Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS KASUS KARAHA BODAS COMPANY

MELAWAN PT. PERTAMINA dan PT. PLN




DISUSUN OLEH :
AMANDA AYU C 104 704 011


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PMPKN
S1 ILMU HUKUM
2012
KASUS POSISI
A. Para Pihak dalam Sengketa
1. Penggugat:
Karaha Bodas Company L.L.C (KBC)
Adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum
Kepulauan Cayman yang berkedudukan di Gedung Plaza Aminta Suite 901, Jl. T.B.
Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia.
2. Tergugat
a. Tergugat 1
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (P.T. Pertamina)
P.T. Pertamina adalah suatu perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-
Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina dan dimiliki oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
b. Tergugat 2
P.T. Perusahaan Listrik Negara (P.T. PLN)
P.T. PLN adalah suatu perusahaan negara yang tunduk pada Undang-Undang No.
12 Tahun 1998 adalah perusahaan yang mengusahakan penyediaan listrik kepada
masyarakat umum di Indonesia.

B. Latar Belakang Sengketa
Pada tanggal 28 November 1994, disepakati dua kontrak sebagai bagian dari Proyek
Karaha. Kedua kontrak tersebut adalah:
1) Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/ JOC)
Kontrak ini menetapkan bahwa Pertamina bertanggung jawab untuk mengelola
pengoperasian geothermal di dalam proyek karaha tersebut dan KBC berperan sebagai
kontraktor. KBC diwajibkan untuk mengembangkan energy gheotermal di daerah proyek
dan membangun, memiliki dan mengoperasikan tenaga listrik.
2) Kontrak Penjualan Energi (Energy Sales Contract/ ESC)
Berdasarkan kontrak ini PLN setuju untuk membeli tenaga listrik dari Pertamina
yang diproduksi, dipasok, dan disediakan oleh pembangkit tenaga listrik yang dibangun
oleh KBC. Sebagai kontarktor bagi Pertamina berdasarkan JOC, KBC, atas nama
Pertamina dan berdasarkan ESC, berhak untuk memasok dan menjual tenaga listrik
berkapasitas sampai 400 Mw kepada PLN dari Proyek Karaha.
Pada Tahun 1997 timbul krisis moneter dan menimpa Indonesia. International
Monetary Fund (IMF) meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau
kembali proyek-proyek pembangunan. Selain itu harus diteliti lebih lanjut, apakah
pembayaran proyek dengan valuta asing US dollar masih dapat dipertahankan.
Pada tanggal 20 September 1997 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997. Berdasarkan Kepres tersebut sebanyak 75 proyek
ditunda termasuk Proyek Karaha. Selanjutnya pada tanggal 1 November 1997 dikeluarkan
Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1997 yang berisi perintah agar beberapa proyek yang
tertunda termasuk Proyek Karaha dilanjutkan kembali. Pada tanggal 10 Januari 1998,
Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dikeluarkan. Keputusan ini membatalkan kepres
sebelumnya dan mengkomfirmasi penundaan Proyek Karaha.
Pertaminan telah menyetujui untuk membantu KC dalam usaha melanjutkan kembali
proyek ini, akan tetapi ternyata dua minggu setelah diajukan permohonan oleh Pertamina,
pihak KBC telah menyatakan berlakunya klausula force majeure dan telah menghentikan
pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. Pada tanggal 30 April 1998, KBC telah
memberitahukan kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan suatu klaim
kepada arbitrase berdasarkan JOC dan ESC.

C. Jalannya Sengketa
KBC mengajukan klaim kepada arbitrase Jenewa Swiss sebagaimana yang disepakati
oleh para pihak mengenai forum yang dipilih para pihak untuk menyelesaukan sengketa
dalam JOC. Pendirian KBC sebagai penggugat adahaf sebagai berikut:
- KBC menuduh bahwa tergugat melanggar kewajiban mereka membayar menurut JOC dan
ESC dengan cara antara lain mencegah KBC untuk menyelesaiakan pembangunan unit-
unit pembangkit listrik tenaga secara keseluruhan dengan kapsitas 400 Mw.
- KBC menyatakan tergugat berdasarkan JOC dan ESC telah menyetujui menanggung risiko
tindakan pemerintah dan oleh sebab itu Kepres No. 30 Tahun 1997 dan Kepres No. 5
Tahun 1998 bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak.
Adapun KBC menuntut ganti rugi akibat pelanggaran kontrak yaitu kerugian yang
termnasuk dalam pembayaran atas kerugian sebesar US$ 96.000.000 kemudian kompensasi
akibat kehilangan keuntungan sebesar US$ 512.500.000, selanjutnya sebagai alternative ganti
rugi untuk keuntungan diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus diterima adalah US$
437.000.000. Secara alternatif diminta pembatalan kontrak dan kerugian secara alternative
dan pelaksanaan secara khusus.
Pengadilan Arbitrase Jenewa pada tanggal 18 Desember 2000 membuat putusan agar
Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC skurang lebih sebesar US$
270.000.000 yang terdiri ganti rugi atas hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan
(opportunity lost) sebesar US$ 111.100.000 dan bunga 4% sejak tahun 2001 sebesar US$
150.000.000. KBC mengajukan permohonan untuk melaksanakan putusan arbitrase di
pengadilan beberapa negara di mana aset-aset Pertamina berada, kecuali di Indonesia yaitu:
- Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta U.S District Court for The Southern District
Court of Texas untuk melaksanakan putusan arbitrase Jenewa;
- KBC mengajukan permohonan agar semua aset anak perusahaan Pertamina yang berada di
Singapura disita termasuk Petral;
- Pada tanggal 30 Januari 2004, KBC meminta Pengadilan New York untuk menahan aset Pertamina
dan Pemerintah Republik Indonesia yang besarnya hingga 1, 044 miliar dollar USA. Adapun
permintaan tersebut ditolak dan hakim menetapkan agar Bank of America dan Bank of New
York melepaskan kembali dana sebesar US$ 350.000.000 kepada Pemerintah RI sedangkan yang
tetap ditahan adalah dana 15 rekening adjucated account di Bank of America sebesar US$
296.000.000 untuk jaminan.

PUTUSAN ARBITRASE
Kasus Karaha Bodas Company (Pemohon Banding dahulu Tergugat) vs Perusahaan Pertambangan
Minyak DAN Gas Bumi Negara (PERTAMINA) (Termohon Banding dahulu Penggugat). Dalam
perkara ini tergugat sedang berusaha melaksanakan putusan arbitrase internasional yang telah
diputus di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000, berdasarkan putusan arbitrase UNCITRAL,
yang telah menghukum penggugat untuk membayar kepada tergugat ganti rugi sejumlah US $
266.166.654 berikut 4% setahun, bukti P-1 antara lain dengan memblokir asset-aset yang menurut
tergugat menjadi milik dari penggugat
yang terletak dalam wilayah Amerika Serikat. Bukti P-2: perjanjian kerja sama antara penggugat
dengan tergugat (Joint Operation Contract) yang menentukan bahwa penggugat bertanggung jawab
untuk pengurusan operasi di bidang geothermal dan bahwa tergugat akan bertundak sebagai
kontraktor dimana tergugat diwajibkan untuk mengembangkan energi geothermal dan untuk
membangun dan menjalankan fasilitas generating. Kemudian penggugat dan tergugat dalam
perjanjian P-2 telah sepakat mengenai pilihan forum dan pilihan hukum dalam pasal 13: bahwa dalam
hal timbul sengketa antara para pihak maka akan diselesaikan dengan arbitrase berdasarkan ketentuan
UNCITRAL dan dalam pasal 20: bahwa terhadap kontrak P-2 ini akan berlaku hukum Indonesia.
Bukti P-3 Kontrak Jual Beli antara penggugat, turut tergugat, dengan tergugat berdasarkan nama turut
tergugat setuju untuk membeli dari penggugat tenaga listrik yang dihasilkan oleh fasilitas
pembangkitan listrik yang dibangun oleh tergugat, kemudian penggugat, turut tergugat dan tergugat
dalam kontrak bukti P-3, mengenai pilihan forum dan pilihan hukum telah sepakat dalam pasal 8 ayat
(2) bahwa dalam hal timbul sengketa antara para pihak tersebut diatas maka akan diselesaikan dengan
arbitrase berdasarkan ketentuan arbitrase UNCITRAL. Bukti P-4: keputusan presiden no. 39/1997
tanggal 20 September 1997 yang antara lain menentukan harus ditangguhkan proyek PLTP Karaha
Bodas, demi untuk menanggulangi gejolak moneter. Bahwa kemudian proyek ini dengan keputusan
presiden no. 47/1997 tanggal 1 November 1997 (bukti P-5) dinyatakan dapat diteruskan ; Bahwa
akan tetapi, kemudian dengan keputusan presiden no. 5/1998 proyek bersanggkutan ditangguhkan
kembali (bukti-6).
Adapun alasan-alasan untuk meminta pembatalan putusan arbitrase luar negeri aquo adalah karena
melanggar ketentuan-ketentuan Konvensi New York maupun ketentuan undang-undang arbitrase
tahun 1999 no.30 serta klausula arbitrase yang menjadi sumber utama wewenang team arbitrase
bersangkutan, antara lain karena:
I. Majelis arbitrase dalam bukti P-1 telah melampaui wewenangnya karena tidak mempergunakan
hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia adalah yang harus dipergunakan.
II. Putusan arbitrase tanggal 18 desember 2000 tidak mengindahkan/secara keliru menafsirkan
ketentuan tentang force majeure menurut hukum Indonesia.
Keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon banding/tergugat dalam memori banding tersebut
pada pokoknya ialah :
1. Bahwa pemohon banding keberatan atas putusan :
a.Bahwa berdasarkan UU arbitrase menyatakan terhadap putusan (pembatalan) dari pengadilan
negeri dapat diajukan permohonan banding ke MA. Oleh karena itu upaya hukum yang diajukan
pemohon banding/tergugat terhadap putusan dengan mengajukan banding kepada MA sudah tepat
dan sesuai dengan UU arbitrase.
b.Bahwa oleh karena UU arbitrase tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batas waktu
pengajuan banding dan memori banding.
c.Bahwa pertimbangan hukum judex factie dalam putusan no. 86/PDT.g/2002/PN.JKT.PST. tanggal
27 Agustus 2002 adalah keliru dan tidak berdasarkan fakta dan tidak adil.
2. Bahwa termohon kasasi menurut hukum tidak dapat mengajukan pembatalan terhadap putusan
arbitrase internasional dengan menggunakan format gugatan melainkan harus menggunakan format
permohonan.
3. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang baik secara kompetensi
absolute maupun secara kompetensi relative untuk mengadili perkara aquo.
4. Bahwa dari segi Kompetensi Absolute Pengadilan Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili
perkara ini, karena pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan oleh pengadilan
Swiss.
5. Bahwa gugatan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh termohon
kasasi/penggugat tidak memiliki dasar hukum untuk dapat diajukan.
Terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
a.Bahwa gugatan penggugat pada pokoknya adalah gugatan pembatalan putusan arbitrase yang
diputusakan di Jenewa, Swiss pada tanggal 18 Desember 2000.
b.Bahwa menurut pasal satu butir 9 UU no. 30 tahun 1999 putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum RI , seperti halnya putusan arbitrase
yang dimohonkan pembatalannya oleh penggugat adalah putusan arbitrase internasional.
c.Bahwa mengenai Arbitrase Internasional, UU no. 30 tahun 1999 hanya mengaturnya dalam pasal
65 - pasal 69 yang selain mengatur syarat-syarat dapat diakui dan dilaksanakannya suatu putusan
Arbitrase Internasional di Indonesia, juga mengatur proses permohonan pelaksanaan putusan
arbitrase tersebut.
d.Bahwa pasal V ayat (1) e Konvensi New York 1958 yang disahkan dan dinyatakan berlaku dengan
Keppres no. 34 tahun 1981.
e.Bahwa apalagi dari bukti P-5 terlihat bahwa kuasa hukum penggugat dan turut tergugat telah
mengajukan permohonan banding terhadap putusan arbitrase yang disengketakan (bukti P-1) kepada
MA Swiss sesuai dengan UU Hukum Perdata Internasional Negara Swiss.
f.Bahwa oleh karena itu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan
memutus gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh penggugat.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, dengan tidak perlu
mempertimbangkan pertimbangan-pertimbangan lainnya, maka menurut pendapat Mahkamah Agung
terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan banding dari pemohon banding Karaha Bodas
Company L. L. C., tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 27
Agustus 2003 no. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST.

ANALISIS PUTUSAN ARBITRASE
Upaya hukum yang dilakukan oleh Pertamina adalah:
- Mengajukan penolakan terhadap keputusan Pengadilan Arbitrase Jenewa
- Mengajukan penolakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa di pengadilan-
pengadilan di negara mana KBC mengajukan permobonan pelaksanaan putusan Pengadilan
Arbitrase Swiss
- Mengajukan pembatalan putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Indonesia.
Pada tanggal 27 Agustus 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan
gugatan Pertamina. Putusan tersebut memerintahkan kepada tergugat atau siapapun yang dapat hak
daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan pengadilan
arbitrase yang ditetapkan di Jenewa Swiss tanggal 18 Desember 2000. Adapun putusan Pengadilan
Arbitrase Jenewa, Swiss dnyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
BERDASAR ANALISIS YANG TELAH SAYA BUAT, MAKA SAYA SETUJU TERHADAP
PUTUSAN AKHIR DARI PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT. SEBAB,
PT.PERTAMINA HANYA SEBAGAI SUPPLIER ENERGY GHEOTERMAL. SELEBIHNYA,
PIHAK KBC LAH YANG SEHARUSNYA BERTANGGUNG JAWAB PENUH ATAS
PENGOPERASIAN ENERGY GHEOTERMAL.

Anda mungkin juga menyukai