Anda di halaman 1dari 9

PENGENDALIAN OPT RAMAH LINGKUNGAN DALAM BUDIDAYA

HORTIKULTURA

Oleh : Ir. Slamet Riyadi, MP Direktorat Perlindungan Hortikultura

Pembangunan pertanian saat ini memerlukan program nyata yang berorientasi kepada peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani. Pada subsektor hortikultura, dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura telah menempatkan penyelenggaraan
hortikultura berdasarkan asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keterpaduan,
kebersamaan, keterbukaan, keberlanjutan, efisiensi berkeadilan, kelestarian fungsi lingkungan, dan
kearifan lokal.
Dalam UU Nomor 13, perencanaan usaha dan budidaya hortikultura, haruslah memperhatikan
beberapa aspek, yaitu sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Aspek-
aspek tersebut harus dikelola dengan baik dalam kerangka pengembangan kawasan untuk mencapai
sasaran produksi dan konsumsi dengan dukungan pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal
dan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tulisan ini menyoroti sisi pemanfaatan dan pengembangan sumber daya buatan yang menjadi
perhatian/fokus bidang perlindungan tanaman. Sumber daya buatan sebagaimana dimaksud UU No
13 adalah prasarana dan sarana hortikultura yang penggunaannya haruslah dikembangkan dengan
teknologi yang memperhatikan kondisi iklim, kondisi lahan dan ramah lingkungan. Tulisan ini
hanya menyoroti dan mengeksplorasi sisi sarana hortikultura terkait dengan pengendalian OPT
(Organisme Pengganggu Tumbuhan) yang mempersyaratkan pengendali OPT ramah lingkungan.

PHT dan Pengendalian Ramah Lingkungan
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM) menjadi amanat UU
No. 12 Tahun (tentang Sistem Budidaya Tanaman) sebagai jiwa perlindungan tanaman, sedangkan
pengendalian OPT ramah lingkungan menjadi amanah UU No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura.
Dalam UU No. 13 ini, pengendalian OPT yang ramah lingkungan merujuk kepada penggunaan
sarana hortikultura yang pengelolaannya haruslah ramah lingkungan.


Pertanyaannya akan muncul apakah PHT identik ramah lingkungan atau sebaliknya, pengendalian
OPT ramah lingkungan identik dengan PHT?, apakah ada hubungannya dengan pertanian organik?
Pada bagan di atas menggambarkan secara sederhana hubungan antara PHT, Sistem Pertanian
Organik dan Sistem Pertanian Berkelanjutan di mana di dalamnya diterapkan sistem pengendalian
OPT yang ramah lingkungan.
Sistem PHT dalam UU No. 12 Tahun (Pasal 22) menetapkan larangan penggunaan sarana dan/atau
cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia,
menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup, belum
secara eksplisit menyebut ramah lingkungan, tetapi dari kalimat terakhir menimbulkan gangguan
dst sudah mengandung pengertian ramah lingkungan.
Sementara dalam UU No. 13, tidak disebutkan secara eksplisit pengendalian OPT ramah
lingkungan, akan tetapi pada Paragraf 2 Pasal 32 ayat (1) dideskripsikan sarana hortikultura terdiri
dari a.l. ZPT dan bahan pengendali ramah lingkungan, dan ayat (2) penggunaan sarana
hortikultura haruslah dikembangkan dengan teknologi yang memperhatikan kondisi iklim,
kondisi lahan, dan ramah lingkungan. Dengan demikian bahwa PHT sudah pasti mengarah
kepada pengendalian OPT ramah lingkungan dengan syarat-syarat tertentu, sedangkan
pengendalian OPT ramah lingkungan dalam UU No. 13 merujuk kepada penggunaan sarana
pengendali yang harus dikembangkan dan digunakan dengan tujuan ramah lingkungan. Di mana
letak pertemuan keduanya ?.
Untuk membahas hal ini perlu dipahami maksud yang terkandung dalam Pasal 22 UU No.
12/1992 bahwa penerapan PHT haruslah dengan cara-cara yang tidak mengganggu kesehatan dan/
atau mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam
dan/atau lingkungan hidup. Apabila yang dipersyaratkan/ ditekankan dalam UU No. 12 adalah cara-
cara pengendalian yang tidak menimbulkan gangguan kesehatan dan/ atau mengancam keselamatan
manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan/atau lingkungan hidup,
maka pengendalian OPT ramah lingkungan haruslah dijabarkan dari sisi pemilihan cara-cara
pengendalian yang tidak menimbulkan gangguan kesehatan dan/atau ancaman keselamatan
manusia, gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan/atau lingkungan.
Penggunaan Pestisida versus Agens Hayati dan/atau Pestisida Nabati
Dilema yang dihadapi dalam usaha budidaya tanaman saat ini adalah di satu sisi cara mengatasi
masalah OPT adalah penggunaan pestisida kimia sintetis yang dapat menekan kehilangan hasil
akibat OPT, tetapi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Di sisi lain, tanpa pestisida kimia
sintetis akan relatif lambat bahkan sulit menekan kehilangan hasil akibat OPT. Padahal tuntutan
masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah tinggi terutama masyarakat
negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang siap ekspor ditolak hanya karena tidak
memenuhi syarat mutu maupun kandungan residu pestisida yang melebihi ambang toleransi
(Setyono, 2009 dan Anonim, 2009 dalam Edi Gunawan, 2010 : Pengendalian OPT secara hayati yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan).
Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan,
pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis (mengakibatkan terjadinya resistensi
hama sasaran, resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami) serta mengakibatkan peningkatan residu
pada produk pertanian. Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah
lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida kimia sintetis.
Pelaksanaan program PHT pada tahun 1980-an, merupakan langkah yang sangat strategis dalam
kerangka tuntutan masyarakat dunia terhadap berbagai produk yang aman konsumsi, menjaga
kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan yang memberikan
manfaat antar waktu dan antar generasl (Saptana at al., 2010 dalam Edi Gunawan, 2010). Salah satu
komponen pengendalian dalam sistem PHT yang sesuai dan menunjang pertanian berkelanjutan
adalah cara pengendalian hayati, karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organisme
yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya
memanfaatkan pengendali hayati dan proses-proses alami. Cara pengendalian seperti ini adalah
salah satu cara yang dimaksud sebagai pengendalian OPT ramah lingkungan dalam UU
Hortikultura No 13/2010.
Penggunaan pestisida dalam PHT sesungguhnya bukanlah cara pilihan utama namun bukan
barang haram untuk dipilih sebagai cara pengendalian. Akan tetapi apabila pestisida dipilih sebagai
satu-satunya cara pengendalian (setelah dinilai cara pengendalian lain tidak/ kurang berhasil untuk
mengendalikan OPT), maka penggunaannya haruslah dilakukan dengan memperhatikan cara- cara
yang bijaksana (baik dan benar) dan aman konsumsi serta berdampak seminimal mungkin terhadap
lingkungan dan organisme bukan sasaran dan musuh alami.
Pengendalian Hayati yang Ekologis (ramah lingkungan) dan Berkelanjutan
Pengendalian hayati adalah pengendalian semua makhluk hidup yang dianggap sebagai OPT
dengan cara memanfaatkan musuh alami, memanipulasi inang, lingkungan atau musuh alami itu
sendiri. Pengendalian hayati bersifat ekologis dan berkelanjutan. Ekologis berarti pengendalian
hayati harus dilakukan melalui pengelolaan ekosistem pertanian secara efisien dengan sedikit
mungkin mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Sedangkan berkelanjutan dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan menjaga upaya agar tidak merosot atau menjaga
agar suatu upaya terus berlangsung (Basukriadi, 2003 dalam Edi Gunawan, 2010).


Pengendalian Hayati sebagai komponen PHT sejalan dengan definisi sebagai cara pendekatan
atau cara berfikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan
efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan,
berkelnajutan dan mengandung arti ramah lingkungan.
Pengendalian hayati memiliki arti khusus, karena pada umumnya beresiko kecil, tidak
mengakibatkan kekebalan atau resurgensi, tidak membahayakan kesehatan manusia maupun
lingkungan dan tidak memerlukan banyak input luar. PEngendalian ini secara terpadu diharapkan
dapat menciptaka kondisi yang tidak mendukung bagi kehidupan OPT atau mengganggu siklus
hidupnya (Untung, 2001).
Menurut Istikorini (202, dalam Edi GUnawan, 2010), pengendalian hayati yang ekologis dan
berkelanjutan mengacu pada bentuk-bentuk pembangunan pertanian melalui upaya-upaya sebagai
berikut :
1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada. Misalnya keanekaragaman
mikroorganisme antagonistic dalam tanah atau dirizosfir (daerah sekitar perakaran) dengan
mengkombinasikan berbagai komponen system usaha tani yaitu tanaman, tanah, air, iklim dan
manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinerg: yang paling besar.
2. Memanfaatkan pestisida sintetis seminimal mungkin untuk meminimalisasi kerusakan
lingkungan.
Pemanfaatan Musuh Alami
Pemanfaatan musuh alami OPT menjadi sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekologis
karena sumberdaya tersebut dikembalikan lagi ke alam sehingga kualitas lingkungan terutama
tanah dapat dipertahankan. Di alam musuh alami dapat terus berkembang selama nutrisi dan
faktor-faktor lain (kelembaban, suhu dan lain-lain) sesuai untuk pertumbuhannya.
Proses pengendalian hayati meniru ekologi alami sehingga untuk menciptakan lingkungan yang
sesuai untuk pertumbuhan musuh alami tersebut bisa dilakukan dengan memanipulasi sinar
matahari, unsur hara tanah dan curah hujan sehingga sistem pertanian dapat terus berlanjut.
Misalnya dengan penambahan bahan organik pada tanaman yang akan dikendalikan. Bahan
organik atau residu tanaman adalah media yang kondusif untuk mikroorganisme yang antagonistik
terhadap OPT yang pada dasarnya beraspek majemuk, yaitu sebagai pencegah berkembangnya
OPT, sebagai sumber unsur hara dan untuk perbaikan fisik dan kimia tanah pertanian.

Kendala Pengendalian Hayati/ Ramah Lingkungan
Berbagai kendala yang menyangkut komponen hayati antara lain adalah adanya kesan bahwa
cara pengendalian hayati lambat dan kurang diminati, antara lain adalah:
a. Untuk mengetahui secara pasti peranan agens hayati tidak mudah karena terlalu banyak hal yang
dianggap mendasar untuk diteliti.
b. Memerlukan fasilitas untuk mendukung rangkaian penelitian mulai dari eksplorasi, isolasi,
identifikasi, pemurnian, perbanyakan inokulum, cara aplikasi sampai sumberdaya manusia
peneliti yang tekun.
c. Petani sudah terbiasa dengan cara pengendalian yang memberi hasil yang cepat sehingga tidak
tertarik dengan cara pengendalian hayati yang berproses lambat dalam kurun waktu yang
panjang.
Sementara dalam operasional di tingkat lapang, penerapan penggunaan agens hayati masih
terkendala dengan berbagai aspek, antara lain yaitu:
a. Masih banyak kelompok tani pengguna agens hayati yang tidak/belum aktif.
b. Belum semua teknologi eksplorasi dan pemanfaatan agens hayati dikuasai baik oleh petugas
(Lab. PHP/Lab. Agens Hayati) maupun petani.
c. Ketersediaan dana yang terbatas untuk memfasilitasi kegiatan kelompok petani pengguna
agens hayati.
d. Masih banyak informasi teknis jenis-jenis agens hayati yang belum diketahui.
Selain itu, pengendalian hayati memerlukan waktu yang cukup lama dan berspektrum sempit
(inangnya spesifik). Walaupun demikian, banyak keuntungannya, antara lain aman, relatif
permanen, dalam jangka panjang relatif murah dan efisien, serta tidak akan menyebabkan
pencemaran lingkungan sehingga sangat terasa pentingnya suatu komitmen untuk menentukan
suatu gerak terpadu melalui konsep pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan
dalam pemanfaatannya (Santoso, 2009 dalam Edi Gunawan, 2010).
Pengendalian hayati merupakan teknologi pengendalian OPT yang ramah lingkungan, sehingga
dapat memenuhi syarat untuk berbagai program antara lain pertanian organik, penerapan PHT,
sistem pertanian ramah lingkungan, sistem GAP/SOP, serta untuk menghindari residu pestisida.
Umumnya agens hayati yang dikembangkan dari agens hayati lokal/setempat, sehingga lebih
efektif, mudah, murah dan tidak tergantung daerah lain. Petani dapat mengembangkan dan
memperbanyak sendiri karena teknologinya relatif mudah dan murah. Berbagai agens hayati yang
telah dikembangkan cukup efektif mengendalikan OPT, aman terhadap pelaku, lingkungan,
Hewan bukan sasaran, keamanan pangan, tidak/belum terjadi resistensi OPT maupun resurgensi
OPT. Sedang dalam pelaksanaan di lapang dapat memperkuat kelembagaan kelompok tani
(kebersamaan, kerjasama).
Seiring dengan perkembangan pemanfaatan agens hayati, berkembang pula pemanfaatan pupuk
organik sehingga sangat baik dalam pengelolaan lahan.
Pengembangan Pengendalian Hayati/ Ramah Lingkungan
Proses pengendalian hayati harus berkelanjutan dan berkesempatan sebagai komponen yang
kuat dalam konsep PHT. Hal ini akan terwujud dengan menggiatkan koordinasi untuk melakukan
eksplorasi, pengadaan agensia hayati, penggunaan di lapangan dan evaluasi terus- menerus. Dalam
upaya eksplorasi untuk mendapatkan agensia hayati diperlukan penelitian yang tekun dan
berkelanjutan. Pengadaan agens hayati untuk dapat digunakan di lapangan pada umumnya
memerlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Isolasi mikroorganisme atau jasad sebagai agensia hayati
2. Penelitian dasar
3. Perbanyakan
4. Proses pengembangan dan optimasi dai
5. Produksi dan aplikasi
Dalam perbanyakan agens hayati diperlukan penelitian tentang media untuk perbanyakan yang
mudah didapat dan murah. Selanjutnya perlu diteliti juga faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhannya. Produksi agensia hayati selanjutnya dilakukan dalam skala luas di bawah
kondisi yang dapat diatur. Untuk ini pengembangan sumberdaya manusia (terutama
ilmuwan/peneliti) harus mendapat perhatian yang cukup kuat.
Prospek Pengendalian Hayati/ Ramah Lingkungan
Prospek pengendalian hayati perlu ditinjau dari berbagai aspek, terutama aspek teknis sejak
kegiatan di laboratorium dan rumah kaca. Jumlah dan jenis penelitian yang sudah diperoleh oleh
ahli-ahli di bidang pengendalian hayati sangat banyak pada tingkat laboratorium dan rumah kaca,
namun hanya sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan di tingkat lapangan dalam skala
ekonomi. Hal ini tidak perlu menjadi alasan untuk menyatakan bahwa prospek pengendalian
hayati dalam praktek kecil atau kurang relevan.
Keanekaragaman mikroorganisme yang antagonistik dan kekayaan sumberdaya alam yang sangat
besar di Indonesia, sebenarnya menjanjikan peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam
pengendalian hayati terhadap berbagai jenis OPT.

Di kalangan peneliti, baik di lembaga-lembaga penelitian maupun perguruan tinggi, dalam
maupun luar negeri, sudah sangat banyak hasil-hasil penelitian yang terrkait dengan pengendalian
hayati. Sehingga sangat memungkinkan untuk diterapkan.
Dalam hal operasional di lapang, kita memiliki ketersediaan SDM dan sarana laboratorium
PHP/Laboratorium Agens Hayati di berbagai daerah yang dapat manfaatkan dalam pengembangan
agens ayati dan penerapan di tingkat petani. Hal tersebut juga didukung oleh antusiasme petani
dalam memanfaatkan agens hayati cukup besar, ketersediaan petani alumni SLPHT yang menjadi
modal dasar pengembangan pemanfaatan agens hayati cukup banyak, serta dukungan moral yang
besar oleh berbagai kalangan antara lain pasar, pecinta lingkungan, aparat/ pemerintah dan
kebijakan, sistem pertanian yang dikembangkan (antara lain GAP/SOP, pertanian organik, PHT, dan
lain-lain).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 1995 pasal 4 tentang
Perlindungan Tanaman disebutkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan
menggunakan sarana dan cara yang tidak mengganggu kesehatan dan atau mengancam
keselamatan manusia, menimbulkan ganggguan dan kerusakan sumberdaya alam atau lingkungan
hidup (Suniarsyih, 2009). Untuk maksud tersebut yang paling cocok pertanian untuk masa depan
adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), yaitu pengelolaan sumberdaya untuk usaha
pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau
meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. Dalam pertanian
berkelanjutan perlindungan tanaman harus dilakukan dengan prinsip- prinsip PHT (Istikorini, 2002).
Pengembangan dan Pemanfaatan di Tingkat Petani
Dari sisi ilmiah, pemanfaatan dan penggunaan agens hayati dan pestisida nabati dinilai oleh pakar
dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian, memerlukan kajian yang mendalam dan
berkelanjutan serta formal (memenuhi pengaturan standarnya). Sementara penggunaan di tingkat
petani, tidak serumit itu. Bagaimana pemecahan masalah pemanfaatan dan penggunaannya di
tingkat petani/lapangan? Undang-undang Hortikultura memberikan jawaban yang memadai.
Rumusan Pasal 35 ayat (4) dan penjelasannya UU No. 13/2010 secara jelas menyebutkan bahwa
penggunaan sarana hortikultura (al. agens hayati atau pestisida nabati) pada sub sektor
hortikultura adalah pengecualian dan dibolehkannya menggunakan sarana produksi lokal (sarana
yang dihasilkan oleh suatu kelompok) yang diedarkan secara terbatas dalam kelompok, dapat
berjalan seperti adanya tanpa perlu didaftarkan, tetapi tetap harus memenuhi mutu yang disepakati
dalam kelompok serta diawasi/ dikawal mutu dan penggunaannya secara baik. Perguruan tinggi
dan lembaga penelitian sudah seharusnya mengawasi/ memantau dan mengawal penggunaan di
tingkat petani/lapangan, sedangkan dalam jajaran perlindungan tanaman di daerah adalah instalasi
Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) - BPTPH.
Langkah-langkah Apa yang Perlu Dilakukan untuk Meningkatkan Penerapan Pengendalian
Hayati di Tingkat Lapang?
Penerapan pengendalian hayati dalam pengendalian OPT di tingkat lapang masih sangat kurang.
Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah antara lain adalah:
Koordinasi serta keterlibatan setiap stakeholder terutama dalam hal wewenang dan
tanggungjawab masing- masing.
Sosialisasi mengenai pengendalian hayati di tingkat petani, peluang-peluang serta
tantangannya.
Khusus untuk pengendalian hayati dengan penggunaan agens hayati diperlukan
langkah-langkah antara lain adalah:
Mengembangkan dan memfasilitasi eksplorasi berbagai agens hayati untuk
pengendalian OPT antara lain oleh Laboratorium PHP/Laboratorium Agens Hayati.
Memfasilitasi pemanfaatan agens hayati yang telah ditemukan antara lain
pemasyarakatan dan demo lapang di tingkat petani.
Peningkatan kemampuan petani/ kelompok tani dalam memanfaatkan agens hayati
antara lain latihan-latihan, magang, penyediaan sarana, penyediaan starter/biakan
murni, informasi dan lain-lain.
Pembentukan dan pelaksanaan kegiatan perkumpulan petani pengguna agens hayati
antara lain peralatan perbanyakan agens hayati, latihan- latihan, koordinasi, dan lain-
lain.
Memfokuskan Laboratorium PHP/ Laboratorium Agens Hayati untuk eksplorasi, efikasi,
perbanyakan starter dan memasyarakatkan kepada petani. Sementara perbanyakan
untuk aplikasi dilakukan oleh petani.
Meningkatkan pelayanan Laboratorium PHP/Laboratorium Agens Hayati/ BPTPH
kepada petani dalam pemanfaatan agens hayati.
Kesimpulan
Dari tulisan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) pengendalian secara hayati/ramah
lingkungan berupaya untuk mempertahankan dan meningkatkan sumberdaya alam serta
memanfaatkan proses-proses alami, (2) penelitian tentang pengendalian OPT secara hayati tidak
bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian dalam jangka pendek, namun untuk mencapai
tingkat produksi stabil dan memadai dalam jangka panjang, (3) pengetahuan dan pemahaman yang
cukup terhadap OPT dengan penyakit yang ditimbulkannya terutama kalau dikaitkan dengan
tanaman inang, pola tanam, sistempertanian, daya dukung lahan, dan system pengendalian pada
waktu tertentu perlu diantisipasi dengan cermat dan baik, (4) dalam menerapkan pengendalian
hayati di lapangan, keperdulian unsure-unsur terkait (peneliti/pakar, penyuluh/ petugas proteksi
tanaman, petani, tokoh masyarakat, pengambil keputusan perlu terpadu dengan aktif, (5) proses
pengendalian hayati harus berkelanjutan dan kesempatan sebagai komponen yang kuat dalam PHT
akan terwujud dengan menggiatkan koordinasi untuk melakukan eksplorasi, pengadaan agens,
penggunaan di lapangan dan evaluasi terus menerus, (6) peluang dan prospek pengendalian hayati
penyakit tanaman cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia.





Pengendalian hayati sebagai komponen PHT sejalan dengan definisi sebagai cara pendekatan atau
cara berfikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi
ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan, berkelanjutan dan
mengandung arti ramah lingkungan.
Pengendalian hayati memiliki arti khusus, karena pada umumnya berisiko kecil, tidak
mengakibatkan kekebalan atau resurgensi, tidak membahayakan kesehatan manusia maupun
lingkungan dan tidak memerlukan banyak input luar. Pengendalian ini secara terpadu diharapkan
dapat menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi kehidupan OPT atau mengganggu siklus
hidupnya (Untung, 2001).
Menurut Istikorini (2002, dalam Edi Gunawan, 2010), pengendalian hayati yang ekologis dan
berkelanjutan mengacu pada bentuk-bentuk pembangunan pertanian melalui upaya-upaya sebagai
berikut: 1. Mengoptimalkan pemanfaatan

Anda mungkin juga menyukai