Sin Ops Is
Sin Ops Is
PENDAHULUAN
1
umumnya. Sebab, fungsi dan tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan
atau berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan
akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk melahirkan
manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan
bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang dilandasi pada
konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya.
Sebagaimana dikatakan para ahli, bahwa pendidikan Islam berupaya
untuk mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi
spritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan baik individu maupun kelompok,
dan memberi dorongan bagi dinamika aspek-aspek di atas menuju kebaikan
dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan al-
Khaliq, sesama manusia, maupun dengan alam.2 Akan tetapi pada tataran
operasional, rumusan-rumusan ideal yang dikemukakan di atas belum
terjawab, sedangkan lembaga pendidikan Islam cukup variatif dalam berusaha
menerapkan konsep-konsep tersebut, namun belum berdaya dan posisi
pendidikan Islam sendiri masih terlihat begitu lemah.
Melihat kenyataan ini, maka inovasi atau penataan fungsi pendidikan
Islam, terutama pada sistem pendidikan, harus diupayakan secara terus
menerus, berkesinambungan, dan berkelanjutan, sehingga nanti usahanya
dapat menyentuh pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam
luar sekolah termasuk pada pondok pesantren. Di samping inovasi pada sisi
kelembagaan, faktor tenaga pendidikan juga harus ditingkatkan aspek etos
kerja dan profesionalismenya, perbaikan materi (kurikulum) yang pendekatan
metodologi masih berorientasi pada sistem tradisional, dan perbaikan
manajemen pendidikan itu sendiri. Untuk itu, maka usaha untuk melakukan
inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara mendasar dan
menyeluruh, mulai dari fungsi dan tujuan, metode, materi (kurikulum),
lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Penataan pada fungsi pendidikan,
tentu dengan memperhatikan pula dunia kerja. Sebab, dunia kerja mempunyai
andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi
2M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 15
dan kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih sasaran model
pendidikan bagi kelompok masyarakat. Perbaikan wawasan, sikap,
pengetahuan, keterampilan, diharapkan akan memperbaiki kehidupan sosio-
kultural dan ekonomi masyarakat.
Konsumsi pendidikan dan pengembangan keilmuan untuk kelompok
masyarakat, belum tampak berkembang, kecuali usaha-usaha yang secara
naluriah telah diwariskan dari waktu ke waktu.3 Perbaikan fungsi pendidikan
Islam pada tahap lanjut, harus dilakukan menjadi satu kesatuan dengan
lembaga pendidikan Islam lainnya yang terkait erat sekali, seperti masjid
dengan kesatuan jamaahnya, madrasah/sekolah, keluarga muslim, masyarakat
muslim di suatu kesatuan teritorial, dan lain sebagainya. Dalam konteks
tersebut, maka sekurang-kurangnya ada empat jenis lembaga pendidikan
Islam yang dapat mengambil peran ini, yaitu pendidikan Pondok Pesantren,
Masjid, Madrasah, pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Peran di sini
seperti yang diungkapkan Bruce J Cohen, peran adalah suatu perilaku yang
diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu.
Peran-peran yang tepat dipelajari sebagai bagian dari proses sosialisasi dan
kemudian diambil oleh para individu.4
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana lembaga-lembaga
Islam, termasuk pondok pesantren atau para penyelenggara pendidikan (kyai),
mampu mempersiapkan diri dan berperan dalam mengembangkan pendidikan
Islam yang ada. Hal ini mencakup tujuan, manajemen kelembagaan,
kurikulum, proses pembelajaran, sarana-prasarana, dan evaluasi. Sehingga
output-nya dapat menghadapi perubahan masyarakat yang terus maju hidup
dalam tatanan ajaran Islam. Ini merupakan pertanyaan besar yang memerlukan
jawaban segera oleh lembaga pendidikan yang bernaung atas nama pondok
pesantren.
Pondok pesantren merupakan tempat yang relevan untuk menyiarkan
agama, maupun masalah - masalah sosial lainnya, karena dalam pondok
3Suyuta, Penataan Kembali Pendidikan Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi,
(Yogyakarta : Majalah UNISIA No. 12 Th. XIII, UII,1992), hlm. 28
4 Bruce J Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 76
3
pesantren ini ilmu yang diajarkan nantinya dapat diterapkan oleh para
santrinya dalam masyarakat di sekitarnya.5 Pondok pesantren sebagai salah
satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia sudah ada dan berkembang dan
tumbuh mengakar di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan bahkan tetap di
kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Di sisi lain, pesantren mempunyai peranan yang sangat penting bagi
sejarah bangsa Indonesia. Dan tidak diragukan lagi bahwa pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia. Lembaga ini telah eksis jauh
sebelum kedatangan Islam di Nusantara.6 Sejak masa awal penyebaran Islam,
pesantren adalah saksi utama bagi penyebaran Islam di Indonesia.
Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa
terpisahkan dari peranan pesantren. Bermula dari pesantren, perputaran roda
ekonomi dan kebijakan publik Islam dikendalikan. Kedinamisan pesantren
tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga
maju dalam bidang keilmuan dan intelektual.7
Pondok pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama juga
memacu diri dalam mencari sesuatu yang baru sesuai dengan pengetahuan dan
teknologi. Serta menghadapi perkembangan zaman dengan tetap mempunyai
kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok
pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan pengetahuan masyarakat,
sekaligus mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru
bagi kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam mengisi
pembangunan.8
9 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1989),
hlm. 454
10Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta : Rajawali, 1987), hlm. 87
11M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan , (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 3
12M Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1974), hlm. 6
5
bahwa umat Islam mendambakan agar pemimpin umat, datang dari lembaga
ini yang akan membawa mereka manuju satu jalan kehidupan yang bahagia
dunia dan akhirat. Sebenarnya pembinaan yang dikembangkan di pesantren
tidak hanya jalur pendidikan saja, tetapi mencakup juga segi kerohanian
terutama menempa jiwa santri dalam mencapai satu tatanan kehidupan yang
teratur, tertib, kerja sama yang harmonis, mengutamakan kepentingan umum
dan lebih banyak beramal saleh.
Menurut Mastuhu, yang terpenting adalah bahwa suatu lembaga
pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya jika ia dapat
mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyarakat yang
melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukan adanya kecocokan nilai
antara pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya, setidak-
tidaknya tidak ada pertentangan. Lebih jauh dari itu, suatu lembaga
pendidikan akan diminati oleh peserta didik, orang tua, dan seluruh
masyarakat apabila ia mampu menyatu dengan masyarakat sekitarnya
dalam bidang moral. Pesantren sering diidealkan sebagai komunitas ideal
dan sakral. Pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang mendidik
santrinya untuk menjadi orang saleh yang idealis, moralis, dan
berorientasi ukrawi 13
Sementara, Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa pesantren dapat
menyumbang penanaman iman, suatu yang diinginkan oleh tujuan
pendidikan Nasional. Budi luhur, kemandirian, kesehatan ronahi, adalah
tujuan-tujuan pendidikan Nasional, yang juga merupakan utama
pendidikan pesantren14
17 Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita,
(Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan)
18Ibrahim Bukhari Sidi, op.cit., hlm. 72
7
pemikiran Buya selaku pimpinan, serta adanya interpensi dari pengurus
yayasan sebagai pemegang otoritas lembaga.
Oleh karena itu, pondok pesantren ini dituntut untuk senantiasa
mengembangkan kelembagaannya, meningkatkan kualitas sumber daya
manusia melalui wajib belajar, mengadakan pelatihan-pelatihan serta kursus
keterampilan bagi para santri dan anggota masyarakat sekitarnya.
Dengan demikian masalah yang akan dihadapi dan akan menjadi
tanggungjawab Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di masa yang
akan datang adalah bagaimana pesantren dapat berperan dalam pengembangan
pendidikan Islam bagi masyarakat sekitarnya sesuai dengan perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat itu sendiri.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pada masalah di atas, maka pembahasan
pesantren dan pengembangan pendidikan Islam ini cukup menarik untuk
diteliti. Hal ini mengingat peran strategis pondok pesantren di masa depan
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam melakukan peningkatan
mutu pendidikan dan pengembangan pendidikan Islam ditengah-tengah
masyarakat. Untuk keperluan tersebut, studi kasus penelitian adalah di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
Pertanyaannya adalah bagaimana peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau (semenjak berobah statusnya menjadi pondok pesantren tahun 1972)
dalam meningkatkan mutu dan mengembangkan pendidikan Islam?. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka yang menjadi tema pokok dalam
penelitian ini adalah: PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB
TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI
KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT.
Permasalah tersebut dirumuskan dalam pertanyaan penelitian
berikut:
a. Bagaimana latar belakang, tujuan, visi dan misi Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat ?
b. Bagaimana kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ?
c. Bagaimana proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat ?
d. Apa faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan
Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten
Tanah Datar Sumatera Barat ?
e. Bagaimana peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat,mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui latar belakang berdirinya, tujuan, visi dan misi Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat.
b. Mengetahui kurikulum di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
c. Mengetahui proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat.
d. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat pengembangan
pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
e. Mengetahui peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Ilmiah
9
Hasil penelitian ini memberikan konstribusi dalam ilmu
sejrah kebudayaan Islam dan dapat dijadikan teori dan ilmu baru
tentang peranan Pondok Pesantren dalam pengembangan
pendidikan Islam dan sekaligus sebagai bahan kajian lebih
mendalam mengenai pondok pesantren.
b. Kegunaan praktis
1) Bagi penulis sendiri, hasil ini dijadikan sebagai upaya menambah
pengetahuan dan wawasan serta pengalaman, terutama mengenai
peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
peningkatan dan pengembangan mutu Pendidikan Islam.
2) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan informasi tentang pentingnya melakukan peningkatan dan
pengembangan mutu pendidikan Islam melalui peran lembaga
pendidikan pondok pesantren yang merupakan kebudayaan dan
peradaban Islam.
3) Bagi pengelola pondok pesantren, hasil penelitian ini memberikan
landasan berpikir dalam rangka mengembangkan pendidikan
Islam.
D. Kerangka Pemikiran
Pendidikan Pondok pesantren berperan dalam memberikan nilai-nilai
Islam yang tinggi serta berkontribusi mencerdaskan serta membentuk karakter
masyarakat yang islami.. Disamping itu pondok pesantren berperan dalam
menciptakan ulama inteletual dan intelektual ulama, disamping menumbuhkan
nilai-nilai Islam ditengah-tengah kehudpan masyarakat.
Pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren.
Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti tempat menginap atau
asrama. Sedangkan pesantren berasal dari bahasa Tamil, dari kata santri,
diimbuhi awalan pe dan akhiran an yang berarti penuntut ilmu.19 Kata
pesantren mengandung pengertian asrama atau tempat murid-murid belajar
19Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta :
Raja Grafondo Persada, 1995), hlm. 145
mengaji dan bisa juga disebut pondok.20 Dalam bahasa Indonesia sering nama
pondok dan pesantren dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut
pondok pesantren. 21
Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan masyrakat yang unik dan
memiliki tata nilai kehidupan yang positif yang mempunyai ciri khas
tersendiri, sebagai lembaga pendidikan Islam. Adapun unsur pokok dari
pesantren adalah : Kiyai, Santri, Pondok, Masjid dan Kitab-kitab klasik22.
Menurut istilah pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional
Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan
sebagai pedoman perilaku sehari-hari.23
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di
Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa.24 Jauh sebelum masa kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem
pendidikan nusantara. Hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di
pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang
lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti
Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa.25
Dalam perkembangannya pondok pesantren mengalami dinamika
sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Pada awalnya pondok
pesantren bersifat tradisional non klasikal dengan metode sorongan26 dan
20Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), hlm. 762
21Manfrek Ziemek, Pesantren dalam PerubahanSosial, (Jakarta : P3M, 1986 ), hlm. 116
22Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
( Bandung : Citapustaka Media, 2001), hlm. 69
23Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 155
24Pondok Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah
abad ke-16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan
bahwa sejak permulaan abad ke-16 ini di Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang
mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, aqidah, tasawwuf dan menjadi pusat-
pusat penyiaran Islam. Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, hlm. 11
25Departeman Agama, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan
Agama Islam, 2003), hlm. 3
26Sorogan adalah santri menghadap kiyai seorang-seorang dengan membaca kitab yang akan
dipelajarinya. Santri menyimak dan mengesahkan dengan memberi catatan pada kitabnya untuk
mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiayi. Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama
dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta : PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 223
11
wetonan27 dan materi khusus mempelajari agama. Sebagai lembaga
pendidikan Islam tertua, pondok pesantren berfungsi sebagai salah satu
benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan
masyarakat musilim Indonesia.28
Wirjo Sukarto menunjukan bahwa tujuan utama pendidikan pondok
pesantren adalah menyiapkan calon lulusan hanya menguasai masalah agama
semata. Rencana pelajaran (kurikulum) ditetapkan oleh Kiyai dengan
menunjukan kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Pengunaan kitab dimulai
dari jenis kitab yang rendah dalam satu disiplin ilmu keislaman sampai pada
tingkat yang tinggi. Kenaikan kelas atau tingkat ditandai dengan bergantinya
kitab yang telah ditelaah setelah kitab-kitab sebelumnya selesai dipelajarinya.
Ukuran kealiman seorang santri bukan dari banyaknya kitab yang dipelajari
tetapi diukur dengan praktek mengajar sebagai guru mengaji, dapat
memahami kitab-kitab yang sulit dan mengajarkan kepada santri-santri
lainnya.29
Menurut Mahmud Yunus, bahwa isi pendidikan Islam pada pondok
pesantren, terutama pada masa perubahan (1900-1908) meliput: (1) pengajian
al-Qur’an; (2) pengajian kitab yang terdiri atas beberapa tingkat,yaitu: (a)
mengaji nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Ajrumiyah, Matan
Bina, Fathul Qarib dan sebagainya; (b) mengaji tauhid, nahwu, sharaf dan fiqh
dengan memakai kitab Sanusi, Syaikh Khalid (Azhari,’Asymawi), Kailani,
Fathul Mu’in dan sebagainya; dan (c) mengaji Tauhid, nahwu sharaf, fiqh dan
tafsir dan lainnya dengan memakai kitab Kifayatul ’Awam ( Ummul Barahin),
Ibnu ’Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan sebagainya.30
Lembaga pendidikan yang berbasis pada pesantren ini mempunyai
27Wetonan adalah metode kuliah, dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekililing kiayi yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan padanya. Di Jawa Barat metode ini disebut bandongan sedang di Sumatra
disebut halaqah atau balaghan (balagan). Abdul Rachman Saleh, Ibid, hlm. 223
28Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1996) cet.
ke-3. Jilid 4, hlm. 99
29Amir Hamzah Wirjo Sukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember :
Muria Offset, 1985), cet. ke-4, hlm. 27-28
30Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara, 1979), hlm.
54-55
peran dalam segala aspek, tidak hanya dalam aspek ukrawi semata, melainkan
dalam aspek kehidupan umat manusia yang lain. Adapun peran yang sangat
dibutuhkan dalam pengembangan pendidikan Islam disini adalah dalam upaya
menemukan pembaharuan dalam sistem pendidikan yang meliputi metode
pengajaran, baik agama maupun umum yang efektif. inovasi dibidang
kurikulum, alat-alat pelajaran, guru yang kreatif dan penuh dedikasi (kualitas
sumber daya manusia), mengembangkan kelembagaan, pengembangan dan
peningkatan sarana dan prasarana, serta pengembangan bidang keilmuan dan
keterampilan.31
Karel Steenbrink, menyatakan bahwa keberadaan pendidikan Islam di
Indonesia cukup variatif. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa pendidikan
Islam yang berbasis pada pondok pesentren, diharapkan menjadi “modal”
dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan sebagai suatu paradigma
didaktik-metodologis. Sebab, pengembangan keilmuan yang integral
(interdisipliner) akan mampu manjawab kesan dikotimis dalam lembaga
pendidikan Islam selama ini berkembang. Tetapi sayangnya pendidikan model
ini belum ditindak lanjuti dan dievaluasi efiktitas dan efisiensi prosesnya baik
dari kurikulum dan materi, metode, pengajar, waktu pelaksanaan dan
organisasi. 32
Melihat kenyataan ini, maka pendidikan Islam ini perlu mendapat
perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus
disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama di
Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di
dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga
perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya
dalam menghadapi perubahan zaman.
Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk,
karena: Pertama, pendidikan Islam subsistem pendidikan nasional di
13
Indonesia, akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman positif. Kedua,
pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan dan alternatif bagi
pembenahan sistem pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan,
masalah, dan kelemahannya. Ketiga, sistem Pendidikan Islam yang dapat
dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh dalam realitas kehidupan
kemasyarakatan.33
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia
yang bersifat tradisional untuk tujuan mendalami ilmu agama Islam, dan
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, dengan menekankan
pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian pesentren
merupakan sistem pendidikan yang berkembang di masyarakat.
Unsur-unsur sistem pendidikan selain terdiri atas pelaku yang
merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur-unsur non organik lainnya
berupa dana, sarana dan alat-alat pendidikan lainnya, baik berupa perangkat
keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dan unsur-unsur
dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Para pelaku pesantren adalah kyai (buya)
sebagai tokoh utama dan merupakan kunci dari sebuah pesantren, ustadz
sebagai pembantu kyai dalam bidang agama, guru sebagai pembantu kyai
dalam mengajar ilmu-ilmu umum, santri sebagai pelajar, dan pengurus sebagai
pembantu kyai dalam mengurus kepentingan umum pesantren.
Nilai-nilai yang dikembangkan dipesantren senantiasa digerakan dan
diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam.
Ajaran dasar tersebut berinteraksi dengan struktur kontektual atau realitas
sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hasil perpaduan inilah yang
membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan
tujuan pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan metode yang
akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang
dihadapi oleh sebuah pondok pesantren.
15
tasauf, tarikh, dan mantiq(retorika)38 Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai
kitab-kitab klasik dengan istilah " kitab kuning" dengan ciri-ciri kitabnya
berbahasa Arab tanpa syakal (baris), bahkan tanpa titik dan koma, berisi
keilmuan yang cukup berbobot, dan metode penulisannya dianggap kuno,
lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok pesantren, dan banyak diantara
kertasnya berwarna kuning.39
Pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai
lembaga pendidikan Islam yang mapan, yaitu di dalamnya didirikan sekolah
baik secara formal maupun non formal. Dewasa ini pesantren mempunyai
kecenderungan baru dalam rangka merenovasi terhadap sistem pendidikan
yang selama ini dipergunakan, yaitu mulai akrab dengan metodologi modern,
semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional dalam artian terbuka atas
perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan makin
terbuka dan ketergantungannya pun absolut dengan kyai, dan sekaligus dapat
membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran
agama maupun keterampilan yang diperlukan, serta berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat di samping sebagai pusat pendidikan Islam.40
Jadi dengan demikian, intinya, pesantren merupakan tempat sosialisasi
dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, penetapan
kurikulum, proses, sistem evaluasi dan tujuannya didasarkan atas nilai-nilai
pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang berlaku dan dihormati
oleh masyarakat. Disamping itu, peranan adanya peningkatan mutu
pendidikan menuntut sebuah pesantren menjalin hubungan yang akrab dan
harmonis dengan lembaga-lembaga lainnya yang berkembang di masyarakat.
Semua itu merupakan mata rantai yang saling mendukung dan berkaitan
dengan menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga sentral terhadap
lembaga-lembaga lainnya yang ada di tengah-tengah masyarakat.
38Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta :
Mulia Offset. 1999), cet. ke-1, hlm. 26
39Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya, (Jakarta : Galasa
Nusantara. 1997), cet. ke-1, hlm. 103-104
40M Rusli Karim, "Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transpormasi Sosial Budaya",
dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta : Tiara
Wacana. 1991), cet. ke-1, hlm. 134
Atas dasar itu, maka kehadiran sebuah pondok pesantren ditengah-
tengah masyarakat akan berdiri di atas dua kepentingan, yaitu sebagai agen
pewaris budaya pada satu sisi untuk menanamkan nilai-nilai ajaran dasar
agama Islam, dan disisi lain sebagai peningkatan dan pengembangan mutu
pendidikan pesantren untuk menghadapi tantangan perubahan masyarakat.
Dengan kedua fungsi tersebut, diharapkan pondok pesantren akan tetap eksis
dan dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk membentuk generasi yang
siap menghadapi tuntutan dan tantangan zaman dan mengamalkan ajaran
agama Islam hingga sekarang dan masa yang akan datang.
Pola pengembangan pendidikan Islam yang disintesiskan dari
pertemuan corak lama dan corak baru yang berwujud madrasah/sekolah, yang
kemudian diadopsi oleh Thawalib Tanjung Limau dengan mengikuti format
Barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi
pendidikan tetap menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam.41 Awalnya
pengembangan pendidikan telah dimulai dengan pembaharuan yang dilakukn
oleh tiga orang haji yang kembali belajar dari Mekah, yaitu haji Miskin, Haji
Sumanik, dan Haji Piobang.42 Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh tiga
serangkai pembaharu di Minang Kabau, yang dikenal dengan gerakan kaum
muda mereka adalah Haji Rasul ( Inyiak Deer), Haji Abdullah Ahmad, dan
Haji Djamil Jambek.43 Melalui peran mereka dan murid-murid mereka inilah
lembaga pendidikan Islam berubah menjadi lembaga pendidikan yang lebih
moderen, dengan format Baratnya yaitu memasukan pelajaran umum ke dalam
lembaga tradisional dan memasukan pelajaran Agama ke sekolah-sekolah
umum, serta dengan merobah metode halaqah di lembaga tradisional dengan
metode belajar secara klasikal.
E. Langkah-Langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, karena yang
17
akan diteliti adalah persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan
pada saat sekarang. Dalam hal ini penelitian dimaksudkan untuk
mengambarkan secara aktual mengenai peranan pondok pesantren
Thawalib Tanjung dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten
Tanah Datar Sumatera Barat. Adapun aspek-aspek peranan yang akan
digambarkan dalam penelitian ini diantaranya adalah: peranan Pondok
pesantren dalam mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, peranan
dalam meningkatkan sumber daya manusia terutama dalam ilmu agama
dan umum, dan peranan dalam pengembangan sarana dan prasarana
pendidikan untuk mutu meningkatkan pendidikan Islam.
Dalam mengambarkan peran pondok pesantren Thawalib dalam
pengembangan Pendidikan Islam tersebut di atas, pendekatan yang
penulis lakukan adalah pendekatan deskriptif -analitis historis.
Maksudnya adalah data yang telah terkumpul; yaitu berupa kata,
kalimat, dan gambar, yang dibagi dalam perioderisasi perkembangan
pesantren sehingga pendekatan ini bukan kuantitatif yang mengunakan
alat-alat pengukur data statistik.
2. Jenis Data
Sesuai dengan metode penelitian yang dipilih di atas, penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui secara rinci gambaran mengenai peran
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam dalam
pengembangan Pendidikan Islam, yang meliputi : (a) data tentang
sejarah dan Perkembangan pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar, (b) data tentang visi, misi dan tujuan pondok
pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (c) data
tentang kurikulum yang dipakai di pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau Kabupaten Tanah Datar dalam Pengembangan Pendidikan Islam,
(d) data tentang proses pelaksanaan dan evaluasi pendidikan Islam di
pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (e)
data tentang faktor pendukung dan penghambat pengembangan
pendidikan Islam pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten
Tanah Datar, (f) data tentang peranan Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Data Primer
Yang dimaksud dengan data primer di sini adalah data yang
diperoleh dari lapangan. Adapun yang menjadi sumber data primer
dalam penelitian ini adalah:
1) Pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
2) Staf pengajar/ kyai
3) Dewan santri
3) Tokoh masyarakat yang ada disekitar pondok pesantren, dan
4) Alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
b. Data Sekunder
Yang dimaksud dengan data sekunder dalam penelitian ini
adalah sumber data yang didapat dari literatur dan dokumentasi.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Teknik observasi maksudnya adalah teknik pengumpulan
data dengan jalan pengamatan langsung terhadap objek yang akan
diteliti. Dalam teknik ini proses observasi dilakukan untuk
mengamati atau mengetahui kondisi objektif peran pondok
pesantren Thawalib terhadap pengembangan Pendidikan Islam.
b. Wawancara
Teknik wawancara maksudnya adalah teknik pengumpulan
data dengan proses melakukan tanya jawab atau wawancara
dengan sumber data primer yang telah ditentukan sebelumnya.
Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur,
maksudnya adalah pewawancara menentukan sendiri masalah dan
19
pertanyaan yang diajukan sesuai dengan permasalahan yang
diteliti. Wawancara diajukan kepada sumber data primer, yaitu
pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, staf
pengajar atau dewan guru/kiyai, dewan santri, dan tokoh
masyarakat dan alumni.
c. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi maksudnya adalah teknik pengumpulan
data dengan jalan mengumpulkan dokumen resmi pondok
pesantren berupa arsip, photo-photo kegiatan yang berkaitan
dengan peran Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
pengembangan pendidikan Islam.
5. Analisis Data
Analisis merupakan bagian yang sangat penting dalam metode
ilmiah, sebab dalam bagian inilah data tersebut dapat memberi arti dan
makna yang berguna dalam memecahkan masalah. Analisis data adalah
proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data.44
Setelah data diperoleh, langkah berikutnya adalah menganalisis data.
Karena datanya kualitatif, maka pendekatan yang digunakan dalam
menganalisis data ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Data atau informasi yang diperoleh dari lapangan sebagai bahan
“mentah” direduksi, dirangkum, disusun secara sistematis, dipilih
hal-hal yang pokok, atau difokuskan kepada hal-hal yang penting
yang relevan dengan subyek penelitian, sehingga dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas atau tajam tentang hasil yang telah
diperoleh.
b. Display Data
44Lexy Meliong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006),
hlm. 280
Langkah lanjut dari reduksi dengan menyusunnya secara rapi dan
sistematis untuk disajikan dengan uraian naratif. Hal ini dilakukan
untuk mendapat gambaran yang utuh dari data yang diperoleh, atau
gambaran tentang keterkaitan antara aspek yang satu dengan aspek
lainnya.
c. Verifikasi Data
Penarikan kesimpulan-kesimpulan secara sementara, kemudian
dilengkapi dengan data pendukung lainnya sehingga sempurnalah
hasil dari penelitian. verifikasi dilakukan dengan melihat kembali
pada reduksi data maupun display data sehingga kesimpulan tidak
menyimpang dari data yang dianalisis.
d. Melakukan penulisan terhadap data yang telah dianggap valid dan
sesuai dengan masalah penelitian.45
F. Studi Kepustakaan
Sampai saat penelitian ini dilakukan, belum ada bahan yang cocok
maupun dokumentasi/arsip yang memadai sebagai sumber penulisan peran
pondok pesantren Thawalib yang terletak di Tanjung Limau Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh karena itu sebagai acuan yang
kuat bagi penulis, maka penulis mengambil sebuah skripsi yang berjudul :
Aktifitas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Dalam
Melaksanakan Dakwah Islamiah di Desa Tanjung Limau Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh Asrinaldi, BP. 295 015
Jurusannya adalah Bidang Penyuluhan Islam (BPI), Fakultas Dakwah
IAIN Imam Bonjol (IB) Padang. Dan juga skripsi Widiawati, Bp. 295.107,
judul: "Perhatian Pengelola Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Di
Desa Tanjung Limau Simabur Kecamatan Pariangan", STAIN
Batusangkar, Fak Tarbiyah Jurusan PAI
Adapun isi dari skripsi Asrinaldi di atas adalah bagaimana
keberadaan pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam membina
45Syamsu Yusuf, Penelitian Pendidikan, (Bandung : Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. 2003),
hlm. 16-17
21
kader dakwah dan bagaimana peranan dakwah dalam masyarakat
sekitarnya. Sedangkan isi skripsi Widiawati adalah bagaimana perhatian
pengelola Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Terhadap
keberadaan pondok pesantren ini sebagai sebuah lembaga pendidikan
Islam di desa Tanjung Limau. Sedangkan penulis di sini ingin menulis
tentang bagaimana Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat, dan menurut hemat penulis, pembahasan yang telah ada
meski sama-sama meniliti Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau,
akan tetapi berbeda dalam masalah yang akan diteliti. Penulis meneliti
pesantren ini dititip beratkan pada masalah, bagaimana pondok pesantren
Thawalib Tanjung Limau melakukan inovasi, memperhatikan posisinya
dan menerapkan tugas pokoknya serta berfungsi dalam pengembangan
pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
BAB II
46Astrid Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung : Bumi Cipta,
1979), hlm. 32
Menurut Soekanto, Peranan mencakup tiga hal, yaitu :
Pertama: Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi
atau tempat seseorang dalam masyarakat. Dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
masyarakat.
Kedua: Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
Ketiga: Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.47
Menurut Amran Peranan adalah “bagian dari tugas utama yang harus
dilaksanakan”.48 Sedangkan menurut Wrightman sebagaimana yang dikutip oleh
Ozer Usman, Peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling
berkaitan yang di lakukan dalam suatu situasi tertentu.49
Menurut teori peranan (Role Theory), peranan adalah sekumpulan
tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi. Menurut teori ini, peranan
yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang
membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi
lain relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peranan
tersebut.50
Berdasarkan dari teori-teori peranan yang telah diuraikan di atas, maka
yang dimaksud dengan peranan dalam penelitian di sini, yaitu suatu kondisi yang
diperankan atau dijalankan oleh pesantren dalam menghadapi dinamika
pengembangan pendidikan di luar pesantren, terutama terhadap kehidupan
masyarakat di Kabupaten Tanah Datar. Peranan yang dijalankan oleh Pesantren
tersebut, yaitu pengembangan kelembagaannya, peningkatan sumber daya
manusia, pengembangan sarana-prasarana, ilmu dan keterampilan.
B. Pendidikan Pesantren
1. Pengertian dan Sejarah Pendidikan Pesantren
Menurut pandangan Muhaimin dan Abdul Mujib, istilah pendidikan
47Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Tentang Stuktur Masyarakat, (Jakarta : CV Rajawali,
1984), hlm. 76
48Amran, Kamus Lengkap-Bahasa Indonesia, (Bandung : Bumi Akasara, 1995), hlm. 449
49Wrightman, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Yogya Press, 1995), hlm.
231
50Soerjono Soekanto, Soisiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo, 1989), hlm. 114
23
pesantren berasal dari istilah Kuttab yang merupakan lembaga pendidikan Islam
yang berkembang pada masa Bani Umayyah. Di Indonesia, istilah Kuttab lebih
dikenal dengan istilah pondok pesantren.51
Sedangkan menurut pengertian Departemen Agama Republik Indonesia,
yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah pendidikan luar sekolah yang
didirikan dan dikelola oleh masyarakat yang khususnya mempelajari /mendalami
ajaran agama Islam dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya pengasuh, seperti
kyai/ajengan, tuan guru, buya, tengku, atau ustadz, (2) adanya mesjid sebagai
pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar, (3) adanya santri atau siswa yang
belajar, (4) adanya asrama/pondokan sebagai tempat santri tinggal/mondok, (5)
adanya pengkajian kitab kuning atau kitab klasik tentang ilmu-ilmu ke-Islaman
berbahasa Arab gundul sebagai sumber belajarnya.52
Pengertian lain dari pesantren seperti yang dikatakan oleh Mastuhu, yaitu
sebagai berikut:
Pendidikan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam
(tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai
pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Penyelenggaraan lembaga
pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri
di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau beberapa ulama
dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan
mesjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-
gedung, sekolah atau ruang-ruang belajar, serta pondok-pondok sebagai
tempat tinggal para santri.53
Melihat dari berbagai macam pengertian pendidikan pasantren, maka
Ahmad Tafsir seorang Guru Besar Pendidikan Islam menegaskan, bahwa
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia setelah
keluarga dengan ciri-ciri: (1) Ada kyai, (2) Ada pondok, (3) Ada mesjid, (4) Ada
51Pondok Pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat kyai
(pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana Masjid yang
dugunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok atau
bangunan sebagai tempat tinggal para santri dan mempelajari kitab kuning. Muhaimin dan Abdul
Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kjian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya,
(Bandung : Trigenda karya, 1993), cet. ke-1, hlm. 298-299
52DepartemenAgama RI, Pedoman Supervisi Pondok Pesantren Salafiyah dalam Rangka
Wajib Belajar Pendidikan Dasar, (Jakarta : Dirjen Binbagais Depag RI, 2002), cet. ke-1, hlm. 11-
12
53Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), cet. ke-1, hlm. 6
santri, (5) Ada pengajaran membaca kitab kuning.54
Dari macam-macam pengertian pesantren sebagaimana tersebut di atas,
maka dapat penulis ditegaskan di sini bahwa, pendidikan pesantren merupakan
sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajaran tetapi
unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang
ditempuh, struktur pembagian kewenangan dan semua aspek-aspek pendidikan
dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada defenisi yang dapat secara
tepat mewakili pendidikan pesantren yang ada. Masing-masing pesantren
mempunyai keistimewaan sendiri, yang tidak dimiliki oleh pesantren lainnya.
Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pendidikan pesantren memiliki
persamaan. Persamaan-persamaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri-ciri
pendidikan pesantren, dan selama ini dianggap dapat mengimplikasikan pesantren
secara kelembagaan.
Atas dasar itu, maka dalam tulisan ini dapat penulis simpulkan bahwa
sebuah lembaga pendidikan dapat disebut pesantren apabila di dalamnya minimal
terdapat lima unsur pokok, yaitu: kyai (Buya sebutan di Minang Kabau), santri,
pengajian, asrama, mesjid dan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan
kemasyarakatan.
Masalahnya kemudian adalah apakah pendidikan pesantren ini merupakan
ciri khas atau produk asli sistem pendidikan Indonesia? Bagi masyarakat muslim
Indonesia, pesantren dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya pendidikan Islam.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia sebagaimana
yang diyakini oleh Karel A Steenbrink, Clifford Geertz dan yang lainnya.55 Hanya
saja mereka berbeda ketika mengungkapkan proses lahirnya pesantren.56
Nurcholis Madjid pernah menegaskan, pesantren adalah artefak peradaban
Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak
54Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda Karya, 1992),
cet. ke-2, hlm. 190
55Syaifuddin (Ed.)., Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren, (Jakarta : Departemen Agama
RI, 2004), cet. ke-1, hlm. 18
56Pada umumnya, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dalam
maupun luar negeri, ini terpublikasikan dalam bentuk buku, di antaranya: Tradisi Pesantren: Studi
Pandangan Hidup Kyai (Zamakhasyari Dhoffier), Pesantren , Madrasah, Sekolah (Karel A.
Streenbrik), The Religion of Java, The Japanese Kyai, dan Islam Observer (Clifford Geertz),
Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat ( Martin van Bruinessen), dan lain sebagainya.
25
tradisional, unik dan indigenous. Dia menegaskan, pesantren mempunyai
hubungan historis dengan lembaga pra-Islam yang sudah ada semenjak kekuatan
Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan
segala bentuk penyesuaian dan perubahannya.57
Berdasarkan sejarah yang berkembang, mengindikasikan bahwa pesantren
tertua, baik di Jawa maupun di luar Jawa tidak dapat dilepaskan dari inspirasi
yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa para Walisongo.58 Sementara itu
Zamakhsyari Dhofier, berpendapat, berdasarkan keterangan-keterangan yang
terdapat dalam dan Serat Cebolek dan Serat Centani, dapat disimpulkan bahwa
paling tidak sejak permulaan abad ke-16 M telah banyak pesantren-pesantren
yang masyhur dan menjadi pusat pendidikan Islam.59 Bahkan Mastuhu
berpendapat bahwa keberadaan pesantren mulai dikenal sejak periode abad ke-13
M.60
Kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga
pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama Islam, dan sosial
keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan
pengembangan Islam, seperti yang diakui oleh Dr. Soebardi dan Prof. Johns
sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier sebagai berikut:
Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak
keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling
penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga-
lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran
Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh
pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang
Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16.61
Selama zaman kolonial, pesantren tidak termasuk dalam perencanaan
pendidikan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa
sistem pendidikan Islam sangat jelek baik ditinjau dari segi tujuan, maupun
metode bahasa (bahasa arab) yang dipergunakan untuk mengajar, sehingga sangat
57Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramedina,
1997), cet. ke-1, hlm. 10
58Abdurrrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta : LKIS, 2004), cet. ke-1, hlm.
63-69
59Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 33-35
60Mastuhu, op. cit., hlm. 7
61Zamakhsyari Dhofier, op . cit., hlm. 17-18
sulit untuk dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah
kolonial.
Tujuan pendidikannya dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, metode
yang dipergunakan tidak jelas kedudukannya. Sebaliknya mereka menerima
sekolah zending untuk dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pemerintah
kolonial, karena secara filosofis dan teknik dianggap lebih mudah, yaitu baik
tujuan, metode maupun bahasa yang dipergunakan sesuai dengan nilai kebiasaan
pemerintah kolonial. Orientasi sekolah umum diarahkan untuk meningkatkan
kecerdasan dan keterampilan dalam hidup keduniawian, sedang pesantren
mengarahkan orientasinya pada pembinaan moral dalam konteks kehidupan
ukhrawi.62
Pada zaman revolusi pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam
peperangan melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan. Banyak santri
membentuk barisan Hizbullah yang kemudian menjadi salah satu embrio bagi
Tentara Nasional Indonesia. Ciri khas pada angkatan darat pada masa awalnya
menggambarkan adanya corak kepesantrenan.63
2. Tipologi Pesantren
Salah seorang peneliti dan pemerhati lembaga pendidikan Islam, yaitu
Zamakhsyari Dhofier mengatakan, bahwa tipologi pesantren dapat dilihat dari
aspek jumlah santri dan pengaruhnya, yaitu sebagai berikut:
Pertama: Pesantren yang santrinya kurang dari 1000 orang dan pengaruhnya
hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren kecil.
Kedua: Pesantren yang santrinya antara 1000-2000 orang dan pengaruhnya
pada beberapa kabupaten, disebutnya sebagai pesantren menengah.
Ketiga: Pesantren yang santrinya lebih dari 2000 orang dan pengaruhnya
tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi dapat
digolongkan sebagai pesantren besar.64
27
dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki
sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun
yang juga memiliki sekolah umum (SD,SMP,SMA, dan PT Umum).
Kedua: Tipe II, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu
umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
Ketiga: Tipe III, yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam
dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD).
Keempat:Tipe IV, yaitu pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat
pengajian.65
29
Sementara di Jawa Barat digunakan istilah “Ajengan”, di Aceh dengan
“Tengku”, di Sumatera Barat dinamakan “Syaikh atau Buya”, dan di Kalimantan
dan NTB disebut “Tuan Guru”. Bagi masyarakat Islam tradisional, kyai di
pesantren dianggap sebagai figur sentral yang diibaratkan kerajaan kecil yang
mempunyai wewenang dan otoritas mutlak (power and authority) di lingkungan
pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang berani melawan
kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya), kecuali kyai lain yang lebih
besar pengaruhnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan
kyai dalam proses pembelajaran di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai
pengajar atau pendidik semata, akan tetapi lebih dari itu kyai berkedudukan pula
sebagai penjaga moral masyarakatnya.
72Amin Haedari dan Abdullah Hanif, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas
dan Tantangan Kompleksitas Global,( Jakarta : IRD Press, 2004), cet. ke. 1, hlm. 36
73Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta :
Mulia Offsert, 1999), cet. ke-1, hlm. 26
31
dipelajari di pesantren. Keenam, banyak diantara kertasnya berwarna kuning.74
Di kalangan pesantren sendiri, di samping istilah Kitab Kuning, beredar
juga istilah kitab klasik (al-kutûb al-qâdimah), untuk menyebut jenis kitab yang
sama. Bahkan, karena tidak dilengkapi dengan baris (syakl), kitab kuning juga
kerap disebut dikalangan pesantren sebagai kitab gundul. Dan karena rentang
waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang
menjuluki kitab kuning ini dengan istilah “kitab kuno”.75
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa materi
pembelajaran di pesantren mempunyai ciri khas tersendiri, terutama dilihat dari
segi kitab yang diajarkannya hingga materi ajarnya yang keseluruhannya
berbahasa Arab dengan menitik beratkan pada pengajaran ilmu-ilmu agama Islam.
1) Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorong (bahasa Jawa), yang berarti
menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau
pembantunya.76 Sedangkan menurut Amir Hamzah Wijosukarto, yang dimaksud
dengan metode sorongan adalah metode pembelajaran di pesantren yang santrinya
cukup pandai mensorongkan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca
di hadapannya.77
74Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial dan Budaya, (Jakarta: Bina Ilmu, 1996), hlm. 103-
104
75Ali Yafie, “Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam”, Pesantren, VI, I, (Jakarta :
Wacana Ilmu, 1988), hlm. 3
76Habib Chirzin, Ilmu dan Agama dalam Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1995), cet. ke-1, hlm.
88
77Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember :
2) Wetonan atau Bandongan
Istilah wetonan berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang berarti waktu,
sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan
atau sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan metode
kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai
yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan padanya.78
3) Halaqah
Metode halaqah merupakan kelompok kelas dari metode bandongan.
Halaqah yang arti menurut bahasa, yaitu lingkaran murid, atau sekompok siswa
yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu
tempat. Halagah ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan
untuk mempertanyakan kemungkinan besar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh
kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab.79
Jadi dengan demikian, metode yang umumnya digunakan dalam
pembelajaran di pesantren terdiri dari tiga buah, yaitu: sorongan,
wetonan/bandungan, dan halaqah/musyawarah. Namun demikian, ada juga
pesantren yang menggunakan metode lainnya seperti muqaranah dan lainnya.
Pengunaan metode ini dilaksanakan khusus dalam pembelajaran terhadap kitab-
kitab klasik dan umumnya berlaku bagi pesantren yang bersifat tradisional
(salafiyah).
C. PENDIDIKAN ISLAM
1. Pengertian Pendidikan Islam
Di dalam Islam ada dua istilah yang dipakai untuk pendidikan, yaitu
tarbiyah dan ta’dib. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok.
Menurut Nuqaib al-Atas, tarbiyah secara semantik tidak khusus ditujukan untuk
mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesiaes lain, seperti mineral,
tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengadung arti
33
mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara,
membesarkan, memproduksi hasil yang sudah matang dan menjinakkan80
Adapun ta’dib mengacu pada pengertian (ilm), pengajaran (ta’lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dari itu katanya “ta’dib” merupakan istilah yang
paling tepat dan cermat untuk menunjukan pendidikan dalam Islam.81
Dalam pembahasan ini, Istilah pendidikan Islam perlu ditegaskan terlebih
dahulu, bahwa kata Islam merupakan kata kunci yang berfungsi sebagai sifat,
penegas dan pemberi ciri khusus bagi kata pendidikan. Dengan demikian,
pengertian pendidikan Islam menunjukan makna pendidikan secara khas memiliki
ciri islami yang berbeda dengan model pendidikan lainnya.
Menurut UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 1, yang dimaksud dengan pendidikan adalah :
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.82
Pendidikan secara sederhana dan umum dapat diartikan sebagai usaha
manusia unuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan
baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat dan kebudayaan.83 Sedangkan Menurut Ngalim Purwanto, Pendidikan
adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.84
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada
term al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang
sering digunakan adalah al-tarbiyah. Pengunaan istilah al-tarbiyah berasal dari
kata rabb. Walupun kata ini memiliki banyak arti, tetapi pengertian dasarnya
80Shed Muhammad Al-Nuqaib al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terjemahan Haidar
Bagir, (Bandung : Mizan, 1984), hlm. 66
81Ibid., hlm. 74 - 75
82Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidkan Islam
Nasional
83Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta : RinekaCipta, 2001), hlm. 1-2
84M Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosda
karya, 1991), hlm. 11
menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan
menjaga kelestarian atau eksistensinya.85
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami secara
singkat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan Jasmani dan rohani yang
berpedoman kepada ajaran Islam untuk mencapai kepribadian Muslim. Disamping
itu pendidikan berfungsi untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh
kehidupan yang indah di dunia dan kehidupan yang indah di akhirat serta
terhindar dari siksaan Allah yang maha pedih.
Berbeda dengan pendidikan Barat yang bertitik tolak dari filsafat
pragmatisme, yaitu yang mengukur kebenaran menurut kepentingan waktu,
tempat dan situasi, dan berakhir pada garis hajat.86 Filsafat ilmunya adalah
kegunaan/utilities.87 Fungsi pendidikan tidaklah sampai untuk menciptakan
manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di akhirat, akan tetapi
terbatas pada kehidupan duniawi semata.
85Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dann Praktis,
(Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 25-26
86Lihat Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Proyek Pembinaan Pendidikan
Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, 1984), hlm. 12
87Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : FIP.IKIP, 1983), hlm. 23
88Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999), hlm. 6
35
kualitas pengetahuan dan tekhnologi yang makin optimal, dan setiap tingkat
mencerminkan meningkatnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dan
arahnya tetap menjiwai pribadi peserta didik, yang sejalan dengan tuntutan al-
Qur’an dan al- Hadits.
b. Komponen-komponen Pendidikan Islam
1) Tujuan
Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai seseorang atau sekelompok orang
yang melakukan suatu kegiatan.89 Setiap tindakan atau usaha yang dilakukan
harus berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan merupakan masalah
sentral dalam proses pendidikan.
Menurut Mulyasa tujuan pendidikan nasional apabila dilihat pada jenjang
pendidikannya, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
(a) Tumbuh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. (b) Tumbuh sikap beretika ( sopan santun dan beradab), (c) Tumbuh
penalaran yang baik (mau belajar, ingin tahu, senang membaca, memiliki
inovasi, berinisiatif, dan bertanggung-jawab), (d) Tumbuh kemampuan
komunikasi/sosial (tertib, sadar aturan, dapat bekerja sama dengan teman,
dan dapat berkompetisi), (e) Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan
badan.90
89Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), hlm. 28
90E Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hlm.
26
91 Ibid., hlm. 28
tujuan sementara, dan tujuan operasional.92 Tujuan umum ialah tujuan yang akan
dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan
cara lain.93 Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan seperti sikap, tingkah
laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Dalam konteks pendidikan di
Indonesia tujuan pendidikan umum adalah tujuan nasional.
Dari pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan
Islam itu ialah mengarahkan dan membimbing manusia melalui proses pendidikan
sehingga menjadi orang dewasa yang berkepribadian muslim yang bertaqwa,
berilmu pengetahuan dan keterampilan, melaksanakan ibadah kepada Tuhannya
sesuai dengan niali-nilai ajaran Islam. Tujuan umum pendidikan Islam ialah
muslim yang sempurna, manusia yang bertaqwa, manusia yang beriman, atau
manusia yang beribadah kepada Allah SWT.
2) Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung-jawab memberi
bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai
makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai
individu yang dapat berdiri sendiri.94
Sementara Ahmad Tafsir mengatakan pendidik dalam Islam ialah siapa
saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan anak didik, dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif,
potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.95
Pendidikan Islam menggunakan tanggung-jawab sebagai dasar untuk
menentukan pengertian pendidik, sebab pendidikan merupakan kewajiban agama,
dan kewajiban ini dibebankan kepada orang yang sudah dewasa. Ini berarti
pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung-jawab memberi pertolongan
pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai
tingkat kedewasaan. Kewajiban ini bersifat personal, dalam arti setiap orang
92 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 30-32
93 Ibid., hlm. 30
94Nur Uhbiyati, op. ci.t., hlm. 65
95Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 74
37
bertanggung-jawab atas pendidikan dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial,
dalam arti setiap orang bertanggung-jawab atas pendidikan orang lain.
3) Peserta didik
Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk
menunjukkan pada anak didik. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara
harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz
(jamaknya) talamidz yang berarti murid, dan thalib al-Ilm yang menuntut ilmu,
pelajar atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada
seseorang yang tengah menmpuh pendidikan. Perbedaannya hanya terletak pada
penggunaannya. Pada sekolah dasar yang tingkatannya rendah seperti SD
digunakan istilah murid dan tilmidz, sedangkan pada sekolah yang tingkatannya
lebih tinggi seperti SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi digunakan istilah thalab al-
ilm.96
Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai
orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan
pengarahan. Dalam pandangan Islam hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan
proses memperolehnya dilakukan melalui belajar tanpa guru.
Dalam pandangan yang lebih modren, anak didik tidak hanya dipandang
sebagai objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan
juga harus diberlakukan sebagai subjek pendidikan.97 Hal ini antara lain dilakukan
dengan melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar
mengajar. Karena peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang
memiliki keinginan, cita-cita, dan tujuan, sehingga ia harus aktif dalam proses
kegiatan pendidikan.
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh
berkembang, baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan
pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Anak atau subjek adalah orang yang
belum dewasa dan sedang berada dalam masa perkembangan menuju pada
kedewasaannya masing-masing.98
96Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1996), hlm. 79
97Ibid., hlm. 79
98Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 86
4) Kurikulum
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni curriculum yang awalnya
mempunyai pengertian a running course, dan dalam bahasa Perancis yakni
courier berarti to run yang artinya berlari. Istilah ini kemudian digunakan untuk
sejumlah mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh untuk mencapai suatu
gelar penghargaan dalam dunia pendidikan,yang dikenal dengan ijazah .99
Kata kurikulum mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan
sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama
kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. pada tahun itu, kurikulum digunakan
dalam bidang olah raga, yakni sesuatu hal yang membawa orang dari start sampai
ke finish. Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang
pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan. Dalam kamus
tersebut, kurikulum diartikan dua macam, yaitu:
Pertama: Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa
di sekolah/perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
Kedua: Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga
pendidikan.100
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan
pendidikan tertentu. Batasan ini mencerminkan hal-hal sebagai berikut: Pertama,
pendidikan itu adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan. Kedua, di dalam
kegiatan pendidikan itu terdapat suatu rencana yang disusun atau diatur. Ketiga,
rencana tersebut dilaksanakan di sekolah melalui cara-cara yang telah
ditetapkan.101
Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan, sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan pengajaran
pada semua jenis dan tingkat sekolah. Komponen kurikulum dalam pendidikan
sangat berarti, karena merupakan operasionalisasi tujuan yang dicita-citakan,
bahkan tujuan tidak akan tercapai tanpa keterlibatan kurikulum.
99Abdullah Ali, Pengembangan, Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1999), hlm. 3
100Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 53
101Zakiyah Daradjat, op. cit., hlm.122
39
Sedangkan yang dimaksud kurikulum pendidikan Islam adalah semua
bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dalam suatu sistem
pendidikan.102 Bahan atau materi pelajaran sebagai isi kurikulum pada dasarnya
merupakan bahan-bahan pelajaran yang dapat mengantarkan anak didik mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
Dalam ilmu pendidikan Islam, kurikulum merupakan komponen yang
penting karena merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diproses di dalam
sistem kependidikan Islam. Ia juga menjadi salah satu bagian dari bahan masukan
yang mengandung fungsi sebagai alat pencapai tujuan (input instrumental)
pendidikan Islam.
Kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya merupakan refleksi
paradigma pengetahuan menurut Islam. Secara mendasar akan meliputi dua
kebutuhan dasar manusia yakni yang berorientasi pada kebutuhan material dan
yang berorientasi pada kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan ini bagaimanapun
tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dalam penyusunan kurikulum pendidikan
Islam .103
5) Metode
Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum,
metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan
pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis .104
Dalam proses belajar mengajar, metode berarti cara yang digunakan untuk
menyampaikan mata pelajaran dalam upaya mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Metode sangat befungsi dalam menyampaikan pelajaran. Metode
pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya
proses belajar-mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh
karena itu, metode yang ditetapkan oleh seorang guru dapat berdaya guna dan
berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
41
7) Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah
assesment. yang berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang
dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sementara
Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan kurikuler berupa
penilaian untuk mengetahui berapa persen tujuan tadi dicapai.111
Sementara menurut Armai Arief, bahwa yang dimaksud dengan evaluasi
atau penilaian dlam pendidikan adalah keputusan-keputusan yang diambil dalam
proses pendidikan secara umum; baik mengenai perencanaan,pengelolaan, proses,
dan tindak lanjut pendidikan atau yang menyangkut perorangan, kelompok
maupun kelembagaan.112 Jadi, yang dimaksud dengan evaluasi dalam pendidikan
Islam adalah pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan
Islam guna melihat sejauh mana keberhasialn yang elaras dengan nilai-nilai Islam
sebagai tujuan dari pendididkan Islam itu sendiri.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian
terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan perhitungan yang bersifat
komprehensif dari seluruh apek-aspek kehidupan mental psikologi dan spiritual-
religius, karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang
tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang
sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.
113Muchtar Buchori, Pendidikan Islam Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa
Depan, dalam Muntaha Azhari & Abd.Mun’in Saleh (Ed.), Islam Indoensia Menatap Masa
Depan, (Jakarta : P3M, 1989), hlm. 184
114Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education". Terj. Rahmani
Astuti, Krisis Pendidikan Islam, ( Bandung : Risalah, 1986), hlm.2
115Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulul Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa
Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan
Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 26
116Roehan Achwan, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam,
(Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1991),Volome.1, hlm. 50
117Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,
( Jakarta : Amisco, 1996), (Comference Book, London, 1978), hlm. 15-17
43
Muhaimin berpendapat, bahwa pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia, terutama pada periode sebelum Indonesia merdeka (1900-
menjelang 1945), agaknya lebih ditujukan pada upaya menghadapi pendidikan
kolonial. Pada periode tersebut diduga muncul berbagai problem isu-isu
pendidikan Islam yang menonjol, yang merupakan diskursus dalam
pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir,
pengembang dan pengelola pendidikan Islam di Indoneisa.157
Lebih lanjut Suroyo berpendapat bahwa untuk mengembangkan
pendidikan Islam ke arah yang lebih bermutu, maka persoalan yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada
dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau
mengkomunikasikannya. Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu
diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu
(1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3)
persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi
antara satu dengan lainnya. Pertama, Persoalan dikotomi pendidikan Islam,
yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang.
Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu
umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu
bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan
adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.118
118Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000,
dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa,
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 45
pendidikan Islam seperti Pondok Pesantren.119
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis
119Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta : Amisco, 1996), hlm. 3
45
Pesantren Thawalib terletak di Nagari Tanjung Limau desa Simabur
kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Tanjung Limau termasuk
kenagarian Simabur Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar terdiri dari
dataran seluas 139 ha yang terletak 11,5 Km dari ibu kota Kabupaten dan 1,5 Km
dari ibu kota Kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Jorong Simabur dan
Jorong Koto Tuo, sebelah selatan berbatasan dengan Jorong Batu Basa, sebelah
timur dengan Kenagarian Tabek dan sebelah barat dengan Koto Baru.120
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah salah satu lembaga
Pendidikan Agama tertua di Minangkabau Khususnya Kabupaten Tanah Datar
.Pesantren ini dibangun di atas tanah wakaf seluas 16.000 m2 yang tempo dulu
atau sekita tahun 1920-an merupakan sebuah Surau (tempat mengaji dan belajar
agama) dan kemudian berkembang menjadi perguruan Thawalib, dan akhirnya
tahun 1972 berobah menjadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Pesantren ini sangat mudah dijangkau, karena letak pesantren ini tepat di
pinggir jalan desa yang dilalui oleh kendaraan umum yang akan menuju pasar
kecamatan, disamping itu, untuk menuju pesantren ini juga dapat menaiki
angkutan roda dua atau ojek dengan biaya Rp. 2000,-.
Mengingat tempatnya yang strategis dilalui oleh kendaraan umum dan
dekat dengan ibu Kecamatan, maka banyak pelajar yang sekolah di pesantren ini
tidak memondok, kecuali siswa yang berasal dari luar Kabupaten Tanah Datar dan
dari daerah kecamatan tetangga. Pada umumnya santri yang memodok tersebut
adalah santri Madrasah Aliyah Keagamaan serta mereka yang ingin belajar kitab
kuning.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau
1. Cikal Bakal Thawalib Tanjung Limau
Cikal bakal berdirinya Pesantren Thawalib ini adalah dari “Surau
Gadang”121 Tanjung Limau sebagai sarana belajar mengaji bagi generasi muda
120Akta Pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau ,No. 66 tahun 1976
121Surau Gadang atau surau besar dalam bahasa Indonesia adalah tempat atau sarana belajar
mengaji (al-Qur’an dan praktek ibadah), dan tempat untuk melatih generasi muda Tanjung Limau
dalam memahami ajaran Islam lebih mendalam, di surau ini mereka dibimbing oleh seorang guru
atau Syaikh Sulaiman al-Mufassiry (ulama awal di desa Tanjung Limau), Fahrizal Alwis,
Tanjung Limau dengan menggunakan sistem halaqah. Murid laki-laki dipisahkan
dengan murid perempuan. Guru yang mula-mula mengajar di surau ini adalah
Syekh Sulaiman Al Mufassir Al mansyur, sehingga Tanjung Limau dikenal orang
sebagai tempat mengaji Tafasia (Tafsir).
Setelah Syekh Sulaiman Al Mufassir Al mansur wafat pengajian di surau
Gadang dilanjutkan oleh cucunya, H. Mukhtar Ya’qub dalam usia ± 18 tahun
yang telah menamatkan sekolahnya di Surau Jembatan Besi atau sekarang dikenal
dengan Perguruan Thawalib Padang Panjang tahun 1922 M. Semulanya H.
Mukhtar Ya’qub bermaksud akan merantau ke Palembang untuk mengembangkan
ilmu yang telah beliau pelajari, namun masyarakat Tanjung Limau juga berharap
kepadanya untuk mengajar di Surau Gadang. H. Mukhtar akhirnya membatalkan
rencana semula dan menerima amanah yang diberikan masyarakat kepadanya.122
Untuk memperlancar pendidikan di Tanjung Limau H. Mukhtar Ya’qub
bersama pemuka masyarakat berinisiatif untuk mendirikan sebuah madrasah.
Setelah diadakan musyawarah, pada tahun 1923 M dapat didirikan sebuah gedung
terdiri dari 4 lokal berlokasi diatas tanah wakaf Labai Sutan dan Datuk Tan
Majolelo.123 Semua biaya bangunan berasal dari sumbangan masyarakat Tanjung
Limau baik materil maupun tenaga.
Setelah gedung tersebut selesai dan dapat dimanfaatkan, maka sistem
pendidikanpun berobah dari sistem halaqah menjadi sistem klasikal dengan
bidang studi pengetahuan agama dan Bahasa Arab. Penyelenggaraan pendidikan
di Pondok Pesantren Thawalib ini dikelola oleh H. Mukhtar Ya’qub dan dibantu
oleh Angku Sago dari Sungayang serta oleh murid yang tingkatnya kelasnya lebih
tinggi.
Murid yang agak dewasa belajar pada pagi hari dengan nama “Thawalib”
dari nama inilah diambil nama Thawalib sampai sekarang, dan pada sore harinya
47
adalah waktu belajar bagi anak-anak yang dalam usia sekolah dasar dengan nama
“Diniyah School”.124 Sementara itu belajar mengaji di Surau Gadang tetap
dilaksanakan dengan sistem halaqah
Dalam catatan sejarah Minang Kabau, disebutkan bahwa H. Mukhtar
Ya’kub adalah Almnus dari Surau Jembatan Besi dengan afiliasinya sekarang
yaitu Sumatera Thawalib Parabek yang dipimpinan H. Abdul Karim Amarullah
( ayah buya HAMKA) atau yang dikenal dengan Inyiak Deer, dimana di surau ini
telah diperkenalkan belajar dengan sistem klasikal. Perubahan sistem ini
dipengaruhi oleh pembaharuan pendidikan di Timur Tengah. Sejarah berdirinya
Thawalib ini merupakan perkembangan dari Thawalib Padang Panjang. Pesantren
ini mengalami perkembangan, meskipun banyak kendala harus dihadapi, seperti
tantangan dari pemerintah Hindia Belanda. Di tahun 1923 s/d 1940 murid-murid
pesantren Thawalib ini banyak yang berasal dari Aceh, Medan, Jambi,
Tembilahan (Riau), dll.125
Pada perkembangan selanjutnya ditahun 1972 perguruan ini berobah
menjadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, perobahan ini karena salah
seorang pimpinan perguruan ini mengikuti pelatihan di Kelapa 2 Jakarta.126 Proses
belajar mengajar dengan sistem Salaf, pembelajaran dengan metode halaqah dan
sorongan mengunakan literatur kitab kuning sebagai dasar untuk mentransfer
pokok-pokok ajaran Islam Ahlulul Sunnah Waljama’ah tetap dipertahkan.
Sebenarnya pembelajaran dengan sistem kelas telah dilaksanakan di pesantren
semenjak H.Muchtar Ya’cub mengelola pesantren ini. Perubahan ini terjadi
seiring dengan terjadinya pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau
Sumatera Barat. Dalam perkembangan selanjutnya mulai dibuka sistem klasikal
dengan model madrasah. Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengikuti
perkembangan pendidikan yang ada di sekolah umum/ madrasah. Perubahan
124Diniyah School adalah sekolah yang didirikan untuk perempuan Minang oleh Zainuddin
Labai El-Yunusi pada tanggal 10 Oktober 1915, kemudian adiknya Rahmah El-Yunusiah
mendirikan pula Diniyah School Putri tanggal 1 November 1923. Tentang Diniyah School baca,
Peingatan 55 Tahun Diniyah Putri Pdang Panjang, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978), hlm.74
125Burhanuddin Daya, Gerakan Pembahruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib,
Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1995), hlm.
126Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita,
(Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan)
metode belajar ini diiringi dengan semangat dan prinsip pembaharuan di Minang
Kabau Sumatera Barat.
Model madrasah yang dimaksud adalah madrasah sebagai kelayakan
satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal yang legitimate, atau baik
berafiliasi dengan Departemen Agama. Pengunaan model ini semata-mata
bertujuan untuk mengikuti perkembangan dunia yang menglobal. Dan diharapkan
siswa yang tamat dari Pesantren Thawalib ini tidak hanya diterima di Perguruan
Tinggi Agama (IAIN/STAIN), dan diharapkan dapat juga bersaing di perguruan
tinggi umum disamping dapat mengembangkan keterampilan sebagai wiraswasta
di tengah-tengah masyarakat kelak.
Asumsi bahwa sesungguhnya pendidikan pondok pesantren merupakan
pendidikan yang membekali santri dengan masalah ukhrawi dengan pengetahuan
agama, membentuk watak mandiri, percaya pada diri sendiri, dan penguasaan
pengetahuan umum menjadi dasar pemikiran dan pertimbangan pendiri pondok
pesantren Thawalib, sehingga Madrasah yang didirikan di dalam Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini berafiliasi dengan Departemen Agama
secara Legitimate.
Sebagai pondok pesantren yang milik yayasan, sumber dana untuk
pembangunan fisik pondok pesantren disamping berasal dari keluarga, juga
memperoleh dukungan dana dari donatur dan masyarakat, serta juga mendapat
bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunannya
senantiasa melibatkan unsur keluarga dan unsur masyarakat. Begitu juga dalam
kegiatannya senantiasa melibatkan masyarakat sekitar untuk mengikuti
keagamaan di lingkungan pesantren, seperti madrasah, majlis ta’lim, maupun
pengajian rutin.
49
Para murid atau santri bukan hanya sekedar menimba ilmu di kelas saja
namun mereka juga menambahnya di surau bagi laki-laki atau di asrama bagi
perempuan. Dengan makin bertambahnya jumlah murid yang belajar di Thawalib,
dapat pula dibangun lokal lainnya sehingga mencapai 11 buah lokal dibiayai dari
swadaya masyarakat, hasil sawah sekolah, infak dan sedekah termasuk uang
pembangunan dari wali murid.
Demikian pula guru yang mengajar di Thawalib bukan hanya berasal dari
Tanjung Limau, tetapi ada yang dari daerah sekitarnya, dari Lima Kaum,
Sungayang, Padang, Malalo bahkan ada yang dari Kalimantan.128 Untuk menjaga
keseimbangan proses belajar mengajar, bagi guru diberikan bidang studi sesuai
dengan keahlian mereka masing-masing, disamping itu bagi murid yang
tingkatannya lebih tinggi juga diberikan amanah untuk mengajar dan
membimbing murid dibawah tingkatannya, bahkan setelah mereka menyelesaikan
pendidikannya di Thawalib ada yang langsung menjadi guru atau melanjutkan
pendidikan ke perguruan lainnya. Jenjang kelas di Pesantren Thawalib Tanjung
Limau pada awalnya sampai kelas tujuh dan pada awal tahun 70-an berganti
menjadi Thawalib enam tahun (semenjak perobahan SGAP dan SGAA menjadi
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah)
Pada tahun 1943 diadakan perayaan milat ke-20 berdirinya Thawalib
Tanjung Limau, dengan mengundang ulama besar Minangkabau. Dalam acara
perayaan tersebut dibicarakan tentang kelancaran pendidikan dan pembangunan
Madrasah Thawalib sehingga dapat dikumpulkan dana berupa wakaf, infak,
sedekah dan zakat dan pada waktu juga dapat membeli sawah yang
berdampingan dengan sekolah sekarang ini. Dibawah kepemimpinan Buya Haji
Mukhtar pendidikan di Thawalib tidak pernah terputus mencetak kader ulama
dan muballigh baik pada masa penjajahan Belada maupun pada masa penjajahan
Jepang.
Pada tanggal 17 Mei 1945 Haji Mukhtar Ya’qub berpulang ke
Rahmatullah, selanjutnya kepemimpinan Thawalib Tanjung Limau dilanjutkan
oleh Buya Haji Isma’il Rasyad. Dengan segala daya upaya Buya (sebutan sama
51
Aliyah Thawalib) dan juga mengajukan permohonan mundur sebagai pimpinan
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada pengurus Yayasan Pembina
Thawalib.131
Untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau selanjutnya, atas kesepakatan pengurus Yayasan Pembina Thawalib
Tanjung Limau mengajukan permohonan kepada Kepala Departemen Agama
Kabupaten Tanah Datar untuk mengangkat Drs. Fahrizal sebagai Kepala
Madrasah Aliyah dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan Pondok Pesantren ini.
Akhirnya permohonan tersebut dipenuhi oleh pemerintah dan mulai tanggal 1
November 2000 sesuai dengan SK pengangkatannya Drs. Fahrizal ditugaskan
oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar sebagai kepala
Madrasah Aliyah dan Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau
mengamanahkan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Dari paparan kondisi gambaran pondok Pesantren di atas, dapat penulis
simpulkan bahwa pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mampu mencetak
generasi awal yang handal dan merubah sistem pendidikan seiring dengan
terjadinya perubahan pendidikan di Sumatera Barat khususnya di Kabupaten
Tanah Datar, dan penulis ingin melihat bagaimana peranan Thawalib Tanjung
Limau dalam pengembangan pendidikan Islam sehingga, pesantren ini kembali
pada kejayaan seperti tempo dulu.
C. Sarana dan Prasarana
Istilah sarana dan prasarana pendidikan biasa disebut dengan peralatan
pendidikan, yang meliputi hard ware (perangkat keras) dan soft ware (perangkat
lunak). Menurut Usman dan Asnawir, alat atau media adalah merupakan sesuatu
yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan
kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada
dirinya.132
Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang
digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat
53
Pesantren,dan berasal dari kenang-kenangan siswa kelas 3 Aliyah.
Disamping itu untuk mengembangkan bakat dan minat para santri,
pesantren juga menyediakan sarana dan prasarana lain, seperti; ruang TPUS
(Tempat Perbaikan Usaha Santri) 1 lokal, lapangan volly 1 unit, laboratarium
bahasa dan Komputer 1 lokal, dan koperasi Pesantren Thawalib 1 lokal134
Pada intinya, seluruh bagunan dan lahan yang ada di lingkungan pesantren
ini dimanfaatkan untuk menambah wawasan keterampilan para santri secara alami
guna bekal kehidupan mereka setelah terjun ke masyarakat. Disamping itu pihak
pimpinan pesantren juga melakukan kerja sama dengan tenaga ahli dalam bidang
keterampilan menjahit, bahasa Jepang dan computer.
Pondok pesantren Thawalin Tanjung Limau mengunakan media pendidikan
untuk menyalurkan pesan, pikiran, perasaan yang secara kreatif dapat
meningkatkan keterampilan siswa/santri sesuai dengan visi misinya. Media
pendidikan yang digunakan antara lain:
Pertama: Media visual, meliputi: gambar/photo, diagram chart, peta/globe,
poster dan papan tulis.
Kedua: Media audio,meliputi: radio, tv, tape recorder, abotarium bahasa,
OHP, dan Komputer.
Ketiga: Media cetak, meliputi: Al-Qur’an, kitab-kitab klasik, dan
majalah/bulten.
Hal penting yang telah dilakukan oleh pondok pesantren Thawalib
Tanjung Limau dalam pemakaian media pendidikan ialah adanya kemauan
mengunakan produk budaya asing semacam OHP (Over Head Proyector) dan
Komputer untuk menghasilkan pembelajaran yang lebih berkualitas.
Tabel. 1
STRUKTUR ORGANISASI
PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU
Keterangan
No Jabatan Nama
55
3 Kepala Tingkat Aliyah Drs. Fahrizal Alwis
9 Bendahara H. Amiruddin
57
sistem sudah teratur dan akurat. Oleh karena itu, dalam pengelolaan dana, sarana,
dan dokumen-dokumen berharga lainnya, hampir dipastikan tidak ada kebocoran-
kebocoran dalam arti korupsi.
Mengenai sumber dana kegiatan Pesantren Thawalib Tanjung Limau
ada dua jenis, yaitu dari sumbangan para santri berupa iuran bulanan, dan
sumbangan dari donatur atau masyarakat yang tidak mengikat, baik pribadi
maupun kelompok, yang biasanya berupa amal jariyah, wakaf, infak, shdaqah dan
sebagainya, atau melalui proyek-proyek kerja sama, dan bantuan pemerintah pusat
maupun daerah yang sifatnya insidentil.135
Disamping itu sumber pendanaan yang digunakan oleh pesantren, yaitu
hasil pertanian dari sawah abuan 136yang dimiliki oleh pesantren, dari hasil sawah
ini bisa beli peralatan kantor, membayar gaji guru,dan jika mencukupi digunakan
untuk dana cadangan untuk pembangunan lokal dan gedung lain yang dirasa
perlu.
Pada perkembangan berikutnya di Pesantren Thawalib Tanjung Limau
telah terjadi perubahan bahwa pihak pesantren menyadari pentingnya
perencanaan-perencanan yang akurat untuk mengembangkan dirinya di masa
mendatang. Seperti, mandata jumlah alumni, lahirnya organisasi atau ikatan-
ikatan santri di pesantren tersebut, memikirkan dan memproses pembelian media
dan material untuk perluasan pesantren, pembangunan gedung-gedung baru atau
aula yang dapat menampung sejumlah santri atau audience yang diinginkan, dan
sebagainya.
Salah satu problematika yang dirasakan oleh pesantren Thawalib Tanjung
Limau, diantaranya, masih kurangnya dukungan masyarakat terutama pemerintah
daerah baik secara materi maupun mentalitas, Sebab sebagai pusat pendidikan
dan sebagai lingkungan belajar, pesantren harus didukung oleh masyarakatnya,
disamping tuntutan zaman yang berkembang diera serba teknologi. Sehingga hal
ini akan menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam dan tekhnologi yang
BAB IV
ANALISIS EMPIRIK PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB
TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
DI KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT
59
Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau didirikan oleh H. Mukhtar
Ya'cub, ia adalah seorang tokoh agama di kecamatan Pariangan dan merupakan
alumnus dari Surau Jembatan Besi, guru yang mengajar beliau adalah Haji Rasul
(inyiak Deer)di Padang Panjang. Perguruan itu tahun 1911 berganti nama menjadi
Sumatera Thawalib.137 Pondok ini didirikan atas dasar partisipasi dan persatuan
masyarakat desa Tanjung Limau. Pondok pesantren ini didirikan tahun 1923,
tetapi dengan nama Perguruan Thawalib Tanjung Limau, pada tahun 1972 terjadi
pergantian nama madrasah diganti menjadi pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau, setelah salah seorang gurunya mengikuti latihan pembinaan tentang
pondok pesantren di Kalapa 2 Jakarta. 138
Selama pondok pesantren ini berdiri dan menjalankan fungsinya sebagai
lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama sudah mengalami
perkembangan dan juga kemunduran. Pada tahun pertama berdiri pondok ini
cukup berperan besar dalam mencetak kader ulama yang berkualitas. Tetapi
setelah terjadi PRRI di Sumatera Barat, pondok pesantren ini mengalami
kemerosotan. Hal ini disebabkan banyaknya para ulama yang mengajar di
pesantren ini yang ditangkap oleh pemerintah. Murid-murid perguruan ini berasal
dari berbagai daerah, baik sekitar lingkungan Minang Kabau, maupun dari
luarnya, seperti Tapanuli, Lampung, Bengkulu, Jambi dan Riau. Mereka belajar
dan bertempat tingkal sebuah gedung bertingkat dua yang dibangun sendiri oleh
Haji Muchtar.139
Secara umum, tujuan didirikannya Pesantren Thawalib adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama intelektual,
intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung jawab serta
berguna bagi masyarakat.140
61
sebagai masjid umum, yaitu sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi
masyarakat umum. Masjid Pesantren sering dipakai untuk menyelenggarakan
majlis ta’lim (pengajian), diskusi-diskusi keagamaan, seminar dan sebagainya,
baik oleh masyarakat umum ataupun para santri. Dan tak kalah penting, bahwa
Masid ini juga digunakan sebagai laboratorium pendidikan Dai-Daiyah bagi calon
Mubaligh yang akan diturukan pada setiap bulan ramadhan ke berbagai daerah
yang ada di Kabupaten Tanah Datar.
63
secara menyeluruh dengan istilah “hari-hari berbahasa” dikalangan para santri di
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Kemudian, buku sumber yang dipakai dalam pelaksanaan kurikulum di
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini adalah buku-buku teks yang
diterbitkan oleh Departemen Agama dan Dinas Pendidikan, serta buku teks asli
berbahasa Arab (kitab standar).
2. Ustadz
Ustadz atau guru dalam sistem pembelajaran di Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat menjadi motor
dalam kerangka melaksanakan misi pondok pesantren. Adapun Jumlah guru yang
mengajar di Pondok Pesantren Thawalib untuk tahun ajaran 2007/2008 ini
sebanyak 35 orang. Dan jumlah tenaga administrasi atau pegawai Tata Usaha
sebanyak 7 orang. Sementara jumlah ustadz/ustadzah yang membantu Buya/Kyai
dalam pembelajaran kitab kuning dan penguasaan bahasa Asing bagi santri yang
memondok sebanyak 8 orang, yaitu: Ustadz Miftah Novi.T, S.Ag, Ustadz Imran,
S.Ag, Ustadzah Yulbetriza, S.Ag, Ustadzah Wilda Isnaini, S.S, Ustadzah Kasnida,
S.Ag, Ustadz Muhammad Taufiq, S.Pd.I, Ustadzah Welni Fatma, S.Pd.I dan
Yonnedi, S.Ag. Ketika ditanya tentang motivasi mengajar di Pondok Pesantren
Thawalib, mereka mengatakan untuk mengamakan ilmu, untuk berkhidmat pada
buya/kyai di pesantren, dan untuk mengamalkan ilmu serta untuk mencari nafkah
dengan konsep “mengabdi dengan mengutamakan semangat keislaman”, jawaban
tersebut menunjukan bahwa motivasi para ustadz yang mengajar di pesantren ini
semata-mata untuk mengamalkan ilmu, berkhidmat pada buya/kyai dan pesantren,
serta menjunjung tinggi nilai-nilai dakwah menuju Pendidikan Islami.145
11 Santri /siswa
Para santri yang belajar di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
(tahun 2006/2007) terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu: santri tingkat
Raudlatul Adfhal (RA) yang belajar membaca al-Qur’an melalui metode iqra’,
dan mereka diperkenalkan tentang agama seperti rukun islam dan rukun iman,
65
serta diajarkan ayat-ayat pendek dan doa-doa sebanyak 36 orang, santri tingkat
Diniyah Awaliyah sebanyak 60 orang, dan santri tingkat Tsanawiyah sebanyak 76
orang, dan santri tingkat Aliyah sebanyak 61 orang. Jadi jumlah seluruhnya
sebanyak 233 orang, sedangkan yang santri mukim hanya 46 orang, yaitu para
santri tingkat Aliyah yang mengambil jurusan Ilmu Agama, sementara yang
lainnya menjadi santri kalong. Mereka rata-rata berusia antara 13 tahun sampai 21
tahun.
Santri Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diwajibkan untuk
mematuhi tata tertib, aturan-aturan dan norma yang berlaku, yang secara khusus
dibuat oleh pengasuh dan pimpinan pondok pesantren. Tata tertib yang dibuat
berisi kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang dituangkan dalam bentuk
peraturan-peraturan pondok pesantren Thawalib. Para santri menyadari bahwa
setiap institusi memang harus ada tata tertib dan peraturan-peraturan agar program
dari sebuah instutisi atau lembaga dapat berjalan sesuai dengan tujuan, visi dan
misi pesantren ini.146
67
Secara historis, pelaksanaan dan pengembangan kurikulum telah
dilaksanakan sesuai dengan bentuk dan pola pengajaran yang dilaksanakan.
Adapun pelaksanaan pendidikan ini berlangsung dengan cara : Pertama Klasikal
mulai kelas 1 sampai kelas VI (Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), Kedua
Halaqah yang dikelompokkan kepada al-Thabāqah al-UÎa, al-Thabāqoh wusthā,
al-Thobaqāh al-Ulya).153
Berdasarkan pada pengelompokan metode di atas, maka pelaksanaaan
pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah
perpaduan sistem pesantren Salafiyah dengan Ashriyah. Untuk menjawab
tantangan zaman yang semakin global tersebut Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau Simabur memakai motto: "Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Yang Komprehensif, Berwawasan Dakwah Menuju Pendidikan Islami".154
Secara institusi kelembagaan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
tetap seperti dulu, yakni Thawalib Tanjung Limau enam tahun, sebagaimana yang
telah dirumuskan dan disepakati, oleh Pengurus Yayasan dengan Pimpinan
Thawalib beserta Majlis Guru pada tahun 2001. Bahwa secara kelembagaan
pelaksanaan pengajaran di Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau mulai
kelas 1 sampai kelas VI (Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), adapun sistem
disesuaikan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, masing-masing
tingkatan diberi kesempatan untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
diselenggarakan oleh pemerintah.
11 Sistem Evaluasi
Berdasarkan hasil dokumentasi, Program Pengajaran / Kurikulum
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau - Simabur Tahun Ajaran 2006/2007
keseluruhan berjumlah 516 jam, kurikulum ini sudah dimodifikasi. Artinya
kurikulum yang dipakai adalah gabungan Kurikulum Diknas, Depag Dan
155Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009
156Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009
157Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009
158Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
Februari 2009
69
(ibadah keseharian ) para santri dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan
pesantren maupun sewaktu kembali ke tengah-tengah keluarganya atau di
masyarakat nantinya..
Dari penjelasan yang diungkapkan di atas, cukup untuk dijadikan bahan
pertimbangan bahwa pesantren adalah, suatu lembaga pendidikan yang di
dalamnya terdapat beberapa unsur kelembagaan. Unsur-unsur kelembagaan yang
ada pada sistem pendidikan pesantren terdiri dari unsur-unsur organik dan unsur
anorganik159
71
Perhatian pemerintah Daerah terhadap Sekolah yang berstatus swasta, (d)
dewasa ini mulai kurangnya perhatian masyarakat terhadap pesantren
dalam memasukan anaknya ke Pesantren, (e) pondok pesantren selalu
kalah saing dengan madrasah/sekolah negeri karena madrasah/sekolah
negeri terkelola dengan baik, sementara pondok pesantren itu tergantung
dari pengurus kalau kepengurusannya baik dan aktif maka baik dan
berkembanglah pulalah pondok pesantren itu, (f) adanya masalah internal
antara sesama pengurus yayasan.
162A Pitirim Sorokin, Contempory Sociological Theories, (New York : Harper and Brother,
1982), hlm. 192
E. Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat
163 Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
164 Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1980
165Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), cet. ke-
1, hlm. 100
73
ulama besar Minangkabau. Dalam perayaan tersebut dibicarakan juga tentang
kelancaran pendidikan dan penambahan pembangunan gedung. Dua tahun setelah
itu (1945) Buya Haji Mukhtar berpulang kerahmatullah, usaha beliau dilanjutkan
oleh Buya Haji Ismail Rasyad untuk memimpin Pesantren Thawalib Tanjung
Limau selanjutnya.
Pada tanggal 30 April 1967 Buya Haji Ismail Raysad berpulang
kerahmatullah, untuk selanjutnya kepemimpinan Thawalib Tanjung Limau
diamanahkan kepada Angku Imam Ibrahim, pada masa ini, gedung dekat mesjid
ditambah satu lokal gedung lagi (melanjutkan rencana almarhum Buya Haji
Ismail). Pada tahun 1970 didirikan pula gedung lainnya, sehingga Pesantren
Thawalib Tanjung LImau sudah mempunyai tiga buah gedung yang satu
bertingkat, tingkatnya itu dijadikan asrama bagi murid-murid perempuan yang
tempat tinggal mereka jauh dari Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Kunci mempertahankan keberlangsungan pendidikan di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau dari dulu adalah “musyawarah”, apa saja
yang berhubungan dengan perguruan Thawalib terlebih dahulu diambil
keputusannya dengan musyawarah. termasuk permintaan dari Inspeksi Pendidikan
Agama yang datang ke Thawalib pada 1967 dan 1968 agar Thawalib di
negerikan. Permintaan ini kembali dimunculkanada pada tahun 1995 agar
Madrasah Aliyah di negerikan, namun setelah bermusyawarah dengan pemerintah
kebijaksanaan Pengurus dan masyarakat status Thawalib Tanjung Limau sebagai
lembaga pendidikan swasta tetap di pertahankan sampai sekarang.
Munculnya usulan agar Thawalib statusnya di negerikan (baik dari
pemerintah, alumni maupun sebagian masyarakat atau dari beberapa orang
pengurus yayasan setelah tahun 1976, karena perkembangan pendidikan itu
sendiri di Indonesia, dalam perjalannya semenjak tahun 1966 sampai 1972 tidak
beberapa orang murid yang sampai ke kelas 6 (enam), karena diwaktu kelas
empat, murid-murid itu mengambil ujian P.G.A.N. IV tahun, setelah lulus mereka
masuk ke P.G.A.N. VI Tahun.
Mengingat perkembangan dan ketahanan pesantren, maka pada tanggal
17 Desember 1976 diadakan musyawarah terpadu antara pengurus pesantren
dengan Alim Ulama, ninik – mamak, serta cerdik pandai Tanjung Limau
termasuk alumni Thawalib. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan
dengan membentuk yayasan dengan nama “ Yayasan Pembina Thawalib
Tanjung Limau”.166 Karena perguruan Thawalib Tanjung Limau memiliki lintas
sektoral di bawah pembinaan Departemen Agama, Pada tahun 1985 Madrasah
Thawalib Tanjung Limau diklasifikasikan oleh Departemen Agama setara dengan
program pondok pesantren maka, madrasah Thawalib dirubah menjadi Pondok
Pesantren Thawalib. Sekarang ini lembaga yang berada dalam naungan Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah : Raudhatul Adfal (RA), Madrasah
Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah
(MA).167
Kemudian disamping lembaga formal, menurut pimpinan, pesantren juga
mengembangkan lembaga yang besrifat sosial kemasyarakatan, seperti Badan
Kontak Majlis Ta’lim Pondok Pesantren Thawalib (BKMT Ponpes), lembaga ini
dimanfaatkan oleh santri dan masyarakat Tanjung Limau, Lembaga Koperasi
Simpan Pinjam Pondok Pesantren, dan Lembaga Didikan Subuh Thawalib
(LDST).168
166Yayasan ini bertujuan untuk membina dan meningkatkan Perguruan Thawalib Tanjung
Limau meneruskan niat pertama (nawaitu) berdirinya Thawalib sesuai dengan ajaran Al-Qur’an
dan Sunnah, berusaha meneruskan dan melanjutkan cita-cita luhur almarhum Haji Muchtar Ya’cub
sebagai pendiri pertama perguruan tersebut, Lihat : Akta Notaris Pendirian Yayasan Pembina
Thawalib Tanjung Limau No 3/1978
167Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
168Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
75
memiliki sumber daya manusia kurang kompetitif inilah yang kerap
menjadikannya termarginalisasi dan kalah bersaing dengan out put pendidikan
formal baik agama maupun umum.
Sahal Mahfudz mengatakan kalau pesantren ingin berhasil dalam
melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah
pengembangan semua sumber daya, maka pesantren harus melengkapi dirinya
dengan tenaga yang terampil mengelola sumber daya yang ada di
lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya
pengembangan masyarakat sudah barang tentu, pesantren harus tetap menjaga
potensinya sebagai lembaga pendidikan”169
Pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai unsur utama dalam
pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber Daya Manusia lebih
bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian serta
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai bidang sektor. Pendidikan
merupakan salah satu alat untuk menghasilkan perubahan pada diri manusia.
Manusia akan dapat mengetahui segala sesuai yang tidak atau belum diketahui
sebelumnya. Pendidikan merupakan hal seluruh umat manusia. Hak untuk
memperoleh pendidikan harus diikuti oleh kesempatan dan kemampuan serta
kemauannya.170 Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas betapa pentingnya
peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam meningkatkan kualitas
SDM agar sejajar dengan manusia lain, baik secara regional (otonomi daerah),
nasional, maupun internasional (global).
Tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain ditandai dengan adanya unsur
kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil kerja atau kinerja
yang baik secara perorangan atau kelompok. Permasalahan ini akan dapat diatasi
apabila SDM mampu menampilkan hasil kerja produktif secara rasional dan
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang umumnya dapat
diperoleh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah
satu solusi untuk meningkatkan kualitas SDM.
Sehubungan dengan pengembangan SDM untuk peningkatan kualitas,
Azra mengemukakan bahwa “Pengembangan SDM berkualitas adalah proses
169Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta : LKIS, 1994), hlm. 112
170Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:Tradisi dan Modernisasi Menunuju Milinium Baru,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 50
kontekstual, sehingga pengembangan SDM melalui upaya pendidikan bukanlah
sebatas menyiapkan manusia yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang
cocok dengan dunia kerja pada saat ini, melainkan juga manusia yang mampu,
mau, dan siap belajar sepanjang hayat.”171
Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan Islam memberi
manfaat pada organisasi berupa produtivitas, moral, efisiensi, efektivitas, dan
stabilitas pesantren dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun ke
luar pesantren yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Perencanaan
SDM yang berkualitas. Dalam lokakarya pengembangan Pesantren tahun 2001,
merumuskan beberapa kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat global yang
perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kualitas SDM.
Kecenderungan tersebut adalah: (1) Dibandingkan dengan dasawarsa 1970-an dan
1980-an, tiga dasawarsa mendatang diperkirakan akan terjadi eksplosi yang hebat,
terutama yang menyangkut teknologi informasi dan bioteknologi. Dalam konteks
peningkatan kualitas SDM, implikasi yang dapat diangkat adalah para ilmuwan
harus bekerja dalam pendekatan multidisipliner dan adanya program pendidikan
berkelanjutan (S2/S3), dan (2) Eksplosi teknologi komunikasi yang semakin
canggih dapat mempersingkat jarak dan mempercepat perjalanan. Hal ini akan
membuat bangsa yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang relevan
dan menguasai teknologi baru secara substantif mampu meningkatkan
produktivitasnya. Hasil pemikiran di atas menghadapkan kita pada arah,
tantangan, dan tuntutan umum pendidikan dalam kehidupan abad ke-21 sebagai
masa depan suatu lembaga.
Guna memenuhi tuntutan komunitas pesantren yang semangkin
meningkat, sudah sepantasnya penyelenggara pesantren memikirkan upaya
peningkatan kualitas para guru dan staf di dalamnya. Upaya ini dimaksudkan agar
segala tugas yang diberikan kepada mereka menghasilkan kesuksesan yang
maksimal. Upaya ini juga penting, mengingat rekrutmen guru atau ustadz di
pesantren biasanya didasarkan kepada program pre-service sebagaimana dalam
sistem persekolahan (sekolah-sekolah formal), sehingga dipandang masih
77
memerlukan wawasan-wawasan dan keterampilan baru yang aktual. Misalnya
guru atau ustadz pesantren perlu menambah wawasan tentang kurikulum dan
metode belajar mengajar jika mereka bukan sarjana atau ahli pendidikan.
Menurut pembina Yayasan,172 Pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau dalam menghadapi arus globalisasi sekarang ini, telah melakukan usaha
dalam peningkatan kualitas dan sumber daya tenaga pendidik, yaitu berupa
memberikan beasiswa bagi guru yang belum S1 untuk melanjutkan pendidikannya
ke perguruan tinggi terdekat. Kemudian usaha lain yang dilakukan dalam
pengembangan SDM ini, pesantren telah sering memberikan pelatihan-pelatihan
dan workshop bagi guru dan masyarakat sekitar, terutama dalam bidang
pendidikan dan bidang pertanian.
3. Peranan dalam Pengembangan Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang berada di pondok pesantren, pada umumnya
sangat bergantung kepada bentuk pesantren atau kemampuan dan kemamuan kyai
dalam mengendalikan pondok pesantren yang didirikannya, esensi dan kegunaan
perangkat keras pada suatu pondok pesantren adalah untuk kelancaran interasksi
dan komunikasi atau penyampaian informasi dan penanaman nilai-nilai
keagamaan yang dilakukan kyai terhadap para santrinya pada saat-saat tertentu.173
Sarana dan prasarana merupakan pendukung pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar di pesantren. Pesantren hendaknya mengupayakan tersedianya sumber
belajar dan media pendidikan dan pengajaran yang berbasis teknologi. Dan
berangkat dari pembiayaan yang ditunjang oleh adanya sawah abuan 174 pada awal
berdirinya, hasil dari sawah abuan tersebut guru-guru mendapat gaji, peralatan
sekolah dapat dibeli, dan gedung-gedung tambahan dapat dibangun. Kondisi itu
masih dipertahankan sampai sekarang. Adapun sarana dan prasarana yang telah
tersedia Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diantaranya: 6 (enam) ruang
belajar, 1 (satu) ruang pimpinan (kepala), 1 (satu) ruang Majlis guru/ ustadz, 1
172Amiruddin St. Marajo, Sekretaris Yayasan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,
Tanjung Limau, 15 Februari 2009
173Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan: Melaacak Geneologis Pendidikan Islam Indonesia,
(Bandung : Mulia Press, 2008), hlm. 189
174Abuan berarti hak milik yang diperoleh dari pemberian atau wakaf atau hibah untuk
dikelola dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak yang mempunyai abuan itu. Seorang anak yang
sudah berangkat dewasa, biasanya sudah diberi abuan oleh orang tuannya.
(satu) ruang perpustakaan, 1 (satu) ruang labor, 1 ((satu) unit asrama, 1 (satu)
ruang gudang dan 1 (satu) ruang koperasi, lapangan volly ball, 1 (satu ) masjid.175
Jadi pengembangan terhadap sarana dan prasarana Pondok pesantren
Thawalib Tanjung Limau sedikit demi sedikit mengalami perubahan, terutama
pada fasilitas pendidikan yang dibutuhkan para santri diantaranya sepuluh ruang
belajar, satu unit ruang asrama, satu ruang perpustakaan, satu ruang labor
komputer dengan 15 unit komputer, tiga ruang kantor, satu ruang untuk koperasi
Pesantren, satu ruang untuk labor bahasa Arab dan Inggris, lima belas unit mesin
jahit, satu lapangan volly ball, satu unit lapangan tenis meja dan lapangan bola
kaki milik bersama dengan masyarakat Tanjung Limau.
4. Peranan dalam Pengembangan Keilmuan dan Keterampilan
Peran pesantren Thawalib Tanjung Limau sebagai salah satu lembaga
(institusi) dalam pengembangan pendidikan Islam adalah mentransfer ilmu agama
Islam, baik kepada santri maupun kepada masyarakat. Tranformasi ilmu agama
Islam yang dilakukan oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada santri
maupun masyarakat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan dan
pengajaran, baik yang dilakukan secara rutin di lingkungan pesantren itu sendiri,
ataupun kegaitan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat
dengan melibatkan pesantren di dalamnya.176
Pesantren Thawalib mempunyai peranan penting dalam mewarisi dan
mengembangkan warisan intelektual dan spritual itu. Hal ini bisa dipahami,
karena dilihat dari latar belakangnya, Pesantren Thawalib Tanjung Limau
berperan sebagai lembaga transformasi kultural yang menyeluruh dalam
kehidupan masyarakat. Pesantren Thawalib Tanjung Limau berdiri sebagai
jawaban terhadap penggilan dakwah keagamaan, untuk menegakkan nilai-nilai
kemasyarakatan, dan praktek-praktek keagamaan.177
Ilmu agama Islam yang ditransfer oleh Pesantren Thawalib kepada santri
175Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Permohonan Izin Perasional Kepala Kantor
Departemen Agama Wilayah Sumatera Barat untuk Madrasah Tsnawiyah dan Aliyah Thawalib,
( Padang : tidak diterbitkan, 1976)
176Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
177Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
79
dan masyarakat sekitanya adalah berupa tradisi keilmuan fiqih dan sufistik (ilmu
Tasauf). Hal ini wajar, karena pada dasarnya Pesantren Thawalib Tanjung Limau
adalah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang megajarkan tradisi
keilmuan agama. Transformasi keilmuan tasauf melahirkan nilai-nilai moral
keagamaan yang ditampilkan oleh pimpinan pesantren dan santrinya di tengah-
tengah kehidupan masyarakat, sedangkan transformasi keilmuan fikih melahirkan
faham-faham keagamaan fikih bagi kepentingan ibadah kepada Allah. SWT.178
Awalnya Ilmu agama Islam yang ditranspormasikan oleh Pesantren
Thawalib Tanjung kepada santri dan masyarakat sekitarnya adalah islam
tradisional. Yang dimaskud dengan islam tradisional adalah islam yang masih
terikat kuat dengan pikiran ulama ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tauhid dan
ahli tasauf yang hidup antara abad ke -7 sampai abad ke-13. M. Akan tetapi pada
perkembangannya, seiring dengan terjadinya pembaharuan pendidikan Islam
pesantren Thawalib memberikan pendidikan Islam kepada santri dan masyarakat
didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh sistem pendidikan Islam.
Pengembangan pendidikan Islam yang dilakukan di pesantren Thawalib
adalah dengan membuat jaringan Islam, yakni membentuk kader ulama santri
yang akan dipergunakan sebagai pendakawah-pendakwah agama Islam yang akan
diterjunkan ke daerah masing-masing. Dengan itu, berarti Pesantren Thawalib
Limau telah membuat dan mengembangkan jaringan Islam secara luas, paling
tidak sejak awal berdirinya tahun 1923 hingga berobah statusnya menjadi Pondok
Pesantren tahun 1972 sampai sekarang telah banyak alumninya yang
menyebarkan ilmu agama Islam di tengah-tengah masyarakat.179
Untuk menjamin kelangsungan hidup pendidikan Islam, maka Pesantren
Thawalib Tanjung Limau berusaha melakukan pengembangan pendidikan agama
melalui peningkatan rasa solidaritas dan kerja sama antara pesantren dengan
masyarakat, antara pesantren dengan pesantren lain dalam suatu forum
silaturrahmi pondok pesantren Sumatera Barat atau antara pesantren Thawalib
81
memberikan bekal ilmu dan keterampilan bagi santri dan masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan melalui wawancara dengan Fahrizal Alwis
selaku pimpinan Pondok Pesantren Thawalib mengatakan diantara pendidikan
keterampilan yang telah dikembangkan adalah: (1). Keterampilan menjahit dan
bordir, (2). Keterampilan dalam bidang Agrobisnis dan Peternakan Sapi, (3).
Keterampilan komputer dan Bahasa Jepang.183
Unsur utama suatu pendidikan selain terdiri atas para pelaku yang
merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur anorganik lainnya., berupa :
dana, sarana, dan alat-alat pendidikan lainnya, baik perangkat keras maupun
perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dalam suatu sistem pendidikan
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan pesantren, maka para pelaku
pesantren adalah: kyai, ustadz mengajar agama, guru mengajar umum, santri, dan
pengurus serta adanya tempat untuk belajar (sarana dan prasarana).
Seiring dengan perkembangan zaman, Thawalib Tanjung Limau terus
melakukan penyesuaian struktur kepengurusan. Para pengurus terus melakukan
penyesuaian struktur sesuai dengan kebutuhan dan kultur yang berlaku di Pondok
pesantren. Dalam praktiknya, pola manajemen yang digunakan dalam
menjalankan sistem tersebut adalah satu sistem dengan dua sub sistem besar.
Dalam tradisi kepemimpinan pesantren, pengasuh dan pengurus adalah pemegang
otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan. Hanya saja secara manajerial
keputusan tersebut dilakukan bersama sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
(tupoksi) yang termaktub dalam struktur dua sub sistem pesantren.
Pendidikan dan pembinaan yang dilaksanakan di PP. Thawalib Tanjung
Limau adalah pembinaan yang intergratif antara pendidikan di asrama dan
lembaga pendidikan formal. Artinya terjadi proses saling mendukung dan
melengkapi antrara pendidikan yang dilaksanakan di asrama santri dengan
pendidikan dan pembinaan di lembaga formal. Pendidikan dan Pembinaan yang
dilakukan di sekolah diperdalam di asrama santri yang disesuaikan dengan jenjang
pendidikan di lembaga formal. Sehingga tujuan santri untuk mengaji dan
183Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
membina akhlakul karimah diharapkan bisa tercapai secara sempurna.
Berdasarkan penjelasan mengenai sistem pendidikan di dalam teori di atas,
maka sistem pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dapat
dikatakan sudah memenuhi kriteria unsur-unsur dari sistem pendidikan. Sebab,
dari hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa unsur-unsur sistem
pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Thawalib ke dalam dua aspek, yaitu
unsur-unsur sistem pendidikan yang bersifat lunak dan unsur-unsur yang bersifat
keras. Kedua unsur tersebut saling berkaitan, sehingga membentuk suatu kesatuan
yang utuh dalam mencapai tujuan Pondok Pesantren.
Jadi dari uraian dan pendapat para ahli tersebut, dapat penulis kemukakan,
bahwa sistem pendidikan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau sesuai
dengan tujuan, visi dan misinya, awalnya bersifat tradisional, tetapi pada
perkembangan selanjutnya seiring dengan terjadinya pembaharuan paradigma
pendidikan Islam, maka pesantren Thawalib Tanjung Limau menerapkan sistem
pendidikan pesantren yang mengabungkan antara sistem salaf dengan khalaf. Hal
ini bisa terlihat dari dibukanya sistem madrasah disamping sistem pondok sendiri
yang bersifat pendidikan Islam tradisional.
Namun saat ini pesantren dihadapkan pada persoalan lain dalam
dinamika masyarakat. Telah terjadi pergeseran paradigma, pergeseran
problematika dengan isu baru walau mainstream lama dan percepatan roda jaman
dengan arus globalisasi dan westernisasi, serta abad informasi dan komunikasi
yang membawa manusia pada satu dunia kecil dengan sistem global yang hanya
dijangkau satu tangan saja. Ketika jelajah dunia cukup dengan jentikan jari saja,
maksud melalui internet. Era pasar bebas, perdagangan lintas batas, dunia yang
modern, megapolitan dan maju di milanium ketiga ini. Inovasi yang tiada henti,
produktifitas yang tinggi, dunia cyber yang menghegemoni seakan membuat kita
menjadi bodoh dan terkebelakang.
Disisi lain kerusakan moral masyarakat, seperti gunung es yang
meleleh melaju begitu cepat, memporak porandakan norma dan keluhuran
peradaban yang sekian lama dengan susah payah di bangun. Kemaksiatan pun ikut
menglobal seperti bola salju yang menggelinding semakin lama semakin
83
membesar dan membesar menjadi raksasa yang menakutkan, menggurita
membumi hanguskan keluhuran ajaran diniyah yang selalu di jungjung tinggi.
Perilaku menghalalkan segala macam, cara dalam berbagai bidang, baik politik,
ekonomi, sosial dan budaya.
Semua ini memaksa kembali pesantren untuk keluar dari sarangnya
menyelamatkan dunia karena ada tugas yang sangat berat menantinya. Namun
zaman telah berganti kondisi saat ini bukan yang terjadi pada abad tradisional,
melainkan abad postmodernisme, sehingga mengharuskan pesantren melakukan
restrukturisasi dan revitalisasi dengan mensetel dan meng up gread sopt ware
namun tetap mempertahankan hard ware nya untuk menghadapi problem
komplek dimasyarakat global saat ini.
Pesantren Thawalib Tanjung Limau harus tampil menghadapi tiga
persoalan tersebut di atas dengan menjadi agen of change, lokomotif kemajuan
dengan gerbong keadilan serta senantiasa menjadi oase bagi panasnya wabah
demam masyarakat yang hampir tidak mengenal dirinya sendiri. Pesantren
Thawalib Tanjung Limau dituntut menguasai teknologi, melihat kenyatan yang
terjadi pada pesantren rasanya seperti suatu yang utopia. Pesantren yang
tradisional, pesantren yang lugu, pesantren yang sederhana dan lain sebagainya.
But the weaknes have ti be strong, disanalah letak dari kekuatannya.
Selain peran di atas menurut penulis, pesantren perlu menajamkan
peran dalam pemberdayaan masyarakat terutama saat sekarang ini. Ada
beberapa upaya yang dapat dikembangkan dalam pola pemberdayaan masyarakat
ini diantaranya : (1) meningkatkan kualitas SDM dari para pengasuhnya dengan
berbagai pelatihan, lokakarya seminar dan work shop, (2) penempatan sarjana
pendamping bersama pesantren untuk membangun pesantren itu sendiri dan
bersama dengan sarjana pendamping membangun masyarakat, (3) pengembangan
sarana dan prasarana pendidikan agar tujuan yang telah ditetapkan akan mudah
tercapai, (4) meningkatkan pengembangan ilmu dan keterampilan agar para
lulusan pesantren dapat berhasil dan berdaya guna serta berkarya, (5)
mengembangkan kelembagaan yang siap berkompetisi Sekolah umum lainnya.
Dari uraian di atas, dapat penulis tegaskan, bahwa Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau telah berusaha dalam pengembangan pendidikan Islam
di Kabupaten Tanah Datar. Hal ini dilakukan sejalan dengan visi dan misi yang
dimiliki oleh pesantren ini. Dan keberadaan masyarakat Pondok Pesantren dalam
hal ini, baik pengurus yayasan, pimpinan, ustadz, santri dan masyarakat tertata
dan penuh tanggung jawab lahir dan batin, jasmani dan rohani, hati dan
pikirannya benar-benar ada di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Untuk mewujudkan output yang lebih berkualitas, pihak pengelola, baik
yayasan maupun pimpinan pondok telah berusaha melakukan kerjasama dengan
berbagai pihak yang ada di Kabupaten Tanah Datar, baik yang bersifat lembaga-
lembaga pendidikan, ataupun dengan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
Dan tak kalah pentingnya, pesantren ini mencoba melakukan kerja sama dengan
pemerintah dan swasta. Hal ini dilakukan dalam rangka mengembangkan lembaga
dan untuk memperoleh dana sebagai penunjang operasionalnya lembaga ini.
Dan terakhir penulis simpulkan, bahwa sebagai lembaga pendidikan
Islam, pesantren telah eksis di tengah-tengah masyarakat semenjak zaman
kolonial. Pesantren berperan dalam berbagai bidang secara multidimensional, baik
yang berkaitan langsung dengan aktivitas pendidikan pesantren maupun di luar
wewenangnya. Pesantren menjadi pusat pengembangan keterampilan dan
teknologi tepat guna bagi masyarakat desa, pusat pemberdayaan ekonomi
masyarakat sekitarnya, sebagai pusat reproduksi ulama, sebagai pusat transmisi
ilmu-ilmu Islam, sebagai pusat pelatihan, dan sebagai pusat pendidikan lembaga
Majlis Ta’lim dan didikan Subuh. Peran seperti inilah peranan yang dijalankan
oleh Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar dalam
mengembangkan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Latar belakang berdirinya pesantren Thawalib Tanjung Limau ini dari
Surau Gadang Tanjung Limau sebagai sarana belajar mengaji bagi
generasi muda Tanjung Limau dengan mengunakan sistem halaqah. Guru
yang mula-mula mengajar adalah Syekh Sulaiman Al- Mufassir Al-
Mansyur. Pondok Pesantren ini berdiri dalam rangka menjawab tantangan
dan kekurangan Kader Ulama dan Kader Pimpinan Masyarakat di Minang
Kabau, yang dikenal dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah. Adapun Tujuan didirikannya pesantren ini adalah untuk
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama
intelektual, intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung
jawab serta berguna bagi masyarakat. Dan Visi yang dimiliki oleh Pondok
Pesantren Thawalib ini yaitu Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam
Syari'ah, Uswatun Hasanah dalam Akhlaq, dengan misi yang diemban
adalah: mempersiapkan kader ulma, mubaligh, imam, khatib, dan
cendikiawan, mempersiapkan kader pemimpin masyarakat,
mempersiapkan kader muda yang berjiwa wiraswasta, mempersiapkan
kader muda yang siap membela agama, masyarakat, dan negara,
mempersiapkan kemahiran berbahasa asing (Indonesia, Jepang, Arab, dan
Inggris), dan menghasilkan lulusan yang memahami dan menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah dan syari'ah, serta
sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah "Adat
Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah.
Pondok Pesantren Thawalib menerapkan sistem manejemen yang sesuai
dengan sistem pondok pesantren yang ada di Indonesia. Karena Pondok
Pesantren ini berada di bawah naungan Departemen Agama, maka
manajemen dan sistem pendidikan yang diselenggarakan adalah :
Raudhatul Adfal (RA), Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA). Pondok Pesantren Thawalib
menerapkan manejemen salaf dan khlaf Metode pembelajarannya
mengunakan sorongan, bandongan, halaqah, hafalan, dan klasikal.
2. Kurikulum yang dipakai di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung limau,
yaitu dengan mengadopsi kurikulum Departemen Agama, Departemen
Pendidikan Nasional dan kurikulum kepesantrenan. Penerapan kurikulum
ini mendapat respon dari masyarakat, sehingga adanya keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pesantren.
Di sisi lain pesantren dalam melakukan pengembangan kurikulum juga
memperhatikan, mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat
seperti yang dirumuskan dalam UU, Keputusan Pemerintah, peraturan
87
Daerah dan lain sebagainya. Menganalisis budaya masyarakat tempat
pesantren berada. Menganalisis kekuatan serta potensi daerah.
Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja. Menginterpretasi kebutuhan
individu dalam kerangka kepentingan masyarakat sekitar.
3. Proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau masih mengunakan kompenen-komponen pendidikan
Islam, seperti adanya Buya selaku pimpinan, ada ustadz untuk mengajar
ilmu agama (kitab), guru untuk mengajar pelajaran umum, ada santri
/siswa, ada Masjid sebagai sarana pegajian, ada sarana dan prasarana
lainnya, mempunyai buku /kitab sebagai sumber belajar, dan juga
mengunakan evaluasi untuk mengukur kemampuan santri dalam
penguasaan materi yang telah diajarkan, baik tertulis maupun lisan dan
praktek.
4. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki cita-cita untuk
membangun generasi Islam, pondok pesantren ini dihadapkan pada faktor
penghambat dan pendukung. Faktor Penghambat, seperti masalah
ekonomi, kurangnya perhatian pemerintah darerah terhadap lembaga
swasta, kompetisi yang tidak seimbang dengan sekolah umum, serta
terjadinya perubahan nilai di masyarakat. Meskipun kendala banyak,
namun pesantren tetap eksis dan optimis untuk mencerdaskan anak bangsa
dan memberikan pengetahuan agama, karena pesantren ini masih
didukung oleh beberapa faktor pendukung, seperti: Sarana dan prasarana
yang sudah agak memadai, tenaga pendidik/ustadz yang berkompeten,
serta adanya rencana kerja yang jelas (Master Pan Pondok Pesantren
Thawalib).
5. Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang telah berusia 85 tahun,
telah banyak menciptakan Alumni yang sudah bekerja sesuai dengan
profesi dan nasib masing-masing, seperti menjadi Polisi, Pengacara,
Hakim, Dosen/Guru, pengusaha, pedagang, dan lain-lain. Peranan yang
telah berhasil dikembangkan di Pondok Pesantren Thawalib dalam bentuk
kelembagaan berupa : terbentuknya Persantuan Mubaligh yang akan
berdakwah ke setiap Masjid dan Mushala yang ada dalam Kabupaten
Tanah Datar (Majlis Ta’lim) dan Lembaga Didikan Subuh Kecamatan
Pariangan. Pengembangan dalam peningkatan Simber daya manusia, yaitu
meberikan pelatihan dan seminar serta workshop bagi guru dan
masyarakat. Pengembangan lain adalah di bidang pendidikan umum yaitu
diajarkannya ilmu-ilmu umum serta adanya jurusan umum di pesantren ini
(jurusan IPS). Pengembangan terhadap sarana dan prasarana, yaitu
menambah lokal dan mendirikan labor komputer dan bahasa bagi santri,
serta menambah media pembelajaran. Dan pengembangan dalam
pendidikan keterampilan yakni dibuka/diadakannya tempat untuk
peningkatan ekonomi pesantren dalam bentuk Tempat Pendidikan Usaha
Santri (TPUS) berupa Koperasi Pondok Pesantren, pengembangan bidang
agrobisnis bidang peternakan sapi potong, TTG, dan pelatihan-pelatihan
menjahit dan bordir, perbengkelan dan elektronik serta komputer. Usaha-
usaha di atas berguna bagi santri dan masyarakat sekitarnya.
B. Saran-saran
Mengingat peranan Pondok Pesantren Thawalib penting dalam proses
pengembangan pendidikan Islam di masyarakat, maka dalam kerangka
membangun eksistensi pesantren di tengah-tengah perubahan zaman yang
sedang menglobalisasi ini, penulis menyarankan sebagai berikut :
1. Pesantren lebih memperhatikan dan mengembangkan wawasan berpikir
keilmuan dari sistem pendidikan nasional, yaitu metode berpikir deduktif,
induktif, kausalitas, dan kritis. Hal ini sangat penting artinya, jika kita
masih mengangap pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang
komprehensif dalam mencetak kader ulama sebagai pendakwah umat
dalam amar makruf dan nahi mungkar.
2. Pesantren perlu melakukan inovasi-inovasi yang sifat untuk kemajuan
santri selama inovasi tersebut masih dalam kerangka sistem pendidikan
Islam dan konsep islam yang dianut. Hal ini dimaksudkan agar pesantren
89
tidak selamanya dikatakan sebagai komunitas yang kolot dan terbelakang.
3. Dalam penerapan kurikulum yang diadopsi dari pemerintah dalam hal ini
yang bersifat ilmu umum, sebaiknya pondok pesantren mewarnainya
dengan pendidikan Islam itu sendiri,artinya pendidikan tersebut masih
dalam ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.
4. Pondok pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada
masyarakat secara wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan
kepada masyarakat akan tetap terasa bermuara pada pandangan dan sikap
Islami, dan terasa bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Begitu juga
mengenai aktivitas mesjid harus dijadikan basis pembinaan umat. Materi-
materi kajian pendidikan Islam yang disampaikan lewat khotbah jum’ah
dan ceramah-cemah harus dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi realitas umat yang dihadapi dan mengantisipasi kondisi perubahan
masa depan. Pondok pesantren dan mesjid perlu menggalang kerjasama
dengan para ulama dan para cendekiawan muslim yang di luar atau yang
tergabung dalam perguruan tinggi yang ada di sekitarnya.
5. Pendidikan Pesantren di masa depan harus menjadi pendidikan yang
mampu melahirkan anak-anak didik yang tidak hanya cemerlang secara
intelektual tetapi juga memiliki kecermelangan dalam sikap moral. Oleh
karena itu, dari sudut pengembangan akademik, pendidikan pesantren
ditantang untuk memberikan muatan-muatan ilmu eksak dalam
kurikulumnya, agar out putnya dapat menguasai IPTEK dengan baik,
sehingga pesantren ini mampu mengharumkan dan mengangkat prestasi
Kabupaten Tanah Datar diantara kabupaten-kabupaten lain yang ada di
propinsi Sumatera Barat bahkan di tingkat nasional.
91