yang rendah, atau tangisnya yang disiapkan untuk mengundang rasa kasihan, melainkan karena menerima pembebasan bersyarat, on parole. Begitu repot para petinggi negeri ini berargumentasi dengan suara tinggi. Padahal yang begini bisa dihindari dengan cara yang sangat sederhana. Agaknya kita terbiasa dengan show, dengan tontonan, dengan drama, dengan sandiwara yang disertai rekayasa dan pura-pura. Komersialisasi air mata Schapelle Leigh Corby, tertangkap membawayang tak diakui miliknya ganja seberat 4,2 kilogram. Pengadilan Negeri Denpasar, Bali memutus 20 tahun. Pengadilan tinggi mengurangi menjadi 15 tahun. Mahkamah Agung mengembalikan ke angka 20 tahun. Namun tahun 2012, presiden memberi grasi 5 tahun. Kembali ke angka 15. Dengan berbagai remisi yang diterima setiap 17 Agustus, Corby yang berada di dalam tahanan selama 9 tahun 4 bulan bisa melangkah bebas. Angka-angka nyata ini menunjukkan bahwa realitas hukuman 20 tahun tidak selalu berarti 20x365 hari. Menjalani pembebasan bersyarat setelah menjalani dua pertiga masa hukuman, juga tidak berarti 160 bulan atau 13 tahun 4 bulan. Ada pemotongan lain yang dinamakan remisi. Sehingga angka 13 tahun 4 bulan, dijalani selama 9 tahun 4 bulan. Sebenarnya ini perhitungan biasa yang bisa diperoleh semua napi, narapidana. Namun menjadi bahan pergunjingan karena ada menyangkut kasus narkoba, menyangkut hubungan Indonesia-Australia, menyangkut kebersihan penegakan hukum, menyangkut emosi, kemarahan, air mata buatan, dan menyangkut uang. Air mata rekayasa diungkap stasiun siar Australia yang dengan hidden camera, kamera tersembunyi, menangkap persiapan Corby meneriakkan kata iba, Help me.. help me Australia sambil berlinang air mata. Padahal dalam rekaman itu juga terdengar bahwa sebenarnya Corby ogah tampil menangis. Demi meminta belas kasihan, sandiwara pun dimunculkan. Soal uang, diperkirakan Corby bisa mengantongi 3 juta dolar Australia, atau sekitar Rp32 miliar, untuk wawancara khusus. Dan masih ada pernik lain. Artinya tindak kejahatan Corby pun bisa dikomersialkan. Kesadaran dan tanggung jawab Barang kali saja semua dramadan dramatisasi, ini bisa sejak awal tidak perlu terjadi. Soal komersialisasi kejahatan, itu urusan Corby. Namun mengenai jumlah hukuman yang harus

dijalani yang menjadi perdebatan, bisa dihapus. Misalnya dengan mempertanyakan apakah Corby berhak menerima remisi, karena berkelakuan baik selama ini. Apalagi menyangkut syarat untuk bisa menerima pembebasan bersyarat (PB), menuntut pemenuhan banyak hal. Mengacu pada Pasal 12 huruf k UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, banyak hal harus dipenuhi pemohon. Termasuk di dalamnya menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas apa yang dilakukan, menunjukkan perkembangan baik, mengikuti pembinaan, danini yang terkait masyarakat dapat menerima program tersebut. Sampai di sini sebenarnya banyak masalah. Wewenang untuk menyatakan berkelakuan baik dan sadar kesalahan adalah penilaian dari lembaga pemasyarakatan yang turut memberi rekomendasi. Dalam ini melibatkan kalapas, kepala bagian keamanan dan kepala bagian administrasi. Putusan persetujuan mereka ini masih bisa dianulir di tingkat kakanwil, dan kemudian bisa pula di tingkat direktorat jenderal. Artinya demikian banyak rambu- rambu yang mengujinya, yang harus dilewati bukan dengan tangan hampa. Bahkan di masa saya berada dalam penjara dan berupaya mendapatkan bebas bersyarat, termasuk ujian tanya-jawab mengenai Pancasila. Kalaupun semuanya lolos, semasa dalam periode on parole pun masih harus melapor kepada dua lembaga, sebulan sekali sampai setahun ditambahkan dari masa hukuman yang belum dijalani. Sanksinyakalau dilanggar, bisa menjalani hukuman dalam penjara lagi. Tapi ini semua syarat administratif dan substantif hanya berlaku di atas kertas. Selebihnya pengertian bebas bersyarat, adalah benar-benar bebas di luar penjara, dengan sedikit biaya. Kalau ini yang terjadi, ya masih akan terus terjadi kasus serupa dan sama. Kesadaran dan tanggung jawab tugas, keprihatinan atas kasus narkoba, bisa membuat keputusan berbeda, sejak semula. ARSWENDO ATMOWILOTO Budayawan

Corby adalah pesan kepada ASD


Koran SINDO
Selasa, 11 Februari 2014

PERLAKUAN sangat khusus dan spesial terhadap warga negara asing (WNA) terpidana narkoba tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menimbang martabat bangsa. Pembebasan bersyarat bagi narapidana narkotika Schapelle Leigh Corby sesungguhnya sarat agenda kepentingan penguasa yang sedang berselimut takut dan gelisah. Takut berlebihan seorang pemimpin menyebabkan organisasinya melemah dan menjadi sangat kompromistis. Karena sangat kompromistis, kepentingan negara dan rakyat bukan lagi prioritas. Teratas dalam skala prioritas seorang pemimpin yang takut dan gelisah adalah dirinya dan keluarga. Mendekati ujung era kekuasaannya, dia akan menggunakan kekuasaan dan wewenang kepemimpinannya untuk membangun benteng perlindungan dengan segala cara (at all cost). Hanya itu fokusnya. Dia tidak akan peduli apa kata orang lain atau cibiran publik, apalagi komunitas yang dipimpinnya. Sekalipun berstatus pemimpin, dia tidak akan ragu sedikit pun untuk bertindak irasional. Terpenting baginya, benteng perlindungan yang sangat dibutuhkannya itu terbangun. Dan, tentu saja benteng itu harus efektif luar dalam. Dia butuh benteng itu agar pada waktunya nanti tidak diganggu kasus hukum, serta tidak menjadi sasaran tuduhan dan cemooh publik. Itulah agenda kepentingan di balik rangkaian pembebasan dan keringanan hukuman yang diberikan pemerintah terhadap beberapa WNA yang menyandang status narapidana kasus narkotika. Dengan begitu, ragam argumen pemerintah dalam kasus Corby misalnya, lebih sebagai alasan untuk membangun paham bahwa pembebasan bersyarat Corby legal. Maka menjadi konyol jika pembebasan bersyarat Corby dimaknai sebagai cermin bangsa yang bermartabat. Sejarah peradaban bangsa-bangsa memang mencatat Indonesia bermartabat, tetapi perlakuan sangat khusus dan spesial dari pemerintah untuk Corby sama sekali tidak bermartabat karena makin melemahkan posisi negara dan rakyat di hadapan sindikat narkotika internasional. Pembebasan Corby dan meringankan hukuman WNA terpidana narkotika lainnya adalah sebuah perjudian dengan risiko sangat tinggi. Pemerintah telah mempertaruhkan masa depan generasi muda bangsa, karena sangat kompromistis menghadapi anggota sindikat narkotika internasional. Tak terbantahkan bahwa Indonesia bangsa bermartabat. Namun, apakah

pemerintahan ini bermartabat? Diyakini bahwa segenap rakyat Indonesia tahu apa jawab dari pertanyaan itu. Itu sebabnya, berbagai kalangan tertawa sinis ketika menyimak pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin terkait pembebasan bersyarat Corby. Kami adalah bangsa yang bermartabat. Kami tegakan hukum tidak memandang siapa pun orangnya manakala aturan perundang- undangan itu memberikan seseorang hak. Wajib kepada kami untuk memberikan kepadanya sepanjang seluruh aturan telah terpenuhi, kata Amir. Pembebasan bersyarat, menurut Amir, merupakan hak yang bisa didapat setiap narapidana jika memenuhi persyaratan sesuai Permen Kementerian Hukum dan HAM No 21/2013. Pertanyaannya, apakah dalam kasus Corby, Permen No 21/ 2013 itu sudah dihadap-hadapkan dengan PP (Peraturan Pemerintah) No 99/2012 tentang pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi, narkotika, dan terorisme. Menteri Amir boleh saja berpegang Permen No 21/2013 yang dibuatnya sendiri. Tetapi di atas Permen itu, ada PP No.99/2012 yang wajib dipatuhi menteri. Kalau Permen melangkahi PP, tidakkah itu inkonstitusional? Jangan-jangan pembebasan bersyarat Corby sengaja tidak mengacu pada PP No 99/2012. Ironis, karena PP No 99/2012 itu justru digagas oleh Amir dan Wamenkum HAM Denny Indrayana. Bagaimana bisa mengatakan bermartabat jika tidak konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang dirancangnya sendiri. Corby dan penyadapan Kalau Menteri Amir nekat membebaskan Corby dengan hanya bermodalkan Permen No 12/2013 dan menabrak PP No 99/2013, pastilah ada kepentingan besar yang sedang dipertaruhkan. Apakah kepentingan besar itu berkait dengan negara dan rakyat? Patut diragukan. Kalau demi kemaslahatan rakyat dan negara, Corby mestinya tidak diperlakukan istimewa dan spesial. Dia harus menjalani sanksi hukum maksimal agar tumbuh efek jera bagi setiap WNA yang ingin membangun jaringan atau sel-sel perdagangan narkotika di Indonesia. Sanksi hukum maksimal bagi narapidana kasus narkotika sangat perlu, karena jumlah korban jiwa dan kerugian materiil akibat peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan (narkoba) terlarang di Indonesia sudah sampai pada tahap sangat menakutkan. Bahkan, birokrasi negara pun sudah tersusupi sindikat narkotika, karena sejumlah lembaga pemasyarakatan pun dijadikan basis produksi dan peredaran narkoba. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), sekitar 50 orang tewas setiap harinya di Indonesia karena mengonsumsi narkoba. Riset BNN-Universitas Indonesia (UI) menemukan 3,8 juta orang atau 2,2% dari populasi penduduk tercatat sebagai penyalah guna narkoba.

Negara harus alokasikan dana Rp4,1 triliun untuk membiayai rehabilitasi para korban narkotika. Data-data ini sudah membuat puluhan juta orang tua cemas setiap harinya, karena khawatir putra-putri mereka terperangkap narkoba. Para ayah-ibu tahu betul bahwa anakanak selalu berada dalam ancaman teror narkoba. Kecemasan para orang tua itulah memunculkan ungkapan Indonesia darurat narkoba. Mengapa pemerintah tidak mau menghayati aspirasi para orang tua di negara ini? Mengapa juga pemerintah seperti enggan berada dalam satu barisan dengan rakyat dalam menyikapi kejahatan narkotika ? Jelas bahwa posisi pemerintah patut dipertanyakan dalam menyikapi kejahatan narkoba oleh anggota sindikat internasional. Sebab, sebelum membebaskan Corby, pemerintah juga telah memberi bebas bersyarat kepada narapidana narkotika Michael Loic Blanc asal Prancis dan Mohammad Hasnan dari Malaysia. Kasus Corby tentu saja menarik dikaji, karena inisiatif pemerintah membebaskan wanita asal Australia ini dimunculkan tak lama setelah memanasnya hubungan kedua negara akibat skandal penyadapan oleh instrumen intelijen Australia. Di tengah perang kata-kata di antara para diplomat kedua negara waktu itu, ABC dan Guardian terbitan Australia menerima bocoran hasil penyadapan dan memublikasikannya. Komunitas pers di Indonesia pun ramai-ramai mengutip pemberitaan ABC dan Guardian. Belakangan muncul pemahaman bahwa lakon yang dimainkan ABC dan Guardian itu sebagai gertak sambal atau tekanan kepada Jakarta dari Canberra. Itu sebabnya, para pemimpin di Jakarta (pemerintah Indonesia) sangat lamban merespons sikap tidak bersahabat yang dipertontonkan Australia. Bahkan muncul keyakinan bahwa belum semua hasil sadapan dibocorkan kepada pers oleh Australian Signals Directorate (ASD). Berapa banyak yang akan dibocorkan ASD atas perintah Canberra sangat bergantung pada keraslembeknya reaksi Jakarta. Maka itu, pembebasan bersyarat untuk Corby patut diterjemahkan sebagai sikap atau reaksi lembut nan bersahabat dari pemerintah Indonesia kepada pemerintah Australia dalam menyikapi skandal dan materi hasil sadapan. Dan karena pemerintah Indonesia bersikap lembut, ASD pun berhenti membocorkan hasil sadapannya kepada pers Australia. Lebih gamblangnya, pembebasan Corby adalah pesan dari Jakarta kepada ASD agar jangan lagi membocorkan hasil sadapan kepada komunitas pers mana pun. Artinya, di Jakarta ada yang takut dan gelisah. Kalau pembocoran ASD diteruskan dan melebar hingga isu tentang perilaku koruptif dari mereka yang disadap, sejumlah elite di Jakarta akan malu, dicemooh dan menjadi sasaran tuduhan. Jadi, pembebasan Corby bisa jadi adalah harga yang harus dibayar guna mengeliminasi

potensi ancaman ASD. Kalau pembocoran oleh AS melebar hingga data-data korupsi sejumlah elite di Jakarta, banyak figur yang akan menjadi sasaran caci maki publik Indonesia. Dan, sudah barang tentu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akan kelabakan menyikapi respons publik. Maka tidak relevan jika pembebasan Corby dijadikan gambaran tentang martabat bangsa. Bukan hanya ngawur, melainkan model argumen ini keblinger. Barangkali pembebasan bersyarat Corby itu lebih tepat dimaknai sebagai keputusan dari pemerintahan yang tidak bermartabat. BAMBANG SOESATYO Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar

Buta aksara moral


Koran SINDO
Selasa, 11 Februari 2014

KETUA Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan bahwa bangsa ini telah terjangkit penyakit buta aksara moral (moral illiteracy). Elemen bangsa ini seakan tidak mampu lagi membedakan antara benar-salah dan baik-buruk. Ungkapan tersebut terasa relevan untuk melukiskan kasus korupsi yang terus terjadi di negeri tercinta ini. Padahal, pemerintah telah membentuk begitu banyak lembaga ad hoc yang berfungsi untuk memberantas korupsi. Salah satu lembaga anti rasuah yang kini menjadi harapan masyarakat adalah komisi pemberantasan korupsi (KPK). Peningkatan jumlah kasus korupsi di antaranya dapat dibaca melalui pengumuman Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyatakan bahwa selama kurun 20042012 ada 173 dari 524 kepala daerah terlibat kasus korupsi. Sebanyak 70% di antara kepala daerah itu telah dinyatakan bersalah dan dimasukkan penjara. Kasus lain yang menyita begitu banyak perhatian publik adalah suap impor daging sapi, Hambalang, Simulator SIM, Bank Century, dan cek perjalanan yang menyertai pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom. Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa sebagai bangsa, kita telah mengalami buta aksara moral secara berjamaah. Koruptor di negeri ini dengan penuh percaya diri terus melakukan kaderisasi. Mereka melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat. Karena itu, tidak mengherankan jika latar belakang sosial koruptor kini pun sangat beragam; pengusaha, politisi, birokrat, aparat penegak hukum, TNI, Polri, dan elite agama. Pelaku korupsi juga merambah kelompok akademisi. Penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini oleh KPK beberapa waktu lalu dapat menjadi contoh. Seperti diketahui, Rudi adalah guru besar dan akademisi ternama ITB. Bahkan, Rudi sempat dinobatkan menjadi dosen teladan. Jika yang dipersangkakan KPK terbukti, itu berarti akan menambah daftar kaum intelektual yang tersandung kasus korupsi. Umumnya praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik dilakukan dengan cara suap-

menyuap, mark up dan mark down anggaran, serta penyalahgunaan jabatan. Ironinya, praktik korupsi di instansi pemerintahan pun dianggap sebagai fenomena yang biasa dengan dalih sudah sesuai prosedur. Pola pikir ini jamak terjadi di lembaga-lembaga publik seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Yang lebih menyedihkan, sistem sosial budaya di masyarakat pun menunjukkan sikap yang permisif dengan menganggap korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Karena itulah, Mochtar Lubis dalam kata pengantar untuk buku Bunga Rampai Korupsi (1988) mengingatkan bahwa ekspresi korupsi telah mewujud dalam banyak budaya. Korupsi dikatakan telah bermetamorfosis dalam banyak wajah (multifaces). Ekspresi korupsi dapat berbentuk tindakan menerima uang sogokan, uang kopi, uang lelah, uang rokok, salam tempel, uang semir, dan uang pelancar atau pelumas. Bahkan untuk mengelabui hukum, pemberian imbalan tidak langsung diberikan pada pejabat resmi, melainkan melalui istri, anak, menantu, kerabat, dan teman dekatnya. Budaya sogok atau suap merupakan salah satu ekspresi korupsi yang paling mudah dijumpai di masyarakat. Budaya itu tumbuh subur karena masyarakat menyikapi suap-menyuap dengan cara yang berbeda. Sebagian menyatakan bahwa dalam kasus suap-menyuap tidak ada pihak yang dirugikan. Pihak yang disuap beruntung karena memperoleh tambahan penghasilan di luar gaji resmi. Pihak penyuap pun beruntung karena memperoleh kemudahan dalam mengurus persoalan. Sepintas jalan pikiran tersebut benar. Tetapi jika direnungkan maka dalam kasus suap-menyuap itu yang paling dirugikan adalah sistem. Budaya suap pada saatnya dapat merusak sistem sehingga tidak berjalan sesuai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Akibatnya hanya orang beruang yang dapat menikmati pelayanan. Sistem pelayanan pun akhirnya dibangun dengan logika the rule of the rich, yakni untuk melayani orang-orang kaya. Di antara faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya program pemberantasan korupsi adalah karena gerakan antikorupsi dinilai belum memiliki konsep yang jelas. Pemberantasan korupsi juga mengalami kevakuman ideologi sehingga belum menjadi gerakan bagi seluruh komponen. Yang dimaksud ideologi dalam kaitan ini adalah seperangkat nilai yang digunakan sebagai arahan, justifikasi, alasan, dan keyakinan untuk mencapai tujuan. Indikatornya, banyak orang yang berteriak-teriak anti korupsi saat masih berada di luar kekuasaan. Tetapi tatkala kekuasaan berada di genggaman, mereka pun tidak tahan godaan sehingga larut dalam budaya korupsi. Budaya korupsi dengan berbagai ekspresinya kini tidak hanya urusan kaum elite. Masyarakat lapisan bawah pun mengenal berbagai budaya korupsi. Akibatnya, praktik korupsi tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Ironinya, budaya korupsi terjadi dalam urusan yang berkaitan dengan kelahiran hingga kematian.

Itu dapat diamati dalam kegiatan yang melibatkan warga dan pejabat publik saat mengurus akta kelahiran. Begitu juga saat warga mengurus pemakaman anggota keluarganya, hampir semua aktivitas ini dijalani warga dengan cara yang dapat dikategorikan suap. Persoalannya, mengapa masyarakat begitu mudah terpengaruh budaya suap? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan merujuk hasil survei Universitas Paramadina Jakarta dan Lembaga Pride Indonesia (2010). Hasil survei itu menyatakan bahwa tipologi masyarakat kita termasuk yang paling mudah disuap. Survei itu dilakukan secara spesifik untuk menjawab pertanyaan mengapa praktek money politics dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sulit diberantas. Karakter mudah disuap itulah yang menjadikan budaya korupsi dengan segala ekspresinya sulit diberantas. Karena itulah, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bangsa ini mengalami gejala moral illiteracy akut. Bahkan lebih ekstrem, Profesor Taufiq Abdullah menyatakan bahwa bangsa ini telah mengalami spiral stupidity (lingkaran kebodohan), yang melibatkan rakyat jelata hingga elit. Meski korupsi telah merajalela tetapi karena masalah korupsi sama dengan problem ekonomi, politik, dan sosial budaya lainnya, maka usaha untuk memberantasnya harus tetap digelorakan. Itu berarti pejuang antikorupsi tidak boleh bersikap fatalis, dengan menyatakan bahwa karena korupsi sudah begitu akut maka usaha memberantasnya akan sia-sia. Agar budaya korupsi dapat diberantas, pejuang antikorupsi harus konsisten menjadikan korupsi dengan segala ekspresinya sebagai musuh bersama (common enemy). Inilah spirit ideologis yang harus terus disemai dalam hati satubari. Komitmen ini penting agar pada saatnya negara kita terhindar dari penyakit moral illiteracy akut, apalagi jika penyakit itu dialami warga bangsa secara berjamaah. Kita berlindung pada Allah SWT dari sifat demikian. BIYANTO Dosen IAIN Sunan Ampel, Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

Usman-Harun Pahlawan!

Pemerintah Singapura, diawali oleh Menteri Luar Negeri K Shanmugam, menyampaikan keprihatinan atas keputusan Pemerintah Indonesia yang akan menamakan salah satu Kapal Republik Indonesia (KRI) dengan nama pahlawan nasional Usman dan Harun. Keprihatinan disampaikan karena Sersan Usman dan Kopral Harun sebagai prajurit KKO pada bulan Maret 1965 meledakkan sebuah gedung di Singapura. Ledakan ini berakibat pada tewasnya 3 orang sipil dan melukai 33 orang lainnya. Usman dan Harus tertangkap dan diadili. Putusan pengadilan Singapura adalah hukuman mati bagi keduanya. Meski sejumlah upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, Singapura berketetapan hati dengan hukuman mati tersebut. Pada 1968 Usman dan Harun pun menjalani eksekusi dengan cara digantung. Pahlawan Dalam suatu peperangan tentu setiap negara mempunyai hak untuk menganggap prajuritnya meninggal secara heroik atas nama negara sebagai pahlawan. Indonesia bukan pengecualian, termasuk ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia di mana Singapura merupakan salah satu negara federalnya. Para prajurit dalam melakukan penyerangan dan aksinya tidak bertindak atas nama sendiri atau kelompok, melainkan membawa nama negaranya. Ketika para prajurit ini meninggal di medan pertempuran atau dikenai hukuman sebagai tawanan perang, termasuk hukuman mati, adalah hak dari negara si prajurit untuk menentukan apakah ia pahlawan atau tidak. Para prajurit mengangkat senjata dan terkadang harus melakukan pembunuhan karena negaranya sedang berperang. Memang bisa saja pihak yang menang perang akan menganggap prajurit yang kalah perang sebagai pecundang atau pelaku kejahatan internasional. Di Jepang, PM Shinzo Abe dikritik China dan Korea Selatan karena mengunjungi Kuil Yasukuni sebagai tempat untuk menghormati para tokoh militer Perang Dunia II. Ini karena China dan Korsel melabeli para petinggi militer tersebut sebagai penjahat perang, tetapi sebagian masyarakat Jepang, termasuk PM Abe, menganggap mereka sebagai pahlawan. Bagi setiap negara, khususnya negara besar, mereka akan menetapkan siapa yang menjadi pahlawan. Nama-nama pahlawan pun akan diabadikan. Pengabadian nama bisa dilakukan atas berbagai hal, termasuk pada kapal perang. Kewenangan ini merupakan pelaksanaan kedaulatan suatu negara. Kalau saja keprihatinan Singapura didengar dan Pemerintah Indonesia mengubah kebijakannya, nama-nama seperti

Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, I Gusti Ngurah Rai tidak boleh digunakan sebagai nama universitas atau bandara di Indonesia. Ini karena mungkin Belanda akan tersinggung dan memiliki keprihatinan. Tentu masyarakat dan Pemerintah Indonesia tidak boleh tersinggung bila misalnya Timor Leste menjadikan Xanana Gusmao sebagai pahlawan dan namanya kemudian diabadikan sebagai nama kapal perang Timor Leste. Keberatan Protes Pemerintah Singapura dilakukan karena sejumlah keberatan. Pertama, Usman dan Harun dianggap telah diadili dan dinyatakan bersalah, bahkan dihukum mati. Oleh karenanya Pemerintah Indonesia dianggap tidak sensitif, khususnya terhadap keluarga korban pengeboman. Kedua, ada kekhawatiran dari Singapura suatu saat KRI Usman-Harun akan memasuki wilayah perairan Singapura. Ini dianggap sebagai suatu hal yang tidak patut. Bagi Singapura, bila nama Usman-Harun diabadikan untuk nama jalan, nama gedung ataupun universitas, mereka tidak akan keberatan. Namun untuk kapal mengingat bisa bergerak dan memasuki wilayah Singapura, mereka keberatan. Ketiga, Pemerintah Indonesia dianggap provokatif karena fregat milik TNI AL ini diberi nama dua orang yang pernah menyerang Singapura. Tiga keberatan itu sebenarnya tidak berdasar. Penamaan KRI bisa menggunakan nama-nama yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai pahlawan. Usman-Harun sejak 1968 telah dinyatakan sebagai pahlawan nasional. Kedua, ALRI tidak mungkin mengoperasikan KRI-nya keluar wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia. Kalaupun KRI akan dioperasikan keluar wilayah Indonesia, KRI sedang menjalani misi khusus atau sedang menghadapi perang. Terakhir, apakah patut dengan penggunaan nama Usman- Harun di KRI Indonesia dianggap bertindak agresif? Bukankah Singapura merupakan bagian dari ASEAN yang tidak seharusnya sesama anggota ASEAN saling curiga? Oleh karenanya tidak sepantasnya Singapura sebagai negara mempermasalahkan urusan dalam negeri Indonesia. Tindakan Singapura telah bertentangan dengan prinsip non-intervensi yang termaktub dalam Piagam PBB dan Piagam ASEAN. Menko Polhukam dan juru bicara TNI AL telah menyikapi keprihatinan Singapura tersebut dengan tidak memberikan tanggapan karena menganggapnya sebagai intervensi kebijakan Pemerintah Indonesia oleh Singapura. Pernyataan kedua pejabat itu sangat tepat dan patut diapresiasi. Reaksi Berlebihan Ternyata Singapura telah bertindak secara berlebihan dengan membatalkan undangan ke Wakil Menteri Pertahanan dan 100 delegasi Indonesia di airshow yang akan dilaksanakan di Singapura. Ketegangan hubungan Indonesia dengan Singapura di level pemerintahan telah

terasa dan akan semakin terasa. Bila tidak hati-hati, eskalasi akan semakin tinggi. Pemerintah Singapura bisa saja memanggil duta besar (dubes)-nya di Jakarta untuk kembali sebagai protes lanjutan yang lebih keras. Tapi Indonesia juga dapat memanggil dubesnya di Singapura terlebih dahulu. Bila saling panggil dubes masing-masing terjadi, ini tentu tidak baik. Dalam konteks sesama anggota ASEAN seharusnya dijunjung penyelesaian melalui konsensus. Oleh karenanya pertemuan Menlu Singapura dan Indonesia dalam waktu dekat akan menjadi penting. Melalui pertemuan ini diharapkan ada solusi dan pengertian kedua negara. Satu hal yang pasti, Indonesia tidak mungkin mundur dari kebijakan untuk menamakan KRI-nya dengan nama Usman-Harun. Ini karena masalah kedaulatan yang tidak dapat ditawar. Di samping itu, pemerintah akan terlihat lemah di mata publiknya terhadap Singapura bila mundur dari kebijakannya. Masyarakat Indonesia menganggap Indonesia sebagai negara besar tidak seharusnya menyerah terhadap protes Singapura. Di tahun politik ini pemerintahan SBY tentu tidak akan mau terlihat lemah di mata masyarakatnya. Bahkan dijadikan bulan-bulanan bagi para calon legislator dan calon presiden. Isu lemahnya pemerintah ketika berhadapan dengan pemerintah negara lain merupakan isu seksi untuk mendulang suara. Oleh karenanya pemerintah harus tetap tegas, tetapi pemerintah perlu melokalisasi permasalahan ini agar tidak merembet menjadi ketegangan antarrakyat melalui media sosial. Juga ketegangan ini diharapkan tidak mengganggu hubungan ekonomi kedua negara.

HIKMAHANTO JUWANA, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia

Banjir dan Ramalan Tenggelamnya Pantura

IVAN HADAR Direktur Eksekutif Institut Pendidikan Demokrasi (IDE), Koordinator Target MDGs (2007-2010)

Banjir di Jakarta dan kawasan pantai utara (pantura) Jawa berdampak luas bagi jalur transportasi darat dari Jawa Timur ke Jakarta maupun sebaliknya. Sejumlah titik jalur pantura di Jawa Barat dan Jawa Tengah terendam air sehingga menimbulkan kemacetan puluhan kilometer. Warga menilai banjir kali ini terparah dalam kurun tiga tahun terakhir (SINDO, 20/1). Penyebabnya sudah lama dikenal. Pertumbuhan pesat ekonomi Jakarta dan kota besar lainnya di jalur pantura dan sekitarnya memiliki banyak sisi gelap, terutama terkait dengan daya dukung ekologisnya. Banjir, longsor, dan berbagai musibah alam lain merupakan indikasi seriusnya persoalan. Tenggelamnya Pantura Selain berbagai bentuk bencana itu, Jakarta dan pantai pantura Jawa terancam punah. Sepuluh tahun lalu, sebuah studi yang dilakukan South Pacific Regional Environment Programme (SPREP) meramalkan, pada pertengahan abad ke-21, sebagian besar daerah pertanian dan tambak udang pantura Jawa bakal terendam air akibat peningkatan muka laut setinggi 45 cm. Penyebabnya, kenaikan suhu global 2,5 derajat Celsius yang disebabkan peningkatan emisi CO2 200%. Efek rumah kaca itu semakin bertambah akibat penggunaan gas CFC di seluruh dunia. Gas yang melubangi ozon sebagai perisai Bumi terhadap sinar ultraviolet itu mengakibatkan terjadinya perubahan zona cuaca. Ketika sebagian Afrika mengalami kekeringan, menanjaknya permukaan laut telah menelan kawasan subur yang menjadi sumber kehidupan jutaan penduduk, seperti dataran rendah Po di Italia, Delta Gangga di Bangladesh, Mekong di Vietnam dan Kamboja, Huang He di China. Hal sama kini mulai mengancam pantura Jawa, termasuk Jakarta. Di Jakarta, 80% penduduknya memenuhi kebutuhannya dari air tanah, hidran umum, serta membeli dari pedagang air (UNDP, 2004). Tak heran permukaan air tanah di Jakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun sehingga terjadi rembesan air laut ke beberapa wilayah Jakarta. Penyedotan air tanah di Jakarta telah mencapai 34 kali lipat batas toleransi (Bank Dunia, 2003). Pada saat yang sama, gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil kawasan resapan air. Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya,

kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70%. Banjir Memperparah Salah satu masalah pelik yang diperparah banjir, adalah transportasi. Hal ini antara lain terkait arus kendaraan bolakbalik Botabek-Jakarta. Setiap pagi sekitar 800.000 penghuni Botabek menuju Jakarta, sebelum kembali pada sore dan malam hari. Sebaliknya, sekitar 200.000 orang Jakarta bekerja di Botabek. Arus bolak-balik ini mempertajam frekuensi mobilitas dalam kota, terutama pada saat-saat pergi dan pulang kerja dengan dampak kemacetan yang parah. Kondisi lalu lintas ini telah membawa persoalan serius bagi perekonomian secara keseluruhan. Tiadanya jaringan kereta bawah tanah atau kereta layang bisa dianggap sebagai penyebab utama parahnya lalu lintas Jabotabek. Busway yang lebih diprioritaskan ketimbang monorel, selain memperparah kemacetan juga masih jauh dari memadai. Akibatnya, kendaraan pribadi tetap menjadi alternatif, termasuk tingginya jumlah kendaraan roda dua yang merupakan fenomena motorisasi negara- negara berkembang. Di Jakarta, pertambahan kendaraan bermotor sejak tahun 1990 rata-rata 10% per tahun. Sementara persentase kendaraan umum dari tahun ke tahun terus menurun, dari 57% (1985) menjadi 50% (1995), dan 42% (2001) (Dreesbach, 2002). Meski mempunyai jaringan yang lebih baik dibandingkan luar Jawa, kualitas jalan di Jabotabek terbilang rendah. Sampah dan Pencemaran Masalah berikut yang ikut diperparahselain sebagai penyebab banjir adalah sampah. Sampah yang terangkut hanya sekitar 18% dari 7.000- an ton sampah per hari yang dihasilkan Jakarta. Sebanyak 40% lainnya dibuang bukan di tempat pembuangan resmi dan sisanya (30%) dibuang ke sungai yang ikut menjadi penyebab banjir. Pencemaran lingkungan di Jakarta adalah akibat penanganan yang tidak tuntas, cenderung parsial, serta kurangnya kesadaran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal peraturan, pertumbuhan ekonomi mengalahkan pertimbangan ekologis. Untuk memenangi persaingan dengan negara upah rendah seperti Vietnam dan India, selama puluhan tahun pemerintah menawarkan kemudahan produksi barang tak ramah lingkungan (sunset industries) di Jabotabek. Menjamurnya real estate dan supermal menjadikan Jakarta hutan beton. Berbagai upaya dan skenario nasional perbaikan lingkungan Jakarta, seperti konsentrasi teknologi bersih (hi-techindustry di Jakarta, Environment Act 1982, Spatial Use Management Act 1992 yang diperbarui dengan mengorbankan jalur hijau (2001), dan pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), dinilai hanya sebagai kosmetik. Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sebelum Jokowi-Ahok dalam mengatasi perusakan

lingkungan pun terkesan separuh hati. Ketika Prokasih (Program Kali Bersih), Prodasih (Program Laut Lestari) digencarkan, tanpa banyak diketahui publik. Misalnya, DKI Jakarta membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000- 2010 yang membenarkan penghilangan berbagai jalur hijau kota. Tanpa terobosan radikal dan bila kita percaya pada siklus lima tahunan, banjir bandang berikutnya akan sepenuhnya menenggelamkan Jakarta. Semua warga diharapkan bangkit. Semoga banjir dan bencana lain yang akhir-akhir ini kian sering terjadi membuka mata hati kita untuk memerangi kecenderungan ekonomi mengalahkan ekologi. Idealnya, ekonomi dan ekologi saling mendukung. Terobosan itu ada dalam akal sehat dan tak jarang terkandung dalam kearifan budaya yang lama terlupakan.

Sisi (I)rasionalitas Hukum

DR. W RIAWAN TJANDRA Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Negeri ini sebagai negara yang berdaulat, sejatinya memiliki posisi yang istimewa di kawasan regional maupun di tengah percaturan politik internasional. Namun, beberapa peristiwa di dalam negeri yang bersinggungan dengan kepentingan negara lain telah mengusik perasaan kedaulatan (staats-souvereiniteit) sebagai suatu bangsa yang merdeka karena rasionalitas hukumnya dikorbankan. Belum lama berselang setelah terungkapnya kasus penyadapan dinas intelijen Australia, kini perasaan kedaulatan negeri ini kembali terusik di saat hukum di negeri ini dipaksa untuk mengafirmasi pembebasan bersyarat terhadap ratu ekstasi yang kebetulan adalah warga negara Australia, Schapelle Leigh Corby. Hal itu merupakan kelanjutan dari pemberian grasi terhadapnya pada tahun 2012. Sungguh menyiksa akal sehat jika berkaca pada pandangan filsuf Georg Jellinek yang mengatakan bahwa hukum adalah penjelmaan dari kehendak atau kemauan negara, bukankah hukum yang ditekuk untuk memaksakan grasi kepada gembong narkoba tersebut sesungguhnya mengakui bahwa negeri ini telah mengorbankan rasionalitasnya? Pembebasan bersyarat terhadap Corby sempat dikaitkan dengan politik barter narapidana dengan Australia, termasuk keinginan pemerintah RI untuk menangkap buronan kasus BLBI, Adrian Kiki Ariawan, yang diduga bersembunyi di Australia. Jika hal itu benar, politik transaksional dalam penegakan hukum tak hanya ada di ruang publik politis negeri ini, namun telah merambah pada politik luar negeri. Maka, penguasa negeri ini sebenarnya sedang menggeser kepastian hukum di ujung permainan politik transaksional. Seperti yang sudah diketahui oleh publik, pada tahun 2005, Corby divonis pidana 20 tahun penjara karena menyelundupkan 4,2 kilogram mariyuana ke Bali melalui tas selancarnya, namun sejak dipenjara, yang bersangkutan rutin menerima remisi berkali-kali. Meskipun PP No 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi terpidana korupsi, terorisme, dan narkoba berdasarkan Surat Edaran Menkumham Nomor M.HH04.PK.01.05.06 tahun 2013 berlaku untuk napi yang putusannya berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak 12 November 2012 atau sejak PP tersebut dikeluarkan, namun pemberian grasi terhadap Corby telah mengingkari semangat yang dikandung dari maksud dikeluarkannya PP No. 99 Tahun 2012.

Jika mengacu pada pandangan filsuf Foucault yang menggunakan pendekatan genealogis untuk menyingkapkan kebenaran di balik suatu fenomena, pembebasan bersyarat terhadap Corby jika dimaksudkan untuk barter napi justru mendekonstruksi struktur makna dan pengetahuan yang ingin dibentuk melalui lahirnya PP No. 99 Tahun 2012. Dalam terminologi Georg Jellinek PP tersebut, mencerminkan kemauan atau kehendak negara untuk bersikap tegas dalam memerangi kejahatan korupsi dan berbagai kejahatan transnasional yang dinisbahkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). *** Hukum sering disimbolisasikan dengan ilustrasi patung dewi keadilan membawa pedang yang matanya ditutup. Simbolisasi itu ingin menggambarkan bahwa proses bekerjanya hukum (seharusnya) dilakukan tanpa pandang bulu, yang di kemudian hari melahirkan adagium penting dalam penegakan hukum equality before the law (kesamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum) dan kini diletakkan sebagai fondasi kehidupan bernegara dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Negara RI 1945. Hukum adalah produk dari proses politik parlemen melalui sistem legislasi, namun pada saat sudah menjadi sebuah teks normatif dalam wujud suatu kitab undang-undang, hukum tak boleh dipolitisasi dan harus steril dari pengaruh faktor-faktor nonhukum. Pemberian grasi terhadap Corby pada tahun 2012 yang dirayakan dengan pembebasan bersyarat terhadapnya, secara kasatmata menimbulkan persoalan di seputar prinsip persamaan di hadapan hukum yang menjadi salah satu nilai fondasional konstitusi. Pemberian grasi yang diikuti dengan pembebasan bersyarat terhadap Corby dengan tingkat kejahatan berat yang dilakukannya dan pada beberapa napi dalam kasus sejenis telah mengantarkan mereka di depan eksekusi regu tembak, telah menjadi suatu kebijakan yang irasional dan menimbulkan disparitas keadilan. Hal itu justru telah membenarkan tesis Mac Intyre dalam bukunya Whose justice? Which Rationality? bahwa konsep rasionalitas dan keadilan tunduk pada sejarah. Pada masa pemerintahan yang sama dengan presiden yang sama, telah dilahirkan 2 rasionalitas yang bertentangan. Maka sejatinya, PP No. 99 Tahun 2012 itu tak pernah bernilai apa pun dalam menunjukkan kehendak atau kemauan negara untuk memberantas korupsi dan kejahatan transnasional karena di sebuah rezim pemerintahan yang sama, telah lahir politik hukum yang paradoks, menyatakan korupsi dan kejahatan transnasional tak boleh diremisi (PP No. 99 Tahun 2012), namun pada tahun 2012 memberikan grasi terhadap Corby (Surat Keputusan Presiden RI Nomor 22/G dan 23/G Tahun 2012) dan di awal tahun 2014 memberikan pembebasan bersyarat. Fenomena tersebut secara kasatmata memperlihatkan bahwa hukum di negeri ini telah menjadi sebuah anomali, di saat penguasa telah memutuskan yang rasional dan yang irasional dalam kurun waktu yang bersamaan.

*** Lemahnya energi hukum berhadapan dengan energi politik dan ekonomi selama ini membuat penegakan hukum terseret pada jalan terjal untuk mendaki ke puncak supremasi hukum (supremacy of law). Masyarakat sejatinya berharap tahun 2014 bisa menjadi tahun transisi politik menuju era demokrasi yang semakin stabil. Namun, berbagai ironi yang terjadi dalam penegakan hukum akibat bermain api dengan kepentingan (aktor-aktor) politik bisa memproduksi ambivalensi, kontradiksi dan bahkan paradoks dalam politik yang menyeret pada dualisme cara berpikir, tindakan dan sikap. Penegakan hukum di tahun politik seharusnya mampu merawat demokrasi menuju pada supremasi hukum, bukan justru larut dalam berbagai ironi politik dan justru terlibat dalam berbagai upaya penggalangan citra aktor karena dominasi aparat ideologi hukum di negeri yang kian kumuh oleh berbagai ambisi dan syahwat politik minus empati. Kasus Corby telah mereduksi komitmen suatu negeri yang telah terbuai dan bertekuk lutut di sudut kerlingan mata seorang ratu ekstasi, yang segera melompat keluar dari jeruji besi bak seekor kanguru setelah diberi umpan grasi dan pembebasan bersyarat.

Tan Malaka dan Republik

AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center (ARC) Murdoch University

Beberapa hari lalu di kota saya Surabaya terjadi tragedi yang mengusik ruang publik demokratis dan kebebasan berpikir saat sekelompok orang melakukan intimidasi yang dibiarkan, bahkan terkesan difasilitasi oleh aparat keamanan, dengan melakukan pembubaran atas acara bedah buku Tan Malaka. Acara tersebut digelar di sebuah komunitas diskusi dan dihadiri oleh penulis bukunya, Profesor Harry Poeze, seorang akademisi Belanda yang mendedikasikan hidupnya bagi upaya akademis untuk menguak tokoh misterius dalam perjalanan sejarah Indonesia. Setelah 16 tahun reformasi di negeri kita berjalan, insiden ini tentu sangat memprihatinkan. Selain tentu saja mencoreng fundamen prinsip-prinsip dasar kehidupan demokrasi kita terkait dengan kemerdekaan menyerukan gagasan, lebih jauh lagi pelarangan terhadap diskusi terhadap sosok Tan Malaka adalah pengingkaran terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pasalnya apabila Tirto Adhie Soerjo dan Wahidin Soedirohoesodo adalah sang pemula kebangkitan nasional, Soekarno dan Hatta adalah penentu kemerdekaan Indonesia, maka Tan Malaka adalah tokoh pelopor kemerdekaan Indonesia dalam pikiran yang tertuang pada karya-karyanya, terutama dalam magnum opus beliau, Naar de Republiek Indonesia(1924), Massa Actie(1926), serta Madilog (1943) yang ia tulis di bawah kejaran intelijen kekuasaan kolonial. Bagi kalangan yang masih terbelenggu dalam wacana hegemonis Orde Baru yang memilah dan membenturkan sosialisme, agama, dan semangat nasionalisme, adalah di luar pikiran mereka untuk memahami sebuah fakta sejarah bahwa seorang figur seperti Al-Ustaz Ibrahim Datuk Tan Malaka yang diakui oleh ulama sekaliber Buya Hamka dalam kata pengantar pada karya beliau Islam dalam Pandangan Madilog (1948), bahwa pikiran-pikiran Tan Malaka tentang Islam sejalan dengan pandangan kaum Islam modernis, adalah tokoh yang berkecimpung lama dalam pergerakan sosialisme internasional, juga bersamaan dengan itu adalah tokoh nasionalis yang meletakkan sendi-sendi awal dari bentuk kenegaraan Republik Indonesia. Bagi kalangan fanatik seperti ini figur Tan Malaka cukup dipahami melalui stigma usang sebagai tokoh komunis musuh kaum agamawan. Visi Kenegaraan Dizaman pergerakan nasional, Tan Malaka adalah tokoh yang sangat dihormati karena kecemerlangan pikiran, konsistensi tindakan, dan dedikasinya yang penuh terhadap pencapaian kemerdekaan Indonesia.

Bahkan di awal kemerdekaan Indonesia tepatnya pada September 1945, ketika republik yang masih muda ini berada di ujung tanduk, Presiden RI Soekarno dengan perantara Sajoeti Melik secara khusus mengundang Tan Malaka untuk memberi testamen politik apabila Soekarno berhalangan atau harus tersingkir, maka Tan Malaka ia tunjuk penjadi penggantinya (Poeze, 2008). Karya Tan Malaka Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulis pada tahun 1924 merupakan karya awal yang menegaskan tujuan dari pergerakan nasional untuk mencapai Indonesia merdeka, sebelum Hatta menulis risalahnya Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) pada tahun 1928 dan Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka pada tahun 1933. Melalui karyanya inilah Muhammad Yamin menobatkan Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia seperti Thomas Jefferson maupun George Washington bagi Amerika Serikat. Pada masanya Naar de Republiek Indonesia memperlihatkan visi kenegaraan dari Tan Malaka, di dalamnya ia tidak hanya menjelaskan konstelasi ekonomi-politik internasional di bawah sistem kapitalisme, tetapi melampaui itu beliau menguraikan perihal program demokrasi kerakyatan, struktur tatanan kenegaraan, pentingnya pembentukan instrumen militer dan strategi perang, serta keharusan nasionalisasi aset-aset asing dan produksi bagi pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia untuk melampaui desakan gravitasi sistem imperialisme yang menempatkan Indonesia sebagai pasar dan rakyatnya hanya menjadi kuli. Dalam kemenyeluruhan jalan pikiran Tan Malaka, buku ini tidak hanya menyadarkan tetapi juga menggugah dan memanggil kalangan terpelajar untuk mengikuti panggilan rakyat dan turut berjuang bagi kemerdekaan (Poeze, 2000). Karya selanjutnya dari Tan Malaka, yaitu Massa Actie, juga merupakan mutiara manikam pengetahuan yang memberi sumbangan penting bagi perkembangan pergerakan nasional. Konon WR Supratman seperti diceritakan oleh Hadidjoyo Nitimihardjo, penggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya, menulis lagu ini setelah membaca karya Tan Malaka tersebut, Massa Actie, terutama setelah ia mendengar kalimat terakhir dari buku tersebut: Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah. Sementara Soekarno menjadikan buku Massa Actie sebagai rujukan utama baik dalam aksi politik ketika membentuk PNI dan menyadari pentingnya aksi massa yang terorganisasi maupun saat membacakan pembelaannya di pengadilan kolonial dalam risalahnya yang termasyhur Indonesia Menggugat maupun manuskrip setelahnya yang dibuat pada tahun 1933, yakni Mencapai Indonesia Merdeka. Apabila Naar de Republiek Indonesia lebih menekankan diri pada program politik dan bangunan kenegaraan Indonesia, Massa Actie berbicara tentang bangunan gerakan politik

kerakyatan seperti apakah yang diperlukan untuk mencapai Indonesia merdeka. Dalam karyanya Tan Malaka menegaskan bahwa untuk membangun aksi politik tidaklah cukup dengan menghimpun sebanyak-banyaknya manusia, tetapi dibutuhkan pula kemampuan untuk mengorganisasi secara efektif lautan massa yang menuntut Indonesia merdeka. Reaktualisasi Pikiran Tan Malaka Sebuah cita-cita di masa depan untuk mencapai perubahan yang lebih baik bagi kebangkitan bangsa mengharuskan kita untuk menoleh ke masa lalu. Sejarah adalah panduan bagi kita untuk memahami diri kita sekarang dan ke mana kita harus bergerak di masa depan. Apabila kita belajar dari kebangkitan bangsa lain misalnya kebangkitan Republik Rakyat China, seperti diutarakan Orville Schell dan John Delury (2013) dalam Wealth and Power: Chinas Long March to the Twentieth First Century, kebangkitan China menjadi raksasa ekonomi dunia pada abad ke-21 karena dibangun melalui kenangan berkala, bukan terhadap keagungan masa lalu, tetapi justru pada trauma kekalahan China terhadap Barat pada masa Perang Candu. Momen inilah yang dikenang terus-menerus untuk menumbuhkan semangat patriotisme untuk menyaingi kemajuan Barat. Beberapa tahun lalu saat berencana membangun Sukarno Institute di Surabaya, saya terkenang dengan pembicaraan dengan beberapa kawan yang ikut membidaninya, yaitu Hengky Kurniadi, Toga Sidauruk, dan Peter Rohi. Dalam pembicaraan tersebut, bangkitnya Indonesia dan rakyatnya membutuhkan tiga prasyarat penting, yaitu pikiran-pikiran progresif yang mampu menerobos kebuntuan pikiran dan memberi kritik terhadap tatanan kekuasaan dominan, seruan-seruan yang menggerakkan hasrat atau passion dionysian untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Tanah Air, dan semangat kolektif gotong royong massa aksi untuk bangkit!

Fajrul Falaakh, Intelektual Netral dan Pemurah

PROF. DR. SUDJITO, SH, MSI Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM

Di tengah berlangsungnya Sarasehan Kebangsaan bertema Mewujudkan UUD Berdasar Pancasila, yang diselenggarakan Pusat Studi Pancasila UGM, saya dibisiki staf, katanya Pak Fajrul Falaakh meninggal dunia. Saya kaget. Untuk tidak berspekulasi, saya katakan. Tolong dicek dulu. Selang semenit kemudian Prof Jawahir Thontowi kirim SMS, membenarkan berita duka itu. Dering HP dari KORAN SINDO, Pangeran Ahmad Nurdin, pun mengabarkan hal yang sama. Saya lemas. Sarasehan saya skors, berita duka saya sampaikan ke peserta. Sontak semua kaget campur sedih dan duka. Dipimpin Kiai Jazir Asp, doa kami panjatkan untuk almarhum. Selaku penggagas dan moderator sarasehan, konsentrasi saya terganggu. Almarhum termasuk salah satu pakar yang kami undang sebagai narasumber. Undangan, SMS, dan kontak kami tak terbalas. Ternyata beliau sedang berobat ke Singapura. Tak seorang teman pun di Fakultas Hukum UGM tahu soal penyakitnya. Tak terlihat adanya keluhan atas penyakit yang dideritanya. Kepergiannya betul-betul sontak dan mengagetkan. Rully, sapaan akrab bagi Fajrul Falaakh, lebih muda dari saya. Satu almamater dari SMAN I Teladan Yogyakarta, dan S-1 Fakultas Hukum UGM. Terus terang, saya lebih dulu akrab dengannya melalui banyak artikel yang ditulisnya di koran. Saya mengagumi alur pikir yang jernih, tanpa emosi, mengalir bagaikan air, tajam bagikan pisau. Kesalehan intelektual dan pemahaman serta pengamalan agama yang dianutnya merupakan perpaduan yang melahirkan sikap dan perilaku intelektual netral dan pemurah. Suatu ketika di kala masih muda, saya berguru kepadanya tentang penulisan artikel. Dengan kesabaran, ketelitian, dan uluran tangan, naskah artikel yang telah saya ketik, dibaca dan diberi koreksi serta komentar. Benar, bahwa ilmuwan sering mampu menulis karya ilmiah, tetapi gagal menulis artikel karena persoalan teknis maupun substansi. Benar pula bahwa siapa punkalau mau jujur berkeinginan mampu dan produktif menulis artikel. Pelajaran dari Rully, sampai hari ini masih melekat dan layak baginya mendapatkan pahala dari ilmunya yang bermanfaat. Rully, luas pergaulan dan luas pula ilmunya. Wajar, banyak pihak mengundangnya sebagai narasumber untuk pertemuan ilmiah, di dalam maupun di luar negeri. Tercatat sebagai narasumber/pemakalah dan memberikan ceramah/kuliah pada berbagai fora internasional seperti: Regional Conferences on Ethics in

the Leadership (St. James Ethics Center, Sydney, 1999-2009), Asian Forum for Constitutional Law at Seoul National University (Seoul, Oktober 2005), Annual Symposium of the Law and Society Association (Vancouver, 2002), Asian Science Seminar at Kyushu University Law School (Fukuoka, Jepang, November 2002), Harvard Colloquium on International Affairs (Boston, Mei 2001), Partnership for Democratic Governance and Security (Buenos Aires, April 2000). Hemat saya, Rully sebenarnya lebih cocok sebagai ilmuwan sejati ketimbang menduduki jabatan struktural atau fungsional di berbagai lembaga. Akan tetapi, sikap netral dan kemampuan beradaptasi dengan banyak pihak menjadikan tawaran menduduki berbagai jabatan mengalir kepadanya. Barangkali, bila godaan jabatan itu dapat dielakkan dan lebih konsentrasi sebagai ilmuwan, saya yakin gelar doktor dan jabatan guru besar (profesor) sudah disandangnya. Ketika saya masih menjabat sebagai ketua Program Doktor Ilmu Hukum, Rully pernah datang untuk mendaftar sebagai peserta didik. Sayang waktu itu, sedikit terlambat dari batas akhir pendaftaran, sehingga harus ikut tahun berikutnya. Tampaknya, kesibukan dalam berbagai jabatan dan domisili bersama keluarga di Jakarta menjadi alasan rasional. Satu hal, bahwa tanpa gelar doktor pun, semua sivitas akademika di Fakultas Hukum UGM, mengakui kepakarannya lebih dari gelar itu. Saat-saat wajib mengikuti kuliah Filsafat Ilmu Hukum sebagai mata kuliah wajibyang kebetulan saya pengampunya tampak jelas sikap disiplin, menghargai dosen, empati terhadap sesama mahasiswa. Dalam diskusi kelas, saya minta Rully memberikan pencerahan atas masalah-masalah hukum yang rumit di negeri ini. Dengan selorohnya yang khas, dikatakan kalau di luar kelas, awas saya tidak mau diplekoto begini lho. Saya dan mahasiswa lain cuma tersenyum dengan selorohnya itu. Keakraban semakin terjalin dengan cara-cara bergaulnya yang khas itu. Pada saat negeri ini membutuhkan intelektual netral dan pemurah sekualitas Rully untuk memberikan pencerahan berbagai hal tentang ketatanegaraan, demokrasi, konstitusi, Sang Khalik justru memanggil kembali keharibaanNya. Perginya Rully untuk selama-lamanya, mungkinkah merupakan redupnya nyala lilin penerang kehidupan bangsa, redupnya suasana akademik di Fakultas Hukum UGM? Tidak dapat dimungkiri, pasca reformasi kehidupan bernegara tidak semakin baik. Tokoh reformasi, ahli hukum tata negara, intelektual netral dan pemurah itu tidak lagi dapat berkontribusi langsung, akan tetapi berbagai tulisan dan karya-karya ilmiahnya tetap menginspirasi bagi siapa pun pembacanya untuk menajamkan analisis ataupun mencari solusinya. Selamat jalan Rully, selamat mendulang kebahagiaan dan pahala atas sumbangsihmu kepada bangsa, negara dan almamater.

Menyekolahkan Anak ke Babson

Author: RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali

Sebagian Anda mungkin sedang pusing memikirkan ke mana anak-anak akan bersekolah. Kita paham, dunia telah berubah menjadi terbuka dan persaingan di dunia kerja tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara. Anak-anak kita bisa berkarier atau berwirausaha di mana saja di dunia ini, demikian juga sebaliknya. Persaingan di masa depan akan sangat berbeda dengan hari ini dan menuntut keahlian-keahlian baru yang aplikatif, bekerja lebih cepat, dan makin entrepreneurial. Tentu kalau bisa bersekolah di dalam negeri, mengapa harus ke luar negeri? Namun harus diakui pendidikan yang kita kembangkan di sini masih terlalu umum, belum aplikatif, dan belum melahirkan kemampuan manusia berpikir kreatif. Maka itu menjembatani basic science dengan applied science menjadi tantangan para pendidik di abad ini. Saya ingin mengajak Anda mengenal Roger Babson dengan satu hasil karyanya, Babson College, sebuah sekolah yang basisnya kewirausahaan. Ya, real entrepreneurship, bukan paper entrepreneur yang hanya bisa membuat business plan. Barangkali ini bisa menjadi pilihan bagi anak-anak kita yang perlu dipersiapkan menjadi penjelajah di dunia baru itu. Entrepreneurship University Babson College didirikan Roger Babson pada 3 September 1919 di Wellesley, Massachusetts, Amerika Serikat (AS). Melihat usianya, Babson College termasuk salah satu perguruan tinggi yang cukup tua di AS. Dulu, ketika didirikan namanya adalah Babson Institute, tetapi pada 1969 berganti menjadi Babson College. Di AS, kalau merujuk survei yang dilakukan News & World Report pada tahun 2012, Babson College menempati peringkat pertama kategori entrepreneurship university yang ada di sana. Peringkat itu berhasil mereka pertahankan selama 17 tahun belakangan. Perguruan tinggi ini terbilang cukup eksklusif. Jumlah mahasiswanya tidak banyak dan kebanyakan mereka terdiri atas anak-anak orang kaya di AS, para penerus kerajaan bisnis keluarga, dan para inovator yang karya-karyanya banyak dikenal dunia bisnis mancanegara. Selama tahun 2013 hanya ada 2.844 mahasiswa yang berkuliah di sana. Kita mungkin bisa menilai kualitas Babson College dari apresiasi yang diterima para lulusannya.

Menurut survei CNN Money, gaji lulusan Babson College menempati peringkat kelima tertinggi di AS. Survei gaji lain yang dilakukan juga menempatkan alumnus Babson College di peringkat kelima. Peringkat ini berada di atas perolehan gaji lulusan Massacusetts Institute of Technology (MIT), Stanford University, Darmouth, Yale, dan perguruan tinggi terkenal lain. Lalu, siapakah Roger Babson? Great Depression Mereka yang belajar tentang ekonomi tentu tahu soal resesi besar yang melanda AS sejak era 1929-an hingga 1940. Roger Babson, melalui sejumlah indikator ekonomi yang dikembangkannya, adalah salah satu tokoh yang meramalkan bakal terjadinya crash di pasar modal AS pada Oktober 1929. Bagaimana ia melakukannya? Sejak kecil Roger sudah belajar bisnis dari orang tuanya, Nathaniel Babson, yang pemilik toko kelontong. Meski sang anak sudah menunjukkan minatnya sejak kecil, ayah Roger tetap memaksanya untuk bersekolah dan meraih gelar akademis. Roger pun kemudian masuk ke MIT (18951898). Selama kuliah di sana, ilmu yang betul-betul ia rasakan memengaruhi jalan hidupnya adalah ketika belajar tentang Issac Newton. Roger sangat terpukau dengan temuan Issac Newton, terutama hukum ketiganya yang membahas aksi-reaksi, yakni, Untuk setiap aksi, selalu akan ada reaksi sebaliknya sampai tercapai titik keseimbangan. Roger lalu menerapkan teori ini dalam bisnis maupun kehidupan pribadinya. Seusai kuliah, Roger lalu bekerja sebagai investment bankers di sebuah perusahaan di Boston. Di sana ia belajar banyak tentang sekuritas. Setelah tahu banyak tentang investasi, Roger kemudian keluar dan mendirikan perusahaan sendiri yang menjual surat-surat berharga dan obligasi di New York. Ia lalu kembali ke Boston dan mengelola bisnisnya dari sana. Pada 1901, Roger terkena penyakit TBC. Dokter sudah menyatakan bahwa ia mungkin tidak akan selamat. Namun, Roger tidak menyerah. Ia melawan penyakitnya dengan terus bekerja sebagai investment bankers. Istrinya, Grace Margaret Knight, berperan sebagai juru rawatnya. Ketika itulah Roger mulai menyadari bahwa setiap perusahaan keuangan selalu menerapkan metode riset yang sama. Maka, ia pun kemudian mendirikan perusahaan kliring yang, antara lain, memberikan informasi tentang bisnis dan investasi, termasuk analisis saham yang diterbitkan dalam bentuk newsletter. Pelanggannya adalah para bankir dan investor. Bersama koleganya, George F Swain, Roger kemudian menerapkan hukum aksi-reaksi Issac Newton dalam ekonomi dan mengembangkan indikator ekonomi Babsonchart. Dengan konsepnya inilah Roger kemudian meramalkan terjadinya crash di pasar modal AS pada 1929. Setelah itu Roger sempat menjadi kolumnis ekonomi di beberapa media seperti Saturday Evening Post dan New York Times. Ia juga mendirikan perusahaan penerbitan, menulis 47

buku, termasuk buku autobiografinya, Action and Reaction. Roger mendirikan pula Babson Institute yang kemudian berganti nama menjadi Babson College pada 1969. Sebagai entrepreneur university, Roger mengembangkan Babson College dengan keyakinan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Itu sebabnya mata kuliah di sana betul-betul merupakan kombinasi antara pendidikan di kelas dan lapangan. Kurikulumnya betul-betul disusun sesuai dengan pengalaman praktis. Podomoro University Mengusung visi Roger Babson, Babson College berkeyakinan bahwa di tengah dunia yang berubah begitu cepat, semangat dan jiwa kewirausahaan sangat dibutuhkan setiap organisasi, utamanya dalam menciptakan peluang-peluang baru, menawarkan solusi, dan kolaborasi dengan pihak lain guna mewujudkan visi menjadi kenyataan. Dan, ini yang sangat menarik perhatian saya, Babson College juga berkeyakinan bahwa entrepreneurship lebih dari sekadar memulai sebuah bisnis. Entrepreneurship, dalam arti luas, adalah jawaban terhadap munculnya berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara kita. Indonesia bercita-cita menjadi negara maju dan keluar dari perangkap middle income trap. Untuk sampai ke sana, kita masih memerlukan banyak entrepreneur yang mampu mengubah ancaman menjadi peluang, dan yang tidak gentar menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Indonesia butuh sekolah yang mengedepankan aplikasi, bukan melulu teori. Itulah ranahnya applied science atau ilmu terapan. Di Indonesia, Babson menjadi rebutan banyak universitas, tetapi Babson akhirnya jatuh hati pada Agung Podomoro, pemimpin dalam industri properti yang menjadi market leader dalam pembangunan dan pengelolaan superblok di tengah kota. Mengapa Podomoro? Jawabannya adalah karena kelompok usaha ini begitu tekun mengembalikan keuntungannya kepada dunia pendidikan. Jadi bila di Babson seseorang harus membayar tuition fee di atas USD45.000 per tahun, di Jakarta setiap mahasiswa hanya menghabiskan sekitar Rp250 juta hingga selesai. Sudah begitu, program di Universitas Podomoro dengan Babson College ini pun dapat ditransfer ke Babson setelah menyelesaikan dua tahun studi di Jakarta. Lagipula semua fasilitas untuk applied science tersedia di sana. Grup ini memiliki puluhan hotel, mulai dari bintang 2 hingga bintang 6 yang dipakai untuk KTT APEC yang lalu (Sofitel). Mereka punya puluhan apartemen dengan puluhan ribu penghuni, mal, trade center,dan sebagainya. Maka laboratorium yang bersifat hidup (organik) menjadi keunggulannya dan mahasiswa bisa langsung menguji kewirausahaannya di sana. Universitas Podomoro membuka program-program studi yang aplikasinya sangat ia kuasai:

kewirausahaan, akunting, arsitektur, konstruksi, dan perhotelan. Semuanya dibangun dengan basis riil entrepreneur. Saya yakin ini akan bermanfaat bagi anak-anak kita. Minggu-minggu ini saya mulai mengirim dosen-dosen muda untuk dilatih di Babson dan rombongan dari Babson pun mulai berdatangan ke Jakarta. Kita berharap melalui Babson College akan tercipta pengusaha- pengusaha Indonesia yang tangguh, apakah dia penerus generasi pendahulu atau pemula yang tak kalah hebatnya dengan generasi sebelumnya. Inilah saatnya mempersiapkan anak-anak kita untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Pelajaran Administrasi Publik Asia dari Forum AAPA


Pada 68 Februari 2013 di Hotel Mandarin Plaza, Cebu, Filipina, akademisi untuk bidang administrasi publik di negara-negara Asia yang tergabung dalam Asian Association for Public Administration (AAPA) berkumpul dalam sebuah acara konferensi tahunan penting di Cebu, Filipina. Acara ini bertemakan Studi dan Praktik dari Administrasi Publik di Asia dan Seluruh Dunia: Berbagai Tren, Nuansa, dan Tantangannya. Dalam sambutan Ketua AAPA Profesor Pan Suk Kim mempunyai harapan bahwa kongres AAPA ini akan menjadi forum yang bermanfaat bagi para praktisi, akademisi, dan mahasiswa di bidang administrasi publik untuk belajar berbagai teori maupun isu-isu praktis terkini di bidang administrasi publik. Selain itu, Prof Pan yang berasal dari Universitas Yonsei di Korea Selatanjuga mempunyai harapan dengan mulainya tampil forum administrasi publik negara-negara Asia pada tingkat dunia, mereka harus membuktikan pada berbagai pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan bahwa administrasi publik negara-negara Asia memiliki kualitas tingkat dunia. Tingkat partisipasi akademisi Indonesia dalam pertemuan tahunan AAPA ini cukup tinggi yang diwakili akademisi dari Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Padjadjaran, Universitas Jenderal Sudirman, Universitas Riau, dan Universitas Wijaya Karya. Akademisi Indonesia menghadiri forum APPA ini dipimpin oleh Dr Eko Prasojo, Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi yang juga guru besar administrasi negara di FISIP UI. Pada hari pertama, 6 Februari 2014, Prof Eko Prasojo menyampaikan presentasi yang berjudul Public Administration, Public Governance, and International Cooperation among Asian Countries. Dia menjelaskan bahwa dalam berbagai indikator tata kelola yang diterbitkan di antaranya oleh Bank Dunia, Transparency International (TI), International Financial Cooperation (IFC), World Economic Forum (WEF), dan PERC menunjukkan bahwa hanya beberapa negara/negara bagian Asia (Singapura, Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan) yang menempati urutan papan atas tingkat dunia dari indeks negara-negara yang kompetitif. Sedangkan kebanyakan negara-negara berkembang besar Asia seperti China, India, dan Indonesia tidak dalam posisi yang baik pada berbagi indeks tersebut. Jika tidak membenahi sektor publiknya, negara-negara Asia ini akan mempunyai potensi untuk terjebak dalam kondisi sebagai negara dengan pendapatan menengah dan tidak bisa bergerak menjadi negara maju. Prof Eko juga berkesempatan untuk menceritakan kondisi dari sektor publik di Indonesia di

mana menghadapi tiga tingkatan korupsi di Indonesia yakni tingkat jalanan (menyuap untuk KTP, SIM, dan IMB), tingkat menengah (pengadaan, rekrutmen, dan promosi), dan tingkatan kebijakan (korupsi melalui kebijakan, APBN). Untuk menghadapi tantangan tersebut, Prof Eko menjelaskan mengenai usaha yang dilakukan pemerintah dalam memperbaiki sektor publik Indonesia pada tingkat pusat. Ini terkait pemberlakuan undang-undang mengenai pelayanan publik dan yang baru saja disahkan DPR pada 15 Januari 2014 yakni Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Selain itu juga dalam kebijakan pemerintah telah melakukan berbagai inisiatif reformasi administrasi di Indonesia seperti perampingan struktur organisasi, sistem rekrutmen dan promosi terbuka bagi PNS, perbaikan dalam sistem e-government,dan perbaikan remunerasi. Pada sesi yang lain Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prijono Tjiptoherijantoyang juga mantan kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) mencoba menjelaskan reformasi birokrasi di Indonesia dan Thailand dengan judul Between Two Cultures: Civil Service Reform in Thailand and Indonesia. Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan beberapa pola yang mirip di dua negara di mana beberapa faktor yang penting dihadapi adalah faktor pengaruh politik, pelaksanaan, dan implementasi dari kebijakan teknologi informasi dan komunikasi, serta pemimpin dengan gaya kepemimpinannya. Untuk ke depan Prof Prijono mengidentifikasi beberapa formula untuk keberhasilan reformasi birokrasi berdasarkan hasil penelitiannya di Indonesia dan Thailand yakni seleksi kompetitif untuk rekrutmen, promosi berdasarkan kinerja serta kompetensi, proteksi terhadap netralitas PNS, dan tersedia kompensasi yang memadai. Penulis sendiri pada hari kedua konferensi AAPA pada 7 Februari 2014 berkesempatan untuk mempresentasikan makalah dengan judul Building Trojan Horse: Lessons Learn in Establishing an Effective AntiCorruption Commission in Indonesia. Melalui makalah ini, saya menjelaskan mengenai sejarah berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perumusan Undang-Undang KPK, tantangan yang dihadapi dalam proses pembangunan institusi KPK, dan proses seleksi dari pimpinan KPK 2003 dan 2007. Saya menyimpulkan bahwa kesuksesan dari pembentukan dan berfungsinya KPK karena ada kolaborasi dari para komponen reformis di dalam pemerintah serta DPR dengan dibantu masyarakat sipil dan para donor internasional. Sementara para pemakalah asal Indonesia lain pada hari kedua konferensi AAPA membahas isu administrasi publik dihubungkan dengan kebijakan desentralisasi dan pemerintah daerah. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mandala Manurung dalam makalahnya membahas dinamika dari sistem Pemerintah Indonesia terkait pengaruh kebijakan desentralisasi dengan kesejahteraan sosial serta peranan birokrat dalam peningkatan kualitas pemerintah. Sedangkan Sri Juni Woro Astuti, dosen Universitas Wijaya Karya, Surabaya, melalui makalahnya mengusulkan perubahan mekanisme perencanaan pembangunan di daerah

melalui lima pendekatan agar secara maksimal dapat menyerap aspirasi komunitas di daerah. Makalah dosen Universitas Riau Febri Yuliani melakukan evaluasi terhadap program sertifikasi tanah untuk masyarakat miskin di Kabupaten Rokan Hilir pada 2008. Berdasarkan studinya ini Febri menjelaskan, agar program sertifikasi tanah sukses di Kabupaten Rokan Hilir, diperlukan sumber daya manusia aparatur pemerintah Kabupaten Rokan Hilir yang mumpuni serta regulasi yang dapat diandalkan. Ketua Panitia Penyelenggara Kongres AAPA 2014 Alex Brillantesyang juga komisioner dari Komisi Pendidikan Tinggi Filipinamelaporkan pada hari terakhir, 8 Februari 2014, mengenai keberhasilan dari Kongres AAPA yang mampu mengundang 270 peserta dari berbagai negara Asia seperti Korea Selatan, Jepang, China, India, Thailand, dan Indonesia. Namun, yang menarik bagi penulis, ada semacam konsensus setidaknya dari pimpinan AAPA mengenai agenda ke depan yang perlu dikerjakan. Ketua AAPA yang baru terpilih kembali, Prof Pan Suk Kim, menyampaikan bahwa kita perlu secara sistematis mendokumentasikan dan memformulasikan teori baru mengenai sistem administrasi publik Asia karena terbukti banyak berbagai inisiatif reformasi administrasi publik yang berhasil di negara-negara Asia. Ini juga diamini Prof Prabhat Datta dari Universitas Calcutta, India, yang mengatakan bahwa terbukti selama ini pendekatan yang secara 100% meniru atau menggunakan teori administrasi publik dari negara Barat (Amerika Serikat atau Inggris) tanpa memperhitungkan konteks lokal, banyak yang tidak berhasil.

VISHNU JUWONO Dosen Administrasi Publik FISIP Universitas Indonesia dan Kandidat Doktor di London School of Economics (LSE)

Masa Depan Banjir Jakarta dan Perubahan Iklim

SISWANTO, Peneliti BMKG Indonesia dan KNMI Belanda, Kandidat Doktor pada Institute of Marine and Atmospheric Research, Utrecht Univesiteit, Belanda. Ketua pada Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) Belanda

Seluas 17,40% wilayah Jakarta tergenangi sudah pada kejadian banjir pertengahan 13 Januari 2014 lalu yang dipicu oleh curah hujan tinggi di daerah penyangga Jakarta. Lalu banjir dan genangan masih terjadi hingga sekarang, meski hujan tidak begitu lebat di daerah hulu. Oleh karena itu, banjir di Jakarta memang tidak selalu mensyaratkan hujan ekstrem di Bogor atau daerah hulu. Sejak tahun 2000, tercatat 4 kali banjir besar melanda Jakarta yaitu, 2002, 2007, 2013, dan 2014. Sejarah Sesungguhnya banjir di Jakarta adalah perkara klasik. Sejak zaman VOC, Pemerintah kolonial Belanda pun sudah berjibaku dengan masalah banjir dan tata kelola air Jakarta. Tahun 1621 Jakarta mengalami banjir besar, selang dua tahun setelah sistem tata kelola hidrologi Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya. Namun, banjir-banjir kecil hampir setiap tahun masih terjadi di pinggiran kota. Saat itu wilayah Batavia telah melebar hingga Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari, dan Kampung Tambora. Tercatat banjir besar terjadi pada tahun 1654, 1872, 1876, 1878, 1892, 1895, 1899, 1902, 1904, 1909, dan 1918. Tahun 1918 adalah yang terhebat karena dilanda banjir besar selama satu bulan. Banjir pun berulang pada 1919, 1923, 1931, 1932, 1933, 1949, 1952, 1953, 1954, 1956, 1976, 1977, 1979, 1984, 1988, 1994, 1996, 1997, 1999, 2002, 2007, 2008, dan 2013. Banjir Jakarta sebagian besarnya bisa dikaitkan dengan kehadiran curah hujan yang tinggi maupun kejadian hujan terus-menerus baik di Jakarta sendiri atau di daerah hulu yang berdataran lebih tinggi seperti Depok dan Bogor. Sebagai misal, zaman dahulu, banjir 1878 disebabkan kejadian hujan 40 hari terus-menerus, tahun 1892 banjir terjadi setelah hujan lebat lebih dari 8 jam dengan intensitas 240,7 mm pada hari itu di Jakarta. Banjir parah 1988 disebabkan curah hujan 356 mm sehari yang tercatat di Jakarta Observatory (Stasiun BMKG Jakarta). Banjir terbesar sepuluh tahun terakhir pada 1 Februari 2007 berkaitan dengan curah hujan ekstrem 234,7 mm di Jakarta Pusat. Eskalasi banjir akan menjadi lebih besar manakala terjadi hujan ekstrem di dalam kota Jakarta sendiri.

Curah hujan terukur sebesar 1 mm diartikan sebagai tebal air hujan yang terukur setinggi 1 mm pada daerah seluas 1 meter persegi atau banyaknya air hujan yang turun dengan ukuran 1 mmx1m2, setara dengan volume 1 liter air. Sehingga ukuran 234,7 mm/hari berhubungan dengan jumlah 20.347 liter air yang jatuh pada sebuah lapangan 100 meter persegi di Jakarta. Mitos Deret waktu kejadian banjir besar mulai tahun 1872 hingga 2013 memang memberikan ratarata kejadian 4,7 tahun, namun adalah kurang tepat bila dikatakan banjir Jakarta selalu berulang atau memiliki periode ulang lima tahun. Nyatanya kejadian banjir besar perulangannya berfluktuasi dari 1 hingga 19 tahun sekali. Bila melihat data historis intensitas hujan distasiun BMKG Jakarta, curah hujan 234,7 mm/ hari pada banjir 2007 tercatat terbesar kedua selama kurun waktu 19802010, keempat dalam 100 tahun terakhir dan memiliki periode ulang sekitar 20 tahun. Sementara curah hujan tertinggi 356 mm terjadi pada 6 Januari 1988 berperiode ulang 100 tahun. Periode ulang 50, 20, 10, 5, dan 2 tahun dipunyai oleh curah hujan kisaran 296 mm, 227 mm, 184 mm, 147 mm, dan 102 mm. Curah hujan ekstrem di Kemayoran pada Januari 2013 dan 2014 tercatat tertinggi 193 mm dan 148 mm. Hal ini menandakan bahwa di Jakarta, dewasa ini, peluang hadirnya hujan ekstrem kisaran 100mm/ hari adalah tiap 2 tahun atau 200 mm/hari tiap 10 tahun. Sehingga semua sistem hidrolik (sungai dan saluran, pompa, dan pintu air) di Jakarta harus meyakinkan bisa mengatasi curah hujan 100 mm/hari per dua tahun ini bila Jakarta tak ingin kebanjiran setiap tahunnya, atau mengatasi curah hujan 300 mm/hari untuk aman 100 tahun ke depan. Padahal, statistik hujan ekstrem memprediksikan peluang hujan hampir 200 mm/hari bisa terjadi lma tahun lagi (2018). Perubahan Iklim Pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta Observatory sudah dimulai secara sistematis pada tahun 1866 pada saat pemerintah kolonial Hindia Belanda. Data tersebut terdokumentasikan dengan baik di BMKG maupun di KNMI (Badan Meteorologi Belanda) dan bisa digunakan untuk melakukan penelitian perubahan karakter hujan wilayah Jakarta. Kajian penulis menggunakan data historis tersebut menunjukkan, bahwa banyaknya hari hujan per tahun berkurang signifikan sedangkan kejadian hujan lebat dan sangat lebat cenderung naik. Selain itu, ada indikasi bertambahnya intensitas hujan yang turun pada dini hingga pagi hari, dan berubahnya waktu hujan maksimum sore menjadi malam hari. Ini pertanda bagi masyarakat untuk mewaspadai waktu inisiasi banjir pada saat pagi buta atau malam hari, penting bagi langkah mitigasi bencana bagi dinas terkait.

Hal lain yang menarik ditemukan adalah semakin naiknya suhu rata-rata dan minimum di Jakarta sebesar 2C sejak 1900-an, atau 1,5C sejak 1980-an, dan lebih mencolok terjadi pada suhu malam hari. Banyak teori yang bisa dikaitkan dengan fenomena ini, misalnya saja, respons lokal terhadap perubahan iklim akibat pemanasan global, efek urban heat island yaitu efek pulau panas perkotaan akibat luaran emisi panas dari penggunaan energi di Jakarta, ataupun pengaruh kelimpahan polutan dampak urbanisasi di kota besar terhadap karakter hujan dan pembentuk proses hujan. Konjektur analisis ini adalah, di masa kini dan mendatang, hujan turun akan sering bersifat lebat-sangat lebat pada musim hujan, dan kemarau terasa berlangsung lebih lama. Dalam kondisi atmosfer yang berubah lebih hangat akibat pemanasan global, Jakarta merupakan daerah yang terdampak signifikan bila dibanding daerah lainnya. Wilayahnya yang 40% lebih rendah dari permukaan laut akan menghadapi kompleksitas ancaman dengan risiko yang lebih tinggi akibat meningkatnya tren hujan ekstrem, naiknya permukaan laut dan gelombang laut pasang. Oleh karena itu, tampaknya banjir akibat hujan lebat akan tetap menjadi momok menakutkan di Jakarta bila kebijakan mitigasi dan pembangunan tidak mampu mengimbangi kecenderungan alam yang berubah.

Quo Vadis Pengelolaan Transjakarta?

WIJAYA KUSUMA S, Caleg Hanura, Ketua DPW Perindo DKI Jakarta, Pemerhati Transportasi, Certified Trainer Keselamatan Transportasi, Member A-132 IASST

Revitalisasi transportasi dan rekayasa penyelesaian kemacetan di Jakarta adalah sangat mutlak diimplementasikan saat ini. Perlu pendekatan seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan peningkatan etika, disiplin lalu lintas di jalan raya, dan perbaikan layanan angkutan umum itu sendiri. Memberikan layanan angkutan yang baik akan mendorong para pengguna kendaraan pribadi berpindah ke angkutan umum. Salah satu caranya dengan menambah jumlah armada bus Transjakarta (TJ). Saat ini yang beredar hanya 650 unit ditambah dengan armada baru sebanyak 1.000 unit. Langkah penambahan armada ini merupakan terobosan yang baik sebagai solusi awal pengurai kemacetan di Ibu Kota. Namun di balik semangat memberi solusi kemacetan di Jakarta, proses pengadaan bus Transjakarta ini terkesan serampangan. Alhasil, bus merek Ankai, Yutong/Korindo yang diimpor oleh salah satu vendor-nya PT San Abadi, berkualitas sangat buruk. Sebanyak 30 bus tahap awal yang diresmikan pengoperasiannya oleh Jokowi beberapa waktu lalu, hanya 18 yang beroperasi, sedangkan sisanya mengalami masalah; dari sensor turbo berkarat, indikator air cleaner berada di batas kuning-merah (tidak layak), pulley terbuka sehingga gemuk bocor, tabung knalpot karatan, water coolant bocor, kompresor AC berjamur, kabel otomatis spion terpasang tak rapi dan bahkan pecah, rangka kendaraan berkarat, interior panel yang tidak ada bautnya, pintu tidak bisa dibuka dan macet, serta sederet masalah lainnya. Entah bagaimana proses pre delivery inspection-nya dan apakah juga dilakukan factory visit untuk memeriksa sistem perakitan dan kesiapan kendaraan dan uji coba sebelum diimpor ke Indonesia. Juga menjadi pertanyaan besar mengenai bagaimana sistem uji laik jalan alias Keur dan apakah produk tersebut memenuhi standar industri tertentu semisal SNI untuk beberapa komponen kendaraannya, atau SAE dalam pembuatan rangka (sasis) maupun badan kendaraan (bodi), ISO, DOT, ANZI dan standar lain sesuai dengan prasyarat standardisasi komponen kendaraannya. Persyaratan standardisasi mengenai kualitas kendaraan ini seharusnya menjadi syarat utama dalam pengadaan bus ini, karena di situlah letak uji kualitas kendaraan. Di samping pengutamaan kualitas, tentunya pembelian 1.000 unit ini juga harus dilakukan bertahap. Harga bus TJ ini tidaklah murah. Dari data yang diperoleh, sebuah bus TJ harus ditebus dengan harga Rp3,795 miliar, sedangkan dalam proses pengadaan lalu INKA (produsen

Indonesia) mengajukan harga Rp3,980 miliar dengan 41% komponen lokal terstandardisasi. Kalau 1.000 unit, berarti total Rp3,795 triliun digelontorkan untuk pengadaan ini. Pertanyaannya mengapa kita ngotot menggunakan produk China yang kualitasnya diragukan. Mengapa kepala dinas perhubungan (kadishub), sebagai ketua panitia tender berpatokan pada biaya murah, namun tidak memperhatikan kualitas. Kalau Dishub misalnya menggunakan produksi dalam negeri, tentunya akan sangat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Belum lagi layanan purna jual atau jaminan pemeliharaan dengan cukup mudah dilakukan karena bis dirakit di Indonesia. Sungguh ironis, saat pengangguran banyak di Indonesia, kita masih saja melakukan impor dan menguntungkan pihak tertentu. Padahal, di Indonesia sendiri saya yakin mampu membuat bus sejenis, misalnya pengusaha karoseri bus seperti PT Karoseri Nusantara Gemilang yang memproduksi bis tingkat Miracledan diperkenalkan kepada masyarakat beberapa waktu lalu, kemudian PT Laksana yang mengeksporbus SR-1 ke Fiji 2012 lalu. Pertanyaannya, mengapa kita mesti impor kalau di dalam negeri ada potensi membuat bus seperti ini? Bahkan, Fiji sendiri mengakui bahwa harga produksi Indonesia memang lebih mahal sedikit karena mesin yang masih diimpor, namun kualitas busnya diakui lebih baik dan lebih tahan lama dibandingkan bus produksi China. Oleh karena itu, tak heran dalam kurun tiga tahun belakangan ini sudah 14 bus TJ yang terbakar, tentunya ini tidak lepas dari kualitas buruk TJ dan buruknya sistem pemeliharaan kendaraan. Belum lagi terhitung bus yang sering mogok, seperti AC yang tidak berfungsi, panel indikator rusak, turbo yang rusak, dan pelbagai masalah lainnya. Kalau sudah begini, apakah kita perlu mempertimbangkan harga murah dibandingkan mahal sedikit namun kualitas yang baik? Tak heran hal ini berdampak pada pergeseran jabatan kadishub DKI Jakarta dari Udar Pristono yang digantikan oleh Muhammad Akbar. Entah apakah ada yang bermain atau memang terjadi kelalaian dalam proses pengadaan bis tersebut. Oleh karena itu, proses audit adalah langkah yang tepat. Selanjutnya, tentu, tim pengadaan barang atau tim tender perlu mengkaji ulang pengadaan bus yang selanjutnya. *** Masalah ini merupakan pekerjaan rumah besar untuk Muhammad Akbar. Dia harus merevitalisasi tata kelola transportasi Jakarta dan berhati hati dalam pengadaan TJ ini. Tentunya tidak perlu tergesa-gesa membeli langsung dalam jumlah besar, namun pembelian bertahap dengan memperhatikan kualitas, jaminan purnajual menjadi penting. Demikian juga pembelian harus pula memperhatikan kesiapan infrastruktur termasuk kesiapan jalur busway, halte dan sarana penunjang termasuk bus kota terintegrasi busway (BKTB) dan sistem informasi rute cerdas. Sistem informasi rute cerdas ini diperlukan agar masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi tentang layanan rute, estimasi tiba dan

berangkat bus, biaya dan gerai yang menyediakan tiket, baik itu tiket sekali pakai, langganan, maupun terusan. Sebagai perbandingan di Singapura, layanan bus sebanyak 4.000 unit dengan pelbagai layanan seperti layanan jarak jauh antarwilayah (townlink), kemudian ada pula yang melayani transportasi malam (night rider dan night owl), layanan lingkungan (feeder) dan layanan premium. Rasanya kita perlu berkaca dan belajar mengenai tata kelola transportasi Singapura ini yang dikelola oleh Land Transportation Authority (Dishub di Jakarta). Tentunya disesuaikan dengan keadaan layanan transportasi Jakarta. Sinergi dengan MRT, monorel, ataupun KRL Jabodetabek juga perlu dilakukan, angkutan lingkungan semisal angkot atau Metromini sehingga transportasi antarmoda tidak lagi menjadi hambatan. Terakhir, pemerintah pusat pun perlu memikirkan untuk membatasi jumlah kendaraan yang beredar. Seharusnya antara ruas jalan dan jumlah kendaraan yang beredar harus berimbang sehingga pemborosan energi akibat kemacetan tidak terjadi. Cara yang dilakukan pemerintah Singapura dengan menerapkan kuota kendaraan (vehicle quota system) yang mengenakan pajak tinggi untuk setiap penambahan kendaraan baru perlu dijadikan contoh. Di Singapura tidak mudah untuk membeli mobil, perlu ikut tender untuk mendapatkan hak kepemilikan kendaraan (certificate of entitlement); makin banyak mobil beredar maka makin mahal pula pajaknya. Rasanya pemerintah harus membuat kebijakan makro transportasi yang pro kepada masyarakat umum dan jangan sampai meledaknya pembeli kendaraan baru (dengan dikeluarkannya kebijakan mobil murah LCGC) akan menambah keruwetan dan kemacetan di Indonesia. Insya Allah, adanya sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan dapat mengatasi permasalahan kemacetan di Jakarta dan dijadikan model penanganan transportasi yang baik di daerah lain di Indonesia.

Pemukim Demokrasi

Jika demokrasi dikiaskan sebagai satu wilayah, demokrasi Indonesia memiliki dua jenis penduduk: imigran dan pemukim asli (native) demokrasi. Saya sengaja menyebut imigran lebih dulu karena dari segi usia dan generasi, imigran demokrasi lebih tua dan lebih dulu ada dari para pemukim yaitu sejak sebelum Indonesia menjadi teritori demokrasi. Indonesia menjadi teritori demokrasi sejak Reformasi 1998. Walau masih banyak kekurangan di sana-sini, paling tidak kita sudah memenuhi kaidah-kaidah demokrasi dasar dan prosedural. Sambil jalan, kita terus memperbaiki demokrasi di Indonesia untuk memenuhi substansi demokrasi yaitu cara partisipatif rakyat dalam mewujudkan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera. Dalam beberapa kesempatan saya mengintroduksi istilah gelombang ketiga dalam sejarah Indonesia. Saya menganalogikan perjalanan sejarah terjadi dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama terjadi sejak penjajahan hingga kita merdeka. Gelombang ini saya sebut sebagai fase menjadi Indonesia, di mana kita menemukan jati diri kita sebagai bangsa dan kemudian negara melalui dua tonggak sejarah besar, Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Gelombang kedua berlangsung sejak merdeka hingga 2014, di mana kita bergulat menjadi negara-bangsa modern. Gelombang ini diwarnai dengan usaha mencari sistem ekonomi dan politik yang sesuai sejarah dan budaya bangsa. Selama lebih dari 60 tahun kita membongkar-pasang berbagai sistem ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya hingga menemukan sintesisnya pada Era Reformasi. Pada 2014 menjadi garis batas karena tahun ini ujian akhir semester demokrasi prosedural pasca-Reformasi. Kita sudah mengalami satu masa kepresidenan yang dihasilkan oleh pemilihan langsung. Satu dasawarsa yang terdiri atas dua periode kepresidenan yang terus berjalan di dalam koridor prosedur demokrasi, dalam arti tanpa ancaman nondemokratis yang signifikan seperti kudeta atau usaha penggulingan di tengah jalan lainnyaadalah pencapaian dalam praktik demokrasi yang patut kita apresiasi bersama. Gelombang ketiga terjadi sejak 2014 ke depan. Saya belum punya nama karena gelombang ini sedang terjadi dan kita sedang menghirup semangat zaman (zeitgeist) gelombang ini. Satu fenomena khas dari gelombang ketiga ini adalah kelahiran kelompok native democracy atau pemukim demokrasi. (Mungkin dari segi tata bahasa Inggris kurang tepat, saya mohon maaf dan mohon masukan). Tapi, esensinya, kini lahir satu generasi yang hanya mengenal demokrasi sebagai sistem dan cara hidup sejak mereka cukup dewasa dalam melihat lingkungan sekitar. Coba amati. Pemilih pemula pada Pemilu 2014 adalah mereka yang lahir pada rentang 1992- 1997. Ketika sekolah dasar mereka menyaksikan krisis moneter dan gerakan Reformasi. Gambar

yang terbayang di benak adalah Gedung DPR di Senayan diduduki mahasiswa dan Jakarta terbakar oleh kerusuhan. Lalu mereka tumbuh remaja dengan menyaksikan pemilihan presiden langsung, iklan politik di media, dan kebebasan berpendapat hampir di mana saja. Mereka tidak memiliki referensi kehidupan dalam suasana otoriter Orde Baru, di mana pers dibungkam, partai politik dibonsai, dan pemilu semata menjadi pesta bagi penguasa, bukan pesta demokrasi yang sebenarnya. Kelompok pemukim demokrasi ini berbeda dengan kakaknya yang lahir pada awal Orde Baru (akhir 1960-an atau awal 1970-an) yang mengalami hidup di era Orde Baru. Karena itu, sang kakakdan generasi sebelumnya saya sebut sebagai imigran demokrasi, yang berpindah dari teritori suasana otoritarian ke alam demokrasi dengan membawa rekaman suasana mencekam di era Orde Baru. Saya gemar menggunakan analogi telepon seluler dalam menggambarkan kelahiran native democracy ini. Bagi generasi tua, mereka menyaksikan dan mengalami sendiri perubahan dari rumah tanpa listrik menjadi ada listrik, menggunakan telepon putar dengan jaringan kabel di rumah, penyeranta (pager), hingga telepon seluler. Mereka bermigrasi dari satu tahapan teknologi ke tahapan teknologi berikutnya, berikut perubahan gaya hidup yang menyertainya. Mereka saya sebut sebagai imigran teknologi. Ketika smartphone datang, mereka mampu membelinya, tetapi hanya menggunakan fitur-fitur dasar sesuai referensi pengalamannya. Smartphone itu kebanyakan hanya digunakan untuk bertelepon, pesan pendek (SMS) dan sesekali berfoto. Lihat bedanya dengan anak sekarang. Mereka lahir dan tumbuh ketika smartphone hadir. Bagi mereka, smartphone adalah sesuatu yang biasa dan fitur-fitur canggih di dalamnya adalah keharusan, mulai dari chatting, social media, e-mail, hingga fitur yang rumit seperti internet banking. Merekalah native technology yang dengan lancar menguasai perkembangan teknologi sebagaimana mereka berbicara dalam bahasa ibu. Native democracy juga demikian. Mereka lahir ketika demokrasi ini tumbuh dan mulai menguasai fitur-fitur demokrasi yang rumit sementara generasi tua masih berkutat pada fitur-fitur dasar demokrasi. Fitur dasar ini yang sebelumnya saya sebut sebagai demokrasi prosedural. Pemilihan umum yang bebas, pembatasan masa kekuasaan, pemisahan kekuasaan melalui trias politica, yang merupakan prestasi dari proses demokratisasi yang panjang bagi generasi tua, dianggap hal biasa oleh generasi muda. Mereka sudah masuk ke penguasaan fitur-fitur rumit seperti perlindungan kaum minoritas, partisipasi individu dalam gerakan sosial, hingga keadilan global. Ideologi dan Kepemimpinan Dalam konteks ideologi, ahli politik Inggris Robert Corfe dalam The Future of Politics (2010) menyebut kelompok ini sebagai middle middle majority (mayoritas tengah-tengah). Mereka berada di tengah dalam konteks sosio-ekonomi dan spektrum ideologi. Karena tidak

ada lagi konflik politik ideologi yang bipolar, generasi ini percaya diri untuk menyuarakan isu-isu secara objektif dan berani. Mereka sudah melampaui cara berpikir dalam kungkungan kepentingan kelas bahkan melampaui batas negara-bangsa. Kebajikan yang paling utama bagi kelompok tengah-tengah ini adalah keadilan sosial, kesempatan yang sama, dan kesetaraan. Kelompok baru ini membangun nilai etis baru sebagai konsekuensi dari perubahan yang mereka alami. Bagi mereka, mengejar kesuksesan dan melakukan akumulasi finansial adalah kebajikan karena dalam mengejar kesuksesan dan kekayaan itu mereka tidak mengorbankan individu atau bagian lain dari masyarakat. Di sisi politik, mereka yang hanya paham fitur dasar demokrasi akan tergagap-gagap berdialog dengan mereka yang sangat lancar menguasai fitur-fitur yang advance. Kelompok ini membutuhkan pendekatan kepemimpinan baru yang mampu memberdayakan mereka di tengah situasi ketidakpastian. Karena itu, komunikasi politik ke depan tidak bisa lagi bertumpu pada penjejalan ideologi sebagai cara pandang terhadap dunia yang rigid, tapi juga tidak terjebak pada sikap asal menyenangkan publik alias populisme. Pemimpin para native democracy di gelombang ketiga adalah perpaduan antara penggugah visioner dan eksekutor andal dalam menyelesaikan (deliver) agenda-agenda publik yang telah disepakati. Dalam konteks tersebut, Pemilu 2014 punya arti penting karena peristiwa itu bukan saja menjadi momentum peralihan kekuasaan, melainkan juga momentum peralihan gelombang sejarah Indonesia. Gelombang demi gelombang sejarah telah kita lalui dan meninggalkan endapan berharga bagi perjalanan kita sebagai negara-bangsa. Gelombang ketiga adalah momentum berharga bagi Indonesia menuju kemajuan.

ANIS MATTA Presiden Partai Keadilan Sejahtera

Masihkah Relevan Kerugian Negara dalam Tipikor?

Kerugian negara dalam tindak pidana korupsi (tipikor) muncul dalam UU RI Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi. Hanya, harus dibuktikan terlebih dulu kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan terdakwa; hal yang ketika itu, menurut Oemar Senoaji, sulit pembuktiannya. Untuk itu, unsur kejahatan atau pelanggaran dalam undang-undang tersebut dihapuskan dan diganti dengan kalimat melawan hukum sebagai sarana untuk melakukan korupsi sehingga negara dirugikan karenanya. Kendati demikian, kerugian negara bukan karena perbuatan melawan hukum ketika undang-undang tersebut disusun tidak dijelaskan bahwa perbuatan tersebut bukan tipikor; seharusnya merupakan maladministrasi semata-mata yang harus dikenai sanksi administrasi. Dalam undang-undang tersebut diselipkan kalimat dapat di depan kalimat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan begitu, pengertian melawan hukum harus diartikan juga dalam arti materiil yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau tercela sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menjadi dapat dihukum. Kendati demikian, memperluas arti kalimat melawan hukum, menurut Oemar Senoaji, harus tidak bertentangan dengan asas legalitas yang mempertahankan kepastian hukum. Rumusan ketentuan dalam undang-undang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang mencabut pemberlakuan UU Tahun 1971. Rumusan kalimat dalam UU Tahun 1971 tidak berubah, tetapi diberikan penjelasan (Pasal 2) yang menegaskan bahwa kalimat dapat di muka kalimat merugikan... dan seterusnya harus diartikan sebagai melawan hukum formil dan hukum materiil. Namun, oleh putusan MK RI, penjelasan Pasal 2 tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan tidak mengikat secara hukum dan sejak putusan MK RI tersebut unsur melawan hukum harus diartikan melawan hukum formil atau sesuai bunyi undang-undang (onwetmatiggedaad). *** Sejalan dengan ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003 dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006, dalam Pasal 3 konvensi tersebut dinyatakan tegas bahwa unsur kerugian negara (state damage) tidak lagi harus merupakan unsur tipikor sehingga menjadi pertanyaan apakah dengan demikian perbuatan tipikor tidak lagi memerlukan unsur kerugian keuangan negara? Jika ketentuan konvensi tersebut diikuti, perbuatan yang termasuk tipikor hanya suap di sektor publik dan swasta,memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment), memperdagangkan pengaruh (trading in influence), melakukan pencucian uang dari hasil

korupsi, menjalankan permufakatan jahat, menghalang-halangi proses peradilan, menyalahgunakan wewenang, serta melakukan penggelapan harta negara dan harta korporasi. Gratifikasi dalam UU Tahun 1999/2001, dalam reviu tim bentukan UNODC, telah dinyatakan tumpang tindih dengan suap sehingga direkomendasi untuk dihapuskan. Rekomendasi tersebut beralasan karena dalam ketentuan gratifikasi telah dirumuskan terkait kalimat yang berhubungan dengan kedudukan atau jabatannya sama dengan perbuatan suap, yang berbeda hanya hukum pembuktiannya. *** Jika ketentuan Pasal 3 UNCAC diikuti, tipikor tidak lagi berkaitan dengan negara dirugikan atau tidak dirugikan dan tidak ada lagi tujuan mengembalikan kerugian negara, tapi hanya bertujuan menghukum semata-mata dan pidana denda. Persoalan baru muncul jika diikuti yaitu negara harus menanggung beban melebihi kemampuannya dalam memelihara dan mengurus terpidana tipikor sampai selesai menjalani hukumannya sehingga ancaman pidana denda harus dikaji kembali agar maksimal dan seimbang dengan harta kekayaan negara yang telah dirampok oleh terdakwa. Kesulitan tentu nanti berada pada penuntut untuk menghitung jumlah pidana denda yang harus dituntut dan hakim yang harus memastikan bahwa nilai pidana denda telah maksimal sesuai harta kekayaan negara yang telah hilang karena perbuatan terdakwa. Solusi hukum satu-satunya jika unsur kerugian keuangan negara dihapuskan adalah memaksimalkan implementasi UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tetapi, pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan asas legalitas yang bertujuan kepastian hukum termasuk pemberlakuan surut (retroaktif) terhadap harta kekayaan terdakwa yang tidak terkait tindak pidana asal (predicate crimes) sebagaimana telah ditegaskan di dalam Pasal 77 dan 78 UU TPPU. Disarankan agar pemberlakuan ketentuan pembuktian terbalik tersebut yang telah diberlakukan surut atas harta kekayaan terdakwa tidak terkait tipikor di dalam praktik oleh KPK dan hakim tipikor dihentikan. Praktik ini bertentangan dengan asas legalitas yang telah diakui universal dan terlebih telah melanggar prinsip perlindungan hak asasi terdakwa sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Diingatkan juga kepada mereka tentang lafal sumpah ketika mereka dilantik dalam jabatannya yang menegaskan bahwa mereka di bawah sumpah akan memegang teguh dan melaksanakan ketentuan UUD 1945 serta ketentuan perundang- undangan yang berlaku!

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran, Bandung

Hebatnya Vonis MK

Koran Sindo, 15 Februari 2014

Author: MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

Baik melalui pertanyaan langsung saat bertemu maupun melalui SMS dan Twitter, saya kerap mendapat pertanyaan, Bagaimana jika vonis MK salah? Bagaimana jika vonis MK dibuat karena penyuapan atau korupsi? Jumat pagi (14-2-14) kemarin saya mendapat pernyataan dan pertanyaan dari seorang aktivis kondang yang menyatakan bahwa vonis MK tentang UU/ Perppu MK yang diketuk Kamis (13-2-14) terasa janggal dan melanggar etika. Vonis itu, kata sang aktivis, tidak transparan dan tidak etis, karena saat menguji UU tentang Pemilu Presiden agar diserentakkan dengan Pemilu Legislatif memakan waktu sampai setahun lebih. Tetapi saat menguji UU/Perppu MK hanya diperlukan waktu 37 hari. Kesannya, MK meletakkan kepentingan diri hakim-hakimnya di atas kepentingan segalanya, termasuk kepentingan konstitusional rakyat tentang perlunya pemilu serentak. Bisakah MK dituntut untuk mempertanggungjawabkan itu? tanyanya. Sebenarnya ada banyak konteks yang harus dipahami untuk menyikapi putusan MK, antara lain konteks konsekuensi hukum dan konteks konsekuensi etis. Secara konstitusional setiap putusan MK mempunyai konsekuensi mengikat, harus diikuti, tak bisa dibatalkan dengan jalan hukum apa pun. Menurut Pasal 24C UUD 1945, putusan MK bersifat final dan mengikat. Jika telah diketukkan palu putusan di depan sidang terbuka untuk umum, vonis MK mengikat dan harus dilaksanakan, meski salah sekali pun. Vonis yang salah dan dibuat dengan penyuapan atau korupsi harus diikuti juga? Ya, itulah hebatnya vonis MK. Pokoknya kalau sudah diketukkan palu vonis maka vonis itu langsung berlaku dan mengikat. Kalau ditanya, Mengapa begitu? Kok tidak dibuka ruang untuk meninjau, kalau-kalau, ada kesalahan dalam pembuatan vonis itu? Secara sederhana dan innocence, hakim-hakim MK tentu bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan, Tak tahulah kami, ketentuan UUD 1945 yang mengatur begitu; hakimhakim MK tak pernah membuat sendiri ketentuan seperti itu; kami hanya melaksanakan. Kalau mau mempersoalkan, ya, persoalkanlah kepada MPR yang membuat isi UUD seperti

itu. Tetapi secara yuridis-konstitusional kita pun tahu, MPR membuat ketentuan seperti itu karena alasan yang masuk akal. Asumsi dasarnya, vonis-vonis MK terkait dengan agenda ketatanegaraan yang kerap harus dilaksanakan secara cepat dan tepat waktu, sesuai dengan jadwal periodisasi jabatan publik, tak bisa diulur-ulur. Misalnya menyangkut jadwal pelantikan anggota DPR, presiden, atau gubernur dan bupati. Kalau vonis MK masih bisa dilawan dengan upaya hukum lagi, akan banyak jabatan publik yang terkatung- katung tanpa kepastian hukum sampai habis penggalan periodenya. Itulah alasan MPR mengatur final dan mengikatnya vonis MK dalam sekali ketuk palu. Maka itu, MPR pun menentukan syarat, yang boleh menjadi hakim MK haruslah negarawan yang paham konstitusi. Negarawan, tentulah selalu meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan diri atau kelompoknya, diyakini tidak akan ceroboh atau suka menjual belikan perkara. Bagaimana kalau hakim-hakim yang semula dianggap negarawan itu ternyata bandit yang membuat vonis secara kolutif dan koruptif. Kalau terpaksa terjadi begitu, vonisnya tetap berlaku dan tak bisa dibatalkan dengan cara hukum apa pun, tetapi hakimnya bisa diproses melalui hukum pidana untuk dijatuhi hukuman pidana. Sang hakim maupun counter part korupsinya bisa dipidanakan, tanpa harus membatalkan vonis MK yang sudah keluar. Saya sendiri, sebagai warga negara yang cinta MK, merasa tidak puas dan kecewa atas vonis MK tentang UU/Perppu MK yang palunya diketukkan dua hari yang lalu. Tetapi saya pun harus mengatakan, tak ada efek hukum apa pun kalau kita mempersoalkan lagi vonis MK itu. Kalau sudah diketukkan palu untuk itu, ya harus diikuti sebagai vonis hukum yang mengikat, suka atau tidak suka. Saat memimpin MK dulu saya sering mengatakan, terhadap putusan MK selalu ada yang suka atau tak suka dan ada yang puas atau tak puas. Yang menang memuji, yang kalah memaki. Tetapi apa pun sikap orang luar, MK harus tetap independen, MK harus terus berjalan dengan tegak dan yakin akan kebenaran vonis-vonisnya. MK tidak boleh takut pada opini dan tekanan publik. Independen bukan berarti hanya bebas dari intervensi penguasa tetapi juga harus berani menghadapi opini pers dan tekanan publik. Sikap seperti itulah yang dulu saya tegakkan. Sekarang pun harus saya katakan bahwa MK dan hakim-hakimnya harus bersikap seperti itu. Kalau memang putusan dianggap salah secara hukum setiap hakim MK harus siap menghadapi proses hukum. Akan halnya pelanggaran etis, dapat dikatakan, dalam profesi apa pun ada kode etik dan dewan atau majelis etik yang bisa menegakkannya. Cuma, saat ini pembentukan majelis kehormatan hakim MK memang tergantung sepenuhnya pada hakim-hakim MK sendiri. Publik tak bisa berharap terlalu banyak untuk bisa mengawalnya.

Tetapi setiap penodaan terhadap tanggung jawab moral dan etik, meski bisa disembunyikan dan disamarkan dari publik atas nama kewenangan, pastilah hati nurani memberontak, hidup pun akan resah dan gelisah. Dosa-dosa akan terus menghantui.

TRI RISMAHARINI

Author: SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Saya tidak kenal dengan Ibu Wali Kota Surabaya yang kondang ini. Bertemu langsung juga belum pernah, walau hanya dari kejauhan. Saya hanya mengenalnya dari media massa yang memang sering memberitakan kegiatan-kegiatannya dalam membangun kota metropolitan nomor dua se-Indonesia itu. Tetapi saya sangat terkesan dengan wawancara Ibu Risma dengan Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa yang ditayangkan pada 12 Februari 2014. Kebetulan saya menonton acara itu dari televisi mobil saya. Persis satu jam 30 menit saya di perjalanan, bersama sopir, di tengah kemacetan (walaupun tidak hujan). Jadi saya bisa fokus betul mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya dan mengamati setiap gerak tubuhnya dan mimik wajahnya, bahkan tetesan air matanya. Kesimpulan saya: Tri Rismaharini adalah sebuah fenomena luar biasa! Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dari tampak luarnya. Tubuhnya tidak tinggi semampai seperti Sophia Latjuba (yang belakangan dikabarkan comeback ke Indonesia dan langsung membuat heboh infotainment), tidak juga secantik Ibu Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany. Tubuh Risma kekar berbalut jilbab dan jarinya tidak lentik bak penari, melainkan bulat-kuat seperti jari-jemari ibu-ibu petani yang biasa memegang pacul (ini saya perhatikan ketika Ibu Risma menghapus air matanya). Dia juga tidak pandai bersilat lidah seperti Farhat Abbas, bahkan tidak pandai bicara (apalagi bicara diplomatis) seperti anggota DPR. Dia bukan politisi, atau pengacara. Dia hanya seorang arsitek dan mantan Kepala Dinas Pertanaman dan Kebersihan di Kota Surabaya (tipikal PNS dan birokrat yang kebetulan mengurus taman dan sampah Surabaya). Tetapi dia tahu betul apa yang dikatakannya dan bisa mempertanggung jawabkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Inilah contoh konkret dari satunya kata dengan perbuatan. Dari ceritanya kepada Najwa, saya mengambil kesimpulan bahwa Risma sangat religius. Religiositasnya sangat berbeda dari religiositas Wali Kota Bengkulu Helmi Harun, yang menjanjikan umrah dan haji gratis serta hadiah mobil Kijang Innova dan Honda CRV buat masyarakat yang paling rajin salat subuh berjamaah di masjid. Spontan keesokan harinya masjid dipenuhi oleh calon-calon peserta umrah/haji bermental matre (apalagi buat PNS diwajibkan datang, dicatat kehadirannya dan kena sanksi kalau tidak hadir).

Religiositas Risma nampak dari intuisinya yang kuat, yang menurut Risma sendiri merupakan petunjuk Tuhannya. Tuhan setiap hari memberitahu kemana dia harus pergi hari itu, ke barat atau ke utara, maka dia pun pergi ke arah itu, dan selalu dia menemukan warganya yang sedang bermasalah, seperti anak telantar di pinggir jalan yang membutuhkan bantuan Dinas Sosial, pelacur berumur 60 tahun yang masih praktek dengan langganan anak-anak SD (karena ia mau menerima bayaran Rp1.000-2.000), atau banjir yang ketika ditelusuri penyebabnya adalah pagar orang yang membuat air mampat (maka spontan dia suruh bongkar pagar itu). Maka ketika dia ditanya oleh Najwa, Masih tegakah Ibu mengundurkan diri sebagai wali kota, walaupun sudah menerima 51 penghargaan dan calon wali kota terbaik dunia? Apa yang saya harus katakan kepada warga Surabaya? Pecahlah tangis Risma. Dia kasihan kepada jutaan warga Surabaya yang masih perlu bantuannya. Tetapi dia juga tidak mau, sebagai wali kota, mengetahui adanya warganya yang masih menderita dan dia tidak berbuat apa-apa. Nanti kalau saya dipanggil dan ditanya Tuhan (dia lebih banyak menggunakan istilah Tuhan daripada Allah) dan saya tidak bisa menjawab, saya tidak akan masuk surga. Saya tidak mau tidak masuk surga! Alangkah religiusnya, walaupun tidak sepotong ayat pun keluar dari bibirnya. Risma (yang hanya ibu rumah tangga dan senang keluar makan malam dengan suami dan anak-anaknya) jelas jauh religius daripada ustaz-ustaz kondang yang memasang tarif jutaan rupiah sekali taushiah, yang menolak hadir jika tarifnya tidak disepakati, dan punya rumah mewah dan motor gede dan sering masuk infotainment. *** Berita-berita yang saya ikuti belakangan banyak yang membantah isu tentang keinginan Risma untuk mundur. Menteri Dalam Negeri pun membantah bahwa Wali Kota Risma akan mundur. Bahkan sejumlah ormas dan LSM demo di depan rumah Risma, menuntut agar dia tidak mundur, tetap sebagai wali kota Surabaya (suatu fenomena yang luar biasa, ditengahtengah maraknya tuntutan mundur pada banyak kepala daerah). Tetapi ketika acara Mata Najwa direkam, tampaknya tekanan untuk tidak mundur belum terlalu kuat, dan ketika ditanya oleh Najwa Shihab, Risma masih jelas-jelas menyatakan bahwa dia tidak berani untuk berjanji kepada rakyat Surabaya untuk tidak mundur. Mengapa begitu? Risma sendiri menyatakan bahwa dalam bekerja dia selalu melibatkan emosinya. Capek sekali memang, tetapi itulah yang bisa membuatnya berempati pada kesusahan orang lain dan karenanya ia bisa merespons sampai tuntas, tas. Di sisi lain, pelibatan emosi inilah yang juga menyebabkannya tidak kuat menghadapi persoalannya dengan Wakil Wali Kota, Wisnu Sakti Buana, yang baru-baru ini dilantik tanpa kehadiran Risma (dengan alasan sakit). Saya tidak jelas apa penyebab yang sesungguhnya, tetapi dari yang saya ketahui melalui media massa, Wisnu Sakti Buana adalah salah satu anggota DPRD yang ikut memakzulkan

Risma dari jabatan wali kota, hanya beberapa saat setelah Risma dilantik sebagai wali kota (2010), gara-gara Risma menaikkan pajak reklame di jalan-jalan protokol Surabaya. Risma tidak mau jalan-jalan protokol Surabaya jadi jelek karena baliho-baliho reklame segede-gede raksasa. Maka marahlah anggota-anggota DPR itu (dari semua fraksi, kecuali fraksi PKS), termasuk Wisnu yang sama-sama dari fraksi PDIP bersama Risma. Anggota-anggota DPRD itu kemudian meminta Risma mundur dari jabatan wali kota. Kalau berita yang saya baca itu benar, bisa dibayangkan bagaimana perasaan Risma(yang biasa melibatkan emosi sepenuhnya ketika bertugas) ketika ternyata Wisnu menjadi wakilnya. Memang susah kalau bekerja terlalu emosi, tetapi kalau terlalu acuh tak acuh salah juga, kan?

RUU Perdagangan, Stabilisasi Harga, dan Produksi

Author: PROF FIRMANZAH PhD Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan

Desain kebijakan dalam Undang-Undang (UU) Perdagangan yang belum lama ini disahkan menjadi pedoman mengelola sektor perdagangan, terutama untuk memperkuat sumbersumber pertumbuhan ekonomi. Perluasan sumber pertumbuhan terus dilakukan untuk mewujudkan pertumbuhan yang berkesinambungan, kokoh, dan berkualitas. Selama lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi nasional ditopang sektor konsumsi dan investasi. Melalui kebijakan dalam UU Perdagangan, sektor perdagangan terus didorong menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi bersama-sama dengan konsumsi dan investasi. Restrukturisasi dan diversifikasi sumber pertumbuhan tentunya akan berdampak positif bagi pengelolaan perekonomian nasional. Ancaman potensi risiko ekonomi global akan lebih mudah ditangani dengan beberapa mesin pertumbuhan dibandingkan hanya mengandalkan satu sektor. Sejak pertengahan 2012, kinerja neraca perdagangan Indonesia relatif melambat akibat pelemahan permintaan yang mengganggu kinerja ekspor. Begitu pula sepanjang 2013, kondisi perdagangan dunia masih tertekan dan menjadikan permintaan negara-negara maju seperti Amerika dan Zona Eropa melemah. Kondisi ini tentunya memberi sentimen negatif bagi kinerja perdagangan nasional. Kendati demikian, di akhir 2013, neraca perdagangan dalam tiga bulan berturut- turut (OktoberNovember Desember 2013) mulai menunjukkan kinerja menggembirakan. Neraca perdagangan Oktober, November, Desember 2013 secara berturut-turut surplus USD42 juta, USD776,8 juta, dan USD1,52 miliar. Bahkan surplus neraca perdagangan di Desember 2013 tercatat yang tertinggi sejak 2011. Surplus ini tentunya akan memberi dampak positif terhadap neraca transaksi berjalan dan neraca pembayaran. Surplus neraca perdagangan Desember 2013 juga telah mendorong peningkatan cadangan devisa dan penguatan nilai tukar rupiah hingga akhir Januari 2014. Cadangan devisa hingga akhir Januari 2014 sebesar USD100,7 miliar atau setara 56 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Pengesahan RUU Perdagangan Indonesia oleh DPR pada 11 Februari 2014 merupakan sejarah baru di sektor perdagangan nasional. UU Perdagangan ini merupakan satu-satunya dan pertama kali diundangkan setelah selama 80 tahun ini menggunakan aturan Bedrijfsreglementerings Ordonnatie (BRO) tahun 1934.

Dengan disahkannya UU Perdagangan, ketentuan perdagangan dalam Bedrijfdreglementerings Ordonnantie 1934 serta UU lain seperti UU tentang Barang, UU Perdagangan Barang-barang dalam Pengawasan, dan UU Pergudangan sudah tidak berlaku lagi. Sementara regulasi lainnya (yang lebih rendah dari UU) akan dilakukan penyesuaianpenyesuaian mengikuti amanat dalam UU Perdagangan. Pengesahan UU perdagangan ini didasari keinginan untuk mendorong daya saing sektor perdagangan Indonesia, khususnya di tengah integrasi ekonomi dunia yang sarat dengan ketidakpastian. Pada sisi yang lebih strategis, UU Perdagangan ini merupakan representasi dari komitmen besar pemerintah dan DPR untuk menjaga sektor perdagangan nasional agar dapat memberikan daya dorong dan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Atau merupakan salah satu pilar strategis bagi kesinambungan kinerja ekonomi dan kedaulatan ekonomi nasional. UU Perdagangan ini merupakan manifestasi dari keinginan untuk memajukan sektor perdagangan yang dituangkan dalam kebijakan perdagangan dengan mengedepankan kepentingan nasional. Hal ini jelas tertuang dalam Pasal 2 (a) yang berbunyi: Kebijakan perdagangan disusun berdasarkan asas kepentingan nasional. Artinya secara eksplisit kebijakan perdagangan nasional semata-mata ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional. Kepentingan tersebut meliputi mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong daya saing perdagangan, melindungi produksi dalam negeri, memperluas pasar tenaga kerja, perlindungan konsumen, menjamin kelancaran/ketersediaan barang dan jasa, penguatan UMKM, dan sebagainya. UU yang terdiri atas 19 bab dan 122 pasal ini memuat fungsi kebijakan, pengaturan, dan pengendalian di sektor perdagangan yang diharapkan dapat memacu kinerja sektor perdagangan nasional. Kepentingan nasional dalam UU Perdagangan ini khususnya meliputi: stabilisasi harga barang/barang kebutuhan pokok, melindungi produk dalam negeri, penguatan daya saing produk domestik, pengendalian impor serta peningkatan ekspor barang bernilai tambah tinggi. Dengan UU Perdagangan ini, pemerintah diberi mandat untuk melakukan intervensi pengamanan pasokan dalam negeri, termasuk di dalamnya keterjangkauan atau stabilisasi harga. Di samping itu, UU Perdagangan memberi ruang luas bagi upaya peningkatan produksi dan daya saing hasil produksi dalam negeri melalui berbagai fasilitas sarana perdagangan. Mandat UU Perdagangan kepada pemerintah untuk mengendalikan kegiatan perdagangan dalam negeri tertuang dalam Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi: Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan Dalam Negeri melalui kebijakan dan pengendalian. Kebijakan dan pengendalian ini meliputi peningkatan efisiensi dan efektivitas distribusi; peningkatan iklim usaha dan kepastian berusaha; pengintegrasian dan perluasan pasar dalam negeri; peningkatan akses pasar bagi produk dalam negeri; dan pelindungan konsumen (Pasal 5 ayat 2).

Secara spesifik UU ini berkomitmen meningkatkan penggunaan produk dalam negeri seperti tertuang dalam Pasal 22 ayat 1 yang berbunyi: Dalam rangka pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan Perdagangan Dalam Negeri, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau pemangku kepentingan lainnya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengupayakan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri. Untuk mendorong peningkatan penggunaan produk dalam negeri, pemerintah dimandatkan melakukan keberpihakan melalui promosi, sosialisasi, atau pemasaran dan menerapkan kewajiban menggunakan produk dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 22 ayat 2). Sementara terkait dengan upaya stabilisasi harga melalui pengendalian pasokan barangbarang pokok atau barang penting lainnya diatur pada Pasal 2534. Dengan UU Perdagangan, pemerintah diberi kewenangan untuk melakukan pengendalian pasokan, stabilisasi harga dan produksi barang-barang kebutuhan pokok atau barang penting lainnya. Hal ini tertuang dalam Pasal 25 ayat 1 yang berbunyi: Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau. UU ini juga mewajibkan pemerintah untuk menjamin ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga baik untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen sekaligus melindungi pendapatan produsen (Pasal 25 ayat 2 dan 3). Pada kondisi tertentu yang dipandang berpotensi membahayakan perdagangan dalam negeri, pemerintah diberi kewenangan oleh UU ini untuk memberlakukan larangan atau pembatasan perdagangan barang/jasa untuk kepentingan nasional (Pasal 35 ayat 1). Pembatasan ini dilakukan dengan pertimbangan; melindungi kedaulatan ekonomi; melindungi keamanan negara; melindungi moral dan budaya masyarakat; melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup; melindungi penggunaan sumber daya alam yang berlebihan untuk produksi dan konsumsi; melindungi neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan; melaksanakan peraturan perundang-undangan; dan/atau pertimbangan tertentu sesuai dengan tugas Pemerintah (Pasal 35 ayat 2). Penekanan peningkatan penggunaan dan perlindungan produk dalam negeri merupakan manifestasi dari komitmen mengedepankan kepentingan nasional. Pemerintah percaya, memberikan perlindungan dan penguatan bagi produk dan produksi dalam negeri merupakan upaya untuk mewujudkan ketahanan ekonomi secara luas dan mendorong daya saing nasional. Kita yakin dan optimistis kelahiran UU Perdagangan menjadi momentum yang bersejarah dalam perekonomian nasional baik terkait dengan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang seluas-luasnya maupun mendorong kemajuan ekonomi bangsa. UU

Perdagangan sekaligus mengonfirmasi arah dan orientasi kebijakan perdagangan Indonesia di tengah volatilitas permintaan dunia. Pemerintah bersama DPR meyakini potensi perdagangan nasional merupakan salah satu keunggulan ekonomi Indonesia dibandingkan ekonomi negara berkembanglainnya. Namun hal ini membutuhkan pengungkilan yang optimal (leveraging) dan ini ditempuh dengan disahkannya RUU Perdagangan ini menjadi UU sebagai alat pengungkil potensi perdagangan nasional. Seiring pengesahan RUU ini, pemerintah dalam waktu dekat ini akan menjabarkan amanat UU ini sebagai pedoman teknis pelaksanaan dalam bentuk 9 peraturan pemerintah, 14 peraturan presiden, dan 20 peraturan menteri.

Tokoh-Tokoh Tanpa Sejarah

Tokoh-tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang gigih, patriotik, dan berani mengambil risiko politik yang keras sekali di zaman Orde Baru dahulu semua punya sejarah yang jelas. Mereka mantan aktivis, mantan ketua senat, atau ketua dewan mahasiswa, dan sejumlah mahasiswa pemikir, bukan orang gerakan, bukan aktivis kampus, yang memahami betul kekejaman rezim militer itu. Tak mengherankan, sejak awal pengembangan karier, mereka tidak mau menjadi pegawai negeri demi mencari kebebasan artikulasi wawasan, sikap, dan tindakan politik mereka seharihari. Sesudah bukan lagi mahasiswa, mereka siap melawan tirani pemerintah dengan sikap lebih dewasa, lebih matang, lebih konsepsional. Tekanan yang mereka derita di kampus yang tak memberi kebebasan mimbar akademik di bawah menteri yang menerapkan strategi membungkam mahasiswa dengan kekejaman melebihi militer membuat mereka merasa alergi, bahkan muak mendengar kata Orde Baru, dwifungsi, massa mengambang, pemerintah, dan nama-nama menteri yang tingkah lakunya seperti menteri di negara jajahan di zaman ketika kita dijajah Belanda. Wartawan, tokoh dunia pers, tokoh demokrasi, tokoh agama, kaum intelektual yang juga terjun sebagai aktivis, semua punya sejarah. Masing-masing mengerti bahwa melawan Orde Baru berisiko besar. Seminar-seminar, rapat, pertemuan, menyusun rencana demo, bahkan khotbah Jumat, dan khotbah-khotbah hari raya yang dua kali setahun itu, semua di bawah kendali intel militer. Apa yang bakal dikhotbahkan harus diserahkan secara tertulis kepada aparat militer setempat. Seniman, terutama Rendra, diawasi ketat. Pementasan drama harus izin kepada polisi yang seumur hidup tak mengerti seni drama. Tapi, naskah harus diserahkan, untuk diuji oleh orang yang tak tahu-menahu urusan seni tadi. Seniman, terutama Rendra, berani melawan. Semua tokoh itu dicari-cari, adakah mereka punya hubungan dengan PKI. Saking kurang kerjaan, orang juga ditelusur, adakah hubungannya dengan Masjumi, atau PSI. Kalau seseorang kedapatan memiliki indikasi seperti itu, hidupnya jelas sukar, dan dibikin sukar oleh pemerintah. Dunia intelijen memiliki informasi mengenai semua tokoh, siapa saja, tanpa kecuali. Tokoh radikal, tokoh kompromistis, tokoh moderat, semua dalam daftar. Dengan kata lain, sejarah para tokoh itu ada pada mereka. Tapi, sejarah tiap tokoh, tiap orang, ada juga pada mereka sendiri. Mereka tokoh beneran, pembela kepentingan masyarakat dan bangsa, dan patriotik, yang

mencintai bangsa dan negaranya, tak kalah dibanding cintanya kaum militer yang merasa diri mereka paling pahlawan itu. Sejarah orang gerakan, kaum pemikir, tokoh pers, tokoh demokrasi, dan tokoh kemanusiaan dikenal masyarakat. Mereka didengki pemerintah, tapi dicintai masyarakatnya. Para tokoh dikenal pula secara pribadi, diingat wajah dan namanya baik-baik. *** Demi kejujuran, baik disebutkan di sini bahwa tak semua tokoh seperti dewa. Tak semua tokoh orang yang sungguh agung dan mulia. Mereka semua hanya manusia seperti militer, polisi, calo tanah, menteri, dan presiden. Manusia ya manusia. Kadang baik. Kadang jahat. Kadang lurus. Kadang menyimpang. Tapi, apa yang penting digarisbawahi di sini, tokoh-tokoh tadi jelas asal usulnya, jelas ideologi dan sikap politiknya, jelas latar belakang pendidikannya, dan jelas apa maunya, apa aspirasinya, apa cita-citanya. Dengan begitu, jelas pula pilihan lapangan kerjanya, gaya hidupnya, wawasan rohaniahnya, dan kelompok- kelompok tempat mereka bergabung. Pendeknya, juga jelas sekali aliran tarekatnya. Para tokoh ini rata-rata matang di lapangan. Mereka bijaksana sesudah memetik hikmah dalam pergulatan hidup, dengan segenap kesulitan dan tantangan-tantangannya. Mereka tidak dikader. Mereka bukan bagian dari kekuatan yang dimatang-matangkan, bukan dipaksa matang, dan mereka pun menjadi, dan bukan dijadikan. Ada media yang merasa perlu berbuat baik pada bangsanya, dengan membuat kader bagi kaum muda, dan kegiatan rutin mereka itu disebut suatu forum, sesuai usia para kadernya. Tapi, langkah ini tidak membawa manfaat besar. Tokoh yang mereka kader tidak menjadi orang hebat, dengan sikap dan ideologi politik yang jelas. Mungkin mereka bisa disebut tokoh yang tak jelas: tidak konsisten, menjaga keluhuran nilai. Mereka kelihatannya tokoh yang dijadikan, bukan menjadi, dengan sendirinya. Orang tak mau belajar melihat bahwa Orde Baru itu mengader begitu banyak kelompok pemuda, dengan berbagai variasi kegiatan dan tujuan yang hendak dicapai. Tapi, adakah pengaderan yang mahal dan memanjakan kaum muda itu hasilnya? Mungkin hasilnya hanya watak tidak konsisten, tidak ideologis, dan tak pantas menjadi pemimpin di dalam masyarakat. *** Apakah mereka yang hidup di dalam politik itu bisa disebut tokoh? Mereka tokoh politik/ tokoh seperti apa, dengan kualitas apa? Di kalangan partai, bermunculan orang-orang yang jika diteliti sebenarnya hanya mencari pekerjaan. Apakah mereka juga tokoh? Bagaimana pemikirannya? Apa aspirasi politiknya? Apa jalan perjuangannya untuk membela

kepentingan rakyat dan bangsa? Di dunia politik, orang yang tak punya apa-apa dan tak bisa apa-apa ditampung, diakomodasi, dan dijadikan wakil rakyat. Apa pendidikannya? Pernah sekolah di tingkat apa? Memiliki wawasan dan ideologi politik yang jelas, fokus, dan bisa diwujudkan sebagai perjuangan politik untuk bangsa? Penyanyi dangdut, pemain sinetron pelawak, broker politik, makelar kasus, bisa ditampung di suatu partai politik. Mereka bahkan dijadikan wakil rakyat. Yang bisa berbuat seperti itu bukan hanya partai sembarang partai. Partai yang berideologi agama pun ikut menjaring kader dengan cara murahan seperti itu. Makna agama, ideologi agama, dan perjuangan agama, pendeknya bisa dilupakan. Apa salahnya menjaring kader cantik? Bahwa dia hanya bisa dangdutan, bisa goyangan, itu sudah memukau. Buta politik, buta ideologi agama, buta strategi kampanye dan pendidikan politik bagi bangsa tak menjadi soal karena kompetensi ketua partainya memang tak terlalu jauh dibanding si goyang itu. Jadi cocoklah kalau mereka dikader. Tapi, kita lalu menghadapi masalah berat, sangat berat: tokoh-tokoh kita ini siapa? Mengapa tokoh-tokoh dalam posisi strategis tidak jelas asal usulnya, latar belakang, aspirasi dan cita-cita politiknya? Mengapa tokoh-tokoh kita tak punya kompetensi dan sejarah yang jelas? Mengapa tokoh yang tak jelas sejarahnya dijadikan tokoh dan ditaruh di barisan paling depan dalam urusan politik? Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bukan begini cara mengatur kehidupan politik. Bukan begini cara mengader tokoh politik. Partai politik harus lebih serius, harus lebih punya harga diri. Di luar boleh saja ada orang yang tiba-tiba menjadi penting. Dia penting tanpa sejarah. Dia sukses tanpa sejarah. Persetan kehidupan di sana. Tapi, di partai seharusnya tidak boleh. Di luar sana juga sudah terjadi, orang yang tak jelas latar belakangnya, tak jelas rekam jejaknya, tiba-tiba pasang foto besar, di suatu bagian kota yang penting dan ramai, mengindikasikan ingin jadi presiden. Silakan saja. Orang boleh omong kosong. Orang boleh bersikap palsu. Tapi, partai politik seharusnya tak bisa membiarkan itu. Orang boleh tiba-tiba menjadi tokoh paling berpengaruh, di kalangan seratus orang. Boleh pula menjadi terbaik di dunia, tanpa mengerjakan apa-apa. Silakan menipu orang lain. Silakan menipu diri. Tapi, partai jangan menjadi kancah penipuan macam itu. Banyak orang tak jelas di masyarakat kita. Ada yang disebut tokoh paling inspiratif, ada yang disebut seniman paling berpengaruh. Inspiratif dalam hal apa, berpengaruh terhadap apa, dan siapa. Kita punya banyak tokoh tanpa sejarah. Kita banyak punya tokoh dalam omong kosong yang tak jelas. Kita pura-pura tidur melihat mereka.

MOHAMAD SOBARY Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com

Mahkamah tanpa (mau) pengawasan


Koran SINDO
Senin, 17 Februari 2014

DALAM kaidah ilmu hukum sulit untuk menolak bahwa sejarah pemikiran dan perspektif hukum telah melahirkan begitu banyak pola dan corak pemikiran hukum, bahkan yang diametral sekalipun tersedia di hadapan para pemikir hukum. Maka itu, para pemikir hukum, termasuk para hakim seringkali mengalami dilema ketika akan berpendapat pada kondisi tertentu. Karena itu, seringkali pilihan berdiri di satu posisi hukum punya keterkaitan dengan cara pemihakan dan positioning atas konteks sesungguhnya dari suatu aturan. Itulah yang ada ketika lahir UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK menjadi undang-undang. Berawal dari perppu yang beriktikad untuk menyelamatkan MK, dibuatlah setidaknya tiga terobosan aturan dalam rangka membuat MK secepatnya dapat memulihkan wibawa dan marwahnya. Pertama, penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi. Perppu yang kemudian menjadi UU ini mengandung ketentuan tentang syarat/ pembatasan tujuh tahun tidak aktif sebagai anggota parpol bagi calon hakim konstitusi. Kedua, UU ini juga coba memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Ada kewajiban untuk keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli untuk menyeleksi calon hakim konstitusi yang diajukan oleh tiga lembaga negara; pemerintah (presiden), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif). Ketiga, ada upaya untuk mengatur perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Perppu mengatur pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang sifatnya permanen. Artinya, walau harus diakui bahwa ketika perppu dibuat ada problem ketika penginisiasiannya yang dalam hal tertentu masih mendapatkan perdebatan kegentingan yang memaksanya, pesan dari perppu ini jelas yakni MK harus segera dipulihkan dari kemungkinan buruk akibat mekanisme pengisian jabatan yang terlalu terbuka untuk intervensi dan benturan kepentingan akibat kandidatnya orang yang juga berasal dari partai politik. Kemudian ada upaya untuk juga melakukan pengawasan yang sangat wajar bagi MK yang merupakan hakim tertinggi dalam penafsir konstitusi. Namun, pesan ini tidak mendapatkan porsi berarti di mata hakim MK. Menarik untuk melihat Putusan MK No 1-2/PUUXII/ 2014 perihal Pengujian UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 yang mengubah beberapa ketentuan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (bisa disebut UU Penyelamatan MK). MK membangun

basis argumentasinya dengan beberapa cara. Pertama, memberikan porsi kepada KY untuk terlibat dalam pengajuan hakim MK adalah reduksionis dari kewenangan presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Kedua, melibatkan KY dalam pengawasan MK adalah keliru karena MK secara original intent tidak dimaksudkan untuk diawasi oleh KY. Ketiga, soal larangan partai ke MK adalah hasil dari stigma atas kasus Akil Mochtar dan tidak tepat untuk mengatakan partai identik dengan korupsi. Keempat, perppu itu sebelum menjadi UU dibuat secara tidak benar karena melanggar hal utama soal kegentingan yang memaksa. Kelima, MK seharusnya bisa menilai UU-nya sendiri karena sangat mustahil membiarkan MK dengan mudah diintervensi oleh DPR dan pemerintah. Dari lima cara pandang MK, harus diakui, cara pandang yang terakhir soal bisa menguji UU MK tentu saja masih dapat diterima. Memang, fenomena MK adalah menarik. Dia lembaga yang terikat pada UUD dan karena itu dapat melakukan uji atas UU apa pun, termasuk atas dirinya. Apalagi, dalam ranah politik sulit untuk menegasikan kemungkinan ada intervensi yang dilakukan presiden dan DPR melalui UU. Namun, empat sisanya terasa aneh. Keanehannya terasa karena MK membuat beberapa pendapat hukum yang kelihatannya hanya menjadi teori pembenar atas keinginan MK untuk tidak diawasi. Ini yang membuat mudah untuk mencurigai, jangan-jangan putusan dibuat hanya oleh basis motif kepentingan. Pertama, tentang memberikan porsi kepada KY untuk terlibat dalam pengajuan hakim MK adalah reduksionis dari kewenangan presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Sesungguhnya tidak ada yang salah dari pelibatan KY dalam proses yang lebih baik. Akhirnya tiga cabang kekuasaan itulah yang akan menjadi penentu utama siapa yang akan didorong menjadi kandidat hakim MK. Kalau menggunakan perumpamaan lain selain yang dituliskan MK, sebenarnya tawaran ini bisa menarik. Misalnya saja soal kandidat presiden yang dari partai atau gabungan partai. Jika kemudian UU membuat mekanisme bahwa dalam prosesnya menggunakan mekanisme yang lebih transparan ke publik, tentu bukan hal yang tabu. Apakah ketika UU mengatakan bahwa dalam pencalonan presiden partai wajib menggunakan mekanisme yang transparan adalah hal yang melanggar konstitusi? Perdebatan tentu bisa menjadi panjang. Tetapi, terlihat benar bahwa MK sedang mencoba menghindari diri dari keterbukaan proses seleksi hakim MK. Kedua, melibatkan KY dalam pengawasan MK adalah keliru karena MK secara original intent tidak dimaksudkan untuk diawasi KY. Tentu saja MK bahkan boleh mengutip putusan lama yang menegasikan MK diawasi KY. Tetapi, apakah para hakim MK adalah orang yang hidup di antara teks konstitusi mati? Dari berbagai pidato yang sering dibicarakan MK, mereka percaya akan living constitution. Konstitusi yang hidup sesuai makna zaman. Jika zaman menghendaki, seharusnya dapat

diubah cara pandang menuju ke arah yang lebih diinginkan tersebut. MK tentu saja tidak bisa mengatakan bahwa itu keliru. Karena jika hanya bersandar pada teks mati konstitusi atau suasana kebatinan ketika dibentuk, sesungguhnya tidak diperlukan lembaga setingkat MK dengan hakim negarawan bila hanya untuk mengutip apa yang terjadi ketika UUD dibentuk. Hakim MK adalah orang yang dipilih sebagai negarawan mengikuti perkembangan zaman dan menafsirkan konstitusi ke arah zaman tersebut. Itulah makna yang disebut dengan living constitution. Mengapa hakim melupakan ini? Ketiga, soal larangan partai ke MK adalah hasil dari stigma atas kasus Akil Mochtar dan tidak tepat untuk mengatakan partai identik dengan korupsi. Pandangan ini aneh. Terlalu naif jika menyamakan partai dekat dengan korupsi. Hal yang paling esensial dari melarang partai masuk ke dalam MK adalah keinginan untuk melakukan sterilisasi MK dari kemungkinan konflik kepentingan. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka menjaga marwah dan wibawa MK dengan meniadakan kemungkinan serangan orang perihal konflik kepentingan yang dialami hakim konstitusi karena berasal dari partai tertentu. Benturan kepentingan adalah kemungkinan terganggunya keprofesionalan seseorang karena sesuatu hal. Maka itu, sifatnya menjadi preventif. Sedari awal harus dilarang orang yang memiliki kemungkinan konflik kepentingan untuk menjadi bagian dari pengambil kebijakan. Hal yang sebenarnya tidak aneh karena MK pernah membangun logikanya secara sangat menarik di Putusan MK No 81/PUU-IX/2011. MK memberikan makna atas pasal tentang frasa mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon dengan menafsirkan bahwa harus dimaknai sebagai mengundurkan diri sekurang-kurangnya lima tahun dari keanggotaan partai saat mendaftar menjadi anggota KPU, Bawaslu, maupun DKPP. Di sini MK terlihat membangun basis argumentasi dalam konsep menghindari benturan kepentingan. Dalam penalaran bahwa pemain tidaklah boleh menjadi wasit. Seorang pemain, haruslah pensiun sekurang-kurangnya lima tahun sebelum menjadi wasit. Nalar ini tiba-tiba alpa dari MK di Putusan soal UU yang menetapkan perppu soal penyelamatan MK. Beberapa hakim yang menjadi hakim ketika memutus parpol tidak boleh memasuki penyelenggaraan pemilu tentu saja sedang menjilat ludah sendiri ketika mengatakan bahwa MK yang akan menyidangkan sengketa hasil pemilu dapat dimasuki partai politik. Keempat, perppu itu sebelum menjadi UU dibuat secara tidak benar karena melanggar hal utama soal kegentingan yang memaksa. Ada perdebatan besar soal MK yang punya garis demarkasi untuk tabu membicarakan bagian tertentu dari UU ini. Ada problem hukum ketika presiden mengeluarkan perppu khususnya perihal alasan kegentingan yang memaksa memang menjadi hal yang diperdebatkan.

Tetapi, MK sesungguhnya tidak bisa melupakan bahwa yang dia uji bukan lagi dalam bentuk perppu, melainkan telah dalam bentuk UU. Dalam konstitusi menggariskan bahwa subjektivitas presiden sesungguhnya telah diobjektivikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk persetujuan DPR sehingga berujung pada penetapan perppu menjadi UU. Apa pun catatan atas putusan MK ini, kembali ke hal dasar yang disebutkan di atas. Dalil untuk membenarkan sebenarnya mudah untuk dicari. Dalil yang menyalahkan juga mudah untuk ditemukan. Kembali berpulang ke hakim MK dengan cara pandangnya atas konteks sesungguhnya ketika UU itu dilahirkan. Hal yang jelas adalah dengan kekeuh menyatakan MK jangan diawasi, publik akan mudah menilai. MK hanya pandai menyuruh orang lain diawasi dan dibuatkan mekanisme pengawasan dan prevensi, tetapi tidak untuk MK. Dengan begitu, MK tidak boleh marah ketika orang akan mengatakan, MK memang tak mau diperbaiki dan diawasi.

ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta

Mewaspadai tantangan ekonomi menjelang pemilu


Koran SINDO
Selasa, 18 Februari 2014

TAHUN 2014 merupakan tahun politik, di mana sepanjang 2014 ini hampir seluruh elemen sibuk menyongsong pemilihan umum, baik legislatif dan pemilihan presiden. Lebih menarik lagi, tahun ini akan muncul presiden baru menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang habis masa jabatannya. Hiruk politik sebenarnya sudah terjadi tahun 2013 lalu, bahkan Presiden SBY pun sempat mengeluh akan kinerja kabinetnya yang kurang fokus terhadap pekerjaannya dan lebih penting memprioritaskan partainya. Gejala ini sebenarnya juga bukan hal yang baru, karena secara manusiawi para menteri yang duduk sebagai pengurus partai lebih condong mengurus partai karena bisa jadi menteri karena mengurus partai dan bukan menyangkut kapabilitas seseorang. Pertanyaannya mendasar, bagaimana prospek ekonomi dan dunia usaha di tahun politik ini? Pengalaman selama tiga kali pemilu dalam kondisi yang aman, tidak terjadi bentrokan horizontal, karena asas yang diperjuangkan pun relatif sama dan hanya berbeda warna bendera semata. Pendek kata sebelum dan sesudah pemilu, kondisi tetap aman. Lebih menarik lagi, pilar kebijakan ekonomi dikendalikan oleh para profesional. Tahun 1999, 2004, dan 2009, pos-pos ekonomi, seperti menteri keuangan (menkeu), gubernur BI, dan menteri koordinator (menko) perekonomian dipegang oleh profesional. Hanya memang tahun 2009, posisi menko dipegang oleh Hatta Rajasa sebagai orang partai. Namun intinya dari perjalanan politik kondisi ekonomi relatif minim campur tangan partai. Hanya memang menjelang akhir pemerintahan SBY banyak kritikan yang muncul mengenai fokus dari kebijakan banyak bersifat politis, salah satunya adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kondisi politik menjelang pemilu atau setelah pemilu di Indonesia tentu berbeda dengan negara-negara lain, seperti Mesir, Suriah, Turki, Thailand, Kamboja, bahkan Malaysia pun, Anwar Ibrahim, tokoh oposisi masih meributkan hasil pemilu. Pengalaman selama tiga kali pemilu justru memberi berkah bagi peningkatan belanja masyarakat. Kecenderungan makin nyata melemahkan keterkaitan antara ekonomi dan politik (decoupling). Masa paling erratic adalah masa transisi pemerintahan Habibie dan Gus Dur. Namun sejak masa pemerintahan Megawati membaik hingga sekarang. Bahkan, pelaku asing pun tenang menghadapi gejolak yang terjadi. Salah satu contoh terakhir adalah ketika pemerintah menerbitkan global bond (Januari 2014) yang membeli 80 persen adalah investor

asing (AS) dengan tenor jangka panjang. Investor asing yang membeli obligasi negara dalam jangka panjang menunjukkan akan prospek Indonesia masih tetap menarik. Tidak mungkin investor asing membeli obligasi tanpa memperhitungkan prospek ekonomi jangka panjang kendati harus diakui juga yield yang ditawarkan cukup tinggi. Ada beberapa hal memang yang perlu diperhatikan lebih serius. Bukan karena dampak pemilu, tapi lebih banyak karena faktor global dan penyakit struktural ekonomi dalam negeri. Penyakit defisit neraca pembayaran yang ngeri-ngeri sedap. Sementara impor sulit dibendung karena masalah kebutuhan masyarakat yang sulit dikendalikan pula. Gaya hidup hedonis dan kebutuhan akan BBM bersubsidi juga sulit dikendalikan. Itu artinya, impor BBM yang merupakan bagian terbesar menjadi hal yang membuat pesimistis. Jika sisi fiskal sulit dibenahi dalam jangka pendek, BI harus mengambil langkah untuk meredam situasi agar tidak memburuk dengan menaikkan suku bunga. Bahkan, kebijakan yang tidak populer ini diambil sambil mengingatkan, kalau tidak dilakukan maka akan semakin parah di masa yang akan datang. Apalagi jika BI menaikkan suku bunga dengan penuh nafsu atau terlalu tinggi. Pengalaman masa lalu, kenaikan BI Rate ini bukan tanpa risiko. kebijakan suku bunga tinggi pernah dilakukan, terutama ketika menghadapi krisis tahun 1998-1999 lalu. Berdasarkan resep IMF, Bank Indonesia menaikkan suku bunga hingga mencapai 36% dan pasar uang bisa mencapai 70%. Suku bunga kredit juga terbang tinggi. Akibatnya, non-performing loan (NPL) meningkat dan cost of fund juga melayang sehingga terjadi negative spread yang memukul bank. Jadi, tantangan ekonomi ke depan, khususnya di tahun pemilu ini lebih banyak karena faktor struktur ekonomi dalam negeri dan tekanan pasar global. Tantangan-tantangan itu antara lain pengendalian inflasi, suku bunga yang liar, dan nilai tukar yang naik-turun lebih sering. Itu kondisi yang perlu diwaspadai dalam masa Pemilu 2014 ini. Sementara dunia usaha masih akan dihadapkan pada masalah kepastian pasar global, karena pasar global yang membaik akan menentukan kepastian produksi. Harga komoditas yang masih belum beranjak akan memperpanjang kegelisahan dunia usaha. Namun, nilai tukar rupiah yang melemah tetap akan memberi optimisme dalam ekspor. Pemilu akan memberi berkah bagi peningkatan belanja swasta dan negara dan pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi masyarakat. Namun, memang gerakan buruh yang menuntut akan membuat perubahan lokasi pabrik ke daerah-daerah yang relatif adem-ayem dari gerakan buruh dan demo buruh seperti ke arah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Untuk itu, dalam kaitan pemilu dengan pemimpin baru yang perlu direnungkan adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Pengalaman, selama ini pertumbuhan yang ada, lebih banyak menimbulkan kesenjangan dari pada menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan yang rawan akan guncangan. Pemilu 2014 tetap akan memberi peluang yang besar bagi ekonomi Indonesia. Faktor pentingnya masih pada pemulihan ekonomi global dan kemampuan memperbaiki defisit neraca pembayaran dengan mengurangi subsidi BBM, sehingga kesehatan fiskal lebih baik. Dengan itu, Indonesia bisa mengurangi pengangguran, menekan kemiskinan dan ketimpangan, sehingga Indonesia tidak masuk pada jebakan negara yang masuk kelas menengah.

SERIAN WIJATNO Aktif di Yayasan Podomoro University, Profesional Keuangan dan Pendidikan, Mantan CEO Adira dan Ketua Yayasan Tarumanagara, Alumni Magister Manajemen UI, Serta Mahasiswa Program Doktoral

Menjaga pengawal konstitusi


Koran SINDO
Selasa, 18 Februari 2014

PADA 13 Februari 2014 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan penting, yaitu putusan pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003. Putusan itu penting karena terkait dengan isu utama kehidupan bernegara, yaitu tatanan kelembagaan negara. Wajar saja jika putusan itu mendapat perhatian publik dan melahirkan opini pro dan kontra. Putusan pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014, yang pada pokoknya membatalkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013, adalah babak akhir rangkaian peristiwa hukum dan politik yang dialami oleh MK setelah mantan Ketua MK (AM) ditangkap KPK. Presiden mengeluarkan perppu dengan alasan utama untuk mengembalikan marwah MK. Opini publik terbelah antara pro dan kontra, bahkan sudah ada pihak yang mengajukan permohonan pengujian ke MK. DPR menyetujui perppu menjadi UU melalui voting, dan akhirnya MK memutus membatalkan perppu itu. Pertimbangan hukum putusan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 mengatur tiga substansi utama. Pertama, perubahan pengaturan seleksi calon hakim konstitusi dengan menambahkan mekanisme seleksi oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial (KY). Kedua, penambahan persyaratan calon hakim konstitusi, tidak menjadi anggota partai politik sekurang-kurangnya tujuh tahun terakhir. Ketiga, pengaturan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) dengan melibatkan peran KY. Amar Putusan MK Nomor 1- 2/PUU-XII/2014 menyatakan keseluruhan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini dilandasi pertimbangan hukum, baik secara materiil maupun secara formil. Dari sisi materiil, terdapat tiga argumentasi pokok yang dimuat dalam pertimbangan hukum. Pertama, mekanisme seleksi hakim konstitusi melalui Panel Ahli yang dibentuk KY telah mengambil alih wewenang DPR, Presiden, dan MA yang ditentukan konstitusi sebagai lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi. Kedua, keterlibatan KY dalam pembentukan MKHK akan mengganggu independensi MK sebagai lembaga peradilan. MK menegaskan kembali kedudukan KY yang telah dimuat dalam putusan sebelumnya, yaitu lingkup kewenangan KY adalah terkait dengan hakim di lingkungan MA serta sifat kewenangannya adalah untuk menjaga martabat dan kehormatan hakim, bukan sebagai

pengawas lembaga peradilan. Ketiga, persyaratan calon hakim konstitusi selama tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik dinyatakan bersifat diskriminatif dan hanya berlandaskan stigma yang bertentangan dengan hukum dan keadilan. Dari sisi formal, putusan ini adalah tonggak hukum baru (land mark decision) karena memberikan penilaian atas terpenuhinya kondisi hal ihwal kegentingan memaksa sebagai syarat pembentukan Perppu. Penilaian kegentingan yang memaksa memang merupakan kewenangan subjektif presiden, namun harus ada dasar objektifnya dan tidak bolehdisalahgunakan. Karena itu, selain harus disetujui oleh DPR dalam masa persidangan selanjutnya, juga dapat dinilai oleh MK. Pro-kontra Tidak ada putusan yang dapat memuaskan semua pihak. Apalagi terhadap putusan yang mempengaruhi sistem hukum dan ketatanegaraan terkait dengan lembaga-lembaga negara utama di republik ini. Karena itu, putusan-putusan penting pasti melahirkan pro dan kontra seperti halnya putusan Marbury vs Madison(1803) yang menandai lahirnya kewenangan judicial review. Pro-kontra tidak hanya wajar, bahkan diperlukan demi pengembangan khasanah pemikiran hukum dan kenegaraan. Setiap putusan yang dijatuhkan lembaga peradilan adalah milik publik yang terbuka untuk dikaji dan dikritisi. Namun, pengkajian hendaknya didorong untuk dilakukan secara akademis melalui eksaminasi oleh perguruan tinggi sehingga bermanfaat bagi perkembangan keilmuan dan berguna bagi semua lembaga dan penyelenggara negara. Dengan demikian, pro dan kontra tidak diwarnai oleh pendapat pengamat tertentu yang sejak awal telah berpihak pada satu posisi. Pendapat kontra juga tidak pada tempatnya disampaikan oleh suatu lembaga negara ataupun pejabat lembaga negara. Seorang pejabat lembaga negara tidak mungkin melepaskan status jabatannya. Ini adalah persoalan etika bernegara, apalagi terkait dengan putusan pelaku kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh konstitusi. Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti bebas dari intervensi cabang kekuasaan lain. Seluas dan sepanjang apapun pro-kontra yang mengiringi putusan lembaga peradilan, harus dikembalikan pada kepatuhan terhadap putusan itu sendiri. Meminjam istilah Niklas Luhmann-sosiolog terkemuka dari Jerman-, inilah sikap dasar berhukum yang menjadi ciri masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional (functionally differentiated societies). Ketentuan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi telah menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Pada akhirnya pro-kontra harus disudahi dan mengalihkan energi pada upaya menjalankan putusan MK. Menjalankan putusan MK Dengan pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014, ketentuan tentang seleksi calon hakim

konstitusi, persyaratan calon hakim konstitusi, dan pembentukan MKHK kembali merujuk kepada UU Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 dan telah berubah dengan beberapa putusan MK. Pelaksana putusan ini adalah semua lembaga negara, terutama yang memiliki kewenangan mengajukan hakim konstitusi, yaitu DPR, Presiden, dan MA, serta MK sendiri terkait dengan pembentukan MKHK. Putusan ini harus segera dijalankan, mengingat saat ini MK hanya memiliki delapan hakim konstitusi pascapemberhentian AM, serta dalam waktu dekat ini akan ada satu hakim konstitusi yang akan memasuki masa purnabakti. Padahal, MK akan dihadapkan pada tugas konstitusional memutus perkara perselisihan hasil Pemilu legislatif awal Mei mendatang. Seleksi calon hakim konstitusi dapat lebih cepat dilakukan karena menjadi urusan internal lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi tanpa harus membentuk panel ahli yang melibatkan empat lembaga negara, tentunya dengan tetap melibatkan partisipasi masyarakat secara transparan. Seleksi juga akan semakin mudah menyaring banyak calon hakim konstitusi dengan tidak adanya persyaratan tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik. Tentu saja yang harus dikedepankan dalam proses seleksi calon hakim konstitusi adalah menemukan sosok hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang memahami konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Pembatalan UU Nomor 4 Tahun 2014 juga membawa akibat hukum berlakunya kembali ketentuan tentang MKHK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 dan telah berubah dengan beberapa putusan MK. Dengan demikian, MKHK sebagaimana diatur dengan Peraturan MK (PMK) Nomor 1 Tahun 2013 yang merupakan pelaksanaan dari putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, dan kemudian dilengkapi dengan keberadaan Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dengan PMK Nomor 2 Tahun 2013 tetap berlaku. Karena itu, Dewan Etik Hakim Konstitusi dapat segera menjalankan tugas menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim konstitusi.

JANEDJRI M GAFFAR Doktor Ilmu Hukum, Alumni PDIH Universitas Diponegoro, Semarang

Mahkamah penafsir konstitusi


Koran SINDO
Selasa, 18 Februari 2014

MAHKAMAH Konstitusi (MK) adalah satu-satunya lembaga negara yang dinyatakan penafsir konstitusi (UUD 1945). Amar putusan MK dalam uji materi UU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tidak hanya memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahkan, putusan MK bersifat final dan mengikat karena tidak ada upaya hukum lagi untuk melawannya. Begitulah posisi dan peran MK sebagai penafsir konstitusi yang menghapus UU Nomor 4/2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK. UU ini biasa disebut sebagai UU Penyelamatan MK, tetapi hakim konstitusi terkesan menganggap ancaman karena bertentangan dengan konstitusi. Putusan uji materi (judicial review) Nomor: 1-2/PUU-XII/ 2014 dibacakan Kamis (13/2/ 2014) dan secara otomatis membatalkan UU Penyelamatan MK (UU Nomor 4/2014). Dalam amar putusan menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya bahwa: Pertama, UU Nomor 4/2014 beserta seluruh lampirannya bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, UU Nomor 4/2014 beserta seluruh lampirannya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketiga, UU Nomor 24/2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8/2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24/2003 tentang MK (UU-MK), berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh Perppu Nomor 1/2013 yang kemudian menjadi UU Nomor 4/2014. Tiga substansi Perppu yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kemudian disetujui DPR menjadi UU Nomor 4/2014, ternyata sia-sia saja. Uji materi yang diajukan oleh Forum Pengacara Konstitusi dan sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, telah membalikkan pemikiran selama ini bahwa kisruh di MK setelah kasus Akil Mochtar tidak ada pengaruhnya. Padahal, Perppu MK diterbitkan untuk menyikapi penangkapan Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 1 Oktober 2013. Ada tiga substansi yang diatur dalam PerppuMK yang disetujui menjadi UU Nomor 4/2014. Pertama, hakim konstitusi harus tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. Kedua, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi disempurnakan untuk memperkuat prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas seperti dimaksud dalam Pasal 19 UU-MK.

Ketiga, perbaikan sistem pengawasan yang lebih efektif dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi. Alasan penolakan Perppu oleh Presiden mengacu pada putusan MK Nomor: 138/PUUVII/ 2009 tanggal 8 Februari 2010, yang menetapkan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa dalam mengeluarkan perppu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Tiga substansi inilah yang menurut MK kegentingan yang memaksa merupakan kewenangan presiden untuk menafsirkannya secara subjektif, tetapi subjektivitas itu harus ada dasar objektivitasnya. Pembatasan tersebut harus diisyaratkan oleh konstitusi. Jadi pertanyaannya, bukankah DPR telah menilai syarat objektivitasnya? Tetapi begitulah kekuatan MK selaku penafsir konstitusi, lembaga negara lain dan masyarakat harus tunduk pada penafsiran MK. Pengawasan hakim Banyak pengamat dan berbagai kalangan dalam masyarakat yang menuding MK hanya menguntungkan diri MK sendiri. Semua permohonan pemohon dikabulkan, tetapi yang menuai keuntungan justru hakim konstitusi karena tidak ada satu lembaga pun yang boleh mengawasi perilakunya dalam memeriksa dan membuat putusan. Memang dalam putusan disebutkan bahwa setiap hakim, termasuk hakim konstitusi, tidak terbebas atau kebal dari sanksi etika maupun sanksi hukum. Tetapi realitas berkata lain karena hakim MK mencabut UU Nomor 4/2014 yang sebetulnya menyempurnakan pengawasan hakim dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen. Bukan dibentuk saat ada hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran seperti selama ini. Hakim konstitusi tidak boleh diawasi MKHK versi UU Nomor 4/2014 dengan memanfaatkan uji materi yang diajukan oleh kelompok pengacara yang berpraktik di MK. Rupanya saya harus menjelaskan panjang lagi terhadap mahasiswa atas pengabaian asas oleh hakim konstitusi. Asas tersebut adalah nemo judex in causa sua bahwa hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan kepentingannya sendiri. Kita khawatir kepercayaan publik terhadap MK akan terus melorot, lantaran dirusak oleh sikap yang lebih terkesan

hanya untuk kepentingan diri sendiri. Padahal, para hakim konstitusi itu tidak selamanya menjadi hakim, karena ada masanya berhenti karena periodenya telah selesai atau karena umurnya telah mencukupi. Saya khawatir setelah pensiun dari jabatannya, ada yang mungkin ikut-ikutan menyalahkan kenapa hakim konstitusi tidak ada yang mengawasi secara khusus setelah merasakan kondisi publik yang meneropong MK dari luar. Jika MA dan MK berperan sebagai puncak kekuasaan kehakiman, kenapa hanya MA yang punya mekanisme pengawasan, tetapi MK tidak? Siapa yang secara khusus mengawasi kode etik dan perilaku hakim konstitusi saat memeriksa dan mengadili sengketa hasil pemilihan legislatif dan pemilihan presiden nanti? Nanti ada yang diduga melanggar barulah dibentuk Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagai penjaga dan penegak kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, serta kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Menyimak hasil penelitian Setara pada November 2013 yang mengindikasi MK telah bergeser dari bentuk semestinya, lalu kenapa hakim konstitusi tidak diawasi? Seharusnya MK yang sesuai kewenangan yang dimilikinya menjadi badan yudisial, bukan menjadi badan yang lain. Meski rekrutmen jabatan hakim konstitusi bersumber dari MA, DPR, dan Presiden, tetapi tidak boleh bergeser substansinya sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Sebab syarat hakim konstitusi adalah negarawan sebagai satu-satunya lembaga negara yang memberi syarat seperti itu.

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum dan Pengajar Hukum Acara MK Universitas 45, Makassar

Pemilu responsif bencana


Koran SINDO
Rabu, 19 Februari 2014

GUNUNG Kelud meletus dahsyat dini hari 14 Februari 2014, menyemburkan asap dan material vulkanik setinggi 3.000 meter. Puluhan ribu warga di Kediri dan Blitar pada radius 10 kilometer diungsikan (KORAN SINDO, 14/02/2014). Kita bersimpati atas apa yang menimpa saudara kita di area terdampak dan mengharapkan penanganan sigap dari pemerintah maupun elemen terkait agar tidak berakibat korban ataupun kerugian kemanusiaan yang jauh lebih besar. Peristiwa alam ini terjadi 55 hari jelang penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, untuk memilih calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebagai situasi force majeure tentu tak ada yang menghendaki dan memprediksi secara pasti kejadiannya. Ini bagian keseimbangan alam, konsekuensi negara kita yang berada pada posisi ring of fire atau rangkaian wilayah gunung api terbesar di dunia. Berkaitan dengan persiapan pemilu, Bawaslu mengatakan, erupsi Kelud disinyalir berdampak pada produksi dan distribusi logistik Pemilu 2014. Bawaslu mencatat sebagian perusahaan pemenang lelang pengadaan barang dan jasa berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang terkena dampak erupsi secara langsung. Dalam konteks kemanusiaan, kita ingin penanganan bencana Kelud bisa dilakukan sebaik mungkin, memperhatikan para pengungsi yang berjumlah ratusan ribu secara maksimal, dan tak mengulang kelambanan penanganan erupsi Gunung Sinabung. Untuk konteks pemilunya sendiri, penyelenggara pemilu mesti menyoroti soal perencanaan dan skenario untuk merespons situasi yang terjadi saat ini sehingga bisa punya langkah antisipasi yang baik dan tepat. Hal ini penting untuk menjawab pertanyaan soal kesiapan penyelenggara pemilu dalam menyikapi peristiwa, fenomena, dan bencana alam yang bisa terjadi dan berdampak pada penyelenggaraan pemilu dan perlindungan atas hak pilih warga negara pada Pemilu 2014 yang sudah menunggu hitungan hari. Pemilu lanjutan dan susulan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur bahwa dalam hal terjadi bencana di suatu daerah pemilihan, penyelenggara pemilu bisa menunda pelaksanaan pemilu.

Penundaan itu dikenal dengan istilah pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Pasal 230 UU 8/2012 menyebutkan, apabila sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi bencana alam yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu lanjutan. Pelaksanaan Pemilu lanjutan ini dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilu yang terhenti. Misal, karena terjadinya bencana alam tahapan kampanye tidak bisa dilaksanakan, KPU bisa menunda tahapan kampanye yang terkendala. KPU bisa melanjutkannya pascapenanganan bencana selesai atau saat tahapan kampanye sudah bisa dilaksanakan secara normal sesuai ketentuan perundang-undangan. Selain pemilu lanjutan, juga ada skenario pemilu susulan. Pasal 231 UU yang sama menyebutkan dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi bencana alam yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu susulan. Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Tentu kalau melihat dampak dari erupsi Kelud yang saat ini terjadi, pemilu lanjutanlah yang mungkin terjadi. Itu pun kalau memang ada tahapan pemilu yang nyata-nyata terhenti penyelenggaraannya karena dampak bencana Kelud. Pembuat undang-undang nampaknya sadar betul penyelenggara pemilu tidak boleh memaksakan penyelenggaraan pemilu dengan realitas negara kita yang berada di wilayah yang bisa terjadi fenomena dan bencana alam kapan saja. Entah itu terjadi karena peristiwa alamiah untuk menyeimbangkan alam maupun bencana yang terjadi karena sikap tak ramah lingkungan masyarakatnya. Pemungutan di TPS pun bisa diulang apabila terjadi bencana alam yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 221 UU 8/2012. Sehingga, terlihat sekali penekanan bahwa pemilu memang harus responsif terhadap dampak bencana alam dan lebih mengedepankan penanganan kemanusiaannya. Langkah KPU Mestinya terjadi atau tidak bencana, sejak awal KPU sudah punya standar operasi kerja yang rinci untuk merespons situasi terjadinya bencana dan gangguan alam yang bisa memengaruhi tahapan pemilu. Namun disayangkan, nampaknya KPU tidak memiliki hal itu saat ini. KPU setidaknya perlu segera mengambil langkah-langkah berikut. Pertama, bergerak cepat mengidentifikasi dampak dari bencana yang terjadi. Sejauh mana dampak erupsi Kelud dan beberapa daerah bencana lainnya (misal Sinabung, banjir bandang Manado, gangguan cuaca di Papua) terhadap kesiapan penyelenggaraan tahapan Pemilu 2014.

Kedua, koordinasi dengan Bawaslu dan jajaran pengawas pemilu, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait berkaitan dengan besaran dampak, antisipasi, dan skenario penyikapannya terkait keberlanjutan penyelenggaraan tahapan pemilu. Khusus dengan jajaran Bawaslu, harus ada sinergi lebih sehingga muncul pemahaman yang sama di lapangan soal dampak bencana dan juga langkah-langkah yang akan diambil. Mengingat dua lembaga ini dalam pengalaman sebelumnya lebih banyak tak seiring sejalan ketimbang harmonis dalam mengatur ritme penyelenggaraan Pemilu 2014. Ketiga, KPU harus paparkan langkah dan skenario kerja berdasarkan identifikasi dan koordinasi dengan pihak terkait di atas. Soal apa yang akan dilakukan, langkah-langkahnya, kerangka waktu kerja, serta berbagai pilihan kemungkinan yang bisa terjadi terkait dengan skenario yang dipilih tersebut. Keempat, pengadaan logistik pemilu bisa jadi terpengaruh, tapi yang paling terdampak adalah pemilih. Peraturan KPU 26/2014 mengatur pemilih yang terkena bencana alam bisa gunakan hak pilihnya di TPS lain, tak harus di tempatnya terdaftar. Situasi ini yang harus maksimal disiapkan penyelenggara pemilu. Merekam pergerakan pemilih dan selanjutnya mengatur distribusi logistik sesuai sebaran mereka. Sehingga, pemungutan suara bisa berlangsung baik bagi pemilih terdampak bencana. Pilihannya tak cuma menunda pemilu atau pemungutan suara ulang. Bisa saja atas penilaian yang dilakukan pemilu tetap bisa dilanjutkan sesuai dengan tahapan yang ada. Indikator mengambil keputusan itulah yang harus terukur dan dibuka kepada publik. Semangat perlindungan terhadap hak-hak pemilih atas pemilu yang berkualitas dan berintegritaslah yang harus dikedepankan. Pastinya, jangan memaksakan pemilu yang direncanakan buruk dan tak sesuai prinsip pemilu demokratis kepada pemilih kita. Keterbukaan dan kemampuan KPU dalam memaparkan skenario kerjanya akan membantu publik memahami persoalan secara lebih utuh. Lebih dari itu akan menguatkan kepercayaan bahwa sebagai lembaga yang bersifat nasional dan mandiri KPU bekerja profesional dan responsif dalam berhadapan dengan bencana yang bisa saja terjadi dan memengaruhi penyelenggaraanPemilu 2014. Semoga!

TITI ANGGRAINI Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Adinegoro show: Dinamika jurnalistik televisi


Koran SINDO
Rabu, 19 Februari 2014

HARI Pers Nasional (HPN) selalu dirayakan dengan meriah tapi tak menimbulkan gairah. Para insan pers, termasuk penerbit media, hanya memanfaatkan kala memperoleh hadiah jurnalistik. Berita kemenangan sendiri di medianya sendiri. Padahal HPN punya jejak sejarah karya dan pemikiran tentang dunia jurnalisme. Tulisan ini mencoba mengingatkan bahkan masih ada dinamika besar yang bisa diberi bentuk perwujudankecuali kalau maunya berhenti di basa-basi. Nama Djamaluddin Gelar Datuk Marajo Sutan, segera dikenali jika ditambahkan nama pena, Adinegoro. Nama Adinegoro menemukan bentuk konkret dalam gelaran Anugerah Jurnalistik Adinegoro, yang berupa trofi, piagam, dan sejumlah uang yang diberikan kepada hasil jurnalistik terbaik sepanjang tahun. Tadinya hanya diberikan kepada penulisbukan hanya wartawan yang tergabung dalam organisasi wartawan, pada media cetak. Kini juga diberikan untuk media televisi, juga media cyber. Terjadi transformasi besar yang tidak disadari sepenuhnya, meskipun dirayakan secara nasional dan resmi setiap memperingati Hari Pers Nasional. Tim Adinegoro, meninggal di usia 63 tahun pada tahun1967, barang kali tidak menduga namanya juga diabadikan untuk penghargaan jurnalistik televisi media yang belum berkembang saat itu. Wartawan yang gigih, pembuat peta, juga menulis novel, perokok yang disesali anakanaknya, adalah nama besar dan mendasar dalam dunia jurnalistik. Rumusan tentang hubungan pers-pemerintah-masyarakat masih menjadi acuan hingga kini. Meskipun kini unsur pasar juga menakar dunia media kita. Hingga layak dan pantaslah namanya menjadi inspirasi lewat trofi dalam penulisan tajuk rencana, berita berkedalaman, depth news, kemudian juga karikatur beliau juga suka menggambar sketsa dan fotografi. Kemudian kategori jurnalistik radio dan jurnalistik televisi. Sebelum kemudian juga dikaitkan penghargaan khusus untuk kategori hiburan dan jurnalistik cyber. Khusus untuk kategori jurnalistik televisi, sangat menarik dicermati. Terutama dari segi proses kreatif berbeda sekali dengan yang terjadi pada media cetak. Pada karya televisi tidak mungkin dilahirkan dari satu atau dua atau tiga atau empat individu. Karena, sejak menentukan film statement, ide dasar, sampai pembuatan skrip melibatkan banyak orang, demikian pula saat berproduksi, dan pascaproduksi berupa editing atau mixing.

Dinamika kerja keroyokan atau tim dalam kerja sama mempunyai peran yang sangat besar. Alasan kedua, kategori jurnalistik televisi bisa menjadi acuan, perbandingan dalam membuat program acara yang mendidik, menarik dan melirik ke-Indonesiaan. Mengingat perkembangan acara televisiyang jumlahnya lebih dari 1.400 nama program dalam sebulan, banyak menimbulkan keluhan, pertanyaan, atau gugatan. Setidaknya 50 karya yang dilombakan tahun ini menepis anggapan bahwa acara di televisi hanya soal nyanyi bersama, menjadi banci, menyihir, dan mencari jodoh semata. Ternyata, banyak program yang senonoh, bagus, kokoh, dan terutama membicarakandalam istilah sayadua dari tiga kerisauan masyarakat. Baik kurangnya air, kurangnya bidan, masalah di daerah perbatasan, curanmor, hutan yang menjadi kebun kelapa sawit, yang disajikan secara cerdas, bernas, dan menyodorkan gagas jalan keluar. Show Justru karena pentingnya penghargaan untuk menjadi pembanding, untuk melihat rel yang benar, satu Adinegoro setahun tidak mencukupi. Perlu trofi lain, apakah Piala Ishadi SKatau Andy Noya, atau Karni Ilyas, apakah Najwa Shihab atau nama-nama yang mewarnai dunia pertelevisian di negeri yang perkembangannya tak ada kontrol sama sekali. Nama-nama yang mempunyai pengaruh dalam program, yang barang kali tak terwadahi dengan nama Adinegoro. Apa yang disajikan Andy Noya melalui Kick Andy sungguh menggugah perhatian. Kepiawaian menangkap aktualitas secara cerdas muncul dalam sajian Mata Najwa. Program yang disajikan seminggu sekali kadang dengan reruns, putar ulang, memberikan informasi sekaligus informasi. Mewarnai dan membuktikan bahwa masyarakat kita cukup cerdas dan menjadi lebih cerdas, tanpa melalui hantu yang begitu mudah hidup lagi, wajah ibu yang memaksa menantu menggugurkan kandungan, atau jenis ibumu, babuku juga, sekaligus simpanan suamiku, atau model YKS dan variannya. Lebih dari itu semua, nama-nama keren itu membuktikan programnya tak kalah diminati dalam hitungan rating/sharing, pembagian penonton yang menonton acara tersebut dibandingkan yang menonton acara lain pada jam yang sama. Pendekatan ini sekaligus menyadarkan bahwa mekanisme dinamis antara media cetak dan media televisi sangat berbeda. Pada media televisi, unsur show, unsur pamer, unsur memikat, melekat untuk diperhitungkan setiap detik atau menitnya. Bahkan, dari nama acaranya menggunakan unsur kata show, bukan wawancara biasa melainkan talk show, bukan bisnis biasa melainkan bisnis show, bukan berita biasa melainkan news show, bukan menggambarkan realitas biasa melainkan reality show. Di mana unsur

penyangatan, penajaman, dragging, menjadi penting. Ini yang membedakan era di mana Adinegoro melakukan tugas jurnalistiknya dengan era di mana Tuty Adhitama berada atau era Najwa sebagai acuan eksplorasi berikutnya. Rasarasanya Dewan Pers dan lembaga terkait tidak rugi memberi apresiasi tinggi pada nama-nama yang berpengaruh yang tak mungkin mendapatkan dengan bentuk program yang sekarang ini, dan atau menjadikan nama penghargaan. Setidaknya dibandingkan nama Piala Vidia piala tertinggi untuk sinetron, yang diberikan bersamaan dengan Festival Film Indonesia, yang tak jelas arti namanya selain nama yang dipakai seorang pramusaji di sebuah bar. Memaknai Piala Adinegoro untuk televisi saat ini adalah menghimpun dan memberikan contoh bagaimana kerja jurnalistik televisi telah melangkah jauhtanpa meninggalkan unsur jurnalistiknya, dan berada dalam situasi yang berbeda. Menjadikan karya-karya mereka sebagai tanda pencapaian, adalah memberi arahan perkembangan pertelevisian yang baik, benar dan boleh dilaksanakan. Mereka yang telah membuktikan komitmen besar ini rasa-rasanya perlu mendapat apresiasi lebih, justru karena dinamika yang dilahirkan melampaui batasan-batasan bentuk penghargaan yang dimuliakan, Adinegoro.

ARSWENDO ATMOWILOTO Budayawan

Singa, Garuda, dan Kanguru

Dalam sebulan terakhir ini berita diplomasi kita kian menarik dan menjadi banyak perhatian masyarakat internasional, khususnya terkait dengan hubungan dengan negara tetangga, Singapura dan Australia. Di Singapura, masalah pemberian nama KRI Usman Harun menjadi berita utama dalam beberapa hari dan menjadi perbincangan di dalam negeri. Bahkan berita PM Singapura yang meng-unfriend-kan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi trending di Twitter baik di Indonesia maupun Singapura. Pekan lalu Pemerintah Australia juga menjadi panas hati dan kepala ketika Pemerintah Indonesia mengizinkan iring-iringan kapal perang dan kapal selam China melewati selat yang berdekatan dengan Pulau Christmas, salah satu pulau terluar dari Australia. Australia mencurigai ada hal tersembunyi yang sedang dilakukan antara China dan Indonesia terkait perjalanan tersebut. Karena, menurut Australia, jalur yang diambil tidak wajar dan lebih jauh dalam ukuran jarak ketimbang jalur lain. Masalah-masalah tersebut tampak semakin terakumulasi. Belum reda emosi, rasa gelisah dan kesal yang berkembang antara Indonesia dan Australia setelah terungkap kejadian penyadapan dan intersepsi data pembicaraan sejumlah pejabat negara di Indonesia, termasuk Presiden SBY dan Ibu Negara, telah muncul masalah lain. Dalam kasus hubungan dengan Singapura, selain masalah penamaan kapal perang, ada masalah lain seperti asap akibat kebakaran menutupi total wilayah Singapura, masalah pelarangan ekspor pasir dari Indonesia yang ternyata telah membuat perbatasan Singapura maju 12 km dari original base line di tahun 1973 dan beberapa masalah lain. Dari sudut pandang Indonesia, kedua negara tetangga kita tampak jelas menunjukkan sikap yang kurang bersahabat. Meski demikian, dibandingkan dengan hubungan Indonesia- Australia, hubungan dengan Singapura belum sampai pada tahap penarikan duta besar. Walaupun hubungan terasa panas, komunikasi antara dua negara berjalan baik. Hal ini mungkin karena tidak ada alternatif lain bagi Singapura kecuali melakukan komunikasi intensif karena posisi Indonesia yang secara geografis lebih dekat dan lebih memiliki risiko terhadap keamanan negara tersebut daripada posisi Indonesia dengan Australia. Dengan Australia, jarak kita lebih jauh dan itu membuat mereka memiliki jarak dengan Indonesia. Walaupun dalam sejarahnya, Australia tidak akan dapat membuat langkah politik apa pun bila tidak ada izin dari Amerika karena pihak yang lebih berkepentingan untuk berhubungan baik dengan Indonesia adalah Amerika dalam rangka keseimbangan kekuatan regional. Dalam pergaulan saya dengan para diplomat dan akademisi dari kedua negara, saya melihat ada beberapa hal menarik dari cara pandang mereka terhadap Indonesia dan sebaliknya bagaimana cara kita melihat hubungan negara tersebut. Kebetulan pula selama sebulan ini

saya berkesempatan menjadi peneliti tamu di Australian National University di Canberra, ibu kota Australia. Hal yang menarik, menurut saya, adalah bagaimana konstruksi tentang Indonesia dibangun oleh dua negara. Di Australia hampir tidak ada satu hari berlalu tanpa berita tentang apa yang terjadi di Indonesia. Istilahnya jarum jatuh di Indonesia pasti terdengar suaranya sampai Australia, mulai dari hal sepele seperti turis yang meninggal karena alergi makan ikan di Bali sampai soal pencari suaka dan berita tentang persiapan pemilu di Indonesia. Seperti yang saya sampaikan dalam kolom ini pekan lalu, citra Indonesia sebagai negara yang korup, penduduknya yang miskin dan para pemimpinnya yang haus kekuasaan adalah citra yang ditanamkan lewat media massa setiap harinya. Di kalangan warga Singapura, atau minimal para diplomat negara tersebut yang berinteraksi dengan saya, mereka mengakui Indonesia adalah sebuah negara besar dan kuat walaupun tidak secara langsung diucapkan. Ada rasa kekhawatiran setiap hari tentang apa yang akan dilakukan oleh Indonesia terhadap Singapura. Mereka mungkin sudah menghitung selemahlemahnya militer Indonesia karena peralatan perang yang ketinggalan zaman, Singapura akan sulit untuk bertahan sendiri apabila terjadi konflik bersenjata. Konstruksi itu perlu juga kita lihat dari situasi internal ekonomi dan politik di masing-masing negara yang tengah mendapat sorotan. Ekonomi Singapura yang sangat erat dengan pasar internasional belum pulih dengan total karena pertumbuhan ekonomi di Amerika dan Eropa juga belum menjanjikan. Jumlah penduduk imigran di Singapura semakin banyak dan beberapa waktu lalu ada sebuah kerusuhan rasial di Orchard yang sangat jarang terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Australia sebenarnya sedang dalam posisi lemah karena nilai kompetitif mereka dianggap rendah oleh sejumlah perusahaan besar. Misalnya Toyota yang baru saja mengumumkan akan menutup pabriknya pada 2017 sehingga 50.000 orang akan kehilangan pekerjaan. Coca-Cola dan anak perusahaannya, SPC Admona, yang keuntungannya terus menurun sehingga minta dana talangan dari pemerintah, bahkan Qantas Airlines mulai kembang kempis. Saya hanya ingin mengatakan sikap-sikap yang tampaknya tidak bersahabat dari kedua negara tersebut dapat terkait dengan upaya politik dalam negeri mereka untuk mendapatkan simpati, terutama ketika berada di dalam tekanan ekonomi dan politik. Mereka tetap membutuhkan dukungan politik dari warganya untuk dapat membuat kebijakankebijakan yang mungkin akan memiliki konsekuensi keras di dalam negerinya sendiri. Dengan kita mencoba memahami hal tersebut, kita mungkin bisa mengatur seberapa besar volume tekanan kita dalam diplomasi dan politik. Terkadang ada masalah yang perlu menuntut sikap tegas dan keras seperti kasus pencari suaka, tetapi kadang-kadang kita perlu bersikap santai untuk masalah lain. Intinya, apa pun yang dilakukan oleh para pemimpin politik dari kedua negara tersebut, jangan sampai mengurangi keyakinan akan fakta bahwa secara geopolitik, hubungan baik kedua negara, mau tidak mau harus diupayakan.

Apabila tidak, tidak akan ada yang diuntungkan dari pecahnya hubungan yang telah dibangun dengan hati-hati di masa lalu. Artinya daripada politisi berkoar-koar dan melontarkan ucapan mengancam yang sekadar mempertajam ketegangan, lebih baik membangun politik yang makin santun, tidak korup, terpuji, dan beretika. Hanya dengan itu Indonesia terbantu menjadi negara yang terhormat dan disegani.

DINNA WISNU, PhD Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu

Memaknai bencana alam


Koran SINDO
Rabu, 19 Februari 2014

DALAM sepuluh tahun terakhir berbagai macam bencana alam silih berganti menghantam negeri tercinta ini. Sejak Desember 2004 hingga akhir 2007 berbagai bencana alam berskala masif meluluhlantakkan sejumlah wilayah Nusantara. Mulai dari gempa bumi Nabire, tsunami maha-dahsyat Aceh dan Nias, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi Yogyakarta, tsunami Pangandaran dan Cilacap, sampai gempa bumi 7,9 skala Richter yang menimpa Sumatera Barat, Bengkulu, dan Jambi. Lalu, sejak Desember 2013 sampai sekarang, banjir besar sempat melumpuhkan Ibu Kota Negara, sebagian besar wilayah pantura Jawa, dan Manado. Disusul kebakaran hutan di Riau, dan erupsi Gunung Sinabung serta Gunung Kelud yang masih berlangsung sampai sekarang. Dari perspektif teologi, bencana alam (musibah), baik yang terjadi di darat, laut maupun udara memang merupakan sunnatullah (kehendak atau hukum Allah). Tetapi, iman dan akhlak (perilaku) manusia turut memicu terjadinya bencana alam dan memberikan andil terhadap besar-kecilnya kerugian dan penderitaan akibat bencana tersebut. Sebagaimana firman Allah Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. 30:41). Selanjutnya, peran ulah manusia terhadap terjadinya bencana alam bisa melalui perbuatan yang bersifat fisik. Contohnya penggundulan hutan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan lahan atas yang buruk, minimnya ruang terbuka hijau (RTH), membuang sampah ke sungai, dan drainase wilayah yang buruk dapat memicu bencana banjir dan tanah longsor serta memperparah dampak negatif yang ditimbulkannya. Demikian pula emisi CO2 dan gas rumah kaca lainnya oleh industri, transportasi, dan pembalakan hutan yang melebihi kapasitas asimilasi atmosfer untuk menetralkannya terbukti telah memantik pemanasan global (global warming). Ada juga jenis-jenis bencana alam yang Allah turunkan karena kekufuran dan beragam kemaksiatan yang berkembang di tengah-tengah suatu masyarakat/bangsa. Seperti kaum Nabi Luth yang ditumpas oleh Allah melalui gempa bumi yang maha dahsyat akibat praktik perzinahan dan homoseksual yang masif. Kaum Madyan, umat Nabi Syuaib dihancurkan oleh Allah karena mereka suka melakukan penipuan dan kecurangan dalam perdagangan. Mereka diazab Allah dengan hawa panas

(heatwave) yang teramat sangat. Kaum Ad, umat Nabi Hud, dilaknat oleh Allah melalui angin yang sangat kencang disertai bunyi guruh yang memekakkan telinga, karena kekufurannya. Di zaman kontemporer ini, bencana tsunami, gempa bumi, dan erupsi gunung berapi diyakini merupakan kehendak Allah yang dipicu oleh perbuatan maksiat dan kekufuran manusia yang kian marak. Pasalnya, ketiga jenis bencana alam itu semata-mata disebabkan oleh fenomena geofisik seperti gempa tektonik, tubrukan antar-lempeng bumi, gempa vulkanik, dan landslides. Bukan oleh aktivitas fisik manusia berupa penggundulan hutan, emisi gas rumah kaca, pembuangan sampai ke sungai, dan lainnya. Data tahun 16002007 menunjukkan bahwa lebih dari 90% bencana tsunami di Indonesia adalah akibat gempa tektonik dan tubrukan antarlempeng bumi. Makna lain Selain kaya SDA dan memiliki posisi geoekonomi yang sangat strategis (pusat lalu lintas perdagangan dunia) sebagai modal dasar bagi kemajuan sebuah bangsa, Indonesia juga merupakan kawasan yang sangat rawan bencana alam, utamanya gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi. Sekitar 75% dari seluruh gunung berapi dunia terletak di bumi pertiwi ini, sehingga Indonesia dijuluki sebagai The Ring of Fires. Nusantara kita juga terletak di daerah yang paling rawan terhadap bencana tsunami, karena merupakan pertemuan tiga lempeng utama bumi, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, yang secara dinamis mengalami pergeseran. Singkatnya, kecuali Kalimantan, seluruh wilayah Nusantara sangat rawan gempa bumi, erupsi gunung berapi, dan tsunami. Semua potensi bencana alam ini mestinya kita maknai sebagai bentuk lain dari kasih sayang Sang Maha Pencipta kepada bangsa Indonesia. Agar tidak terlena dan berpuas diri dengan kekayaan alam yang melimpah dan iklim yang bersahabat, bak zamrud di khatulistiwa. Persepsi bahwa kita hidup di negara yang kaya SDA dan perilaku lekas puas dirilah yang membuat mayoritas rakyat Indonesia menjadi malas, kurang inovatif, dan rendah daya juangnya untuk memajukan dan memakmurkan bangsa tercinta ini. Padahal, fakta menunjukkan bahwa seluruh bangsa yang maju dan makmur adalah mereka yang merasa mempunyai tantangan (challenges) hidup. Jepang dan Jerman maju, awalnya karena merasa terancam oleh sekutu. Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi bangsa yang inovatif, maju dan makmur karena menyadari bahwa negaranya miskin SDA. Sedangkan, China berubah cepat dari negara miskin menjadi negara makmur, dan sejak 2009 memiliki kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, karena tertantang untuk dapat menyejahterakan 1,4 miliar penduduknya. Oleh sebab itu, bagi kita bangsa Indonesia, bencana alam harus kita anggap sebagai tantangan

kolektif untuk bekerja lebih keras, cerdas, dan sinergis dalam upaya untuk segera keluar dari jebakan keterbelakangan dan kemiskinan menjadi bangsa yang maju dan makmur. Karena untuk menghindari atau meminimalkan korban jiwa, kerusakan prasarana dan sarana, kerugian ekonomi, dan kerugian non-material akibat bencana alam diperlukan dana yang sangat besar dan iptek mutakhir. Iptek dan dana tersebut dibutuhkan untuk: (1) pembangunan dan pengoperasian sistem peringatan dini (early warning system); (2) pembuatan dan implementasi tata ruang berbasis ekonomi, ekologi, dan bencana alam; (3) konstruksi rumah, gedung, prasarana dan sarana pembangunan lainnya yang dirancang dan dibangun secara fleksibel atau tahan bencana alam; (4) pembangunan struktur keras seperti pemecah gelombang, tanggul laut, dan groins serta struktur lunak seperti hutan mangrove dan vegetasi pantai lainnya untuk meredam energi gelombang tsunami; (5) program peningkatan kesadaran dan kesiagaan publik (public awareness and preparadness) dalam menghadapi bencana alam; dan (6) program penelitian dan pengembangan guna menguasai dan menerapkan iptek dalam penanggulangan bencana alam. Keenam hal inilah yang dilakukan secara sistemik dan berkesinambungan oleh Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan bangsa lainnya yang telah mampu menghindari atau meminimalisasi dampak negatif akibat bencana alam. Dan, semua itu dapat mereka lakukan karena mereka kaya serta menguasai iptek. Pendekatan spiritual Karena bencana alam juga sejatinya sebagai bentuk peringatan dan teguran Tuhan Yang Maha Pencipta atas kedurhakaan dan kemaksiatan yang dikerjakan oleh manusia. Maka, semestinya bangsa Indonesia menurut agamanya masing-masing melakukan taubatan nasuha secara nasional, khususnya para pemimpin, atas beragam bentuk kebohongan, kemunafikan, kezaliman, dan perilaku maksiat yang dalam sepuluh tahun terakhir kian merajalela. Betapa tidak, semua bentuk kedurhakaan dan kemaksiatan yang pernah dilakukan oleh umatumat terdahulu (zaman para Nabi), kini dalam bentuknya yang lebih canggih tumbuh subur di Indonesia. Menurut sebuah lembaga survei internasional, tahun 2011 Indonesia merupakan bangsa pelaku pornografi dan pornoaksi (perzinahan) terbesar kedua di dunia setelah Swedia. Indonesia juga sebagai bangsa pengguna narkoba terbesar se-Asia. Di tengah-tengah galaknya aksi pemberantasan korupsi, hingga kini Indonesia masih menyandang predikat sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia. Kebohongan, hipokrisme yang dibalut pencitraan nan canggih semakin masif dan marak dikerjakan oleh mayoritas tokoh (dari pusat sampai ke daerah) yang kini sedang memimpin maupun yang tengah berupaya menjadi pemimpin setelah pileg dan pilpres tahun ini.

Sebaliknya dalam hal ketakwaan dan amal saleh, bangsa Indonesia justru kedodoran. Betapa ironisnya, negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, hanya 30 persen umat Islam Indonesia yang menunaikan salat lima waktu secara teratur (Monash University, 2012). Padahal Allah menegaskan dalam Alquran bahwa Sesungguhnya salat (yang khus yuk) itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar(QS. 29: 45). Semoga kekurangtakwaan mayoritas umat Islam ini tidak melanda umat-umat lain di Indonesia. Apabila cara-cara kita melakukan pemanfaatan SDA, membangun negara, dan menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan karakteristik dan dinamika ekosistem alam (design and construction with nature) diiringi dengan iman serta takwa kepada Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta, niscaya kita dapat menghindari atau meminimalkan kerusakan fisik, kerugian ekonomi, dan korban jiwa akibat bencana alam. Sebaliknya, banjir, erupsi gunung berapi, dan boleh jadi bencana alam lainnya justru sebagai cara Allah untuk memelihara alam semesta tetap seimbang, dan cocok bagi kehidupan manusia.

PROF DR IR ROKHMIN DAHURI MS Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan

Sampah, Abu Erupsi, dan Entrepreneurial Government

Ditemani secangkir kopi yang mengepul, saya membuka Twitter. Seorang teman memposting pesan ini, Jalan Cililitan ke arah Cawang macet. Ada truk sampah mogok. Aha, lagi-lagi sampah jadi masalah. Kali ini bukan sampahnya, tetapi truknya, sama seperti Bus Transjakarta yang semakin sering mogok belakangan ini. Soal truk mogok tadi tentu menambah daftar masalah yang membuat pening: mau dibuang ke mana 6.500 ton sampah yang setiap hari dihasilkan warga DKI? Kepada saya, Ahok pernah mengungkapkan kekesalannya, TPA di Bekasi itu tanah DKI, tapi setiap kali buang, pemda harus bayar. Pantaslah Wagub berang, lawannya bukan warga biasa, tetapi mafia yang bertameng warga. Kalau Anda jadi pengembang permukiman, Anda pasti paham, setiap kali mau membangun, selalu saja ada ribuan penghuni baru yang tiba-tiba datang dalam semalam, lengkap dengan pembuat rumah bedengnya. Anda barangkali sulit membayangkan berapa banyak 6.500 ton sampah itu. Supaya mudah, bayangkan saja sebuah lapangan sepak bola. Nah, volume sampah di DKI yang tidak dicacah sebelum dikirim ke TPA itu setiap harinya setara dengan empat kali lapangan sepak bola, tingginya sekitar satu meter. Atau kalau Anda pernah ke Candi Borobudur, volume sampah warga DKI per hari adalah setengah dari ukuran candi tersebut. Dalam lima tahun ke depan diperkirakan volumenya akan menjadi 8.000 ton per hari dan semakin hari semakin banyak sampah non-organiknya. Selama ini Pemprov DKI selalu membuang sampahnya ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Bantargebang, Bekasi. Untuk mengangkut, Jakarta membutuhkan sekitar 700 truk. Celakanya, sampai saat ini truk yang layak operasi baru 104 unit. Jadi masih kurang hampir 600 unit. Untuk mengatasinya, Pemprov DKI mau membeli truk-truk, tapi konon anggarannya dianulir aparat sendiri. Untung ada swasta yang peduli, DKI dihibahi dana CSR buat beli truk. Tapi, itu belum menyelesaikan masalah. Masih kurang. Selain sering mogok, kemacetan gila membuat truk tidak bisa beroperasi bolak-balik seperti dulu. Akibatnya sampah busuk menumpuk. Saya hitung, dengan cara seperti ini, kalau warga maunya sampah diangkut dari rumah masing-masing, bukan buang di dumpster seperti di luar negeri, paling hanya satu RT yang bisa diangkut dalam sehari. Apa yang mesti dilakukan para gubernur atau wali kota? Entrepreneurial Government Seingat saya, negeri ini sudah punya Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. PP ini adalah peraturan pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Intinya sampah harus diolah, tidak boleh lagi dibuang begitu saja. Nah kalau UU dan PP itu mau

dijalankan, sebenarnya pemerintah daerah tak perlu bekerja sendiri. Pemkot tinggal pencet tombol kewirausahaan warga yang dibingkai dalam entrepreneurial government. Seperti apa itu? Ada banyak ciri, tapi saya ingin menekankan empat hal. Pertama, pemerintahan melakukan perubahan dengan change management, bukan asal perubahan. Artinya perubahan itu dikelola, diaspirasikan, dievaluasi, warganya dibuat melek, lalu ikut dengan sendirinya. Ada agen-agen perubahan yang dijadikan role model dan mereka secara sukarela menularkan virus perubahan karena melihat benefitnya lebih besar daripada biayanya. Kedua, pemerintah melihat setiap masalah adalah peluang. Di DKI Jakarta, sekarang warganya betul-betul merasa terganggu dengan tumpukan sampah di kawasan huniannya. Ini sebetulnya bisa menjadi momentum yang ampuh untuk mengajak warganya terlibat dalam pengelolaan sampah. Misalnya, dengan mulai memilah mana sampah basah dan mana sampah kering dan menempatkannya dalam kantong-kantong plastik yang terpisah. Dalam kondisi biasa, saya sudah mencoba berkali-kali dan tahukah Anda, sulitnya minta ampun. Kini, semua warga sudah merasa sangat terganggu dan kalau yang mengajak tokoh seperti Jokowi dan Ahok, ajakan ikut terlibat dalam pengelolaan sampah mungkin tak sesulit dulu lagi. Semua sama-sama melihat dan merasakan bahwa masalahnya ada di depan mata mereka. Ketiga, pemerintahan yang menawarkan solusi. Di Bandung, untuk mengatasi masalah sampah, dibangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di kawasan Gedebage. Dari 500700 ton sampah, saya dengar bisa dihasilkan listrik setara 7 megawatt. Lalu, abu hasil bakaran sampah pun masih bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan batu bata. Memang PLTSa Gedebage masih menyisakan beberapa masalah. Misalnya polusi karena cerobong asapnya hanya setinggi 35 meter dan menghadap ke permukiman warga. Singapura juga memiliki fasilitas serupa, hanya saja cerobong asapnya mencapai 70 meter dan terarah ke laut. Jadi, relatif tidak mengganggu. Rasanya Pemprov DKI bisa meniru PLTSa ala Singapura dengan mengarahkan cerobongnya ke laut. Ciri entrepreneurial government yang keempat adalah dalam menyelesaikan setiap permasalahan, mereka selaku berkolaborasi dengan banyak entrepreneur lokal. Bukan menanganinya sendirian. Ini artinya pemprov atau pemkot bisa mencetak banyak wirausaha sampah. Bisnis sampah itu rumit karena sering diganggu aparat dan warga sendiri yang mata duitan. Izinnya selalu dipertanyakan, demikian juga warga yang pura-pura terganggu oleh baunya. Padahal sekarang ada banyak cara mengusir bau asalkan sampahnya diolah di tempat dan langsung diolah pada hari yang sama. Bayangkan sampah-sampah itu bisa dibuat lebih ringkas karena dicacah. Komposnya bisa dikomersialkan, lalu plastiknya bisa dikembalikan jadi minyak bakar dan bahan-bahan recycle-nya banyak sekali. Biomassanya pun bisa dijadikan pendamping batubara untuk pabrik-pabrik tertentu, mulai dari pabrik semen sampai lio-lio pembuat batu bata. Kelak, kalau daerah-daerah bisa dipaksa untuk mengirim bahan-bahan pangan yang sudah diolah

dan dibersihkan di daerah keberangkatan sebelum masuk ke DKI, bahan-bahan anorganik akan semakin banyak dan itu ada nilai ekonomisnya. Abu Gunung Kelud Kamis, 13 Februari 2014 pukul 22.50 WIB, Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur, meletus. Letusan itu memicu terjadinya hujan abu, pasir, dan kerikil. Abu Gunung Kelud bahkan dibawa angin ke arah barat, menyebar sampai Solo, Yogyakarta, dan bahkan sebagian wilayah di Jawa Barat. Beberapa hari pascaletusan, kita semua menyaksikan betapa sibuknya warga membersihkan abu dari rumah dan dari jalan-jalan. Saya miris menyaksikan mereka menyemprot abu itu dan mengalirkannya melalui selokan-selokan. Abu itu larut begitu saja bersama air lalu menjadi sedimen yang mendangkalkan sungai. Padahal, abu vulkanik tersebut mempunyai manfaat meningkatkan kesuburan tanah. Jika dikombinasi dengan pupuk organik, abu vulkanik tersebut bisa menjadi pupuk yang kaya mineral. Abu vulkanik biasanya juga kaya silika sehingga sangat baik dijadikan bahan baku beton atau campuran bahan bangunan lainnya. Kita pernah mengalami letusan Gunung Galunggung. Anda tahu, ketika itu pasir dari Gunung Galunggung laku dijual seharga Rp900.000 per truk. Padahal, pasir biasa yang berkualitas bagus pun hanya laku dijual Rp500.000 per truk. Kalau saja pemerintah-pemerintah kita memiliki karakter entrepreneurship, mereka akan lebih gesit mengajak warganya melihat peluang dari musibah erupsi. Itu bisa kalau pemerintahnya begitu dan media TV tidak lagi mendendangkan ratapan kesedihan dengan mempertanyakan bantuan melulu. Bukankah selalu ada hikmah di balik musibah?

RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali

Trident Diplomasi Bisnis Indonesia

Nakhoda kementerian perdagangan baru saja berganti. GitaWirjawan, menteri terdahulu, memilih mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi mencoba peruntungannya sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat. Sementara sang pengganti, M Luthfi, mantan duta besar Indonesia untuk Jepang, telah dilantik menjadi pejabat baru dengan tugas berat dalam waktu singkat. Satu sisi peristiwa pengunduran diri dari sebuah jabatan publik untuk kepentingan yang lebih besar patut diapresiasi. Paling tidak, langkah Gita menghindari benturan kepentingan sebagai pejabat publik dan ambisi pribadi. Di sisi yang lain, hal ini menunjukkan betapa nikmatnya aroma kekuasaan menjadi salah seorang kandidat presiden. Lalu, bagaimana dengan pos yang ditinggalkan? Kementerian Perdagangan telah menjadi portofolio penting dalam dua dekade terakhir seiring dengan derasnya arus globalisasi. Oleh karena itu, pos ini harus terus dikelola dengan serius, siapa pun penggantinya. Trident Layaknya sebuah trident, senjata yang bermata tiga (trisula), perdagangan (internasional) telah menjadi elemen penting bagi setiap negara, selain elemen keuangan dan industri. Ketiga aspek yang saling berkelindan dan mendukung satu sama lain ini merupakan kesatuan dari apa yang disebut aktivitas bisnis (business). Setiap pelaku dalam hubungan internasional di dunia ini melakukan aktivitas bisnis. Dalam konteks ini adalah aktivitas bisnis yang melintasi batas kedaulatan negara. Secara sederhana, untuk dapat berdagang, pelaku bisnis harus mengetahui komoditas atau jasa yang akan ditawarkan. Biasanya, mereka akan mencari dari sumber domestik yang diperoleh dari industri dalam negeri. Kemudian, kegiatan ekspor atau impor itu dapat berjalan dengan lancar maka membutuhkan dukungan finansial yang kuat. Dengan demikian, idealnya, antara pengembangan perdagangan dan industri dalam negeri harus seimbang. Keduanya harus sama-sama maju. Bagi kalangan industri, untuk memproduksi barang dan atau jasa sering kali masih membutuhkan bahan baku yang diimpor. Aktivitas impor ini pula membutuhkan garansi atau bahkan asuransi dari kalangan keuangan. Selain itu, sektor keuangan tidak mungkin berkembang bila tidak ada aktivitas perdagangan maupun industri. Untuk itu, mereka harus memutar otak secara cerdas dan cerdik agar selalu siap berkembang dengan berbagai skema kreatif untuk mengimbangi kemajuan di bidang bisnis. Bahkan, sangat dianjurkan untuk menjemput bola dengan produk-produk keuangan baru yang dapat menjadi stimulus menggeliatnya sektor perdagangan dan industri.

Dengan demikian, logika dari sebuah trident ini tepat untuk melihat arti strategis disahkannya UU Perdagangan menggantikan Bedrijfsreglementerings Ordonnatie (BRO) yang telah berusia 80 tahun. Bisa dibayangkan, setelah Indonesia merdeka dan konteks internasional telah berubah dan kemajuan teknologi semakin pesat, bangsa Indonesia masih menggunakan aturan penjajah yang membelenggu kita hampir seratus tahun lalu. Tatakelola Terlepas dari pro dan kontra disahkannya RUU Perdagangan menjadi UU beberapa hari yang lalu, satu hal terpenting adalah Indonesia berusaha menyesuaikan bahkan mengantisipasi perubahan konteks kekinian yang terus berubah. Pengesahan UU ini perlu dilihat sebagai produk politik yang merefleksikan konstelasi politik domestik saat ini. Tentu saja tidak sempurna, tetapi apa yang bisa dilakukan dengan UU ini sepertinya menjadi lebih penting dan relevan. Salah satu makna strategis dari UU Perdagangan ini adalah menjadi penjaga sebuah proses dari tiga elemen trident diplomasi dengan tata kelola perdagangan yang diatur di dalamnya. Misalnya bagaimana proses diplomasi bisnis harus dilakukan dengan menerjemahkan kepentingan nasional di empat ranah, yaitu lokal, nasional, regional, dan global. Artinya harus dibangun hubungan yang baik dan kesatuan pandangan antara pusat dan daerah dalam menghadapi dinamika regional dan global. Bersama dengan aturan lainnya, UU Perdagangan menjadi aturan main dari diplomasi trident di atas. Kementerian Perdagangan harus berperan lebih progresif dalam memerankan sebagai konduktor dari orkestrasi besar diplomasi bisnis Indonesia. Artinya, hubungan kelembagaan antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan kementerian teknis lainnya menjadi sangat krusial. Ditambah lagi, jajaran mereka di daerah, pemerintah daerah, dan para pelaku bisnis di pusat maupun daerah. Kompleksitas masalah ini mengharuskan kesiapan sumber daya manusia agar trident diplomasi bisnis kita bisa efektif. Para pegawai kementerian, aparatur pemerintah daerah, para pelaku bisnis harus memiliki mindset terbuka untuk berkompetisi secara global. Keandalan sumber daya manusia dimulai sejak rekrutmen dengan persyaratan yang tinggi dan diterapkan secara ketat. Pengembangan diri melalui studi lanjut, pelatihan penguasaan bahasa asing, dan negosiasi yang diikuti magang di lembaga regional dan internasional bisa menjadi alternatif. Konteks dunia sudah berubah, tidak boleh lagi kita merengek dan mengeluh atas tatanan yang ada. Dunia memang tidak bisa adil untuk semuanya. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana diplomasi bisnis kita dapat menyikapinya dan berkontribusi untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Para calon presiden dan yang merasa layak menjadi presiden harusnya bisa menjawab hal ini. Kalangan pengusaha dan akademik tidak zamannya lagi duduk terpisah dan mengisolasi diri

di menara gading. Namun, bukan berarti juga harus semua turun gunung berubah profesi dadakan menjadi pengambil kebijakan atau politisi. Yang lebih penting adalah semuanya lebih membuka diri bagi sebuah kerja sama sehingga semuanya menjadi relevan. Apalagi, kita harus bersiap bersama-sama menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang telah di depan mata serta tantangan global yang lebih dahsyat pada 2020 dan setelahnya.

TIRTA N MURSITAMA PHD Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara

Sistem Pembayaran Pascakrisis Ekonomi Eropa

Krisis ekonomi yang melanda Eropa akan tetap menjadi agenda ekonomi dunia pada 2014 ini. Eropa memperbaiki sistem pembayaran Eropa menjadi sistem pembayaran tunggal pada satu Februari 2014 ini. Langkah ini akan memangkas biaya pembayaran dengan kartu kredit dan debit hingga mencapai 70% dari sebelumnya. Dampaknya sangat luar biasa karena biaya pembayaran antar bank menjadi jauh lebih murah. Krisis telah membawa Eropa untuk berani mengatasi krisis dengan melakukan inovasi sistem pembayaran yang pada tahun 2010 lalu mereka meluncurkan program digital massal. Kemenangan Angela Merkel sebagai kanselir Jerman, juga banyak pengaruhnya bagi konsolidasi sistem pembayaran di Eropa ke depan walaupun agenda pengawasan bank bersama tetap berlangsung. Namun, konsolidasi perbankan justru menciptakan risiko baru seperti yang dikatakan oleh Ben Bernanke yaitu: Too-big-to-fail was a major part of the source of the crisis. And we will not have successfully responded to the crisis if we dont address that problem successfully. Konflik terjadi, dan dipastikan konflik antara Jerman dan Bank Sentral Eropa akan terus berlangsung. Gubernur Bank Sentral Eropa Mario Draghi mengatakan: No, but the fears felt by some sectors of the public in Germany have not been confirmed. What havent we been accused of?. Jerman menurut Draghi akan mengancam investasi besar sistem pembayaran yang diperlukan Eropa. Dari sisi investasi, infrastruktur sistem pembayaran Uni Eropa sebetulnya masih memerlukan dana pembangunan yang jauh lebih besar lagi sekalipun terjadi ketidakcocokan antara sistem pembayaran dan sistem bank sentral. *** Berbeda dengan di Amerika Serikat, maka sistem bank sentral di Uni Eropa sebetulnya masih terfragmentasi sekalipun Eropa telah memiliki bank sentral bersama yang tunggal. Kondisi ini menyebabkan pembentukan risiko pembayaran menjadi tidak mengalami sinergi yang optimal. Supaya optimal maka sistem ini harus disinkronkan dengan mengeliminasi fragmentasi. Konsekuensinya, inovasi sistem pembayaran pada pasar ritel akan menjadi semakin terkendala yang menyebabkan investasi menjadi terhambat, sehingga perkembangan kartu kredit juga melamban. Evolusi pasar kartu kredit didorong oleh interaksi dari berbagai stakeholders sebagaimana berubahnya pasar dan teknologi yang terjadi bukan hanya di Eropa, melainkan juga di dunia. Inovasi, seperti kartu pembayaran pada ponsel dan fasilitas pembayaran multimata uang menjadi tersedia secara relatif murah di Eropa, sehingga seharusnya menjadi lebih mudah dan lebih nyaman bagi pemegang kartu pembayaran untuk melakukan pembelian.

Kondisi tersebut pada gilirannya akan memompa peningkatan konsumsi dan produksi perekonomian Eropa. Pemegang kartu dapat melakukan bukan saja pembelanjaan lebih sering ketimbang mengandalkan uang kartal, tetapi juga secara keamanan lebih baik. Hal ini sebetulnya juga akan menguntungkanpedagangyang memanfaatkan inovasi dalam perangkat lunak dan komunikasi, sehingga seharusnya sektor perdagangan di Eropa menjadi semakin baik ketimbang kondisi tahun lalu. Hasilnya adalah peningkatan likuiditas pasar yang pada gilirannya membantu bank-bank dan penerbit kartu pembayaran baik kredit maupun debit. Selanjutnya, akan tercipta kesempatan bagi lebih banyak peserta dalam rantai pembayaran untuk memfasilitasi keberhasilan pengiriman dari inovasi ini dengan harga yang terjangkau. Tidaklah mengherankan jika bank makanan di Jerman yang sebelumnya memberikan makanan gratis kini memasang harga untuk makanan tersebut. Hal ini sebetulnya tidak lumrah secara ekonomi karena Jerman adalah negara yang kaya secara ekonomi namun juga terbukti bahwa negara ini terbelah. Arti lainnya adalah telah terjadi penciptaan lapangan kerja akibat dari menggeliatnya perekonomian dengan dukungan sistem pembayaran sehingga daya beli masyarakat Jerman juga meningkat. *** Inilah sebetulnya alasan utama partai Sosial Demokrat di Jerman untuk mau bergabung berkoalisi dengan partainya Angela Merkel. Telah terjadi transformasi politik akibat adanya transformasi ekonomi dengan pengaruh sistem pembayaran. Bukan hanya itu, sistem pembayaran nilai besar dan ritel di Jerman juga mampu mendukung surplus transaksi berjalan. Namun, kondisi yang sebaliknya terjadi di negara-negara Eropa lainnya. Di negara seperti Yunani tampaknya akan sulit bagi sistem pembayaran Eropa untuk mengubah Yunani dari perekonomian yang tidak produktif menjadi produktif untuk lima tahun ke depan. Dengan demikian, sistem pembayaran Eropa pascakrisis ekonomi tidak akan berbeda dengan periode sebelum terjadinya krisis ekonomi di mana dualisme perekonomian tetap terjadi secara permanen. Sedangkan ekosistem pembayaran bukan zero-sum game, keuntungan tidak dibagi secara merata di antara para stakeholders. Stakeholders di Jerman juga lebih diuntungkan ketimbang stakeholders di Yunani, Portugal, dan Spanyol. Kasus yang jelas timbul adalah hasil dari diskon atau tarif pertukaran antara pedagang, bank pengakuisisi dan penerbit kartu. Masingmasing pemain kunci memiliki kepentingan komersial sendiri dan posisi kompetitif untuk mengembangkan atau mempertahankan. Permasalahannya, Eropa tidak memiliki instrumen pembayaran yang solid. Kekuatan sistem pembayaran Eropa adalah pada operator sistem pembayaran yang di Yunani dan sebagian Eropa lainnya justru kolaps ketika krisis ekonomi menghantam Eropa. Bank

dan lembaga keuangan lainnya yang mengambil deposit besar memiliki informasi tentang pelanggan mereka untuk tujuan menyetujui dan menerbitkan kartu kredit. Demikian pula lembaga-lembaga nonbank, seperti department store besar dan penerbit kartu pembayaran, memiliki informasi tentang pelanggan mereka, dan mungkin juga menerbitkan kartu kredit, baik dengan skema kartu bermerek, seperti Visa dan MasterCard, atau merek mereka sendiri. Ada beberapa contoh dari perusahaan yang secara sendirian melakukan cara ini, tetapi mereka benar-benar berjuang karena kesulitan dalam mencapai skala ekonomi, terutama di pasar internasional. Sering kali, perusahaan dengan merek yang kuat menerbitkan kartu sebagai reseller dari bank penerbit. Skala ekonomi hanya dapat tercapai oleh perusahaanperusahaan milik Jerman yang unggul dalam permesinan, sehingga pascakrisis ekonomi diharapkan operator sistem pembayaran khususnya perbankan akan kembali pulih sehingga nilai tambah sistem pembayaran Eropa dapat meningkat lebih pesat lagi di masa depan tanpa terkendala oleh skala ekonomi. Pada dasarnya, krisis ekonomi telah membuat Eropa sadar dalam mengembangkan sistem pembayaran yang tidak berlawanan dengan hukum ekonomi sehingga perekonomian Eropa dapat kembali pulih. Untuk itulah, Eropa mengembangkan sistem pembayaran dalam program agenda digital sehingga besarnya skala ekonomi yang optimum bagi lembagalembaga dalam sistem pembayaran mencapai efisiensi yang paling optimum!

ACHMAD DENI DARURI President Director Center for Banking Crisis

Maraknya Poster

Sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan secara murni sejak tahun 2009 telah membuka lembaran baru bagi kehidupan politik bangsa, khususnya dalam soal menyeleksi para kandidat wakil rakyat. Jika pada masa-masa sebelumnya, baik dengan menggunakan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 1999 ataupun setengah terbuka sebagaimana Pemilu 2004, partai memainkan peran penting, saat ini tidak lagi demikian. Partai dapat diibaratkan kini hanya sebagai kapal induk yang berjaga di lepas pantai, sementara yang akan mendarat adalah para kandidat dengan sekoci masing-masing. Kenyataannya kini, masing-masing caleg maju atas dasar modal sendiri tanpa sokongan finansial yang berarti dari partai. Saat ini partai cenderung hanya digunakan sebagai papan nama, di mana para caleg akhirnya akan lebih mengatasnamakan dirinya sendiri. Tidak mengherankan jika dalam poster-poster politik para kandidat bahkan berupaya untuk menafikan keberadaan rekannya sesama kader partai. Dari sisi positifnya, kontestasi individual ini diharapkan akan dapat memotivasi caleg dan kader untuk semakin berlombalomba mendekatkan diri lagi ke rakyat, memahami dan memperjuangkan apa yang diinginkan oleh khalayak. Karena mereka sadar bahwa penentu kemenangan mereka bukan lagi nomor urut yang dimiliki, tapi oleh banyaknya suara rakyat berikan rakyat kepada mereka. Masih sebatas Poster Meski ditujukan agar kandidat lebih mendekatkan diri kepada masyarakat, dalam praktiknya belumlah demikian. Sistem proporsional terbuka itu cenderung direduksi menjadi sebatas perang poster dan sejenisnya. Paling banter masyarakat disuguhi oleh kegiatan-kegiatan sosial sporadis atau dialog ala kadarnya. Akibatnya alih-alih melihat aktivitas politik yang marak, masyarakat lebih disuguhi oleh keberadaan poster yang semakin marak. Padahal seharusnya dengan kebutuhan untuk dikenal oleh masyarakat dan jumlah kandidat yang demikian banyak, sebuah daerah pemilihan (dapil) akan cukup kebanjiran oleh maraknya aktivitas caleg atau timses selama periode kampanye. Bayangkan, misalnya, pada sebuah kabupaten masing-masing partai (berjumlah 12) mencalonkan katakanlah 8 caleg untuk DPR RI, 8 caleg untuk DPRD provinsi, 48 caleg untuk DPRD kabupaten/kota, maka akan ada setidaknya 768 orang kandidat anggota legislatif. Jika para kandidat tersebut dibantu oleh timses yang berjumlah katakanlah 5 orang maka akan ada sekitar 3.840 orang perangkat kampanye yang eksis dalam sebuah kabupaten. Jumlah ini jelas dapat bertambah jika perangkat partaitermasuk kader pada level pengurus kabupaten hingga anak ranting turutmembantu menyemarakkan kampanye dari partai. Lepas dari itu, jika dalam sebuah dapil terdapat misalkan 300 kelurahan, yang terdiri dari

30.000 RT, setidaknya pada tiap delapan RT yang setara dengan 160 KK akan ada kurang lebih satu orang perangkat kampanye atau timses yang beraktivitas. Jika efektif menjalankan fungsinya, dalam jangka waktu sekitar delapan bulan sejak DCT diumumkan maka dapat dibayangkan bahwa hampir setiap rumah telah diketuk oleh satu orang timses untuk setidaknya diajak berdiskusi mengenai program-program dan agenda politik. Jika seluruh anggota timses benar-benar efektif menjalankan roda kampanye, bisa jadi akan muncul fenomena tiada hari tanpa aktivitas kampanye yang mendalam (person to person). Namun yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Pengalaman beberapa kenalan, handai tolan dan juga pribadi menunjukkan bahwa sejak 2009 hingga sekarang tidak ada satu pun perangkat timses yang sempat hadir menemui mereka. Tidak dimungkiri beberapa rekan memang merasakan aktivitas itu, namun jumlahnya masih minim. Kehadiran mereka seolah cukup diwakilkan oleh maraknya poster-poster atau spanduk politik yang bertebaran di sudutsudut jalan. Fenomena maraknya poster ini juga menunjukkan bahwa kebanyakan kandidat masih memandang rendah kecerdasan politik masyarakat. Tidak itu saja, mereka juga tampak masih belum paham akan bagaimana mengejawantahkan makna kampanye yang sesungguhnya, yang tentu saja lebih dari sekadar poster atau kegiatan dadakan miskin makna dengan sejumlah janji kosong yang marak secara sporadis itu. Maraknya poster, yang jauh meninggalkan maraknya aktivitas real caleg, menunjukkan sisi kelam atau bahkan kegagalan pencapaian makna dari sistem proporsional terbuka itu, yang berintikan mendekatkan diri kepada masyarakat. Situasi ini jelas secara substansi tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, saat proporsional tertutup digunakan dalam pemilu kita. Keterasingan antara wakil dan yang diwakili tetap ada, begitu pula dengan ketidakpahaman masyarakat atas program yang akan diperjuangkan oleh wakil rakyat tetap tidak berubah. Malah, ada yang mengatakan bahwa dalam situasi yang hampir mirip itu, sistem proporsional tertutup jauh lebih baik, karena rasionalitas partai dalam menilai kualitas seorang caleg kerap lebih baik dan komprehensif dibanding rasionalitas massa yang kerap masih mudah didekati dengan kepopuleran semata. Mengapa Situasi di atas menunjukkan bahwa perangkat kampanye para caleg belum siap dalam menghadapi model sistem proporsional terbuka. Ketidaksiapan ini juga memperlihatkan ketidakmodernan pengelolaan partai-partai pada umumnya dan pengelolaan kampanye pada khususnya. Situasi ini juga mencerminkan ketidaksiapan kebanyakan para caleg, terutama untuk berdialog dengan cerdas. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh ketidaksiapan mereka dalam menyusun program-program atas dasar argumentasi yang kokoh dan logis.

Kondisi tersebut merupakan cerminan dari kualitas caleg yang memang masih biasa-biasa saja, yang pada akhirnya terkait dengan kualitas rekrutmen partai yang masih terkesan instan dan asal ada. Di sisi lain, budaya politik pragmatis yang mengedepankan aksi nyata dalam mendekati masyarakat menyebabkan kebanyakan caleg menahan diri hingga momen yang dirasa tepat untuk kemudian membanjiri masyarakat dengan tanda mata di masa-masa menjelang pencoblosan. Tujuannya agar mereka tidak mudah dilupakan oleh masyarakat pada saat mencoblos. Ke depan, pembenahan yang meliputi pemodernan partai politik, peningkatan kapabilitas caleg dan pematangan budaya politik itu jelas diperlukan. Jika tidak, kampanye akan terus sekadar menjadi sekadar ajang kontestasi politik, tanpa jawaban yang bernas atas kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.

FIRMAN NOOR, PH.D Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, Pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia

65 Tahun tewasnya Tan Malaka


Koran SINDO
Jum'at, 21 Februari 2014

TANGGAL 21 Februari 1949 Tan Malaka tewas di Jawa Timur. Setelah melakukan penelitian selama berpuluh tahun, sejarawan Belanda Harry Poeze menyimpulkan bahwa Tan Malaka menghilang sejak 19 Februari 1949 dan ditembak mati oleh Suradi Takebek atas perintah Letnan Soekotjo (Soekotjo terakhir berpangkat brigjen dan pernah menjadi wali kota Surabaya) di Desa Selopanggung, Kediri. Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno tahun 1963. Semasa Orde Baru, Tan Malaka dicekal dalam sejarah. Gelarnya tidak dicabut tetapi tokoh ini tidak diajarkan dalam pelajaran sejarah di sekolah. Pada era reformasi, tentu sejarah dan perjuangan Tan Malaka perlu dimasukkan dalam kurikulum. Banyak pemikirannya yang masih relevan sampai sekarang misalnya tentang kemandirian dalam berhadapan dengan negara asing. Ketika mengajarkan biografi Tan Malaka, mungkin timbul pertanyaan di mana makamnya. Pada peringatan hari bersejarah, masyarakat biasanya berziarah ke taman makam pahlawan atau kuburan figur terkenal. Untuk kasus Tan Malaka, orang berziarah ke mana? Tahun 2009 dilakukan penggalian di Selopanggung, Kediri. Jenazah yang ditemukan secara antropologi forensik sesuai dengan ciri-ciri fisik Tan Malaka. Maka para sejarawan yang terlibat dalam pencarian ini beranggapan bahwa 90% jenazah itu memang Tan Malaka dan makamnya di lokasi tersebut. Namun demi kesempurnaan investigasi, dibandingkan DNA dari keponakannya (Zulfikar) dengan DNA pada tulang yang ada di makam tersebut. Namun, DNA Tan Malaka itu tidak kunjung muncul diduga karena keasaman tanah tersebut yang tinggi. Karena belum berhasil di dalam negeri, ahli forensik Dr Djaja Surya Atmadja membawa beberapa gram tulang dan gigi tersebut pada berbagai pertemuan ilmiah internasional. Pada Februari 2012, Dr Djaja menjanjikan bahwa hasilnya akan diperoleh paling lambat November 2012. Namun pada saat yang dijanjikan bahkan setahun kemudian, hasilnya masih nihil. Oleh sebab itu, saya menulis artikel di Kompas tanggal 9 Desember 2013 dengan judul Kepastian Makam Tan Malaka. Munculnya tulisan itu ditanggapi dengan cepat oleh beberapa pihak terkait. Diadakan pertemuan di rumah keponakan Tan Malaka Zulfikar tanggal 15 Desember 2013. Pada kesempatan itu diperoleh kesepahaman bahwa dokter forensik dan pihak keluarga

menginginkan proses penentuan makam itu tidak berlarut-larut. Dr Djaja akan meneruskan membawa beberapa gram tulang dan gigi Tan Malaka keliling dunia pada seminar forensik regional dan internasional, sementara keluarga ingin memindahkan makam Tan Malaka dari Selopanggung ke TMP Kalibata. Bersamaan dengan kedatangan Dr Harry Poeze ke Indonesia dalam rangka peluncuran buku Tan Malaka jilid 4 yang terkait dengan periode kematian tokoh tersebut, diselenggarakan pertemuan pada 27 Januari 2014. Pada saat ini dibahas kasus pencarian makam pahlawan nasional lainnya. Sebelum diangkat sebagai pahlawan nasional tahun 1975 telah dilakukan penggalian makam Supriyadi di Banten. Namun, ciri-ciri fisik mayat itu tidak cocok dengan identitas yang diberikan keluarga. Kasus lain mengenai Oto Iskandar Dinata yang diculik dan dibunuh oleh sekelompok pemuda pada Desember 1949. Setelah mendengar kesaksian bahwa pembunuhan itu terjadi di Pantai Mauk, Tangerang dan jenazah telah dibuang ke laut, maka pihak keluarga secara simbolis mengambil pasir di pantai tersebut, membungkusnya dengan kain kafan dan memakamkan di Lembang, Bandung tahun 1952. Setelah menganalisis beberapa kasus di atas, akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk secara simbolis dengan mengambil tanah di makamnya di Selopanggung dan memindahkannya ke TMP Kalibata. Tindakan itu menjadi semacam pengakuan dari pemerintah sekaligus rehabilitasi Tan Malaka yang dicekal selama Orde Baru. Sementara itu, kerangka Tan Malaka akan tetap dibiarkan di tempat semula. Masyarakat setempat menginginkannya di sana. Di situ akan dilakukan pemugaran makam dan pembangunan monumen Tan Malaka. Di sisi lain, riset ilmiah Dr Djaja untuk mencari DNA Tan Malaka ke seluruh dunia silakan dilanjutkan tanpa batas waktu. Pertemuan dengan Dirjen Pemberdayaan Sosial Hartono Laras tanggal 11 Februari 2014 mengubah skenario semula. Menurut Hartono Laras bila tim penggalian makam Tan Malaka yang terdiri atas para ahli sejarah dan pakar forensik sudah memutuskan bahwa 90% makamnya di Selopanggung, maka pihak Kementerian Sosial dapat menerimanya. Tentang lokasi kubur di Jawa Timur atau Kalibata Jakarta pihak keluarga yang menentukan, dalam hal ini satu-satunya kerabat kandung Tan Malaka yang masih hidup yakni keponakannya, Zulfikar. Namun bagi pemerintah cuma ada dua pilihan, yakni makamnya tetap di sana dan dipugar atas biaya Kementerian Sosial atau dipindahkan oleh keluarga ke TMP Kalibata. Kementerian Sosial tidak memiliki mata anggaran pemindahan makam, namun akan mengurus penempatan jenazah di TMP Kalibata bekerja sama dengan Garnisun Jakarta. Kini pihak keluarga sedang mencari dana untuk biaya pemindahan tersebut dan kunjungan ke

Kediri pun tertunda sementara akibat letusan Gunung Kelud.

ASVI WARMAN ADAM Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Penasihat Tim Penggalian Makam Tan Malaka

Orang Jawa melihat Gunung Kelud


Koran SINDO
Jum'at, 21 Februari 2014

MELETUSNYA Gunung Kelud (yang terletak di perbatasan Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang) yang dahsyat dan menimbulkan bencana hujan abu di hampir seluruh Pulau Jawa (Kamis, 13/2/14), bagi orang Jawa yang berbudaya tradisional tak lepas dari mitologi dan legenda yang melatarbelakangi keberadaan gunung tersebut. Bagi orang Jawa tradisional, khususnya yang tinggal di sekitar Kelud, ia tak hanya merupakan entitas gunung yang muncul akibat tekanan magma dari dalam bumi ring of fire, tapi juga entitas yang hidup yang selalu menunjukkan siapa dirinya dan menjaga eksistensinya. Bagi orang Jawa, keberadaan mitologi dan legenda gunung merupakan simbol kultural yang melekat dalam tradisi kehidupannya. Mitos dan legenda telah memperkaya khasanah tradisi kehidupan orang Jawa sehingga banyak memunculkan kearifan lokal yang berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan serta mewaspadai setiap gejala anomalis yang muncul di alam sekitarnya. Hal ini terjadi karena kebudayaan tradisionalpinjam pendapat Redfieldakan hadir di tengah kelompok orang-orang yang menjalani kehidupan dengan latar belakang mitologi dan legenda di sekitarnya. Dengan demikian, mitologi dan legenda adalah bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan peradaban manusia, sejak zaman tradisional sampai zaman modern. Di Jawa Tengah, misalnya, mitologi Gunung Merapi yang dikaitkan dengan Kerajaan Mataram hingga Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat sampai saat ini masih kental dalam tradisi masyarakat tradisional di Kesultanan tersebut. Mitologi kesinambungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Gunung Merapi misalnya, terlihat pada jalan poros pandang dari keraton melalui Jalan Malioboro, Mangkubumi, dan seterusnya yang membujur dari selatan-utara menuju Gunung Merapi. Tanpa kesinambungan Keraton- Gunung Merapi, eksistensi kesultanan kehilangan pamor dan wibawanya yang penuh mitologi dan legenda. Keduanya merupakan dua faktor penting dalam pembentukan Kerajaan Jawa tempo dulu. Ini terjadi karena gunung dalam mitologi Jawa adalah paku buwono atau paku bumi. Karena itu, banyak raja Mataram yang mendaulat namanya dengan gelar Paku Buwono.

Gunung Kelud juga tak lepas dari mitologi yang mengiringi keberadaannya. Meletusnya Gunung Kelud merupakan bentuk kemarahannya terhadap kondisi yang ada di sekelilingnya. Munculnya kawah Gunung Kelud misalnya, dipercayai orang Jawa tradisional sebagai tragedi pengkhianatan cinta. Menurut legenda dan kitab Pararaton yang diceritakan turun-temurun masyarakat tradisional sekitar Gunung Kelud, fenomena meletusnya gunung tersebut adalah akibat perbuatan Putri dari Kerajaan Jenggala (meliputi daerah Kediri, Blitar, danTulungagung) yang bernama Dewi Kili Suci. Sang Dewi yang amat cantik ini, konon, dilamar dua raja siluman sakti bernama Mahesa Suro (manusia berkepala kerbau) dan Lembu Suro (berkepala sapi). Tentu saja Sang Dewi tak bisa menolak lamaran kedua raja itu. Namun, gadis cantik ini punya akal agar tak bisa dinikahi kedua raja siluman tersebut. Ia menerima pinangan keduanya asal memenuhi syarat yang dimintanya; yaitu kedua raja harus membuat sumur di puncak Gunung Kelud. Sumurnya yang pertama harus berbau amis dan kedua berbau wangi. Batas waktunya hanya satu malam, mulai terbenam matahari sampai ayam berkokok. Merasa punya kesaktian yang hebat, kedua raja siluman tersebut siap memenuhi syarat sang dewi. Keduanya membuat sumur yang diminta. Tapi ketika kedua raja siluman itu berada di dasar sumur, Sang Putri Raja Jenggala memerintahkan prajurit kerajaan untuk menutup sumur itu dengan batu-batuan. Akibatnya kedua raja siluman itu pun tewas. Tapi sebelum mengembuskan napas terakhir, Lembu Suro bersumpah akan membalas dendam. Suatu ketika ia akan keluar sumur dan menyebarkan api dan batu. Lembu Suro menyatakan: Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping, yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung. (Ya, Kerajaan Jenggala di Kediri akan menerima balasanku. Kediri akan jadi sungai, Blitar jadi daratan, dan Tulungagung jadi danau). Untuk meredam kemarahan (menolak bala) Lembu Suro, tiap tanggal 23 Suro (awal tahun kalender Jawa), masyarakat tradisional sekitar Kelud melakukan ritual melarung sesajen di kawah Gunung Kelud tersebut. Salah satu syarat utama dalam larung sesajen itu, antara lain, ada jenang (dodol) sengkala. Syarat ini pernah dilanggar pada 2007. Akibatnya, menurut penduduk setempat, Gunung Kelud marah dan meletus. Danau di kawah Gunung Kelud juga berubah warnanya, dari hijau menjadi hitam. Dan akhirnya, kawah yang berisi air itu hilang dan berganti kawah yang berisi kerikil. Selain itu, kata masyarakat sekitar, Gunung Kelud selalu meletus pada hari pasaran Wage atau hari keempat dalam penanggalan Jawa. Letusan Gunung Kelud hari Kamis malam (13/2) lalu, misalnya, dalam

kalender Jawa sudah masuk dalam Jumat Wage. Orang Jawa percaya setiap Gunung Kelud meletus, niscaya ada peristiwa besar di Jawa (sekarang pengertiannya peristiwa nasional). Letusan Kelud pada tahun 1951, misalnya, memperingatkan adanya peristiwa nasional pemberontakan PKI di Madiun. Lalu letusan tahun 1966, memberikan informasi adanya perubahan besar-besaran dalam pemerintahan, dari Orde Lama ke Orde Baru. Sedangkan letusan tahun 2014, dua bulan menjelang pemilu, tampaknya mengindikasikan adanya suatu perubahan radikal lagi dalam sistem pemerintahan mendatang pasca-SBY. Orang Jawa tradisional yang hidupnya akrab dengan simbol-simbol tersebut, niscaya mempercayai akan ada peristiwa besar di tahun 2014 dan seterusnyabukan sekadar adanya pemilu dan pilpres, tapi ada peristiwa lain yang mengguncangkan jagat Indonesia. Peristiwa apakah itu? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu! Namun satu hal jelas, mitos-mitos yangmenurut Van Peursentidak rasional dan tidak ilmiah itu kini sedang dibangun dunia perpolitikan nasional. Para pendukung calon-calon presiden tertentu, misalnya, sedang berusaha membangun mitologi untuk memasarkan capres pilihannya. Mampukah mitologi yang tumbuh di masyarakat tradisional dimodifikasi untuk masyarakat modern? Berhasilkah para pendukung caprescapres tertentu yang memitoskan calon presiden pilihannya di era cybermatika saat ini? Letusan Gunung Kelud kali ini boleh jadi justru akan membongkar mitos-mitos orang besar yang kini tengah dilegendakan para pengikutnya. Seperti halnya nama Kelud yang dalam bahasa Jawa berarti sapu yang digunakan untuk pembersih tempat tidur, meja, dan kursi maka meletusnya Gunung Kelud ini, papar seorang ahli Javanologi, juga dalam rangka pembersihan meja dan kursi kekuasaan. Pimpinan partai antikorupsi yang ternyata korup dan dipenjara sudah cukup membuktikan bahwa mitologisasi di era modern, jika substansinya buruk dan tidak sesuai dengan tema mitologinya, niscaya akan gagal. Sebaliknya orang baik, jujur, dan bersih mitologisasinya akan berjalan dengan sendirinya. Alam yang akan memitoskannya, tanpa rekayasa dan tanpa politik transaksional!

M BAMBANG PRANOWO Guru Besar Sosiologi Agama di UIN Ciputat/Rektor Universitas Mathlaul Anwar, Banten

Eksperimen Perppu melawan konstitusi


Koran SINDO
Jum'at, 21 Februari 2014

PRESIDEN Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali dipermalukan, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Undang-Undang (UU) No 4/2014 tentang Penetapan Perppu No 1/2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi. Niat baik sang presiden memulihkan wibawa MK dimentahkan MK karena berpotensi menimbulkan masalah serius. Dengan alasan dan pertimbangan yang sangat konstitusional pula, MK memang harus menggugurkan UU No 4/2014 yang materinya bersumber dari Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No 1/2013 itu. Benar bahwa wibawa MK harus dipulihkan, tetapi pemulihan wibawa MK harus konstitusional dan bebas dari kepentingan sempit atau kepentingan jangka pendek. Maka sebelum didapatkan rumusan perubahan yang konstitusional atas UU tentang MK, UU No 24/2003 harus diberlakukan kembali. Masalahnya adalah muatan Perppu No 1/2013 itu sendiri tidak konstitusional. Sebelum dibahas di DPR, sejumlah elemen masyarakat, termasuk sebagian kekuatan politik di DPR, sudah mengingatkan kalau Perppu itu tidak layak. Ketidaklayakannya semakin nyata dalam proses persetujuan perppu itu di DPR. Sebagian anggota DPR, khususnya fraksi-fraksi pendukung pemerintah, kehilangan objektivitas. Utamanya dalam memaknai persyaratan calon hakim konstitusi, peran dominan panel ahli dan majelis kehormatan hakim konstitusi. Kemudian, sangat jelas kalau persetujuan perppu itu menjadi UU amat sangat dipaksakan. Harus dilakukan serangkaian lobi antarfraksi untuk mendapatkan suara mayoritas yang menyetujui perppu itu. Proses seperti ini saja sudah aneh, karena memperlihatkan perilaku parlemen yang tidak patuh pada UUD 1945. Pemerintah mengklaim bahwa Perppu No 1/2013 itu dirancang oleh para ahli dari berbagai bidang, utamanya ahli hukum tata negara. Sayang, karena sarat emosi dan merasa paling pintar sendiri, para perangsang perppu itu tak mampu berpikir jernih. Serba terburu-buru sehingga produk itu jauh dari sempurna sebagai pengganti UU. Mereka tidak lagi melihat dan mengkaji UU tentang Komisi Yudisial (KY), serta mencermati tugas dan fungsi KY menurut UU pendiriannya. Ketidaksempurnaan itu demikian mencoloknya sehingga mereka yang awam soal perundang-undangan pun mampu

melancarkan kecaman. Semua warga negara setuju wibawa MK harus segera dipulihkan. Betul bahwa citra dan wibawa MK ambruk karena sang ketua menggunakan kapasitas jabatannya untuk melakukan tindak pidana korupsi. Juga tak terbantah bahwa kepercayaan publik pada MK nyaris hilang. Tapi bukankah institusi MK sendiri tidak terperangkap dalam situasi genting? Pun tidak ada kegentingan yang mengeliminasi tugas dan fungsi MK. Karena situasinya yang demikian itu, sama sekali tidak ada urgensi atau alasan masuk akal untuk mengubah UU tentang MK. Hal yang paling dibutuhkan adalah menegakkan kode etik secara ketat dan tanpa kompromi. Itu sebabnya, beberapa kalangan menilai, amat berlebihan kalau niat memulihkan wibawa MK harus ditempuh dengan mengubah UU tentang MK. Perilaku tak terpuji pimpinan MK harusnya dilihat sebagai masalah personal, bukan institusi. Karena itu, tak ada relevansinya sama sekali dengan keharusan mengubah UU tentang MK. Apalagi dengan pendekatan sangat ekstrem serta mengabaikan konstitusi. Perppu No 4/2014 itu jelas-jelas mengangkangi UUD 1945 yang menetapkan hak dan wewenang Presiden, DPR, serta Mahkamah Agung (MA) untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Perppu itu melahirkan monster bernama Panel Ahli yang diberi peran sangat dominan, sebab panel ahli merampas hak dan wewenang presiden, DPR serta MA untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Logika sistem perundang- undangan negeri manakah yang dipakai sehingga perppu bisa mengabaikan UUD 1945? Titah konstitusi sangat jelas bahwa presiden berhak mengajukan tiga calon hakim konstitusi, DPR pun berhak mengajukan tiga calon, dan begitu juga MA. Eskalasi fungsi KY Mereka yang memaksakan pemberian peran dominan kepada panel ahli itu rupanya merasa dirinya lebih tinggi dari konstitusi. Atau, boleh jadi karena dia tidak paham mengenai sistem dan struktur perundang- undangan Indonesia. Namun, apa pun alasannya, perilaku amatiran seperti ini tidak hanya sangat merepotkan, tapi akan merusak tatanan. Harus dikatakan bahwa muatan perppu itu amat memprihatinkan. Dan, kendati berniat baik, perppu itu justru membuat presiden semakin tidak kredibel. Menurut UU No 22/2004 tentang KY, fungsi KY hanya mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung dan hakim ad hoc MA kepada DPR. Dalam mengawasi perilaku hakim, KY bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. KY juga berwenang menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama MA serta menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH. Perppu No 1/2013 itu, lagi-lagi, mengangkangi UU. Sebab, Perppu itu memperluas wewenang KY tak kepalang tanggung. Panel ahli yang

menyeleksi calon hakim konstitusi itu bahkan dibentuk oleh KY. Sama artinya KY boleh mengusulkan calon hakim konstitusi, bukan hanya calon hakim agung. Lalu, perppu itu juga memperbesar kapasitas fungsi dan tugas KY. Perppu itu menugaskan KY dan MA membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang permanen. Dan, majelis kehormatan ini akan diperkuat oleh sekretariat yang berkedudukan di KY. Tidakkah ini berarti KY, bersama MA, juga bertugas mengawasi hakim konstitusi? Kalau begini maunya Perppu No 1/2013 itu, konsekuensi logisnya adalah mengubah UU tentang KY lebih dulu. Kalau KY dipaksa melaksanakan pekerjaan di luar jangkauan UU pendiriannya, itu inkonstitusional. Jadi, selain syarat kegentingan tidak terpenuhi, perppu yang menjadi bahan baku UU No. 4/2014 bahkan juga cacat materiil. Pasal tentang pembentukan panel ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi itu tidak jelas acuannya. Karena dua soal ini dipaksakan ke dalam perppu, ada kesan bahwa orang-orang dekat presiden sedang bereksperimen. Derajat Perppu diadu dan dinaik-naikkan melampaui konstitusi dan UU. MK dalam putusannya menegaskan, UUD 1945 Pasal 24 C Ayat (3) memberikan kewenangan atributif bersifat mutlak kepada pemerintah, DPR, dan MA untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Kewenangan itu tidak boleh diberi syarat-syarat tertentu oleh UU dengan melibatkan KY yang tidak diberi wewenang oleh UUD. Dan, tentang Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, MK juga menegaskan bahwa KY bukan lembaga pengawas MK, apalagi lembaga yang berwenang menilai benar-tidaknya putusan MK sebagai lembaga peradilan. Pelibatan KY, menurut MK, merupakan salah satu bentuk penyelundupan hukum karena hal itu bertentangan dengan putusan MK tentang UU KY.

BAMBANG SOESATYO Anggota Komisi III DPR RI

Pendidikan dan Kebudayaan

Seorang siswa dididik agar berbudi daya sehingga ketika tumbuh dewasa dan memasuki kehidupan sosial mampu memberdayakan akal budinya. Akal budi merupakan anugerah dan potensi yang amat mahal, tak ternilai, yang hanya dimiliki manusia sehingga manusia memiliki dua dunia: nature dan culture. Untuk bertahan hidup, manusia mesti menjaga nature-nya yang bersifat permanen, tak berubah seperti nature untuk makan, minum, tidur dan berkembang biak, tetapi tugas dan misi kehidupannya adalah membangun kultur atau kebudayaan. Tugas guru adalah mencintai dan memfasilitasi agar anak didik mampu mengenali dan menumbuhkan potensi akal budinya sehingga dalam bahasa Arab pendidikan disebut tarbiyah. Kata tarbiyah masih seakar dengan kata Rabb, misalnya dalam kalimat Rabbulalamin. Juga kata riba yang artinya menumbuhkan uang. Ada juga kata rabwah, artinya tanah tinggi. Jadi, pendidikan atau educare dalam bahasa Latin merupakan proses pembelajaran yang bertujuan menumbuhkan dan mengaktualkan potensi kemanusiaan serta bakat yang tersimpan dalam diri siswa sehingga pada urutannya mampu hidup mandiri, bahkan berkontribusi dalam menjaga dan membangun kebudayaan. Oleh karenanya sangat tepat jika pendidik juga disebut guru, yaitu mereka yang dengan sadar, penuh cinta kasih dan keterampilan, mengusir kegelapan atau kebodohan. Dalam Alquran, para nabi utusan Tuhan itu disebut para guru pembangun kebudayaan dengan misi mengeluarkan manusia dari kehidupan yang gelap, jahiliah, menuju kehidupan yang terang secara spiritual dan intelektual. Dalam berbagai ayat Alquran dikatakan, pengondisian dan pembersihan jiwa (tazkiyah nafsiyah) itu mendapat urutan pertama, menyusul kemudian materi pengetahuan kognitif. Tahapan mental conditioning ini analog dengan kinerja petani yang hendak menanam pohon. Sehebat apa pun jenis bibit pohon kalau tanahnya tidak dipersiapkan lebih dahulu, bibit pohon tidak akan tumbuh subur. Oleh karenanya sangat tepat ungkapan yang mengatakan keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak mengingat keluarga merupakan tahapan conditioning bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang lebih lanjut. Tiga Pilar Utama Kebudayaan Dalam Alquran Allah menjanjikan untuk mengangkat derajat seseorang atau bangsa karena tiga hal: iman, ilmu, dan akhlak. Dalam konteks budaya, manifestasi iman adalah karakter atau integritas. Integritas dan ilmu akan membuat seseorang atau bangsa akan memiliki nilai lebih, bahkan berlipat-lipat. Contoh paling sederhana adalah teknologi gadget seperti halnya handphone ataupun komputer. Meski ukurannya kecil, ringan, harganya mahal karena di dalamnya terdapat investasi sains-teknologi tinggi yang mampu melayani kebutuhan manusia untuk berkomunikasi jarak jauh, kapan saja, di mana saja.

Gadget ini merupakan artifisial body and intelligent. Keterbatasan telinga sangat terbantu oleh teknologi handphone untuk berbicara jarak jauh. Kelemahan daya ingat manusia sangat terbantu oleh teknologi yang mampu menyimpan gambar dan informasi yang sewaktu-waktu dapat ditampilkan ulang. Dengan begitu, yang membuat harga handphone dan komputer mahal bukan semata karena teknologinya, melainkan memori-memori penting yang sudah tersimpan di dalamnya. Dengan kata lain, iman, ilmu, dan budi pekerti akan mengangkat agar tidak berhenti menjalani hidup pada tataran nature layaknya hewan, melainkan naik ke tataran kultur, yaitu hidup yang berbudaya dan berkeadaban. Mari kita amati diri kita sendiri. Manusia ditakdirkan secara natural tidak pandai terbang, tetapi dengan prestasi sains dan teknologi manusia mampu menciptakan pesawat terbang yang jauh lebih besar dan perkasa ketimbang burung apa pun yang ada. Manusia ditakdirkan tidak mampu berenang menyaingi kehebatan ikan paus. Namun atas takdir Tuhan yang menganugerahkan akalbudi, manusia bisa menciptakan kapal selam. Demikianlah seterusnya, melalui proses pendidikan manusia kemudian mengembangkan manajemen takdir untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Salah satu fungsi utama ilmu adalah memahami dan mengidentifikasi perilaku alam, perilaku sosial, dan humaniora. Dengan bantuan pemahamannya yang benar, manusia menciptakan teknologi untuk membantu penyelenggaraan hidup agar lebih nyaman dijalani. Tanpa iptek kita sulit menciptakan kesejahteraan hidup bagi miliaran penduduk bumi. Namun ketika memasuki persoalan makna dan tujuan hidup, sebaiknya ditanyakan pada filsafat dan agama, bukan pada iptek. Di Indonesia, integrasi iman, ilmu, dan kemanusiaan sudah tercantum dalam Pancasila yang dimulai dengan ketuhanan, kemanusiaan, dan kemudian bermuara pada kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan kesejahteraan mesti memerlukan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun untuk menjaga dan menyemai nilainilai kemanusiaan kita memerlukan sumber yang transenden. Dua pilar ini, ilmu, iman dan integritas, sangat vital untuk membangun kebudayaan unggul dalam rumah besar bangsa Indonesia, sebuah upaya yang mesti ditanamkan dan diperkenalkan secara sadar sejak anakanak masuk sekolah. Jadi, hubungan antara pendidikan dan kebudayaan bagi sebuah bangsa dan masyarakat tak dapat dipisahkan. Jatuh-bangunnya sebuah bangsa sangat berkaitan dengan arah dan kualitas pendidikannya dan pendidikan sangat dipengaruhi budayanya. Antara keduanya terjadi hubungan dialektis. Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk yang hidup tersebar di ribuan pulau tentu memerlukan proses panjang untuk membangun sebuah negara bangsa yang solid. Kata Indonesia sendiri lebih merujuk pada posisi geografis, bukannya identitas etnis atau ras. Jadi, kekayaan dan keragaman budaya dan agama bisa jadi kekuatan, keunikan, dan keunggulan budaya kita, tetapi ini merupakan agenda dan usaha sejarah lintas generasi untuk mewujudkan serta menjaganya.

Medium paling utama adalah lembaga pendidikan. Namun, disayangkan, pemahaman anakanak kita tentang keunggulan dan kekayaan budaya serta alamnya sangat minim. Mereka kurang mengenal ilmu bumi, sejarah, seni, dan kearifan lokal. Padahal Indonesia ini rumah kita tempat lahir, tumbuh, dan berkreasi membangun peradaban unggul. Mengingat kompleksitas peluang, tantangan, dan kekayaan budaya yang ada, pendidikan mesti memiliki strategi dan pilihan-pilihan yang dibutuhkan zamannya. Pendidikan mesti menangkap the spirit of the nation. Sangat urgen agar para siswa memiliki pemahaman dan penguatan komitmen kebangsaan. Mereka mesti disadarkan bahwa Indonesia sebagai bangsa masih dalam proses menjadi (in the process of becoming), kondisinya masih rapuh, belum solid. Adalah kewajiban orang tua dan guru untuk mendidik anak-anaknya agar bangga menjadi anak Indonesia. Dan itu hanya bisa diraih kalau bangsa ini memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang bagus, yang mampu bersaing dalam percaturan global. Untuk menumbuhkan rasa bangga pada siswa, mesti dimulai dari rasa bangga pada sekolah dan guru-gurunya. Sebuah tantangan besar dan sekaligus mulia bagi para guru dan pemerintah mengingat nasib masa depan bangsa akan sangat tergantung pada pilar pendidikan.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

Donor Fatigue

Dalam satu dasawarsa terakhir, Indonesia seakan tidak pernah henti didera bencana. Sejak tsunami Aceh di pengujung 2004, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan gempa bumi terjadi silih berganti. Beribu nyawa terenggut. Triliunan harta benda ludes. Para agamawan mengingatkan bahwa bencana alam adalah ujian, musibah, azab, dan hukuman Tuhan atas dosa-dosa teologis dan ekologis manusia. Karena itu bangsa Indonesia harus melakukan pertobatan nasional dan meningkatkan kebajikan. Dengan merujuk beragam teori, para ilmuwan berpendapat bencana alam adalah peristiwa alamiah yang bisa diamati, diantisipasi dan dihindari. Peristiwa alam menjadi malapetaka karena rendahnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Minimnya fasilitas penanggulangan bencana membuat infrastruktur hancur. Analisis terhadap sebab terjadinya bencana bersifat subjektif- spekulatif. Mana yang benar? Wallahu alam. Rasanya tidak terlalu perlu menghabiskan energi memperdebatkan sebab-musabab bencana. Yang mati tidak akan hidup lagi. Yang cacat tidak kembali sempurna. Bagaimana sesegera mungkin melakukan rehabilitasi jiwa dan rekonstruksi kerusakan bangunan? Bagaimana meningkatkan kemampuan mitigasi, penanganan dan penanggulangan bencana? Bagaimana membangun karakter bangsa yang kuat menghadapi bencana? Donor Fatigue Penting mempertanyakan karakter bangsa menghadapi bencana. Muncul reaksi dan perilaku negatif terhadap bencana. Pertama, karakter melankolis. Bencana identik dengan air mata, kesedihan dan kemiskinan. Demi mendapatkan perhatian dan bantuan, banyak yang sengaja menampilkan diri sebagai korban (self-victimising) dan belas kasihan (self-pity).Dengan jerit tangis, pemimpin agama memanjatkan doa-doa fatalistis. Tidak tampak karakter bangsa yang berjiwa besar menerima bencana dengan sabar. Bangsa Indonesia memperingati tsunami dengan ratapan. Jauh berbeda dengan bangsa Jepang yang memperingati tsunami dengan nyanyian, tarian dan kegembiraan. Mereka berusaha menunjukkan dirinya sebagai bangsa yang hebat. Kecenderungan negatif lainnya adalah donor fatigue. Bencana yang datang bertubi-tubi membuat masyarakat mengalami donor fatigue (lelah bederma). Donor fatigue merupakan keletihan psikologis dan spiritual di mana seseorang atau masyarakat mengalami defisit energi dan stamina bederma. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, jiwa individualistis di mana seseorang mementingkan diri sendiri dan tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Dalam perspektif agama, seseorang menjadi individualistis karena lemah iman dan miskin spiritualitas. Secara sosiologis, individualisme terjadi karena renggangnya kohesivitas sosial. Kedua, by stander apathy. Bencana yang terus menerus

membuat seseorang terbiasa dengan bencana. Keadaan ini membuat seseorang apatis, kehilangan rasa empati dan simpati kepada orang lain. Tidak ada lagi panggilan jiwa untuk berbagi karena merasa sudah banyak memberi. Ketiga, meningkatnya masalah ekonomi. Kondisi ekonomi negara yang semakin sulit bagi sebagian besar masyarakat berdampak langsung terhadap meluasnya kesulitan hidup dan tingginya kemiskinan. Dalam kondisi demikian, masyarakat cenderung membantu ala kadarnya, terpaksa atau tidak memberi sama sekali. Terkadang masyarakat yang dibantu memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi. Keempat, birokratisasi lembaga penanggulangan bencana. Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana di tingkat nasional (BNPB) dan daerah (BPBD) menimbulkan keengganan masyarakat untuk menyumbang. Kewajiban penanggulangan bencana ada di tangan pemerintah. Kelima, tidak adanya kesadaran masyarakat yang tertimpa bencana untuk mengubah keadaan. Inilah salah satu penyebab berkurangnya kepedulian masyarakat membantu korban banjir di Jakarta. Ketahanan Bencana Sebagai negara yang rawan bencana, Indonesia harus membangun sistem ketahanan bencana. Sistem ini dibangun dengan dua kekuatan. Pertama, kekuatan kelembagaan. Negara harus memperkuat lembaga penanggulangan bencana. Peningkatan sumber daya manusia, saranaprasarana, dan pendanaan. Peristiwa alam biasa bisa menjadi tragedi kemanusiaan yang memilukan karena rendahnya kemampuan insani tim SAR, anggota BNPB/BPBD, dan peralatan yang ketinggalan jaman. Yang tidak kalah pentingnya adalah membangun kepercayaan masyarakat, terutama akuntabilitas lembaga bencana. Kekuatan lembaga bencana juga ditentukan kredibilitas pemerintah. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menimbulkan boikot dan pembangkangan sosial dalam penanggulangan bencana. Kedua, kekuatan sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan tiga kekuatan budaya. Pertama, kekuatan ilmu pengetahuan. Masyarakat harus semakin melek bencana. Memahamkan masyarakat tentang habitat terdekatnya dan mampu melakukan penyelamatan dini secara mandiri. Kurikulum pendidikan, terutama muatan lokal, perlu diperkaya dengan materi tersebut. Kedua, menghidupkan kembali tradisi gotong royong dan lembaga-lembaga sosial. Ketiga, membangun karakter kedermawanan dan mentalitas yang kuat. Sekarang ini sangat mendesak adanya penafsiran agama tentang bencana yang lebih konstruktif. Masyarakat dininabobokan tidak boleh dikerdilkan oleh fatalisme, pesimisme, dan mistisisme bencana. Berbagai bencana bakal kembali terjadi. Dan bila benar-benar terjadi, bangsa yang besar ini telah siap menghadapinya dengan jiwa besar. ABDUL MUTI Sekretaris PP Muhammadiyah

Kelud, Ketulusan dan Kebangsaan Kita

Pasca-Amerika Serikat mengebom kota penting Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, bangsa Jepang kolaps sesaat. Jepang pun menyerah. Dunia tahu siapa pemenang perang bersenjata itu. Menyelami kedalaman solutif bangsa Jepang setelah kekalahannya, Jepang menemukan elan kebangkitan luar biasa dan memenangi perang dahsyat kebudayaan. Jepang dengan bekas radiasi bom atomnya, malah mengembangkan pola makan sehat lantaran ketiadaan tanaman dan kehidupan yang normal di daratan: sushi dan nori. Makan ikan mentah dan rumput laut, alih-alih sebagai sekadar penyambung hidup, berkembang begitu kreatif bahkan mendunia. Makan ikan segar itu sehat. Itu baru kreasi kulinernya. Dalam hal teknologi (perang), kekalahan dari bangsa lain cukup sekali, sesudahnya bangsa Jepang mengembangkan falsafah Kaizen: never ending improvement, memperbaiki apapun sedikit demi sedikit setiap hari. Hasilnya, Jepang meraih kembali kejayaannya. Bencana akibat perang telah menguatkan kebangsaannya. Hari ini, segitiga pemerintah- korporat-rakyat, menampakkan fenomena getir. Sejumlah oknum (dan jumlahnya amat besar) penyelenggara pemerintahnya, tersangkut korupsi. Pengusahanya berkembang menjadi kapitalis tamak. Ibarat membuka perkebunan sawit membabat alas penyangga keseimbangan kawasan, lahan pun bahkan harus bersih dari rerumputan saat land clearing, dunia usaha dikuasai perilaku pembersihan bisnis dari usaha mikro. Yang kecil tersingkir lalu mati, padahal mereka tak pernah memacetkan kredit perbankan triliunan, karena mereka sudah pasti unbankable! Rakyatnya? Sebagian besar urusan krusialnya, terlebih dalam situasi bencana di banyak tempat: terabaikan. Lalu, pemerintah mengeluarkan wacana hebat: menggelontorkan dana besar penanggulangan bencana dan pemulihan sarana dan prasarana fisik. Rakyat pun siap kalau saat dana direalisasikan, mereka belum kunjung mendapat santunan dan pemulihan. Seperti ribuan rumah korban gempa di Lombok Utara atau korban bendungan alam Wae Ela Maluku Tengah tahun lalu. Belum lagi sejumlah penanggung jawab gudang logistik pemerintah di wilayah-wilayah terpapar bencana, tak berani mengeluarkan jatah beras untuk situasi darurat karena belum ada perintah atasan. Terlalu! Dialog Masyarakat Sipil Lalu siapa yang bersegera menolong korban bencana di mana-mana, masif dan eskalatif ini? Masyarakat sipil sendiri: elemen keempat! Masyarakat bahu-membahu menolong dirinya, dengan stimulasi-edukasi aktivasi lembaga kemanusiaan. Lembaga kemanusiaan ini lahir karena panggilan, tumbuh kembangnya terjadi dalam asuhan pengalaman, tanpa sedikit pun anggaran negara. Terlalu banyak elite disibukkan mempersiapkan Pemilihan Umum 2014.

Para elite bangsa ini belum signifikan menunjukkan karya kemanusiaannya. Sejumlah pembantu presiden pun, karena akan bertarung dalam perhelatan demokrasi, mundur. Ketika itulah, agenda rakyat banyak menjadi berselisih jalan dengan agenda elite penyelenggara pemerintahan. Saya baru saja melintasi kota-kota di Jawa yang terpapar abu Kelud. Solo dan Yogyakarta yang jauh dari Kelud, malah kerap terpapar ekses erupsi Gunung Merapi, kembali ditebari abu vulkanik Kelud. Perjalanan melintasi jalan-jalan utama Yogyakarta dan Solo, dipenuhi kepulan debu. Pepohonan dan bangunan diselimuti debu. Hampir semua pengguna jalanan yang tak bermobil, tak dikenali lagi wajahnya karena tertutup masker. Masker seolah menjadi fesyen yang sedang ngetren. Semua mengenakannya: rakyat kecil hingga Presiden negeri ini. Seorang relawan di Pare, Kediri berseloroh, Luar biasa Kelud ini, dihormati sekali sanggup mendatangkan presiden ke sini. Semoga debu Kelud menjadi awal datangnya berkah. Di tengah kancah bencana, kita menemukan kesamaan frekuensi baik mereka yang menjadi korban dan mengungsi, maupun yang datang dari banyak tempat atas dasar panggilan nurani. Frekuensi itu bernama kemanusiaan. Kemanusiaan menyelaraskan korban dan mereka yang peduli. Kemanusiaan menjadi bahasa penyatu. Kemanusiaan segera menyatubahasakan elite pengambil keputusan, rakyat dan elemen-elemennya. Meleset sedikit saja dari ruh kemanusiaan, siapa pun akan kehilangan kesinambungan, bahkan bisa secara ekstrem dipandang kehilangan kemanusiaannya. Bencana memaksa masyarakat sipil berdialog intensif di ranah kemanusiaan. Kelud: Lahan Ketulusan Sejak erupsi Gunung Kelud Kamis malam, minggu lalu, warga berlarian mengungsi. Sejauh ini mereka terkendali, tertib dan berinisiatif mencari wilayah aman untuk mengungsi. Warga masyarakat dan aparat setempat juga tanggap sejak sosialisasi kesiapsiagaan bencana hingga erupsi terjadi. Kembali, bangsa ini menyempurnakan kebaktiannya dari elemen masyarakat sipil dan pemerintah lokal. Sejenak di kawasan bencana, warna-warni keriuhan politik menyurut. Unjuk citra antarparpol yang bisa muncul pada situasi normal, malah nyaris tak terlihat dalam aksi unjuk peduli. Satu dua atribut politik, berkibar dalam aktivitas kemanusiaan, tapi minim sekali. Kampanye politik malu hati umbar janji di tengah banyak orang yang sedang bersedih. Ini kemajuan, pertanda mulai sensitifnya elite politik. Bahkan ini pertanda baik. Masalahnya, ketika krisis sosial akibat bencana menyeruak, tak cukup dengan sikap malu kampanye. Malulah, kalau tak sempat berbuat. Kreativitas pegiat politik diuji untuk berkarya kemanusiaan lebih dari sekadar menebar peranti politik. Berkarya nyata dari beragam lini, terutama saat bencana menerpa bangsa, tak sekadar memperbaiki citra diri, tapi semoga kian memperkukuh performa dan kapasitas kepemimpinan para pegiat politik. Bisa jadi, pandangan para elite partai politik telanjur

menganggap tabu memunculkan atribut partai di tengah suasana duka korban bencana. Yang meningkat tajam, kompetisi layanan kemanusiaan antara pemerintah (dan jajarannya) instansi terkait dengan institusi masyarakat sipil dalam aksi unjuk kepedulian sosial. Semua adu baik menggelar layanan kemanusiaan. Ini kompetisi hebat yang mempercepat bangsa ini mengatasi seribu satu masalahnya. Tak lain, karena penyelenggara pemerintahan maupun masyarakatnya adu baik mengelola amanah. Sungguh, gejala baik yang melahirkan optimisme. Kian dekat saatnya melihat bangsa ini merangkak menuju puncak kejayaan karena lolos dari sergapan masif bencana. Kembali menengok bencana erupsi Kelud. Wilayah terpapar dampak Kelud, adalah lahan keikhlasan. Pemerintah pusat dan daerah, institusi pemerintah terkait penanggulangan bencana, TNI dan Polri, kaum berpunya, pegiat kemanusiaan, rohaniwan, intelektual, profesional: semua ikhlas berkarya kemanusiaan. Mereka beraktivitas mulai dari yang berdoa, menyapu abu vulkanis dari jalan utama berkilo-kilo meter, menghidupkan dapur umum, berkontribusi harta benda, berkomentar, menyebarluaskan pesan kepedulian dan banyak wujud keikhlasan lainnya. Bangsa ini boleh kehilangan harta benda, sanak keluarga, kemewahan dan kenyamanan, tapi jangan kehilangan keikhlasan. Ya, Kelud (dan banyak lahan bencana alam dan sosial lainnya) adalah lahan keikhlasan dari mana energi berkarya tak ada matinya. Bencana menstimulasi sebuah bangsa menemukan jalan lempeng untuk menjadi bangsa besar. Bencana ini stimulan mengaktivasi kekuatan kepemimpinan, sekaligus menjadi penapis berpenampang halus lahirnya pemimpin sejati. Gagal merespons bencana, gagal mengelola bangsa bahkan dampak lanjutnya: gagal merawat kebangsaan. Tak ada jalan mundur untuk kemanusiaan: hadapi, bahkan andai itu bernama ketidakpedulian politik atas kemanusiaan. Bangkitkan kemanusiaan kita!

AHYUDIN Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Foundation

Konstitusi, MPR, dan GBHN

Persoalan paling mendasar yang kita rasakan setelah Reformasi 1998 berjalan 15 tahun adalah implikasi yang ditimbulkan setelah empat kali amendemen UUD NRI Tahun 1945. Ketika otoritarianisme Orde Baru berkuasa, perhatian kaum terpelajar dan kelompokkelompok kritis yang menginginkan demokrasi, fokusnya tertuju pada pembatasan masa jabatan presiden. Amendemen konstitusi dinilai merupakan satu-satunya solusi menuju sistem yang demokratis. Pembatasan Jabatan Presiden Sebelum amendemen, ketentuan dalam konstitusi atas masa jabatan presiden pada Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan Pasal 7 (Amendemen Pertama): Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Apa yang terjadi pada masa Orde Baru yang membenarkan presiden terpilih hingga tujuh kali melalui argumen bahwa sesudahnya dapat dipilih kembali, sebenarnya mengandung kontradiksi. Kalau konsisten, seharusnya selama berkali-kali terpilih kembali, presiden dan wakil presidennya adalah orang yang persis sama: sebab aturan konstitusi menyatakan presiden dan wakil presiden secara bersama-sama (satu paket). Setelah mengatur batasan masa jabatan presiden (baca: juga wakil presiden karena keduanya selalu menjadi satu paket), pada Amendemen Ketiga (Pasal 7 A dan B) disebutkan pula mengenai penyebab dan mekanisme pemakzulan presiden (seperti pengkhianatan terhadap negara, perbuatan tercela, atau korupsi). Hal-hal yang menjadi penyebab pemakzulan tersebut tidak satu pun yang secara langsung berkaitan dengan ketidakmampuan presiden dalam melaksanakan kekuasaan negara yang merupakan tanggung jawabnya. Amendemen terkait pembatasan masa jabatan presiden memiliki implikasi: Pertama, presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu (sebelumnya dipilih oleh dan melalui MPR); kedua, sehubungan dengan itu dapat didefinisikan bahwa presiden merupakan mandataris rakyat langsung, yang semula mandataris MPR; ketiga, pembatasan masa jabatan berkorelasi dengan pelucutan fungsi utama MPR sebagai lembaga yang merepresentasikan kekuasaan rakyat. Hilangnya fungsi ini menyebabkan MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara sesuai ketentuan yang telah berubah. Semula dalam Pasal 1 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 sebelum amendemen isinya menyebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pasca Amendemen Ketiga menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Perubahan ini mengindikasikan kemunduran berpikir, sebab bentuk kedaulatan rakyat yang mulanya konkret-permanen (MPR) sehingga bisa menjalankan fungsinya sebagai majelisnya rakyat berubah menjadi sesuatu yang abstrak-insidentil. Rumusan yang menyatakan dilaksanakan menurut UUD jelas tidak mengindikasi hadirnya kelembagaan tertentu yang dapat menggantikan fungsi MPR sebagai lembaga pemberi mandat. Konsekuensi dari ketentuan pasca amandemen bahwa keterpilihan presiden melalui pemilu bukan melalui MPR menghapuskan definisi presiden mandataris MPR. Tetapi, yang dilupakan adalah tidak serta-merta ketentuan tersebut berarti meniadakan fungsi MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Sebab sekalipun presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR (secara teknis presiden terpilih melalui pemilu), tetap bisa menjalankan fungsinya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat (secara substansial masih merupakan majelisnya rakyat). Agar fungsi MPR yang dimaksudkan itu (pelaksana kedaulatan rakyat) tidak hilang caranya mengembalikan posisi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai arah kebijakan jangka panjang yang menjadi rujukan presiden. Horizontal dan Vertikal Keberadaan GBHN akan menyadarkan kita bahwa bangsa dan negara ini didirikan, seperti yang dengan jernih disampaikan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, sebagai negara oleh semua buat semua. Karena itu siapa pun presiden yang menjalankan kekuasaan negara semuanya definitif menjalankan blueprint yang sama secara berkesinambungan. Sehingga cita-cita negara ini didirikan tidak akan pernah dibajak oleh penyelenggara kekuasaan negara dalam satu atau dua periode masa jabatan yang notabene tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada majelisnya rakyat (MPR). GBHN sebagai acuan arah kebijakan merupakan desain kita bersama yang memiliki fungsi horizontal dan vertikal. GBHN bersifat horizontal sebab mendeskripsikan seperti apa negarabangsa kita, misalnya, pada 100 tahun ke depan. Ia mendeskripsikan capaian-capaian yang akan diraih pada periode-periode tertentu 25, 50, dan 75 tahun mendatang. Karenanya, tiaptiap presiden yang mendapatkan amanat melalui pemilu memiliki gambaran mengenai apa yang harus dikerjakan berkaitan dengan semua bidang, seperti: ekonomi, politik, hukum, pendidikan, pertanian, pertahanan dan keamanan, hubungan internasional. Sifat horizontal GBHN memandu presiden mengenai tahapan-tahapan pembangunan yang telah dilalui dan sekaligus untuk menentukan skala prioritas yang harus dikerjakan. Fungsi vertikal GBHN mengingatkan para penyelenggara kekuasaan negara pusat-daerah merupakan satu kesatuan yang terintegrasikan. Sebagai negara kesatuan secara operasional implementasinya senantiasa berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi yang mengikat semua daerah kepada pusat. Selain itu, GBHN sebagai arah kebijakan pembangunan, tentunya mencakup pembangunan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan.

Berkaitan dengan otonomi, seharusnya praktik otonomi daerah selalu dalam pengertian sebagai mekanisme untuk memudahkan pengelolaan kekuasaan negara sehingga tidak dapat dibenarkan bila kekuasaan daerah menegasikan kekuasaan pusat. Realitas yang kita hadapi dalam banyak kasus sejumlah bupati dan wali kota sama sekali tidak merasa bersalah ketika mengabaikan instruksi gubernur. Peraturan-peraturan daerah dibuat dengan menista keselarasan dengan aturan yang berlaku di pusat: menyimpangi nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi. Terhadap penyelenggaraan otonomi daerah yang nyata-nyata telah menciderai konsep negara kesatuan harus dilakukan tindakan korektif. Otonomi daerah yang kita jalankan merupakan derivasi dan implementasi dari konsep kesatuan: jangan lupa negara kita adalah NKRI. Kalau kita antusias untuk mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara agar terbuka forum bagi presiden mempertanggungjawabkan kekuasaannya, menjadi janggal apabila kita membiarkan kepala-kepala daerah (kabupaten, wali kota, dan gubernur) tidak bisa dikoordinasikan secara tertib. Kunci dari semua persoalan yang kita hadapi dalam penyelenggara kekuasaan negara adalah taat konstitusi. Kita dalam waktu dengan mempunyai kesempatan yang tidak boleh disiasiakan. Kita tentu sepakat bahwa Pemilu 2014 adalah momentum yang tepat dan konstitusional bagi bangsa ini untuk melakukan evaluasi yang komprehensif.

DRS H SIDARTO DANUSUBROTO SH Ketua MPR RI

Mas Itok dan Pejabat Lain

Berita itu sungguh mengejutkan. Anggito Abimanyu, Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, menyatakan mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai guru besar di UGM. Berita itu saya baca melalui SMS dan Twitter, saat saya sedang duduk di Kereta Api Cirebon Ekspres, dari Jakarta menuju Cirebon, Senin sore, awal pekan ini. Sangat mengejutkan karena mundurnya Anggito itu bukan lantaran kesibukannya sebagai Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah di Kementerian Agama, melainkan karena plagiarisme. Ya, Anggito Abimanyu menyatakan mundur dari UGM sebagai pertanggungjawaban moralnya setelah diketahui dan menyadari dirinya melakukan plagiarisme, yakni memublikasikan tulisan orang lain di media massa nasional yang dijadikannya sebagai tulisannya sendiri. Saya sangat terkejut karena saya mengenal Anggito sebagai kolega saya di UGM sejak lama. Saya dan kawan-kawan memanggilnya Mas Itok. Dia dikenal sebagai intelektual yang sangat populer, cerdas, dan berintegritas. Menjelang reformasi tahun 1998, saya sering bertemu dalam berbagai forum ilmiah dengan Anggito. Dia ikut aktif dalam diskusi-diskusi menjelang dan awal-awal reformasi. Saya sangat mengagumi kecerdasan, kebersahabatan, dan sikapnya yang antikorupsi. Orangnya supel, sopan, dan tawadhu. Tiba-tiba dia diberitakan mundur karena plagiarisme. Saya shocked. Saya minta Asmai Ishak, direktur International Program di UII Yogya, untuk mengecek, apa benar yang diberitakan itu Anggito yang kita kenal. Ternyata benar. Saya sedih, tetapi juga sedikit bangga. Sedih karena dunia akademik kembali tercoreng oleh plagiarisme, apalagi oleh orang yang secara akademis dibanggakan orang banyak. Harus saya akui untuk menaikkan gengsi di dunia akademik saya sering menyebut diri sebagai kawan dari orang-orang yang punya reputasi tinggi di dunia akademik, antara lain Anggito Abimanyu itu. Tapi ternyata Mas Itok terperangkap dalam plagiarisme. Untuk apa itu Anda lakukan, Mas Itok? Meski begitu, ada sedikit kebanggaan di hati karena Mas Itok tidak berkilah dengan alasan yang dicari-cari. Dia langsung mengakui kesalahannya dan menyatakan mundur sebagai guru besar dari UGM. Dengan begitu, di lubuk hatinya yang dalam, Mas Itok masih menjaga kesucian dunia akademik. Di dunia perguruan tinggi, plagiarisme menjadi semacam penyakit yang menjijikkan, seperti penyakit kusta yang penderitanya harus dijauhi. Itulah sebabnya banyak akademisi yang menjadi sangat malu, runtuh martabatnya, saat diketahui telah melakukan plagiarisme. Di Bandung, beberapa waktu yang lalu ada dosen yang dicopot dari jabatan guru besarnya karena memublikasikan karya orang lain yang diklaim sebagai karyanya sendiri. Jauh sebelum itu ada ijazah doktor yang juga dicabut dari seseorang yang ketahuan melakukan plagiarisme. Ada juga seorang calon doktor yang hanya tinggal selangkah menjadi doktor terpaksa harus angkat kaki alias dipecat karena plagiarisme.

Bahkan, beberapa waktu yang lalu seorang menteri pertahanan dari sebuah negara besar di Eropa mengundurkan diri setelah dewan akademik menemukan sebagian isi disertasinya mengutip karya orang lain tanpa menyebut sumbernya. Plagiarisme sampai sekarang dianggap penyakit yang menjijikkan di dunia akademis. Begitu seseorang ketahuan melakukan plagiarisme atau pelacuran intelektual, rohnya sebagai akademisi pasti habis dan di kampus takkan berharga lagi. Menurut saya, orang yang melakukan plagiarisme berarti orang yang tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Orang yang tidak jujur terhadap dirinya sendiri pastilah tidak jujur terhadap masyarakat sehingga tidak layak ikut mengurus kepentingan masyarakat. Saya berpendapat, orang yang berani melakukan plagiarisme atau pelacuran intelektual akan berani melakukan korupsi. Belakangan ini muncul gejala penodaan terhadap dunia akademik dalam corak yang mirip dengan plagiarisme atau bentuk pelacuran intelektual lainnya. Banyak orang, termasuk para pejabat, yang tergila-gila pada gelar doktor sehingga menulis disertasinya tanpa standar dan prosedur akademik yang benar. Ada yang menjiplak karya orang lain dengan hanya mengganti nama objek penelitian. Ada pejabat yang mengikuti program doktor secara instan tanpa ikut perkuliahan atau penelitian yang sungguh-sungguh. Ada juga pejabat yang disertasinya dibuat asal-asalan dan promotornya meloloskan hanya karena dia pejabat. Bahkan, ada juga pejabat yang disertasinya dituliskan oleh staf khususnya atau oleh kepala bagian penerbitan di kantornya. Celakanya, banyak dosen di perguruan tinggi yang mengistimewakan pelayanan akademis terhadap mahasiswa kelas eksekutif yang dibuka khusus untuk pejabat. Kalau para pejabat yang datang berkonsultasi atau mau kuliah langsung dilayani dengan segala kehormatan, tapi kalau yang mau berkonsultasi mahasiswa reguler tidak diacuhkan; sang dosen pun sering bolos dari jadwal kuliah di kelas reguler. Mungkin tak salah kalau ada yang berpikir, maraknya kesewenang- wenangan dan korupsi di negeri ini karena di perguruan tinggi banyak plagiarisme dan pelacuran intelektual. Banyak pejabat yang lahir dari plagiarisme dan proses akademis yang menipu. Pikiran seperti ini bisa benar, sebab plagiarisme dan pelacuran intelektual itu adalah ketidakjujuran pada diri sendiri; sedangkan orang yang tak jujur pada dirinya sendiri tentulah tak takut untuk tak jujur kepada rakyat sehingga mudah melakukan korupsi dan berbagai kolusi.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

112.215.66.75

Anda mungkin juga menyukai