Anda di halaman 1dari 5

Aspek Manusia Dalam Penalaran

Stratagem dan salah nalar yang dibahas di atas belum mencakup semua stratagem dan kecohan yang mungkin terjadi. Masih banyak cara atau proses yang mengakibatkan kecohan. Uraian di atas juga belum menyinggung aspek manusia dalam penalaran. Namun, pembahasan di atas memberi gambaran bahwa penalaran untuk meyakinkan kebenaran atau validitas suatu pernyataan bukan merupakan proses yang sederhana. Telah disinggung sebelumnya bahwa mengubah keyakinan melalui argumen dapat merupakan proses yang kompleks karena pengubahan tersebut menyangkut dua hal yang berkaitan yaitu manusia yang meyakini dan asersi yang menjadi objek keyakinan. Manusia tidak selalu rasional dan bersedia berargumen sementara itu tidak semua asersi dapat ditentukan kebenarannya secara objektif dan tuntas. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan umum sehari-hari tetapi juga dalam dunia ilmiah dan akademik yang menuntut keobjektifan tinggi. Yang memprihatikan dunia akademik adalah kalau para pakar pun lebih suka berstratagem daripada berargumen secara ilmiah. Berikut ini dibahas beberapa aspek manusia yang dapat menjadi penghalang (impediments) penalaran dan pengembangan ilmu, khususnya dalam dunia akademik atau ilmiah. Penjelasan Sederhana Rasionalitas menuntut penjelasan yang sesuai dengan fakta. Kebutuhan akan penjelasan terhadap apa yang mengusik pikiran merupakan fundasi berkembangnya ilmu pengetahuan. Namun, keingingan yang kuat untuk memperoleh penjelasan sering menjadikan orang puas dengan penjelasan sederhana yang pertama ditawarkan sehingga dia tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi secara saksama kelayakan penjelasan dan membadingkannya dengan penjelasan alternatif. Dengan kata lain, orang menjadi tidak kritis dalam menerima penjelasan. Akibatnya, argumen dan pencarian kebenaran akan terhenti sehingga pengembangan ilmu pengetahuan akan terhambat. Kepentingan Mengalahkan Nalar Hambatan untuk bernalar sering muncul akibat orang mempunyai kepentingan tertentu (vested interest) yang harus dipertahankan. Kepentingan sering memaksa orang untuk memihak suatu posisi (keputusan) meskipun posisi tersebut sangat lemah dari segi argumen. Dalam dunia akademik dan ilmiah, kepentingan untuk menjaga harga diri individual atau kelompok (walaupun semu) dapat menyebabkan orang (akademisi atau ilmuwan) berbuat yang tidak masuk akal. Hal ini terjadi umumnya pada mereka yang sudah mendapat julukan pakar atau ilmuwan yang kebetulan mempunyai kekuasaan politis (baik formal atau informal). Nickerson (1986) menggambarkan hal ini dengan mengatakan bahwa people with good reasoning ability may find themselves behaving in an unreasonable way.1 Kebebasan akademik merupakan suatu ciri penting lingkungan akademik yang kondusif untuk pengembangan pengetahuan dan profesi (khususnya akuntansi). Kebebasan akademik harus diartikan sebagai kebebasan untuk berbeda pendapat secara akademik dalam suatu forum yang memungkinkan akademisi berargumen secara terbuka. Sikap akademisi yang patut dihargai adalah kebersediaan untuk berargumen. Sikap ilmiah menuntut akademisi (termasuk pengelola suatu institusi) untuk berani membaca dan memahami gagasan alternatif dan, kalau gagasan tersebut valid dan menuju ke perbaikan, bersedia membawa gagasan tersebut ke kelas atau diskusi ilmiah dan bukan malahan mengisolasinya. Keberanian dan kebersediaan seperti itu merupakan suatu ciri sikap ilmiah dan akademik yang sangat terpuji (respected). Ini tidak berarti bahwa ilmuwan/akademisi harus selalu setuju dengan suatu gagasan. Ketidaksetujuan dengan suatu gagasan itu sendiri (setelah berani membaca) merupakan suatu sikap ilmiah asal dilandasi dengan argumen yang bernalar dan valid.
1

Ketidakberanian dan ketidakbersediaan itulah yang merupakan sikap tidak ilmiah (akademik) dan justru hal ini sering terjadi dalam dunia akademik tidak hanya pada masa sekarang tetapi juga masa lalu. Sikap pakar dan akademisi yang tidak masuk akal tersebut, yang sering disebut sebagai sikap yang insulting the intelligence, dikemukakan Hirshleifer (1988, hlm. 4) sebagai berikut:35
All sciences advance through disagreement. In astronomy the geocentric model of Ptolemy was opposed by the new heliocentric model of Copernicus; in chemistry Priestley supported the phlogiston theory of combustion while Lavoisier propounded the oxidation theory; and in biology the creationisme of earlier naturalists was countered by Darwins theory of evolution. It is not universal agreement but rather the willingness to consider evidence that signals the scientific approach. For Galileos opponents to disagree with him about Jupiters moons was not unscientific of itself; what was unscientific was their refusal to look through his telescope and see.

Sikap kolega senior Galileo untuk tidak bersedia mempertimbangkan bukti yang diajukan Galileo melalui teleskopnya sebenarnya merupakan sikap tidak ilmiah. Apapun motifnya, sikap tersebut menjadi tidak masuk akal mengingat kolega Galileo tersebut adalah para pakar dan ilmuwan (bahkan juga merupakan pemuka masyarakat dan penguasa). Sikap kurang terpuji ini akan menjadikan perbedaan pandangan (disagreement) tidak akan terbuka untuk didiskusi dan kebenaran ilmiah tidak akan dicapai. Keadaan ini dapat membingungkan masyarakat akademik dan menghambat pengembangan pengetahuan. Lingkungan akademik seperti di atas biasanya berkembang akibat sikap akademisi itu sendiri yang membentuk budaya akademik. Budaya akademik yang dapat menghambat kemajuan pengetahuan adalah apa yang penulis sebut sebagai sindroma tes klinis (kalau diinggriskan menjadi clinical test syndrom) dan mentalitas Djoko Tingkir (Djoko Tingkir mentality). Sindroma Tes Klinis Sindroma ini menggambarkan seseorang yang merasa (bahkan yakin) bahwa terdapat ketidakberesan dalam tubuhnya dan dia juga tahu benar apa yang terjadi karena pengetahuannya tentang suatu penyakit. Akan tetapi, dia tidak berani untuk memeriksakan diri dan menjalani tes klinis karena takut bahwa dugaan tentang penyakitnya tersebut benar. Akhirnya orang ini tidak memeriksakan diri ke dokter dan mengatakan pada orang lain bahwa dirinya sehat. Jadi, orang ini takut mengetahui kebenaran gagasan sehingga menghindarinya secara semu. Dalam dunia akademik, sindroma semacam ini dapat terjadi kalau seseorang mempunyai pandangan yang menurut dirinya sebenarnya keliru atau tidak valid lagi karena adanya pandangan atau gagasan baru. Gagasan baru dia peroleh karena dia sering mendengar dari kolega atau mahasiswa. Orang lain memperoleh gagasan baru tersebut dari artikel atau hasil penelitian ilmiah. Dalam kondisi seperti ini, akademisi sering tidak berani untuk membaca sumber gagasan karena takut jangan-jangan pendapatnya yang telah telanjur disebarkan kepada mahasiswa benar-benar keliru. Dapat juga, akademisi tersebut memang berani membaca dan benar-benar dapat menerima argumen tetapi di muka umum (kelas) dia bersikap seolah-olah tidak pernah tahu gagasan baru tersebut (bersikap tak peduli) apalagi membahasnya di kelas dengan cukup dalam. Manifestasi lain dari sindroma ini adalah akademisi (dosen) mengisolasi gagasan baru agar mahasiswa tidak pernah tahu semata-mata untuk menutupi kelemahan suatu gagasan lama yang dianutnya. Bila sindroma semacam ini banyak diindap oleh akademisi, dapat dipastikan kemajuan pengetahuan dan profesi akan terhambat dan rugilah dunia pendidikan. Mentalitas Djoko Tingkir Bila kepentingan mengalahkan nalar sebagaimana digambarkan dalam kasus Galileo di atas, maka pengembangan ilmu pengetahuan dapat terhambat dan pada gilirannya praktik kehidupan yang

lebih baik juga ikut terhambat. Sayangnya, ilmuwan atau akademisi yang merasa ada di bawah kekuasaan kolega senior sering memihak seniornya dan mengajarkan apa yang sebenarnya salah dengan menyembunyikan apa yang sebenarnya valid semata-mata untuk menghormati kolega senior (atau kelompoknya) atau untuk melindungi diri dari tekanan senior. Akibatnya, timbul situasi yang di dalamnya argumen yang lemah harus dimenangkan dan dilestarikan semata-mata karena kekuasaan. Ini berarti kekuasaan lebih unggul dari penalaran. Budaya Djoko Tingkir digunakan untuk menggambarkan lingkungan akademik atau profesi seperti ini karena konon perbuatan Djoko Tingkir yang tidak terpuji harus dibuat menjadi terpuji dengan cara mengubah skenario yang sebenarnya terjadi semata-mata untuk menghormatinya karena dia bakal menjadi raja (kekuasaan). Dalam dunia akademik, status pakar merupakan kekuasaan atau autoritas akademik. Kepakaran merupakan kekuasaan karena orang dapat memperoleh kekuasaan dan kedudukan (baik politik, struktural, atau institusional) lantaran pengetahuan atau ilmunya. Namun, tidak semestinya kalau kekuasaan tersebut lalu menentukan ilmu. Dunia akademik harus mengembangkan ilmu atas dasar validitas argumen dan bukan atas dasar kekuasaan politik/jabatan. Merasionalkan Daripada Menalar Bila karena keberpihakan, kepentingan, atau ketakkritisan, orang telanjur mengambil posisi dan ternyata posisi tersebut salah atau lemah, orang ada kalanya berusaha untuk mencari-cari justifikasi untuk membenarkan posisinya. Dalam hal ini, tujuan diskusi bukan lagi untuk mencari kebenaran atau validitas tetapi untuk membela diri atau menutupi rasa malu. Bila hal ini terjadi, orang tersebut sebenarnya tidak lagi menalar (to reason) tetapi merasionalkan (to rationalize). Sikap merasionalkan posisi dapat terjadi karena keterbatasan pengetahuan orang bersangkutan dalam topik yang dibahas tetapi orang tersebut tidak mau mengakuinya. Agar argumen berjalan dengan baik, para penalar paling tidak harus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam topik yang dibahas. Kurangnya pengetahuan (topical knowledge) dapat menjebak orang untuk lari ke stratagem daripada argumen yang layak. Sikap merasionalkan dalam diskusi dapat menimbulkan pertengkaran mulut, perselisihan pendapat (dispute), atau debat kusir. Dalam situasi ini, pihak yang terlibat dalam diskusi biasanya tidak lagi mengajukan argumen yang sehat untuk mendukung posisi tetapi mengajukan argumen kusir (pedestrian argument) untuk menyalahkan pihak lain dan memenangi perselisihan. Jadi, tujuan diskusi bukan lagi mencari solusi tetapi mencari kemenangan (kadang-kadang menangnya sendiri). Memenangi debat (selisih pendapat) dan meyakinkan suatu gagasan adalah dua hal yang sangat berbeda. Untuk memenangi selisih pendapat, faktor emosional lebih banyak berperan daripada faktor rasional atau penalaran. Pakarpun kadang-kadang lebih suka berdebat daripada berargumen. Hal ini dikemukakan Nickerson (1986, hlm. 97) sebagai berikut:2
Disputes often arise when each of the two people builds a case favoring the opposite conclusion and tries to convince the other person that he or she is wrong. Disputes can be very frustrating. Even highly intelligent people sometimes act childishly when engaged in them . ... winning a dispute and persuading someone to believe something are not necessarily the same things. Indeed, winning a dispute may be the least likely way of winning an opponent over your point of view. Disputes are rarely resolved by reason, because the disputing parties typically are not seeking resolution; rather each is seeking to win.

Persistensi Karena kepentingan tertentu harus dipertahankan atau karena telah lama melekat dalam rerangka pikir, seseorang kadang-kadang sulit melepaskan suatu keyakinan dan menggantinya dengan yang
2

baru. Dengan kata lain, orang sering berteguh atau persisten terhadap keyakinannya meskipun terdapat argumen yang kuat bahwa keyakinan tersebut sebenarnya salah sehingga dia seharusnya melepaskan keyakinan tersebut. Sampai tingkat tertentu persistensi merupakan sikap yang penting agar orang tidak dengan mudahnya pindah dari keyakinan atau paradigma yang satu ke yang lain. Paradigma adalah satu atau beberapa capaian ilmu pengetahuan pada masa lalu (past scientific achievements) yang diakui oleh masyarakat ilmiah pada masa tertentu sebagai basis atau tradisi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan praktik selanjutnya. Capaian (achievements) dalam ilmu pengetahuan (sciences) dapat berupa filosofi, postulat, konsep, teori, prosedur ilmiah, atau pendekatan ilmiah. Untuk menjadi paradigma, suatu capaian harus mempunyai penganut yang cukup teguh dan capaian tersebut bersaing dengan capaian atau kegiatan ilmiah lain yang juga mempunyai sekelompok penganut. Paradigma harus terbuka untuk diperbaiki atau diganti oleh capaian pesaing atau baru sehingga dimungkinkan terjadi pergeseran atau pergantian paradigma dari masa ke masa (conversion of paradigm). Konversi dapat terjadi pada diri ilmuwan secara individual pada masa hidupnya atau pada generasi ilmuwan ke generasi ilmuwan berikutnya. Riwayat terjadinya konversi paradigma antargenerasi disebut oleh Thomas Kuhn sebagai revolusi ilmiah (scientific revolution).3 Dalam dunia ilmiah, persistensi untuk tidak melepaskan suatu keyakinan dapat dimaklumi kalau tujuannya adalah untuk memperoleh argumen atau bukti yang kuat untuk menunjukkan bahwa keyakinan yang dianut memang salah. Tidak selayaknyalah suatu keyakinan atau paradigma dipertahankan kalau memang terdapat bukti yang sangat meyakinkan bahwa tia salah. Namun, manusia tidak selalu dapat bersikap objektif dan tidak memihak (impartial). Karena kepentingan tertentu yang perlu dipertahankan, ilmuwan atau pakar pun sering bersikap demikian sehingga konversi keyakinan sulit terjadi. Thomas Kuhn (1970) menunjukkan contoh sebagai berikut:
Priestley never accepted the oxygen theory, nor Lord Kelvin the electromagnetic theory, and so on. The difficulties of conversion have often been noted by scientists themselves. Darwin, in a particulary perceptive passage at the end of his Origin of Species, wrote: Although I am fully convinced of the truth of the views given in this volume..., I by no means expect to convince experienced naturalists whose mind are stocked with a multitude of facts all viewed, during a long course of years, from a point of view directly opposite to mine. ... [B]ut I look with confidence to the future, to young and rising naturalists, who will be able to view both sides of the question with impartiality. And Max Planck, ..., sadly remarked that a new scientific truth does not triumph by convincing its opponents and making them see the light, but rather because its opponents eventually die, and a new generation grows up that is familiar with it (hlm. 151).

Memang menyedihkan apa yang dikatakan Planck bahwa gagasan baru yang benar (a new scientific truth) mengungguli atau menang atas gagasan yang keliru bukan lantaran pemegang gagasan lama sadar dan melihat sinar kebenaran melainkan lantaran generasi baru telah menggantinya. Mengapa hal ini terjadi? Kuhn menjelaskan hal ini dengan menyatakan (penebalan oleh penulis):
... scientists, being only human, cannot always admit their errors, even when confronted with strict proof. I would argue, rather, that in these matters neither proof nor error is at issue. The transfer of allegience from paradigm to paradigm is a conversion experience that cannot be forced (hlm. 151).

Sebagai manusia, ilmuwan atau pakar tidak selalu dapat mengakui kesalahannya meskipun dihadapkan pada bukti yang sangat telak (strict proof). Lagi pula, konversi paradigma (atau

keyakinan) bukanlah hal yang dapat dipaksakan sehingga resistensi adalah takterhindarkan dan sah-sah saja (legitimate). Berkaitan dengan persistensi adalah gejala psikologis atau perilaku manusia untuk terpaku pada makna suatu simbol atau objek dan kemudian menjadikan orang tidak mampu melihat makna alternatif atau objek alternatif. Orang secara intuitif melekatkan makna pada suatu objek melalui pengalamannya dan sering tidak menyadari bahwa makna tersebut bersifat kontekstual di masa lalu dan tidak lagi relevan dengan situasi yang baru. Perilaku semacam ini dikenal dengan istilah keterpakuan atau fiksasi fungsional (functional fixation). Dalam akuntansi, keterpakuan ini digunakan untuk menjelaskan mengapa investor tidak mampu untuk mengubah keputusannya sebagai tanggapan atas perubahan proses akuntansi dalam menyediakan data laba. Orang hanya melihat angka laba ( bottom line ) dalam statemen laba-rugi tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut ditentukan atau terpengaruh oleh perubahan metoda (proses) akuntansi. Keterpakuan fungsional juga merupakan penghambat terjadinya argumen yang sehat. 4 Orang yang sudah terpaku dengan istilah harga pokok penjualan akan sangat sulit untuk dapat menerima istilah kos barang terjual yang sebenarnya lebih tepat menggambarkan makna istilah aslinya yaitu cost of goods sold. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek manusia sangat berperan dalam argumen yang bertujuan mencari kebenaran. Rasionalitas merupakan unsur penting dalam argumen. Walaupun demikian, faktor-faktor psikologis dan emosional, kekuasaan, dan kepentingan pribadi atau kelompok juga berperan dan dapat menghalangi terjadinya argumen yang sehat.

Anda mungkin juga menyukai