Anda di halaman 1dari 91

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai
budaya Islam kepada generasi muda, masih dihadapkan pada persoalan
dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan
disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan,
ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang
dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan
dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi
embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi kemunduran dan
keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara
lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.1
Pendapat ini sangat berpengaruh terhadap sistem Pendidikan Islam,
yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam
konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang
sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-
sistem pendidikan nasional. Tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran
tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering diperuntukan hanya
untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin.
Keberadaan lembaga Pendidikan yang disebutkan di atas cukup
variatif, sekalipun mungkin peran dan fungsinya masih dipertanyakan dalam
konfigurasi pendidikan nasional. Untuk itu fungsi pendidikan Islam dari
lembaga atau tempat pendidikan tersebut, perlu dirumuskan secara lebih
spesifik, efektif, dan bermutu tinggi, agar dapat menjawab tantangan yang
dihadapi. Kalau kita telaah literatur dalam pendidikan Islam, maka diketahui
bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam diletakan jauh lebih berat
tanggungjawabnya bila dibandingkan dengan fungsi pendidikan pada

1Soroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di


Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, (Yogyakarta : Fak. Tarbiyah
IAIN Sunan Kaliga, 1991), Volume I, hlm. 77

1
umumnya. Sebab, fungsi dan tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan
atau berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan
akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk melahirkan
manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan
bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang dilandasi pada
konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya.
Sebagaimana dikatakan para ahli, bahwa pendidikan Islam berupaya
untuk mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi
spritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan baik individu maupun kelompok,
dan memberi dorongan bagi dinamika aspek-aspek di atas menuju kebaikan
dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan al-
Khaliq, sesama manusia, maupun dengan alam.2 Akan tetapi pada tataran
operasional, rumusan-rumusan ideal yang dikemukakan di atas belum
terjawab, sedangkan lembaga pendidikan Islam cukup variatif dalam berusaha
menerapkan konsep-konsep tersebut, namun belum berdaya dan posisi
pendidikan Islam sendiri masih terlihat begitu lemah.
Melihat kenyataan ini, maka inovasi atau penataan fungsi pendidikan
Islam, terutama pada sistem pendidikan, harus diupayakan secara terus
menerus, berkesinambungan, dan berkelanjutan, sehingga nanti usahanya
dapat menyentuh pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam
luar sekolah termasuk pada pondok pesantren. Di samping inovasi pada sisi
kelembagaan, faktor tenaga pendidikan juga harus ditingkatkan aspek etos
kerja dan profesionalismenya, perbaikan materi (kurikulum) yang pendekatan
metodologi masih berorientasi pada sistem tradisional, dan perbaikan
manajemen pendidikan itu sendiri. Untuk itu, maka usaha untuk melakukan
inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara mendasar dan
menyeluruh, mulai dari fungsi dan tujuan, metode, materi (kurikulum),
lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Penataan pada fungsi pendidikan,
tentu dengan memperhatikan pula dunia kerja. Sebab, dunia kerja mempunyai
andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi

2M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 15
dan kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih sasaran model
pendidikan bagi kelompok masyarakat. Perbaikan wawasan, sikap,
pengetahuan, keterampilan, diharapkan akan memperbaiki kehidupan sosio-
kultural dan ekonomi masyarakat.
Konsumsi pendidikan dan pengembangan keilmuan untuk kelompok
masyarakat, belum tampak berkembang, kecuali usaha-usaha yang secara
naluriah telah diwariskan dari waktu ke waktu.3 Perbaikan fungsi pendidikan
Islam pada tahap lanjut, harus dilakukan menjadi satu kesatuan dengan
lembaga pendidikan Islam lainnya yang terkait erat sekali, seperti masjid
dengan kesatuan jamaahnya, madrasah/sekolah, keluarga muslim, masyarakat
muslim di suatu kesatuan teritorial, dan lain sebagainya. Dalam konteks
tersebut, maka sekurang-kurangnya ada empat jenis lembaga pendidikan
Islam yang dapat mengambil peran ini, yaitu pendidikan Pondok Pesantren,
Masjid, Madrasah, pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Peran di sini
seperti yang diungkapkan Bruce J Cohen, peran adalah suatu perilaku yang
diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu.
Peran-peran yang tepat dipelajari sebagai bagian dari proses sosialisasi dan
kemudian diambil oleh para individu.4
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana lembaga-lembaga
Islam, termasuk pondok pesantren atau para penyelenggara pendidikan (kyai),
mampu mempersiapkan diri dan berperan dalam mengembangkan pendidikan
Islam yang ada. Hal ini mencakup tujuan, manajemen kelembagaan,
kurikulum, proses pembelajaran, sarana-prasarana, dan evaluasi. Sehingga
output-nya dapat menghadapi perubahan masyarakat yang terus maju hidup
dalam tatanan ajaran Islam. Ini merupakan pertanyaan besar yang memerlukan
jawaban segera oleh lembaga pendidikan yang bernaung atas nama pondok
pesantren.
Pondok pesantren merupakan tempat yang relevan untuk menyiarkan
agama, maupun masalah - masalah sosial lainnya, karena dalam pondok

3Suyuta, Penataan Kembali Pendidikan Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi,
(Yogyakarta : Majalah UNISIA No. 12 Th. XIII, UII,1992), hlm. 28
4 Bruce J Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 76

3
pesantren ini ilmu yang diajarkan nantinya dapat diterapkan oleh para
santrinya dalam masyarakat di sekitarnya.5 Pondok pesantren sebagai salah
satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia sudah ada dan berkembang dan
tumbuh mengakar di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan bahkan tetap di
kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Di sisi lain, pesantren mempunyai peranan yang sangat penting bagi
sejarah bangsa Indonesia. Dan tidak diragukan lagi bahwa pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia. Lembaga ini telah eksis jauh
sebelum kedatangan Islam di Nusantara.6 Sejak masa awal penyebaran Islam,
pesantren adalah saksi utama bagi penyebaran Islam di Indonesia.
Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa
terpisahkan dari peranan pesantren. Bermula dari pesantren, perputaran roda
ekonomi dan kebijakan publik Islam dikendalikan. Kedinamisan pesantren
tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga
maju dalam bidang keilmuan dan intelektual.7
Pondok pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama juga
memacu diri dalam mencari sesuatu yang baru sesuai dengan pengetahuan dan
teknologi. Serta menghadapi perkembangan zaman dengan tetap mempunyai
kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok
pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan pengetahuan masyarakat,
sekaligus mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru
bagi kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam mengisi
pembangunan.8

5Abdurrahman Soleh, Penyelenggaraan Madrasah Pesantren, (Jakarta : Dharma Bakti,


1985), hlm. 46
6Menurut sejarahnya, terdapat dua versi pendapat tentang akar berdirinya pondok pesantren di
Indonesia. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi
Islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di
Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Kedua, pendapat
yang mengatakan bahwa pondok pesantren pada mulanya merupakan pengambilalihan dari system
pondok pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta
bahwa jauh sebelum Islam datang ke Nusantara, pondok pesantren ini sudah ada di negeri ini yang
dijadikan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Departemen Agama, Pola
Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 10
7 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. ke-2,
hlm. 184.
8 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 56-57
Pembangunan, terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, baik secara spiritual maupun secara material9, atau membentuk
manusia yang utuh, paripurna, yang berkesinambungan antara nilai-nilai
kejasmanian dan kerohanian.10 Dimana pada prinsipnya tujuan utama
pembangunan yaitu adanya keinginan untuk merubah keadaan menjadi lebih
baik dari sebelumnya dengan melalui berbagai bidang kehidupan terutama
peningkatan dalam bidang pendidikan.
Kondisi ini menuntut pondok pesantren sebagai salah satu lembaga
pendidikan Islam untuk bekerja serius dalam mengembangkan pendidikannya,
karena itu A. Mukti Ali, menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan
Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor penguasaan
sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi (insinght),
kelembagaan (organisasi), manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi.
Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam
harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan
perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi
dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan
model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya, sehingga lebih
efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam
menunjukkan perannya.11
Sebagai salah satu lembaga pendidikan, pesantren tumbuh dan
berkembang sesuai dengan pengembangan Islam. Memang dalam
kenyataannya perkembangan pesantren secara kuantitatif tidak menurun,
bahkan memperlihatkan gejala naik dan ditandai oleh timbulnya pesantren-
pesantren baru.12
Perkembangan pesantren pada saat ini tetap mengemban tugas
sebagai wadah pembinaan umat Islam yang berorientasi kepada peningkatan
moral umat, terutama dalam pendidikan Islam. Kenyataan membuktikan,

9 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1989),
hlm. 454
10Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta : Rajawali, 1987), hlm. 87
11M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan , (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 3
12M Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1974), hlm. 6

5
bahwa umat Islam mendambakan agar pemimpin umat, datang dari lembaga
ini yang akan membawa mereka manuju satu jalan kehidupan yang bahagia
dunia dan akhirat. Sebenarnya pembinaan yang dikembangkan di pesantren
tidak hanya jalur pendidikan saja, tetapi mencakup juga segi kerohanian
terutama menempa jiwa santri dalam mencapai satu tatanan kehidupan yang
teratur, tertib, kerja sama yang harmonis, mengutamakan kepentingan umum
dan lebih banyak beramal saleh.
Menurut Mastuhu, yang terpenting adalah bahwa suatu lembaga
pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya jika ia dapat
mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyarakat yang
melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukan adanya kecocokan nilai
antara pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya, setidak-
tidaknya tidak ada pertentangan. Lebih jauh dari itu, suatu lembaga
pendidikan akan diminati oleh peserta didik, orang tua, dan seluruh
masyarakat apabila ia mampu menyatu dengan masyarakat sekitarnya
dalam bidang moral. Pesantren sering diidealkan sebagai komunitas ideal
dan sakral. Pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang mendidik
santrinya untuk menjadi orang saleh yang idealis, moralis, dan
berorientasi ukrawi 13
Sementara, Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa pesantren dapat
menyumbang penanaman iman, suatu yang diinginkan oleh tujuan
pendidikan Nasional. Budi luhur, kemandirian, kesehatan ronahi, adalah
tujuan-tujuan pendidikan Nasional, yang juga merupakan utama
pendidikan pesantren14

Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini


dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun
peradaban.15 Untuk membangun peradaban Islam ini, di Sumatera Barat
banyak juga bermunculan pondok pesantren, tetapi di Sumatera Barat lembaga
pendidikan yang ada pertama kali sebelum diodopsi ke dalam bentuk
pesantren di Jawa dikenal dengan Surau.16
Surau sebagai lembaga pendidikan tertua di Minangkabau dimulai

13Mastuhu, op. cit., hlm. 4


14Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2007), cet. ke-7, hlm. 203
15A Syafii Ma’arif, “Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Islam
Sebagai Wahana Pendidikan Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan
Muhammadiyah, di Jakarta : Pondok Gede,1996, hlm. 5
16 Ibrahim Bukhari Sidi, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan
Nasional di Minangkabau, (Jakarta : PT. Pradya Persada, 1974), hlm. 71
dari surau yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin, dimana surau pada waktu
itu berfungsi sebagai tempat melaksanakan sholat dan juga sebagai tempat
pendidikan tarekat, jadi pada saat itu surau mempunyai dua fungsi. Dalam
perkembangannya, eksistensi surau merupakan lembaga yang sangat strategis
bagi pengajaran agama Islam. Dari surau inilah bermunculan surau-surau di
daerah Minangkabau ini seperti surau Jambatan Besi di Padang Panjang, surau
Tanjung Sunganyang, surau Gadang Thawalib Tanjung Limau, surau Parabek,
surau Candung dan lain-lain.17
Dalam catatan sejarah dikatakan, jauh sebelum tahun 1900-an di
bawah asuhan Syekh Abdullah Ahmad perguruan Thawalib telah memulai
pendidikannya dengan sistem halaqah bertempat di surau Jemabatan Besi
(sekarang bernama Pesantren Thawalib), yang kemudian dilanjutkan oleh DR.
H. Abdul Karim Amarullah, seorang ulama besar yang baru pulang belajar
dari Mekah yang dikenal dengan sebutan inyiak rasul atau inyiak Deer (ayah
almarhum Buya HAMKA). Beliau sekaligus mengubah sistem belajar secara
klasikal.18
Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau merupakan bagian dari
realitas masyarakat Kabupaten Tanah Datar yang awalnya masih merupakan
afiliasi dari Surau Jembatan Besi di Padang Panjang, tetapi berbeda dalam
strukturnya, dituntut untuk lebih meningkat dalam membangun peradaban
Islam serta berusaha melakukan pengembangan pendidikan Islam. Kenyataan
menunjukan bahwa pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau telah
berkiprah ditengah-tengah kehidupan masyarakat semenjak zaman penjajahan
Belanda. Pondok pesantren ini telah menyatu dengan masyarakat, akan tetapi
disatu sisi terutama dalam perjalannya sekarang mengalami perubahan pola
majamen dan sistem dari sistem yang ada. Dan permasalahan yang mendasar
dalam penelitian ini adalah, terjadinya ketimpangan dalam sistem pendidikan
pondok pesantren, dimana sistem yang dipakai sesuai dengan haluan dan

17 Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita,
(Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan)
18Ibrahim Bukhari Sidi, op.cit., hlm. 72

7
pemikiran Buya selaku pimpinan, serta adanya interpensi dari pengurus
yayasan sebagai pemegang otoritas lembaga.
Oleh karena itu, pondok pesantren ini dituntut untuk senantiasa
mengembangkan kelembagaannya, meningkatkan kualitas sumber daya
manusia melalui wajib belajar, mengadakan pelatihan-pelatihan serta kursus
keterampilan bagi para santri dan anggota masyarakat sekitarnya.
Dengan demikian masalah yang akan dihadapi dan akan menjadi
tanggungjawab Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di masa yang
akan datang adalah bagaimana pesantren dapat berperan dalam pengembangan
pendidikan Islam bagi masyarakat sekitarnya sesuai dengan perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat itu sendiri.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pada masalah di atas, maka pembahasan
pesantren dan pengembangan pendidikan Islam ini cukup menarik untuk
diteliti. Hal ini mengingat peran strategis pondok pesantren di masa depan
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam melakukan peningkatan
mutu pendidikan dan pengembangan pendidikan Islam ditengah-tengah
masyarakat. Untuk keperluan tersebut, studi kasus penelitian adalah di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
Pertanyaannya adalah bagaimana peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau (semenjak berobah statusnya menjadi pondok pesantren tahun 1972)
dalam meningkatkan mutu dan mengembangkan pendidikan Islam?. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka yang menjadi tema pokok dalam
penelitian ini adalah: PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB
TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI
KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT.
Permasalah tersebut dirumuskan dalam pertanyaan penelitian
berikut:
a. Bagaimana latar belakang, tujuan, visi dan misi Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat ?
b. Bagaimana kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ?
c. Bagaimana proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat ?
d. Apa faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan
Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten
Tanah Datar Sumatera Barat ?
e. Bagaimana peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat,mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui latar belakang berdirinya, tujuan, visi dan misi Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat.
b. Mengetahui kurikulum di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
c. Mengetahui proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat.
d. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat pengembangan
pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
e. Mengetahui peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama.

2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Ilmiah

9
Hasil penelitian ini memberikan konstribusi dalam ilmu
sejrah kebudayaan Islam dan dapat dijadikan teori dan ilmu baru
tentang peranan Pondok Pesantren dalam pengembangan
pendidikan Islam dan sekaligus sebagai bahan kajian lebih
mendalam mengenai pondok pesantren.
b. Kegunaan praktis
1) Bagi penulis sendiri, hasil ini dijadikan sebagai upaya menambah
pengetahuan dan wawasan serta pengalaman, terutama mengenai
peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
peningkatan dan pengembangan mutu Pendidikan Islam.
2) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan informasi tentang pentingnya melakukan peningkatan dan
pengembangan mutu pendidikan Islam melalui peran lembaga
pendidikan pondok pesantren yang merupakan kebudayaan dan
peradaban Islam.
3) Bagi pengelola pondok pesantren, hasil penelitian ini memberikan
landasan berpikir dalam rangka mengembangkan pendidikan
Islam.

D. Kerangka Pemikiran
Pendidikan Pondok pesantren berperan dalam memberikan nilai-nilai
Islam yang tinggi serta berkontribusi mencerdaskan serta membentuk karakter
masyarakat yang islami.. Disamping itu pondok pesantren berperan dalam
menciptakan ulama inteletual dan intelektual ulama, disamping menumbuhkan
nilai-nilai Islam ditengah-tengah kehudpan masyarakat.
Pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren.
Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti tempat menginap atau
asrama. Sedangkan pesantren berasal dari bahasa Tamil, dari kata santri,
diimbuhi awalan pe dan akhiran an yang berarti penuntut ilmu.19 Kata
pesantren mengandung pengertian asrama atau tempat murid-murid belajar

19Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta :
Raja Grafondo Persada, 1995), hlm. 145
mengaji dan bisa juga disebut pondok.20 Dalam bahasa Indonesia sering nama
pondok dan pesantren dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut
pondok pesantren. 21
Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan masyrakat yang unik dan
memiliki tata nilai kehidupan yang positif yang mempunyai ciri khas
tersendiri, sebagai lembaga pendidikan Islam. Adapun unsur pokok dari
pesantren adalah : Kiyai, Santri, Pondok, Masjid dan Kitab-kitab klasik22.
Menurut istilah pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional
Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan
sebagai pedoman perilaku sehari-hari.23
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di
Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa.24 Jauh sebelum masa kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem
pendidikan nusantara. Hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di
pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang
lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti
Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa.25
Dalam perkembangannya pondok pesantren mengalami dinamika
sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Pada awalnya pondok
pesantren bersifat tradisional non klasikal dengan metode sorongan26 dan

20Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), hlm. 762
21Manfrek Ziemek, Pesantren dalam PerubahanSosial, (Jakarta : P3M, 1986 ), hlm. 116
22Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
( Bandung : Citapustaka Media, 2001), hlm. 69
23Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 155
24Pondok Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah
abad ke-16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan
bahwa sejak permulaan abad ke-16 ini di Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang
mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, aqidah, tasawwuf dan menjadi pusat-
pusat penyiaran Islam. Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, hlm. 11
25Departeman Agama, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan
Agama Islam, 2003), hlm. 3
26Sorogan adalah santri menghadap kiyai seorang-seorang dengan membaca kitab yang akan
dipelajarinya. Santri menyimak dan mengesahkan dengan memberi catatan pada kitabnya untuk
mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiayi. Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama
dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta : PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 223

11
wetonan27 dan materi khusus mempelajari agama. Sebagai lembaga
pendidikan Islam tertua, pondok pesantren berfungsi sebagai salah satu
benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan
masyarakat musilim Indonesia.28
Wirjo Sukarto menunjukan bahwa tujuan utama pendidikan pondok
pesantren adalah menyiapkan calon lulusan hanya menguasai masalah agama
semata. Rencana pelajaran (kurikulum) ditetapkan oleh Kiyai dengan
menunjukan kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Pengunaan kitab dimulai
dari jenis kitab yang rendah dalam satu disiplin ilmu keislaman sampai pada
tingkat yang tinggi. Kenaikan kelas atau tingkat ditandai dengan bergantinya
kitab yang telah ditelaah setelah kitab-kitab sebelumnya selesai dipelajarinya.
Ukuran kealiman seorang santri bukan dari banyaknya kitab yang dipelajari
tetapi diukur dengan praktek mengajar sebagai guru mengaji, dapat
memahami kitab-kitab yang sulit dan mengajarkan kepada santri-santri
lainnya.29
Menurut Mahmud Yunus, bahwa isi pendidikan Islam pada pondok
pesantren, terutama pada masa perubahan (1900-1908) meliput: (1) pengajian
al-Qur’an; (2) pengajian kitab yang terdiri atas beberapa tingkat,yaitu: (a)
mengaji nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Ajrumiyah, Matan
Bina, Fathul Qarib dan sebagainya; (b) mengaji tauhid, nahwu, sharaf dan fiqh
dengan memakai kitab Sanusi, Syaikh Khalid (Azhari,’Asymawi), Kailani,
Fathul Mu’in dan sebagainya; dan (c) mengaji Tauhid, nahwu sharaf, fiqh dan
tafsir dan lainnya dengan memakai kitab Kifayatul ’Awam ( Ummul Barahin),
Ibnu ’Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan sebagainya.30
Lembaga pendidikan yang berbasis pada pesantren ini mempunyai

27Wetonan adalah metode kuliah, dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekililing kiayi yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan padanya. Di Jawa Barat metode ini disebut bandongan sedang di Sumatra
disebut halaqah atau balaghan (balagan). Abdul Rachman Saleh, Ibid, hlm. 223
28Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1996) cet.
ke-3. Jilid 4, hlm. 99
29Amir Hamzah Wirjo Sukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember :
Muria Offset, 1985), cet. ke-4, hlm. 27-28
30Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara, 1979), hlm.
54-55
peran dalam segala aspek, tidak hanya dalam aspek ukrawi semata, melainkan
dalam aspek kehidupan umat manusia yang lain. Adapun peran yang sangat
dibutuhkan dalam pengembangan pendidikan Islam disini adalah dalam upaya
menemukan pembaharuan dalam sistem pendidikan yang meliputi metode
pengajaran, baik agama maupun umum yang efektif. inovasi dibidang
kurikulum, alat-alat pelajaran, guru yang kreatif dan penuh dedikasi (kualitas
sumber daya manusia), mengembangkan kelembagaan, pengembangan dan
peningkatan sarana dan prasarana, serta pengembangan bidang keilmuan dan
keterampilan.31
Karel Steenbrink, menyatakan bahwa keberadaan pendidikan Islam di
Indonesia cukup variatif. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa pendidikan
Islam yang berbasis pada pondok pesentren, diharapkan menjadi “modal”
dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan sebagai suatu paradigma
didaktik-metodologis. Sebab, pengembangan keilmuan yang integral
(interdisipliner) akan mampu manjawab kesan dikotimis dalam lembaga
pendidikan Islam selama ini berkembang. Tetapi sayangnya pendidikan model
ini belum ditindak lanjuti dan dievaluasi efiktitas dan efisiensi prosesnya baik
dari kurikulum dan materi, metode, pengajar, waktu pelaksanaan dan
organisasi. 32
Melihat kenyataan ini, maka pendidikan Islam ini perlu mendapat
perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus
disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama di
Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di
dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga
perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya
dalam menghadapi perubahan zaman.
Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk,
karena: Pertama, pendidikan Islam subsistem pendidikan nasional di

31Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam ; Pemberdayaan, Pengembangan


Kurikulum hingga Redefenisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), cet. ke-1,hlm.
33
32Karel Steenbink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modren,
(Jakarta : LP3ES, 1994), hlm. 21

13
Indonesia, akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman positif. Kedua,
pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan dan alternatif bagi
pembenahan sistem pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan,
masalah, dan kelemahannya. Ketiga, sistem Pendidikan Islam yang dapat
dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh dalam realitas kehidupan
kemasyarakatan.33
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia
yang bersifat tradisional untuk tujuan mendalami ilmu agama Islam, dan
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, dengan menekankan
pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian pesentren
merupakan sistem pendidikan yang berkembang di masyarakat.
Unsur-unsur sistem pendidikan selain terdiri atas pelaku yang
merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur-unsur non organik lainnya
berupa dana, sarana dan alat-alat pendidikan lainnya, baik berupa perangkat
keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dan unsur-unsur
dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Para pelaku pesantren adalah kyai (buya)
sebagai tokoh utama dan merupakan kunci dari sebuah pesantren, ustadz
sebagai pembantu kyai dalam bidang agama, guru sebagai pembantu kyai
dalam mengajar ilmu-ilmu umum, santri sebagai pelajar, dan pengurus sebagai
pembantu kyai dalam mengurus kepentingan umum pesantren.
Nilai-nilai yang dikembangkan dipesantren senantiasa digerakan dan
diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam.
Ajaran dasar tersebut berinteraksi dengan struktur kontektual atau realitas
sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hasil perpaduan inilah yang
membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan
tujuan pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan metode yang
akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang
dihadapi oleh sebuah pondok pesantren.

33Suyata, op .cit., hlm. 23


Tujuan terbentuknya pesantren diantaranya adalah membimbing anak
didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam dan
mempunyai ilmu agama, sehingga sangup menjadi mubaligh Islam dalam
masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Disamping itu, tujuan khusus
dibentuknya sebuah pondok pesantren adalah mempersiapkan anak didik
(santri) untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai
yang bersangkutan, serta mengamalkannya dalam masyarakat.34
Sistem yang diutamakan dalam pendidikan di pesantren adalah
kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan
keberanian hidup. Para alumninya tidak ingin menduduki jabatan pemerintah,
sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.35 Dengan
demikian, maka sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus
– menerus antara kepercayaan terhadap ajaran agama Islam yang diyakini
mempunyai nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki
kebenaran relatif.
Keberadaan pesantren di Indonesia sudah mulai sejak Islam pertama
kali datang di negeri ini, Ibrahim Bukhari sebagaimana dikutip oleh Samaun
Bakry menyatakan bahwa sejarah dan perkembangan pesantren tidak terlepas
dari sejarah masuknya Islam itu sendiri ke Nusantara,36 karena kahadiran
pesantren beriringan dengan kehadiran Islam di Nusantara, maka kehadiran
pesantren di tanah air erat kaitannya dengan datangnya Islam ke Nusantara,
demi memudahkan analisanya dalam konteks kepesantrenan di Indonesia
maka penyebutan abad ke tujuh tetap dipakai meskipun keberadaannya masih
relatif.37
Ciri-ciri khusus dari sebuah pondok pesantren adalah kurikulumnya
terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya sintaksis Arab, morfologi Arab,
hukum Islam, sistem yurisfudensi Islam, hadits, tafsir al-Qur'an, teologi Islam,
34M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), cet.
ke-1, hlm. 248
35M Amin Rais, Cakrawala Islam , antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1989), cet. ke-
1, hlm. 162
36Samaun Bakry, Mengagas Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy,
2005), cet. ke-1, hlm. 158
37Ibid., hlm. 159

15
tasauf, tarikh, dan mantiq(retorika)38 Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai
kitab-kitab klasik dengan istilah " kitab kuning" dengan ciri-ciri kitabnya
berbahasa Arab tanpa syakal (baris), bahkan tanpa titik dan koma, berisi
keilmuan yang cukup berbobot, dan metode penulisannya dianggap kuno,
lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok pesantren, dan banyak diantara
kertasnya berwarna kuning.39
Pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai
lembaga pendidikan Islam yang mapan, yaitu di dalamnya didirikan sekolah
baik secara formal maupun non formal. Dewasa ini pesantren mempunyai
kecenderungan baru dalam rangka merenovasi terhadap sistem pendidikan
yang selama ini dipergunakan, yaitu mulai akrab dengan metodologi modern,
semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional dalam artian terbuka atas
perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan makin
terbuka dan ketergantungannya pun absolut dengan kyai, dan sekaligus dapat
membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran
agama maupun keterampilan yang diperlukan, serta berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat di samping sebagai pusat pendidikan Islam.40
Jadi dengan demikian, intinya, pesantren merupakan tempat sosialisasi
dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, penetapan
kurikulum, proses, sistem evaluasi dan tujuannya didasarkan atas nilai-nilai
pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang berlaku dan dihormati
oleh masyarakat. Disamping itu, peranan adanya peningkatan mutu
pendidikan menuntut sebuah pesantren menjalin hubungan yang akrab dan
harmonis dengan lembaga-lembaga lainnya yang berkembang di masyarakat.
Semua itu merupakan mata rantai yang saling mendukung dan berkaitan
dengan menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga sentral terhadap
lembaga-lembaga lainnya yang ada di tengah-tengah masyarakat.
38Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta :
Mulia Offset. 1999), cet. ke-1, hlm. 26
39Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya, (Jakarta : Galasa
Nusantara. 1997), cet. ke-1, hlm. 103-104
40M Rusli Karim, "Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transpormasi Sosial Budaya",
dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta : Tiara
Wacana. 1991), cet. ke-1, hlm. 134
Atas dasar itu, maka kehadiran sebuah pondok pesantren ditengah-
tengah masyarakat akan berdiri di atas dua kepentingan, yaitu sebagai agen
pewaris budaya pada satu sisi untuk menanamkan nilai-nilai ajaran dasar
agama Islam, dan disisi lain sebagai peningkatan dan pengembangan mutu
pendidikan pesantren untuk menghadapi tantangan perubahan masyarakat.
Dengan kedua fungsi tersebut, diharapkan pondok pesantren akan tetap eksis
dan dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk membentuk generasi yang
siap menghadapi tuntutan dan tantangan zaman dan mengamalkan ajaran
agama Islam hingga sekarang dan masa yang akan datang.
Pola pengembangan pendidikan Islam yang disintesiskan dari
pertemuan corak lama dan corak baru yang berwujud madrasah/sekolah, yang
kemudian diadopsi oleh Thawalib Tanjung Limau dengan mengikuti format
Barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi
pendidikan tetap menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam.41 Awalnya
pengembangan pendidikan telah dimulai dengan pembaharuan yang dilakukn
oleh tiga orang haji yang kembali belajar dari Mekah, yaitu haji Miskin, Haji
Sumanik, dan Haji Piobang.42 Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh tiga
serangkai pembaharu di Minang Kabau, yang dikenal dengan gerakan kaum
muda mereka adalah Haji Rasul ( Inyiak Deer), Haji Abdullah Ahmad, dan
Haji Djamil Jambek.43 Melalui peran mereka dan murid-murid mereka inilah
lembaga pendidikan Islam berubah menjadi lembaga pendidikan yang lebih
moderen, dengan format Baratnya yaitu memasukan pelajaran umum ke dalam
lembaga tradisional dan memasukan pelajaran Agama ke sekolah-sekolah
umum, serta dengan merobah metode halaqah di lembaga tradisional dengan
metode belajar secara klasikal.
E. Langkah-Langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, karena yang

41Muhaimin, op. cit., hlm. 24


42Hamka, Adat Minag Kabau Menghadapi Revolusi, (Jakarta : Tekad, 1963), hlm.167
43Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru,
( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 122

17
akan diteliti adalah persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan
pada saat sekarang. Dalam hal ini penelitian dimaksudkan untuk
mengambarkan secara aktual mengenai peranan pondok pesantren
Thawalib Tanjung dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten
Tanah Datar Sumatera Barat. Adapun aspek-aspek peranan yang akan
digambarkan dalam penelitian ini diantaranya adalah: peranan Pondok
pesantren dalam mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, peranan
dalam meningkatkan sumber daya manusia terutama dalam ilmu agama
dan umum, dan peranan dalam pengembangan sarana dan prasarana
pendidikan untuk mutu meningkatkan pendidikan Islam.
Dalam mengambarkan peran pondok pesantren Thawalib dalam
pengembangan Pendidikan Islam tersebut di atas, pendekatan yang
penulis lakukan adalah pendekatan deskriptif -analitis historis.
Maksudnya adalah data yang telah terkumpul; yaitu berupa kata,
kalimat, dan gambar, yang dibagi dalam perioderisasi perkembangan
pesantren sehingga pendekatan ini bukan kuantitatif yang mengunakan
alat-alat pengukur data statistik.
2. Jenis Data
Sesuai dengan metode penelitian yang dipilih di atas, penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui secara rinci gambaran mengenai peran
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam dalam
pengembangan Pendidikan Islam, yang meliputi : (a) data tentang
sejarah dan Perkembangan pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar, (b) data tentang visi, misi dan tujuan pondok
pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (c) data
tentang kurikulum yang dipakai di pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau Kabupaten Tanah Datar dalam Pengembangan Pendidikan Islam,
(d) data tentang proses pelaksanaan dan evaluasi pendidikan Islam di
pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (e)
data tentang faktor pendukung dan penghambat pengembangan
pendidikan Islam pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten
Tanah Datar, (f) data tentang peranan Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Data Primer
Yang dimaksud dengan data primer di sini adalah data yang
diperoleh dari lapangan. Adapun yang menjadi sumber data primer
dalam penelitian ini adalah:
1) Pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
2) Staf pengajar/ kyai
3) Dewan santri
3) Tokoh masyarakat yang ada disekitar pondok pesantren, dan
4) Alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau.

b. Data Sekunder
Yang dimaksud dengan data sekunder dalam penelitian ini
adalah sumber data yang didapat dari literatur dan dokumentasi.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Teknik observasi maksudnya adalah teknik pengumpulan
data dengan jalan pengamatan langsung terhadap objek yang akan
diteliti. Dalam teknik ini proses observasi dilakukan untuk
mengamati atau mengetahui kondisi objektif peran pondok
pesantren Thawalib terhadap pengembangan Pendidikan Islam.
b. Wawancara
Teknik wawancara maksudnya adalah teknik pengumpulan
data dengan proses melakukan tanya jawab atau wawancara
dengan sumber data primer yang telah ditentukan sebelumnya.
Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur,
maksudnya adalah pewawancara menentukan sendiri masalah dan

19
pertanyaan yang diajukan sesuai dengan permasalahan yang
diteliti. Wawancara diajukan kepada sumber data primer, yaitu
pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, staf
pengajar atau dewan guru/kiyai, dewan santri, dan tokoh
masyarakat dan alumni.
c. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi maksudnya adalah teknik pengumpulan
data dengan jalan mengumpulkan dokumen resmi pondok
pesantren berupa arsip, photo-photo kegiatan yang berkaitan
dengan peran Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
pengembangan pendidikan Islam.
5. Analisis Data
Analisis merupakan bagian yang sangat penting dalam metode
ilmiah, sebab dalam bagian inilah data tersebut dapat memberi arti dan
makna yang berguna dalam memecahkan masalah. Analisis data adalah
proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data.44
Setelah data diperoleh, langkah berikutnya adalah menganalisis data.
Karena datanya kualitatif, maka pendekatan yang digunakan dalam
menganalisis data ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Data atau informasi yang diperoleh dari lapangan sebagai bahan
“mentah” direduksi, dirangkum, disusun secara sistematis, dipilih
hal-hal yang pokok, atau difokuskan kepada hal-hal yang penting
yang relevan dengan subyek penelitian, sehingga dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas atau tajam tentang hasil yang telah
diperoleh.
b. Display Data
44Lexy Meliong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006),
hlm. 280
Langkah lanjut dari reduksi dengan menyusunnya secara rapi dan
sistematis untuk disajikan dengan uraian naratif. Hal ini dilakukan
untuk mendapat gambaran yang utuh dari data yang diperoleh, atau
gambaran tentang keterkaitan antara aspek yang satu dengan aspek
lainnya.
c. Verifikasi Data
Penarikan kesimpulan-kesimpulan secara sementara, kemudian
dilengkapi dengan data pendukung lainnya sehingga sempurnalah
hasil dari penelitian. verifikasi dilakukan dengan melihat kembali
pada reduksi data maupun display data sehingga kesimpulan tidak
menyimpang dari data yang dianalisis.
d. Melakukan penulisan terhadap data yang telah dianggap valid dan
sesuai dengan masalah penelitian.45

F. Studi Kepustakaan
Sampai saat penelitian ini dilakukan, belum ada bahan yang cocok
maupun dokumentasi/arsip yang memadai sebagai sumber penulisan peran
pondok pesantren Thawalib yang terletak di Tanjung Limau Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh karena itu sebagai acuan yang
kuat bagi penulis, maka penulis mengambil sebuah skripsi yang berjudul :
Aktifitas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Dalam
Melaksanakan Dakwah Islamiah di Desa Tanjung Limau Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh Asrinaldi, BP. 295 015
Jurusannya adalah Bidang Penyuluhan Islam (BPI), Fakultas Dakwah
IAIN Imam Bonjol (IB) Padang. Dan juga skripsi Widiawati, Bp. 295.107,
judul: "Perhatian Pengelola Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Di
Desa Tanjung Limau Simabur Kecamatan Pariangan", STAIN
Batusangkar, Fak Tarbiyah Jurusan PAI
Adapun isi dari skripsi Asrinaldi di atas adalah bagaimana
keberadaan pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam membina

45Syamsu Yusuf, Penelitian Pendidikan, (Bandung : Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. 2003),
hlm. 16-17

21
kader dakwah dan bagaimana peranan dakwah dalam masyarakat
sekitarnya. Sedangkan isi skripsi Widiawati adalah bagaimana perhatian
pengelola Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Terhadap
keberadaan pondok pesantren ini sebagai sebuah lembaga pendidikan
Islam di desa Tanjung Limau. Sedangkan penulis di sini ingin menulis
tentang bagaimana Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat, dan menurut hemat penulis, pembahasan yang telah ada
meski sama-sama meniliti Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau,
akan tetapi berbeda dalam masalah yang akan diteliti. Penulis meneliti
pesantren ini dititip beratkan pada masalah, bagaimana pondok pesantren
Thawalib Tanjung Limau melakukan inovasi, memperhatikan posisinya
dan menerapkan tugas pokoknya serta berfungsi dalam pengembangan
pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.

BAB II

TINJAUAN TEORITIK TENTANG PERANAN PESANTREN


DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Konsep Peranan (Role Consep)


Suatu bagian penting dari lembaga ialah peranan. Peranan ialah aspek-
aspek dinamis dari kedudukan dan jabatan di dalam suatu lembaga, dan ia
menetapkan perilaku para pemegang peranan itu.46 Di Pesantren, pemegang
peranan itu meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Peranan
memiliki harapan-harapan yaitu kewajiban, tanggung jawab, dan haknya.
Peranan adalah tindakan seseorang melaksanakan hak dan kewajiban
sesuai dengan kedudukannya. Peranan dianggap penting karena mengatur perilaku
seseorang. Peranan memberi batasan-batasan tertentu kepada orang agar dapat
meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Peranan diatur oleh norma-norma
yang berlaku.

46Astrid Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung : Bumi Cipta,
1979), hlm. 32
Menurut Soekanto, Peranan mencakup tiga hal, yaitu :
Pertama: Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi
atau tempat seseorang dalam masyarakat. Dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
masyarakat.
Kedua: Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
Ketiga: Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.47
Menurut Amran Peranan adalah “bagian dari tugas utama yang harus
dilaksanakan”.48 Sedangkan menurut Wrightman sebagaimana yang dikutip oleh
Ozer Usman, Peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling
berkaitan yang di lakukan dalam suatu situasi tertentu.49
Menurut teori peranan (Role Theory), peranan adalah sekumpulan
tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi. Menurut teori ini, peranan
yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang
membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi
lain relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peranan
tersebut.50
Berdasarkan dari teori-teori peranan yang telah diuraikan di atas, maka
yang dimaksud dengan peranan dalam penelitian di sini, yaitu suatu kondisi yang
diperankan atau dijalankan oleh pesantren dalam menghadapi dinamika
pengembangan pendidikan di luar pesantren, terutama terhadap kehidupan
masyarakat di Kabupaten Tanah Datar. Peranan yang dijalankan oleh Pesantren
tersebut, yaitu pengembangan kelembagaannya, peningkatan sumber daya
manusia, pengembangan sarana-prasarana, ilmu dan keterampilan.

B. Pendidikan Pesantren
1. Pengertian dan Sejarah Pendidikan Pesantren
Menurut pandangan Muhaimin dan Abdul Mujib, istilah pendidikan
47Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Tentang Stuktur Masyarakat, (Jakarta : CV Rajawali,
1984), hlm. 76
48Amran, Kamus Lengkap-Bahasa Indonesia, (Bandung : Bumi Akasara, 1995), hlm. 449
49Wrightman, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Yogya Press, 1995), hlm.
231
50Soerjono Soekanto, Soisiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo, 1989), hlm. 114

23
pesantren berasal dari istilah Kuttab yang merupakan lembaga pendidikan Islam
yang berkembang pada masa Bani Umayyah. Di Indonesia, istilah Kuttab lebih
dikenal dengan istilah pondok pesantren.51
Sedangkan menurut pengertian Departemen Agama Republik Indonesia,
yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah pendidikan luar sekolah yang
didirikan dan dikelola oleh masyarakat yang khususnya mempelajari /mendalami
ajaran agama Islam dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya pengasuh, seperti
kyai/ajengan, tuan guru, buya, tengku, atau ustadz, (2) adanya mesjid sebagai
pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar, (3) adanya santri atau siswa yang
belajar, (4) adanya asrama/pondokan sebagai tempat santri tinggal/mondok, (5)
adanya pengkajian kitab kuning atau kitab klasik tentang ilmu-ilmu ke-Islaman
berbahasa Arab gundul sebagai sumber belajarnya.52
Pengertian lain dari pesantren seperti yang dikatakan oleh Mastuhu, yaitu
sebagai berikut:
Pendidikan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam
(tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai
pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Penyelenggaraan lembaga
pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri
di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau beberapa ulama
dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan
mesjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-
gedung, sekolah atau ruang-ruang belajar, serta pondok-pondok sebagai
tempat tinggal para santri.53
Melihat dari berbagai macam pengertian pendidikan pasantren, maka
Ahmad Tafsir seorang Guru Besar Pendidikan Islam menegaskan, bahwa
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia setelah
keluarga dengan ciri-ciri: (1) Ada kyai, (2) Ada pondok, (3) Ada mesjid, (4) Ada

51Pondok Pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat kyai
(pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana Masjid yang
dugunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok atau
bangunan sebagai tempat tinggal para santri dan mempelajari kitab kuning. Muhaimin dan Abdul
Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kjian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya,
(Bandung : Trigenda karya, 1993), cet. ke-1, hlm. 298-299
52DepartemenAgama RI, Pedoman Supervisi Pondok Pesantren Salafiyah dalam Rangka
Wajib Belajar Pendidikan Dasar, (Jakarta : Dirjen Binbagais Depag RI, 2002), cet. ke-1, hlm. 11-
12
53Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), cet. ke-1, hlm. 6
santri, (5) Ada pengajaran membaca kitab kuning.54
Dari macam-macam pengertian pesantren sebagaimana tersebut di atas,
maka dapat penulis ditegaskan di sini bahwa, pendidikan pesantren merupakan
sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajaran tetapi
unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang
ditempuh, struktur pembagian kewenangan dan semua aspek-aspek pendidikan
dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada defenisi yang dapat secara
tepat mewakili pendidikan pesantren yang ada. Masing-masing pesantren
mempunyai keistimewaan sendiri, yang tidak dimiliki oleh pesantren lainnya.
Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pendidikan pesantren memiliki
persamaan. Persamaan-persamaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri-ciri
pendidikan pesantren, dan selama ini dianggap dapat mengimplikasikan pesantren
secara kelembagaan.
Atas dasar itu, maka dalam tulisan ini dapat penulis simpulkan bahwa
sebuah lembaga pendidikan dapat disebut pesantren apabila di dalamnya minimal
terdapat lima unsur pokok, yaitu: kyai (Buya sebutan di Minang Kabau), santri,
pengajian, asrama, mesjid dan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan
kemasyarakatan.
Masalahnya kemudian adalah apakah pendidikan pesantren ini merupakan
ciri khas atau produk asli sistem pendidikan Indonesia? Bagi masyarakat muslim
Indonesia, pesantren dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya pendidikan Islam.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia sebagaimana
yang diyakini oleh Karel A Steenbrink, Clifford Geertz dan yang lainnya.55 Hanya
saja mereka berbeda ketika mengungkapkan proses lahirnya pesantren.56
Nurcholis Madjid pernah menegaskan, pesantren adalah artefak peradaban
Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak
54Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda Karya, 1992),
cet. ke-2, hlm. 190
55Syaifuddin (Ed.)., Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren, (Jakarta : Departemen Agama
RI, 2004), cet. ke-1, hlm. 18
56Pada umumnya, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dalam
maupun luar negeri, ini terpublikasikan dalam bentuk buku, di antaranya: Tradisi Pesantren: Studi
Pandangan Hidup Kyai (Zamakhasyari Dhoffier), Pesantren , Madrasah, Sekolah (Karel A.
Streenbrik), The Religion of Java, The Japanese Kyai, dan Islam Observer (Clifford Geertz),
Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat ( Martin van Bruinessen), dan lain sebagainya.

25
tradisional, unik dan indigenous. Dia menegaskan, pesantren mempunyai
hubungan historis dengan lembaga pra-Islam yang sudah ada semenjak kekuatan
Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan
segala bentuk penyesuaian dan perubahannya.57
Berdasarkan sejarah yang berkembang, mengindikasikan bahwa pesantren
tertua, baik di Jawa maupun di luar Jawa tidak dapat dilepaskan dari inspirasi
yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa para Walisongo.58 Sementara itu
Zamakhsyari Dhofier, berpendapat, berdasarkan keterangan-keterangan yang
terdapat dalam dan Serat Cebolek dan Serat Centani, dapat disimpulkan bahwa
paling tidak sejak permulaan abad ke-16 M telah banyak pesantren-pesantren
yang masyhur dan menjadi pusat pendidikan Islam.59 Bahkan Mastuhu
berpendapat bahwa keberadaan pesantren mulai dikenal sejak periode abad ke-13
M.60
Kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga
pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama Islam, dan sosial
keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan
pengembangan Islam, seperti yang diakui oleh Dr. Soebardi dan Prof. Johns
sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier sebagai berikut:
Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak
keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling
penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga-
lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran
Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh
pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang
Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16.61
Selama zaman kolonial, pesantren tidak termasuk dalam perencanaan
pendidikan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa
sistem pendidikan Islam sangat jelek baik ditinjau dari segi tujuan, maupun
metode bahasa (bahasa arab) yang dipergunakan untuk mengajar, sehingga sangat
57Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramedina,
1997), cet. ke-1, hlm. 10
58Abdurrrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta : LKIS, 2004), cet. ke-1, hlm.
63-69
59Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 33-35
60Mastuhu, op. cit., hlm. 7
61Zamakhsyari Dhofier, op . cit., hlm. 17-18
sulit untuk dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah
kolonial.
Tujuan pendidikannya dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, metode
yang dipergunakan tidak jelas kedudukannya. Sebaliknya mereka menerima
sekolah zending untuk dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pemerintah
kolonial, karena secara filosofis dan teknik dianggap lebih mudah, yaitu baik
tujuan, metode maupun bahasa yang dipergunakan sesuai dengan nilai kebiasaan
pemerintah kolonial. Orientasi sekolah umum diarahkan untuk meningkatkan
kecerdasan dan keterampilan dalam hidup keduniawian, sedang pesantren
mengarahkan orientasinya pada pembinaan moral dalam konteks kehidupan
ukhrawi.62
Pada zaman revolusi pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam
peperangan melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan. Banyak santri
membentuk barisan Hizbullah yang kemudian menjadi salah satu embrio bagi
Tentara Nasional Indonesia. Ciri khas pada angkatan darat pada masa awalnya
menggambarkan adanya corak kepesantrenan.63
2. Tipologi Pesantren
Salah seorang peneliti dan pemerhati lembaga pendidikan Islam, yaitu
Zamakhsyari Dhofier mengatakan, bahwa tipologi pesantren dapat dilihat dari
aspek jumlah santri dan pengaruhnya, yaitu sebagai berikut:
Pertama: Pesantren yang santrinya kurang dari 1000 orang dan pengaruhnya
hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren kecil.
Kedua: Pesantren yang santrinya antara 1000-2000 orang dan pengaruhnya
pada beberapa kabupaten, disebutnya sebagai pesantren menengah.
Ketiga: Pesantren yang santrinya lebih dari 2000 orang dan pengaruhnya
tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi dapat
digolongkan sebagai pesantren besar.64

Sementra itu, Amin Haedari mengelompokkan tipe terbaru dari sebuah


pondok pesantren sebagai berikut :
Pertama: Tipe I, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal
62Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta : LP3ES, 1986), cet. ke-2,
hlm. 1-9
63B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta : Grafiti Press, 1985), cet. ke-1, hlm.
14-27
64Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 42

27
dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki
sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun
yang juga memiliki sekolah umum (SD,SMP,SMA, dan PT Umum).
Kedua: Tipe II, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu
umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
Ketiga: Tipe III, yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam
dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD).
Keempat:Tipe IV, yaitu pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat
pengajian.65

3. Komponen Pembelajaran di Pesantren


a. Tujuan Pembelajaran di Pesantren
Dalam kaedah ushul fiqh dikatakan bahwa “Al-Umur Bimaqoshidiha”
yang mengandung makna bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi
pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Hal ini karena dengan berorientasi
pada tujuan itu, dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar
untuk mangakhiri usaha, serta mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan
titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat
membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-
citakan dan yang terpenting lagi dapat memberi penilaian pada usaha-usahanya.66
Pesantren mempunyai tujuan keagamaan, sesuai dengan pribadi dari kyai
sendiri. Kebiasaan mendirikan lembaga pendidikan pesantren dipengaruhi oleh
pengalaman pribadi kyai semasa belajar di pesantren.67 Tujuan pendidikan di
pesantren sarat dengan muatan-muatan keagamaan, bahkan seorang kyai pernah
menjelaskan bahwa berdirinya pesantren adalah sebagai amal ibadah untuk
kehidupan akhirat68.
Tujuan pembelajaran di pesantren lebih mengutamakan niat untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat daripada mengejar hal-hal yang
bersifat material. Seseorang yang mengaji/mesantren disarankan agar

65Amin Haedari, op. cit., hlm. 16


66Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), cet. ke-
9, hlm 45-46
67Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1986), cet. ke-1,
hlm. 134-135
68Sukamto, op. cit., hlm. 140
memantapkan niatnya dan mengikuti pengajian itu semata-mata untuk
menghilangkan kebodohan yang ada pada dirinya.
Menurut Mashutu, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan
dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman
dan brtaqwa kepada Allah, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat
atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi
masyarakat, mampu mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian,
menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di
tengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu
dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.69
Jadi dengan demikian, tujuan terpenting dari pembelajaran di pesantren
harus berorientasi pada kemanfaatan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
proses pembelajaran dan pendirian pesantren itu sendiri, seperti kyai, santri dan
masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran di pesantren dapat
dirasakan manfaatnya bagi diri kyai dan keluarganya, para santri /pelajar, dan bagi
masyarakat yang berada di sekitar pesantren.
b. Kyai dalam Pembelajaran di pesantren
Kyai atau pengasuh pesantren merupakan komponen yang sangat essensial
bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Indonesia,
khususnya di Jawa dan Madura, sosok kyai begitu sangat berpengaruh,
kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di
lingkungan pesantren. Di samping itu, kyai pesantren biasanya juga sekaligus
sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya,
sangat wajar jika dalam pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran
seorang kyainya.
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga
jenis gelar yang saling berbeda, yaitu:
Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap
keramat, seperti “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas
yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang
tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada
seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan
mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.70

69Mashutu, op. cit., hlm. 55-56


70Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 55

29
Sementara di Jawa Barat digunakan istilah “Ajengan”, di Aceh dengan
“Tengku”, di Sumatera Barat dinamakan “Syaikh atau Buya”, dan di Kalimantan
dan NTB disebut “Tuan Guru”. Bagi masyarakat Islam tradisional, kyai di
pesantren dianggap sebagai figur sentral yang diibaratkan kerajaan kecil yang
mempunyai wewenang dan otoritas mutlak (power and authority) di lingkungan
pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang berani melawan
kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya), kecuali kyai lain yang lebih
besar pengaruhnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan
kyai dalam proses pembelajaran di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai
pengajar atau pendidik semata, akan tetapi lebih dari itu kyai berkedudukan pula
sebagai penjaga moral masyarakatnya.

c. Santri dalam Pembelajaran di Pesantren


Komponen yang tak kalah pentingnya dalam proses pembelajaran di
pesantren adalah santri. Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren.
Seorang ulama bisa disebut sebagai kyai kalau memiliki pesantren dan santri yang
tinggal dalam pesantren tersebut untuk mampelajari ilmu-ilmu agama Islam
melalui kitab-kitab kuning. Oleh karena itu, eksistensi kyai biasanya juga
berkaitan dengan adanya santri di pesantrennya.
Pada umumnya, santri terbagi dalam dua kategori, yaitu sebagai berikut:
Pertama, santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap di pesantren. Kedua, santri kalong, yaitu para siswa yang berasal dari
desa-desa di sekitar pesantrennya.71 Santri mukim yang paling lama tinggal
(santri senior) di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri
yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari.
Santri senior juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri yunior tentang
kitab dasar dan menengah.
Adapun santri kalong umumnya adalah para anak-anak penduduk yang
berada di sekitar pesantren yang mengikuti pengajian di pesantren tersebut. Oleh
karena itu mereka sering bolak-balik dari rumahnya sendiri. Para Santri kolong

71Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 51-52


berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas pesantren lainnya.
Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kolong,
maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Sebaliknya, pesantren kecil
memiliki lebih benyak santri kolong daripada santri mukim.
Menurut Amin Haedari dan Abdullah Hanif, alasan utama seorang santri
tinggal di pesantren di anataranya adalah karena:
Pertama: Berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam
secara lebih mendalam langsung di bawah bimbingan seorang kyai
yang memimpin pesantren tersebut.
Kedua: Berkeinginan memperoleh pengalamann kehidupan pesantren, baik
dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan
pesantren-pesantren lain.
Ketiga: Berkeinginan memusatkan perhatian pada studi di pesantren tanpa
harus disibukkan dengan kewajiban sehari-hari di rumah. Selain itu,
dengan menetap di pesantren, yang sangat jauh letaknya dari rumah,
para santri tidak akan tergoda untuk pulang balik, meskipun
sebenarnya sangat menginginkannya.72

Jadi dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan


santri adalah para siswa yang belajar di pesantren. Mereka sama kedudukannya
dengan siswa-siswa yang sekolah di pendidikan umum.

d. Materi Pembelajaran di Pesantren


Ciri-ciri khusus dalam pembelajaran di pesantren adalah isi kurikulum
atau materi pembelajarannya dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama Islam,
misalnya ilmu sintaksi arab, morfologi arab, hukum Islam, hadist, tafsir, al-Qur-
an, teologi Islam, tasawuf, tarikh Islam, dan retorika/ mantiq. 73 Literatur-literatur
ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah kitab kuning
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, kitab-kitabnya berbahasa Arab. Kedua, umumnya tidak memakai
syakal, bahkan tanpa titik dan koma. Ketiga, berisi keilmuan yang cukup
berbobot. Keempat, metode penulisannya diangggap kuno dan relevansinya
dengan ilmu kontemporer kerapkali tampak menipis. Kelima, lazimnya dikaji dan

72Amin Haedari dan Abdullah Hanif, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas
dan Tantangan Kompleksitas Global,( Jakarta : IRD Press, 2004), cet. ke. 1, hlm. 36
73Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta :
Mulia Offsert, 1999), cet. ke-1, hlm. 26

31
dipelajari di pesantren. Keenam, banyak diantara kertasnya berwarna kuning.74
Di kalangan pesantren sendiri, di samping istilah Kitab Kuning, beredar
juga istilah kitab klasik (al-kutûb al-qâdimah), untuk menyebut jenis kitab yang
sama. Bahkan, karena tidak dilengkapi dengan baris (syakl), kitab kuning juga
kerap disebut dikalangan pesantren sebagai kitab gundul. Dan karena rentang
waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang
menjuluki kitab kuning ini dengan istilah “kitab kuno”.75
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa materi
pembelajaran di pesantren mempunyai ciri khas tersendiri, terutama dilihat dari
segi kitab yang diajarkannya hingga materi ajarnya yang keseluruhannya
berbahasa Arab dengan menitik beratkan pada pengajaran ilmu-ilmu agama Islam.

e. Metode Pembelajaran di Pesantren


Ada beberapa metode pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren,
diantaranya: sorongan , weton/bandongan, halaqah, hafalan, hiwar, bahtsul
masa’il, fathul kutub, dan muqaranah. Metode-metode pembelajaran tersebut
tentunya belum mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada
di pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan
tersebut. Disini penulis hanya menjelaskan tiga buah metode, yaitu sebagai
berikut:

1) Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorong (bahasa Jawa), yang berarti
menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau
pembantunya.76 Sedangkan menurut Amir Hamzah Wijosukarto, yang dimaksud
dengan metode sorongan adalah metode pembelajaran di pesantren yang santrinya
cukup pandai mensorongkan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca
di hadapannya.77

74Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial dan Budaya, (Jakarta: Bina Ilmu, 1996), hlm. 103-
104
75Ali Yafie, “Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam”, Pesantren, VI, I, (Jakarta :
Wacana Ilmu, 1988), hlm. 3
76Habib Chirzin, Ilmu dan Agama dalam Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1995), cet. ke-1, hlm.
88
77Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember :
2) Wetonan atau Bandongan
Istilah wetonan berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang berarti waktu,
sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan
atau sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan metode
kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai
yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan padanya.78
3) Halaqah
Metode halaqah merupakan kelompok kelas dari metode bandongan.
Halaqah yang arti menurut bahasa, yaitu lingkaran murid, atau sekompok siswa
yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu
tempat. Halagah ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan
untuk mempertanyakan kemungkinan besar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh
kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab.79
Jadi dengan demikian, metode yang umumnya digunakan dalam
pembelajaran di pesantren terdiri dari tiga buah, yaitu: sorongan,
wetonan/bandungan, dan halaqah/musyawarah. Namun demikian, ada juga
pesantren yang menggunakan metode lainnya seperti muqaranah dan lainnya.
Pengunaan metode ini dilaksanakan khusus dalam pembelajaran terhadap kitab-
kitab klasik dan umumnya berlaku bagi pesantren yang bersifat tradisional
(salafiyah).

C. PENDIDIKAN ISLAM
1. Pengertian Pendidikan Islam
Di dalam Islam ada dua istilah yang dipakai untuk pendidikan, yaitu
tarbiyah dan ta’dib. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok.
Menurut Nuqaib al-Atas, tarbiyah secara semantik tidak khusus ditujukan untuk
mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesiaes lain, seperti mineral,
tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengadung arti

Muria Offset, 1985), hlm. 26


78Habib Chirzin, op. cit., hlm. 88
79Mastuhu, op. cit., hlm. 61

33
mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara,
membesarkan, memproduksi hasil yang sudah matang dan menjinakkan80
Adapun ta’dib mengacu pada pengertian (ilm), pengajaran (ta’lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dari itu katanya “ta’dib” merupakan istilah yang
paling tepat dan cermat untuk menunjukan pendidikan dalam Islam.81
Dalam pembahasan ini, Istilah pendidikan Islam perlu ditegaskan terlebih
dahulu, bahwa kata Islam merupakan kata kunci yang berfungsi sebagai sifat,
penegas dan pemberi ciri khusus bagi kata pendidikan. Dengan demikian,
pengertian pendidikan Islam menunjukan makna pendidikan secara khas memiliki
ciri islami yang berbeda dengan model pendidikan lainnya.
Menurut UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 1, yang dimaksud dengan pendidikan adalah :
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.82
Pendidikan secara sederhana dan umum dapat diartikan sebagai usaha
manusia unuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan
baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat dan kebudayaan.83 Sedangkan Menurut Ngalim Purwanto, Pendidikan
adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.84
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada
term al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang
sering digunakan adalah al-tarbiyah. Pengunaan istilah al-tarbiyah berasal dari
kata rabb. Walupun kata ini memiliki banyak arti, tetapi pengertian dasarnya

80Shed Muhammad Al-Nuqaib al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terjemahan Haidar
Bagir, (Bandung : Mizan, 1984), hlm. 66
81Ibid., hlm. 74 - 75
82Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidkan Islam
Nasional
83Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta : RinekaCipta, 2001), hlm. 1-2
84M Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosda
karya, 1991), hlm. 11
menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan
menjaga kelestarian atau eksistensinya.85
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami secara
singkat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan Jasmani dan rohani yang
berpedoman kepada ajaran Islam untuk mencapai kepribadian Muslim. Disamping
itu pendidikan berfungsi untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh
kehidupan yang indah di dunia dan kehidupan yang indah di akhirat serta
terhindar dari siksaan Allah yang maha pedih.
Berbeda dengan pendidikan Barat yang bertitik tolak dari filsafat
pragmatisme, yaitu yang mengukur kebenaran menurut kepentingan waktu,
tempat dan situasi, dan berakhir pada garis hajat.86 Filsafat ilmunya adalah
kegunaan/utilities.87 Fungsi pendidikan tidaklah sampai untuk menciptakan
manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di akhirat, akan tetapi
terbatas pada kehidupan duniawi semata.

2. Sistem dan Komponen-komponen Pendidikan


a. Sistem Pendidikan Islam
Menurut Mastuhu, Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari
seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu, dan saling
melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah
menjadi cita-cita bersama para pelakunya.88 Kerja sama antar para pelaku ini
didasari, digerakkan, digairahkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai luhur yang
dijunjung tinggi oleh mereka.
Dengan demikian, sistem pendidikan Islam, secara makro merupakan
usaha pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang didasarkan kepada
ajaran Islam, dan berdasarkan atas pendekatan sistemik sehingga pelaksanaan
operasionalnya terdiri dari berbagai sub-sub sistem dari jenjang pendidikan pra-
dasar, menengah dan perguruan tinggi yang harus memiliki vertikalisasi dalam

85Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dann Praktis,
(Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 25-26
86Lihat Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Proyek Pembinaan Pendidikan
Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, 1984), hlm. 12
87Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : FIP.IKIP, 1983), hlm. 23
88Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999), hlm. 6

35
kualitas pengetahuan dan tekhnologi yang makin optimal, dan setiap tingkat
mencerminkan meningkatnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dan
arahnya tetap menjiwai pribadi peserta didik, yang sejalan dengan tuntutan al-
Qur’an dan al- Hadits.
b. Komponen-komponen Pendidikan Islam
1) Tujuan
Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai seseorang atau sekelompok orang
yang melakukan suatu kegiatan.89 Setiap tindakan atau usaha yang dilakukan
harus berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan merupakan masalah
sentral dalam proses pendidikan.
Menurut Mulyasa tujuan pendidikan nasional apabila dilihat pada jenjang
pendidikannya, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
(a) Tumbuh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. (b) Tumbuh sikap beretika ( sopan santun dan beradab), (c) Tumbuh
penalaran yang baik (mau belajar, ingin tahu, senang membaca, memiliki
inovasi, berinisiatif, dan bertanggung-jawab), (d) Tumbuh kemampuan
komunikasi/sosial (tertib, sadar aturan, dapat bekerja sama dengan teman,
dan dapat berkompetisi), (e) Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan
badan.90

Sedangkan apabila dilihat dari kompetensi lulusan untuk tingkat


pendidikan dasar dan menegah untuk sekolah atau madrasah, menurut Depdiknas
dalam bukunya Mulyasa adalah: (a) Mengenali dan berperilaku sesuai dengan
ajaran agama yang diyakini, (b) Mengenali dan menjalankan hak dan kewajiban
diri, beretos kerja, dan peduli terhadap lingkungan, (c) Berfikir secara logis, kritis
dan kreatif serta berkomunikasi melalui berbagai media, (d) Menyenangi
keindahan, (e) Membiasakan hidup bersih, bugar dan sehat, (f) Memiliki rasa
cinta dan bangga terhadap bangsa dan tanah air.91

Pendidikan sebagai suatu proses yang bertahap dan bertingkat, maka


memerlukan tujuan yang bertahap dan bertingkat pula. Secara umum, tujuan
Pendidikan itu terbagi kepada empat kategori, yaitu tujuan umum, tujuan akhir,

89Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), hlm. 28
90E Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hlm.
26
91 Ibid., hlm. 28
tujuan sementara, dan tujuan operasional.92 Tujuan umum ialah tujuan yang akan
dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan
cara lain.93 Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan seperti sikap, tingkah
laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Dalam konteks pendidikan di
Indonesia tujuan pendidikan umum adalah tujuan nasional.
Dari pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan
Islam itu ialah mengarahkan dan membimbing manusia melalui proses pendidikan
sehingga menjadi orang dewasa yang berkepribadian muslim yang bertaqwa,
berilmu pengetahuan dan keterampilan, melaksanakan ibadah kepada Tuhannya
sesuai dengan niali-nilai ajaran Islam. Tujuan umum pendidikan Islam ialah
muslim yang sempurna, manusia yang bertaqwa, manusia yang beriman, atau
manusia yang beribadah kepada Allah SWT.

2) Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung-jawab memberi
bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai
makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai
individu yang dapat berdiri sendiri.94
Sementara Ahmad Tafsir mengatakan pendidik dalam Islam ialah siapa
saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan anak didik, dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif,
potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.95
Pendidikan Islam menggunakan tanggung-jawab sebagai dasar untuk
menentukan pengertian pendidik, sebab pendidikan merupakan kewajiban agama,
dan kewajiban ini dibebankan kepada orang yang sudah dewasa. Ini berarti
pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung-jawab memberi pertolongan
pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai
tingkat kedewasaan. Kewajiban ini bersifat personal, dalam arti setiap orang

92 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 30-32
93 Ibid., hlm. 30
94Nur Uhbiyati, op. ci.t., hlm. 65
95Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 74

37
bertanggung-jawab atas pendidikan dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial,
dalam arti setiap orang bertanggung-jawab atas pendidikan orang lain.

3) Peserta didik
Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk
menunjukkan pada anak didik. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara
harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz
(jamaknya) talamidz yang berarti murid, dan thalib al-Ilm yang menuntut ilmu,
pelajar atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada
seseorang yang tengah menmpuh pendidikan. Perbedaannya hanya terletak pada
penggunaannya. Pada sekolah dasar yang tingkatannya rendah seperti SD
digunakan istilah murid dan tilmidz, sedangkan pada sekolah yang tingkatannya
lebih tinggi seperti SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi digunakan istilah thalab al-
ilm.96
Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai
orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan
pengarahan. Dalam pandangan Islam hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan
proses memperolehnya dilakukan melalui belajar tanpa guru.
Dalam pandangan yang lebih modren, anak didik tidak hanya dipandang
sebagai objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan
juga harus diberlakukan sebagai subjek pendidikan.97 Hal ini antara lain dilakukan
dengan melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar
mengajar. Karena peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang
memiliki keinginan, cita-cita, dan tujuan, sehingga ia harus aktif dalam proses
kegiatan pendidikan.
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh
berkembang, baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan
pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Anak atau subjek adalah orang yang
belum dewasa dan sedang berada dalam masa perkembangan menuju pada
kedewasaannya masing-masing.98
96Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1996), hlm. 79
97Ibid., hlm. 79
98Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 86
4) Kurikulum
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni curriculum yang awalnya
mempunyai pengertian a running course, dan dalam bahasa Perancis yakni
courier berarti to run yang artinya berlari. Istilah ini kemudian digunakan untuk
sejumlah mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh untuk mencapai suatu
gelar penghargaan dalam dunia pendidikan,yang dikenal dengan ijazah .99
Kata kurikulum mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan
sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama
kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. pada tahun itu, kurikulum digunakan
dalam bidang olah raga, yakni sesuatu hal yang membawa orang dari start sampai
ke finish. Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang
pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan. Dalam kamus
tersebut, kurikulum diartikan dua macam, yaitu:
Pertama: Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa
di sekolah/perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
Kedua: Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga
pendidikan.100
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan
pendidikan tertentu. Batasan ini mencerminkan hal-hal sebagai berikut: Pertama,
pendidikan itu adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan. Kedua, di dalam
kegiatan pendidikan itu terdapat suatu rencana yang disusun atau diatur. Ketiga,
rencana tersebut dilaksanakan di sekolah melalui cara-cara yang telah
ditetapkan.101
Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan, sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan pengajaran
pada semua jenis dan tingkat sekolah. Komponen kurikulum dalam pendidikan
sangat berarti, karena merupakan operasionalisasi tujuan yang dicita-citakan,
bahkan tujuan tidak akan tercapai tanpa keterlibatan kurikulum.

99Abdullah Ali, Pengembangan, Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1999), hlm. 3
100Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 53
101Zakiyah Daradjat, op. cit., hlm.122

39
Sedangkan yang dimaksud kurikulum pendidikan Islam adalah semua
bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dalam suatu sistem
pendidikan.102 Bahan atau materi pelajaran sebagai isi kurikulum pada dasarnya
merupakan bahan-bahan pelajaran yang dapat mengantarkan anak didik mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
Dalam ilmu pendidikan Islam, kurikulum merupakan komponen yang
penting karena merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diproses di dalam
sistem kependidikan Islam. Ia juga menjadi salah satu bagian dari bahan masukan
yang mengandung fungsi sebagai alat pencapai tujuan (input instrumental)
pendidikan Islam.
Kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya merupakan refleksi
paradigma pengetahuan menurut Islam. Secara mendasar akan meliputi dua
kebutuhan dasar manusia yakni yang berorientasi pada kebutuhan material dan
yang berorientasi pada kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan ini bagaimanapun
tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dalam penyusunan kurikulum pendidikan
Islam .103
5) Metode
Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum,
metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan
pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis .104
Dalam proses belajar mengajar, metode berarti cara yang digunakan untuk
menyampaikan mata pelajaran dalam upaya mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Metode sangat befungsi dalam menyampaikan pelajaran. Metode
pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya
proses belajar-mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh
karena itu, metode yang ditetapkan oleh seorang guru dapat berdaya guna dan
berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang

102Nur Uhbiyati, op. cit., hlm. 161


103Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 99
104Muhibin Syah, op. cit., hlm. 201
telah ditetapkan .105
Menurut Armai Arif, terdapat beberapa metode pengajaran yang dikenal
secara umum, yaitu: (a) metode ceramah, (b) metode diskusi, (c) metode
eksperimen, (d) metode demonstasi, (e) metode pemberian tugas, (f) metode
sosidrama, (g) metode drill, (h) metode kerja kelompok, (i) metode tanya jawab,
(j) metode proyek.106

Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang


sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana yang
dapat memberikan makna terhadap materi pelajaran yang tersusun dalam
kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh
anak didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah
lakunya.107 Tanpa metode suatu materi pelajaran tidak akan dapat terserap secara
efektif dan efisien dalam kegiatan belajar-mengajar menuju tujuan pendidikan
6) Sarana dan Prasarana
Istilah sarana dan prasarana pendidikan biasa disebut dengan peralatan
pendidikan, yang meliputi hard ware (perangkat keras) dan soft ware (perangkat
lunak). Menurut Usman dan Asnawir, alat atau media adalah merupakan sesuatu
yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan
kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada
dirinya.108
Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang
digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat
keras dan perangkat lunak.109 Sedangkan yang dimaksud dengan alat pendidikan
Islam yaitu segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam.110
105Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia,
2001), hlm. 163
106Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Press,
2001), hlm. 42
107Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Ibid., hlm. 163
108M Basyirudin Usman dan Asnawir, Media Pembelajaran, (Jakarta : DeliaCitra Utama,
2002), hlm. 11
109Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 90
110Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 53

41
7) Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah
assesment. yang berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang
dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sementara
Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan kurikuler berupa
penilaian untuk mengetahui berapa persen tujuan tadi dicapai.111
Sementara menurut Armai Arief, bahwa yang dimaksud dengan evaluasi
atau penilaian dlam pendidikan adalah keputusan-keputusan yang diambil dalam
proses pendidikan secara umum; baik mengenai perencanaan,pengelolaan, proses,
dan tindak lanjut pendidikan atau yang menyangkut perorangan, kelompok
maupun kelembagaan.112 Jadi, yang dimaksud dengan evaluasi dalam pendidikan
Islam adalah pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan
Islam guna melihat sejauh mana keberhasialn yang elaras dengan nilai-nilai Islam
sebagai tujuan dari pendididkan Islam itu sendiri.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian
terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan perhitungan yang bersifat
komprehensif dari seluruh apek-aspek kehidupan mental psikologi dan spiritual-
religius, karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang
tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang
sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.

D. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM


Masalah pengembangan aktivitas kependidikan Islam di Indonesia pada
dasarnya sudah berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang
dan hingga yang akan datang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena
tumbuhkembangnya program dan praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan di
nusantara. Buchori memetakan struktur internal pendidikan Islam Indonesia, jika
ditilik dari aspek program dan praktik pendidikannya ke dalam 4 (empat) jenis,
yaitu (1) pendidikan pondok pesantren; (2) pendidikan madrasah; (3) pendidikan

111Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 55


112Armai Arief, op. cit., hlm. 54
umum yang bernafaskan Islam; dan (4) pelajaran agama Islam yang
diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata
pelajaran atau mata kuliah saja.113
Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid
dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan
pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali
oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam114, atau "Pendidikan Islam
mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman
pada syariat Allah.115 Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge"
ataupun "transfer oftraining", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata
di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung
dengan Tuhan.116 Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan
sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Dengan demikian, pendidikan merupakan sarana terbaik untuk
menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan
ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh
secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari
adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia.117
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu
berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak
mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila
pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan
ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri.

113Muchtar Buchori, Pendidikan Islam Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa
Depan, dalam Muntaha Azhari & Abd.Mun’in Saleh (Ed.), Islam Indoensia Menatap Masa
Depan, (Jakarta : P3M, 1989), hlm. 184
114Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education". Terj. Rahmani
Astuti, Krisis Pendidikan Islam, ( Bandung : Risalah, 1986), hlm.2
115Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulul Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa
Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan
Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 26
116Roehan Achwan, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam,
(Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1991),Volome.1, hlm. 50
117Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,
( Jakarta : Amisco, 1996), (Comference Book, London, 1978), hlm. 15-17

43
Muhaimin berpendapat, bahwa pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia, terutama pada periode sebelum Indonesia merdeka (1900-
menjelang 1945), agaknya lebih ditujukan pada upaya menghadapi pendidikan
kolonial. Pada periode tersebut diduga muncul berbagai problem isu-isu
pendidikan Islam yang menonjol, yang merupakan diskursus dalam
pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir,
pengembang dan pengelola pendidikan Islam di Indoneisa.157
Lebih lanjut Suroyo berpendapat bahwa untuk mengembangkan
pendidikan Islam ke arah yang lebih bermutu, maka persoalan yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada
dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau
mengkomunikasikannya. Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu
diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu
(1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3)
persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi
antara satu dengan lainnya. Pertama, Persoalan dikotomi pendidikan Islam,
yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang.
Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu
umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu
bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan
adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.118

Lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua


fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan
mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau
mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu
bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas, bahwa
pengembangan pendidikan Islam merupakan suatu bentuk tindakan yang
dilakukan dengan memperhatikan paradigma pendidikan agar pendidikan Islam
tidak selalu tertinggal dibanding dengan pendidikan Barat, maka sikap dan pikiran
masyarakat harus di arahkan kepada pendidikan yang sesuai dengan tuntunan al-
Qur’an dan al-Hadits. Faktor terjadinya pengembangan ini berasal dari dalam diri
masyarakat maupun berasal dari luar diri masyarakat terutama lembaga

118Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000,
dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa,
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 45
pendidikan Islam seperti Pondok Pesantren.119

BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis
119Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta : Amisco, 1996), hlm. 3

45
Pesantren Thawalib terletak di Nagari Tanjung Limau desa Simabur
kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Tanjung Limau termasuk
kenagarian Simabur Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar terdiri dari
dataran seluas 139 ha yang terletak 11,5 Km dari ibu kota Kabupaten dan 1,5 Km
dari ibu kota Kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Jorong Simabur dan
Jorong Koto Tuo, sebelah selatan berbatasan dengan Jorong Batu Basa, sebelah
timur dengan Kenagarian Tabek dan sebelah barat dengan Koto Baru.120
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah salah satu lembaga
Pendidikan Agama tertua di Minangkabau Khususnya Kabupaten Tanah Datar
.Pesantren ini dibangun di atas tanah wakaf seluas 16.000 m2 yang tempo dulu
atau sekita tahun 1920-an merupakan sebuah Surau (tempat mengaji dan belajar
agama) dan kemudian berkembang menjadi perguruan Thawalib, dan akhirnya
tahun 1972 berobah menjadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Pesantren ini sangat mudah dijangkau, karena letak pesantren ini tepat di
pinggir jalan desa yang dilalui oleh kendaraan umum yang akan menuju pasar
kecamatan, disamping itu, untuk menuju pesantren ini juga dapat menaiki
angkutan roda dua atau ojek dengan biaya Rp. 2000,-.
Mengingat tempatnya yang strategis dilalui oleh kendaraan umum dan
dekat dengan ibu Kecamatan, maka banyak pelajar yang sekolah di pesantren ini
tidak memondok, kecuali siswa yang berasal dari luar Kabupaten Tanah Datar dan
dari daerah kecamatan tetangga. Pada umumnya santri yang memodok tersebut
adalah santri Madrasah Aliyah Keagamaan serta mereka yang ingin belajar kitab
kuning.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau
1. Cikal Bakal Thawalib Tanjung Limau
Cikal bakal berdirinya Pesantren Thawalib ini adalah dari “Surau
Gadang”121 Tanjung Limau sebagai sarana belajar mengaji bagi generasi muda

120Akta Pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau ,No. 66 tahun 1976
121Surau Gadang atau surau besar dalam bahasa Indonesia adalah tempat atau sarana belajar
mengaji (al-Qur’an dan praktek ibadah), dan tempat untuk melatih generasi muda Tanjung Limau
dalam memahami ajaran Islam lebih mendalam, di surau ini mereka dibimbing oleh seorang guru
atau Syaikh Sulaiman al-Mufassiry (ulama awal di desa Tanjung Limau), Fahrizal Alwis,
Tanjung Limau dengan menggunakan sistem halaqah. Murid laki-laki dipisahkan
dengan murid perempuan. Guru yang mula-mula mengajar di surau ini adalah
Syekh Sulaiman Al Mufassir Al mansyur, sehingga Tanjung Limau dikenal orang
sebagai tempat mengaji Tafasia (Tafsir).
Setelah Syekh Sulaiman Al Mufassir Al mansur wafat pengajian di surau
Gadang dilanjutkan oleh cucunya, H. Mukhtar Ya’qub dalam usia ± 18 tahun
yang telah menamatkan sekolahnya di Surau Jembatan Besi atau sekarang dikenal
dengan Perguruan Thawalib Padang Panjang tahun 1922 M. Semulanya H.
Mukhtar Ya’qub bermaksud akan merantau ke Palembang untuk mengembangkan
ilmu yang telah beliau pelajari, namun masyarakat Tanjung Limau juga berharap
kepadanya untuk mengajar di Surau Gadang. H. Mukhtar akhirnya membatalkan
rencana semula dan menerima amanah yang diberikan masyarakat kepadanya.122
Untuk memperlancar pendidikan di Tanjung Limau H. Mukhtar Ya’qub
bersama pemuka masyarakat berinisiatif untuk mendirikan sebuah madrasah.
Setelah diadakan musyawarah, pada tahun 1923 M dapat didirikan sebuah gedung
terdiri dari 4 lokal berlokasi diatas tanah wakaf Labai Sutan dan Datuk Tan
Majolelo.123 Semua biaya bangunan berasal dari sumbangan masyarakat Tanjung
Limau baik materil maupun tenaga.
Setelah gedung tersebut selesai dan dapat dimanfaatkan, maka sistem
pendidikanpun berobah dari sistem halaqah menjadi sistem klasikal dengan
bidang studi pengetahuan agama dan Bahasa Arab. Penyelenggaraan pendidikan
di Pondok Pesantren Thawalib ini dikelola oleh H. Mukhtar Ya’qub dan dibantu
oleh Angku Sago dari Sungayang serta oleh murid yang tingkatnya kelasnya lebih
tinggi.
Murid yang agak dewasa belajar pada pagi hari dengan nama “Thawalib”
dari nama inilah diambil nama Thawalib sampai sekarang, dan pada sore harinya

Pimpinan Pontren, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 09 Februari 2009


122Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Sejarah Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau, ( Tanjung Limau, t, th), hlm. 1
123Labai Sutan dan Datuk Tan Majolelo adalah masyarakat Tanjung Limau yang kaya raya
dan mendapat jabatan sebagai Demang dan Wali Nagari di masa pemerintahan kolonial Belanda
yang memiliki tanah yang luas, mereka mempunyai perhatian yang besar kepada pengajaran al-
qur’an dan pendidikan anak muda Tanjung Limau, Lihat Datuk Tan Majolelo, Wali Nagari Nan
Cadiak Pandai, ( Tanjung Limau, 1920), tt, hlm. 45

47
adalah waktu belajar bagi anak-anak yang dalam usia sekolah dasar dengan nama
“Diniyah School”.124 Sementara itu belajar mengaji di Surau Gadang tetap
dilaksanakan dengan sistem halaqah
Dalam catatan sejarah Minang Kabau, disebutkan bahwa H. Mukhtar
Ya’kub adalah Almnus dari Surau Jembatan Besi dengan afiliasinya sekarang
yaitu Sumatera Thawalib Parabek yang dipimpinan H. Abdul Karim Amarullah
( ayah buya HAMKA) atau yang dikenal dengan Inyiak Deer, dimana di surau ini
telah diperkenalkan belajar dengan sistem klasikal. Perubahan sistem ini
dipengaruhi oleh pembaharuan pendidikan di Timur Tengah. Sejarah berdirinya
Thawalib ini merupakan perkembangan dari Thawalib Padang Panjang. Pesantren
ini mengalami perkembangan, meskipun banyak kendala harus dihadapi, seperti
tantangan dari pemerintah Hindia Belanda. Di tahun 1923 s/d 1940 murid-murid
pesantren Thawalib ini banyak yang berasal dari Aceh, Medan, Jambi,
Tembilahan (Riau), dll.125
Pada perkembangan selanjutnya ditahun 1972 perguruan ini berobah
menjadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, perobahan ini karena salah
seorang pimpinan perguruan ini mengikuti pelatihan di Kelapa 2 Jakarta.126 Proses
belajar mengajar dengan sistem Salaf, pembelajaran dengan metode halaqah dan
sorongan mengunakan literatur kitab kuning sebagai dasar untuk mentransfer
pokok-pokok ajaran Islam Ahlulul Sunnah Waljama’ah tetap dipertahkan.
Sebenarnya pembelajaran dengan sistem kelas telah dilaksanakan di pesantren
semenjak H.Muchtar Ya’cub mengelola pesantren ini. Perubahan ini terjadi
seiring dengan terjadinya pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau
Sumatera Barat. Dalam perkembangan selanjutnya mulai dibuka sistem klasikal
dengan model madrasah. Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengikuti
perkembangan pendidikan yang ada di sekolah umum/ madrasah. Perubahan
124Diniyah School adalah sekolah yang didirikan untuk perempuan Minang oleh Zainuddin
Labai El-Yunusi pada tanggal 10 Oktober 1915, kemudian adiknya Rahmah El-Yunusiah
mendirikan pula Diniyah School Putri tanggal 1 November 1923. Tentang Diniyah School baca,
Peingatan 55 Tahun Diniyah Putri Pdang Panjang, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978), hlm.74
125Burhanuddin Daya, Gerakan Pembahruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib,
Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1995), hlm.
126Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita,
(Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan)
metode belajar ini diiringi dengan semangat dan prinsip pembaharuan di Minang
Kabau Sumatera Barat.
Model madrasah yang dimaksud adalah madrasah sebagai kelayakan
satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal yang legitimate, atau baik
berafiliasi dengan Departemen Agama. Pengunaan model ini semata-mata
bertujuan untuk mengikuti perkembangan dunia yang menglobal. Dan diharapkan
siswa yang tamat dari Pesantren Thawalib ini tidak hanya diterima di Perguruan
Tinggi Agama (IAIN/STAIN), dan diharapkan dapat juga bersaing di perguruan
tinggi umum disamping dapat mengembangkan keterampilan sebagai wiraswasta
di tengah-tengah masyarakat kelak.
Asumsi bahwa sesungguhnya pendidikan pondok pesantren merupakan
pendidikan yang membekali santri dengan masalah ukhrawi dengan pengetahuan
agama, membentuk watak mandiri, percaya pada diri sendiri, dan penguasaan
pengetahuan umum menjadi dasar pemikiran dan pertimbangan pendiri pondok
pesantren Thawalib, sehingga Madrasah yang didirikan di dalam Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini berafiliasi dengan Departemen Agama
secara Legitimate.
Sebagai pondok pesantren yang milik yayasan, sumber dana untuk
pembangunan fisik pondok pesantren disamping berasal dari keluarga, juga
memperoleh dukungan dana dari donatur dan masyarakat, serta juga mendapat
bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunannya
senantiasa melibatkan unsur keluarga dan unsur masyarakat. Begitu juga dalam
kegiatannya senantiasa melibatkan masyarakat sekitar untuk mengikuti
keagamaan di lingkungan pesantren, seperti madrasah, majlis ta’lim, maupun
pengajian rutin.

2. Perkembangan Pesantren Thawalib


Pada tahun 1928, Madrasah Thawalib Tanjung Limau ini mendapat
popularitet yang luar biasa dengan banjirnya pelajar yang mendaftarkan diri untuk
belajar di Thawalib khususnya daerah Tanah Datar bahkan ada yang berasal dari
Aceh, Tapanuli, Kurinci, Palembang, Bengkulu, Jambi, riau dan pekan baru.127
127Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Ibid., hlm. 9

49
Para murid atau santri bukan hanya sekedar menimba ilmu di kelas saja
namun mereka juga menambahnya di surau bagi laki-laki atau di asrama bagi
perempuan. Dengan makin bertambahnya jumlah murid yang belajar di Thawalib,
dapat pula dibangun lokal lainnya sehingga mencapai 11 buah lokal dibiayai dari
swadaya masyarakat, hasil sawah sekolah, infak dan sedekah termasuk uang
pembangunan dari wali murid.
Demikian pula guru yang mengajar di Thawalib bukan hanya berasal dari
Tanjung Limau, tetapi ada yang dari daerah sekitarnya, dari Lima Kaum,
Sungayang, Padang, Malalo bahkan ada yang dari Kalimantan.128 Untuk menjaga
keseimbangan proses belajar mengajar, bagi guru diberikan bidang studi sesuai
dengan keahlian mereka masing-masing, disamping itu bagi murid yang
tingkatannya lebih tinggi juga diberikan amanah untuk mengajar dan
membimbing murid dibawah tingkatannya, bahkan setelah mereka menyelesaikan
pendidikannya di Thawalib ada yang langsung menjadi guru atau melanjutkan
pendidikan ke perguruan lainnya. Jenjang kelas di Pesantren Thawalib Tanjung
Limau pada awalnya sampai kelas tujuh dan pada awal tahun 70-an berganti
menjadi Thawalib enam tahun (semenjak perobahan SGAP dan SGAA menjadi
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah)
Pada tahun 1943 diadakan perayaan milat ke-20 berdirinya Thawalib
Tanjung Limau, dengan mengundang ulama besar Minangkabau. Dalam acara
perayaan tersebut dibicarakan tentang kelancaran pendidikan dan pembangunan
Madrasah Thawalib sehingga dapat dikumpulkan dana berupa wakaf, infak,
sedekah dan zakat dan pada waktu juga dapat membeli sawah yang
berdampingan dengan sekolah sekarang ini. Dibawah kepemimpinan Buya Haji
Mukhtar pendidikan di Thawalib tidak pernah terputus mencetak kader ulama
dan muballigh baik pada masa penjajahan Belada maupun pada masa penjajahan
Jepang.
Pada tanggal 17 Mei 1945 Haji Mukhtar Ya’qub berpulang ke
Rahmatullah, selanjutnya kepemimpinan Thawalib Tanjung Limau dilanjutkan
oleh Buya Haji Isma’il Rasyad. Dengan segala daya upaya Buya (sebutan sama

128Burhanuddin Daya, op. cit, hlm. 145


dengan Kyai di Jawa) Haji Isma’il Rasyad dan majlis guru serta bantuan
masyarakat, Madrasah Thawalib tetap berlangsung dengan baik dalam melintasi
masa-masa yang sangat berbahaya bagi kehidupan sebuah lembaga pendidikan
agama seperti agresi Belanda dan pergolakan PRRI yang sangat runcing.129
Pada tanggal 30 April 1967 Buya Haji Isma’il Rasyad juga dipanggil
kehadirat Allah SWT. selanjutnya Thawalib dikendalikan oleh Angku Imam
Ibrahim. Setelah ditambahnya 4 lokal gedung yang berhadapan dengan gedung
yang lama pada masa Buya Haji Isma’il Rasyad dan gedung yang lama itupun
dirombak dijadikan dua tingkat, pada masa Angku Imam Ibrahim ditambah pula
satu lokal baru. Pada tahun 1970 didirikan pula dua lokal gedung yang sejajar
dengan gedung yang lama.130
Dengan berkembangnya Pondok Pesamtren Thawalib Tanjung limau ini,
menambah perhatian masyarakat serta wali murid, orang tua untuk memperlancar
keberadaan lembaga ini. Termasuk membangun asrama sampai tingkat dua. Pada
tahun 1976 didirikanlah Yayasan Pembina Thawalib Tanjung limau, sebagai ketua
Umum Haji Moeslim Aboud Ma’ani, MA dengan notaries Asmawel Amin, SH.
Tujuan pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau adalah “untuk
membina dan meningkatkan Perguruan Thawalib sesuai dengan Ajaran al-Qur-an
dan al-Hadits dan berusaha meneruskan dan melanjutkan cita-cita luhur almarhum
Haji Mukhtar Ya’qub.
Beberapa tahun kemudian, karena kondisi kesehatan Angku Imam
Ibrahim menurun, maka pimpinan Thawalib dijalankan oleh Haji Alwi Yunus dan
beliau juga merupakan murid tertua dari almarhun Haji Mukhtar Ya’qub. Pada
tanggal 29 Juli 1988 Haji Alwi Yunus wafat. Untuk sementara waktu roda
pimpinan Pesantren Thawalib dipimpin oleh Zaini St. Marajo. Kemudian atas
permintaan Yayasan Pembina Thawalib kepemimpinan Thawalib dilanjutkan oleh
Putra Almarhum Haji mukhtar Ya’qub, yakni Al Hafiz Haji Fahmi Mukhtar, BA.
Pada tanggal 1 Januari 1989 Departemen Agama mengangkat beliau menjadi
kepala Madrasah Aliyah Thawalib Tanjung Limau. Pada tanggal 1 Juli 2000 Al
Hafiz Haji Fahmi Mukhtar, BA pensiun dari PNS (sebagai Kepala Madrasah
129Yunus St.Mudo, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 15 Januari 2009
130Yunus St.Mudo, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 15 Januari 2009

51
Aliyah Thawalib) dan juga mengajukan permohonan mundur sebagai pimpinan
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada pengurus Yayasan Pembina
Thawalib.131
Untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau selanjutnya, atas kesepakatan pengurus Yayasan Pembina Thawalib
Tanjung Limau mengajukan permohonan kepada Kepala Departemen Agama
Kabupaten Tanah Datar untuk mengangkat Drs. Fahrizal sebagai Kepala
Madrasah Aliyah dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan Pondok Pesantren ini.
Akhirnya permohonan tersebut dipenuhi oleh pemerintah dan mulai tanggal 1
November 2000 sesuai dengan SK pengangkatannya Drs. Fahrizal ditugaskan
oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar sebagai kepala
Madrasah Aliyah dan Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau
mengamanahkan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Dari paparan kondisi gambaran pondok Pesantren di atas, dapat penulis
simpulkan bahwa pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mampu mencetak
generasi awal yang handal dan merubah sistem pendidikan seiring dengan
terjadinya perubahan pendidikan di Sumatera Barat khususnya di Kabupaten
Tanah Datar, dan penulis ingin melihat bagaimana peranan Thawalib Tanjung
Limau dalam pengembangan pendidikan Islam sehingga, pesantren ini kembali
pada kejayaan seperti tempo dulu.
C. Sarana dan Prasarana
Istilah sarana dan prasarana pendidikan biasa disebut dengan peralatan
pendidikan, yang meliputi hard ware (perangkat keras) dan soft ware (perangkat
lunak). Menurut Usman dan Asnawir, alat atau media adalah merupakan sesuatu
yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan
kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada
dirinya.132
Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang
digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat

131Dokumen Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau tahun 2000


132M. Basyirudin dan Usman Asnawir, Media Pembelajaran, (Jakarta : DeliaCitra Utama,
2002), hlm. 11
keras dan perangkat lunak. Sedangkan yang dimaksud dengan alat pendidikan
Islam yaitu segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam.133
Berdasarkankan hasil dokumentasi, Pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau menempati lahan seluas 16.000 m2 yang sebagian besar digunakan untuk
kegiatan pengajaran, diantaranya; Pertama: Bangunan Masjid 1 buah, Mesjid
dengan arsitektur yang indah dan berkubah, dan memiliki menara. Dihadapan
Mesjid, (di dalam pekarangan mesjid) terletak makan pendiri Pesantren, dan di
samping kiri merupakan tempat berwudhu dan memiliki Toilet (WC) yang bagi
menjadi dua bagian, yaitu untuk pria dan wanita. dan tempat berwudhu lainnya
ada di belakang mesjid. Di sebelah kanan mesjid terletak Asrama dan tempat
pendidikan taman kanak-kanak (Raudlatul Atfal) milik masyarakat, yang sebentar
lagi akan diserahkan sebagai wakaf kepada yayasan. Kedua: Rumah Kyai/Buya
1 buah, Rumah kyai awal terbuat dari bambu dan sekarang telah semi permanen
yang terletak di belakang Asrama putri,bangunan ini dilengkapi dengan dapur
umum untuk memasak bagi santri yang memondok. Ketiga: Asrama 1 kompleks
dihadapan Masjid arah ketimur itulah ditemukan lokasi dari kampus lama yang
sudah bertingkat dua. Bagian depannya seberang jalan sekarang sudah dibangun
gedung baru dan kantor Koperasi pondok pesantren. Disebelah utaranya kantor
majelis guru dan administrasi sekolah. Lalu di jejeran sebelah kantor ruangan
kelas dan dibelakang itu asrama putera. Keempat: Ruang belajar 10 lokal. Kelima:
Ruang Kepala Pondok 1 lokal, Keenam: Ruang majlis guru 1 lokal. Ketujuh:
Ruang perpustakaan 1 lokal.
Sebagai penunjang proses pendidikan formal bagi siswa disediakan
perpustakaan yang terletak di dekat kampus sehingga sangat memudahkan bagi
siswa untuk membaca dan meminjam buku. Sampai saat ini perpustakaan
Thawalib memiliki koleksi buku sebanyak 12.000 exemplar yang terdiri dari :
Buku Agama = 686 Judul = 5187 exp, buku Umum = 699 Judul = 6515 exp.
Buku-buku tersebut berasal dari bantuan Departemen Agama, bantuan Dermawan
dan alumni, bantuan Departemen Pendidikan Nasional, dibeli dari anggaran
133Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Perspektif Islami, (Bandung : Rosda Karya, 2007), hlm.
53

53
Pesantren,dan berasal dari kenang-kenangan siswa kelas 3 Aliyah.
Disamping itu untuk mengembangkan bakat dan minat para santri,
pesantren juga menyediakan sarana dan prasarana lain, seperti; ruang TPUS
(Tempat Perbaikan Usaha Santri) 1 lokal, lapangan volly 1 unit, laboratarium
bahasa dan Komputer 1 lokal, dan koperasi Pesantren Thawalib 1 lokal134
Pada intinya, seluruh bagunan dan lahan yang ada di lingkungan pesantren
ini dimanfaatkan untuk menambah wawasan keterampilan para santri secara alami
guna bekal kehidupan mereka setelah terjun ke masyarakat. Disamping itu pihak
pimpinan pesantren juga melakukan kerja sama dengan tenaga ahli dalam bidang
keterampilan menjahit, bahasa Jepang dan computer.
Pondok pesantren Thawalin Tanjung Limau mengunakan media pendidikan
untuk menyalurkan pesan, pikiran, perasaan yang secara kreatif dapat
meningkatkan keterampilan siswa/santri sesuai dengan visi misinya. Media
pendidikan yang digunakan antara lain:
Pertama: Media visual, meliputi: gambar/photo, diagram chart, peta/globe,
poster dan papan tulis.
Kedua: Media audio,meliputi: radio, tv, tape recorder, abotarium bahasa,
OHP, dan Komputer.
Ketiga: Media cetak, meliputi: Al-Qur’an, kitab-kitab klasik, dan
majalah/bulten.
Hal penting yang telah dilakukan oleh pondok pesantren Thawalib
Tanjung Limau dalam pemakaian media pendidikan ialah adanya kemauan
mengunakan produk budaya asing semacam OHP (Over Head Proyector) dan
Komputer untuk menghasilkan pembelajaran yang lebih berkualitas.

D. Struktur Organisasi dan Kepengurusan Pesantren Thawalib


Pembahasan mengenai struktur organisasi Pesantren Thawalib Tanjung
Limau di bagi ke dalam empat bagian, yaitu: status kelembagaan, struktur
organisasi, gaya kepimpinan,dan susksesi kepimpinan.
Status kelembagaan pesantren Thawalib adalah sebagai milik institusi

134Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Laporan Pondok Pesantren Thawalib


Tanjung Limau Tahun Ajaran 2006/2007, (Tanjung Limau : Tidak diterbitkan, 2006)
Yayasan pembina Thawalib Tanjung Limau. Hal ini karena tanah yang
dipergunakan untuk bangunan pesantren adalah milik keluarga Ya’cub (ayah
pendiri pesantren Thawalib) dan H. Ismail. Sedangkan pimpinan pesantren itu
sendiri diangkat dan ditunjuk oleh keluarga yayasan. Pada perkembangan
selanjutnya pimpinan pesantren diangkat oleh Departemen Agama.
Pada dasarnya struktur organisasi pesantren dapat digolongkan menjadi
dua sayap sesuai dengan pembagian jenis nilai yang mendasarinya, yaitu nilai
agama dengan kebenaran absolut dan nilai sosial dengan kebenaran relatif. Sayap
pertama penjaga nilai kebenaran absolut, dan sayap kedua penjaga nilai kebenaran
relatif yang bertanggung jawab pada pengamalan nilai kebenaran absolut baik di
dalam pesantren maupun diluar pesantren, sedangkan sayap pertama bertanggung
jawab pada kebenaran atau kemurnian agama.
Sesuai dengan hirarkis pembagian jenis nilai, maka sayap-1 mempunyai
supremasi terhadap sayap-2, dan oleh karena itu sayap-2 tidak boleh bertentangan
dengan sayap-1, apalagi kalau sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang
melanggar aqidah syari’ah agama dan sunnah. Sayap-1 merupakan sumber
informasi dan konfirmasi bagi sayap-2 dalam melakukan tugas sehari-hari. Ajaran
buya/kyai, ustaz dan kitab-kitab agama yang diajarkan di pesantren diyakini
sebagai memiliki kebenaran absolut oleh santri, dan oleh karena itu tidak perlu
dipertanyakan lagi kebenarannya, hanya perlu dipahami maksudnya.

Tabel. 1
STRUKTUR ORGANISASI
PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU
Keterangan
No Jabatan Nama

1 Pimpinan Pondok/Madrasah Buya Fahrizal Alwis

2 Syaikhul Pondok/Madrasah Buya H. Sofyan Muchtar

Buya Rifyal Ka’bah

55
3 Kepala Tingkat Aliyah Drs. Fahrizal Alwis

4 Kepala Tingkat Tsanawiyah Imran, S.Ag

5 Wakabid Kurikulum Kasnida, S.Ag

6 Wakabid Sarana Ustadz Turmizi

7 Wakabid Pendidikan Miftah Novi.T,S.Ag

8 Kepala Tata Usaha Asra, S.P

9 Bendahara H. Amiruddin

Gaya kerja dalam struktur organisasi di Pesantren Thawalib Tanjung


Limau umumnya masih merupakan garis lurus ke depan. Artinya, setiap unit kerja
bergantung pada atasan langsung. Keberhasilan kerja dalam struktur organisasi
pesantren secara kerja antar unit kerja bersifat co-acting bukan inter-acting, yaitu
sama dengan keberhasilan kerja suatu tim, di mana masing-masing unit kerja
bekerja sendiri-sendiri, kemudian hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh tim.
Kemudian gaya kepemimpinan yang ditampilkan di Pesantren Thawalib
Tanjung Limau bersifat kolektif dengan menempatkan pimpinan pesantren
sebagai pimpinan tertinggi yang memiliki kedudukan dan kekuasan yang sangat
kuat dan mantap. Ciri-ciri gaya kepemimpinan yang ada di Pesantren Thawalib
Tanjung Limau di antaranya adalah paternalistik dan free rein leardership/laisser
faire, di mana pimpinan pesantren bersifat pasif, sebagai bapak yang memberikan
kesempatan kepada anak-anaknya untuk berkreasi, tetapi juga otoriter, yaitu
memberikan kata-kata final untuk memutuskan apakah karya anak buah yang
bersangkutan dapat diteruskan atau harus dihentikan.
Suksesi kepemimpinan di pesantren Thawalib Tanjung Limau awalnya
dilakukan dengan sistem musyawarah setelah meninggalnya pimpinan terdahulu.
Kemudian dengan berafiliasinya pesantren ini di bawah Departemen Agama,
maka susksesi kepemimpinannya langsung ditunjuk dan ditetapkan oleh
Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar. Pimpinan ini tertuju untuk kepala
Madrasah Tsanawiyah dan kepala Madrasah Aliyah. Saat ini kepala Madrasah
Tsanawiyah dipimpin oleh Irman, S.Ag, sedangkan kepala Madrasah Aliyah
dipimpin oleh Drs. Fahrizal dan sekaligus bertindak sebagai pimpinan Pesantren.
Di Pesantren Thawalib Tanjung Limau, seluruh Buya, Ustadz dan santri
senior yang mengasuh pesantren dan mendampingi pimpinan pesantren adalah
unsur pengurus yang memberi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan
pengurus pembina pesantren. Di samping itu juga ada pengurus lain yang bertugas
mengurus hal-hal yang sifatnya teknis operasional dan tidak secara langsung
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pendidikan dan pengajaran, misalnya
pengurus yang mengurus gedung-gedung bangunan, pendanaan, hubungan dengan
instansi-instansi lain, baik pemerintah maupun non pemerintah, dan sebagainya.
Di samping itu juga ada wakil pondok yang dikelompokkan ke dalam Dewan
pendidikan yang bertugas menyelenggarakan proses kegiatan belajar mengajar.
Semua pengurus kedudukannya adalah membantu pimpinan pesantren dalam
memperlancar kegiatan belajar mengajar di pesantren tersebut.
Jadi dengan demikian, semua unsur pelaku yang secara organisatoris
mengurus dan bertangung jawab atas kemajuan pesantren, dari sejak kyai
utama/pimpinan pesantren yang merupakan pimpinan puncak sampai ke
pembantu yang mengurus hal-hal yang sifatnya teknis operasional selama
memiliki kewenangan memutuskan dan melaksanakan apa yang menjadi
tanggung jawabnya adalah pengurus pesantren.

E. Pengelolaan dan Pendanaan Pesantren Thawalib


Sebagaimana telah ditegaskan bahwa kyai/buya pengasuh dan pimpinan
pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah pimpinan tertinggi dan tokoh kunci
pesantren. Oleh karena itu, pada dasarnya mengenai masalah pengelolaan dan
pendanaan ada di tangan kyai dan keluarganya, tetapi secara teknis operasional
ditangani oleh unit-unit kerja dalam kelompok Sayap-2 yaitu para pengurus
pesantren.
Pembagian kerja dalam pengelolaan di Pesantren Thawalib Tanjung
Limau mengunakan sistem menajemen dan administrasi modren, dalam artian
sudah menggunakan sistem manajemen dan administrasi profesional. Sebab,
pembagian kerja dari unit-unit kerja pada umumnya sudah jelas dan para
administrator juga dianggap sudah mampu. Sistem dokumentasi atau sistem filling

57
sistem sudah teratur dan akurat. Oleh karena itu, dalam pengelolaan dana, sarana,
dan dokumen-dokumen berharga lainnya, hampir dipastikan tidak ada kebocoran-
kebocoran dalam arti korupsi.
Mengenai sumber dana kegiatan Pesantren Thawalib Tanjung Limau
ada dua jenis, yaitu dari sumbangan para santri berupa iuran bulanan, dan
sumbangan dari donatur atau masyarakat yang tidak mengikat, baik pribadi
maupun kelompok, yang biasanya berupa amal jariyah, wakaf, infak, shdaqah dan
sebagainya, atau melalui proyek-proyek kerja sama, dan bantuan pemerintah pusat
maupun daerah yang sifatnya insidentil.135
Disamping itu sumber pendanaan yang digunakan oleh pesantren, yaitu
hasil pertanian dari sawah abuan 136yang dimiliki oleh pesantren, dari hasil sawah
ini bisa beli peralatan kantor, membayar gaji guru,dan jika mencukupi digunakan
untuk dana cadangan untuk pembangunan lokal dan gedung lain yang dirasa
perlu.
Pada perkembangan berikutnya di Pesantren Thawalib Tanjung Limau
telah terjadi perubahan bahwa pihak pesantren menyadari pentingnya
perencanaan-perencanan yang akurat untuk mengembangkan dirinya di masa
mendatang. Seperti, mandata jumlah alumni, lahirnya organisasi atau ikatan-
ikatan santri di pesantren tersebut, memikirkan dan memproses pembelian media
dan material untuk perluasan pesantren, pembangunan gedung-gedung baru atau
aula yang dapat menampung sejumlah santri atau audience yang diinginkan, dan
sebagainya.
Salah satu problematika yang dirasakan oleh pesantren Thawalib Tanjung
Limau, diantaranya, masih kurangnya dukungan masyarakat terutama pemerintah
daerah baik secara materi maupun mentalitas, Sebab sebagai pusat pendidikan
dan sebagai lingkungan belajar, pesantren harus didukung oleh masyarakatnya,
disamping tuntutan zaman yang berkembang diera serba teknologi. Sehingga hal
ini akan menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam dan tekhnologi yang

135Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9


Januari 2009
136Abuan berarti hak milik yang diperoleh dari pemberian atau wakaf atau hibah untuk
dikelola dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak yang mempunyai abuan itu. Seorang anak yang
sudah beranjak dewasa, biasanya sudah diberi abuan oleh orang tuanya.
terpadu di Kabupaten Tanah Datar di masa-masa mendatang,

BAB IV
ANALISIS EMPIRIK PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB
TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
DI KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT

A. Latar Belakang Berdirinya, Tujuan, Visi dan Misi Pesantren Thawalib


Tanjung Limau

59
Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau didirikan oleh H. Mukhtar
Ya'cub, ia adalah seorang tokoh agama di kecamatan Pariangan dan merupakan
alumnus dari Surau Jembatan Besi, guru yang mengajar beliau adalah Haji Rasul
(inyiak Deer)di Padang Panjang. Perguruan itu tahun 1911 berganti nama menjadi
Sumatera Thawalib.137 Pondok ini didirikan atas dasar partisipasi dan persatuan
masyarakat desa Tanjung Limau. Pondok pesantren ini didirikan tahun 1923,
tetapi dengan nama Perguruan Thawalib Tanjung Limau, pada tahun 1972 terjadi
pergantian nama madrasah diganti menjadi pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau, setelah salah seorang gurunya mengikuti latihan pembinaan tentang
pondok pesantren di Kalapa 2 Jakarta. 138
Selama pondok pesantren ini berdiri dan menjalankan fungsinya sebagai
lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama sudah mengalami
perkembangan dan juga kemunduran. Pada tahun pertama berdiri pondok ini
cukup berperan besar dalam mencetak kader ulama yang berkualitas. Tetapi
setelah terjadi PRRI di Sumatera Barat, pondok pesantren ini mengalami
kemerosotan. Hal ini disebabkan banyaknya para ulama yang mengajar di
pesantren ini yang ditangkap oleh pemerintah. Murid-murid perguruan ini berasal
dari berbagai daerah, baik sekitar lingkungan Minang Kabau, maupun dari
luarnya, seperti Tapanuli, Lampung, Bengkulu, Jambi dan Riau. Mereka belajar
dan bertempat tingkal sebuah gedung bertingkat dua yang dibangun sendiri oleh
Haji Muchtar.139
Secara umum, tujuan didirikannya Pesantren Thawalib adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama intelektual,
intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung jawab serta
berguna bagi masyarakat.140

137Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib,


( Yogyakarta : Tia Wacana Yogya, 1995), cet. ke-2, hlm. 144
138Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita,
(Jakarta : 4-5 Oktober 1991), (tidak diterbitkan), hlm. 10
139Burhanuddin Daya, Ibid., hlm. 145
140Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
Adapun Tujuan Pendidikan dari Pondok Pesantren Thawalib adalah :
mempersiapkan kader ulama, mubaligh, imam, khatib, cendikiawan, (2)
mempersiapkan pemimpin masyarakat, (3) mempersiapkan kader muda yang
berjiwa wiraswasta/ mandiri, (4) mempersiapkan kader muda yang siap membela
agama, masyarakat, dan Negara, (5) mempersiapkan kemahiran berbahasa asing
(Arab, Inggris, dan Jepang). 141
Dari tujuan itulah, maka lahir visi misi pensantren. Visi dan Misi
pesantren Thawalib Tanjung Limau ini sudah dirumuskan pada Semiloka
Pesantren/ Perguruan Islam Bersejarah se-Sumatera Barat di Bukittinggi pada
Tahun 2003 (telah tertera dalam buku Tata Tertib Santri). Sebagai lembaga
pendidikan Islam, maka pesantren Thawalib Tanjung Limau memiliki visi :
“Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam Syari'ah, Uswatun Hasanah dalam
Akhlaq”.142
Sementara misi yang diemban oleh Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau tersebut adalah sebagai berikut: (1) mempersiapkan Kader Ulama,
Muballigh, Imam, Khatib, Cendikiawan Muslim, (2) mempersiapkan Kader
Pemimpin masyarakat, (3) mempersiapkan kader muda yang siap membela
agama, masyarkat dan negara, (4) mempersiapkan Kader Muda yang berjiwa
wiraswasta/mandiri, (5) mempersiapkan kemahiran berbahasa (Indonesia, Arab,
Inggris dan Jepang), (6) menghasilkan lulusan yang mampu memahami kitab
standar (MKS) dan pengetahuan umum serta mampu bersaing untuk mendapatkan
berbagai kesempatan pendidikan selanjutnya, (7) menghasilkan lulusan yang
memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah
dan syari'ah, serta sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah
"Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah".143

Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren Thawalib ini juga memiliki


Masjid sebagai lembaga penyiaran agama. Masjid Pesantren juga berfungsi

141Supriadi , Guru Pesantren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 29 Januari


2009
142Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan
kaderisasi Ulama Pondok Pesantren, Makalah disampaikan pada Semiloka Pesantren bersejarah
se-Sumatera Barat pada tahun 2003
143Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Tahun 2003

61
sebagai masjid umum, yaitu sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi
masyarakat umum. Masjid Pesantren sering dipakai untuk menyelenggarakan
majlis ta’lim (pengajian), diskusi-diskusi keagamaan, seminar dan sebagainya,
baik oleh masyarakat umum ataupun para santri. Dan tak kalah penting, bahwa
Masid ini juga digunakan sebagai laboratorium pendidikan Dai-Daiyah bagi calon
Mubaligh yang akan diturukan pada setiap bulan ramadhan ke berbagai daerah
yang ada di Kabupaten Tanah Datar.

B. Kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau


Kurikulum yang dijadikan sebagai alat dan pedoman dalam proses
pendidikan di pesantren harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Oleh karena itu, dalam konteks ini pesantren bukan hanya berfungsi untuk
mewariskan kebudayaan Islam dan nilai-nilai moral pada suatu masyarakat, akan
tetapi pesantren juga berfungsi untuk mempersiapkan anak didik dalam
kehidupannya di masyarakat nanti.
Pengembangan kurikulum pesantren pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari visi pembangunan nasional yang berupaya menyelamatkan dan
memperbaiki kehidupan nasional yang tertera dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara. Oleh karena itu kurikulum yang dipakai adalah perpaduaan kurikulum
Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dengan kurikulum Depag dan Diknas,
dalam program pengajaran merujuk kepada program inti MTsN dan MAN yang
dimodifikasi dengan program pengajaran Pontren Thawalib sendiri.
Mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi pesantren, maka
pengembangan kurikulum pesantren dapat mengunakan strategi-strategi yang
tidak merusak ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang
pertama kali berdiri di Indonesia khususnya di Kabupaten Tanah Datar. Strategi
yang patut dipertimbangkan adalah sebagai lembaga pendidikan non formal dan
formal, pengembangan kurikulum pesantren hendaknya tetap berada dalam
kerangka sistem pendidikan nasional.
Kurikulum yang dipakai di pesantren Thawalib Tanjung Limau dibagi
kepada dua bentuk, yaitu :
11 Intra Kurikuler
Pada tahun pertama (Kelas I) ditekankan penguasaan Bahasa Arab dan
pembinaan Ibadah, Bahasa Arab diajarkan 12 jam dalam seminggu, dengan arti
kata belajar 2 jam pelajaran setiap hari dengan demikian pada kelas II seluruh
pelajaran Agama diajarkan dengan bahasa pengatar Bahasa Arab karena Bahasa
Arab sudah menjadi bahasa keseharian bagi para siswa. Sedangkan Bahasa Inggris
di programkan di kelas II dengan porsi yang sama dengan Bahasa Arab di kelas I
sehingga pada kelas III para siswa telah dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris
sekaligus.
11 Extra Kurikuler
Disamping mengikuti kegiatan belajar formal dipagi hari para siswa
disibukkan dengan kegiatan extra pada sore hari, paket-paket tambahan belajar
dan pembinaan keterampilan disediakan sesuai dengan bakat dan kemauan siswa.
Paket tambahan tersebut terdiri dari :
a. Paket yang mesti diikuti siswa yaitu : (1) muhadharah
untuk tingkat Tsanawiyah, (2) muzakarah untuk tingkat
Aliyah, (3) tutorial pendalaman kitab (Ushul Fiqh, Ilmu
hadits, Qawaid, dll) untuk tingkat Aliyah, (4) Komputer.
b. Paket pilihan siswa berbakat, yaitu : (1) bahasa Inggris
Intensif, (2) bahasa Arab Intensif, (3) bahasa Jepang, (4)
hafizh al-Quran, (5) menjahit dan border, (6) keputrian
( Masak-memasak, merangkai bunga ), (7) seni bela diri
pencak silat, dan (8) pramuka.
Atas dasar itu, untuk pengembangan pendidikan dalam proses
pembelajaran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di dalam kelas
menggunakan bahasa pengantar seperti (a) bahasa Indonesia untuk mata pelajaran
yang menggunakan bahasa Indonesia, (b) bahasa Arab untuk segala mata
pelajaran yang berbahasa Arab, (c) bahasa Inggris untuk mata pelajaran bahasa
Inggris, (d) bahasa Jepang untuk mata pelajaran bahasa Jepang.144 Dengan
pembiasaan mengunakan bahasa asing ini, sehingga akan tercipta komunikasi

144Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2000

63
secara menyeluruh dengan istilah “hari-hari berbahasa” dikalangan para santri di
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Kemudian, buku sumber yang dipakai dalam pelaksanaan kurikulum di
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini adalah buku-buku teks yang
diterbitkan oleh Departemen Agama dan Dinas Pendidikan, serta buku teks asli
berbahasa Arab (kitab standar).

C. Proses Pelaksanaan Pendidikan Islam Pondok Pesantren Thawalib


Tanjung Limau
Adapun unsur-unsur yang terkait dalam proses pelaksanaan pendidikan
Islam di pesantren Thawalib Tanjung Limau ini adalah :
1. Kyai ( sebutan di Minang Kabau adalah Buya)

Kyai dalam sistem pendidikan dan pembelajaran memiliki teknis dalam


ilmu agama Islam dan memiliki perhatian tehadap keulamaan dengan gaya
kepeimpinan yang khas. Buya Fahrizal Alwis, misalnya selain sebagai kepala
pada Madrasah Aliyah, juga aktif mengajar kitab kuning dan bahasa Asing pada
malam hari bagi santri yang memondok, kecuali hari Sabtu dan Minggu, karena
beliau harus pulang kampung untuk menjengguk anak dan istri.
Pimpinan Pesantren Thawalib bertindak sebagai pengasuh dan sekaligus
sebagai guru utama di pesantren tersebut. Dalam menjalankan tugasnya sebagai
pengajar di pesantren, pimpinan dibantu oleh buya atau kyai, ustadz dan santri
senior yang lain. Saat ini yang menjabat sebagai pimpinan pesantren adalah
alumni dari Pesantren Thawalib sendiri, yaitu Buya Drs. Fahrizal Alwis yang
berasal luar kabupaten Tanah Datar, yakni dari Kota Madya Padang Panjang.
Pimpinan Pesantren Thawalib berkedudukan sebagai seorang pegawai
negeri sipil, dan kini jabatannya adalah kepala Madrasah Aliyah pada pesantren
ini, sedangkan kepala Madrasah Tsanawiyah dijabat oleh Ustadz Imran, S.Ag.
Karirnya di awali sebagai Mubaligh biasa di kabupaten Tanah, dan kemudian
diangkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Agama
Kabupaten Tanah Datar sebagai tenaga penyuluh di kecamatan pariangan.
Kemudian karena perhatiannya terhadap lembaga pendidikan Islam, beliau
diperbantukan sebagai tenaga pengajar di pesantren Thawalib ini sebagai guru
bidang studi Tafsir, dan akhirnya Kepala kantor Departemen Agama kabupaten
Tanah Datar mengangkat buya sebagai Kepala Madrasah Aliyah di pesantren
Thawalib pada tanggal 1 November 2000. Dan atas permintaan masyarakat
setempat serta hasil musyawarah para Alumni buya diangkat sebagai pimpinan
Pondok pesantren Thawalib tanjung Limau hingga sekarang.

2. Ustadz
Ustadz atau guru dalam sistem pembelajaran di Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat menjadi motor
dalam kerangka melaksanakan misi pondok pesantren. Adapun Jumlah guru yang
mengajar di Pondok Pesantren Thawalib untuk tahun ajaran 2007/2008 ini
sebanyak 35 orang. Dan jumlah tenaga administrasi atau pegawai Tata Usaha
sebanyak 7 orang. Sementara jumlah ustadz/ustadzah yang membantu Buya/Kyai
dalam pembelajaran kitab kuning dan penguasaan bahasa Asing bagi santri yang
memondok sebanyak 8 orang, yaitu: Ustadz Miftah Novi.T, S.Ag, Ustadz Imran,
S.Ag, Ustadzah Yulbetriza, S.Ag, Ustadzah Wilda Isnaini, S.S, Ustadzah Kasnida,
S.Ag, Ustadz Muhammad Taufiq, S.Pd.I, Ustadzah Welni Fatma, S.Pd.I dan
Yonnedi, S.Ag. Ketika ditanya tentang motivasi mengajar di Pondok Pesantren
Thawalib, mereka mengatakan untuk mengamakan ilmu, untuk berkhidmat pada
buya/kyai di pesantren, dan untuk mengamalkan ilmu serta untuk mencari nafkah
dengan konsep “mengabdi dengan mengutamakan semangat keislaman”, jawaban
tersebut menunjukan bahwa motivasi para ustadz yang mengajar di pesantren ini
semata-mata untuk mengamalkan ilmu, berkhidmat pada buya/kyai dan pesantren,
serta menjunjung tinggi nilai-nilai dakwah menuju Pendidikan Islami.145

11 Santri /siswa
Para santri yang belajar di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
(tahun 2006/2007) terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu: santri tingkat
Raudlatul Adfhal (RA) yang belajar membaca al-Qur’an melalui metode iqra’,
dan mereka diperkenalkan tentang agama seperti rukun islam dan rukun iman,

145Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2007

65
serta diajarkan ayat-ayat pendek dan doa-doa sebanyak 36 orang, santri tingkat
Diniyah Awaliyah sebanyak 60 orang, dan santri tingkat Tsanawiyah sebanyak 76
orang, dan santri tingkat Aliyah sebanyak 61 orang. Jadi jumlah seluruhnya
sebanyak 233 orang, sedangkan yang santri mukim hanya 46 orang, yaitu para
santri tingkat Aliyah yang mengambil jurusan Ilmu Agama, sementara yang
lainnya menjadi santri kalong. Mereka rata-rata berusia antara 13 tahun sampai 21
tahun.
Santri Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diwajibkan untuk
mematuhi tata tertib, aturan-aturan dan norma yang berlaku, yang secara khusus
dibuat oleh pengasuh dan pimpinan pondok pesantren. Tata tertib yang dibuat
berisi kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang dituangkan dalam bentuk
peraturan-peraturan pondok pesantren Thawalib. Para santri menyadari bahwa
setiap institusi memang harus ada tata tertib dan peraturan-peraturan agar program
dari sebuah instutisi atau lembaga dapat berjalan sesuai dengan tujuan, visi dan
misi pesantren ini.146

11 Kurikulum dan Sumber belajar


Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau termasuk tipe pesantren
terpadu (kombinasi) yang melaksanakan sistem pendidikan Salaf dan Khalaf.
Melalui sistem salaf pesantren ini mengajarkan ilmu agama Islam yang bersumber
dari kutūb al-Salāf (kitab karangan ulama salaf), yang meliputi bidang tauhid,
tafsir, hadits, bahasa Arab, fiqih, dan akhlak. Kurikulum ini diberikan kepada
santri yang mondok di pesantren yaitu mengunakan sistem halaqah dengan
metode sorongan dan bandongan ataupun melalui sistem madrasah yang bersifat
klasikal.
Kitab-kitab yang di ajarkan seperti: Durus al-Fiqhiyyah, Fath al-
Mu’ĩn.’Aqidah al-‘Awwam, Akhlaq li al-Banîn, Gayah al-Wusūl, Fath al-Qarĩb,
Bulug al-Marām, al-Ajrumiyyah, Tafsir al-Jalālain, al-Qāwa’id al-Lugāh, Fath
al-Wahhāb, dll.147 Kitab-kitab karangan ulama salaf tersebut diajarkan pada santri

146Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9


Februari 2009
147Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
Februari 2009
dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan, sekalipun pendidikan Islam di Indonesia
pada permulaan abad ke-20 diketahui sudah mengalami perubahan. Oleh Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau, perubahan yang diterima adalah perubahan
sistem dengan mengunakan sistem madrasah dengan mengikuti perubahan sistem
pendidikan Nasional.148
Sistem khalaf yang dipakai meminjam istilah Karel A. Steenbrink, adalah
“menolak sambil mengikuti”149, yakni mengikuti sistem madrasah yang dipandang
moderen yang secara historis ditolak pada mulanya. Akan tetapi pada
perkembangannya meniru sistem madrasah yang menyajikan ilmu pengetahuan
umum atau meniru sistem madrasah konsep Departemen agama RI. Sistem
madrasah yang digunakan tidak hanya terbatas pada pengenalan sistem klasikal,
tetapi juga menerapkan semua kuikulum dan metode pendidikan dan pengajaran
yang digunakan sesaui dengan system pendidikan Nasional, tanpa meninggalkan
sistem tradisionalnya.150
Kemudian, aktivitas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang
bernuansa pendidikan dan sekaligus menjadi sumber belajar terlihat dalam latihan
berpidato atau latihan berkhutbah, membaca yasinan, diskusi kelompok. Aktivitas
seperti ini dipandang oleh pengasuh pondok merupakan upaya membekali santri
sebagai kader ulama agar terampil memimpin masyarakat dikemudian hari.151
Selain itu sumber belajar yang dirasa penting dalam pembelajaran dan
pengembangan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib ini adalah pesan-
pesan, nasehat dan petunjuk buya atau utadz, terutama ketika berlangsungnya
proses belajar mengajar, baik ketika belajar di Masjid maupun di dalam kelas dan
sewaktu belajar dengan sistem halaqāh.152
11 Metode Pendidikan dan Pengajaran

148 Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 15


Februari 2009
149Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah:Pendidikan Islam dalam Kurun
Modren, (Jakarta : LP3S, 1986), cet. ke-1, hlm. 62
150Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15
Februari 2009
151Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
152Amiruddin St. Marajo, Alumni/Dewan Pembina Pesantren, Wawancara Mendalam,
Tanjung Limau, 15 Februari 2009

67
Secara historis, pelaksanaan dan pengembangan kurikulum telah
dilaksanakan sesuai dengan bentuk dan pola pengajaran yang dilaksanakan.
Adapun pelaksanaan pendidikan ini berlangsung dengan cara : Pertama Klasikal
mulai kelas 1 sampai kelas VI (Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), Kedua
Halaqah yang dikelompokkan kepada al-Thabāqah al-UÎa, al-Thabāqoh wusthā,
al-Thobaqāh al-Ulya).153
Berdasarkan pada pengelompokan metode di atas, maka pelaksanaaan
pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah
perpaduan sistem pesantren Salafiyah dengan Ashriyah. Untuk menjawab
tantangan zaman yang semakin global tersebut Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau Simabur memakai motto: "Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Yang Komprehensif, Berwawasan Dakwah Menuju Pendidikan Islami".154
Secara institusi kelembagaan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
tetap seperti dulu, yakni Thawalib Tanjung Limau enam tahun, sebagaimana yang
telah dirumuskan dan disepakati, oleh Pengurus Yayasan dengan Pimpinan
Thawalib beserta Majlis Guru pada tahun 2001. Bahwa secara kelembagaan
pelaksanaan pengajaran di Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau mulai
kelas 1 sampai kelas VI (Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), adapun sistem
disesuaikan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, masing-masing
tingkatan diberi kesempatan untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
diselenggarakan oleh pemerintah.

11 Sistem Evaluasi
Berdasarkan hasil dokumentasi, Program Pengajaran / Kurikulum
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau - Simabur Tahun Ajaran 2006/2007
keseluruhan berjumlah 516 jam, kurikulum ini sudah dimodifikasi. Artinya
kurikulum yang dipakai adalah gabungan Kurikulum Diknas, Depag Dan

153Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan


Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok Pesantren Thawalib
Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 10
154Tim Perencana, Master Plan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, (tidak
diterbitkan, 2004), tt. hlm. 16
Kurikulum Thawalib (Versi Gontor), Pendalaman Kebahasaan dan Qira'atul
Kutub di Asrama, pada sore hari, dan pada malam hari dengan cara halaqah.155
Dari pelaksanaan kurikulum, pihak pesantren melakukan evaluasi dengan
tujuan untuk mengukur sejumlah kemampuan santri dalam menyerap pelajaran,
menghayati dan menerima materi pelajaaran yang telah mereka pelajari baik
dalam bentuk tulisan, praktek ataupun hal yang lainnya, sehingga santri bisa
diketahui apakah sudah menguasai materi atau belum.156
Evaluasi hasil belajar di Pondok Pesantren Thawalib yang ditempuh
melalui sistem madrasah, dilakukan sebagaimana evaluasi hasil belajar yang
dilakukan pada sistem pendidikan klasikal, seperti dengan melaksanakan ujian
midsemester, ujian semester, ujian akhir. Evaluasi ini di awasi oleh ustadz. Dan
pelaksanaan evaluasi biasanya dengan bentuk lisan dan tulisan ataupun dalam
bentuk ujian praktek.157
Evaluasi yang dianggap masih relevan dengan nilai ibadah dan pengabdian
pada buya untuk memperoleh ilmu adalah “tes harian” (al-Muaraja’ah al-
Yaumiyyah) untuk mengetahui kemampuan santri dalam membaca dan
menerjemahkan kitab, terutama kitab yang telah diajarkan pada hari sebelumnya.
Evaluasi harian ini dimaksudkan supaya santri termotivasi untuk belajar setiap
saat.158
Menurut hemat penulis, evaluasi pendidikan dan pengajaran yang
dilakukan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mengarah pada
ketiga aspek yang ingin dicapai dalam tujuan pendidikan yaitu: aspek intelegensi
(ranah kognitif), aspek kepribadian (ranah afektif) dan aspek hubungan dengan
keterampilan berbuat dan berhubungan dengan masyarakat (ranah psikomotor).
Yang di dalam sistem evaluasi ini juga tercakup penguasaan terhadap kemampuan
hubungan dengan Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Ini terlihat pada amalan

155Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009
156Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009
157Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009
158Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
Februari 2009

69
(ibadah keseharian ) para santri dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan
pesantren maupun sewaktu kembali ke tengah-tengah keluarganya atau di
masyarakat nantinya..
Dari penjelasan yang diungkapkan di atas, cukup untuk dijadikan bahan
pertimbangan bahwa pesantren adalah, suatu lembaga pendidikan yang di
dalamnya terdapat beberapa unsur kelembagaan. Unsur-unsur kelembagaan yang
ada pada sistem pendidikan pesantren terdiri dari unsur-unsur organik dan unsur
anorganik159

D. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Pendidikan Islam


Berdasarkan sejarah berdirinya dan berkembangnya Pesantren Thawalib
Tanjung Limau, dapat dikatakan bahwa pesantren ini telah mampu
mempetahankan kehadirannya ditengah-tengah kehidupan mayarakat dari zaman-
ke zaman selama 85 tahun lebih.
Dalam kurun waktu 85 tahun lebih ini, Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau telah mampu mencetak alumni yang tersebar di berbagai daerah
seluruh Indonesia dengan menempati berbagai jenis pekerjaan, seperti sebagai
birokrat, Polri, Jaksa dan Hakim, Pengusaha, Ustadz, pemuka masyarakat,
pedagang, dan lainnya. Dengan kata lain, para alumni Pesantren Thawalib
Tanjung Limau tidak hanya menjadi ustadz ahli agama semata, akan tetapi lebih
dari itu juga berkiprah di masyarakat sesuai dengan nasibnya masing-masing.
Kesuksesan pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
terbukti dengan banyaknya alumi yang telah berhasil, diantara alumni Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung seperti: Prof. H. Sofyan Mukhtar, SH, Dr. H. Rifyal
Ka.bah, MA, Dr. H. Zainun Kamal, MA, Drs. H. Fathi Ismail, Drs. Masnal Zajuli,
MA, Drs. Afif Zamzami, M.Psi, H. Bahrizal, Drs. H. Dafrizal, Drs. Arpinus,
M.Ag, H. Fahmi Mukhtar, BA, H. Bukhari Manan, BSc, Drs. Zulkifli Nur, Drs.
Jujardi Ridwan, Drs. Fahrizal Alwis, Arius Agusta, S.Pd, H. Mursyida Mukhtar,
Makmur DS, Harmaini Khatib, Firdaus, BA, Rais Dt.Cu. Indo, BA, H. Caya
Khairani, dll160
159Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 18
160Dokumen Alumni Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1990
Melihat banyak dan ragamnya jenis pekerjaan yang dijalankan oleh
alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau, maka pada masa mendatang
diharapkan dari alumni ini mampu membantu pesantren almamaternya menjadi
pesantren yang lebih maju lagi. Disamping itu, output yang diharapkan pada masa
mendatang mampu mencetak para alumninya sebagai ahli agama dan sekaligus
ahli dalam bidang ilmu pengetahuan umum, sehingga mereka mampu bersaing
dengan alumni dari lembaga pendidikan lainya.
Atas dasar itu, harapan outcome dari Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dimasa depan berubah menjadi bentuk pendidikan formal dengan perbandingan
pelajaran sebayak 70 % ilmu pengetehauan umum dan metode berpikir, dan 30%
pendidikan agama yang bermoral, hal ini memungkinkan karena selama ini
Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah membelajarkan para santrinya dalam
bentuk pendidikan formal dengan menyerap kurikulum Dinas Pendidikan dan
Departemen Agama.
Untuk mewujudkan Pesantren Thawalib Tanjung Limau menjadi
pesantren yang berkualitas, tentu akan memerlukan faktor pendukung dan
mempertimbangkan faktor penghambatnya. Fahrizal Alwis,161 mengatakan bahwa
pesantren Thawalib dalam mengembangkan pendidikan Islam dan menuju
pesantren yang terpadu harus memperhatikan aspek/faktor pendukungnya dan
penghambatnya, diantara faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor pendukung, seperti: (a) pondok pesantren ini sudah memiliki ruang
permanen untuk pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, (b) tenaga
pengajar yang cukup baik, (c) memiliki daftar rencana pelajaran, (d)
melakukan pembagian mata pelajaran, (e) memiliki administrasi yang
lengkap di antaranya daftar hadir siswa dan guru, (f) memiliki pustaka, (g)
memiliki asrama putra dan putrid, (h) memiliki Labor Bahasa dan
Komputer, (i) memiliki Tempat Pendidikan Usaha Santri (TPUS), (j) dan
banyaknya alumni yang telah berhasil dan memperhatikan Almamaternya.
2. Faktor penghambat, seperti: (a) banyak berdiri sekolah-sekolah umum di
sekitar Pesantren, (b) terjadinya perubahan nilai masyarakat, (c) minimnya
161Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

71
Perhatian pemerintah Daerah terhadap Sekolah yang berstatus swasta, (d)
dewasa ini mulai kurangnya perhatian masyarakat terhadap pesantren
dalam memasukan anaknya ke Pesantren, (e) pondok pesantren selalu
kalah saing dengan madrasah/sekolah negeri karena madrasah/sekolah
negeri terkelola dengan baik, sementara pondok pesantren itu tergantung
dari pengurus kalau kepengurusannya baik dan aktif maka baik dan
berkembanglah pulalah pondok pesantren itu, (f) adanya masalah internal
antara sesama pengurus yayasan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan Islam di


Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, tidak terlepas dari interaksi yang
terjadi di lingkungan pondok pesantren, baik interaksi interal pesantren, maupun
interaksi dengan pihak luar seperti masyarakat sekitarnya.
Konsep lingkungan masyarakat akan mempengaruhi interaksi suatu
masyarakat yang ada. Yang dimaksud konsep lingkungan masyarakat di sini
adalah lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren dan luar pesantren
Thawalib Tanjung Limau, baik berupa lingkungan fisik maupun berupa
lingkungan non fisik, yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut
mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kerpibadian para siswa/santri dan
masyarakat. Kepribadian individu dan kelompok dibentuk oleh lingkungan
kehidupan yang mengasuh dan mendidiknya.162 Dalam lingkungan kehidupan,
prilaku individu dan kelompok diseleksi, dispesialisasi, dan distratifikasi apa yang
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang wajib dikerjakan
dan apa yang mesti ditinggalkan. Suatu kebiasaan yang secara terus-menerus
dialami oleh seseorang dari tahun ke tahun selama 24 jam setiap harinya, akhirnya
membentuk kepribadian, dan apabila hal itu telah diterima menjadi nilai
kehidupan bersama, maka sejak itu terbentuklah kepribadian yang utuh dan sangat
sukar untuk dirubah.

162A Pitirim Sorokin, Contempory Sociological Theories, (New York : Harper and Brother,
1982), hlm. 192
E. Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat

1. Peranan dalam Pengembangan Kelembagaan


Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau merupakan lembaga
pendidikan Islam yang menjalankan fungsi transfer ilmu agama Islam,
pengembangan dakwah, dan mereproduksi ulama. Pesantren Thawalib Tanjung
Limau termasuk salah satu Madrasah yang dicurigai dan diawasi oleh
Pemerintah Belanda, yakni setelah dilaksanakan Kongres Sumatera Thawalib
yang pertama di Bukit Tinggi pada tahun 1930, salah satu Keputusan Muktamar
itu ; “ Mendirikan satu partai politik yang berlandaskan perguruan-perguruan
Thawalib”.163 Pada awalnya diberi nama Persatuan Muslim Indonesia (P.M.I),
kemudian dirobah menjadi “PERMI” dengan sendirinya perguruan Thawalib
Tanjung Limau termasuk salah satu perguruan yang dicurigai oleh pemerintah
Belanda. Karena gerakan PERMI mengkhawatirkan Pemerintah Belanda, pada
waktu itu semua perguruan Thawalib berada di bawah lindungan PERMI.
Kekhawatiran Pemerintah Belanda semakin hebat, sehingga mengakibatkan guru-
guru Thawalib Tanjung Limau banyak dikenakan larangan mengajar dan
akibatnya beberapa perguruan Thawalib ada yang ditutup.
Madrasah Thawalib Tanjung Limau dengan kebijakan Haji Mukhtar
dibawah lindungan Allah SWT dapat dipertahankan sebagai lembaga pendidikan
dan dakwah, sekalipun tuan De Vries/ pegawai tinggi Belanda dari Medan turun
mencek langsung keberadaan pendidikan perguruan Thawalib. Demikian pula
pada masa penjajahan Jepang, Thawalib Tanjung Limau tetap eksis sebagai
lembaga pendididkan dan dakwah.164 Lembaga Pendidikan Islam ini bukanlah
baku, tetapi ia fleksibel, berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat.165
Untuk mengembangkan pesantren ini, pada tahun 1943 diadakan
perayaan HUT Madrasah Thawalib Tanjung Limau ke-20 dengan mengundang

163 Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
164 Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1980
165Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), cet. ke-
1, hlm. 100

73
ulama besar Minangkabau. Dalam perayaan tersebut dibicarakan juga tentang
kelancaran pendidikan dan penambahan pembangunan gedung. Dua tahun setelah
itu (1945) Buya Haji Mukhtar berpulang kerahmatullah, usaha beliau dilanjutkan
oleh Buya Haji Ismail Rasyad untuk memimpin Pesantren Thawalib Tanjung
Limau selanjutnya.
Pada tanggal 30 April 1967 Buya Haji Ismail Raysad berpulang
kerahmatullah, untuk selanjutnya kepemimpinan Thawalib Tanjung Limau
diamanahkan kepada Angku Imam Ibrahim, pada masa ini, gedung dekat mesjid
ditambah satu lokal gedung lagi (melanjutkan rencana almarhum Buya Haji
Ismail). Pada tahun 1970 didirikan pula gedung lainnya, sehingga Pesantren
Thawalib Tanjung LImau sudah mempunyai tiga buah gedung yang satu
bertingkat, tingkatnya itu dijadikan asrama bagi murid-murid perempuan yang
tempat tinggal mereka jauh dari Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Kunci mempertahankan keberlangsungan pendidikan di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau dari dulu adalah “musyawarah”, apa saja
yang berhubungan dengan perguruan Thawalib terlebih dahulu diambil
keputusannya dengan musyawarah. termasuk permintaan dari Inspeksi Pendidikan
Agama yang datang ke Thawalib pada 1967 dan 1968 agar Thawalib di
negerikan. Permintaan ini kembali dimunculkanada pada tahun 1995 agar
Madrasah Aliyah di negerikan, namun setelah bermusyawarah dengan pemerintah
kebijaksanaan Pengurus dan masyarakat status Thawalib Tanjung Limau sebagai
lembaga pendidikan swasta tetap di pertahankan sampai sekarang.
Munculnya usulan agar Thawalib statusnya di negerikan (baik dari
pemerintah, alumni maupun sebagian masyarakat atau dari beberapa orang
pengurus yayasan setelah tahun 1976, karena perkembangan pendidikan itu
sendiri di Indonesia, dalam perjalannya semenjak tahun 1966 sampai 1972 tidak
beberapa orang murid yang sampai ke kelas 6 (enam), karena diwaktu kelas
empat, murid-murid itu mengambil ujian P.G.A.N. IV tahun, setelah lulus mereka
masuk ke P.G.A.N. VI Tahun.
Mengingat perkembangan dan ketahanan pesantren, maka pada tanggal
17 Desember 1976 diadakan musyawarah terpadu antara pengurus pesantren
dengan Alim Ulama, ninik – mamak, serta cerdik pandai Tanjung Limau
termasuk alumni Thawalib. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan
dengan membentuk yayasan dengan nama “ Yayasan Pembina Thawalib
Tanjung Limau”.166 Karena perguruan Thawalib Tanjung Limau memiliki lintas
sektoral di bawah pembinaan Departemen Agama, Pada tahun 1985 Madrasah
Thawalib Tanjung Limau diklasifikasikan oleh Departemen Agama setara dengan
program pondok pesantren maka, madrasah Thawalib dirubah menjadi Pondok
Pesantren Thawalib. Sekarang ini lembaga yang berada dalam naungan Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah : Raudhatul Adfal (RA), Madrasah
Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah
(MA).167
Kemudian disamping lembaga formal, menurut pimpinan, pesantren juga
mengembangkan lembaga yang besrifat sosial kemasyarakatan, seperti Badan
Kontak Majlis Ta’lim Pondok Pesantren Thawalib (BKMT Ponpes), lembaga ini
dimanfaatkan oleh santri dan masyarakat Tanjung Limau, Lembaga Koperasi
Simpan Pinjam Pondok Pesantren, dan Lembaga Didikan Subuh Thawalib
(LDST).168

2. Peranan dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia


Permasalah seputar pengembangan pendidikan Islam pondok pesantren
dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human
resources) merupakan masalah yang aktual dalam pembicaraan seputar pesantren.
Tututan kehidupan global dan keahlian menghendaki kualitas sumber daya
manusia terdidik dan keahlian dalam bidangnya. Realitas out put pesantren yang

166Yayasan ini bertujuan untuk membina dan meningkatkan Perguruan Thawalib Tanjung
Limau meneruskan niat pertama (nawaitu) berdirinya Thawalib sesuai dengan ajaran Al-Qur’an
dan Sunnah, berusaha meneruskan dan melanjutkan cita-cita luhur almarhum Haji Muchtar Ya’cub
sebagai pendiri pertama perguruan tersebut, Lihat : Akta Notaris Pendirian Yayasan Pembina
Thawalib Tanjung Limau No 3/1978
167Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
168Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

75
memiliki sumber daya manusia kurang kompetitif inilah yang kerap
menjadikannya termarginalisasi dan kalah bersaing dengan out put pendidikan
formal baik agama maupun umum.
Sahal Mahfudz mengatakan kalau pesantren ingin berhasil dalam
melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah
pengembangan semua sumber daya, maka pesantren harus melengkapi dirinya
dengan tenaga yang terampil mengelola sumber daya yang ada di
lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya
pengembangan masyarakat sudah barang tentu, pesantren harus tetap menjaga
potensinya sebagai lembaga pendidikan”169
Pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai unsur utama dalam
pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber Daya Manusia lebih
bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian serta
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai bidang sektor. Pendidikan
merupakan salah satu alat untuk menghasilkan perubahan pada diri manusia.
Manusia akan dapat mengetahui segala sesuai yang tidak atau belum diketahui
sebelumnya. Pendidikan merupakan hal seluruh umat manusia. Hak untuk
memperoleh pendidikan harus diikuti oleh kesempatan dan kemampuan serta
kemauannya.170 Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas betapa pentingnya
peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam meningkatkan kualitas
SDM agar sejajar dengan manusia lain, baik secara regional (otonomi daerah),
nasional, maupun internasional (global).
Tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain ditandai dengan adanya unsur
kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil kerja atau kinerja
yang baik secara perorangan atau kelompok. Permasalahan ini akan dapat diatasi
apabila SDM mampu menampilkan hasil kerja produktif secara rasional dan
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang umumnya dapat
diperoleh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah
satu solusi untuk meningkatkan kualitas SDM.
Sehubungan dengan pengembangan SDM untuk peningkatan kualitas,
Azra mengemukakan bahwa “Pengembangan SDM berkualitas adalah proses

169Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta : LKIS, 1994), hlm. 112
170Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:Tradisi dan Modernisasi Menunuju Milinium Baru,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 50
kontekstual, sehingga pengembangan SDM melalui upaya pendidikan bukanlah
sebatas menyiapkan manusia yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang
cocok dengan dunia kerja pada saat ini, melainkan juga manusia yang mampu,
mau, dan siap belajar sepanjang hayat.”171
Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan Islam memberi
manfaat pada organisasi berupa produtivitas, moral, efisiensi, efektivitas, dan
stabilitas pesantren dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun ke
luar pesantren yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Perencanaan
SDM yang berkualitas. Dalam lokakarya pengembangan Pesantren tahun 2001,
merumuskan beberapa kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat global yang
perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kualitas SDM.
Kecenderungan tersebut adalah: (1) Dibandingkan dengan dasawarsa 1970-an dan
1980-an, tiga dasawarsa mendatang diperkirakan akan terjadi eksplosi yang hebat,
terutama yang menyangkut teknologi informasi dan bioteknologi. Dalam konteks
peningkatan kualitas SDM, implikasi yang dapat diangkat adalah para ilmuwan
harus bekerja dalam pendekatan multidisipliner dan adanya program pendidikan
berkelanjutan (S2/S3), dan (2) Eksplosi teknologi komunikasi yang semakin
canggih dapat mempersingkat jarak dan mempercepat perjalanan. Hal ini akan
membuat bangsa yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang relevan
dan menguasai teknologi baru secara substantif mampu meningkatkan
produktivitasnya. Hasil pemikiran di atas menghadapkan kita pada arah,
tantangan, dan tuntutan umum pendidikan dalam kehidupan abad ke-21 sebagai
masa depan suatu lembaga.
Guna memenuhi tuntutan komunitas pesantren yang semangkin
meningkat, sudah sepantasnya penyelenggara pesantren memikirkan upaya
peningkatan kualitas para guru dan staf di dalamnya. Upaya ini dimaksudkan agar
segala tugas yang diberikan kepada mereka menghasilkan kesuksesan yang
maksimal. Upaya ini juga penting, mengingat rekrutmen guru atau ustadz di
pesantren biasanya didasarkan kepada program pre-service sebagaimana dalam
sistem persekolahan (sekolah-sekolah formal), sehingga dipandang masih

171Azyumardi Azra, Op. Cit., hlm. 59

77
memerlukan wawasan-wawasan dan keterampilan baru yang aktual. Misalnya
guru atau ustadz pesantren perlu menambah wawasan tentang kurikulum dan
metode belajar mengajar jika mereka bukan sarjana atau ahli pendidikan.
Menurut pembina Yayasan,172 Pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau dalam menghadapi arus globalisasi sekarang ini, telah melakukan usaha
dalam peningkatan kualitas dan sumber daya tenaga pendidik, yaitu berupa
memberikan beasiswa bagi guru yang belum S1 untuk melanjutkan pendidikannya
ke perguruan tinggi terdekat. Kemudian usaha lain yang dilakukan dalam
pengembangan SDM ini, pesantren telah sering memberikan pelatihan-pelatihan
dan workshop bagi guru dan masyarakat sekitar, terutama dalam bidang
pendidikan dan bidang pertanian.
3. Peranan dalam Pengembangan Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang berada di pondok pesantren, pada umumnya
sangat bergantung kepada bentuk pesantren atau kemampuan dan kemamuan kyai
dalam mengendalikan pondok pesantren yang didirikannya, esensi dan kegunaan
perangkat keras pada suatu pondok pesantren adalah untuk kelancaran interasksi
dan komunikasi atau penyampaian informasi dan penanaman nilai-nilai
keagamaan yang dilakukan kyai terhadap para santrinya pada saat-saat tertentu.173
Sarana dan prasarana merupakan pendukung pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar di pesantren. Pesantren hendaknya mengupayakan tersedianya sumber
belajar dan media pendidikan dan pengajaran yang berbasis teknologi. Dan
berangkat dari pembiayaan yang ditunjang oleh adanya sawah abuan 174 pada awal
berdirinya, hasil dari sawah abuan tersebut guru-guru mendapat gaji, peralatan
sekolah dapat dibeli, dan gedung-gedung tambahan dapat dibangun. Kondisi itu
masih dipertahankan sampai sekarang. Adapun sarana dan prasarana yang telah
tersedia Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diantaranya: 6 (enam) ruang
belajar, 1 (satu) ruang pimpinan (kepala), 1 (satu) ruang Majlis guru/ ustadz, 1
172Amiruddin St. Marajo, Sekretaris Yayasan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,
Tanjung Limau, 15 Februari 2009
173Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan: Melaacak Geneologis Pendidikan Islam Indonesia,
(Bandung : Mulia Press, 2008), hlm. 189
174Abuan berarti hak milik yang diperoleh dari pemberian atau wakaf atau hibah untuk
dikelola dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak yang mempunyai abuan itu. Seorang anak yang
sudah berangkat dewasa, biasanya sudah diberi abuan oleh orang tuannya.
(satu) ruang perpustakaan, 1 (satu) ruang labor, 1 ((satu) unit asrama, 1 (satu)
ruang gudang dan 1 (satu) ruang koperasi, lapangan volly ball, 1 (satu ) masjid.175
Jadi pengembangan terhadap sarana dan prasarana Pondok pesantren
Thawalib Tanjung Limau sedikit demi sedikit mengalami perubahan, terutama
pada fasilitas pendidikan yang dibutuhkan para santri diantaranya sepuluh ruang
belajar, satu unit ruang asrama, satu ruang perpustakaan, satu ruang labor
komputer dengan 15 unit komputer, tiga ruang kantor, satu ruang untuk koperasi
Pesantren, satu ruang untuk labor bahasa Arab dan Inggris, lima belas unit mesin
jahit, satu lapangan volly ball, satu unit lapangan tenis meja dan lapangan bola
kaki milik bersama dengan masyarakat Tanjung Limau.
4. Peranan dalam Pengembangan Keilmuan dan Keterampilan
Peran pesantren Thawalib Tanjung Limau sebagai salah satu lembaga
(institusi) dalam pengembangan pendidikan Islam adalah mentransfer ilmu agama
Islam, baik kepada santri maupun kepada masyarakat. Tranformasi ilmu agama
Islam yang dilakukan oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada santri
maupun masyarakat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan dan
pengajaran, baik yang dilakukan secara rutin di lingkungan pesantren itu sendiri,
ataupun kegaitan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat
dengan melibatkan pesantren di dalamnya.176
Pesantren Thawalib mempunyai peranan penting dalam mewarisi dan
mengembangkan warisan intelektual dan spritual itu. Hal ini bisa dipahami,
karena dilihat dari latar belakangnya, Pesantren Thawalib Tanjung Limau
berperan sebagai lembaga transformasi kultural yang menyeluruh dalam
kehidupan masyarakat. Pesantren Thawalib Tanjung Limau berdiri sebagai
jawaban terhadap penggilan dakwah keagamaan, untuk menegakkan nilai-nilai
kemasyarakatan, dan praktek-praktek keagamaan.177
Ilmu agama Islam yang ditransfer oleh Pesantren Thawalib kepada santri
175Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Permohonan Izin Perasional Kepala Kantor
Departemen Agama Wilayah Sumatera Barat untuk Madrasah Tsnawiyah dan Aliyah Thawalib,
( Padang : tidak diterbitkan, 1976)
176Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
177Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

79
dan masyarakat sekitanya adalah berupa tradisi keilmuan fiqih dan sufistik (ilmu
Tasauf). Hal ini wajar, karena pada dasarnya Pesantren Thawalib Tanjung Limau
adalah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang megajarkan tradisi
keilmuan agama. Transformasi keilmuan tasauf melahirkan nilai-nilai moral
keagamaan yang ditampilkan oleh pimpinan pesantren dan santrinya di tengah-
tengah kehidupan masyarakat, sedangkan transformasi keilmuan fikih melahirkan
faham-faham keagamaan fikih bagi kepentingan ibadah kepada Allah. SWT.178
Awalnya Ilmu agama Islam yang ditranspormasikan oleh Pesantren
Thawalib Tanjung kepada santri dan masyarakat sekitarnya adalah islam
tradisional. Yang dimaskud dengan islam tradisional adalah islam yang masih
terikat kuat dengan pikiran ulama ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tauhid dan
ahli tasauf yang hidup antara abad ke -7 sampai abad ke-13. M. Akan tetapi pada
perkembangannya, seiring dengan terjadinya pembaharuan pendidikan Islam
pesantren Thawalib memberikan pendidikan Islam kepada santri dan masyarakat
didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh sistem pendidikan Islam.
Pengembangan pendidikan Islam yang dilakukan di pesantren Thawalib
adalah dengan membuat jaringan Islam, yakni membentuk kader ulama santri
yang akan dipergunakan sebagai pendakawah-pendakwah agama Islam yang akan
diterjunkan ke daerah masing-masing. Dengan itu, berarti Pesantren Thawalib
Limau telah membuat dan mengembangkan jaringan Islam secara luas, paling
tidak sejak awal berdirinya tahun 1923 hingga berobah statusnya menjadi Pondok
Pesantren tahun 1972 sampai sekarang telah banyak alumninya yang
menyebarkan ilmu agama Islam di tengah-tengah masyarakat.179
Untuk menjamin kelangsungan hidup pendidikan Islam, maka Pesantren
Thawalib Tanjung Limau berusaha melakukan pengembangan pendidikan agama
melalui peningkatan rasa solidaritas dan kerja sama antara pesantren dengan
masyarakat, antara pesantren dengan pesantren lain dalam suatu forum
silaturrahmi pondok pesantren Sumatera Barat atau antara pesantren Thawalib

178Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9


Februari 2009
179Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
februari 2009
dengan pemerintah dalam hal ini tentunya Departemen Agama. Cara praktis yang
ditempuh adalah mempersiapkan buya/kyai dari pesantren dengan membuka
madrasah yang ada jurusan keagamaanya dengan maksud agar kelak dikemudian
hari akan ada buya/kyai yang mengetahui ilmu agama dan menjadi tauladan dan
tokoh ditengah-tengah masyarakat.180
Jadi, pengembangan terhadap pendidikan agama yang dilakukan oleh
Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah dengan cara mengkader santri dan
keluarganya sebagai calon pemimpin agama (buya) dan mubaligh yang akan
mengajak masyarakat kepada Amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta kemudian
hari dapat mengembangkan pesantren ke arah yang lebih maju lagi.
Sebagaimana diketahui bahwa Pondok Pesantren Thawalib terletak di
Jorong Tanjung Limau yang mayoritas penduduknya bertani dan berternak.
Sehingga Pondok Pesantren dalam program-programnya juga menyentuh dan
mengarah kepada bidang pertanian, seperti Agorbisnis, beternak sapi, dan lain-
lain. Program ini ditawarkan kepada masyarakat. Dan jauh sebelum tahun 1990-an
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau juga telah mengadakan program
keterampilan kepada santri dan masyarakat sekitarnya, seperti keterampilan
menjahit, membordir, dan pertukangan.181
Inilah salah satu aspek yang dapat diangkat di pesantren, sehingga dapat
dikatakan bahwa Pondok Pesantren Thawalib adalah Laboratorium sosial-
keagamaan masyarakat. Orang tua yang memasukan anaknya ke pesantren ini
selain berharap agar mendapat pendidikan agama yang mendalam, juga berharap
agar anaknya dapat hidup mandiri dan dapat berkiprah di tengah-tengah
masyarakat yang sesungguhnya.182
Atas dasar itulah, maka kehadiran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau di tengah-tengah masyarakat menjadi bermanfaat hingga sekarang.
Pesantren tidak hanya memberikan bidang dakwah keagamaan semata, tetapi juga

180Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9


februari 2009
181Zainin St. Marajo, Dewan Pembina, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15 Februari
2009
182Zainin St. Marajo, Dewan Pembina/ Tokoh Masyarakat, Wawancara Mendalam,Tanjung
Limau, 15 Februari 2009

81
memberikan bekal ilmu dan keterampilan bagi santri dan masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan melalui wawancara dengan Fahrizal Alwis
selaku pimpinan Pondok Pesantren Thawalib mengatakan diantara pendidikan
keterampilan yang telah dikembangkan adalah: (1). Keterampilan menjahit dan
bordir, (2). Keterampilan dalam bidang Agrobisnis dan Peternakan Sapi, (3).
Keterampilan komputer dan Bahasa Jepang.183
Unsur utama suatu pendidikan selain terdiri atas para pelaku yang
merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur anorganik lainnya., berupa :
dana, sarana, dan alat-alat pendidikan lainnya, baik perangkat keras maupun
perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dalam suatu sistem pendidikan
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan pesantren, maka para pelaku
pesantren adalah: kyai, ustadz mengajar agama, guru mengajar umum, santri, dan
pengurus serta adanya tempat untuk belajar (sarana dan prasarana).
Seiring dengan perkembangan zaman, Thawalib Tanjung Limau terus
melakukan penyesuaian struktur kepengurusan. Para pengurus terus melakukan
penyesuaian struktur sesuai dengan kebutuhan dan kultur yang berlaku di Pondok
pesantren. Dalam praktiknya, pola manajemen yang digunakan dalam
menjalankan sistem tersebut adalah satu sistem dengan dua sub sistem besar.
Dalam tradisi kepemimpinan pesantren, pengasuh dan pengurus adalah pemegang
otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan. Hanya saja secara manajerial
keputusan tersebut dilakukan bersama sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
(tupoksi) yang termaktub dalam struktur dua sub sistem pesantren.
Pendidikan dan pembinaan yang dilaksanakan di PP. Thawalib Tanjung
Limau adalah pembinaan yang intergratif antara pendidikan di asrama dan
lembaga pendidikan formal. Artinya terjadi proses saling mendukung dan
melengkapi antrara pendidikan yang dilaksanakan di asrama santri dengan
pendidikan dan pembinaan di lembaga formal. Pendidikan dan Pembinaan yang
dilakukan di sekolah diperdalam di asrama santri yang disesuaikan dengan jenjang
pendidikan di lembaga formal. Sehingga tujuan santri untuk mengaji dan
183Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
membina akhlakul karimah diharapkan bisa tercapai secara sempurna.
Berdasarkan penjelasan mengenai sistem pendidikan di dalam teori di atas,
maka sistem pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dapat
dikatakan sudah memenuhi kriteria unsur-unsur dari sistem pendidikan. Sebab,
dari hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa unsur-unsur sistem
pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Thawalib ke dalam dua aspek, yaitu
unsur-unsur sistem pendidikan yang bersifat lunak dan unsur-unsur yang bersifat
keras. Kedua unsur tersebut saling berkaitan, sehingga membentuk suatu kesatuan
yang utuh dalam mencapai tujuan Pondok Pesantren.
Jadi dari uraian dan pendapat para ahli tersebut, dapat penulis kemukakan,
bahwa sistem pendidikan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau sesuai
dengan tujuan, visi dan misinya, awalnya bersifat tradisional, tetapi pada
perkembangan selanjutnya seiring dengan terjadinya pembaharuan paradigma
pendidikan Islam, maka pesantren Thawalib Tanjung Limau menerapkan sistem
pendidikan pesantren yang mengabungkan antara sistem salaf dengan khalaf. Hal
ini bisa terlihat dari dibukanya sistem madrasah disamping sistem pondok sendiri
yang bersifat pendidikan Islam tradisional.
Namun saat ini pesantren dihadapkan pada persoalan lain dalam
dinamika masyarakat. Telah terjadi pergeseran paradigma, pergeseran
problematika dengan isu baru walau mainstream lama dan percepatan roda jaman
dengan arus globalisasi dan westernisasi, serta abad informasi dan komunikasi
yang membawa manusia pada satu dunia kecil dengan sistem global yang hanya
dijangkau satu tangan saja. Ketika jelajah dunia cukup dengan jentikan jari saja,
maksud melalui internet. Era pasar bebas, perdagangan lintas batas, dunia yang
modern, megapolitan dan maju di milanium ketiga ini. Inovasi yang tiada henti,
produktifitas yang tinggi, dunia cyber yang menghegemoni seakan membuat kita
menjadi bodoh dan terkebelakang.
Disisi lain kerusakan moral masyarakat, seperti gunung es yang
meleleh melaju begitu cepat, memporak porandakan norma dan keluhuran
peradaban yang sekian lama dengan susah payah di bangun. Kemaksiatan pun ikut
menglobal seperti bola salju yang menggelinding semakin lama semakin

83
membesar dan membesar menjadi raksasa yang menakutkan, menggurita
membumi hanguskan keluhuran ajaran diniyah yang selalu di jungjung tinggi.
Perilaku menghalalkan segala macam, cara dalam berbagai bidang, baik politik,
ekonomi, sosial dan budaya.
Semua ini memaksa kembali pesantren untuk keluar dari sarangnya
menyelamatkan dunia karena ada tugas yang sangat berat menantinya. Namun
zaman telah berganti kondisi saat ini bukan yang terjadi pada abad tradisional,
melainkan abad postmodernisme, sehingga mengharuskan pesantren melakukan
restrukturisasi dan revitalisasi dengan mensetel dan meng up gread sopt ware
namun tetap mempertahankan hard ware nya untuk menghadapi problem
komplek dimasyarakat global saat ini.
Pesantren Thawalib Tanjung Limau harus tampil menghadapi tiga
persoalan tersebut di atas dengan menjadi agen of change, lokomotif kemajuan
dengan gerbong keadilan serta senantiasa menjadi oase bagi panasnya wabah
demam masyarakat yang hampir tidak mengenal dirinya sendiri. Pesantren
Thawalib Tanjung Limau dituntut menguasai teknologi, melihat kenyatan yang
terjadi pada pesantren rasanya seperti suatu yang utopia. Pesantren yang
tradisional, pesantren yang lugu, pesantren yang sederhana dan lain sebagainya.
But the weaknes have ti be strong, disanalah letak dari kekuatannya.
Selain peran di atas menurut penulis, pesantren perlu menajamkan
peran dalam pemberdayaan masyarakat terutama saat sekarang ini. Ada
beberapa upaya yang dapat dikembangkan dalam pola pemberdayaan masyarakat
ini diantaranya : (1) meningkatkan kualitas SDM dari para pengasuhnya dengan
berbagai pelatihan, lokakarya seminar dan work shop, (2) penempatan sarjana
pendamping bersama pesantren untuk membangun pesantren itu sendiri dan
bersama dengan sarjana pendamping membangun masyarakat, (3) pengembangan
sarana dan prasarana pendidikan agar tujuan yang telah ditetapkan akan mudah
tercapai, (4) meningkatkan pengembangan ilmu dan keterampilan agar para
lulusan pesantren dapat berhasil dan berdaya guna serta berkarya, (5)
mengembangkan kelembagaan yang siap berkompetisi Sekolah umum lainnya.
Dari uraian di atas, dapat penulis tegaskan, bahwa Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau telah berusaha dalam pengembangan pendidikan Islam
di Kabupaten Tanah Datar. Hal ini dilakukan sejalan dengan visi dan misi yang
dimiliki oleh pesantren ini. Dan keberadaan masyarakat Pondok Pesantren dalam
hal ini, baik pengurus yayasan, pimpinan, ustadz, santri dan masyarakat tertata
dan penuh tanggung jawab lahir dan batin, jasmani dan rohani, hati dan
pikirannya benar-benar ada di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Untuk mewujudkan output yang lebih berkualitas, pihak pengelola, baik
yayasan maupun pimpinan pondok telah berusaha melakukan kerjasama dengan
berbagai pihak yang ada di Kabupaten Tanah Datar, baik yang bersifat lembaga-
lembaga pendidikan, ataupun dengan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
Dan tak kalah pentingnya, pesantren ini mencoba melakukan kerja sama dengan
pemerintah dan swasta. Hal ini dilakukan dalam rangka mengembangkan lembaga
dan untuk memperoleh dana sebagai penunjang operasionalnya lembaga ini.
Dan terakhir penulis simpulkan, bahwa sebagai lembaga pendidikan
Islam, pesantren telah eksis di tengah-tengah masyarakat semenjak zaman
kolonial. Pesantren berperan dalam berbagai bidang secara multidimensional, baik
yang berkaitan langsung dengan aktivitas pendidikan pesantren maupun di luar
wewenangnya. Pesantren menjadi pusat pengembangan keterampilan dan
teknologi tepat guna bagi masyarakat desa, pusat pemberdayaan ekonomi
masyarakat sekitarnya, sebagai pusat reproduksi ulama, sebagai pusat transmisi
ilmu-ilmu Islam, sebagai pusat pelatihan, dan sebagai pusat pendidikan lembaga
Majlis Ta’lim dan didikan Subuh. Peran seperti inilah peranan yang dijalankan
oleh Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar dalam
mengembangkan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar.

85
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Latar belakang berdirinya pesantren Thawalib Tanjung Limau ini dari
Surau Gadang Tanjung Limau sebagai sarana belajar mengaji bagi
generasi muda Tanjung Limau dengan mengunakan sistem halaqah. Guru
yang mula-mula mengajar adalah Syekh Sulaiman Al- Mufassir Al-
Mansyur. Pondok Pesantren ini berdiri dalam rangka menjawab tantangan
dan kekurangan Kader Ulama dan Kader Pimpinan Masyarakat di Minang
Kabau, yang dikenal dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah. Adapun Tujuan didirikannya pesantren ini adalah untuk
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama
intelektual, intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung
jawab serta berguna bagi masyarakat. Dan Visi yang dimiliki oleh Pondok
Pesantren Thawalib ini yaitu Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam
Syari'ah, Uswatun Hasanah dalam Akhlaq, dengan misi yang diemban
adalah: mempersiapkan kader ulma, mubaligh, imam, khatib, dan
cendikiawan, mempersiapkan kader pemimpin masyarakat,
mempersiapkan kader muda yang berjiwa wiraswasta, mempersiapkan
kader muda yang siap membela agama, masyarakat, dan negara,
mempersiapkan kemahiran berbahasa asing (Indonesia, Jepang, Arab, dan
Inggris), dan menghasilkan lulusan yang memahami dan menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah dan syari'ah, serta
sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah "Adat
Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah.
Pondok Pesantren Thawalib menerapkan sistem manejemen yang sesuai
dengan sistem pondok pesantren yang ada di Indonesia. Karena Pondok
Pesantren ini berada di bawah naungan Departemen Agama, maka
manajemen dan sistem pendidikan yang diselenggarakan adalah :
Raudhatul Adfal (RA), Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA). Pondok Pesantren Thawalib
menerapkan manejemen salaf dan khlaf Metode pembelajarannya
mengunakan sorongan, bandongan, halaqah, hafalan, dan klasikal.
2. Kurikulum yang dipakai di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung limau,
yaitu dengan mengadopsi kurikulum Departemen Agama, Departemen
Pendidikan Nasional dan kurikulum kepesantrenan. Penerapan kurikulum
ini mendapat respon dari masyarakat, sehingga adanya keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pesantren.
Di sisi lain pesantren dalam melakukan pengembangan kurikulum juga
memperhatikan, mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat
seperti yang dirumuskan dalam UU, Keputusan Pemerintah, peraturan

87
Daerah dan lain sebagainya. Menganalisis budaya masyarakat tempat
pesantren berada. Menganalisis kekuatan serta potensi daerah.
Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja. Menginterpretasi kebutuhan
individu dalam kerangka kepentingan masyarakat sekitar.
3. Proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau masih mengunakan kompenen-komponen pendidikan
Islam, seperti adanya Buya selaku pimpinan, ada ustadz untuk mengajar
ilmu agama (kitab), guru untuk mengajar pelajaran umum, ada santri
/siswa, ada Masjid sebagai sarana pegajian, ada sarana dan prasarana
lainnya, mempunyai buku /kitab sebagai sumber belajar, dan juga
mengunakan evaluasi untuk mengukur kemampuan santri dalam
penguasaan materi yang telah diajarkan, baik tertulis maupun lisan dan
praktek.
4. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki cita-cita untuk
membangun generasi Islam, pondok pesantren ini dihadapkan pada faktor
penghambat dan pendukung. Faktor Penghambat, seperti masalah
ekonomi, kurangnya perhatian pemerintah darerah terhadap lembaga
swasta, kompetisi yang tidak seimbang dengan sekolah umum, serta
terjadinya perubahan nilai di masyarakat. Meskipun kendala banyak,
namun pesantren tetap eksis dan optimis untuk mencerdaskan anak bangsa
dan memberikan pengetahuan agama, karena pesantren ini masih
didukung oleh beberapa faktor pendukung, seperti: Sarana dan prasarana
yang sudah agak memadai, tenaga pendidik/ustadz yang berkompeten,
serta adanya rencana kerja yang jelas (Master Pan Pondok Pesantren
Thawalib).
5. Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang telah berusia 85 tahun,
telah banyak menciptakan Alumni yang sudah bekerja sesuai dengan
profesi dan nasib masing-masing, seperti menjadi Polisi, Pengacara,
Hakim, Dosen/Guru, pengusaha, pedagang, dan lain-lain. Peranan yang
telah berhasil dikembangkan di Pondok Pesantren Thawalib dalam bentuk
kelembagaan berupa : terbentuknya Persantuan Mubaligh yang akan
berdakwah ke setiap Masjid dan Mushala yang ada dalam Kabupaten
Tanah Datar (Majlis Ta’lim) dan Lembaga Didikan Subuh Kecamatan
Pariangan. Pengembangan dalam peningkatan Simber daya manusia, yaitu
meberikan pelatihan dan seminar serta workshop bagi guru dan
masyarakat. Pengembangan lain adalah di bidang pendidikan umum yaitu
diajarkannya ilmu-ilmu umum serta adanya jurusan umum di pesantren ini
(jurusan IPS). Pengembangan terhadap sarana dan prasarana, yaitu
menambah lokal dan mendirikan labor komputer dan bahasa bagi santri,
serta menambah media pembelajaran. Dan pengembangan dalam
pendidikan keterampilan yakni dibuka/diadakannya tempat untuk
peningkatan ekonomi pesantren dalam bentuk Tempat Pendidikan Usaha
Santri (TPUS) berupa Koperasi Pondok Pesantren, pengembangan bidang
agrobisnis bidang peternakan sapi potong, TTG, dan pelatihan-pelatihan
menjahit dan bordir, perbengkelan dan elektronik serta komputer. Usaha-
usaha di atas berguna bagi santri dan masyarakat sekitarnya.

B. Saran-saran
Mengingat peranan Pondok Pesantren Thawalib penting dalam proses
pengembangan pendidikan Islam di masyarakat, maka dalam kerangka
membangun eksistensi pesantren di tengah-tengah perubahan zaman yang
sedang menglobalisasi ini, penulis menyarankan sebagai berikut :
1. Pesantren lebih memperhatikan dan mengembangkan wawasan berpikir
keilmuan dari sistem pendidikan nasional, yaitu metode berpikir deduktif,
induktif, kausalitas, dan kritis. Hal ini sangat penting artinya, jika kita
masih mengangap pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang
komprehensif dalam mencetak kader ulama sebagai pendakwah umat
dalam amar makruf dan nahi mungkar.
2. Pesantren perlu melakukan inovasi-inovasi yang sifat untuk kemajuan
santri selama inovasi tersebut masih dalam kerangka sistem pendidikan
Islam dan konsep islam yang dianut. Hal ini dimaksudkan agar pesantren

89
tidak selamanya dikatakan sebagai komunitas yang kolot dan terbelakang.
3. Dalam penerapan kurikulum yang diadopsi dari pemerintah dalam hal ini
yang bersifat ilmu umum, sebaiknya pondok pesantren mewarnainya
dengan pendidikan Islam itu sendiri,artinya pendidikan tersebut masih
dalam ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.
4. Pondok pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada
masyarakat secara wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan
kepada masyarakat akan tetap terasa bermuara pada pandangan dan sikap
Islami, dan terasa bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Begitu juga
mengenai aktivitas mesjid harus dijadikan basis pembinaan umat. Materi-
materi kajian pendidikan Islam yang disampaikan lewat khotbah jum’ah
dan ceramah-cemah harus dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi realitas umat yang dihadapi dan mengantisipasi kondisi perubahan
masa depan. Pondok pesantren dan mesjid perlu menggalang kerjasama
dengan para ulama dan para cendekiawan muslim yang di luar atau yang
tergabung dalam perguruan tinggi yang ada di sekitarnya.
5. Pendidikan Pesantren di masa depan harus menjadi pendidikan yang
mampu melahirkan anak-anak didik yang tidak hanya cemerlang secara
intelektual tetapi juga memiliki kecermelangan dalam sikap moral. Oleh
karena itu, dari sudut pengembangan akademik, pendidikan pesantren
ditantang untuk memberikan muatan-muatan ilmu eksak dalam
kurikulumnya, agar out putnya dapat menguasai IPTEK dengan baik,
sehingga pesantren ini mampu mengharumkan dan mengangkat prestasi
Kabupaten Tanah Datar diantara kabupaten-kabupaten lain yang ada di
propinsi Sumatera Barat bahkan di tingkat nasional.
91

Anda mungkin juga menyukai