Anda di halaman 1dari 14

PULMONAL HEMOSIDEROSIS

Pendahuluan
Perdarahan paru difus merupakan suatu kondisi yang jarang, akut, dan mengancam
jiwa dengan episode berulang yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia, deposisi
kolagen pada saluran napas kecil, dan, pada akhirnya menyebabkan fibrosis.
1
Setiap
perdarahan dari atau ke dalam paru akan menyebabkan terjadinya deposit hemosiderin dalam
makrofag paru. Pulmonal hemosiderosis (PH) adalah istilah untuk perdarahan kronik
persisten dan berulang. Perdarahan dapat terjadi fokal atau difus. Dapat terjadi pada saluran
napas, alveoli atau parenkima. Dapat berasal dari paru (tekanan rendah) atau sirkulasi
bronkial (tekanan tinggi). Dapat bersifat ringan atau mengancam jiwa.
2

Kondisi ini pertama kali dikemukanan oleh Rudolf Virchow pada tahun 1864 dengan
sebutan brown lung induration yang ditemukan pada pasiennya yang meninggal. Wilhelm
Ceelen kemudian melaporkan penemuan kasus ini pada dua pasien anak yang meninggal
pada tahun 1931. Jan Waldenstrom pada tahun 1944 menemukan pasien yang hidup setelah
menderita penyakit ini.
Pulmonal hemosiderosis (PH) dapat terjadi sebagai penyakit primer paru atau dapat
sekunder karena penyakit kardiovaskuler atau sistemik. Pada anak-anak, pulmonal
hemosiderosis primer lebih sering ditemukan daripada tipe sekunder.
3

Tiga varian dari pulmonal hemosiderosis primer, yaitu: (1) pulmonal hemosiderosis
terkait dengan antibodi terhadap membran basalis paru dan ginjal (sindroma Goodpasture),
(2) pulmonal hemosiderosis terkait dengan hipersensitivitas terhadap protein dalam susu sapi
(sindroma Heiner), dan (3) idiopatik pulmonal hemosiderosis (IPH).
3

Secara epidemiologi, PH adalah penyakit langka. Secara keseluruhan, 80% dari kasus
terjadi pada anak-anak, kebanyakan didiagnosa pada dekade pertama. Sisa 20% kasus adalah
onset dewasa dari PH, kebanyakan didiagnosa sebelum berusia 30 tahun. Berdasarkan
literatur, PH dikarakterisasi sebagai kelainan overload besi sebagai hasil dari akumulasi
makrofag hemosiderin-laden pada ruang alveolar yang disebabkan perdarahan alveolar difus
yang kronik atau berulang yang kadang-kadang fatal, dengan prevalensi yang tinggi pada
anak-anak; akan tetapi, hingga saat ini, hanya sedikit laporan pada orang dewasa.
4

Diagnosis PH dapat dikonfirmasi dengan pewarnaan besi dari sputum atau aspirasi
paru atau dengan biopsi. Remisi spontan dapat terjadi dengan penggunaan kortikosteroid.
Beberapa penelitian melaporkan anemia sebagai hipokrom dan mikrositik oleh karena
kehilangan darah dan defisiensi besi, meskipun adanya akumulasi besi dalam jumlah besar di
jaringan paru. Koreksi dari anemia dengan terapi besi intensif dan transfusi dianggap sebagai
terapi yang penting.
5


Etiologi
Pulmonal hemosiderosis depat diklasifikasikan sebagai bentuk primer atau sekunder. Yang
termasuk dalam PH primer adalah IPH, sindroma Goodpasture dan sindroma Hainer.
Sindroma Goodpasture merupakan penyebab tersering terjadinya perdarahan paru.
Sedangkan PH sekunder dapat berasal dari gagal jantung kongestif, hipertensi pulmonal dan
stenosis katup mitral. Penyakit lain sistemik lupus eritematous (SLE), rematoid artritis,
Wegener granulomatosis dan Henoch-Schnlein purpura (HSP) dapat juga menjadi diagnosis
banding penyakit ini. Prematuritas merupakan salah satu faktor resiko terjadinya perdarahan.
PH juga dihubungkan dengan penyakit celiac.
Proses postinfeksi seperti sindroma hemolitik - uremik dan sindroma
immunodefisiensi seperti penyakit granulomatous juga berhubungan dengan kejadian PH.
Beberapa obat-obatan, pengaruh lingkungan, zat kimia dan alergi makanan juga dapat
menjadi faktor resiko.
Pulmonal Hemosiderosis Primer:
2

A. Idiopatik pulmonal hemosiderosis
B. Terkait dengan jenis jamur tertentu (Stachybotrys atra)
C. Alergi susu sapi (sindroma Heiner)
D. Antibodi terhadap membran basalis paru (Wegeners granulomatosis) dan ginjal
(sindroma Goodpasture)
E. Trauma, termasuk aspirasi benda asing
F. Bronkiektasis dan bentuk lain infeksi paru kronik
Pulmonal hemosiderosis sekunder:
2

A. Penyakit vaskuler paru termasuk penyakit jantung, hipertensi pulmonal dan
malformasi arterivena
B. Penyakit inflamasi sistemik menyeluruh
C. Kelainan perdarahan, termasuk sindrom purpurik dan koagulopati oleh karena sepsis
D. Menelan obat atau bahan kimia seperti Trimelitik anhidrat atau D-penicilamin

Epidemiologi
Karena penyakit ini jarang ditemukan atau tidak terdiagnosis, sehingga penyebaran dan
prevalensi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Dengan adanya alat penunjang diagnosis
seperti sekarang, anak yang terdiagnosis dengan IPH pada masa lalu dapat diketahui secara
pasti etiologinya. Perkiraan angka kejadian PH ini dikemukan dari analsis kasus retrospektif
Swedia dan Jepang, yang mengatakan kasus ini bervariasi dari 0,24 sampai 1,23 kasus tiap 1
juta anak. Secara umum, PH ditemukan pada anak berumur kurang dari 10 tahun. Kurang
lebih 80% kasus terjadi pada kelompok umur kurang dari 10 tahun, dan sisanya terjadi pada
kelompok dewasa muda. Tidak ada perbedaan antara kejadian kasus ini pada laki-laki
maupun peremupuan.
Review retrospektif dari data rumah sakit di Taiwan utara menemukan 5 kasus dalam
waktu 25 tahun. Faktor genetik dalam angka kejadian kasus ini dilaporkan pada beberapa
penelitian, dan memegang peranan penting. Selain faktor genetik, faktor lingkungan juga
merupakan salah satu faktor predisposisi.

Patofisiologi
Patofisiologi dari pulmonal hemosideris bervariasi untuk setiap etiologi. Perdarahan
dapat muncul karena penyakit bawaan, inflamasi atau kongesti pembuluh darah paru; reaksi
imun atau deposisi kompleks antibodi-antigen di paru; infeksi kronik atau invasif, atau reaksi
toksin. Apapun penyebabnya, setiap sel darah merah yang berada dalam alveoli, saluran
napas atau parenkim paru, akan dipecah dan hemoglobin dihancurkan oleh makrofag lokal.
Setelah dihancurkan, hemoglobin akan diubah menjadi hemosiderin oleh degradasi lisosomal.
Hal ini juga mengaktivasi makrofag lokal, diikuti oleh cascade inflamasi, termasuk
penggunaan sel-sel dan produksi sitokin.
2

Patogenesis dari IPH, saat ini, masih belum diketahui, namun beberapa teori telah
diajukan sebagai patomekanisme terjadinya IPH; yaitu:
6

Teori Genetik
Kelompok IPH familial telah dilaporkan, ini mengindikasikan adanya pewarisan
versus predisposisi genetik yang dipengaruhi oleh beberapa agen lingkungan yang belum
dapat dikenali. Perkembangan terbaru dalam bidang genetik akan memberikan pemahaman
baru terhadap patogenesis penyakit ini.
Teori autoimun
Lesi multipel ultrastruktur membran alveoral telah ditemukan pada penderita dengan
IPH pada awal era mikroskop elektron: vakuolisasi dari sel-sel endotel alveolar, penebalan
fokal dan ruptur luas dari membran basal kapiler alveoral, meskipun hal-hal tersebut sebelum
adanya highly sensitive immunological assays untuk lebih dapat memahami kondisi
autoimun. Akan tetapi, hal ini belum dapat dikonfirmasi sepenuhnya. Kebanyakan percaya
bahwa etiologi autoimun didasarkan pada adanya kompleks imun yang beredar dalam
plasma, meskipun pemeriksaan imunohistokimia dari jaringan paru secara umum tidak
mendukung teori ini.
Tingkatan terjadinya inflamasi pada paru-paru yang dalam perjalanannya berkembang
menjadi IPH masih belum jelas. Kompleks imun ditemukan dalam plasma pada beberapa
pasien, tetapi pemeriksaan imunohistokimia pada jaringan paru tidak mendukung patogenesis
imunologis dari IPH. Kecurigaan bahwa mekanisme autoimun memegang peranan dalam
terjadinya IPH adalah ditemukannya kurang lebih 25% pasien dengan IPH yang selamat
berkembang menjadi penakit autoimun.
11

Teori Alergi
Beberapa penderita dengan IPH memiliki antibodi plasma (precipitin dan IgE) yang
dapat dideteksi terhadap susu sapi, yang mengarah ke hipotesis reaksi alergi sistemik
terhadap komponen-komponen susu; akan tetapi beberapa peneliti gagal untuk membuktikan
temuan ini.
Teori Lingkungan
Beberapa penelitian telah menghubungkan antara kejadian IPH dengan paparan
terhadap insektisida, tetapi teori ini tidak pernah terbukti. Beberapa serial artikel yang
menghubungkan paparan lingkungan terhadap fungi (terutama Stachybotrys atra) pada
lingkungan banjir dengan IPH mengarah ke penelitian besar terhadap kemungkinan
patogenesis infeksi atau mikotoxigenik. Mekanisme yang dipostulasikan adalah bahwa toksin
fungi yang disebut trichotecens, yang mana merupakan protein penghambat sintesis yang
poten, mengganggu angiogenesis membran alveolar, mengakibatkan regio acinar rentan
terhadap perdarahan. Tetapi, hubungan pasti antara fungi dan IPH masih belum dapat
ditetapkan.
Teori Metabolik
Gangguan pada metabolisme besi saat ini telah dipostulasikan untuk IPH.
Metabolisme besi memiliki peran penting dalam biologi sistem respirasi. Sistem retikulo-
endotel merupakan organ penyimpan besi utama, dan perannya dalam homeostasis besi
belum dapat sepenuhnya dapat dikesampingkan. Makrofag jaringan bersifat heterogen dalam
kapasitas mereka untuk mengambil besi ekstrasel, memproses ulang besi hemoglobin dan
mendegradasi eritrosit tua.
Dengan terjadinya episode perdarahan pulmonal, jaringan paru tampak berwarna
coklat yang secara sekunder disebabkan penumpukan dari hemosiderin. Ditemukannya darh
pada jalan nafas atau alveoli merupakan tanda adanya perdarahan. Hemosiderin Laden
Makrofag (HLM) dapat ditemukan pada fase penyembuhan, perdarahan berulang dan
perdarahan paru kronik. Dibutuhkan sekitar 48-72 jam untuk makrofag dalam alveoli
mengkonversi besi dari eritrosit menjadi hemosiderin. HLM ini dapat terdeteksi selama
seminggu setelah terjadinya perdarahan. Secara tidak spesifik dapat ditemukan penebalan
dari dinding alveoli dan hipertrofi pneumosit tipe 2. Adanya fibrosis menandakan telah
terjadinya penyakit kronik.
Perdarahan berulang pada paru dapat berakibat timbulnya zat besi bebas pada jaringan
paru, yang dapat berkembang menjadi fibrosis paru. Mekanisme hemokromatosis herediter
dan sindoma overload zat besi yang terjadi hampir sama dengan yang terjadi pada fibrosis
organ tubuh yang lain seperti hati, pankreas dan hati. Sistem makrofag-monosit yang
berfungsi memproses zat besi bebas berbeda dalam masing-masing organ. Makrofag dalam
alveoli lebih tidak mampu untuk mendegradasi eritrosit dan memproses ulang zat besi sel
darah merah dibandingkan makrofag dalam organ tubuh lain seperti hati, limpa dan sumsum
tulang belakang. Peningkatan kadar zat besi bebas menyebabkan produksi radikal bebas pada
paru meningkat dan menyebabkan kerusakan jaringan. Tetapi tetap ada pertahanan, dimana
zat besi merangsang produksi dari feritin intrasel yang berfungsi melindungi makrofag dalam
paru dari zat besi bebas dan stress oksidasi.
Anemia ditemukan dalam IPH dikarenakan perdarahan alveoli dan akumulasi dari zat
besi dalam makrofag alveoli. Zat besi menstimulasi produksi ferritin intraselular yang akan
disimpan dalam bentuk molekul ferritin, kemudian akan diproses menjadi kompleks
hemosiderin intraselular. Zat besi dalam hemosiderin akan terperangkap sehingga tidak
mampu untuk digunakan dalam sintesis hemoglobin oleh eritroblas sumsum tulang belakang.
Pada sindroma Goodpasture, anti basement membrane anibody (ABMA) berikatan
dengan membran alveoli dan glumerolus. Pada alveoli, immunoglubulin G (IgG),
immunoglubulin M (IgM) dan komplemen akan dideposit dalam septum alveoli. Secara
mikroskopi elektron menunjukan kerusakan pada membran dan integritas vaskular sehingga
menyebabkan darah keluar melalui alveoli sehingga terjadi perdarahan.
Membran dasar adalah struktur kompleks yang mendukung lapisan endotelium dan
epitel. Komponen utama dari membran basement adalah kolagen tipe IV, yang bertindak
sebagai struktur pertahanan.Membran ini terdiri dari 3 subunit alpha kolagen, yang
membentuk tiga rantai helix. Kolagen tipe IV dapat dinyatakan sebagai 6 rantai yang
berbeda, alpha1 sampai alpha 6. Rantai alfa sendiri memiliki 3 domain struktural, sebagai
berikut: (1) 7-S di ujung amino; (2) heliks tripel 3 rantai alfa, yang berakhir di ujung
karboksil, dan (3) sebuah domain tanpa kolagen. Tiga helix klasik terdiri dari rantai 2 alpha1
dan rantai1 alpha2.
Meskipun membran basement terdapat di mana-mana, hanya membran alveolar dan
mebran glomerolus yang terkena. Dalam kondisi normal, endotel alveoli merupakan
hambatan ke anti-antibodi membran basement. Namun, dengan permeabilitas pembuluh
darah meningkat, antibodi mengikat membran basal terjadi dalam alveoli. Oleh karena itu,
terjadi pengendapan antibodi, dan menyebabkan terjadinya perdarahan.
PH juga dihubungkan dengan alergi susu sapi yang pertama kali dilaporkan oleh
Heiner pada tahun 1962. Kondisi ini ditandai dengan adanya gejala intoleransi susu. Gejala
klinis yang timbul dapat berupa feces berdarah atau adanya zat besi pada feces, muntah, gagal
tumbuh, gejala reflux gastroesofageal dan kongesti saluran nafas bagian atas. Secara patologi
dapat ditemukan peningkatan IgE dan eosinofilia perifer dan deposit IgG, IgA dan C3 pada
alveoli.
Perdarahan alveoli jarang ditemukan pada SLE, tetapi bila terjadi, merupakan keadaan
yang mengancam nyawa. Secara patologi dari pembuluh darah mungkin tidak ditemukan
sesuatu. Beberapa penelitian menggunakan immunoflouresensi menemukan IgG dan C3
terdeposit dalam septum alveoli.
Pada HSP, perdarahan paru jarang terjadi tetapi merupakan salah satu komplikasi
yang dapat terjadi. Pada HSP terjadi infiltrasi transmural neutrofilik dari pembuluh darah
kecil, inflamasi septum alveoli dan perdarahan intravaskular. Vaskulitis merupakan
mekanisme terjadinya perdarahan pada kondisi ini.
Wegener granulomatosis merupakan etiologi perdarahan pada anak yang jarang.
Penumpukan granuloma pada paru dengan atau tanpa kavitas dan necrotizing vasculitis dapat
ditemukan pada keadaan ini. Pada anak, bila ditemukan stenosis subglotis pada saluran nafas
bagian atas dapat menunjang diagnosis. Pada pemeriksaan laboratorium, antibodi
antineutrofil sitoplasma positif.
Pada bayi prematur dapat terjadi perdarahan paru. Alveoli dan pembuluh darah pada
bayi prematur belum sepenuhnya matang yang dapat berakibat terjadinya inflamasi dan
kerusakan jaringan oleh karena ventilasi dan infeksi. Perdarahan paru pada bayi prematur
sering tidak terlihat. Hal ini dikarenakan darah tidak mencapai bagian proksimal jalan nafas.
Pada gambaran radiologi terlihat semakin hebatnya distress pernafasan, edema dan infeksi.



Manifestasi Klinis
Gambaran klinis klasik dari perdarahan paru termasuk hemoptisis, gambaran opasitas
alveolar pada radiografi dada, dan anemia. Akan tetapi, pada kebanyakan kasus hanya satu
atau dua gambaran yang didapatkan; tidak adanya gambaran klasik seperti ini tidak
mengeluarkan diagnosis PH. Gejala-gejala lain yang sering dilaporkan tidak spesifik (contoh,
sesak naaps, batuk, nyeri dada, demam), meskipun pada beberapa kasus, gejala-gejala
spesifik untuk penyakit yang mendasari menjadi temuan utama. Secara umum, gejala-gejala
biasanya memiliki durasi yang singkat, muncul dari beberapa hari hingga beberapa minggu
dan bisa berulang.
7

Perjalanan klinis dari PH ditandai mengalami remisi dan eksaserbasi. Anemia bisa
membaik secara spontan tetapi manifestasi radiologi yang abnormal tidak dapat kembali
normal meskipun infiltrasi masif akut sebagian besar telah membaik.
5,8

Onset klinis sangat bervariasi dari akut, fulminan hemoptisis, hingga batuk dan sesak
yang kronik, hemoptisis berulang, lelah, atau hanya anemia tanpa gejala. Pada orang dewasa,
gejala-gejala saluran napas dapat lebih menonjol, dimana pada anak kegagalan bertumbuh
dan anemia (hemoptisis lebih kurang) dapat menjadi temuan yang menonjol.
6

Perjalanan klinis PH dibagi ke dalam 2 fase. Pertama, fase akut, bakaitan dengan
episode perdarahan intra-alveolar, dengan manifestasi klinis berupa batuk, sesak napas,
anemia, hemoptisis dan kadang-kadang gagal napas. Hampir 100% orang dewasa mengalami
hemoptisis selama fase ini.
6,9
Kedua, fase kronik yang dikarakterisasi oleh resolusi lambat
dari gejala-gejala pada fase akut, dengan atau tanpa pengobatan.
9

Anemia defisiensi besi karakteristik untuk PH dan dapat menjadi tanda yang
menonjol. Defisiensi besi tetap bertahan meskipun deposit besi tubuh total normal, karena
hemosiderin dalam makrofag alveolar tidak dapat digunakan untuk membentuk eritrosit.
8

Pemeriksaan fisis juga berbeda pada kedua fase klinis tersebut. Fase akut memiliki
gejala yang bervariasi, dari tanda-tanda gagal napas, batuk dan hemoptisis, hingga tanda-
tanda anemia berat. Pada fase kronik ditemukan pucat, kegagalan bertumbuh, hepato-
splenomegali dan kadang-kadang pemeriksaan fisis yang normal. Pada mereka dengan
fibrosis paru, ronki bilateral dan jari tabuh dapat ditemukan.
6

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin akan menunjukkan anemia dengan berbagai derajat, dengan
tidak adanya defek pada trombosit, gangguan hati atau ginjal, koagulopati, atau sindrom
inflamasi apapun. Anemia sideropenik (saturasi transferrin <40%), mikrositik (MCV <80 fL)
ditimbulkan oleh perdarahan alveolar difus. Kadar ferritin plasma bisa normal atau meningkat
karena sintesis alveolar dan pelepasan besi ke dalam sirkulasi tidak mencerminkan deposit
besi dalam tubuh. Biopsi sumsum tulang akan menunjukkan eritropoesis hiperplastik, dan
penyimpanan besi intramedulla yang rendah.
6

Ada tiga tahap dari PH, berdasarkan klinis dan laboratorium: fase akut, berhubungan
dengan episode perdarahan alveolar difus, dikarakterisasi oleh anemia; fase pre-akut (5-10
hari sebelum episode perdarahan), dengan neutrofil dan eosinofil; dan fase kronik.
Pemeriksaan sputum, meskipun tidak sensitif, dapat menunjukkan perdarahan intra-alveolar
(eritrosit dan makrofag hemosiderin-laden) (Gambar 1), dengan pewarnaan hematoxilin-eosin
dan Prussian blue (Perls) (Gambar 2). Jika pasien tidak menghasilkan sputum secara
spontan, sangat berbahaya untuk melakukan induksi sputum.
6


Gambar 1. Perdarahan intra-alveolar dengan makrofag hemosiderin-laden (pewarnaan
Hemotoxylin-eosin)
1




Gambar 2. Deposit hemosiderin dalam ruang alveolar dengan pewarnaan Prussian Blue.
1


Bronchoalveolar lavage (BAL) dari daerah yang mengalami perdarahan memiliki
peran diagnostik yang tinggi daripada pemeriksaan sputum. Tipe seluler predominan adalah
makrofag alveolar yang dipenuhi dengan hemosiderin, eritrosit intak dan kadang-kadang
ditemukan neutrofil.
6


Pemeriksaan fungsi paru
Penyakit paru obstruksi dapat terlihat sebagai penyempitan saluran napas dengan
peningkatan edema, produksi mukus dan penumpukan sel epitel dalam saluran napas.
Akumulasi kronik dari fibrin dan deposit kolagen dapat menyebabkan terjadinya fibrosis paru
dengan penurunan komplians paru. Hal ini dapat bermanifestasi sebagai pola penyakit paru
restriktif.
2
Pemeriksaan fungsi paru secara umum menunjukkan pola restriktif dengan derajat
bervariasi. Insufisiensi respirasi dapat terjadi dan bermanifestasi baik saat istirahat atau
laten.
6

Pemeriksaan radiologi
Tidak ada temuan patognomonik untuk PH. Ada beberapa pola radiografi yang sangat
terkait dengan fase klinis. Selama fase akut radiografi dada menunjukkan infiltrat difus tipe-
alveolar, predominan pada daerah basal paru (Gambar 3), dengan gambaran ground glass
pada high-resolution computer axial tomography (Gambar 4). Saat remisi, infiltrat alveolar
cenderung direabsorpsi dan opasitas pola retikuler interstisial dan mikronodular terjadi pada
daerah yang sama, dengan fibrosis pada derajat yang bervariasi.
6


Gambar 3. Gambaran infiltrat difus tipe alveolar pada daerah basal paru
10


Gambar 4. Gambaran ground glass pada lingula dan lobus tengah dan mikronoduler
retikuler
dengan fibrosi subpleura
6


Gambaran PH dengan HRCT pada orang dewasa tidak khas. Cheah dkk
11
,
menjelaskan tentang gambaran dari perdarahan paru berulang pada enam orang dewasa,
termasuk opasitas dan konsolidasi ground glass difus, peningkatan garis interstisial yang
konsisten dengan fibrosis, dan nodul sentrilobuler pada dua pasien. Buschman dan Ballard
12

menjelaskan perubahan pada HRCT pada wanita berusia 53 tahun dengan IPH. Fibrosis berat
dengan fibrosis masif yang progresif ditemukan pada lobus atas, dengan gambaran
honeycomb (Gambar 5) pada segment posterior dari kedua lobus bawah. Pada penyakit
kronis, retikulasi bisa nampak yang memberikan bukti adanya fibrosis interstisiel. Kerleys B
lines juga kadang-kadang dapat ditemukan.
7


Gambar 5. Gambaran honeycomb pada HRCT
13



Diagnosis
Pendekatan untuk diagnosis PH menggunakan dua tahap. Tahap pertama termasuk
bukti adanya perdarahan intrapulmonal difus, berdasar pada gambaran klinis, seperti batuk,
sesak naaps, hemoptisis, multipel opasites tipe-alveolar, anemia defisiensi besi sekunder, dan
adanya eritrosit dan siderofag pada sputum/cairan BAL pada daerah yang mengalami
kerusakan. Foto thorax postero-anterior dan lateral yang baik harus diikuti dengan HSCT
thorax untuk karakterisasi dan penentuan lokasi perdarahan alveolar yang lebih baik, dan juga
evaluasi dari derajat fibrosis interstisial. Evaluasi lengkap dari anemia sideropenik termasuk
pemeriksaan gastrointestinal dan genital untuk mencari perdarahan samar, pemeriksaan besi
menunjukkan saturasi transferrin yang rendah (<30%), kadar besi serum rendah, mikrositosis
(MCV <80 fL), dengan kadar ferritin normal atau tinggi, deposit sumsum tulang yang rendah,
dan hitung reikulosis yang normal atau tinggi. Pemeriksaan fungsi paru termasuk spirometri,
plethismografik dan juga pengukuran DL,CO.
6

Tahap kedua dari diagnosis adalah menentukan penyakit dasar terkait dengan
perdarahan paru, seperti penyakit autoimun, kondisi terkait dengan glomerulopati, dll. Tahap
ini termasuk biopsi paru, yang mana tidak menunjukkan granuloma, vaskulitis/kapilaritis,
atau penyakit organik paru lain. Di samping pemeriksaan hematoxylin-eosin, spesimen harus
diperiksa menggunakan imunofloresen atau imunohistokimia untuk mengeluarkan adanya
deposit imunoglobulin dan/atau kompleks imun. Biopsi paru transbronkial dari daerah
ground-glass pada CAT scan (10 sampel) adalah prosedur diagnostik awal yang dipilih.
Sampel yang lebih besar dapat diperoleh dengan bedah thoracoskopik dengan bantuan
kamera atau biopsi paru terbuka. Pemeriksaan laboratorium untuk ANA, anti ds-DNA,
ANCA (baik perinuklear maupun sitoplasmik), antibodi anti-GBM, antibodi antifosfolipid,
antibodi IgG dan IgE susu sapi, dan RF harus negatif. Juga, penderita harus diuji untuk
penyakit coeliac dengan antibodi plasma antigliadin dan antiretikulin, meskipun tidak ada
gejala-gejala gastrointestinal yang mendukung diagnosis tersebut.
6

Penanganan
Belum ada penelitian besar untuk pasien-pasien dengan PH, sehingga saat ini
penanganan penyakit ini masih berdasarkan penelitian observasi dengan jumlah pasien yang
relatif kecil atau data yang tidak lengkap dikumpulkan selama bertahun-tahun.
Penanganan PH sebagian besar berdasarkan gejala dalam bentuk pemberian oksigen
dan steroid. Anemia sideropenik kronik karena perdarahan paru yang lambat dan terus
menerus biasanya memberi respon baik dengan terapi besi. Steroid telah digunkana dengan
alasan PH adalah kelainan imunologi. Beberapa ahli memberikan kortikosteroid maupun
ACTH, dimana yang lain menggunakan obat-obat tersebut sebagai usaha terakhir. Tipe
steroid yang digunakan, dosis, durasi dan indikasi untuk terapi sangat bervariasi.
14

Terapi dari PH terdiri dari penanganan destruksi membran kapiler paru karena
autoimun dan penanganan penyebab dasar. Kortikosteroid dan agen imunosupresif lain tetap
menjadi baku emas untuk kebanyakan pasien. Recombinant-activated human factor VII
nampak merupakan terapi baru yang menjanjikan, meskipun evaluasi lebih lanjut masih
dibutuhkan. Beberapa laporan kasus telah melaporkan penggunaan recombinant activated
human factor VII yang berhasil dalam penanganan dari PH karena vaskulitis dengan ANCA
positif, SLE, atau sindrom antifosfolipid.
1

Penanganan lain termasuk pemberian oksigen, bronkodilator, koreksi dari
koagulopati, intubasi dengan tamponade bronkial, perlindungan terhadap bagian paru yang
tidak terlibat, dan ventilasi mekanik.
1

Prognosis
Prognosis dari pulmonal hemosiderosis tergantung pada penyakit yang mendasari.
Episode penyakit berulang dapat menyebabkan fibrosis interstisiel dengan derajat yang
bervariasi, terutama pada penderita dengan Wegeners granulomatosis, mitral stenosis, mitral
regurgitasi berat, dan idiopatik pulmonal hemosiderosis.
1

.



Referensi
1. Ioachimesu OC, Stoller JK. Diffuse Alveolar Hemorrhage: Diagnosing It and Finding
the Cause. Cleve. Clin. J. Med. 2008;75:258-280
2. Sheets SJ. Pulmonary Hemosiderosis. In: Yamamoto LG, Inaba AS, Okamoto JK,
Patrinos ME, Yamashiroya VK, eds. Case Based Pediatrics for Medical Students and
Residents. Honolulu: Department of Pediatrics, University of Hawaii John A. Burns
School of Medicine; 2002.
3. Napchan GD, Bye MR. Pulmonary Hemosiderosis. WebMD; 2009 [cited 2012 March
20]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1002002-overview.
4. Miwa S, Imokawa S, Kato M, Ide K, Uchiyama H, Yokomura K, Suda T, Shirai M,
Hayakawa H, Chida K. Prognosis in Adult Patients with Idiopathic Pulmonary
Hemosiderosis. Intern. Med. 2011;50:1803-1808
5. Yettra M, Gottenberg E, Weiner H. Idiopathic Pulmonary Hemosiderosis. Calif. Med.
1960;93:330-336
6. Ioachimesu OC, Sieber S, Kotch A. Idiopathic Pulmonary Haemosiderosis Revisited.
Eur. Respir. J. 2004;24:162-170
7. Collard HR, King TE, Schwarz MI. Diffuse Alveolar Hemorrhage and Rare
Infiltrative Disorders of the Lung. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR, King TE,
Scraufnagel DE, Murray JF, Nadel JA, eds. Murray & Nadel's Textbook of
Respiratory Medicine. Philadelphia: Saunders; 2010.
8. Enyi I, Babayi I, Buyukbayram H. Idiopathic Pulmonary Hemosiderosis. East J Med.
2001;6:29-32
9. Sen T, Patel D, Udwadia ZF. Idiopathic Pulmonary Hemosiderosis: Complete
Remission with Steroids. Indian J. Chest Dis. Allied Sci. 2008;50:289-291
10. Chen C, Yang H, Chiang S, Wang P. Idiopathic Pulmonary Hemosiderosis: Favorable
Response to Corticosteroids. J Chin Med Assoc. 2008;71:421-424
11. Cheah F, Sheppard M, DM H. Computed Tomography of Diffuse Pulmonary
Haemorrhage with Pathological Correlation. Clin. Radiol. 1993;48:89-93
12. Buschman D, Ballard R. Progressive Massive Fibrosis Associated with Idiopathic
Pulmonary Hemosiderosis. Chest. 1993;104:293-295
13. Harte S, McNicholas WT, Donnelly SC, Dodd JD. Honeycomb Cysts in Idiopathic
Pulmonary Haemosiderosis: High-Resolution Ct Appearances in Two Adults. Br. J.
Radiol. 2008;81:295-298
14. Hanip MR, Isa MR, Zainuddin BMZ. Idiopathic Pulmonal Hemosiderosis Occuring in
a Malaysian Patient. Singapore Med. J. 1994;35:535-537




1.
Ceelen, W. (1931). "Die Kreislaufstrungen der Lungen". In Henke, F.; Lubarsch,
O. Handbuch der speziellen pathologischen Anatomie und Histologie (in German) 3. Berlin:
Springer. p. 10.
2. Jump up^ Heiner, DC (1990). "Pulmonary hemosiderosis". In Chernick, V Kendig, EL,
Jr. Disorders of the respiratory tract in children. Philadelphia PA: WB Saunders. pp. 498509

Yao TC, Hung IJ, Wong KS, et al. Idiopathic pulmonary haemosiderosis: an Oriental experience. J Paediatr Child Health 2003; 39:27.

Anda mungkin juga menyukai