Intramuscular Pethidine in Relief of Labour Pain in Primigravid Women
OLEH EBRAM NAINGGOLAN 11 2012 087
PEMBIMBING : DR.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA RSUD TARAKAN JAKARTA AGUSTUS 2014 Latar Belakang Pethidin IM adalah salah satu obat opioid yang paling sering digunakan pada nyeri persalinan. Ada beberapa pro dan kontra didalam literatur mengenai penggunan pethidin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efikasi analgesik parasetamol dengan petidin untuk nyeri persalinan pervaginam normal.
Materi dan Metode Penelitian Single blinded, terkontrol secara acak, 80 wanita primigravida dengan kehamilan cukup bulan yang cenderung melalui persalinan pervaginam normal dimasukan dalam percobaan, dikategorikan menjadi : Pethidin (A), Paracetamol(B). Usia dan indeks massa tubuh dari ibu dan usia kehamilan berdasarkan hari pertama haid terakhir dicatat terlebih dahulu.
Pada awal fase aktif persalinan, pasien di kelompok A diberi 50 mg injeksi petidin intramuskular. Pada saat yang sama pasien dalam kelompok B, diberikan parasetamol 1000 mg dan 300 cc normal saline secara intravena. Setelah bayi lahir, nyeri persalinan rata- rata dinilai menggunakan Visual Analog Scale (VAS) melalui wawancara langsung dari pasien pada kedua kelompok.
Hasil Setelah pemilihan pasien, 19 individu dikaterogikan kedalam kriteria eksklusi kemudian 30 pasien dari kelompok parasetamol dan 31 pasien dari kelompok petidin masuk di dalam penelitian ( Inklusi). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam usia dan BMI ibu antara kedua kelompok (P> 0,05).
Usia dan durasi persalinan di dalam kelompok parasetamol, tidak menunjukan perbedaan yang signifikan dengan usia dan durasi persalinan dari pasien dalam kelompok petidin (P> 0,05). Rata-rata VAS skor nyeri secara signifikan lebih rendah pada parasetamol dibandingkan dengan kelompok petidin (8,366 dari 10, 9,612 dari 10, masing- masing, P <0.001). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa parasetamol intravena lebih efektif dibandingkan petidin intramuskular untuk nyeri pada persalinan pervaginam normal
Pendahuluan Persalinan umumnya dianggap sebagai pengalaman yang menyakitkan dan pemberian analgesik secara rutin mutlak diperlukan. Dalam sebuah penelitian yang membandingkan kondisi medis nyeri yang berbeda, rata-rata skor nyeri persalinan pada wanita primigravida dan multigravida lebih tinggi dibandingkan sakit gigi atau patah tulang Peregangan serviks, iskemia dinding otot rahim dengan penumpukan laktat dan pereganganvagina dan perineum pada kala kedua adalah kemungkinan penyebab nyeri persalinan.
Nyeri persalinan yang ditandai dengan peningkatan respiration rate selama 1 menit serta peningkatan konsumsi oksigen selama kontraksi tersebut, dapat menyebabkan alkalosis repiratorik yang berat dan pergeseran kiri kurva disosiasi oksihemoglobin ibu, sehingga dapat mengurangi transfer oksigen dari ibu ke janin. Kompensasi hipoventilasi saat kontraksi dapat menyebabkan transient maternal hipoksemia, dan berpotensi hipoksemia pada janin. Hal ini dapat diperburuk juga oleh teknik analgesik yang dapat mengakibatkan depresi pernapasan (mis, analgesia opioid secara sistemik).
Petidin Intramuscular adalah salah satu opioid yang paling umum digunakan untuk analgesik persalinan. Ada sejumlah pro dan kontra dalam berbagai mengenai penggunaan petidin. Beberapa penelitian memberi kesan bahwa petidin memberikan sedikit atau tidak ada efek sama sekali sebagai pereda nyeri dalam persalinan, dimana efek utamanya adalah menyebabkan sedasi bukan analgesik. Petidin juga memiliki sejumlah efek sambing pada ibu maupun neonatus yang membuatnya kurang dipilih untuk analgesik persalinan, antara lain menyebabkan mual, muntah dan disphoria (overthinking, depresi, insomnia) pada wanita yang menggunakannya selama persalinan. Semua opioid melewati barier plasenta. Opioid dapat menyebabkan denyut jantung menjadi lebih lambat.
Risiko depresi pernapasan pada neonatus bergantung pada dosis danlamanya pemberian opioid. Metabolit aktif dari petidin, normeperidine, memiliki t 60 selama jam pada neonates. Meskipun mekanisme masih kontroversial, parasetamol (acetaminophen) adalah pilihan aman dan efektif untuk manajemen nyeri.
Hasil penelitian menunjukan bahwa parasetamol adalah pengobatan yang efektif untuk nyeri pasca operasi. Misalnya efek parasetamol dalam operasi kebidanan seperti aborsi, rasa sakit pasca operasi setelah sectio cesarea dan nyeri perineum setelah persalinan menunjukan hasil yang baik. Tidak ada uji klinis yang signifikan tentang efek analgesik paracetamol pada nyeri persalinan di perempuan primigarvid. Jadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan penggunakan single dose paracetamol intravena dengan intramuskular pethidine pada wanita dengan persalinan primigravida.
Materi dan Metode Penitilian Protokol penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etika dari Tabriz University of Medical Sciences (TUMS), sesuai dengan Deklarasi Helsinki. Digunakan data penitilian 80 perempuan primigravida dengan kehamilan cukup bulan (Gestational Age (GA) lebih dari 37 minggu berdasarkan hasil USG yang dinominasikan untuk persalian pervaginan, dimasukkan ke dalam kriteria penilitian.
Penelitian ini menggunakan tabel kemudian dikempokan menjadi 2 kelompok, Pethidine Group A, Paracetamol Group B. Kriteria eksklusi antara lain : tidak memiliki riwayat penyakit jantung, hati dan penyakit ginjal, penggunakan obat obatan anti kejang, malpresentasi pada janin, janin yang abnormal,dan multigravida.
Mula-mula dicatat terlebih dahulu usia dan Body Mass Index (BMI) ibu, dan usia kehamilan berdasarkan HPHT. Tahap pertama, janin dipantau dengan menggunakan tes non-stres (NST) dan ultrasonografi transvaginal . Semua NST dilakukan oleh perawat dan dievaluasi oleh dokter kandungan. Setiap individu dengan temuan yang abnormal NST (akhir deselerasi atau perlambatan variabel) tidak dimasukan kedalam penelitian.
Pada kedua kelompok, promethazine intravena dan hiosin yang diberikan kepada setiap pasien. Dari awal fase aktif persalinan (dilatasi serviks 50 mm dan 100% penipisan), pasien dpada kelompok A diberikan 50 mg intramuskular petidin injeksi. Pada saat yang sama pasien dalam kelompok B, diberikan infus yang mengandung 1000mg intravena parasetamol dan 300 cc normal saline. Setelah kelahiran anak, nyeri persalinan dinilai rata rata dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS) melalui menanyakan langung pada pasien.
Skor Apgar neonatus, durasi persalinan dan komplikasi termasuk dyspnea, peningkatan enzim hati, ruam kulit, trombositopenia, dan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg dalam 24 jam setelah melahirkan tercatat dalam setiap kelompok.
Hasil Delapan puluh wanita primigravida dengan cukup usia kehamilan melalui persalinan per vaginam dialokasikan dalam dua kelompok parasetamol (N = 40) dan petidin (N = 40). Sembilan belas individu dihilangkan selama studi karena adanya kriteria eksklusi dan akhirnya 30 pasien dalam kelompok parasetamol dan 31 pasien dalam kelompok petidin tetap masuk persidangan.
Usia dan BMI ibu, dan GA berdasarkan pada HPHT terlebih dahulu, janin dipantau menggunakan (NST) dan ultrasonografi transvaginal. Tidak ada yang signifikan perbedaan usia dan BMI ibu antara kedua kelompok (Masing- masing P = 0,704 dan P = 0,496,)
Usia ibu dan durasi kerja dalam kelompok parasetamol tidak menunjukan perbedaan yang signifikan dengan usia dan tenaga kerja ibu durasi pasien dalam kelompok petidin (P = 0,503 dan P = 0,418).
Hanya satu orang di kelompok parasetamol dan dua pasien dalam kelompok petidin yang memiliki tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg, yang tidak perlu intervensi lebih lanjut. Tidak ada catatan komplikasi lainnya dalam 24 jam setelah pemberian pada kedua kelompok. Skor Apgar neonatus di kedua kelompok di atas 8/10. Skor nyeri diperkirakan berdasarkan pertanyaan lisan dari ibu pada akhir persalinan menggunakan VAS menunjukan hasil yang lebih rendah pada kelompok parasetamol dibandingkan dengan yang kelompok petidin (8,366 dari 10, 9,612 dari 10, P <0,001)
Pembahasan Penelitian ini mencoba untuk membandingkan efek analgesik parasetamol intravena dengan petidin intramuskular dalam mengurangi nyeri persalinan. Berdasarkan temuan uji coba ini, untuk mengurangi nyeri persalinan di primigravida tunggal calon perempuan untuk persalinan per vagina normal, intravena infus parasetamol lebih efektif daripada singledose injeksi petidin intramuskular.
Tidak ada komplikasi obat yang signifikan, dan skor Apgar dari neonatus yang sama yang normal pada kedua kelompok penelitian. Nyeri selama persalinan kala I berasal pada serviks dan segmen bawah rahim, bukan pada badan rahim. Selama akhir tahap pertama dan kedua tahap persalinan, janin turun melalui jalan lahir dan tekanan semakin besar janin pada vagina merupakan sumber nyeri yang ada. Chou et al., 10 uji klinis acak membandingkan efikasi analgesik dosis tunggal parasetamol dengan plasebo untuk nyeri perineum dalam periode postpartum awal. Mereka menyimpulkan bahwa lebih banyak perempuan mengalami nyeri dan lebih sedikit memiliki menghilangkan rasa sakit tambahan pada parasetamol dibandingkan dengan plasebo, meskipun potensi efek samping yang tidak dinilai.
Percobaan lain yang membandingkan efek parasetamol dengan plasebo pada penanganan nyeri pasca operasi caesar menunjukkan bahwa parasetamol lebih aman dan efektif sebagai analgesik pasca operasi.
Opioid Intramuscular adalah salah satu bentuk analgesiayang rutin digunakan untuk nyeri persalinan. Ada beberapa pro dan kontra dalam literatur mengenai penggunaan petidin. Beberapa penelitian memberi kesan bahwa petidin memberikan sedikit atau tidak ada bantuan nyeri dalam persalinan, efek utamanya adalah menyebabkan sedasi daripada analgesia. Pethidine juga memiliki sejumlah efek samping pada ibu dan neonatus yang membuat pilihan yang kurang ideal untuk analgesia persalinan.
Hal ini dapat menyebabkan mual, muntah dan dysphoria pada selama persalinan. Hal ini juga melewati barrier plasenta dan dapat menyebabkan variabilitas denyut jantung janin dan detak jantung sedikit meningkat. Efek pada neonatus meliputi depresi pernapasan, gangguan makan. Alasan memilih parasetamol intravena bukannya parasetamol oral adalah bahwa efek analgesik puncak IV parasetamol terjadi dalam 1 jam, dengan durasi sekitar 4-6 jam. Intravena propacetamol telah terbukti setidaknya sama efektifnya dengan oral dosis setara parasetamol. Sejumlah faktor fisik dapat mempengaruhi tingkat keparahan dan durasi nyeri dan yang meliputi usia ibu, paritas, kondisi ibu, kondisi serviks pada awal persalinan, dan hubungan antara ukuran janin dengan jalan lahir. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, kami mencoba untuk membuat keragaman usia ibu, GA, dan durasi pengiriman serupa pada kedua kelompok sebanyak mungkin.
Ada keterbatasan untuk penelitian ini. Dimana yang dinilai skor nyeri hanya pada akhir persalinan. Akan lebih baik jika kita telah mengevaluasi nyeri persalinan sebelum dan setelah pemberian parasetamol, untuk dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai nyeri selama persalinan. Akhirnya, penelitian ini menunjukkan bahwa untuk untuk mengurangi nyeri pada persalinan primigravida pada wanita dengan persalinan normal, lebih baik bila menggunakan parasetamol intravena dibandingkan petidin intramuskular, karena parasetamol memiliki efikasi analgesik yang lebih baik dan sedikit komplikasi dibandingkan pethidine.