Anda di halaman 1dari 57

1

ABSTRACT

D III TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

SCIENTIFIC Writing, 2013
(KTI DIII, vi, 63 pages, 20 images)

ARISA ASRUL

EXAMINATION MANAGEMENT HYSTEROSALPINGOGRAFI (HSG)
ON USING CATHETER
Infertility cases Management has beeb conducted on the examination
Hysterosalpingografy (HSG) in the case of using a catheter Infertility. Patients
who are found seven patients where all patients are female. Hospital management
held in the CITRA MBC Padang where the exam is performed directly by the
doctor Radilogy specialist
Managemen Hysteropingography inspection is done by using catheter
and projections used were AP supine projection
Based management has conducted showed that most patiens who come
to the BMC Hospital IMAGE Padang is patient with clinical infertility. This
evidenced by the result of the expertise of each patients radiographs overview of
the seven infertility with a variety of disorders that caue as well as the blockace of
tubes so that the two non-patent tubes.
Keyword : Hysteropingografi (HSG), Catheter, Infertility.

2

INTISARI

D III TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

KARYA TULIS ILMIAH, 2013
(KTI, vi, 63 Halaman, 20 Gambar)

ARISA ASRUL
PENATALAKSANAAN PEMERIKSAAN HYSTEROSALPINGONGRAFI
(HSG) PADA KASUS INFERTILITAS DENGAN MENGGUNAKAN
KATETER
Telah dilakukan penatalaksanaan tentang pemeriksaan
Hysterosalpingografi (HSG) pada kasus infertilitas dengan kateter. Pasien yang
didapati adalah tujuh orang pasien yang berjenis kelamin perempuan.
Penatalaksanaan dilaksanakan di Rumah Sakit CITRA MBC Padang yang mana
pemeriksaan dilaksanakan langsung oleh dokter Spesialis Radiologi
Penatalaksanaan pemeriksaan Hysterosalpingografi (HSG) tersebut
dilakukan menggunakan kateter dan proyeksi yang digunakan adalah proyeksi AP
supine
Berdasarkan penatalaksanaan yang telah dilakukan didapatkan hasil
bahwa sebagian besar pasien yang dating ke Rumah Sakit CITRA BMC Padang
adalah gambaran radiograf dari setiap pasien bahwa tujuh orang pasien dua
diantaranya yaitu kedua tuba patent sedangkan lima orang lainnya mengalami
infertilitas dengan berbagai penyebab yaitu kelainan-kelainan serta adanya
penyumbatan terhadap tuba sehingga kedua tuba Non patent.
Kata kunci : Hysterosalpingografi (HSG), Kateter, Infertilitas

3

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis ucapkan atas kehadirat ALLAH SWT,
yang telah memberikan rahmat, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan KTI yang berjudul Penatalaksanaan Pemeriksaan
Hysterosalpingografi (HSG) Pada Kasus Infertilitas dengan Menggunakan
Kateter, dengan baik. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada Allah SWT
semoga disampaikan kepada nabi Muhammad SAW yang telah memberikan
contoh dari suri tauladan bagi umat manusia untuk keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam menyelesaikan KTI penulis banyak mendapatkan masukan,
bantuan, dukungan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu dengan
segala kerendahan hati dan penuh penghargaan penulis mengucapkan banyak
terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Ibu Susilowati Loekman, DFM selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan bimbingan dalam menyelesaikan KTI ini.
2. Ibu Oktavia Puspita Sari, Dipl. Rad. S,Si selaku ketua Program Studi DIII
Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Universitas Baiturrahmah Padang
3. Bapak Yose Rizal, ST selaku penguji I yang telah memberikan waktu
bimbingan dan saran demi kesempurnaan KTI.
4. Ibu Ambar Sayekti, S.ST selaku penguji II yang telah memberikan waktu
bimbingan dan saran demi kesempurnaan KTI.
5. Bapak Nova Rahman, Dipl. Rad. S,Si (Alm) selaku mantan ketua Program
Studi DIII Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Universitas
Baiturrahmah padang
i
4

6. Bapak dan ibu dosen staff pengajar Program Studi DIII Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi Universitas Baiturrahmah Padang
7. Teristimewa kepada orang tua yang telah memberikan doa, semangat dan
dorongan serta kasih sayang yang tidak henti-hentinya kepada penulis
dalam menjalani perkuliahan dan penyelesaian KTI
8. Untuk kakak dan adik-adik ku yang telah memberikan motivasi kepada
penulis untuk menyelesaikan KTI
9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 Program Studi DIII Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi Universitas Baiturrahmah yang telah
memberikan dorongan dan masukan serta kebersamaan yg telah kita jalani
dan lewati selama ini
10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan KTI
ini.
Dalam KTI ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin dengan
mencurahkan segenap kemampuan, waktu dan tenaga untuk menyelesaikan.
Namun demikian penulis menyadari bahwa KTI ini masih jauh dari
kesempurnaan, hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan pengalaman
penulis. Untuk ini diharapkan adanya saran dan kritikan bersifat membangun dari
pembaca demi kesempurnaan KTI ini.




ii
5

Akhir kata penulis mengucapkan Alhamdulillah karena telah berhasil
menyelesaikan KTI ini. Semoga penyusun KTI ini dapat bermanfaat dan bahan
referensi bagi rekan-rekan di masa yang akan datang, amin Ya Rabbal Alamin.

Padang, Agustus 2013

Penulis


iii
6

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN
ABSTRACT
INTISARI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Batasan Masalah............................................................................. 2
1.4 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
1.5 Manfaat Penulisan .......................................................................... 3
1.6 Sistematika Penulisan .................................................................... 3
BAB II DASAR TEORI
2.1 Sinar X ........................................................................................... 5
2.2 Film Radiografi .............................................................................. 11
2.3 Kaset ............................................................................................... 13
2.4 Pencucian Film ............................................................................... 15
2.5 Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Wanita ........................ 16
2.6 Bahan Kontras ................................................................................ 30
2.7 Teknik Pemeriksaan Radiografi ..................................................... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................... 39
3.2 Tanggal dan Waktu Pelaksanaan ................................................... 39
3.3 Metode pengumpulan data ............................................................. 39
3.4 Instrument pelaksanaan ................................................................. 40
3.5 Langkah-langkah pelaksanaan ....................................................... 42
3.6 Pengolahan dan analisa data .......................................................... 43
3.7 Diagram Alur ................................................................................ 44

vi
7

BAB IV HASIL PENATALAKSANAAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Observasi .............................................................................. 45
4.2 Pembahasan .................................................................................... 48
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 49
5.2 Saran .............................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

v
8

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Proses Terjadinya Sinar X .......................................................... 5
Gambar 2.2 : Bentuk Umum Kaset. ................................................................. 14
Gambar 2.3 : Automatic Proccesing ................................................................ 15
Gambar 2.4 : Alat Reproduksi Wanita ............................................................. 16
Gambar 2.5 : HSG SET .................................................................................... 34
Gambar 2.6 : Kateter HSG ............................................................................... 35
Gambar 2.7 : Hasil Gambaran HSG Proyeksi AP............................................ 38
Gambar 3.1 : Pesawat Sinar X ......................................................................... 40
Gambar 3.2 : Film dan Kaset Radiograf .......................................................... 41
Gambar 3.3 : Automatic Processing................................................................. 41
Gambar 4.1 : Hasil Gambaran Radiograf ......................................................... 47



vi
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sekarang ini perkembangan dunia kesehatan sudah sangat maju
terutama di bidang Radiologi. Mulai dari awal ditemukannya Sinar X pada
tahun 1895 oleh Wilhelm Conrad Rongent hingga berkembang sangat pesat
seperti telah terciptanya CT Scan bahkan yang tercanggih saat ini yaitu
MRL. Dalam bidang Radiologi banyak pemeriksaan yang menggunakan Sinar
X seperti pemeriksaan konvensional, salah satunya HSG
(hysterosalpingografi) yang diiringi dengan Fluoroskopi. Ada juga yang tidak
menggunakan radiasi Sinar X seperti USG (Ultrasonografi).
Di Rumah Sakit banyak penyakit yang di diagnosa dengan
menggunakan bidang Radiologi bahkan pemeriksaannya pun menggunakan
bidang Radiologi. Salah satu dari penyakit yang pemeriksaannya
menggunakan bidang Radiologi adalah infertilitas atau yang dikenal dengan
sebutan kemandulan. Penderita infertilitas di Indonesia jumlahnya berkisar
13,6% - 69,5%, dan bila diekstrapolasi dengan jumlah penduduk Indonesia
yang mencapai 220 juta jiwa, maka diperkirakan terdapat 13 juta jiwa
penduduk Indonesia mengalami infertilitas (kemandulan). (Fauziah, Yulia
2012).
Untuk dapat melihat adanya gangguan atau penyumbatan pada sistem
reproduksi dapat dilakukan pemeriksaan Radiologi, yaitu HSG
(Hysterosalpingografi).
1
2

Hysterosalpingografi adalah pemeriksaan radiologi untuk melihat
saluran reproduksi wanita (uterus dan fallopi) dengan menggunakan media
kontras, dengan cara memasukan media kontras positif ke dalam uterus untuk
melihat bentuk, kedudukan dan kelainan kavum uteri dan tuba uteri. Pada
pemeriksaan ini digunakan HSG Set sebagai alat melakukan pemeriksaan,
akan tetapi ada juga yang menggunakan kateter. (Rasad, Sjahriar 2009).
Dengan latar belakang tersebut diatas penulis ingin mengangkajiannya
lebih dalam pada Karya Tulis Ilmiah dengan judul Penatalaksanaan
Pemeriksaan Hysterosalpingografi (HSG) Pada Kasus Infertilitas dengan
Menggunakan Kateter .

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penatalaksanaan Pemeriksaan Hysterosalpingografi (HSG)
Pada kasus Infertilitas dengan menggunakan kateter?
2. Bagaimana Hasil Penatalaksanaan Pemeriksaan (HSG) pada kasus
Infertilitas dengan menggunakan Proyeksi AP Supine ?

1.3 Batasan Masalah
Dalam penulisan penatalaksanaan HSG ini, dibatasi pelaksanaan pemeriksaan
hanya dengan kateter saja, karena rata-rata pasien yang datang adalah pasien
yang belum memiliki keturunan atau anak.

1.4 Tujuan Penulisan
Untuk lebih memahami bagaimana tatalaksana pemeriksaan
Hysterosalpingografi (HSG) pada kasus Infertilitas.

3

1.5 Manfaat Penulisan
1.5.1 Bagi Penulis
Dengan penulisan ini, maka penulis dapat menambah pengetahuannya
di bidang radiodiagnostik terutama pemeriksaan HSG dengan kasus
infertilitas.
1.5.2 Bagi Institusi D.III Atro Baitrurrahmah padang
Dapat menambah ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan oleh
mahasiswa dan perpustakaan. Program Studi DIII Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi Universitas Baiturrahmah Padang.
1.5.3 Bagi Radiografer
Menambah wawasan dan pengetahuan Radiografer tentang hasil
gambaran radiograf pada pemeriksaan HSG dengan klinis infertilitas.

1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan Karya Tulis ini dibuat dalam sistematika sebagai berikut ;
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah yang merupakan
alasan pemilihan judul, batasan masalah, tujuan penulisan dan sistematika
penulisan.
BAB II DASAR TEORI
Bab ini berisi tentang sejarah Sinar X, proses terjadinya Sinar X, film
radiografi, kaset radiografi, automatik processing, anatomi reproduksi wanita,
teknik pemeriksaan HSG, kriteria gambaran HSG.


4

BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini membahas tentang kerangka konsep dan metode yang digunakan
dalam menyusun karya tulis ilmiah
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan hasil penatalaksanaan dari pemeriksaan HSG
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dan permasalahan yang telah
diuraikan dan sebagai masukan.


5

BAB II
DASAR TEORI

2.1 Sinar X
Sinar X adalah gelombang elektromagnetik yang mempunyai panjang
gelombang atau lamda pendek dan dapat menembus objek. Sinar X pertama
kali ditemukan oleh fisikawan berkebangsaan Jerman pada tanggal 08
November 1895 yang bernama Wilhelm Conrad Rongent. Wilhelm
menemukan Sinar X saat telah berada di bangku perkuliahan University of
Wuzburg, pada saat penelitiannya beliau menemukan hal yang aneh namun
Wilhelm tertarik terhadap penelitian tersebut. Pada beberapa eksperimen yang
dilakukannya menggunakan tabung crookes yang ditutupi kotak hitam untuk
menutupi pendaran fluoresensi, selalu berada di dalam gelas. Saat tabung
tersambung Wilhelm memperhatikan bahwa beberapa kristal dari barium
platino-cyanide yang berada di meja dekat tabung tersebut menjadi berpendar.
Dari eksperimen menarik itu lah Wilhelm menemukan sesuatu, karena tidak
tahu nama dan kebingungannya akhirnya Wilhelm menamakan penemuannya
itu Sinar X.
2.1.1 Proses Terjadinya Sinar X
Proses terjadinya Sinar X sebagai berikut :




Gambar 2.1 : Proses Terjadinya Sinar X
5
6

a. Tabung Sinar X merupakan sebuah tabung yang terdiri dari bahan
gelas yang hampa udara. Di dalam tabung Sinar X ini terdapat dua
dioda yaitu katoda dan anoda. Saat filamen yang berada di katoda
dipanaskan elektron yang keluar dari filamen semakin banyak
sehingga terjadilah apa yang disebut dengan awan awan elektron.
b. Kemuadian antara katoda dan anoda diberi ion beda potensial yang
sangat tinggi, minimal 40 kV (40.000 volt) sehingga elektron yang
berada di katoda akan bergerak dengan cepat menuju anoda.
c. Elektron yang bergerak menuju ke anoda dengan sangat cepat
menumbuk bagian kecil dari anoda yang disebut dengan target.
d. Elektron bergerak dari katoda ke anoda pada tabung hampa, biasa
disebut dengan elektron proyeksi. Saat elektron proyektil ini
berbenturan dengan atom logam berat dari target, elektron
berinteraksi dengan atom-atom ini dengan mentransfer energi
genetiknya ke target, saat terjadi hal tersebut proyektil elektron
melambat dan akhirnya sampai berhenti.
e. Proyektil elektron berinteraksi dengan elektron lintasan atau ini
dari atom target. Interaksi tersebut menghasilkan konvensi energi
kinetik menjadi energi panas dan energi elektro magnetik dalam
bentuk Sinar X. Secara umum 99% energi kinetik proyektil
elektron ini diubah menjadi energei panas dan dari 1% yang
berubah menjadi Sinar X.


7

2.1.2 Pesawat Sinar X
Pesawat Sinar X terdiri atas beberapa bagian, yaitu :
1. Kontrol panel
Kontrol panel adalah suatu bagian pesawat Sinar X disana
terdapat panel-panel untuk mengatur faktor-faktor eksposisi
(Voltase, Ampere, dan Second). Di dalam Kontrol Panel terdapat
komponen tegangan menengah dan tegangan rendah dibawah
500V.
2. High Voltase Tank (HVT)
HV Tank merupakan penghasil tegangan tinggi untuk suplay
anoda. Dalam HV Tank terdapat travo penaik tegangan (lilitan
sekunder lebih banyak dari kumparan primer). Tegangan
primernya di dapat dari kontrol panel, sedangkan tegangan
sekundernya akan di kirim ke anoda. Selain travo tegangan tinggi,
juga terdapat rangkaian penyerah (dioda) yang menyerahkan
tegangan tinggi (sekunder travo). Selain hal tersebut, dalam HV
Tank juga di dapat oli yang berfungsi sebagai penyekat dan
pendingin travo-dioda.
3. X RAY Tube Head
X RAY Tube Head adalah bagian pesawat sinar X yang
berfungsi untuk menghasilkan Sinar X. Didalamnya terdiri atas
tabung hampa udara, dan oli sebagai pendingin selain itu biasanya
tube head digabung dengan kolimator sebagai bagian yang
8

berfungsi untuk membatasi paparan radiasi yang dihasilkan tabung
Sinar X, sehingga Sinar X hanya daerah yang dihubungkan saja.
Selain bagian-bagian tersebut, bagian tambahan lain adalah :
1. Examination Table
Examination Table adalah meja yang digunakan untuk
memeriksa pasien. Berdasarkan pergerakan meja, dapat dibagi
menjadi 2, yaitu :
a. Moveable Table
Moveable Table adalah meja yang dapat bergerak
electric, sehingga lebih praktis. Secara umum
pergerakannya adalah slidding (pergerakan secara
horizontal dan vertikal).
b. Stationary Table
Stationary Table adalah meja yang tidak dapat
bergerak (diam) sehingga pengoperasiannya sangat
terbatas. Meja didalamnya diantara empat kaset yang
fleksibel sehingga bisa diatur sesuai dengan ukuran kaset
yang didalamnya berisi bucky. Bucky adalah bagian meja
pemeriksaan grid yang digunakan secara otomatis sewaktu
Sinar X keluar, yaitu bucky stand (bucky yang biasanya
letaknya terpisah dan berdiri vertikal) dan table top (bucky
yang letaknya menyatu dengan examination table) monitor.


9

2. Monitor
TV Monitor merupakan perangkat yang biasanya
terdapat pada pesawat flourosecopy, dimana pada saat
pemeriksaan hasil dapat langsung dilihat.
2.1.3 Sifat sifat Sinar X
Sinar X mempunyai beberapa sifat fisik yaitu daya tembus,
pertebaran, penyerapan, efek fotografi, flourosensi, ionisasi, dan efek
biologik. Selain itu, Sinar X tidak dapat dilihat dengan mata, bergerak
lurus yang mana kecepatannya sama dengan kecepatan cahaya, tidak
dapat difraksikan dengan lensa atau prisma tetapi dapat difraksikan
dengan kisi kristal. Dapat diserap oleh timah hitam, dapat dibelokan
setelah menembus logam atau benda padat, mempunyai frekuensi
gelombang yang tinggi.
a. Daya Tembus
Sinar X dapat menembus bahan atau massa yang padat
dengan daya tembus yang sangat besar seperti tulang dan gigi.
Makin tinggi tegangan tabung (besarnya KV) yang digunakan
semakin besar daya tembusnya. Makin rendah berat atom atau
kepadatan suatu benda, makin besar daya tembusnya.
b. Pertebaran
Apabila berkas Sinar X melalui suatu bahan atau suatu zat,
maka berkas sinar tersebut akan bertebaran keseluruh arah,
menimbulkan radiasi sekunder (radiasi hambur) pada bahan atau
zat yang dilalui. Hal ini menyebabkan terjadinya gambaran
10

radiograf pada film akan tampak pengaburan kelabu secara
menyeluruh. Untuk mengurangi akibat radiasi hambur ini, maka
subjek dengan diletakan timah hitam (grid) yang tipis.
c. Penyerapan
Sinar X radiografi diserap oleh bahan atau zat sesuai dengan
berat atom atau kepadatan bahan atau zat tersebut. Makin
penyerapannya.
d. Flouresensi
Sinar X menyebabkan bahan bahan tertentu seperti kalsium
atau zink sulfide memedarkan cahaya (luminisensi). Luminisensi
ada 2 jenis, yaitu :
1. Fluoresensi, yaitu memendarkan cahaya sewaktu ada radiasi
Sinar X saja
2. Fosforesensi, yaitu memendarkan cahaya akan berlangsung
beberapa saat walaupun radiasi Sinar X sudah dimatikan (after-
glow).
e. Ionisasi
Efek primer dari Sinar X apabila mengenai suatu bahan atau
zat dapat menyimpan ionisasi partikel-partikel tersebut.
f. Efek Biologi
Sinar X akan menimbulkan perubahan-perubahan biologi
jaringan. Efek biologi ini yang dipergunakan dalam pengobatan
radioterapi. Jadi sinar terlihat, penjalarannya berupa garis lurus,
dapat menembus jaringan lunak dan keras serta mempunyai efek
fotograf dengan menghasilkan gambar yang dilihat.
11

2.2 Film Radiografi
Film dalam radiografi secara umum mempunyai fungsi sebagai
pencatat bayangan sehingga gambaran yang diinginkan dapat dilihat melalui
film radiografi. Bahkan film radiografi yang paling utama adalah emulsi.
Emulsi film radiografi terbuat dari senyawa yang bernama perak bromida
(AgBr). Ukuan film yang umum digunakan adalah 18 x 24 cm, 24 x 30 cm, 35
x 35 xm, dan 30 x 40 cm.
Jika sebuah objek diletakan diatas film, kemudian objek ini diekspose
dengan Sinar X, maka Sinar X yang mengenai objek sebagian akan diserap
dan sebagian lagi akan diteruskan. Sinar X yang keluar dari objek secara
otomatis akan berkurang intensitasnya, akibat pada bagian film yang terletak
dibawah objek yang mendapatkan Sinar X yang lebih sedikit, sementara
bagian film yang tidak dihalangi objek akan mendapatkan Sinar X yang
banyak. Bagian film yang mendapat Sinar X dengan dosis rendah nantinya
akan berwarna putih sementara bagian film yang mendapatkan Sinar X dengan
dosis tinggi akan berwarna hitam. Perbedaan gambaran ini tentunya baru bisa
dilihat dengan mata apabila film telah diproses. (Rahman, Nova 2009).
1. Struktur Film Radiografi
Secara umum struktut film terbagi dua bagian, yaitu struktur film untuk
double emulsi dan struktur film untuk single emulsi.
a. Film Double Emulsi
Film Double Emulsi berarti film radiografi yang memiliki dua
emulsi yaitu pada bagian depan dan belakang. Film jenis ini secara
fisik terlihat lebih tebal dibanding dengan film single emulsi. Film
12

jenis ini banyak digunakan pada pelayanan radiologi di Indonesia
karena film ini lebih mudah digunakan dan dari segi harga relatif lebih
murah dibanding dengan single emulsi.
b. Film Single Emulsi
Film Single Emulsi berarti film radiologi yang hanya memiliki
satu emulsi saja. Secara fisik jenis ini terlihat lebih tipis dibandingkan
dengan yang double emulsi. Film jenis ini tidak digunakan pada semua
pelayanan radiologi, sebab film jenis ini hanya digunakan untuk
pemeriksaan mamografi (pemeriksaan radiologi untuk memeriksa
payudara).
2. Bagian-bagian Film Radiografi
Bagian-bagian film radiologi mempunyai nama dan fungsi masing-
masing, bagian-bagian tersebut adalah :
a. Supercoat
Merupakan lapisan pelinsung atau disebut juga lapisan anti
abrasive, lapisan ini terbuat dari geltin murni yang cenderung keras,
dan permukaan mengkilat. Lapisan ini juga berfungsi untuk menahan
debu dan kotoran, serta menjaga film dari goresan. Selama proccesing,
penembusan cairan kimia akan diperlambat oleh lapisan ini, hal inilah
yang menjadikan lapisan ini bersifat anti static (jenanskins, 1980).
b. Emulsi
Merupakan lapisan yang sensitif terhadap radiasi, emulsi film
terdiri dari butiran Perak Bromida (AgBr), yang melekat digelatin
murni. Lapisan ini sangat mudah rusak oleh cairan kimia, pergerakan
13

mekanik atau pemanasan, emulsi terletak diantara supercoat dan
lapisan adhesive dengan maksud memberikan perlindungan emulsi
tersebut (jenskins, 1980).
c. Adhesive
Lapisan ini disebut juga subbing layer, digunakan untuk
melekatkan antara film base dengan lapisan emulsi (Jenskins, 1980).
d. Film Base
Merupakan bahan plastik transparan (poliyester) yang terlihat
kuat dan tidak mudah sobek (jenskins, 1980).
3. Perawatan dan Perlindungan Film
Perlindungan pada film harus dilakukan dalam keadaan apapun
perlu perlakuan khusus dengan cara melindungi film dari :
a. Kerusakan film
b. Cahaya
c. Suhu yang tinggi
d. Kelemahan yang relative tinggi
e. Udara dan uap
f. Sinar X dan sumber radioaktif
g. Api (Ball and Price, 1990)

2.3 Kaset
Untuk melindungi film X-ray yang telah maupun belum di ekspose
diperlukan suatu alat yang disebut kaset. Kaset, dalam penggunaannya selalu
bersama dengan intensyfing screen yang terletak di depan dan dibelakang
film.
14

Kaset memiliki berbagai fungsi, diantaranya adalah :
1. Melindungi intensyfing screen dari kerusakan akibat tekanan mekanik.
2. Menjaga intensyfing screen dari kotoran dan debu
3. Menjaga agar film dapat dengan rapat menempel pada kedua intensyfing
screen yang terletak di depan dan di belakang kaset tersebut secara
sempurna
4. Serta membatasi radiasi hambur balik dari belakang kaset. Kaset memiliki
berbagai macam ukuran.
Kaset memiliki berbagai macam ukuran. Diantaranya adalah
berukuran : (18 x 24) cm, (24 x 30) cm, (30 x 40) cm, (35 x 35) cm, (35 x 43)
cm. Penggunaan berbagai macam kaset ini ditentukan oleh objek yang akan di
periksa. Sebagai contoh adalah pemeriksaan pada manus. Karena objeknya
kecil maka untuk efisiensinya menggunakan kaset yang berukuran (18 x 24)
cm. Adapun ciri-ciri konstruksi kaset yang ideal menurut standar yang telah
ditentukan adalah sebagai berikut :

Gambar 2.2 : Bentuk Umum Kaset.


15

2.4 Pencucian Film
2.4.1 Pengolahan Film Secara Otomatis
Dalam dunia radiografi, pengolahan film yang dilakukan tidak
hanya secara manual, tetapi ada pengolahan film dengan cara lain yaitu
pengolahan film secara otomatis (automatic proccesing). Automatic
proccesing mempunyai pengertian pengolahan film yang dilakukan
secara otomatis dengan menggunakan mesin pengolahan film untuk
melakukan pekerjaan pengolahan film yang biasanya dilakukan oleh
manusia. Dalam automatic proccesing, semua telah diatur oleh mesin,
mulai dari film masuk ke developer, ke fixer, hingga keluar dari film
dalam keadaan kering. Automatic proccesing dikenal juga istilah dry to
dry yang artinya film masuk dalam keadaan kering dan keluar juga
dalam keadaan kering, tidak seperti dalam pengolahan film secara
manual dimana film masih harus dikeringkan beberapa saat sebelum
akhirnya kering.

Gambar 2.3 : Automatic Proccesing
Prinsip yang digunakan pada pengolahan film secara otomatis
sebenarnya sama dengan pengolahan film secara manual. Namun pada
pengolahan film secara otomatis tidak terhadap tahapan tinsing. Hal ini
16

dikarenakan tahapan rinsing digantikan oleh roller yang berada dalam
mesin automatic proccesing. Tahapan-tahapan yang ada pada
automatic proccesing adalah developing, fixing, washing, drying.
Semua tahapan diatas sama dengan manual seperti bagaimana proses
di developer, fixer, hingga dryer. Perbedaannya, pada proccesing ini
cairan yang digunakan developer dan fixer tidak bolej berjenis powder,
developer dan fixer untuk pengolahan film secara otomatis hanya
boleh dari jenis liquid. Hal ini disebabkan pada developer dan fixer
dari jenis powder masih ada beberapa Kristal dari developer dan fixer
yang tidak larut dalam cairan sehingga jika digunakan pada automatic
proccesing, Kristal ini dapat menempel pada roller yang kemudian
berakibat tergoresnya film saat roller menjepit film.

2.5 Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Wanita
2.5.1 Alat Reproduksi Wanita

Gambar 2.4 : Alat Reproduksi Wanita
Terdiri alat atau organ eksternal dan internal, sebagian besar
terletak dalam rongga panggul. Eksternal (sampai vagina) : fungsi
kopulasi internal : fungsi ovulasi, fertilisasi ovum, transportasi
17

blastocyst, implantasi, pertumbuhan fetus, kelahiran. Fungsi sistem
reproduksi wanita dikendalikan / dipengaruhi oleh hormon-hormon
gondaotropin / steroid dari poros hormonal thamalus hipothamalus
hipofisis adrenal ovarium. Selain itu, terdapat organ / sistem
ekstragonal / ekstragenital yang juga dipengaruhi oleh siklus
reproduksi : payudara, kulit daerah tertentu, pigmen dan sebagainya.
2.5.1.1 Genetalia Eksterna
a. Vulva
Tampak dari luat (mulai dari mons pubis sampai tepi
perineum), terdiri dari mons pubis, labia mayora, labia
minora, clitoris, hymen, vestibulum, orificium urethrae
externum, kelenjar-kelenjar pada dinding vagina. Mons
pubis / mons veneris lapisan lemak di bagian anterior
symphisis os pubis. Pada masa pubertas daerah ini mulai
ditumbuhi rambut pubis. Labia mayora lapisan lemak
lanjutan mons pubis ke arah bawah dan belakang, banyak
mengandung pleksus vena Homolog emriologik dengan
skrotum pada pria. Ligamentum rontudum uteri berakhir
pada batas labia mayora. Di bagian bawah perineum, labia
mayora menyatu (pada commisura posterior). Labia mayora
lipatan jaringan tipis di balik labia mayora tidak
mempunyai folikel rambut. Banyak terdapat pembuluh
darah, otot polos dan ujung serabut saraf.

18

b. Clitoris
Terdiri dari caput / glans clitoridis yang terletak di
bagian superior vulva, dan corpus clitoridis yang tertanam
didalam dinding anterior vagina. Homolog embriologik
dengan penis pada pria. Terdapat juga reseptor androgen
pada clitoris. Banyak pembuluh dara dan ujung saraf,
sangat sensitif.
c. Vestibulum
Daerah dengan batas atas clitoris, batas bawah
fourchet, lateral labia minora. Berasal dari sinus urogenital
terdapat 6 lubang / oroficium, yaitu orificium urethrae
externum, introitus vaginae, ductus glandulae bartholinii
kanan dan kiri dan ductus skene kanan kiri. Antara
fourcher dan vagina terdapat fossa navicularis. Intoitus /
orificium vagina terletak dibagian bawah vestibulum. Pada
gadis (virgo) tertutup lapisan tipis bermukosa yaitu selaput
dara / hymen, utuh tanpa robekan. Hymen normal terdapat
lubang kecil untuk aliran dara menstruasi, dapat berbentuk
bulan sabit, bulat, oval, cribiformis, septum atau fimbriae.
Akibat coitus atau trauma lain, hymen dapat robek dan
bentuk lubang menjadi tidak beraturan dengan robekan
(misalnya berbentuk fimbriae).
Bentuk hymen postpartum disebut parous.
Corrunculae myrtiformis adalah sisa-sisa selaput dara yang
19

robek yang tampak pada wanita pernah melahirkan / para.
Hymen yang abnormal misalnya primer tidak berlubang
(hymen imperforata) menutup total lubang vagina dapat
menyebabkan darah menstruasi terkumpul di rongga
genetalia interna.
d. Vagina
Rongga muskolumembranosa berbentuk tabung mulai
dari tepi cervix di bagiang kranial dorsal sampai vulva di
bagian kaudal ventral. Daerah di sekitar cervix disebut
formix, dibagi dalam 4 kuadran : formix anterior, formix
posterior, dan formix lateral kanan dan kiri. Vagina
memiliki dinding ventral dan dinding dorsal yang elastis.
Dilapisi epitel skuamosa berlapis, berubah mengikuti siklus
haid. Fungsi vagina adalah untuk mengeluarkan ekskresi
uterus pada haid, untuk jalan lahir dan untuk kopulasi
(persetubuhan). Bagian atas vagina terbentuk dari ductus
mulleri, bawah dari sinus urogenitalis. Batas dalam secara
klinis yaitu fornices anterior. Posterior dan lateralis di
sekitar cervix uteri. Titik grayenbergh (G-spot), merupakan
titik daerah sensorik di sekitar 1/3 antrior dinding vagina,
sangat sensitif terhadap stimulasi orgamus varginal.
e. Perineum
Daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan
anus. Batas otot-otot diafragma pelvis (m.levator ani,
20

m.coccygeus) dan diafragma urogenitalis (m.perinealis
transversus profunda, m.constrictor urethra). Perineal body
adalah raphe median m.levator ani antara anus dan vagina.
Perineum meregang pada persalinan, kadang perlu dipotong
(episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah
ruptur.
2.5.1.2 Genetalia Internal
a. Uterus
Suatu organ muskular berbentuk seperti sebuah pir,
dilapisi peritoneum (serosa). Selama kehamilan berfungsi
sebagai tempat implantasi, retensi dan nutrisi konseptus.
Pada saat persalinan dengan adanya kontraksi dinding
uterus dan pembukaan serviks uterus, isi konsepsi
dikeluarkan. Terdiri dari corpus, fundus, cornu, isthmus dan
serviks uteri. Serviks uteri bagian terbawah uterus, terdiri
dari pars vaginalis (berbatasan / menembusa dinding dalam
vagina) dan pars supravaginalis. Terdiri dari 3 komponen
utama : otot polos, jalinan jaringan ikat (kolagen dan
glikosamin) dan elastin. Bagian luar di dalam rongga
vagina yaitu portio cervicis uteri (dinding) dengan lubang
ostium uteri externum (luar, arah vagina) dilapisiepitel
skuamokolumnar mukosa serviks, dan ostium uteri
internum (dalam, arah cavum). Sebelum melahirkan
(nullipara / primagravida) lubang ostium externum bulat
21

kecil, setelah pernah / riwayat melahirkan (primipara /
multigravida) berbentuk garis melintang. Posisi serviks
mengarah ke kaudal-posterior, setinggi spina iscihiadica.
Kelenjar mukosa serviks menghasilkan lendir getah serviks
yang mengandung glikoprotein kaya karbohidrat (musin)
dan larutan berbagai garam, peprida dan air. Ketebalan
mukosa dan viskositas lendir serviks dipengaruhi siklus
haid. Corpus uteri terdiri dari : paling luar lapisan scrosa /
poritoneum yang melekat pada ligamentum latum uteri
intraabdomen, tengan lapisan muskular / miometrium
berupa otot polos tiga lapis (dari luar ke dalam arah serabut
otot longitudinal, anyaman dan sirkular), serta dalam
lapisan endometrium yang melapisi dinding cavum uteri,
menebal dan runtuh sesuai siklus haid akibat pengaruh
hormon-hormon ovarium. Posisi corpus intraabdomen
mendatar dengan fleksi ke anterior, funduns uteri berada di
atas vesica urinaria. Proporsi ukuran corpus terhadap
isthmus dan serviks uterus bervariasi selama pertumbuhan
dan perkembangan wanita (gambar).
Ligamenta penyangga uterus Ligamentum latum uteri,
ligamentum rotundum uteri, ligamentum cardinale,
ligamentum ovarii, ligamentum sacrouterina propium,
ligamentum infundibulo pelvicum, ligamentum
vesicouterina, ligamentum rectouterina. Vaskularisasi uteri
22

terutama dari arteri uterina cabang arteri hypogastrica /
illiaca interna, serta arteri ovarica cabang aorta
abdominalis. Salping Tuba Falopii Embriogik uterus dan
tuba berasa dari ductus Mulleri. Sepasang tuba kiri-kanan,
panjang 8-14 cm, berfungsi sebagai jalan transportasi ovum
dari ovarium sampai cavum uteri. Dinding tuba terduru dari
tiga lapisan : serosa, muskular (longitudinal dan sirkular)
serta mukosa debgab epitel bersilia.
Terdiri dari pars interstitialis, pars isthmica, pars
ampularis, serta pars infundibulum dengan fimbria, dengan
karakteristik silia dan ketebalan dinding yang berbeda-beda
pada setiap bagiannya. Pars isthmica (proksima / isthmus)
merupakan bagian dengan lumen tersempit, terdapat
sfingter uterotuba pengendali transfer gamet. Pars
ampularis (medial / ampula) tempat yang serung terjadi
fertilisasi adalah daerah ampula / infundibulum, dan pada
hamil ektopik (patologik0 sering juga terjadi implantasi di
dinding tuba bagian ini. Pars infundibulum (distal)
dilengkapi dengan fimbriae serta ostium tubae abdominale
pada ujungnya, melekat denga permukaan ovarium.
Fimbriae berfungsi menangkap ovum yang keluar saat
ovulasi dari permukaan ovarium, dan membawanya ke
dalam tuba.

23

b. Mesosalping
Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya
meseterium pada usus).
c. Ovarium
Organ endokrin berbentuk oval, terletak di dalam
rongga peritoneum, sepasang kiri-kanan. Dilapisis
mesovarium, sebagai jaringan ikat dan jalan pebuluh darah
dan saraf. Terdiri dari korteks dan medula. Ovarium
berfungsi dalam pembentukan dan pematakan folikel
menjadi ovum (dari sel epitel germinal primordial di
lapisan terluar epital ovarium di korteks, ovulasi
(pengeluaran ovum), sintesis dan sekresi hormon-hormon
steroid (estrogen oleh teka interna folikel, progesteron oleh
korpus luteum pascaovulasi). Berhubungan dengan pars
infindibulum tuba falopii melalui perlekatan fimbriae.
Fimbriae menangkap ovum yang dilepaskan pada saat
ovulasi. Ovarium terfiksasi oleh ligamentum ovarii
proprium, ligamentum infidibulopelvicum dan jaringan ikat
mesovarium. Vaskularisasi dari caban aorta abdominalis
inferior terhadap arteri renalis.
2.5.1.3 Organ Reproduksi / Organ Seksual Ekstragonadal
a. Payudara
Seluruh susunan kelenjar payudara berada di bawah
kulit daerah pektoral. Terdiri dari massa payudara yang
24

sebagian besar mengandung jaringan lemak, berlobus-lobus
(20-40 lobus), tiap lobus terdiri dari 10-100 alveoli, yang di
bawah pengaruh hormon prolaktin memproduksi air susu.
Dari lobus-lobus, air susu dialirkan melalui duktus yang
bermuara di daerah papila / puting. Fungsi utama payudara
adalah laktasi, dipengaruhi hormon prolaktin dan oksitosin
pascapersalinan. Kulit daerah payudara sensitif terhadap
rangsang, termasuk sebagai sexsuallu responsive organ.
b. Kulit
Di berbagai area tertentu tubuh, kulit memiliki
sensitifitas yang lebih tinggi dan responsif secara seksual,
misalnya kulit di daerah bokong dan lipat paha dalam.
Protein di kulit mengandung pheromone (sejenis metabolik
steroid dari keratinosit epidermal kulit) yang berfungsi
sebagai parfum daya tarik seksual (androstenol dan
androstenon di buat di kulit, kelenjar keringat aksila dan
kelenjar liur). Pheromone ditemukan juga di dalam urine,
plasma, keringat dan liur.
2.5.1.4 Poros Hormonal Sistem Reproduksi
Badan pineal suatu kelenjar kecil, panjang sekitar 6-8
mm, merupakan suatu penonjolan dari bagian posterior
ventrikel III di garis tengah. Terletak di tengah antara 2
hemisfer otak, di depan serebelum pada daerah hipotalamus
melalui suatu batang penghungan yang pendek berisi serabut-
25

serabut saraf. Menurut kepercayaan kuno, di percaya sebagai
tempat roh. Hormon melatonin : mengatur sirkuit foto-neoro-
endokrin reproduksi. Tampaknya melatonin menghambat
produksi GnRH dari hipotalamus, sehingga menghambat juga
sekresi gonadotropin dari hipofisis dan memicu aktifasi
pertumbuhan dan sekresi hormon dari gonad. Di duga
mekanisme ini yang menentukan pemicu / onset mulainya fase
pubertas.
a. Hipotalamus
Kumpulan nukleus pada daerah dasar orak, di atas
hipofisis, di bawah talamus. Tiap inti merupakan satu
berkas badan saraf yang berlanjut ke hipofisis sebagai
hipofisis posterior (neurphipofisis). Menghasilkan hormon-
hormon pelepas : GnRH (gonadotropin Releasing
Hormone), TRH (thyrotropin Releasing Hormone), CRH
(Contricotropin Releasing Hormone), GHRH (Growth
Hormone Releasing Hormone). PRF ( Prolactin releasing
factor). Menghasilkan juga hormon-hormon penghambat :
PIF (Prolactin Inhibiting Factor). Pituitari / hipofisis
terletak di dalam sella turcuca tulang sphenoid.
Menghasilkan hormon-hormon gonadotropin yang bekerja
pada kelenjar reproduksi, yaitu perangsang pertumbuhan
dan pematangan folikel (FSH Follicle Stimulating
Hormone) dan hormon lutein (LH Luteinizing Hormone).
26

Selain hormon-hormon gonadotropin, hipofisis
menghasilkan juga hormon-hormon metabolisme
pertumbuhan dan lain-lain.
b. Ovarium
Berfungsi gametogenesis atau oogenesis, dala
pematangan dan pengeluaran sel telur (ovum). Selain itu
juga berfungsi steroidogenesis, menghasilkan estrogen (dari
teka interna folikel) dan progesteron (dari korpus luteum),
atas kendali dari hormon-hormon gonadotropin.
c. Endometrium
Lapisan dalam dinding kavum uteri, berfungsi sebagai
bakal tempat implantasi hasil konsepsi. Selama siklus haid
jaringan endometrium berproliferasi, menebal dan
mengadakan sekresi, kemudian jika tidak ada pembuahan
atau implantasi, endometrium rontok kembali dan keluat
berupa darah atau jaringan haid. Jika ada pembuahan atau
implantasi endometrium juga dipertahankan sebagai tempat
konsepsi. Fisiologi endometrium juga dipengaruhi oleh
siklus hormon-hormon ovarium.
2.5.1.5 Hormon-hormon Reproduksi
GnRH (gonadotrophin Releasing Hormone) di produksi
di hipotalamuis, kemudian dilepaskan berfungsi menstimulasi
hipofisis anterior untuk memproduksi dan melepaskan hormon-
hormon gonadotrpin (FSH / LH) FSH (Follicle Stimulating
27

Hormone) diproduksi di sel-sel hipofisis anterior, sebagai
respons terhadap GnRH. Berfungsi memicu pertumuhan dan
pematangan folikel dan sel-sel granulosa di ovarium waniota
(pada pria : memicu pematangan sperma di testis).
Pelepasannya periodik atau pulsatif, waktu paruh eliminasinya
pendek (sekitar 3 jam). Sering tidak ditemukan dalam darah.
Sekresinya dihambat oleh enzim inhibin dari sel-sel granulosa
ovarium, melalui mekanisme feedback negatif.
LH (Luteinizing Hormone) / ICSH (Interstilial Cell
Stiimulating Hormone) di produksi di sel-sel komofob hipofisis
anterior. Bersama FSH, LH berfungsi memicu perkembangan
folikel (sel-sel teka dan sel-sel granulosa) dan juga
mencetuskan terjadinya ovulasi dipertengahan siklus (LH-
Surge). Selama fase luteal siklus, LH meningkatkan dan
mempertahankan fungsi korpus luteum pascaovulasi dalam
menghasilkan progesteron. Pelepasannyha juga periodik atau
pulpasif, kadarnya dalam darah bervariasi setiap fase siklus,
waktu paruh eliminasinya pendek (sekitar 1 jam). Kerja sangat
cepat dan singkat. (pada pria : LH memicu sintesis testosteron
di sel-sel Leydig testis).
a. Ekstrogen
Estogen (alami) di produksi terutama oleh sel-sel teka
interna folikel di ovarium secara primer, dan dalam jumlah
lebih sedikit juga di produksi di kelenjar adrenal melalui
28

konversi hormon androgen. Pada pria, di produksi juga
sebagian di testis. Selama kehamilan, di produksi juga oleh
plasenta. Berfungsi stimulasi pertumbuhan dan
perkembangan (proliferasi) pada berbagai organ reproduksi
wanita. Pada uterus : menyebabkan perlunakan serviks dan
pengentalan lendir serviks. Pada payudara : menstimulasi
pertumbuhan payudara. Juga mengatur distribusi lemak
tubuh. Pada tulang, estrogen juga menstimulasi osteoblas
sehingga memicu pertumbuhan atau regenerasi tulang. Pada
wanita pascamenopause, untuk pencegahan tulang keropos
atau osteoporosis, dapat diberikan terapi hormon estrogen
(sintetik) pengganti.
b. Progesteron
Progesteron (alami) di produksi terutama di korpus
luteum di ovarium, sebagian di produksi di kelenjar adrenal
dan pada kehamilan juga di produksi di plasenta.
Progesteron menyebabkan terjadinya proses perubahan
sekretorik (fase sekresi) pada endometrium uterus, yang
mempersiapkan endometrium uterus berada pada keadaan
yang optimal jika terjadi implantasi. HCG (Human
Chorionic Gonadotropin) mulai diproduksi sejak usia
kehamilan 3-4 minggu oleh jaringan trofoblas (plasenta).
Kadarnya makin meningkat sampai dengan kehamilan 10-
12 minggu (sampai sekitar 100.000 mU/ml), kemudian
29

turun pada trisemester kedua (sekitar 1000 mU/ml),
kemudian naik kembali sampai akhir trisemester ketiga
(sekitar 10.000 mU/ml).
Berfungsi meningkatkan dan mempertahankan fungsi
korpus luteum dan produksi hormon-hormon steroid
terutama pada masa-masa kehamilan awal. Mungkin juga
memiliki fungsi imunologik. Deteksi HCG pada darah atau
urine dapat dijadikan sebagai tanda adanya kemungkinanan
adanya kehamilan (tes galli mainini, tes pack, dsb) LTH
(lactotrophic Hormone) atau prolactin di produksi di
hipofisis anterior, memiliki aktifitas memicu atau
meningkatkan produksi dan sekresi air susu oleh kelenjar
payudara.
Di ovarium, prolactin ikut dipengaruhi pematangan
sel telur dan mempengaruhi fungsi korpus luteum. Pada
kehamilan, prolaktin juga diproduksi oleh plasenta (HPL /
Human Placental Lactogen). Fungsi laktogenik atau
laktotropik tampak terutama pada masa laktasi atau
pascapersalinan. Prolaktin juga memiliki efek inhibisi
terhadap GnRH hipotalamus, sehingga jika kadarnya
berlebihan (Hiperprolaktinemia) dapat terjadi gangguan
pematangan folikel, gangguan ovulasi dan gangguan haid
berupa amenorhea.

30

2.6 Bahan kontras
Bahan Kontras merupakan senyawa-senyawsa yang digunakan untuk
meningkatkan visualisasi (visibility) struktur-struktur internal pada sebuah
pencitraan diagnostik medik. Bahan kontras dipakai pada pencitraan dengan
Sinar-X untuk meningkatkan daya attenuasi Sinar X (Bahan kontras posistif)
atau menurunkan menurunkan daya attenuasi Sinar X (Bahan kontras negative
dengan bahan dasar udara atau gas). Ada berbagai macam jenis kontras
tergantung dari muatannya, cara pemberian dan lain sebagainya.
2.6.1 Pembagian Media Kontras
2.6.1.1 Mengandung minyak (oily iodinated CM)
1. Vertikal berupa minyak tumbuhan (poppy seed)
2. Digunakan untuk arthrografi, HSG, Limfografi, Fistulografi,
Mielografi.
3. Kekurangan :
a. Eliminasi dalam tubuh sangat lambat, butuh waktu lama
b. Dapat mengakibatkan peradangan meanings (mielografi)
c. Dapat mengakibatkan emboli pilmoner (limfografi)
d. Harus segera dihilangkan setelah tindakan diagnostik
selesai dilakukan.

2.7 Teknik Pemeriksaan Rodiografi Histerosalingografi (HSG)
Hysterosalpingografi atau HSG sendiri pengertiannya adalah
pemeriksaan secara radiologi organ reproduksi wanita bagian dalam pada
daerah uterus tuba fallopi, servix dan ovarium menggunakan media kontras
positif. Pemeriksaan ini biasanya sering dilakukan pada ibu-ibu dengan
31

indikasi infertil baik primer maupun sekunder. Akan tetaoi juga bisa dilakukan
indikasi-indikasi lain.
2.7.1 Indikasi Pemeriksaan HSG
Indikasi pemeriksaan Histerosalpingografi adalah :
1. Menentukan keberhasilan tindakan operasi infertilasi
2. Infertilasi primer maupun sekunder untuk melihat normal tuba
(paten tidaknya tuba)
Infertilitas primer adalah dimana seorang wanita belum
pernah hamil sama sekali walaupun bersenggama dan dihadapkan
kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan. Sedangkan
Infertilitas sekunder adalah dimana seorang wanita pernah hamil
akan tetapi kemudian tidak dapat terjadi lagi walaupun
bersenggama di hadapkan kepada kemungkinan kehamilan 12
bulan.
3. Fibronyoma pada uteri
4. Hypoplasia endometri
5. Perlekatan-perlekatan dalam uterus, adenomiosis.
2.7.2 Kontra Indikasi Pemeriksaan HSG
Kontra indikasi pemeriksaan HSG adalah :
1. Menstruasi
2. Peradangan dalam rongga pelvis
3. Persarafan dalam kavum uteri
4. Alergi terhadap bahan kontras
5. Setelah dikerjakannya curettage
32

6. Kecurigaan adanya kehamilan
2.7.3 Prosedur Pemeriksaan HSG
2.7.3.1 Pelaksanaan Pemeriksaan HSG
Sebaiknya pemeriksaan HSG dilaksanakan pada masa
subur / fertile efektifnya yaitu 10 haru setelah HPHT (hari
pertama haid terakhir). Akan tetapi, pada prakteknya tidak pasti
seperti itu. Untuk pasien dengan siklus haid normal (haid 7
hari), maka pemeriksaan dilakukan 10 14 hari setelah HPHT.
Dan untuk pasien dengan siklus haid tidak normal maka
pemeriksaan dilakukan 3-4 hari setelah haid selesai. Pada saat
itu biasanya haid sudah berhenti dan selaput lender uterus
sifatnya tenang. Bilamana masih ada pendarahan, dengan
sendirinya HSG tidak boleh dilakukan karena kemungkinan
kontras masuk kedalam pembuluh darah balik.
2.7.3.2 Persiapan Pasien
Persiapan penderita untuk pemeriksaan HSG adalah sebagai
berikut :
1. Penderita tidak diperkenankan melakukan koitus
(persetubuhan selama 2 x 24 jam atau selama dua hari)
sebelum pemeriksaan. Hal ini dikarenakan dicurigai akan
terjadi pembuahan setelah melakukan koitus. Hal ini tentu
tidak diperbolehkan dilakukan pemeriksaan HSG tersebut
karena akan membahayakan janin.
33

2. Pada pemeriksaan sebaiknya rektu dalam keadaan kosong,
hal ini dapat dilakukan dengan member penderita tablet
dulcolak suposutoria beberapa jam sebelum pemeriksaan
atau sebelum lavemen.
3. Untuk mengurangi ketegangan dan rasa sakit, atas perintah
dokter penderita dapat diberi obat penenang dan anti
spasmodik.
4. Sebelum pemeriksaan yang dilakukan penderita untuk
buang air kecil terlebih dahulu untuk menghindari agar
penderita tiak buang air selama jalannya pemeriksaan
sehingga pemeriksaan tidak terganggu dan berjalan lancer.
5. Berikan penjelasan pada pasien maksud dan tujuan
pemeriksaan yang dilakukan, serta jalannya pemeriksaan
agar pasien merasa aman dan tenang sehingga dapat
diajakan kerjasama demi kelancaran pemeriksaan.
2.7.3.3 Pemasukan Media Kontras
Pemasukan media kontras bias dilakukan dengan dua
cara yaitu dengan HSG set dan dengan kateter. Media kontras
yang dipakai adalah media kontras positif jenis iodium water
soluble yang sering digunakan adalah Omnipaque 6 cc dan
Iopamiro.



34

1. Pemasukan media kontras menggunakan HSG set

Gambar 2.5 : HSG SET
a. Setelah pasien diposisikan lithotomic, daerah vagina
diberikan menggunakan desinfektan, diberi juga obat
antiseptic daerah serviks.
b. Speculum digunakan untuk membukan vagina dan
memudahkan HSG Set masuk kemudian bagian dalam
vagina dibersihkan dengan betadin, kemudian sonde
uteri dimasukan untuk mengukur serta arah uteri.
c. Siapkan HSG set yang telah dimasuki media kontras,
sebelum dimasukan terlebih dahulu semprotkan media
kontras sampai keluar dari ujung HSG Set.
d. Dengan bantuan long forcep, HSG Set dimasukan
perlahan ostium uteri externa.
e. Pasien diposisikan ditengah meja pemeriksaan dan
mulai disuntikan media kontras jumlahnya sekitar 6 ml
atau lebih.
f. Media kontras akan berisi uterus dan tuba fallopii, atur
proyeksi yang akan dilakukan serta ambil radiografinya.
35

g. Setelah semua proyeksi dilakukan kemudian daerah
vagina dibersihkan.
2. Pemasukan media kontras menggunakan Kateter

Gambar 2.6 : Kateter HSG
a. Setelah pasien diposisikan lithotomic, daerah vagina
diberikan menggunakan desinfektan, diberi juga obat
antiseptic daerah serviks.
b. Speculum digunakan untuk membukan vagina dan
memudahkan Kateter masuk kemudian bagian dalam
vagina dibersihkan dengan betadin, kemudian sonde
uteri dimasukan untuk mengukur serta arah uteri.
c. Spuit yang telah terisi media kontras dipasang pada
salah satu ujung kateter, sebelumnya kateter diisi
terlebih dahulu dengan media kontras sampai lumen
kateter penuh
d. Dengan bantuan long forcep, HSG Set dimasukan
perlahan ostium uteri externa.
e. Balon kateter di isi air dengan air steril kira-kira 3 ml
sampai balon mengembang di antara ostium interna dan
36

eksterna, balon ini harus terkait erat pada canalis
servicalis, kemudian speculum dilepas
f. Pasien diposisikan ditengah meja pemeriksaan dan
mulai disuntikan media kontras jumlahnya sekitar 6 ml
atau lebih.
g. Media kontras akan mengisi uterus dan tuba fallopii,
atur proyeksi yang akan dilakukan serta ambil
radiografinya.
h. Balon dikempeskan dan kateter dapat ditarik secara
perlahan.
i. Setelah semua proyeksi dilakukan kemudian daerah
vagina dibersihkan
2.7.4 Proyeksi Pemeriksaan
Untuk pemasukan media konrad dengan HSG set maupun
kateter proyeksi digunakan sama. Foto diambil dengan proyeksi
sebagai berikut :
1. AP Plan foto
2. AP dengan Kontras
3. Oblik dengan Kontras
4. AP Post miksi
2.7.4.1 Proyeksi AP
Proyeksi AP ini digunakan untuk plan foto, proyeksi
setelah dimasukannya media kontras dan post miksi.
Prosedurnya sebagai berikut :
37

Posisi Pasien : Pasien tidur supine di atas meja
pemeriksaan untuk plan foto dan post
miksi, dilakukan posisi Lithotomi saat
pemasukan HSG Set atau kateter dan
untuk proyeksi AP setelah pemasukan
media kontras.
Posisi objek : Daerah pelvis true AP dan atur MSP
tubuhpada pertengahan kaset atau meja
pemeriksaan. Atur kaset pada posisi
membujur.
Central Ray : vertical tegak lurus film
Central Point : 5 cm proximal symphisis phubis
2.7.4.2 Proyeksi Oblique
Proyeksi Oblique ini digunakan untuk proyeksi setelah
dimasukannya media kontras pada vagina. Prosedurnya sebagai
berikut :
Posisi pasien : pasien tidur semi supine ke salah satu sisi
tubuh (LPO atau RPO)
Posisi Objek : atur daerah pelvis posisi oblik kira-kira 45
derajat. Atur kaset pada posisi membujur
Central ray : vertical tegak lurus film
Central point : 5 cm proximal symphisi pubis
RPO : 2 cm kearah kiri MSP
LPO : 2 cm kearah kanan dari MSP
38


Gambar 2.7 : Hasil Gambaran HSG Proyeksi AP

Gambar 2.8 : Hasil Gambaran HSG Proyeksi Oblique
http://bocahradiography.wordpress.com/2012/05/22/teknik-
pemeriksaan-radiografi-histerosalpingografi-hsg/. Diakses 1
Maret 2013
Kriteria radiografi
Hal berikut ini perlu dibuktikan dengan jelas :
1. Daerah panggul 2 inci (5 cm) di atas simfisis pubis terpusat
pada film radografi
2. Semua media kontras terlihat, termasuk setiap daerah
tumpahan
3. Sebuah skala pendek dari kontras pada radiograf.
39

BAB III
METODOLOGI PENATALAKSANAAN

3.1 Jenis Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah mengenai Penatalaksanaan
Pemeriksaan Hysterosalpingografi (HSG) Pada Kasus Infertilitas dengan
Menggunakan Kateter. Yang dilaksanakan dengan metode deskriptif
kualitatif yaitu penelitian beserta analisisnya diuraikan dalam suatu tulisan
ilmiah yang berbentu narasi kemudia dari analisis yang telah dilakukan
diambil kesimpulan.

3.2 Tempat Dan Waktu Penatalaksaan
Penatalaksanaan ini dilakukan di Instalasi Radiologi Rumah Sakit
CITRA BMC Padang pada bulan April-Juni 2013.

3.3 Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan keakuratan data dan ketepatan data serta
informasi dalam penatalaksanaan ini, penulisa melakukan dua cara, yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca buku-vuku
tentang radiologi yang secara langsung berkaitan dengan penelitian ini,
serta artikel-artikelserta literature dari internet.
2. Observasi
Observasi dilaksanakan untuk mengumpulkan data secara
langsung, terhadap Penatalaksanaan Pemeriksaan
Hysterosalpingografi (HSG) Pada Kasus Infertilitas dengan
Menggunakan Kateter.
39
40

3. Wawancara
Dalam hal ini mengumpukan data yang diperoleh dengan cara
Tanya jawab baik dengan radiolog, radiographer dan pasien.
4. Dokumentasi
Hasil radiograf, hasil wawancara dan hasil expertise.

3.4 Instrument Penatalaksaan
Instrument penelitian meliputi alat dan bahan penunjang yang akan
digunakan untuk penelitian, adapun alat dan bahan yang digunakan adalah :
1. Pesawat Sinar X
Pesawat Sinar X dengan spesifikasi sebagai berikut : dalam
melakukan penelitian ini penulis menggunakan pesawat rontgen merk
Philip dengan spesifikasi alat antara lain :
Merk : Shimadzu
Manufactured : jepang / japan
Tipe : B
Model : R 20
Nomor : 0166M91914
Max Tube Kvp : 150

Gambar 3.1 : Pesawat Sinar X
41

2. Kaset dan film Radiofrafi yang digunakan
Ukuran : 24 x 30 cm

Gambar 3.2 : Film dan Kaset Radiograf
3. Processing film
Spesifikasi processing film yang digunakan dalam penatalaksanaan
adalah:
Merk : Optimax 2010

Gambar 3.3 : Automatic Processing






42

3.5 Langkah-Langkah Penatalaksanaan
Langkah langkah atau cara kerja dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Memberikan informasi kepada pasien bagaimana prosedur pemeriksaan
HSG dilakukan agar pasien mengerti dan pemeriksaan dilakukan dengan
lancer
2. Mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk pemeriksaan HSG
yang telah disterilkan
3. Memberikan disinfektan disekitar area yang akan diperiksa
4. Melakukan penatalaksanaan HSG dengan langkah awal memeriksa balon
pada kateter HSG dalam keadaan baik digunakan sebagai penghambat
kateter dengan lubang vagina agar tida terjadi pertumpahan bahan kontras
di luar area, kemudian masukan kateter HSG kepada pasien.
5. Mengatur faktor eksposi control panel yang ada di pesawat rontgent
dengan menentukan KV dan mAs
6. Proses pencucian film dilakukan dikamar gelap dengan menggunakan
outomatik processing
7. Hasil yang telah diproses dikamar gelap dapat diambil dan kemudian
diberikan kepada dokter agar dapat dibacakan sehingga penyebab
infertilitas atau kelainan lainnya dapat diketahui kemudian hasil bacaan
diberitahukan kepada pasien.



43

3.6 Pengolahan Dan Analisis Data
3.6.1 Pengolahan Data
3.6.1.1 Triangulasi
Mengkombinasikan beragam sumber data dari studi
kepustakaan, observasi, wawancara dan dokumentasi
3.6.1.2 Membuat Transkrip Data
Menyalin informasi yang dapat menjadi bentuk catatan setiap
sumber diberikan kode sumber agar data dapat ditelusuri
kembali jika masih kurang lengkap
3.6.2 Analisa Data
3.6.2.1 Reduksi Data
Dalam reduksi ini, data yang penulis dapatkan kemudian
digolongkan dari hasil gambaran radiograf pemeriksaan HSG
dengan menggunakan Kateter.
3.6.2.2 Penyajian Data
Pada penulisan ini penulis menyajikan data dalam bentuk
naratif.
3.6.2.3 Penarikan Kesimpulan


44

3.7 Diagram Alur


















Memberikan informasi kepada
pasien dan persiapan pasien
Persiapan Alat dan Bahan yang telah
disterilkan
Penatalaksanaan HSG dengan
pemberian disinfektan
Pemasangan kateter dan memasukan
bahan kontras
Mengatur faktor eksposi pada
pesawat rontgen
Proses pencucian film di kamar
gelap
Hasil gambaran radiografi
Pengolahan dan analisa data
Kesimpulan
45

BAB IV
HASIL PENATALAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Observasi
Berdasarkan penatalaksanaan yang telah dilakukan, maka diperoleh data
sebagai berikut :
1. Data Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 28 Th
Tanggal Pemeriksaan : 11 Juni 2013
Diagnosa : Infertilitas Primer
2. Penatalaksanaan
1. Pasien datang ke Instalasi Radiologi Rumah Sakit CITRA BMC
Padang dengan membawa Surat Pemeriksaan.
2. Pasien diberitahukan prosedur pemeriksaan dan persiapan pasien
sebelum dilakukannya pemeriksaan HSG.
3. Pemeriksaan dilakukan 10 14 hari setelah HPHT. Dan untuk pasien
dengan siklus haid tidak normal maka pemeriksaan dilakukan 3-4 hari
setelah haid selesai. Pada saat itu biasanya haid sudah berhenti dan
selaput lender uterus sifatnya tenang. Bilamana masih ada pendarahan,
dengan sendirinya HSG tidak boleh dilakukan karena kemungkinan
kontras masuk kedalam pembuluh darah balik.

45
46

4. Penderita tidak diperkenankan melakukan koitus (persetubuhan)
selama 2 x 24 jam atau selama dua hari sebelum pemeriksaan. Hal ini
dikarenakan masa sterilisasi sperma didalam kandung rahim bertahan
selama 2x 24 jam dan dicurigai akan terjadi pembuahan setelah
melakukan koitus dalam masa itu. Hal ini tentu tidak diperbolehkan
dilakukan pemeriksaan HSG tersebut karena akan membahayakan
janin (hasil pembuahan).
5. Kemudian pada hari dilakukannya pemeriksan persiapkan alat seperti:
Pesawat Roentgen, Kaset ukuran 24x30 cm, Kateter dan HSG set yang
telah disterilkan, Alkohol,Betadine, Kassa steril, Kontras media positif,
dan Handscoon.
6. Lakukan pemeriksaan HSG dengan menggunakan Proyeksi AP
Supine.
3. Teknik Pemeriksaan
Proyeksi AP Supine
Posisi Pasien : Pasien Supine diatas meja pemeriksan dengan posisi
lithotomi pada saat pemasukkan media kontras.
Posisi Objek : Daerah pelvis true AP dan atur MSP tubuh pada
pertengahan kaset atau meja pemeriksaan. Atur kaset
pada posisi membujur.
Central Ray : Vertical tegak lurus terhadap kaset
Central Point : 5 cm proximal symphisis phubis


47

4. Hasil Wawancara
A. Wawancara penulis dengan pasien
Dari hasil wawancara mengenai rasa sakit yang dialami pasien pada sat
dilakukannya pemeriksaan HSG adalah :
Terasa agak nyilu dan sakit pada perut bagian bawah
B. Wawancara penulis dengan Radiolog
1. Dari hasil wawancara mengenai penyebab rasa sakit yang dialami
pasien pada saat pemeriksaan HSG adalah :
Karena yang dimasukkan kedalam Rongga pelvis tersebut adalah
tumpahan kontras yang mana kontras tersebut adalah benda asing
maka dari itu terasa sakit
2. Dari wawancara mengenai pemeriksaan yang dilakukan hanya
menggunakan Proyeksi AP Supine adalah :
Pemeriksaan HSG yang dilakukan di Rumah Sakit ini adalah
pasien yang datang dengan klinis Infertilitas maka hanya
dilakukan Proyeksi AP Supine saja sedangkan Pemeriksaan HSG
dengan menggunakan Proyeksi Oblique adalah untuk pasien
dengan klinis tumor, adanya massa atau lessi terhadap saluran
Reproduksi
5. Hasil Gambaran Radiograf dan Hasil Expertise

Gambar 4.1 : Hasil Gambaran Radiograf
48

Hasil Expertise
Hydrosalping Non patent pada Tuba kanan dan Patent pada Tuba kiri.

4.2 Pembahasan
Pasien datang dengan membawa surat pemeriksaan dengan diagnosa
Infertitlita primer kemudian pasien diberikan penjelasan prosedur pemeriksaan
sebelum dilalukan pemeriksaan.
Selanjutnya sebelum pemeriksaan HSG dilaksanakan petugas menyiapkan
alat-alat yang diperlukan seperti :
1. Pesawat Sinar-X
2. Kateter HSG yang telah disterilkan
3. Bahan kontras
4. Handscoon
5. Kassa Steril
6. Betadine
7. Alcohol
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan proyeksi AP Supine dengan
posisi pasien litothomi diatas meja pemeriksaan. Setelah dilakukan pemeriksaan
sesuai prosedur hasil gambaran diproses dengan menggunakan automatic
prosesing. Hasil gambaran radiograf selanjutnya dibacakan oleh dokter radiolog
dari hasil expertise didapatkan hasil bahwa pasien mengalami kelainan
hydrosalping terhadap tuba fallopinya



49

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penatalaksanaan pemeriksaan HSG dengan klinis
inferritas di Rumah SAkit CITRA BMC Padang yang telah dilaksanakan oleh
penulis dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebagian besar pasien yang datang untuk melaksanakan pemeriksaan
HSG di Rumah Sakit CITRA BMC Padang adalah pasien dengan
klinis infertilitas primer
2. Penatalaksanaan pemeriksaan Hysterosalpingografi (HSG) di Rumah
Sakit CITRA BMC Padang menggunakan kateter HSG
3. Penatalaksanaan pemeriksaan Hysteralpingografi (HSG) di Rumah
Sakit CITRA BMC Padang hanya menggunakan proyeksi Antero
Posterior (AP) Supine.

5.2 Saran
Dari penatalaksanaan yang telah dilakukan mengenai pemeriksaan
Hysterosalpingografi (HSG) pada kasus intfertilitas dengan menggunakan kateter
maka disarankan kepada Rumah Sakit CITRA BMC Padang sebaiknya tidak
hanya melakukan pemeriksaan HSG dengan klinis infertilitas saja tetapi juga ada
pemeriksaan HSG dengan klinis lainnya.



49

Anda mungkin juga menyukai