Anda di halaman 1dari 38

KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI PENDIDIKAN

Disusun oleh: Dr. Helmawati, S.E., M.Pd.I.



A. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin. Berdasarkan Kamus Lengkap Bahasa
Inondesia Modern (2006), kata pimpin memiliki arti memimpin, menuntun, menunjukkan
jalan, mengepalai, melatih, mendidik, dan mengajari. Selain memiliki pengertian
menunjukkan jalan, memimpin juga berarti mempengaruhi dan pemimpin mempunyai
tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari
orang-orang yang dipimpinnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Inodnesia (KBBI, 2001), pimpinan adalah hasil memimpin,
bimbingan, atau tuntunan. Pemimpin adalah orang yang memimpin, sedangkan
kepemimpinan ialah perihal pemimpin atau cara memimpin. Oleh karena itu, setiap pemimpin
tidak akan sama dalam kepemimpinannya. Ini berarti bahwa seorang pemimpin akan
mempunyai gaya yang khas dalam memimpin.

B. Kepemimpinan Kepala Sekolah/Madrasah
Kepala sekolah atau kepala madrasah ialah salah satu personil sekolah/madrasah yang
membimbing dan memiliki tanggung jawab bersama anggota lain untuk mencapai tujuan.
Kepala sekolah atau kepala madrasah secara resmi diangkat oleh pihak atasan. Kepala sekolah
atau kepala madrasah ini disebut pemimpin resmi atau official leader.
Selanjutnya, untuk dapat mewujudkan tujuan pendidikan di lembaga yang
dipimpinnya, kepala sekolah atau kepala madrasah berdasarkan Daryanto (2011) harus: (1)
memiliki wawasan jauh ke depan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi)
serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi); (2) memiliki kemampuan
mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumber daya terbatas yang ada untuk
mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tidak terbatas);
(3) memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat, dan akurat);
(4) memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan dan
mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolah atau
madrasahnya; (5) memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang; (6) memiliki
kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah atau kepala madrasah, seperti
ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi,
pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak.
Demikianlah, bagi seorang kepala sekolah atau kepala madrasah memimpin adalah
mempengaruhi. Kepemimpinan bukan jabatan, posisi, atau bagan alir (flowchart).
Kepemimpinan adalah suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain.

C. Syarat Menjadi Kepala Sekolah atau Kepala Madrasah
Kepala sekolah atau kepala madrasah adalah seorang guru yang memiliki tambahan
tugas untuk membina dan memimpin anggotanya untuk mencapai tujuan. Agar seseorang
layak menjadi kepala sekolah atau kepala madrasah maka hendaknya memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan. Pimpinan harus memiliki kompetensi-kompetensi yang akan
menunjang kinerjanya.
M. Amin Thaib BR dkk. dalam bukunya Standar Supervisi dan Evaluasi Pendidikan
pada Madrasah Aliyah (Ditmapenda, 2005), menyatakan ada tiga kompetensi yang
seharusnya dimiliki oleh seorang kepala madrasah aliyah. Kompetensi tersebut yaitu:
kompetensi personal, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Namun, seperti yang
telah diuraikan sebelumnya bahwa kepala sekolah atau kepala madrasah adalah guru yang
memiliki tugas tambahan, maka kompetensi yang harus dimilikinya hendaknya disesuaikan
dengan kompetensi sebagai guru (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas). Kompetensi-
kompetensi tersebut yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional.
1. Kompetensi Pedagogik
Kepala sekolah atau madrasah harus memiliki ilmu yang sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan. Jenjang pendidikan minimal S1. Kepala sekolah atau kepala madrasah sejatinya
adalah guru, maka kompetensi pedagogik yang dimaksud adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan
dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi pedagogik perlu dimiliki agar kepala sekolah atau kepala madrasah mengetahui,
mampu menghayati dan berempati terhadap tugas yang akan diemban rekan-rekan guru yang
ada dibawah pimpinannya. Dengan jabatan tambahan sebagai kepala sekolah atau kepala
madrasah, selain memiliki kompetensi pedagogik tentunya juga harus memiliki keahlian atau
kecakapan dalam kepemimpinan dan keahlian manajerial yang dapat diperolehnya melalui
pendidikan, pelatihan atau penataran.
Contoh jenjang pelatihan atau penataran yang sebaiknya diikuti oleh kepala madrasah adalah:
a. Penataran yang diadakan oleh Departemen Agama, baik Diklat maupun oleh Ditmapenda
Islam;
b. Penataran/diklat yang diselenggarakan oleh instansi/organisasi secara swadaya;
c. Penataran/diklat tingkat nasional yang diadakan oleh Depdiknas;
d. Penataran instruktur tingkat nasional yang diadakan oleh PPPG kejuruan;
e. Penatara/diklat tingkat provinsi yang diadakan oleh bidang Mapenda maupun Dinas
Pendidikan setempat;
f. Penataran yang diadakan oleh Ditjen Pendidikan Luar Sekolah.
2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah atau kepala madrasah harus memiliki kepribadian
yang akan dapat dicontoh atau ditularkan kepada seluruh anggotanya, seperti: guru, staf TU,
karyawan, maupun para peserta didik.
Selain itu, nilai-nilai kepribadian yang dapat dilaksanakan dari butiran Pancasila,
diantaranya: harus memiliki kayakinan (beriman dan bertakwa) kepada Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki sifat kemanusian yang adil dan beradab, memiliki rasa cinta tanah air yang akhirnya
akan membawa pada sikap persatuan Indonesia, memiliki sifat suka bermusyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, dan memiliki sifat adil bagi seluruh
anggotanya.
Hal tersebut di atas jika dilaksanakan tentu akan dapat mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Maka sifat-sifat itulah yang harus dijadikan dasar
kepribadian seorang pemimpin.
3. Kompetensi Profesional
Profesional adalah orang yang dengan keahlian khusus menjalankan tugasnya dengan
sungguh-sungguh dan pekerjaannya itu dijadikan sebagai pencaharian hidup. Ini berarti
bahwa kepala sekolah atau kepala madrasah harus memiliki kemampuan yang menunjang
kinerjanya sebagai seorang pemimpin dan berkerja dengan kesungguhan hati. Untuk menjadi
kepala sekolah atau kepala madrasah yang profesional idealnya harus memahami secara
komprehensif bagaimana kinerja dan kemampuan manajerialnya dalam memimpin, sehingga
lembaga pendidikannya tersebut menjadi sekolah/madrasah yang berbudaya.
4. Kompetensi Sosial
Pemimpin tidak dapat bekerja seorang diri. Dia membutuhkan kerjasama dari orang
lain yang ada di dalam maupun di luar lingkungannya untuk mendukung seluruh program atau
rencana yang telah disusunnya. Oleh karena itu, pimpinan harus memiliki kemampuan
berkomunikasi dan berinteraksi yang baik dengan berbagai pihak, seperti: guru, staf tata
usaha, peserta didik, karyawan, pejabat pemerintah, pengusaha, dan juga masyarakat.
Orang-orang yang ada di sekitarnya tentu memiliki cara pandang (persepsi) yang
berbeda, tujuan dan harapan yang berbeda, keberagaman budaya, serta keyakinan yang
mungkin juga berbeda. Dalam menghadapai kondisi ini, kemampuan berinteraksi dan sosial
seorang pimpinan ditantang untuk mampu mengakomodir seluruh perbedaan yang diarahkan
dalam satu visi misi untuk meraih tujuan bersama. Kemampuan berkomunikasi yang efektif
akan menghantarkan seorang pemimpin pada pencapaian tujuan organisasi.

D. Fungsi Kepala Sekolah atau Kepala Madrasah
Berdasarkan buku Standar Supervisi dan Evaluasi Pendidikan pada Madrasah Aliyah
(2005), fungsi kepala sekolah atau kepala madrasah dibagi menjadi empat fungsi. Fungsi-
fungsi tersebut yaitu fungsi edukator, manajer, administrator, dan fungsi supervisor.
1. Fungsi sebagai Edukator
Bertugas melaksankan pembinaan anak dan proses belajar serta bermain secara efektif dan
efisien, terutama bila ada guru yang berhalangan.
Menanggapi pernyataan bahwa kepala sekolah berfungsi sebagai edukator atau pendidik,
Daryanto (2011) berpendapat bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses
pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah.
Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan
kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan
tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi
dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya
sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Fungsi sebagai Manajer
Fungsi sebagai manajer terdiri dari empat. Pertama, fungsi perencanaan. Sebagai seorang
perencana seorang pimpinan harus memiliki visi yang jelas. Daryanto (2011) menyatakan
bahwa sebuah visi adalah pernyataan yang secara relatif mendeskripsikan aspirasi atau arahan
untuk masa depan organisasi. Agar visi sesuai dengan tujuan organisasi di masa mendatang,
para pemimpin harus menyusun dan menafsirkan tujuan-tujuan bagi individu dan unit-unit kerja.
Kedua, fungsi pengorganisasian. Tindakan manajemen para pemimpin organisasi dalam
mengendalikan organisasi meliputi: (a) mengelola harta milik atau aset organisasi; (b)
mengendalikan kualitas kepemimpinan dan kinerja organisasi; (c) menumbuhkembangkan serta
mengendalikan situasi maupun kondisi kondusif yang berkenaan dengan keberadaan hubungan
dalam organisasi.
Ketiga, fungsi pelaksanaan. Untuk melaksanakan kepemimpinan yang efektif diperlukan pengetahuan
yang luas, seni, dan juga keahlian. Dalam proses pelaksanaan, seorang pemimpin berperan untuk
membangkitkan semangat kerja, khususnya para guru baik dengan reward atau punishment; atau
pelatihan baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Dan fungsi yang
keempat, yaitu pengendalian. Ruang lingkup peran pengendali organisasi yang melekat pada pemimpin
meliputi pengendalian pada perumusan pendefinisian masalah dan pemecahannya,
pengendalian pendelegasian wewenang, pengendalian uraian kerja dan manajemen konflik.
Dalam buku Standar Supervisi pada Madrasah Aliyah (2005), fungsi kepala sekolah atau
madrasah sebagai manajer bertugas menyelenggarakan kegiatan pendidikan diantaranya:
penyusunan program kerja, mengatur kegiatan mengajar-belajar dan bermain, menyusun
rencana anggaran dan pendapatan sekolah atau madrasah, membina para personal, menilai
kinerja para personal, merencanakan pengembangan dan pendayagunaan sarana dan
prasarana, melaksanakan hubungan sekolah/madrasah dengan lingkungan.
Sedangkan dalam Standar Supervisi Pendidikan pada MTs (2005), fungsi kepala madrasah
sebagai manajer pendidikan meliputi: menentukan dan menetapkan kebijakan teknis,
mengambil keputusan, bersama-sama warga madrasah menentukan RAPBM,
mengorganisasikan kegiatan madrasah, mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan
madrasah, mengatur proses penyelenggaraan pendidikan dan semua komponen yang terlibat,
dan melaksanakan pengawasan serta evaluasi.
3. Fungsi sebagai Administrator
Mengutip Soekarto Indrafachrudi (2006), Archibald B. Shaw menyatakan bahwa administrasi
pendidikan adalah proses mempertumbuhkan aktivitas yang bersifat khusus melalui kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, dan pembinaan, baik mengenai sumber daya manusia
maupun mengenai sumber daya nonmanusia, agar pembina sekolah lebih mampu
menciptakan situasi belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan sekolah. Maka administrator
sekolah berarti adalah orang yang memimpin pelaksanaan administrasi sekolah.
Kepala sekolah atau kepala madrasah bertugas menyelenggarakan administrasi sekolah atau
madrasah. Selanjutnya, Daryanto (2011) menyatakan bahwa fungsi kepala sekolah sebagai
administrator khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan. Salah satu faktor yang
harus diprioritaskan di sekolah yaitu sumber daya manusia, guru. Untuk tercapainya
peningkatan kompetensi guru tentu tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah
dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi
terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu, kepala sekolah seyogyanya dapat
mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
Sementara itu, dalam Supervisi Pendidikan (2005), kepala sekolah atau kepala madrasah
seharusnya memiliki instrumen administrasi sebagai berikut:
a. Instrumen administrasi yang berbentuk buku
1) Administrasi umum, meliputi: buku agenda, buku ekspedisi, buku rincian tugas, buku tamu
umum, buku tamu dinas, buku cuti, dan buku inventaris, serta buku arsip surat masuk
atau keluar.
2) Administrasi siswa-siswi, meliputi: buku penerimaan siswa, buku induk, jumlah siswa
menurut kelompok, absen gabungan, arsip buku laporan pribadi, rekapitulasi
perkembangan siswa, mutasi siswa, daftar siswa yang naik tingkat, rekapitulasi siswa yang
melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, dan buku klapper.
3) Administrasi program, meliputi rencana program tahunan (semester 1 dan 2) yang terdiri
dari program peningkatan SDM dan program pengajaran.
4) Administrasi guru, meliputi: buku absen, buku kondite guru, buku kunjungan kelas, buku
notulen rapat, buku catatan peristiwa penting, serta buku bimbingan dan penyuluhan.
b. Administrasi dinding
Administrasi dinding meliputi: program kerja tahunan, struktur program kegiatan belajar,
struktur organisasi sekolah atau madrasah, visi dan misi sekolah atau madrasah, grafik jumlah
siswa, grafik absen gabungan, grafik pendidikan orang tua, grafik jarak tempuh, papan
statistik, papan pencatatan tugas, rencana kegiatan sekolah atau madrasah, dan jadwal piket.
4. Fungsi sebagai Supervisor
Bertugas menyelenggarakan kegiatan supervisi dan pengawasan. Salah satunya yaitu dalam
mensupervisi guru pada saat melaksanakan proses mengajar. Kepala sekolah sebagai
supervisor dapat melakukan kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran
secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan,
dan ketertiban siswa dalam proses pembelajaran (Mulyasa, 2004).
Dari hasil survei ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam
melaksanakan pembelajaran. Tingkat penguasaan kompetensi guru yang disupervisi
selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan, dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat
memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam
melaksanakan pembelajaran.
Mengutip Soekarto Indrafachrudi (2006), Wiles (1961) menyatakan bahwa untuk menjalankan
fungsinya sebagai seorang supervisor pendidikan kepala sekolah atau kepala madrasah
membutuhkan lima macam keterampilan. Lima macam keterampilan tersebut, yaitu: skill in
leadership, skill in human relationship, skill in group process, skill in personnel administration,
dan skill in evaluation.
Sedangkan dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006)
terdapat tujuh peran utama kepala sekolah. Tujuh peran utama kepala sekolah tersebut, yaitu
sebagai: edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja,
wirausahawan, serta layanan bimbingan dan konseling.
1. Peran sebagai Edukator
Kegiatan mengajar belajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan
pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan
komitmen tinggi tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki
gurunya sehingga kegiatan mengajar belajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Peran sebagai Manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas kepala sekolah adalah melaksanakan
kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru, seperti: MGMP/MGP tingkat
sekolah, in house trainning, diskusi profesional, atau kesempatan melanjutkan pendidikan dan
pelatihan di luar sekolah.
Sementara, Daryanto (2011) menyatakan bahwa manajer bertugas menetapkan rencana dan
mengalokasikan sumber daya yang ada untuk mewujudkan tujuan. Ia menetapkan struktur
organisasi dan menempatkan orang sesuai dengan struktur yang ada, lalu mendelegasikan
tanggung jawab serta wewenang. Manajer kemudian memantau hasil yang didapat dan
membandingkan dengan rencana semula, lalu mengidentifikasi penyimpangan jika terjadi dan
membuat lagi perencanaan dan pengorganisasian untuk menyelesaikan masalah yang timbul
sehingga menghasilkan output yang sesuai dengan hasil yang diharapkan.
3. Peran sebagai Administrator
Fungsi ini khususnya yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan. Seberapa besar sekolah
dapat mengalokasikan anggaran untuk peningkatan kompetensi para gurunya. Oleh karena
itu, kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya
peningkatan kompetensi para guru tersebut.
4. Peran sebagai Supervisor
Posisi ini berfungsi untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran
dan secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi. Kegiatan supervisi
dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara
langsung terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media, dan sejauh mana
keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Dari hasil supervisi ini dapat diketahui
kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Tingkat
penguasaan kompetensi guru yang disupervisi selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan, dan
tindak lanjut sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan sekaligus mempertahankan
keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
5. Peran sebagai Leader
Sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah setidaknya memiliki dua gaya kepemimpinan, yaitu
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan pada manusia. Dalam rangka meningkatkan
kompetensi guru, kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut
secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Namun
demikian, dari hasil studi yang dilakukan Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256
guru sekolah dasar di Bantul, terungkap bahwa etos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin
oleh kepala sekolah atau kepala madrasah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
manusia.
6. Peran sebagai Pencipta Iklim Kerja
Sebagai pencipta iklim kerja, kepala sekolah harus menciptakan iklim kerja yang kondusif.
Dengan terciptanya suasana atau iklim kerja yang kondusif akan membuat proses belajar
mengajar terwujud secara efektif dan efisien.
7. Peran sebagai Wirausahawan
Melalui prinsip-prinsip penerapan kewirausahaan yang dihubungkan dengan peningkatan
kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan,
keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Dengan sikap kewirausahaan
yang kuat kepala sekolah atau kepala madrasah akan berani melakukan perubahan-perubahan
yang inovatif di sekolah/madrasahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan
dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
8. Peran sebagai Layanan Bimbingan dan Konseling
Sebagai seorang pimpinan di suatu kelompok atau organisasi, kepala sekolah atau kepala
madrasah akan menghadapi berbagai situasi yang mengharuskan dia memberikan pelayanan
bimbingan dan konseling baik kepada para guru ataupun peserta didik. Layanan ini diharapkan
dapat membantu mencarikan solusi atau menyelesaikan masalah pribadi, sosial, maupun
jenjang pendidikan atau karir di masa mendatang.
Perbedaan antara banyak atau sedikitnya fungsi kepala sekolah atau kepala madrasah
di atas tentulah didasarkan kepada jenis, jenjang, serta besar atau kecilnya lembaga
pendidikan tersebut. Sebagai gambaran, untuk jenjang pendidikan tingkat menengah, fungsi
pemimpin di Madrasah Tsanawiyah (MTs) minimal terdiri dari tiga fungsi. Fungsi tersebut
yaitu fungsi sebagai manajer, administrator, dan supervisor (Depag RI, 2005). Sedangkan di
tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) atau mungkin Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), fungsi kepala sekolah atau kepala madrasah tentunya akan lebih
kompleks lagi.

E. Tugas Kepala Sekolah atau Kepala Madrasah
Tugas-tugas kepala sekolah atau kepala madrasah dapat dirinci sebagai berikut
(Ditmapenda, 2000):
1. Kegiatan Tahunan
a. Merencanakan kebutuhan guru dan tenaga kependidikan lainnya;
b. Pembagian tugas guru dan tenaga kependidikan lainnya;
c. Rencana program kerja umum dan program kegiatan belajar mengajar (KBM) tahunan;
d. Rencana kebutuhan buku, alat-alat tulis, dan lain-lain;
e. Rencana peningkatan kualitas guru.
2. Kegiatan Semester
a. Menandatangani buku laporan penilaian perkembangan anak didik (raport);
b. Menyusun kegiatan semester;
c. Menyusun laporan semester.
3. Kegiatan Bulanan
a. Penyelesaian gaji pegawai;
b. Merencanakan keperluan kantor dan belanja bulanan;
c. Pemeriksaan daftar hadir guru dan tenaga kependidikan lainnya;
d. Pembinaan terhadap orang tua anak didik.
4. Kegiatan Mingguan
a. Upacara bendera;
b. Membicarakan dan membahas tentang Satuan Kegiatan Mingguan (SKM) dan Satuan
Kegiatan Harian (SKH);
c. Mengecek dan menyelesaikan hal-hal yang bersifat rutin, dll.
5. Kegiatan Harian
a. Memeriksa daftar hadir guru dan tenaga kependidikan lainnya;
b. Memeriksa persiapan mengajar guru dan membimbing guru dalam KBM;
c. Mengawasi kegiatan belajar mengajar;
d. Menyelesaikan surat keluar/masuk.
6. Kegiatan Menjelang Akhir Tahun Pelajaran
a. Menandatangani Buku Laporan Penilain Perkembangan Siswa dan menerbitkan sertifikat
atau ijazah;
b. Surat menyurat tentang anak didik yang pindah/keluar;
c. Merencanakan dan melaksanakan penerimaan anak didik baru;
d. Menyusun laporan akhir tahunan sekolah/madrasah, dan lain-lain.

F. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah atau Kepala Madrasah


Stoner dan Freeman (1996), merumuskan tipe kepemimpinan untuk masa depan The
Future of Leadership Theory, yaitu: transformational or charismatic leadership, selain gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
karyawan, dan gaya kepemimpinan model Fiedler.
1. Gaya Kepemimpinan Yang Berorientasi Pada Tugas
Kepala sekolah atau kepala madrasah yang memiliki gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas akan mengawasi bawahan secara ketat untuk memastikan bahwa
tugas dilaksanakan secara memuaskan. Pelaksanaan tugas itu jauh lebih penting bagi
mereka ketimbang pertumbuhan karyawan atau kepuasan pribadi.
2. Gaya Kepemimpinan Yang Berorientasi Pada Bawahan
Kepala sekolah atau kepala madrasah yang berorientasi pada karyawan lebih berusaha
memotivasi daripada mengendalikan bawahan. Mereka mengupayakan hubungan
sahabat, saling percaya, saling menghargai dengan karyawan, dan sering mengizinkan
untuk berperan serta dalam membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Robert Tennenbaum dan Warren H. menyatakan bahwa berbagai faktor yang dipikirkan
mempengaruhi pilihan pimpinan sebagai manajer akan gaya kepemimpinannya. Seorang
manajer perlu memperhatikan tiga macam kekuasaan sebelum memilih gaya
kepemimpinan. Tiga macam kekuasaan tersebut yaitu: kekuasaan yang ada di tangan
manajer, kekuasaan yang ada di tangan karyawan, dan kekuasaan dalam situasi.
Tidak diragukan lagi bahwa gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh latar belakang,
pengetahuan, nilai-nilai, dan pengalamannya. Karakteristik anak buah juga harus
dipertimbangkan sebelum pemimpin memilih gaya kepemimpinan yang tepat.

3. Gaya Kepemimpinan Model Fiedler
Asumsi dasar Fiedler adalah cukup sulit bagi kepala sekolah atau kepala madrasah sebagai
manajer untuk mengubah gaya manajemen yang membuat mereka sukses. Kebanyakan
gaya relatif kaku dan karena tidak ada satu gaya pun yang cocok untuk setiap situasi.
Prestasi kerja kelompok yang efektif hanya dapat dicapai dengan mencocokkan manajer
dengan situasi atau dengan mengubah situasi agar cocok dengan manajer.
Gaya kepemimpinan yang ditawarkan Fiedler serupa dengan gaya yang berorientasi pada
karyawan dan berorientasi pada tugas. Perbedaannya ialah alat ukur yang dipakainya.
Fiedler mengukur gaya kepemimpinan pada skala yang menunjukkan tingkat seseorang
menguraikan secara menguntungkan atau merugikan rekan sekerjanya yang paling tidak
disukai (least preferred co-worker, LPC) atau rekan kerja yang hampir tidak dapat diajak
bekerjasama. Menurut penemuan Fiedler ini, seseorang yang memberikan gambaran
tentang rekannya yang paling tidak disukai dengan cara yang relatif menguntungkan
(manajer dengan LPC tinggi) cenderung menjadi orang yang suka memberi kebebasan
atau permisif, berorientasi pada hubungan antar manusia, dan memperhatikan perasaan
anak buahnya. Namun, seseorang yang menggambarkan tentang rekannya yang paling
tidak disukai dengan cara yang merugikan (manajer dengan LPC rendah) cenderung
mengatur, mengendalikan tugas, dan kurang memperhatikan aspek hubungan antar
manusia dalam pekerjaan.
Menurut Fiedler, manajer dengan LPC tinggi ingin mempunyai hubungan pribadi yang
hangat dengan rekan sekerjanya dan akan menganggap hubungan dekat dengan
karyawan itu penting bagi efektivitas mereka secara keseluruhan. Sebaliknya, manajer
dengan LPC rendah ingin supaya pekerjaannya beres dan merasa bahwa gaya keras
diperlukan untuk mempertahankan produksi serta tidak segan-segan menggunakannya.
Fiedler telah mengidentifikasi tiga macam situasi kepemimpinan atau variabel yang
membantu menentukan gaya kepemimpinan mana yang akan efektif: hubungan
pemimpin-anggota, struktur tugas, dan kekuasaan posisi pemimpin. Penelitian Friedler ini
tidak termasuk variabel situasi lain seperti motivasi karyawan dan nilai serta pengalaman
pemimpin dan anggota kelompok.
Mutu hubungan pemimpin-anggota merupakan pengaruh paling penting terhadap
kekuasaan dan efektivitas manajer. Bila manajer mempunyai hubungan yang baik dengan
sisa anggota kelompok. Bila anggota kelompok menghormati manajer dengan alasan
kepribadian, karakter, atau kemampuan, maka manajer mungkin tidak perlu
mengandalkan pangkat atau wewenang formal. Sebaliknya, seorang manajer yang tidak
disukai atau tidak dipercayai mungkin kurang mampu memimpin secara informal dan
mungkin harus mengandalkan perintah untuk menyelesaikan tugas kelompok.
Struktur tugas adalah variabel yang paling penting kedua dalam situasi kepemimpinan.
Tugas yang amat terstruktur adalah tugas yang mempunyai prosedur atau perintah
langkah demi langkah. Oleh karena itu, anggota kelompok mempunyai ide yang amat jelas
mengenai apa yang diharapkan dari mereka untuk dilakukan. Manajer dalam situasi
seperti ini secara otomatis mempunyai wewenang yang besar sekali karena ada pedoman
yang jelas untuk mengukur kinerja karyawan, dan manajer dapat menyokong instruksinya
dengan mengacu pada buku peraturan atau buku panduan (pada kebijakan yang serba
pasti). Sebaliknya, pada tugas tidak terstruktur, seperti dalam pertemuan-pertemuan
komite, peran anggota kelompok semakin membingungkan. Kekuasaan manajer
berkurang, karena anggota kelompok dapat dengan mudah sekali tidak menyetujui atau
mempersoalkan perintah manajer.
Kekuasaan posisi pemimpin merupakan variabel situasional terakhir yang diidentifikasi
oleh Fiedler. Beberapa posisi, seperti pucuk pimpinan sebuah perusahaan, membawa
kekuasaan dan wewenang yang besar sekali. Sebaliknya, ketua gerakan pengumpulan
dana mempunyai kekuasaan yang kecil atas para pekerja. Jadi, kekuasaan posisi yang
tinggi menyederhanakan tugas pemimpin mempengaruhi orang lain, sedangkan
kekuasaan posisi yang rendah membuat tugas pemimpin menjadi lebih sulit.
Model Fiedler ini menunjukkan bahwa pencocokkan yang memadai dari gaya
kepemimpinan (menurut ukuran nilai LPC) pada situasi (tiga variabel tersebut)
menghasilkan prestasi kerja manajerial efektif. Modelnya telah berhasil digunakan sebagai
dasar program pelatihan. Dalam pelatihan itu manajer diberi petunjuk bagaimana caranya
mengubah variabel situasional agar sesuai dengan gaya kepemimpinannya, dan bukan
memodifikasi gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan situasi.
4. Gaya Kepemimpinan Masa Depan: Transformasional dan Kharismatik
a. Gaya kepemimpinan transformasional berdasarkan Bernard M. Bass memotivasi kita
untuk berbuat lebih dari apa yang sesungguhnya diharapkan dari kita dengan
meningkatkan arti penting dan nilai tugas di mata kita, dengan mendorong kita
mengorbankan kepentingan kita sendiri demi kepentingan tim, organisasi, atau kebijakan
yang lebih besar dan dengan menaikkan tingkat kebutuhan kita ke taraf yang lebih tinggi
seperti aktualisasi diri.
Selanjutnya Richard Boyd memodifikasi teori kepemimpinan transformasional dengan
mengusulkan bahwa perubahan-perubahan dalam struktur dan strategi industri Amerika
telah menciptakan suatu kebutuhan akan suatu jenis kepemimpinan baru yang menguasai
suatu rangkaian keahlian yang berbeda dari yang dikemukakan oleh para ahli teori
manajemen dahulu. Keahlian kepemimpinan baru ini meliputi:
(1) Keahlian mengantisipasi: pengamatan sebelumnya ke dalam suatu lingkungan yang terus
menerus berubah;
(2) Keahlian visioning: penggunaan bujukan dan teladan untuk mengajak kelompok bertindak
sesuai dengan tujuan pemimpin atau tujuan bersama suatu kelompok;
(3) Keahlian kesesuaian nilai (value-congruence): kebutuhan akan perhatian terhadap
kebutuhan-kebutuhan ekonomi, keamanan, psikologis, spiritual, seksual, estetik dan fisik
dari karyawan guna melibatkan orang berdasarkan motivasi, nilai, dan tujuan bersama;
(4) Keahlian pemberian kuasa: hasrat untuk membagi kekuasaan dan menjadikannya begitu
efektif; dan
(5) Keahlian pemahaman diri: keahlian introspeksi atau pemahaman diri, juga kerangka kerja
di mana para pemimpin memahami baik kebutuhan dan tujuan mereka sendiri maupun
kebutuhan dan tujuan karyawan.
b. Sedangkan gaya kepemimpinan kharismatik berdasarkan teori Robert J. House
dikemukakan bahwa pemimpin kharismatik mempunyai tingkat kekuasaan rujukan yang
sangat tinggi dan bahwa sebagian dari kekuasaan tersebut berasal dari keinginan mereka
untuk mempengaruhi orang lain. Pemimpin kharismatik mempunyai tingkat kepercayaan
diri, dominasi yang sangat tinggi, serta keyakinan yang kuat akan kebenaran moral dari
kepercayaannya atau sekurang-kurangnya kemampuan untuk meyakinkan para
pengikutnya bahwa dia memiliki kepercayaan dan keyakinan tersebut.
House berpendapat bahwa pemimpin kharismatik mengkomunikasikan suatu visi atau
tujuan bertaraf lebih tinggi (transenden) yang merebut komitmen dan energi para
pengikut. Mereka secara berhati-hati menciptakan suatu citra keberhasilan dan
kompetensi serta memberi contoh dalam perilaku mereka sendiri, nilai-nilai yang mereka
dukung. Mereka juga mengkomunikasikan harapan yang tinggi atas para pengikutnya dan
kepercayaan bahwa para pengikutnya akan memenuhi harapan tersebut.
Dalam lingkungan pendidikan di Indonesia, khususnya di lingkungan pendidikan Islam
terutama pesantren, gaya kepemimpinan yang muncul adalah gaya kepemimpinan
kharismatik. Di mana para santri sangat menghormati, mengikuti dan menerapkan ajaran
(nilai-nilai) atau keyakinan yang diterapkan kiainya yang memiliki nilai-nilai transenden.
Sementara itu, Daryanto (2011) merumuskan macam-macam gaya kepemimpinan
lainnya, diantaranya yaitu: gaya kepemimpinan demokratis, gaya kepemimpinan otoriter,
dan gaya kepemimpinan bebas.
1. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan demokratis menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting
dalam setiap kelompok atau organisasi. Gaya kepemimpinan tipe ini diwujudkan dengan
dominasi perilaku sebagai pelindung dan penyelamat dan perilaku yang cenderung
memajukan dan mengembangkan organisasi atau kelompoknya. Di samping itu juga
diwujudkan melalui perilaku sebagai pelaksana (eksekutif).
Dengan didominasi oleh ketiga perilaku kepemimpinan tersebut, berarti gaya ini diwarnai
dengan usaha mewujudkan dan mengembangkan hubungan manusiawi (human
relationship) yang efektif, berdasarkan prinsip saling menghormati dan menghargai satu
sama lain. Pemimpin memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya
sebagai subjek yang memiliki kepribadian dengan berbagai aspeknya, seperti dirinya juga.
Kemauan, kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat, minat atau perhatian,
kreativitas, inisiatif, dan lain-lain yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain
selalu dihargai dan disalurkan secara wajar.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas, gaya kepemimpinan ini selalu berusaha untuk
memanfaatkan setiap orang yang dipimpin. Proses kepemimpinan diwujudkan dengan
cara memberikan kesempatan yang luas bagi anggota kelompok atau organisasi untuk
berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Partisipasi ini disesuaikan dengan posisi atau jabatan
masing-masing, di samping memperhatikan pula tingkat dan jenis kemampuan setiap
anggota kelompok atau organisasi. Para pemimpin pelaksana sebagai pembantu pucuk
pimpinan memperoleh pelimpahan wewenang dan tanggung jawab yang sama atau
seimbang bagi pencapaian tujuan bersama. Sedangkan bagi para anggota kesempatan
berpartisipasi dilaksanakan dan dikembangkan dalam berbagai kegiatan di lingkungan unit
masing-masing dengan mendorong terwujudnya kerja sama baik antara anggota dalam
satu unit maupun dengan unit yang berbeda. Kondisi ini memungkinkan setiap orang siap
untuk dipromosikan menduduki jabatan atau posisi pemimpin secara berjenjang jika
terjadi kekosongan karena pensiun, pindah, meninggal dunia, atau sebab-sebab lain.
Kepemimpinan dengan gaya demokratis dalam mengambil keputusan sangat
mementingkan musyawarah yang diwujudkan pada setiap jenjang dan di dalam unit
masing-masing. Dengan demikian, dalam pelaksanaan setiap keputusan tidak dirasakan
sebagai kegiatan yang dipaksakan. Justru sebaliknya, semua merasa terdorong
mensukseskannya sebagai tanggung jawab bersama. Setiap anggota kelompok merasa
perlu aktif bukan untuk kepentingan sendiri atau beberapa orang tertentu, tetapi untuk
kepentingan bersama. Aktivitas dirasakan sebagai kebutuhan bersama tanpa ada
perasaan tertekan dan takut, namun pemimpin selalu dihormati dan disegani secara
wajar.
2. Gaya Kepemimpinan Otoriter
Gaya kepemimpinan otoriter merupakan gaya kepemimpinan yang paling tua yang dikenal
manusia. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan di tangan satu
orang atau sekelompok kecil orang yang di antara mereka tetap ada seorang yang paling
berkuasa. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Orang-orang yang dipimpin
yang jumlahnya lebih banyak merupakan pihak yang dikuasai yang disebut bawahan atau
anak buah. Kedudukan bawahan semata-mata sebagai pelaksana keputusan, perintah,
dan bahkan kehendak pimpinan. Pemimpin memandang dirinya lebih dalam segala hal
dibanding bawahannya. Kemampuan bawahan selalu dipandang rendah sehingga
dianggap tidak mampu berbuat sesuatu tanpa perintah.
Perintah pemimpin sebagai atasan tidak boleh dibantah karena dipandang sebagai satu-
satunya yang paling benar. Pemimpin sebagai penguasa merupakan penentu nasib
bawahannya. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain selain harus tunduk dan patuh di
bawah kekuasaan sang pemimpin. Kekuasaan pimpinan digunakan untuk menekan
bawahan dengan mempergunakan sanksi atau hukuman sebagai alat utama. Pemimpin
menilai kesuksesannya dari segi timbulnya rasa takut dan kepatuhan yang bersifat kaku.
3. Gaya Kepemimpinan Bebas (Laisser-Faire)
Kepemimpinan bebas merupakan kebalikan dari gaya kepemimpina otoriter. Dilihat dari
segi perilaku, ternyata gaya kepemimpinan ini cenderung didominasi oleh perilaku
kepemimpinan kompromi (compromiser) dan perilaku kepemimpinan pembelot
(deserter).
Pemimpin berkedudukan sebagai simbol. Kepemimpinannya dijalankan dengan
memberikan kebebasan penuh pada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan
dan melakukan kegiatan (berbuat) menurut kehendak dan kepentingan masing-masing
baik secara perorangan maupun berupa kelompok-kelompok kecil.
Pemimpin hanya memfungsikan dirinya sebagai penasehat. Kesempatan itu diberikan baik
sebelum maupun sesudah anggota yang bersangkutan menetapkan keputusan atau
melaksanakan suatu kegiatan, sehingga apabila tidak seorang pun mengambil inisiatif
untuk menetapkan atau melakukan suatu kegiatan maka kepemimpinan dan keseluruhan
kelompok atau organisasi menjadi tidak berfungsi. Keadaan ini menyebabkan kegiatan
menjadi tidak terarah dan simpang siur, wewenang tidak jelas dan tanggung jawab
menjadi kacau.
Gaya atau perilaku kepemimpinan yang termasuk dalam tipe ini antara lain:
a. Kepemimpinan Agitator
Tipe kepemimpinan ini diwarnai dengan kegiatan pemimpin dalam bentuk tekanan, adu
domba, memperuncing perselisihan, menimbulkan dan memperbesar perpecahan,
pertentangan, dan lain-lain dengan maksud untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya
sendiri.
b. Kepemimpinan Simbol
Tipe kepemimpinan ini menempatkan seorang pemimpin sekedar sebagai lambang atau
simbol tanpa menjalankan kegiatan kepemimpinan yang sebenarnya.
Selain ketiga gaya kepemimpinan yang telah diuraikan di atas, menurut Daryanto
masih terdapat beberapa gaya atau perilaku kepemimpinan yang tidak dapat
dikategorikan ke dalam salah satu tipe kepemimpinan tersebut. Sekurang-kurangnya ada
lima gaya kepemimpinan seperti itu, yaitu: gaya kepemimpinan ahli (expert), kharismatik,
paternalistik (bersifat kebapakan), pengayom, dan transformasional.
Selanjutnya, Soekarno Indrafachrudi dalam bukunya Bagaimana Memimpin
Sekolah yang Efektif (2006) menyatakan bahwa tipe-tipe yang akan diuraikan di bawah ini
adalah tipe-tipe yang sangat berkaitan dengan sifat dan watak pribadi seorang pemimpin.
Di dalam praktiknya ternyata tipe-tipe itu bervariasi tergantung pada situasi kematangan
bawahan yang akan dibinanya. Inilah yang disebut dengan kepemimpinan situasional.
Yang dimaksud dengan situasi kematangan itu adalah kemampuan terpimpin (bawahan)
yang berunsur pada kemampuan pengetahuan dan kemampuan keterampilan. Disamping
itu juga tergantung pada motivasi dari dalam dirinya dan keyakinannya, sifat materi,
waktu pelaksanaan dan tempat pelaksanaan itu sendiri. Berdasarkan cara pelaksanaannya
ada empat tipe atau gaya kepemimpinan, yaitu:
1. Kepemimpinan Otokratis
Seorang pemimpin yang otokratis ingin memperlihatkan kekuasaannya dan ingin
berkuasa. Ia berpendapat bahwa tanggung jawabnya sebagai pemimpin besar sekali. Maju
mundur sekolah yang dipimpinnya sangat bergantung kepadanya. Sehubungan dengan
itu, ia menghendaki dan mengharapkan bawahannya harus bekerja keras, dan
bersungguh-sungguh. Ia takut dan merasa cemas kalau-kalau pekerjaan yang dilakukan
bawahannya tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Oleh karena itu, pengawasannya
sangat ketat.
Suasana di sekolah selalu tegang, instruksi-instruksi yang diberikan harus dipatuhi. Dialah
yang membuat peraturan yang harus ditaati dan dia pula yang mengawasi serta menilai
pekerjaan bawahannya. Dia sangat menentukan apa yang harus dikerjakan dan
bagaimana cara mengerjakannya, guru-guru tidak diberi kesempatan untuk berinisiatif
atau mengembangkan daya kreatifnya. Apa yang menurutnya benar itulah yang benar,
pendapatnya tidak dapat dibantah oleh orang lain.
Acara rapat dewan guru disusunnya sendiri, ia juga yang memimpin rapat dan tidak
menghendaki guru-guru keluar dari pokok pembicaraan dalam rapat itu. Ia memimpin
rapat secara tertib, teratur, tegas, dan cepat. Pada umumnya situasi yang demikian tidak
akan menggembirakan guru-guru. Sebagai akibatnya mereka bersifat acuh tak acuh atau
memberontak, kecuali guru yang menjadi sahabat atau kesayangannya.
2. Kepemimpinan Pseudo-Demokratis
Tipe pemimpin seperti ini berpura-pura memperlihatkan sifat demokratis dalam
kepemimpinannya. Ia memberi hak dan kuasa kepada guru-guru untuk menetapkan dan
memutuskan sesuatu, tetapi sesungguhnya ia bekerja dengan perhitungan; ia mengatur
siasat agar kemauannya terwujud kelak. Ia berusaha supaya di dalam pergaulan disenangi
dan disegani. Ia sangat sopan dan selalu ingin memberi pertolongan kepada bawahannya
jika diminta. Tetapi sifat-sifat dan sikap itu ditonjolkan dengan maksud supaya mendapat
kepercayaan dari pihak guru yang dikasihinya.
Masalah-masalah yang dihadapi di sekolah diperbincangkan terlebih dahulu dengan guru-
guru yang berpengaruh sebelum dibawa ke dalam sidang dewan guru-guru. Ia yakin
bahwa setiap usul yang bertentangan dengan perbincangan dan putusan bersama guru-
guru itu pasti akan ditolak dalam rapat. Acara rapat dewan guru disusun oleh suatu panitia
yang bekerja sama dengan kepala sekolah. Di dalam rapat ia banyak memberi kesempatan
kepada guru untuk mengemukakan pendapat dan saran. Ia ingin memberi kesan bahwa ia
sungguh-sungguh memperhatikan pendapat dan saran itu, tetapi sebenarnya ia licik sekali
dan bermanipulasi sedemikian rupa sehingga pendapatnyalah yang harus disetujui dan
diterima rapat. Jika ada guru-guru yang tidak dapat menyetujui pendapatnya, mereka
tidak berani beraksi atau menentang. Sebagai akibatnya setiap tahun banyak guru yang
meminta pindah atau keluar.
Bagi pemimpin seperti itu, kepemimpinan demokratis berarti memberi bimbingan dengan
lemah lembut dalam mengerjakan hal-hal yang dikehendakinya sehingga mereka
melakukannya. Demikianlah sifat seorang pemimpin pseudo-demokratis. Pseudo berarti
palsu, ia sebenarnya bersifat otokratis tetapi dalam kepemimpinannya ia memberi kesan
demokratis. Kimball Wiles menyebut cara memimpin yang seperti ini dengan istilah
manipulasi diplomatis (diplomatic manipulation).
3. Kepemimpinan Laissez-Faire
Gaya kepemimpinan yang bersifat laissez-faire menghendaki supaya kepada bawahannya
diberikan banyak kebebasan. Ia memberikan kebebasan kepada guru untuk berinisiatif
dan bekerja sesuka hati menurut kebijaksanaan sendiri. Berikan kepercayaan kepada
mereka, hargai usaha-usaha mereka, jangan menghalang-halangi mereka dalam
pekerjaan, tidak perlu diawasi karena segala sesuatu pasti akan beres.
Ia yakin bahwa guru-guru akan bekerja dengan penuh kegembiraan. Pemimpin tipe ini
bekerja tanpa rencana, karena ia berpendapat bahwa suatu rencana akan mengekang
kebebasan guru. Oleh karena itu, bimbingan pun tidak diberikan kepada mereka.
Pemimpin bersikap acuh tak acuh terhadap tugas dan kewajibannya di sekolah. Tipe
pemimpin yang memiliki sikap ini sebenarnya bukan pemimpin karena semua bekerja
tanpa tujuan bersama.
4. Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan dengan tipe ini diarahkan untuk bekerja mencapai tujuan bersama. Semua
keputusan diambil melalui musyawarah dan mufakat serta harus ditaati. Pemimpin
menghormati dan menghargai pendapat tiap-tiap guru dan memberikan kesempatan
kepada guru-guru untuk mengembangkan inisiatif dan daya kreatifnya. Pemimpin
mendorong guru-guru dalam mengembangkan keterampilannya.
Pemimpin demokratis tidak melaksanakan tugasnya sendiri, ia bersifat bijaksana dalam
pembagian pekerjaan dan tanggung jawab. Di dalam kepemimpinannya ia berusaha
supaya bawahannya kelak dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Di bawah
kepemimpinannya guru-guru bekerja dengan suka cita untuk memajukan pendidikan di
sekolah. Semua pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dipikirkan dan
disepakati bersama. Akhirnya terciptalah suasana kekeluargaan yang sehat dan
menyenangkan. Pemimpin sekolah dianggap sebagai seorang bapak, saudara, atau kakak
yang dapat menempatkan diri sesuai dengan kondisi dan keadaan lingkungannya.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam pelaksanaannya tipe
kepemimpinan sangat bervariasi. Tidak jauh dari yang dinyatakan para ahli sebelumnya,
maka Hishan Altalib (1994) dalam Training Guide for Islamic Workers membagi tipe
kepemimpinan ke dalam empat tipe, yaitu:

G. Kemampuan Berkomunikasi
Dalam buku Standar Supervisi pada Madrasah (2005) menguraikan bahwa
keterampilan berkomunikasi bagi kepala sekolah atau kepala madrasah merupakan salah satu
kunci kesuksesan dalam kepemimpinannya. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan
dalam menyampaikan konsep dan gagasan kelembagaan kepada civitas sekolah/madrasah
dan masyarakat sekitar. Kemampuan komunikasi lainnya meliputi keterampilan dalam
mendengar dan menerima kritik, saran atau gagasan dari lingkungan sekolah/madrasah
maupun masyarakat sekitar.
Kepala sekolah atau kepala madrasah adalah sosok pribadi yang diharapkan dapat
mengoptimalkan pencapaian visi dan misi kelembagaan, merencanakan, menyelenggarakan,
serta mengendalikan seluruh program kependidikan. Untuk mencapai itu semua, tentu
dibutuhkan kemampuan dari pemimpin dalam mengkomunikasikan berbagai langkah-langkah
yang akan ditempuhnya. Hal ini sangatlah penting, karena pemimpin tidak dapat bekerja
sendiri. Ia membutuhkan dukungan dari semua pihak, dan dukungan tersebut tidak mungkin
diperoleh secara optimal tanpa persepsi, komitmen, dan emosi yang sama.
Di dalam lingkungan pendidikan, indikator yang dapat menunjukkan bahwa seorang
kepala sekolah atau kepala madrasah memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik dapat
dilihat dari beberapa keahliaannya. Keahlian-keahlian dalam berkomunikasi yang baik ini
dapat dilihat dari (Depag RI, 2005):
a. mampu menyamakan persepsi, komitmen, dan emosi warga sekolah/madrasah;
b. mampu membangun dukungan dari berbagai komponen pendidikan termasuk masyarakat
sekitar;
c. mampu membangun kerjasama dengan siapa saja dalam upaya peningkatan mutu
penyelenggaraan pendidikan di sekolah/madrasah;
d. mampu mengkoordinasikan dan mensinkronkan berbagai potensi yang ada;
e. menguasai materi-materi yang akan disampaikan;
f. memahami psikologi komunikasi;
g. memahami teknik-teknik berkomunikasi dengan berbagai kalangan dan tingkatan;
h. mampu membangun komunikasi yang efektif dan demokratis.
Inti terpenting yang harus diingat adalah bahwa sebagai seorang pemimpin, kepala
sekolah atau kepala madrasah harus memiliki banyak talenta atau kemampuan
(multitalented). Kemampuan berkomunikasi bagi kepala sekolah atau kepala madrasah
merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam kepemimpinannya. Melalui talenta yang
dimilikinya, ia dapat menggunakan berbagai macam metode dan strategi dalam
berkomunikasi. Metode yang digunakan dapat bervariasi sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai dan ditambah strategi yang tepat tentunya menjadikan pencapaian tujuan lebih
efektif dan efisien.
Kepala sekolah atau kepala madrasah tidak harus selalu menggunakan komunikasi
dalam bentuk percakapan yang formal, namun juga dapat menggunakan pendekatan lain
(nonformal), seperti: menggunakan bahasa-bahasa kitabullah, joke-joke segar yang tidak kasar
atau menyakiti hati, berolah raga bersama, berkesenian bersama, atau mengerjakan hal-hal
yang disukai bersama (sebagai tim). Dengan pendekatan tersebut, komunikasi akan lebih
lancar dan tujuan yang ingin disampaikan akan lebih mudah dicapai.

H. Karakter dalam Berkomunikasi
Seorang pemimpin perlu memiliki karakter yang baik ketika berkomunikasi dengan
orang lain. Karena dengan berkomunikasi secara baik, seorang pemimpin dapat
menyampaikan ide atau gagasan pada anggotanya dan pihak lain. Di samping karakter yang
baik dapat melancarkan komunikasi, bagi seorang pemimpin komunikasi juga tentu memiliki
manfaat yang sangat penting. Seperti yang disampaikan Daryanto, kegiatan komunikasi dapat
dimaksudkan agar dapat memberikan sejumlah manfaat, antara lain: (a) menyampaikan
program yang disampaikan mudah dimengerti oleh warga sekolah/madrasah; (b) mampu
memahami orang lain; (c) gagasannya diterima oleh orang lain; dan (d) menimbulkan efek
dalam menggerakkan orang lain saat melakukan sesuatu.
Komunikasi menyediakan saluran umum untuk proses manajemen, yaitu, seperti
dalam proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian. Kepala
sekolah atau kepala madrasah mengembangkan rencana melalui komunikasi dengan orang
lain dalam organisasinya, kemudian mengorganisasikan dan mendistribusikan wewenang
serta desain pekerjaan. Pemimpin mengetahui bahwa kebijakan yang menimbulkan motivasi,
kepemimpinan, dan mengelompokkan serta membentuk tim diaktifkan lewat pertukaran
informasi secara teratur. Agar memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang di dalam
lingkungan sekolah/madrasah dan rencananya dalam mencapai tujuan bersama terwujud,
kepala sekolah atau kepala madrasah sebagai seorang pemimpin seharusnya memiliki perilaku
etis yang baik dalam berkomunikasi.
Perilaku etis akan mendukung kinerja dari orang-orang dalam organisasi dan dapat
menumbuhkan citra yang baik pada opini publik. Dengan terciptanya opini publik yang baik
tentu saja citra baik sekolah/madrasah akan meningkat. Salah satu dampaknya tentu akan
dapat meningkatkan minat stakeholders terhadap sekolah yang bersangkutan. Sebaliknya,
perilaku yang tidak etis dari kepala sekolah atau kepala madrasah akan menurunkan
pencitraan dan kepercayaan publik sehingga bukan tidak mungkin akan mengakibatkan pada
menurunnya minat stakeholders terhadap sekolah yang bersangkutan.
Mulyasa (2003) menyatakan kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan
kepribadian yang tercermin dalam sifat-sifat. Sifat-sifat yang selanjutnya harus tampak (etika)
dalam berkomuninaksi sebagai seorang pemimpin yaitu sifat:
1) Jujur;
2) Percaya diri;
3) Tanggung jawab;
4) Berani mengambil resiko dan keputusan;
5) Berjiwa besar;
6) Emosi yang stabil; dan
7) Keteladanan.
Sementara itu, prinsip-prinsip etika yang perlu dimiliki dan harus diterapkan seorang
pimpinan dalam lingkungan pendidikan seperti yang ditulis Carrol (1996) yaitu:
1) Jujur;
2) Integritas;
3) Amanah;
4) Loyal;
5) Adil;
6) Peduli pada orang lain;
7) Saling menghormati;
8) Taat aturan;
9) Komitmen untuk mencapai hasil yang lebih baik;
10) Kepemimpinan;
11) Reputasi dan moral yang baik; dan
12) Bertanggung jawab.
Selain prinsip-prinsip etika di atas, ada empat macam perilaku pemimpin agar
komunikasi lebih efektif. Empat macam perilaku pemimpin tersebut, yaitu:
a. Perilaku pemimpin direktif. Yaitu perilaku pemimpin yang membiarkan seluruh rekan dan staf
karyawan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, berikan bimbingan dan arahan, dan
jadwalkan setiap pekerjaan (perilaku yang berorientasi pada tugas).
b. Perilaku pemimpin suportif. Yaitu perilaku pemimpin yang bersahabat dan mudah untuk
didekati, menunjukkan kepedulian pada kesejahteraan seluruh rekan dan staf karyawan, serta
memperlakukan anggotanya dengan tidak membeda-bedakan (perilaku yang berorientasi
pada hubungan baik).
c. Perilaku pemimpin partisipatif. Yaitu perilaku pemimpin yang selalu berkonsultasi dengan
seluruh rekan dan staf karyawan, mensosialisasikan saran-saran, dan mengizinkan untuk
berpartisipasi dalam membuat keputusan.
d. Perilaku pemimpin yang berorientasi pada pencapaian. Yaitu perilaku pemimpin yang
menetapkan tujuan yang menantang, mengharapkan seluruh rekan dan staf karyawan
meningkatkan kinerja kerja, menyemangati mereka, dan menunjukkan kepercayaan akan
kemampuan mereka.
Dari semua karakter yang telah diuraikan di atas, ada beberapa indikator penting yang
dampaknya dapat menunjukkan bahwa kepala sekolah atau kepala madrasah dinyatakan
memiliki karakter yang baik, yaitu karakter beriman dan bertakwa. Karakter beriman dan
bertakwa ketika terpancar dari seorang pemimpin dalam proses komunikasi tentu akan
berdampak dan berpengaruh pada orang lain. Karakter ini tentunya juga diharapkan mampu
mewujudkan salah satu tujuan pendidikan nasional, yaitu beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Keimanan bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja ataupun
hanya semacam keyakinan dalam hati belaka, tetapi keimanan yang sebenar-benarnya adalah
merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani dan dari
situ akan muncul pulalah bekas-bekas atau kesan-kesannya. Orang yang melaksanakannya
harus sesuai dengan perintah Allah Swt, antara lain harus memiliki rasa malu (untuk berbuat
maksiat atau dosa), jihad, menyayangi saudaranya sesama mukmin sama seperti dia
menyayangi dirinya sendiri, tidak menyakiti orang lain, dll (lihat Sayid Sabiq, 1978: 123-124,
lihat juga hadits Bukhari nomor 16).
Takwa yaitu iman yang disertai amal shaleh. Sayid Sabiq selanjutnya menegaskan
bahwa amal shaleh yang disertai dengan keimanan yang hebat, maka ia dapat berubah dan
beralih sehingga menjadi suatu tenaga atau kekuatan yang tanpa dicari-cari akan datang
dengan sendirinya dalam kehidupan ini. Keimanan tadi akan mengubah manusia yang asalnya
lemah menjadi kuat, baik dalam sikap dan kemauan; mengubah kekalahan menjadi
kemenangan; keputus-asaan menjadi penuh harapan dan harapan ini akan dicetuskan dalam
perbuatan yang nyata. Demikianlah, seorang pemimpin yang memiliki karakter beriman dan
bertakwa secara otomatis mampu menumbuhkan karakter baik lainnya, seperti: jujur dan
bertanggung jawab, memiliki integritas yang tinggi dan loyal, terbuka atau transparan,
menghormati orang lain, mentaati peraturan, komitmen tinggi, dan lain-lain.
Oleh karena itu, tidaklah heran jika dalam pendidikan fungsi dan tujuan pendidikan
yang utama adalah membentuk karakter iman dan takwa. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Karakter beromunikasi yang wajib ditampakkan
dalam lingkungan pendidikan oleh seluruh anggota tentunya harus diarahkan untuk mencapai
karakter-karakter tersebut.

I. Proses Komunikasi
Komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses pengiriman informasi dari satu orang
kepada orang lainnya. Definisi ini meminta perhatian terhadap tiga hal penting: (1) komunikasi
melibatkan orang dan oleh karena itu, pemahaman komunikasi mencakup upaya memahami
bagaimana orang berhubungan satu sama lain; (2) komunikasi melibatkan pengertian yang
sama, artinya agar orang dapat berkomunikasi mereka harus sepakat mengenai definisi dari
istilah yang mereka gunakan; dan (3) komunikasi bersifat simbolik: gerak-isyarat, bunyi, huruf,
angka, dan kata-kata hanya dapat mewakili atau mengira-ngirakan gagasan yang hendak
mereka komunikasikan.
John Kotter telah mendefinisikan komunikasi sebagai satu proses yang terdiri dari
pengirim mengirimkan pesan melalui sarana kepada penerima yang menanggapi. Model ini
menunjukkan tiga unsur pokok komunikasi, yaitu: (1) pengirim, (2) pesan, (3) penerima.
Jelasnya, jikalau salah satu unsur tidak ada, maka tidak akan mungkin terjadi komunikasi.



Pengirim Pesan Penerima
Dalam sebuah organisasi, pengirim adalah seorang yang mempunyai informasi,
kebutuhan atau keinginan, dan sebuah maksud untuk disampaikan kepada satu orang atau
lebih. Kepala sekolah atau kepala madrasah dapat memberikan informasi kepada para wakil
atau para guru, atau pada seluruh anggotanya. Wakil dapat menyampaikan informasi pada
anggota kelompoknya, guru juga dapat menyampaikan informasi kepada para peserta didik,
dan peserta didik pun dapat menyampaikan informasi yang diterimanya kepada teman-
temannya yang lain ataupun orang tua/wali mereka.
Penyandian berlangsung apabila pengirim menerjemahkan informasi yang akan
dikirim ke dalam serangkaian simbol. Penyandian perlu karena informasi hanya dapat
dipindahkan dari satu orang ke orang lain melalui gambar atau simbol dalam bentuk kata-kata
atau gerak-isyarat yang pengirim yakin mempunyai arti yang sama bagi penerima. Tidak
adanya pemahaman yang sama terhadap penyandian merupakan salah satu penyebab
timbulnya kesalahpahaman atau tidak adanya komunikasi.
Pesan adalah bentuk fisik dalam salah satu bentuk yang dapat dialami dan ditangkap
oleh satu atau lebih indera penerima. Saluran adalah media pengirim dari satu orang ke orang
lainnya. Saluran sering tidak dapat dipisahkan dari pesan. Agar komunikasi efektif dan efisien,
saluran harus sesuai dengan pesan.
Walaupun mempunyai banyak saluran yang tersedia, pemimpin mungkin tidak selalu
menggunakan salah satu saluran yang paling efektif. Saluran komunikasi pilihannya mungkin
dituntun oleh kebiasaan atau preferensi pribadi. Maka, bagaimanakah seharusnya seorang
pemimpin memilih saluran yang paling baik? Ternyata, komunikasi tertulis dan komunikasi
grafik, seperti: memo, surat, laporan, dan cetak biru dapat memberikan keuntungan umpan
balik segera. Maka dalam memilih saluran yang tepat, kepala sekolah atau kepala madrasah
hendaknya memutuskan apakah kejelasan atau umpan balik yang lebih dipentingkan.
Penerima adalah orang yang inderanya menangkap pesan pengirim. Pesan hendaknya
disesuaikan dengan latar belakang penerima, karena jika pesan tidak sampai pada penerima
komunikasi tidak akan terjadi. Situasi tersebut tidak berbeda dengan situasi di mana pesan
sampai pada penerima, namun si penerima tidak memahaminya.
Pengartian sandi atau penguraian isi sandi adalah proses penerima menafsirkan pesan
dan menerjemahkannya ke dalam informasi yang bermakna. Proses tersebut terdiri dari dua
langkah. Penerima pertama-tama harus menangkap pesan, dan kemudian menafsirkannya.
Pengartian sandi dipengaruhi oleh pengalaman masa lampau penerima, penilaian pribadi
mengenai simbol dan gerak isyarat yang digunakan, harapan, dan kebersamaan pengertian
dengan pengirim. Pada prinsipnya, semakin pengartian sandi penerima sesuai dengan pesan
yang dimaksudkan pengirim, semakin efektif komunikasi tersebut.
Gaduh atau berisik adalah salah satu faktor yang mengacaukan, membuat rancu, atau
menganggu komunikasi. Gangguan dapat bersifat intern maupun ekstern dan ini dapat terjadi
pada setiap tahap proses komunikasi. Sebagai contoh, instruksi yang tidak jelas mengenai
bagaimana melaksanakan sebuah tugas dapat menyebabkan orang lain mendengar instruksi
yang berbeda dan tidak tepat. Karena gaduh dapat mengacaukan pemahaman, pemimpin
harus berupaya membatasinya sampai pada suatu tingkat yang memungkinkan komunikasi
efektif. Ketidaksegaran jasmani seperti lapar, sakit, atau keletihan juga dapat dianggap
sebagai suatu bentuk gaduh dan dapat mengganggu komunikasi yang efektif. Kemungkinan
yang lebih parah tentu saja dapat terjadi ketika ditambah oleh pesan yang terlalu rumit atau
tidak jelas.
Umpan balik (feedback) adalah suatu pembalikan proses komunikasi di mana reaksi
terhadap komunikasi pengirim dinyatakan. Umpan balik organisasi dapat tampil dalam
berbagai bentuk. Yang berkisar dari umpan balik langsung, seperti pernyataan lisan yang
sederhana bahwa pesan telah diterima, sampai dengan umpan balik tidak langsung yang
dinyatakan melalui tindakan atau dokumentasi. Dalam kebanyakan komunikasi organisasi,
semakin besar umpan balik kemungkinan komunikasi semakin efektif. Tanpa umpan balik
tersebut, seorang pemimpin mungkin saja tidak mengetahui apakah instruksinya diterima dan
dilaksanakan secara tepat.
Selanjutnya, Stoner dkk (1994) menyatakan bahwa cara berkomunikasi ada dua sifat,
yaitu komunikasi yang bersifat satu arah (one way communication) atau komunikasi yang
bersifat dua arah (two way communication). Dalam komunikasi satu arah, pengirim
berkomunikasi tanpa mengharapkan atau memperoleh umpan balik dari penerima. Salah satu
contohnya adalah kebijakan dari pemimpin. Komunikasi dua arah terjadi apabila penerima
memberikan umpan balik kepada pengirim. Salah satu contohnya adalah dalam rapat dengan
dewan guru, di mana pemimpin menyampaikan saran dan menerima pernyataan atau usul
balasan. Cara komunikasi yang mana yang akan digunakan kepala sekolah atau kepala
madrasah tergantung pada alasan serta situasinya untuk berkomunikasi.
Komunikasi di dalam lingkungan sekolah/madrasah dapat dilakukan dengan
menggunakan komunikasi oral, tulisan, maupun nonverbal.
a. Yang termasuk dalam komunikasi oral yaitu: percakapan secara langsung (face to face
conversation), diskusi-diskusi kelompok, pembicaraan telepon, dan situasi lainnya di mana
pengirim pesan menggunakan kata-kata yang diucapkan untuk berkomunikasi. Namun,
komunikasi oral ini memiliki kekurangan, seperti: masalah ketidaktepatan saat pengirim
pesan memilih kalimat yang akan diutarakan atau kesalahan dalam menyatakan
penjelasan dengan tepat, gaduh yang mengganggu proses, atau pemerima pesan lupa
salah satu bagian dari keseluruhan pesan. Dalam komunikasi dua arah seperti ini pengirim
dan penerima pesan memiliki sedikit waktu untuk berpikir, mempertimbangkan respon,
atau untuk mengenalkan banyak fakta-fakta baru. Selain itu juga bentuk komunikasi
seperti ini tidak memiliki catatan permanen atas apa yang telah diucapkan.
b. Komunikasi tertulis dapat memecahkan banyak permasalahan yang timbul dalam
komunikasi oral. Komunikasi tertulis mempunyai keuntungan tersendiri. Dua keuntungan
tersebut adalah komunikasi tertulis cukup akurat dan meninggalkan catatan atau bukti
dari sebuah komunikasi. Selain itu, pengirim dapat menggunakan waktunya untuk
mengumpulkan dan menyelaraskan informasi dan kemudian merancang serta
memperbaikinya sebelum dikirimkan. Pihak penerima surat juga dapat menggunakan
waktunya untuk membaca secara seksama dan berulang-ulang sesuai kebutuhan. Karena
alasan-alasan tersebut, komunikasi tertulis lebih dipilih ketika ada informasi yang perlu
diuraikan lebih rinci.
Walaupun demikian, ternyata komunikasi tertulis tidak terjadi sesering yang dibayangkan
dan bukan juga model komunikasi yang diharapkan seorang pemimpin. Hal yang kurang
menguntungkan dari komunikasi tertulis ini adalah umpan baliknya yang lambat karena
ketika seorang pemimpin mengirimkan surat kepada pihak lain, surat tersebut harus
ditulis atau didikte, diketik, dikirim, diposting, diterima (dicatat), dan dibaca. Jika terjadi
kesalahpahaman pada isi surat, mungkin perlu beberapa hari untuk diketahui dan
diperbaiki. Sedangkan komunikasi melalui telepon misalnya, dapat menyelesaikan semua
masalah dalam hitungan menit.
c. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang disampaikan dengan tidak menggunakan
kata-kata. Komunikasi ini menggunakan ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik, atau
bahasa tubuh lainnya.
Ketiga cara komunikasi di atas tentu saja harus digunakan oleh kepala sekolah atau
kepala madrasah saat berkomunikasi. Meskipun pada saat pelaksanaanya penggunaan cara
komunikasi tersebut tidak harus digunakan semuanya dalam waktu yang bersamaan. Cara
berkomunikasi dapat disesuaikan dengan kepentingan dan seberapa cepat respon ingin
diterima. Dan agar komunikasi maksimal, seorang pemimpin seharusnya tidak memberikan
informasi yang tumpang tindih atau terlalu banyak sehingga informasi tersebut akan
membingungkan penerima pesan.

J. Hambatan dalam Berkomunikasi Antar Pribadi
Hambatan dalam komunikasi berbeda-beda dalam hal ketahanan dan arti pentingnya.
Jarang komunikasi terhambat sama sekali, sehingga inti pesan dapat diterima. Namun tidak
sedikit komunikasi terhambat oleh beberapa faktor sehingga inti pesan tidak sampai kepada
penerima pesan. Stoner dkk (1994) menyatakan beberapa hambatan yang paling umum
terjadi, diantaranya:
a. Perbedaan persepsi
Orang yang mempunyai latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang berbeda sering
merasakan gejala yang sama dari sudut pandang yang berbeda; atau orang yang
mempunyai latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang berbeda akan
menimbulkan pandangan yang berbeda. Selain itu juga, cara penangkapan komunikasi
dipengaruhi oleh lingkungan di mana komunikasi itu berlangsung. Artinya, suatu pendapat
ketika diungkapkan pada waktu yang berbeda akan dapat pula dipandang secara berbeda
oleh orang lain, bahkan tidak jarang suatu pendapat yang diungkapkan di waktu yang
sama akan dipandang berbeda. Sehingga kejadian yang dianggap sesuai oleh seorang
pemimpin mungkin tidak sama ketika dipandang dari sudut pandang orang lain.
b. Perbedaan bahasa
Perbedaan bahasa sangat erat kaitannya dengan perbedaan persepsi individu. Agar
sebuah pesan dapat dikomunikasikan secara tepat, kata-kata yang digunakan harus
mengandung arti yang sama bagi pengirim dan penerima pesan. Bagi sebahagian orang
yang memiliki pengetahuan yang luas dalam bahasa mungkin tidak akan menjadi masalah,
tetapi tidak bagi sebahagian orang lainnya. Oleh karena itu, pengirim pesan harus hati-hati
dalam menggunakan istilah-istilah yang tidak umum ataupun jargon (logat khusus).
c. Gaduh
Kegaduhan atau kebisingan merupakan salah satu faktor yang mengganggu, membuat
rancu, atau mengacaukan komunikasi. Memang jarang ada komunikasi yang berlangsung
di lingkungan yang sama sekali bebas dari kebisingan. Sebaiknya, hindari gaduh dalam
komunikasi atau minimalisasi kemungkinan gaduh terjadi saat berkomunikasi.
d. Emosionalitas
Reaksi emosional: marah, cinta, membela diri, benci, cemburu, takut, malu, dapat
mempengaruhi saat penerima memahami pesan orang lain. Begitu pula emosional
pengirim dapat mempengaruhi orang lain dari pesan yang dibuatnya.
e. Komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak konsisten
Dalam berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal, sangat dipengaruhi oleh bahasa
serta kata-kata yang digunakan ataupun gerakan tubuh, pakaian, ekspresi wajah dan
kontak badan. Namun dalam kondisi tertentu kata-kata yang digunakan terkadang
berbeda dengan gerakan badan atau isyarat yang ditampakkan. Ketidakkonsistenan dalam
komunikasi antara verbal dan nonverbal yang langsung ditampakkan tentu dapat
mempengaruhi penafsiran penerima pesan.
f. Ketidakpercayaan
Kredibilitas sebuah pesan sebagian besar ditentukan oleh kredibilitas pengirim dalam
benak penerima. Kredibilitas pengirim ditentukan oleh bermacam-macam faktor, antara
lain, yaitu berpengetahuan yang banyak, berprasangka baik, kejujuran dan terpercaya.
Pesan yang disampaikan oleh orang yang tidak dipercaya tentu akan dianggap sebagai
angin lalu saja oleh penerima pesan.
K. Cara Mengatasi Hambatan dalam Berkomunikasi Antar Pribadi
Banyaknya hambatan yang dapat membuat komunikasi tidak efektif tentu tidak boleh
dibiarkan begitu saja tanpa usaha untuk mengatasinya. Seorang pemimpin tentu harus
mengetahui bagaimana cara atau kiat-kiat untuk mengatasi hambatan yang mungkin timbul
dalam berkomunikasi. Beberapa cara mengatasi hambatan dalam komunikasi antar pribadi
yang efektif, antara lain:
a. Mengatasi perbedaan persepsi
Untuk mengatasi perbedaan persepsi, pesan hendaknya dijelaskan sehingga dapat
dimengerti oleh penerima yang mempunyai pandangan dan pengalaman yang berbeda.
Jika memungkinkan, sebagai seorang pemimpin sebaiknya mempelajari latar belakang
orang yang akan diajak berkomunikasi. Sikap empati dan melihat situasi dari sudut
pandang orang lain serta menunda memberikan reaksi sampai informasi yang relevan
dipertimbangkan akan membantu pemimpin mengurangi pesan yang samar. Dan apabila
pokok persoalannya tidak jelas, mengajukan pertanyaan menjadi hal yang sangat penting.
b. Mengatasi perbedaan bahasa
Untuk mengatasi perbedaan bahasa, arti dari istilah teknis atau istilah khusus harus
dijelaskan. Bahasa yang biasa, langsung dan sederhana sebaiknya digunakan dalam
berkomunikasi. Kemudian, untuk memastikan bahwa semua konsep telah dipahami,
mintalah penerima untuk menegaskan atau menyatakan kembali pokok atau isi dari
pesan. Berikan kesempatan atau dorong penerima untuk mengajukan pertanyaan dan
kejelasan mengenai hal-hal yang belum jelas atau mungkin dimengerti secara keliru.
c. Mengatasi kegaduhan
Kegaduhan atau kebisingan paling baik diatasi dengan menghilangkannya. Jika kebisingan
yang berasal dari mesin menyulitkan untuk berbicara, matikan mesin atau pindah ke suatu
tempat baru. Jika penerima tidak mendengarkan dengan bersungguh-sungguh atau
mungkin bahkan penerima berbincang dengan orang lain saat pemimpin menyampaikan
pesan, usahakan untuk memperoleh kembali perhatiannya. Hindari lingkungan yang dapat
mengalihkan perhatian. Dan apabila kebisingan tidak dapat dihindari, tingkatkan kejelasan
dan perkuat pesan.
d. Mengatasi reaksi emosional
Pendekatan yang paling baik terhadap emosi adalah menerimanya sebagai bagian dari
proses komunikasi dan memahaminya bila menimbulkan masalah. Jika penerima pesan
bersifat agresif, ajaklah berbincang tentang keprihatinannya dan berilah perhatian yang
cermat kepada apa yang dia katakan. Begitu pemimpin memahami reaksi mereka,
pemimpin dapat memperbaiki suasana dengan mengubah sikapnya sendiri. Sebelum
terjadi suatu krisis, cobalah memahami reaksi emosional penerima pesan dan persiapkan
diri kita untuk menghadapinya dengan berempati.
e. Mengatasi komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak konsisten
Kunci untuk mengatasi ketidakkonsistenan dalam komunikasi adalah menyadarinya dan
tidak mencoba mengirim pesan yang salah. Gerak-isyarat, pakaian, postur, ekspresi muka
dan komunikasi nonverbal lainnya yang berpengaruh harus sejalan dengan pesan.
Menganalisis komunikasi nonverbal orang lain dan menerapkan apa yang dipelajari pada
diri sendiri dalam menghadapi orang lain dapat membantu.
f. Mengatasi komunikasi ketidakpercayaan
Mengatasi ketidakpercayaan sebagian besar merupakan proses menciptakan
kepercayaan. Kredibilitas adalah hasil dari suatu proses yang panjang di mana kejujuran,
kewajaran, dan maksud baik seseorang diakui oleh orang lain. Ada beberapa jalan pintas
untuk menciptakan suatu suasana yang penuh kepercayaan. Hubungan baik dengan orang
yang menjadi lawan berkomunikasi hanya dapat dikembangkan melalui penampilan yang
konsisten.
g. Mengatasi redundansi
Redundansi adalah pengulangan pesan atau pernyataan kembali pesan dengan suatu
bentuk yang lain. Tingkat redundansi yang optimal bervariasi sesuai dengan situasi. Jika
pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal sangat rumit, maka mungkin bermanfaat
sekali untuk mengulang hal-hal penting dalam beberapa rumusan yang berbeda sekalipun
dalam suatu komunikasi tertulis. Redundansi juga lebih penting dalam komunikasi lisan
atau bentuk komunikasi lainnya yang tidak tahan lama. Contohnya ketika seseorang
memberi nomor telepon akan lebih baik jika nomor tersebut diulang kembali. Namun, jika
suatu pesan diulang beberapa kali mungkin orang yang mengulangnya akan menjadi
bosan atau marah dan akhirnya pesan itu akan menjadi angin lalu. Bahkan dalam beberapa
situasi, menyimpan informasi yang redundan dapat menjadi masalah. Misalnya, banyak
perpustakaan yang ingin memiliki dua eksemplar dari setiap buku yang dibeli, namun dua
eksemplar berarti harga buku dua kali lebih banyak dan menyita tempat dua kali lebih
besar serta waktu penyusunan yang semakin banyak.

L. Jaringan Komunikasi dalam Organisasi
Stoner (1994) menyatakan bahwa dalam suatu riset yang sangat menarik telah
dilakukan penelitian mengenai saluran komunikasi dalam organisasi dan pengaruhnya terhadap
kecermatan komunikasi, pelaksanaan tugas, dan kepuasan anggota kelompok. Riset ini sangat
penting karena kepala sekolah atau kepala madrasah yang berfungsi sebagai seorang manajer
mempunyai pengaruh atas pengembangan saluran komunikasi dalam unitnya.
Sebagai contoh, struktur wewenang formal yang dibentuk akan membantu
menentukan siapa akan berkomunikasi dengan siapa. Dengan demikian, manajer dapat
mendesain unit-unit kerjanya untuk memudahkan komunikasi yang efektif. Selanjutnya,
organisasi dapat mendesain struktur atau jaringan komunikasi dengan berbagai cara.
Beberapa jaringan komunikasi mungkin didesain secara kaku, sementara jaringan-jaringan lain
yang dirancang lebih longgar.
Bagi sebuah organisasi yang mempunyai tugas-tugas yang sangat rutin dan sederhana
tampaknya bekerja paling efisien dengan sebuah jaringan komunikasi yang terpusat.
Sedangkan tugas-tugas yang lebih rumit tampaknya memerlukan desentralisasi. Selain itu,
tampilnya orang pada posisi yang paling sentral sebagai pemimpin memperkuat gagasan
bahwa hubungan informasi merupakan sumber penting dari kekuasaan dalam organisasi.
a. Komunikasi Vertikal
Komunikasi vertikal adalah komunikasi dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah dalam
rantai komando organisasi. Maksud utama komunikasi dari atas ke bawah adalah untuk
menasehati, memberitahukan, mengarahkan, memerintah, dan menilai bawahan serta
untuk memberi anggota organisasi informasi mengenai tujuan dan kebijakan organisasi.
Sedangkan, fungsi utama komunikasi dari bawah ke atas adalah untuk memberikan
informasi kepada tingkat-tingkat yang lebih tinggi mengenai apa yang terjadi pada tingkat
yang lebih rendah. Jenis komunikasi ini meliputi laporan kemajuan, saran, penjelasan,
permohonan bantuan atau keputusan.
Namun sayangnya, komunikasi dari atas ke bawah mungkin disaring, diubah, atau
dihentikan pada setiap tingkat karena pimpinan tertinggi memutuskan apa yang harus
disampaikan kepada bawahannya. Di samping itu, pimpinan menengah mungkin menahan
informasi yang dapat memantulkan hal-hal yang tidak menyenangkan tentang dirinya agar
tidak sampai ke atasan. Dengan demikian, komunikasi vertikal sering atau sebagiannya
tidak akurat atau tidak lengkap.
b. Komunikasi Lateral
Komunikasi lateral biasanya mengikuti pola arus kerja dalam sebuah organisasi yang
terjadi antara para anggota kelompok, antara satu kelompok dan lain kelompok, antara
para anggota bagian-bagian yang berbeda, dan antara lini dan staf. Tujuan utama
komunikasi lateral ialah menyediakan sebuah saluran langsung untuk koordinasi dan
pemecahan masalah organisasi. Cara ini menghindari prosedur yang jauh lebih lamban
dalam mengarahkan komunikasi melalui atasan yang biasa. Manfaat lainnya dari
komunikasi lateral, ia memungkinkan anggota organisasi untuk menjalin hubungan
dengan rekan-rekannya. Hubungan ini merupakan bagian penting dari kepuasan anggota.
c. Komunikasi Informal
Jenis lain dari komunikasi informal yang tidak secara resmi didukung ialah desas-desus
atau selentingan. Selentingan dalam organisasi terdiri dari beberapa jaringan komunikasi
informal yang saling melengkapi dan silang-menyilang pada sejumlah titik, yaitu beberapa
individu yang berpengetahuan luas mungkin memiliki lebih dari satu jaringan informal.
Selentingan menunjukkan sikap acuh tak acuh yang mengagumkan terhadap pangkat atau
wewenang dan dapat menghubungkan anggota organisasi dengan setiap kombinasi arah-
horisontal, vertikal, dan diagonal.
Selentingan jangan dikacaukan dengan informasi sah yang diusahakan manajemen untuk
beredar dari mulut ke mulut. Di samping fungsi komunikasi informasi dan sosial,
selentingan juga mempunyai beberapa fungsi yang berkaitan dengan kerja. Sering
selentingan beroperasi jauh lebih cepat daripada saluran komunikasi formal. Kepala
sekolah atau kepala madrasah sebagai seorang manajer dapat menggunakannya untuk
menyebarkan informasi melalui kebocoran terencana atau secara bijaksana disertai
embel-embel hanya antara Anda dan Saya.

M. Mengoptimalkan Media Komunikasi
Komputer merupakan salah satu media komunikasi yang keberadaannya sangat
membantu pimpinan, salah satunya sebagai sarana sistem informasi manajemen (SIM).
Hampir semua pemimpin pada level tinggi, menengah, maupun bawah menyadari bahwa
sistem informasi yang didasarkan pada komputer itu perlu demi operasi yang efektif. Sistem
informasi ini membantu dengan cepat dan secara akurat memberikan informasi mengenai
data apa saja yang diperlukan.
Dewasa ini, keberadaan media elektronik khususnya komputer, memang sudah
banyak membantu menyelesaikan pekerjaan rutin para kepala sekolah atau kepala madrasah.
Apalagi dengan teknologi yang semakin canggih, informasi dapat diperoleh dengan cepat
hanya dalam hitungan detik. Bukan saja data mentah tetapi data yang harus diolah pun dapat
diperoleh dengan cepat. Sehingga fungsi komputer tidak saja hanya sebagai alat untuk
memudahkan dalam pengumpulan, pengelolaan, dan komunikasi informasi semua level,
tetapi juga sebagai alat operasi otomatis baik dalam maupun luar organisasi, mendukung
pengambilan keputusan dan perencanaan, juga menyederhanakan pengendalian manajemen
sehingga efektif biaya.
Banyak lembaga pendidikan yang telah mengimplementasikan sebuah SIM yang
dikomputerisasi. SIM sendiri adalah sebuah metode formal untuk menyediakan informasi
yang akurat dan tepat waktu bagi manajemen. Manfaat yang diperoleh dari sistem informasi
manajemen ini antara lain ialah untuk mempermudah proses pengambilan keputusan dan
memungkinkan fungsi-fungsi lainnya yang dapat dilakukan secara efektif. Jelaslah bahwa
informasi yang didasarkan pada komputer sangat membantu kepala sekolah atau kepala
madrasah sebagai seorang manajer untuk menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa di era globalisasi sekarang ini, dengan
teknologi yang demikian canggih dan selalu berubah cepat, keberadaan SIM setidaknya
mampu mendukung kinerja seorang pemimpin dengan informasi-informasi terkini (up to
date) yang diperlukannya. Melalui keahlian manajerial dan ditambah informasi terkini,
pemimpin tentunya mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik sehingga
sekolah/madrasah yang dipimpinnya tidak ketinggalan zaman. Ini berarti bahwa sebagai
pemimpin, kepala sekolah atau kepala madrasah harus menjaga kualitas
sekolah/madrasahnya agar tetap relevan dengan kondisi tuntutan kemajuan zaman. Orientasi
kepala sekolah atau kepala madrasah yang visioner bukan hanya menjaga eksistensi sekolah
pada saat ini, tetapi juga bagaimana meningkatkan kualitas untuk tetap eksis hingga di masa
yang akan datang.

N. Komunikasi Kelompok
Kepala sekolah atau kepala madrasah tidak mungkin akan berada pada posisi
kepemimpinannya jika tidak ada anggota dalam kelompoknya. Pernyataan ini berarti bahwa
seorang pemimpin tidak akan muncul jika tidak ada anggota-anggota yang mendukungnya.
Atau dengan kata lain bahwa tidak akan ada pemimpin jika tidak ada anggotanya. Karena itu
seorang pemimpin hendaknya memahami seperti apakah kelompok yang akan dihadapinya
dan bagaimana sebaiknya berkomunikasi dengan kelompoknya.

Tidak setiap himpunan disebut kelompok. Orang-orang yang berseragam berdiri di
halte menunggu bus, orang-orang yang belanja di pasar semuanya bukan kelompok. Meskipun
mereka terdiri dari himpunan namun mereka tidak memiliki ikatan persatuan untuk mencapai
selain tujuan individu juga tujuan bersama.
Mengutip Jalaluddin Rakhmat (2008: 142), Baron dan Byrne menyatakan bahwa
supaya himpunan orang-orang menjadi kelompok diperlukan kesadaran pada anggota-
anggotanya akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka. Kelompok mempunyai
tujuan dan organisasi serta melibatkan interaksi di antara anggota-anggotanya. Jadi dengan
kata lain kelompok mempunyai dua tanda psikologis. Pertama, anggota-anggotanya merasa
terikat dengan kelompok (sense of belonging). Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling
bergantung.
Kumpulan orang-orang yang berada di sekolah/madrasah tentu dapat diklasifikasikan
dalam kelompok. Karena orang-orang yang menjadi bagian dari suatu sekolah/madrasah
memiliki tujuan, organisasi dan perolehan yang saling bergantung satu dengan yang lainnya.
Misalnya, para peserta didik yang berkumpul baik ketika upacara ataupun ketika dalam kelas;
para guru; para staf TU; para karyawan; merupakan himpunan kelompok.
Dalam suatu kelompok, biasanya akan dijumpai kelompok lain yang berada di
dalamnya. Maka tidak heran, ketika kepala sekolah atau kepala madrasah berada dalam
kelompoknya yang terdiri dari himpunan peserta didik, guru, TU, dan karyawan tentu akan
menjumpai kelompok-kelompok lain di dalamnya. Kelompok yang umumnya dijumpai di
sekolah/madarasah yaitu kelompok primer-sekunder, ingroup-outgroup, rujukan-
keanggotaan, dan kelompok deskriptif-preskriptif.
a. Kelompok Primer-Sekunder
Walaupun kita menjadi bagian dari beberapa kelompok, kita hanya akan terikat secara
emosional pada beberapa kelompok tertentu saja. Hubungan komunikasi terasa lebih
akrab, lebih personal, dan lebih menyentuh hati. Inilah yang menjadi ciri khas kelompok
primer. Sedangkan kelompok sekunder secara sederhana adalah lawan dari kelompok
primer. Hubungan kelompok tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati. Lebih
lanjut, perbedaan utama antara kedua kelompok ini memiliki karakteristik komunikasi
antara lain: kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas,
komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, dan pada kelompok primer
komunikasi lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, serta komunikasi
primer bersifat ekspresif dan informal. Contoh kelompok primer ini yaitu yang memiliki
hubungan kekerabatan, teman sepermainan, teman sebangku, teman sekamar, atau
tetangga yang dekat.
b. Ingroup-Outgroup
Ingroup adalah kelompok kita (kohesi kelompok), sedangkan outgroup adalah kelompok
mereka. Ingroup dapat berupa kelompok primer maupun sekunder. Perasaan ingroup
diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan, dan kerjasama. Untuk
membedakan ingroup atau outgroup dapat dilihat dari siapa yang termasuk orang dalam
dan siapa orang luar. Batasan orang dalam atau luar dapat berupa lokasi geografis, suku
bangsa, pandangan atau ideologi, pekerjaan atau profesi, bahasa, status sosial, dan
kekerabatan.
c. Keanggotaan-Rujukan
Keanggotaan atau yang disebut dengan istilah membership group merupakan kelompok
yang jelas menentukan serangkaian perilaku yang baku bagi anggota-anggotanya. Standar
perilaku ini dapat digunakan untuk menambah peluang diterimanya pesan kita. Kelompok
rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standar) untuk menilai diri
sendiri atau untuk membentuk sikap. Jika anda menggunakan suatu kelompok sebagai
teladan bagaimana seharusnya bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan positif;
dan jika anda menggunakannya sebagai teladan bagaimana seharusnya kita tidak
bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan negatif.
d. Deskriptif-Preskriptif
Untuk kelompok deskriptif, kita dapat mengelompokkan kelompok berdasarkan
tujuannya. Di lingkungan pendidikan baik sekolah maupun madrasah, kelompok deskriptif
yang sering dijumpai adalah kelompok sepintas (casual groups) yang dibentuk semata-
mata hanya untuk membina hubungan manusiawi yang hangat (pertemanan); dan
kelompok belajar yang dibentuk tentunya untuk menambah informasi. Sedangkan
kelompok preskriptif mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota
kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Contoh yang sering dijumpai di lembaga
pendidikan yaitu berupa: diskusi meja bundar, diskusi panel, forum, simposium, dan
kolokium.

O. Komunikasi Massa
1. Pengertian Komunikasi Massa
Komunikasi massa dapat dinyatakan sebagai komunikasi yang telah mencapai
suatu tingkat di mana orang mampu berbicara dengan ribuan atau lebih (jutaan) manusia
secara serentak dan serempak. Bittner (1980: 10) mendefinisikan komunikasi massa
sebagai pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.
Jalaluddin mendefinisikan komunikasi massa sebagai jenis komunikasi yang ditujukan
kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak
atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Secara sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa,
yakni surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Secara teknis komunikasi massa dapat
dilihat dari tanda-tanda sebagai berikut: (1) bersifat tidak langsung, artinya harus
melewati media teknis; (2) bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-
peserta komunikasi (para komunikan); (3) bersifat terbuka, artinya ditujukan pada publik
yang tidak terbatas dan anonim; serta (4) mempunyai publik yang secara geografis
tersebar.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Khalayak pada Komunikasi
Massa
Dalam komunikasi massa, media massa memiliki kekuatan untuk mengarahkan
dan membentuk perilaku khalayak. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa berbagai
faktor akan mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa. Faktor-faktor ini meliputi
organisasi personal psikologis individu, seperti: potensi biologis, sikap, nilai, kepercayaan,
serta bidang pengalaman; kelompok-kelompok sosial di mana individu menjadi anggota;
dan hubungan-hubungan interpersonal pada proses penerimaan, pengelolaan, dan
penyampaian informasi. Kita ambil contoh dari penggunaan media, peserta didik mungkin
jarang membaca koran tapi sering menonton televisi. Guru cenderung menyukai acara
pendidikan, berita dan informasi.

3. Efek Komunikasi Massa
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa media massa dapat berpengaruh kepada
khalayak. Melalui media massa dapat menambah pengetahuan, mengubah sikap, atau
menggerakkan perilaku kita. Inilah efek dari komunikasi massa. Selain itu, kehadiran
media massa sebagai benda fisik memberikan efek, antara lain: efek ekonomis, efek sosial,
efek pada penjadwalan kegiatan, efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu,
dan efek pada perasaan orang terhadap media.
a. Efek ekonomis
Kehadiran media massa menggerakkan berbagai usaha, baik itu produksi, distribusi, dan
konsumsi jasa media massa. Kehadiran surat kabar berarti menghidupkan pabrik yang
mensuplai kertas koran, meyuburkan pengusaha percetakan dan grafika, memberi
pekerjaan para wartawan, pengedar, pengecer, dan sebagainya.
b. Efek sosial
Efek sosial berkenaan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial akibat
kehadiran media massa. Kehadiran televisi atau media elektronik lainnya diketahui dapat
meningkatkan status sosial pemiliknya.
c. Efek pada penjadwalan kegiatan
Dalam sebuah penelitian, efek televisi dapat merubah penjadwalan kegiatan. Sesudah ada
televisi, banyak di antara masyarakat terutama muda-mudi yang sering menonton televisi
sampai malam. Para orang tua mengeluh karena merasa ana-anak mereka menjadi lebih
malas, lebih sukar bekerja atau berangkat ke sekolah pada waktu dini. Kehadiran televisi
telah mengurangi waktu bekerja, bermain, tidur, dan membaca.
d. Efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu
Sering orang menggunakan media massa untuk menghilangkan perasaan tidak enak.
Media massa terkadang digunakan tanpa mempersoalkan isi pesan yang disampaikannya.
Misalnya orang yang kesepian akan memutarkan radio tanpa mempersoalkan program
yang tengah disiarkan, atau seorang pemuda yang sedang marah akan memutar lagu
metal untuk menenangkan kembali perasaannya.
e. Efek pada perasaan orang terhadap media
Kehadiran media massa bukan saja menghilangkan perasaan tertentu, ia juga mampu
menumbuhkan perasaan tertentu. Tumbuhnya perasaan senang terhadap suatu media
massa tertentu akan membuat media itu menjadi pusat perhatian (kesukaan atau
kecintaan) bagi orang tersebut. Banyak eksekutif muda pada pagi hari yang pertama dicari
adalah koran, bahkan ada beberapa orang yang berpendapat bahwa lebih baik
ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone.

Anda mungkin juga menyukai