Anda di halaman 1dari 46

Bunuh Diri dan Perilaku Bunuh Diri

Oleh : Andre Ivanoff dan Prudence Fisher



Bunuh diri adalah mengambil nyawa seseorang. Sakit apa yang begitu mendera, kejadian
yang sangat mengecewakan, sehingga mengarahkan seseorang untuk mempertimbangkan bunuh
diri? Bunuh diri telah memicu perdebatan sosial, agama dan politik sejak jaman filsafat Yunani.
Memahami penyebab dan pencegahan umum meningggalkan sejumlah sumber studi, spekulasi
dan malam yang panjang diantara mereka yang membuat hal ini sebagai pekerjaan mereka dan
diantara mereka yang ingin hidup dengan akibatnya. Sejumlah praktisi berspesialisasi dalam
kasus klien yang berperilaku bunuh diri. Mereka perlu untuk merespon kirisis ini segera dan
akurat sesuai tanggungjawab yang professional. Ketidakhadiran intervensi yang sesuai dan
terlambat dapat berakibat kehilangan nyawa. Sayangnya, pelatihan yang cukup tidak disediakan
pada kurikulum pekerja sosial umum dalam perawatan dan asesmen perilaku bunuh diri.
Pelatihan yang tersedia secara umum dihadiri olehe mereka yang bekerja dengan setting resiko
yang tertinggi, sehingga mayoritas praktisi menghadapi masalah tanpa keuntungan pelatihan.
Teori krisis intervensi dan metodenya menyediakan sebuah kerangka kerja dengan krisis
bunuh diri (Dattilio dan Freeman 1994: Roberts 1990). Kemampuan efisiensi mengandung
sebuah asesmen fungsional, itu adalah, sebuah asesmen yang berfokus pada aksi di dalamnya
dan interaksi antara individu klien, interpersonal dan domain lingkungan, adalah penting. Dalam
asesmen, sebuah strategi analisa perilaku menyediakan sebuah blueprint masalah perilaku.
Pengetahuan tentang kekuatan klien sebagaimana kerentanannya juga sangat diperlukan dalam
mengembangkan pengembangan strategi intervensi klinis . Tidak semua perilaku bunuh diri,
bagaimanapun krisis secara alamiah. Sejumlah klien berpikir, berkata dan bersikap pada cara
bunuh diri sebagaimana perilaku bunuh diri adalah tujuan langsung dalam menghadapi hidup
penuh tekanan. Kerentanan untuk bunuh diri dan perilaku bunuh diri dapat berasal dari domain
individual, interpersonal maupun lingkungan sekitar. Manifestasi klinis bagi kerentanan ini,
bagaimanapun , menunjukkan secara langsung bahwa mereka mempengaruhi domain lain pula.
Perspektif dinamis ini, menyatukan faktor-faktor secara biologis, sosial dan lingkungan,
memiliki potensi tertinggi dalam menyediakan sebuah pandangan komprehensif pada masalah
dan mendukung rancangan pencegahan dan strategi intervensi pada level personal, program dan
kebijakan.
Mendefinisikan dan Menjelaskan Bunuh Diri dan Perilaku Bunuh Diri
Bunuh diri adalah suatu peristiwa yang jarang terjadi yang biasanya didahului dengan
rumusan yang dapat diobservasi dari sebuah perilaku bunuh diri nonfatal. Terdapat lebih banyak
orang yang berpikir dan berbicara tentang melukai diri mereka sendiri dan berharap untuk mati
dibandingkan mereka yang benar-benar mencoba untuk membunuh diri mereka sendiri.
Percobaan bunuh diri dan perilaku bunuh diri nonfatal lainnya telah dipandang secara tradisional
sebagai masalah utama karena mereka membawakan sebuah resiko bunuh diri pada mereka.
Lebih sering lagi, bagaimanapun, perilaku bunuh diri nonfatal. Termasuk ide bunuh diri dan
percobaan bunuh diri, telah menerima perhatian sebagai masalah pada hak mereka. Perubahan
pada pendekatan ini didasarkan pada saksi bahwa perilaku bunuh diri tidak berada pada sebuah
kontinum antara yang tidak serius hingga yang paling serius, tapi seseorang yang berhadapan
dengan perilaku bunuh diri yang berbeda mungkin dapat memiliki perbedaan individual lain
yang penting dalam asesmen dan intervensi(Linehan 1986).
Yang paling banyak digambarkan perilaku bunuh diri nonfatal termasuk ide bunuh diri
(berpikir mengenai bunuh diri), verbalisasi bunuh diri (membicarakan mengenai bunuh diri),
dan ancaman bunuh diri atau memberitahu orang lain mengenai rencana atau keinginan untuk
berhadapan dengan aksi bunuh diri. Istilah gestur bunuh diri berarti mengolok-olok pada sebuah
aksi menyakiti diri dalam maksud mati yang dihakimi secara rendah. Secara mematikan, atau
keseriusan medis, mengenai gestur bunuh diri adalah umum, tapi tidak selalu, rendah juga.
Berdasarkan ketidakmampuan kami untuk mampu menggali maksud dari aksi ini secara fakta,
istilah parasuicide telah disarankan sebagai pengganti segala kategori menyakiti diri. Parasuicide
adalah sebuah aksi non fatal dalam menyakiti diri dengan sengaja; ini menggambarkan sebuah
aktivitas mirip bunuh diri tanpa menduga maksud pelaku (Kreitman 1977). Meskipun secara asli
dimaksudkan untuk menggambarkan aksi dimana maksud bunuh diri diduga, parasuicide telah
berkembang untuk termasuk juga aksi menyakiti diri apapun, dan seperti dalam literatur (Hirsch,
Walsh, dan Draper 1982), kami akan menggunakan istilah menyakiti diri, parasuicide, dan
percobaan bunuh diri secara bergantian.
Penghambat utama pada koleksi statistik bunuh diri yang akurat dan penemuan penelitian
dan pada teori perkembangan mengenai asal dan penyebab bunuh diri adalah bahwa tidak
terdapat persetujuan-di atas definisi bunuh diri yang aktual. Meskipun sebuah pemeriksaan pada
banyak sistem klasifikasi dari perilaku bunuh diri menegaskan kompleksitas dalam
mendefinisikan bunuh diri, hal ini menyajikan sedikit keperluan dalam setting praktik langsung.
Dalam praktiknya, terdapat satu pertanyaan definisi yang utama: Apa itu perilaku bunuh diri?
Definisi umum dari bunuh diri adalah singkat :sebuah aksi membebani diri, dan
menghentikan diri manusia dengan sengaja oleh dirinya sendiri (Shneidman 1976:53).
Fokusnya pada maksud pelaku dan tujuan aksi tersebut. Jika definisi ini telah dibantahkan lebih
lanjut, enam faktor secara umum dilibatkan dalam mendefinisikan bunuh diri: permulaan sebuah
aksi yang menuntun pada kematian pemulai; keinginan pada sebuah aksi yang menuntun kepada
kematian oleh yang menginginkan; keinginan untuk menghancurkan diri; kehilangan keinginan;
motivasi yang sekarat atau telah mati; dan pengetahuan oleh seorang pelaku bahwa aksinya
sendiri akan menghasilkan kematian (Douglas 1967). Dimensi ini penting dalam menentukan
apakah sebuah kematian adalah sebuah bunuh diri. Tanggung jawab tersebut untuk membuat
penentuan ini difokuskan antara Positif palsu (contoh: yang tidak harus diklasifikasikan pada
bunuh diri seperti: kecelakaan overdosis atau sesak nafas saat berhubungan seksual karena
kekurangan asam darah yang dicurigai sebagai bunuh diri) dan negatif palsu (contoh: dalam
kasus pada saksi dari bunuh diri disembunyikan dan kematian yang dicurigai sebagai kecelakaan
seperti: kecelakaan kendaraan bermotor tunggal). Terdapat banyak perdebatan mengenai mana
yang lebih akurat dan berhak dalam memberikan vonis bunuh diri antara pemeriksa medis atau
ahli forensik-dalam banyak lembaga, pelaporan sistematik atau laporan lain yang bias-dan
validitas pernyataan tersebut serta angka kematian resmi yang telah menjadi subjek angka
investigasi. (Gould dan Shaffer, dalam press; Jobes, Berman, dan Josselson 1987; Monk 1987;
OCarroll 1989). Pada akhirnya, data kematian resmi muncul sebagai indikator bunuh diri valid
yang wajar (Gould dan Shaffer, dalam press; Monk 1987; Moscicki 1995).
Intent adalah sebuah konsep penting dalam asesmen dari resiko bunuh diri. Intent adalah
seberapa serius seseorang dalam mengakhiri hidupnya (Beck, Schuyler, dan Herman 1974). Aksi
yang dihakimi sebagai Intent yang rendah seringkali disebut sebagai yang paling tidak serius
atau manipulatif. Bagaimanapun, disamping upaya klinis terbaik, terdapat sedikit saksi yang
menyarankan bahwa perbedaan diantara level intent dapat dibuat secara akurat dan dapat
dipercaya. Ketika seorang individu benar-benar menginginkan mati akan menjadi terlalu sulit
untuk diketahui setelah fakta; Hal ini bahkan nyata dalam aksi bunuh diri nonfatal, ketika
individu mungki tidak bisa melaporkan intent nya secara akurat.
Parasuicide dapat digunakan pada bagian sejumlah tekanan individu untuk melepaskan
diri, menghadapi, atau mengatasi masalah dibandingkan menyebabkan kematian. Kemampuan
untuk menggali intent secara berbeda memainkan peran penting dalam memilih intervensi yang
sesuai dan strategi manajemen. Upaya untuk mengklasifikasikan perilaku bunuh diri nonfatal
bahkan telah lebih banyak gagal daripada mereka yang berfokus pada bunuh diri itu
sendiri.Biasanya tidak terdapat penggunaan klasifikasi sistem penerimaan secara luas.
Teori-teori bunuh diri meluas lebih lampau pada sejarah yang terekam. Penjelasan awal
yang filosofis dan perdebatan berfokus pada hak individu, hak komunitas atau negara, dan moral
dari mengambil nyawa atau catatan hak yang lebih tinggi. Penelitian pada penyebab bunuh diri
adalah aktivitas yang paling sering, dimulai secara formal dengan buku Durkheim Le Suicide
pada tahun 1897. Dirancang untuk mengilustrasikan pengembangan metode sosiologis,
dibandingkan untuk mempelajari bunuh diri secara langsung, klasifikasi Durkheim menghasilkan
upaya pada tiga kategori bunuh diri: (1) bunuh diri egoistik, dihasilkan oleh kekurangan atau
miskin integrasi dengan keluarga, komunitas agama atau komunitas negara; (2) bunuh diri
altruistic, dihasilkan dari integrasi eksesif dan identifikasi, seringkali digambarkan dengan bunuh
diri terhormat dari sejumlah budaya timur; dan (3) bunuh diri anemik, dihasilkan dari
kehilangan integrasi melalui trauma atau bencana yang disertai alienasi, isolasi sosial dan
kesepian (Durkheim 1897/1952).
Sejak pekerjaan Durkheim telah banyak sistem klasifikasi lain menggambarkan motivasi
dan maksud bunuh diri. Bersamaan dengan pengertian yang digunakan dalam kebanyakan sistem
klasifikasi yang diperhatikan dimensi lebih awal: inisiasi, maksud atau motivasi, dan
pengetahuan dari akibat yang diinginkan (Douglas 1967). Teori yang digunakan untuk
menginformasikan praktek pekerjaan sosial terkini dengan bunuh diri seseorang didasarkan oleh
perspektif sosiologis, psikodinamis, biologis, kognitif, dan perspektif belajar.
Pandangan teori sosiologis, bunuh diri sebagai fungsi dari peran dan status individu
dalam sistem sosial, yaitu, bunuh diri adalah perilaku yang dipahami yang diberikan kepada
seseorang, situasi atau posisi dalam masyarakat (Braucht 1979; Douglas 1967; Durkheim
1897/1952 ; Gibbs dan Martin 1964; Henry dan Short 1954; Zilboorg 1936). Awalnya, dua
karakteristik masyarakat, regulasi sosial dan integrasi sosial, dianggap untuk menentukan kondisi
sosial dan oleh karena itu tingkat bunuh diri, makna sosial, pengendalian sosial, norma-norma,
pengetahuan politik, dan stabilitas dan daya tahan hubungan sosial sekarang juga dianggap
sebagai konsep penting dan telah memberi kontribusi pada reformulasi teori-teori ini. Teori-teori
sosiologis berguna untuk memprediksi perubahan bunuh diri dari nilai total populasi atau
subkelompok, namun keperluan terbatas mereka untuk praktisi perspektif interaksionis,
menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan hasil dari interaksi antara jenis individu dan
lingkungan, dan bukan hasil
individu atau lingkungan saja (braucht 1979).
Pandangan teori psikodinamik, bunuh diri sebagian besar merupakan produk internal,
seringkali secara sadar, bermotif. Analisis teori klasik mendefinisikan bunuh diri sebagai impuls
sadar yang bertentangan dan berbalik ke dalam menuju objek dan sekaligus mencintai objek.
Menurut teori ini, jika dorongan ini bertindak melawan diri sendiri, hal itu tidak akan bertindak
melawan orang lain. Menninger (1938) menggambarkan tiga bagian ini permusuhan : keinginan
untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati. Seperti pikiran Freud
tentang perkembangan bunuh diri, faktor-faktor selain agresi, seperti kecemasan maladaptif, rasa
bersalah, ketergantungan, dan amarah, juga diakui berpotensi menghasilkan dalam mekanisme
koping rawan bunuh diri. Rebirth, reuni dengan ibu seseorang, identifikasi dengan benda yang
hilang, dan balas dendam juga disarankan sebagai motif. Perasaan ditinggalkan dan tidak
berdaya, serta keputusasaan, juga komponen dari formulasi psikodinamik bunuh diri (Furst dan
Ostow 1979).
Saran teori biologis yang baik menunjukkan kecenderungan genetik atau ketidak-
seimbangan biokimia yang memicu kendali ke arah bunuh diri. Meskipun hasil yang tidak
seragam, hubungan keluarga tampaknya sangat mempengaruhi kemungkinan bunuh diri.
Meskipun ada bukti tingkat bunuh diri yang lebih tinggi di kalangan anak laki-laki sebagai
korban bunuh diri (Stengel 1964), Wandrei (1985) tidak menemukan bukti tingkat yang lebih
tinggi di antara keluarga perempuan yang bunuh diri. Sebuah studi dari pasangan kembar di
mana satu kembar bunuh diri tidak menemukan bunuh diri kembar lainnya sampai empat puluh
sembilan tahun kemudian (Kallman et al. 1949). Dalam pemuda yang bunuh diri, riwayat
keluarga perilaku bunuh diri sering ditemukan menjadi faktor risiko untuk bunuh diri, seperti
psikopatologi orang tua (Brent et al 1994 ;.. Gould et al 1996).
Namun, apakah ini menunjukkan kerentanan genetik, stres lingkungan, pemodelan, atau
beberapa kombinasi dari ketiganya, belum ditentukan. Oleh karena itu, meskipun bukti-bukti
menghubungkan faktor genetik untuk gangguan afektif dan psikotik utama, tidak ada hubungan
yang jelas mengenai bunuh diri yang telah ditemukan (Motto 1986).
Salah satu studi yang paling sering ditiru indikator biologis yang ditemukan adalah
konsentrasi metabolit rendah serotonin (5 - HIAA) dalam cairan cerebrospinal bunuh diri yang
mencoba bunuh diri (Asberg, Thoren, dan Traskman 1976;. Greenhill et al 1995; Mann dan Stoff
1997). Serotonin mengatur suasana hati dan reaktivitas ; orang dengan tingkat neurotransmitter
rendah ini dapat lebih emosional stabil dan impulsif, mungkin meningkatkan kerentanan
terhadap bunuh diri. Berdasarkan sedikitnya postmortem emisi positron topografi (PET) studi
korban bunuh diri dan tantangan biologis bunuh diri yang mencoba bunuh diri, Arrango,
Underwood, dan Mann (1997) mencatat bahwa kelainan serotonin kemungkinan besar lokal di
korteks prefrontal ventrolateral dan batang otak, bagian dari otak yang mengatur inhibisi
perilaku. Dengan demikian, suatu kelainan dalam hal ini lingkungan dapat membuat sulit bagi
seseorang dengan impuls bunuh diri untuk mengendalikan desakan untuk bunuh diri.
Namun, bukti ini sedikit kegunaannya karena jumlah peserta ini studi rendah, dan karena
kita belum memiliki informasi tentang tingkat normative dari 5 - HIAA pada populasi
nonsuicidal (Motto 1986,. Shaffer et al 1988). saat ini, tidak ada indikator biokimia bunuh diri
yang berguna dalam pekerjaan klinis (Motto 1986).
Pandangan teori kognitif, bunuh diri dan perilaku bunuh diri sebagai upaya untuk
berkomunikasi atau memecahkan masalah yang menyebabkan intens antarpribadi atau
lingkungan tertekan.Ungkapan yang sering mendengar " teriakan minta tolong " digunakan untuk
menyampaikan pesan yang terkandung dalam perilaku bunuh diri (Farberow dan Shneidman
1961). Beck (1963) mengemukakan bahwa perilaku bunuh diri ini disebabkan oleh keyakinan
individu bahwa masalah saat ini tidak larut. Keputusasaan sangat terkait dengan perilaku bunuh
diri (Beck, Resnik, dan Lettieri 1974; Beck, Kovacs, dan Weissman 1975a) dan pola teratur
berpikir.
Perilaku bunuh diri telah dikonseptualisasikan sebagai bentuk pemecahan masalah oleh
beberapa teoretisi (misalnya, Applebaum 1963; Levenson dan Neuringer 1971) dan sebagai
upaya untuk menyingkirkan, dan bukannya mengatasi, masalah melalui " manipulasi " atau
kematian (Beck, Kovacs, dan Weissman 1975a ; Olin 1976; Stengel 1964). Lainnya telah
menyarankan bahwa upaya bunuh diri dapat berguna pada beberapa individu dianggap sebagai
upaya untuk mengatasi situasi kehidupan sangat sulit (Linehan 1986, 1993a ;. Maris et al 1992).
Belajar teori-teori definisi perilaku bunuh diri sebagai fungsi dari : (1) tanggapan masa
lalu dalam situasi yang sama dan (2) memotivasi, memperkuat, dan kondisi lingkungan. Perilaku
bunuh diri diperoleh melalui metode pembelajaran sosial dan menjadi bagian dari repertoar
individu sebagai tanggapan untuk mengatasi masalah jika didukung dan menerima positif atau
konsekuensi yang diinginkan dari lingkungan. Kemungkinan perilaku bunuh diri didasarkan
pada harapan tindakan oleh individu dan lain-lain, pada kesempatan untuk terlibat dalam
bertindak, dan pada ada atau tidak adanya upaya pencegahan oleh orang lain (Diekstra 1973).
Sebuah model penyakit psikiatrik menyatakan bahwa bunuh diri terjadi dalam konteks
penyakit kejiwaan dan kondisi yang mendasarinya, seperti gangguan mood, penyalahgunaan zat
atau ketergantungan, sifat agresif, atau gangguan lain harus hadir untuk bunuh diri terjadi.
Dukungan untuk model ini berasal dari beberapa besar studi " otopsi psikologis " (Brent et al
1993;.. Martunnen et al 1991; Kaya, Young, dan Fowler 1986; Robins et al. 1959 ; Shaffer et al.
1996) di mana 90 persen atau lebih dari para korban ditemukan telah menderita gangguan jiwa
pada saat kematian. Sementara komunitas psikiatri secara luas mendukung model ini, itu adalah
nilai yang terbatas untuk praktisi pekerjaan sosial. Pertama, data atas mana hal itu didasarkan
diambil dari korban yang telah meninggal karena bunuh diri - orang yang membuat usaha bunuh
diri, merasa bunuh diri, atau merugikan diri sendiri adalah populasi yang berbeda dari mereka
yang meninggal karena bunuh diri (sebagian akan tidak pergi untuk bunuh diri), dan populasi ini
lebih mungkin untuk dilihat oleh pekerja sosial. Kedua, model, untuk sebagian besar,
mengabaikan keragaman sosial dan variabel lingkungan yang juga dapat mempengaruhi
kematian bunuh diri dan perilaku.
Linehan (1993a) mengusulkan model abiosocial mengenai perilaku bunuh diri,
mengintegrasikan elemen-elemen dari model sebelumnya. Model ini menganggap gambar
emosional individu bunuh diri sebagai salah satu, disregulasi emosional kronis yang tidak
menyenangkan. Dari perspektif a biososial, perilaku bunuh diri dipandang sebagai perilaku
pemecahan masalah yang beroperasi untuk mengurangi gairah emosional negatif dan tekanan
langsung (misalnya, dengan mengakhiri semua kehidupan, dan nyeri mungkin dikerjakan,
melalui tidur atau gangguan dari rangsangan emosional) atau tidak langsung (misalnya, dengan
memunculkan bantuan dari lingkungan) atau hasil tak terelakkan diatur dan emosi negatif tak
terkendali. Meskipun perilaku bunuh diri bukanlah hasil logis tak terelakkan, paradigma
pengkondisian melarikan diri menyebutkan dorongan yang kuat untuk melarikan diri atau
perilaku melarikan diri yang sebenarnya dapat dipelajari dengan baik bahwa mereka otomatis
untuk beberapa individu ketika dihadapkan dengan keadaan tak terkendali dan fisik ekstrim atau
nyeri emosional. Bunuh diri, tentu saja, adalah pelarian dari masalah utama dalam kehidupan ini.

Pola Demografi
Faktor risiko demografis meningkatkan kemungkinan bunuh diri dan perilaku bunuh diri
nonfatal berdasarkan jenis kelamin, usia, dan rasa tau etnis. Pria bunuh diri pada tingkat yang
hampir lima kali lebih tinggi dari wanita. Pada orang dewasa muda, rasio bunuh diri laki-laki ke
perempuan bahkan lebih tinggi, laki-laki muda adalah enam kali lebih mungkin untuk melakukan
bunuh diri dibandingkan
rekan-rekan perempuan mereka (Pusat Nasional untuk Statistik Kesehatan 1998). Bunuh diri
sangat jarang terjadi sebelum pubertas - hanya tujuh anak di bawah usia 10 meninggal karena
bunuh diri pada tahun 1995 (Gould dan Shaffer, in press). Secara keseluruhan, tingkat bunuh diri
untuk kedua jenis kelamin yang tertinggi di antara mereka berusia 65 tahun atau lebih. Tingkat
bunuh diri hampir dua kali lebih tinggi di antara orang kulit putih (12,7 / Pusat Nasional untuk
Statistik Kesehatan, 100.000) sebagai nonkulit putih (6.7/100, 000 1998). Di antara kulit putih,
nilai umumnya meningkat dengan usia, laki-laki berusia 80-84 memiliki tingkat tertinggi
dilaporkan (20.2/100, 000). Di antara orang kulit hitam dan ras minoritas lainnya. Namun, nilai
tetap relatif konstan di kemudian hari, memuncak pada 25 sampai 34 tahun (Pusat Nasional
untuk Statistik Kesehatan 1998). Di antara pemuda usia 15 sampai 24, bunuh diri berada pada
tingkat ketiga, hanya kecelakaan dan pembunuhan sebagai penyebab kematian (Pusat Nasional
untuk Kesehatan Statistik 1998) dan sekitar dua kali lebih banyak kematian dikarenakan sebab-
sebab alamiah gabungan (Shaffer dan Craft 1999). Dalam pemuda kulit putih muda, bunuh diri
ada di tingkat kedua penyebab kematian. Berbeda dengan pola yang ditemukan dalam kelompok
usia lainnya, tingkat bunuh diri antara laki-laki berusia 15 sampai 19 telah meningkat tajam
1964-1994, dengan tidak ada perubahan signifikan dalam tingkat untuk wanita muda. Angka
bunuh diri dari 20 hingga 24 tahun menunjukkan peningkatan dua kali lipat 1964-1980, pada saat
itu mereka mendatar. Kenaikan tingkat itu di kalangan remaja adalah karena peningkatan
signifikan dalam tingkat bunuh diri selama 15 - untuk laki-laki Amerika - tingkat putih, Afrika
19 tahun, tetap relatif konstan selama waktu itu. Beberapa penjelasan disarankan untuk
memperhitungkan peningkatan bunuh diri oleh laki-laki muda selama tiga dekade, termasuk
peningkatan prevalensi penyalahgunaan zat (Shaffer et al 1996.) dan peningkatan ketersediaan
senjata api (Boyd dan Moscicki 1986;. Brent et al 1991) untuk penduduk, serta peningkatan
eksposur media dan penyakit menular dijelaskan sebelumnya.
Tingkat bunuh diri nyata lebih tinggi antara orang kulit putih tua dari kalangan lansia dan
laki-laki kulit hitam telah diperiksa untuk mencoba untuk menjelaskan masing-masing
perspektif. teori menawarkan berbagai faktor sosial, demografi, dan individu sebagai
bertanggung jawab untuk perbedaan-perbedaan ini, seperti status dan rasa hormat yang diberikan
kepada kulit hitam tua, sebelumnya orang laki-laki hitam yang rentan dari masyarakat arus utama
karena pembunuhan atau penahanan, dan tingkat yang lebih tinggi alkoholisme dan depresi di
kalangan orang kulit putih.
Tingkat bunuh diri yang lebih rendah ditemukan di antara orang Amerika Meksiko yang
diduga menjadi fungsi perbedaan dari budaya Anglo, termasuk karakteristik yang mendukung
interaksi keluarga (Hoppe dan Martin 1986). Nilai tidak terdapat untuk Hispanik secara
keseluruhan karena hanya sejak tahun 1997 bahwa klasifikasi tambahan ini telah disertakan pada
sertifikat kematian di semua negara (sebelumnya, Hispanik dapat dimasukkan dalam kedua
kategori kulit putih).
Tingkat bunuh diri di kalangan penduduk asli Amerika sangat bervariasi, mereka berkisar
dari yang mirip dengan tingkat keseluruhan AS untuk menjadi tiga puluh kali lebih tinggi di
antara beberapa suku (Hoppe dan Martin 1986). Wallace et al. (1996) melaporkan bahwa pada
remaja dan dewasa muda, angka bunuh diri bagi mereka yang tinggal di Indian Health Service
Area adalah yang tertinggi dari setiap
kelompok di Amerika Serikat (62/ 100, 000). Percobaan bunuh diri tidak tercatat dalam cara
yang sistematis di Amerika Serikat.
Sekitar 11 persen dari penerimaan untuk beberapa unit rawat inap psikiatri dilaporkan
dipicu oleh percobaan bunuh diri (Wexler, Weissman, dan Kasl 1978). berdasarkan statistik
penduduk, hal ini menunjukkan tingkat 103 percobaan bunuh diri untuk setiap 100.000 orang.
Rasio perempuan terhadap laki-laki yang mencoba bunuh dilaporkan dalam literatur berkisar
1:01-5:01, meskipun rasio 3:1 yang paling sering dikutip. Kalangan remaja, yang rasio anak
perempuan terhadap laki-laki sangat tergantung pada sampel : studi populasi masyarakat
menunjukkan perempuan lebih rendah untuk rasio laki-laki dibandingkan sampel yang
dikumpulkan dari ruang gawat darurat (Shaffer dan Pfeffer, di review).

Percobaan bunuh diri atau parasuicide
Angka menurun berdasarkan usia. perempuan kulit hitam yang mencoba bunuh diri
kurang dari rekan-rekan putih mereka (Baker 1984). Semakin tinggi dukungan yang tersedia
dalam komunitas hitam untuk individu terasing dari masyarakat yang dominan mungkin
bertanggung jawab untuk beberapa perbedaan hal ini (Christian 1977; Davis 1979; Poussaint
1975). Pada kalangan remaja, Siswa SMA Afrika-Amerika melaporkan usaha bunuh diri
sebanyak kulit putih, dan remaja Hispanik memiliki tingkat upaya bunuh diri tertinggi (Centers
for Disease Control 1998).
Bunuh diri adalah penyebab utama kematian kesembilan di Amerika Serikat pada tahun
1996, sehingga di 30.903 kematian; 11,6 per 100.000 (Pusat Nasional untuk Statistik Kesehatan
1998). Tingkat keseluruhan itu tetap relatif stabil selama seratus tahun terakhir dengan sedikit
fluktuasi. Dilaporkan tingkat tertinggi di negara-negara barat (Nevada, 20,9 / 100.000, Montana,
19.8/100, 000, Alaska, 19.8/100, 000, New Mexico, 18.6/100, 000) dan terendah di Timur (New
York dan New Jersey, 7.3/100, 000, Washington, DC, 6.4 / 100.000) (Pusat Nasional untuk
Statistik Kesehatan 1998).
Secara historis, bunuh diri dan perilaku bunuh diri yang dinilai terutama dalam konteks
agama. Baru-baru ini, ilmu sosial dan penelitian kesehatan mental telah mengubah sikap sosial,
serta tanggapan hukum dan agama untuk bunuh diri baik perilaku fatal dan nonfatal. Sebagai
bukti menghubungkan perilaku bunuh diri dan intrapersonal, interpersonal, dan lingkungan stres,
respon sosial dan budaya untuk masalah ini berkembang. Seperti kita belajar lebih banyak
tentang jalur ganda untuk bunuh diri, namun, itu menjadi jelas bahwa solusi permanen atau
persamaan untuk menjelaskan atau mencegah bunuh diri tidak mungkin terjadi. Konsekuensi
sosial, psikologis, dan hukum bunuh diri jauh jangkauannya.
Keengganan untuk label kematian sebagai bunuh diri atau tindakan merugikan diri
sebagai usaha bunuh diri masih umum. Beberapa sikap bertanggung jawab. Asosiasi yang kuat
antara penyakit mental dan perilaku bunuh diri memiliki konotasi sosial yang negatif yang
banyak korban dan keluarga mereka berusaha keras untuk menghindari. Masih ada juga sisa-sisa
sanksi agama, keyakinan lama bahwa bunuh diri adalah pembunuhan dan berbuat dosa terhadap
Allah. Pada gereja, bagaimanapun, termasuk ritus Katolik, tidak lagi melarang penguburan
korban bunuh diri di pemakaman gereja.
Dimulai pada awal 1960-an dan terus berlanjut sampai awal 1990-an, kita menyaksikan
peningkatan tiga kali lipat dalam tingkat bunuh diri di kalangan remaja laki-laki dan dewasa
muda. Selama waktu yang sama, terjadi peningkatan dalam membayar perhatian untuk bunuh
diri di kalangan pemuda di media populer. Perhatian ini mengambil berbagai bentuk, termasuk
film, musik berorientasi pemuda, dan liputan berita bunuh diri pemuda. Bunuh diri digambarkan
dalam mode yang sangat romantis, dengan korban sering mengambil status pahlawan rakyat.
Sedikit atau tidak ada pengakuan terbuat dari kesehatan individu atau masalah mental pada
fungsi keluarga yang mempromosikan perilaku bunuh diri, dan korban disajikan tidak sebagai
disalahpahami tapi rasional. Bunuh diri dianggap sebagai solusi yang masuk akal untuk apa yang
disajikan sebagai tekanan sosial yang normal dan masalah remaja.
Terdapat dua konsekuensi: (1) persepsi luas antara beberapa pemuda yang bunuh diri
yang dicatat sebagai fungsi yang sangat terganggu atau gangguan kejiwaan (Shaffer et al. 1987),
dan (2) Peningkatan tingkat parasuicides dan panggilan ke hotline bunuh diri di hari-hari
penggambaran tersebut berikutnya (Gould dan Shaffer 1986). Bunuh diri dan perilaku bunuh diri
di kalangan anak muda telah ditemukan untuk meningkatkan paparan nyata atau bunuh diri fiksi
(Gould dan Kramer 1999; Gould, Shaffer, dan Kleinman 1988; Gould, Wallenstein, dan
Kleinman 1990 ; Velting dan Gould 1997), dengan besarnya kenaikan yang sebanding dengan
jumlah publisitas (Bollen dan Phillips 1982; Phillips 1974; Wasserman 1984). Hal ini tampaknya
menjadi seorang pemuda, fenomena tidak dewasa, (Kessler et al. 1989). Fenomena bunuh diri
klaster, yang didefinisikan sebagai tiga atau lebih bunuh diri kematian yang terjadi dalam
wilayah geografis yang terbatas dalam jangka waktu tiga bulan (M. Gould, komunikasi pribadi),
diperkirakan berkaitan dengan imitasi (Davidson et al 1989.), dan bunuh diri pemuda,
diperkirakan bahwa sekitar 1 sampai 5 persen kematian bunuh diri akan terjadi sebagai bagian
dari cluster bunuh diri (Gould dan Kramer 1999). Upaya kini sedang dilakukan untuk
mengurangi publisitas positif diberikan kepada bunuh diri. Sangat penting dalam upaya ini
adalah pesan bahwa perilaku bunuh diri bukan merupakan cara yang efektif untuk memecahkan
masalah kehidupan dan bahwa hal itu tidak dipilih oleh individu yang rasional dan baik
disesuaikan sebagai cara untuk memecahkan masalah.

Kerentanan Dan Faktor Risiko
Sebuah pengetahuan tentang faktor risiko yang terkait dengan perilaku bunuh diri adalah
penting untuk mengidentifikasi individu yang berisiko dekat dan jangka panjang. Faktor risiko
didasarkan pada karakteristik populasi di mana tingkat perilaku bunuh diri lebih tinggi. Mereka
beroperasi di lingkungan individu, interpersonal, dan lingkungan. Hal ini sama sekali tidak jelas
berapa banyak atau faktor risiko yang menempatkan individu pada " Berisiko tinggi. " Apakah
lebih buruk ? Ya. Tidak memiliki satu atau bahkan banyak karakteristik jaminan risiko rendah
atau asuransi terhadap perilaku bunuh diri ? jelas tidak (Farberow dan MacKinnin 1970, Lettieri
1974a, 1974b ; Motto 1986).
Literatur tentang bunuh diri dan parasuicide menunjukkan bahwa lingkungan sosial
terkait dengan perilaku bunuh diri memiliki empat karakteristik: kurangnya dukungan sosial,
stres negatif yang tinggi, link ke orang lain atau " model " dari perilaku bunuh diri, dan
kemungkinan konsekuensi positif untuk perilaku bunuh diri (Linehan 1981).
Status menganggur atau pensiun berkorelasi dengan bunuh diri. Individu-individu yang
berpotensi kekurangan dukungan dan integrasi sosial yang menyediakan pengaturan kerja. Ini
berlaku untuk semua kelompok kecuali pekerja perempuan muda profesional, tingkat bunuh diri
di kelompok ini baru saja meningkat. Temuan serupa telah ditemukan di bunuh diri pada masa
muda: kesulitan di sekolah, khususnya kurang memiliki afiliasi dengan teman sebaya,
merupakan faktor untuk bunuh diri pada remaja (Gould et al. 1996). Banyak kasus bunuh diri
anak (yang dilakukan oleh orang-orang di bawah usia 15) dan tidak adanya untuk mencoba
bunuh diri muda terjadi setelah periode sekolah (Shaffer 1974) ; pengamatan serupa dibuat oleh
Teicher dan Jacobs (1966).
Kurangnya dukungan sosial dalam kehidupan seseorang bunuh diri juga mungkin karena
Status imigran (Coombs dan Miller 1975) atau kurangnya karakteristik sosial bersama dengan
tetangga (Braucht 1979). Hidup sendiri terkait baik bagi mereka yang bunuh diri dan bunuh diri
dengan riwayat parasuicide (Bagley, Jacobsen, dan Rehin 1976; Shneidman, Farberow, dan
Litman 1970, Tuckman dan Youngman 1968). Wanita yang mencoba dan kemudian melakukan
bunuh diri lebih terisolasi dan juga dapat kurang menerima bantuan perawatan dari penyedia
layanan (Wandrei 1985). Sayangnya, sedikit informasi yang ada untuk menginformasikan
spekulasi klinis kita tentang kualitas dukungan sosial yang tersedia mengenai banyak orang
bunuh diri. Beberapa data menunjukkan bahwa kerabat dari yang mencoba bunuh diri adalah
bermusuhan (Rosenbaum dan Richman 1970), sedangkan bunuh diri yang sukses mungkin
kurang sistem pendukung bermusuhan. Sejumlah penelitian telah melaporkan tingginya tingkat
psikopatologi antara orang tua dari korban bunuh diri remaja (misalnya, Brent et al 1988, 1994. ;
Gould et al. 1996), yang diperkirakan akan berdampak pada hubungan keluarga anak.
Meskipun peristiwa kehidupan yang penuh stres, dalam dan dari diri mereka sendiri,
jarang penyebab yang cukup untuk perilaku bunuh diri, perilaku bunuh diri secara luas dianggap
sebagai respon terhadap stres, peristiwa kehidupan yang negatif. Kerugian secara umum dan pola
aktivitas kehidupan negatif membedakan yang mencoba bunuh diri dan pasien rawat inap
psikiatri lainnya (Birtchnell 1970; Levi et al. 1966). Yang mencoba bunuh diri melaporkan
jumlah yang lebih dari menyedihkan, peristiwa tak terkendali daripada individu tertekan
nonsuicidal (Paykel 1979). Penelitian lain telah menemukan bahwa bukan jumlah atau jenis
peristiwa kehidupan yang penuh stres yang terlibat bahwa membedakan individu bunuh diri dari
orang lain, tetapi persepsi peristiwa stres negatif, yaitu, kecenderungan untuk peristiwa negatif
dianggap sebagai hal yang lebih membuat stress oleh yang mencoba bunuh diri daripada oleh
orang lain (Linehan 1988).
Sementara sebagian besar individu dengan dukungan sosial yang rendah dan mengalami
kehidupan yang penuh kejadian stres tidak pergi ke bunuh diri atau parasuicide, mereka yang
mungkin memiliki perilaku bunuh diri pada repertoar respon pemecahan masalah mereka. Selain
itu, mereka mungkin memiliki harapan positif tentang konsekuensi dari tindakan tersebut (Chiles
et al 1985;. Kreitman, Smith, dan Tan 1970, Shaffer dan Gould 1987).
Setelah parasuicide, perubahan lingkungan utama dapat terjadi pada arah diinginkan oleh
pencoba bunuh diri (Rubenstein, Musa, dan Lidz 1958). Perubahan ini meningkatkan harapan
positif tentang perilaku bunuh diri dan dapat meningkatkan risiko masa depan upaya bunuh diri
dan bunuh diri (McCutcheon 1985).
Kedua observasi dan laporan diri pola interaksi interpersonal individu bunuh diri dan
parasuicidal yang mungkin kurang keterampilan sosial yang penting. Bunuh diri dan parasuicides
menunjukkan rendahnya tingkat keterlibatan sosial dan interaksi. mereka juga kurang
kemungkinan untuk meminta dukungan atau perhatian. Ada beberapa data yang menunjukkan
bahwa individu bunuh diri yang kurang bersahabat dan lebih pasif dan tergantung dari individu
nonsuicidal (Buglass dan McCulloch 1970, Kreitman 1977).
Parasuicides lebih mungkin untuk mengekspresikan ketidakpuasan dengan pengobatan
dan melaporkan ketidaknyamanan di sekitar orang pada umumnya (Cantor 1976). Hubungan
interpersonal dari yang mencoba sering ditandai oleh tingginya tingkat konflik (Hawton dan
Catalan 1987; Linehan 1986) ; temuan ini juga baik didukung oleh pengamatan klinis. Dalam
hubungannya dengan berinteraksi pada faktor lingkungan, karakteristik sebelumnya
menunjukkan kurangnya hubungan yang saling memuaskan, yang dapat meningkatkan rasa sakit
emosional, persepsi stres sejati, dan rasa bahwa bantuan tidak tersedia.
Faktor risiko individu dapat dibagi menjadi tiga bidang : kognitif, afektif, dan perilaku.
Sebagai bagian himpunan dari ini, kita membahas perilaku bunuh diri sebelumnya dan gangguan
kejiwaan sebagai hubungan peningkatan risiko. Risiko kognitif termasuk faktor gaya kognitif
dari orang-orang, atau pengolahan, organisasi, dan penggunaan informasi, dan dari isi kognitif
orang-orang, atau apa yang individu pikirkan. Gaya kognitif yang paling sering dikaitkan dengan
perilaku bunuh diri merupakan salah satu kekakuan daripada reflectiveness (Patsiokas, Clum,
dan Luscomb 1979), impulsif ketimbang musyawarah (Farberow 1970, Fox dan Weissman
1975), ketergantungan lapangan daripada kemerdekaan, dan miskin kemampuan pemecahan
masalah (Levenson dan Neuringer 1971; Linehan et al. 1987).
Keputusasaan umumnya dianggap sebagai fitur kognitif dominan perilaku bunuh diri
(Beck 1963; Bedrosian dan Beck 1979, Overholser et al 1995). keadaan putus asa lebih sangat
terkait dengan niat bunuh diri daripada saat depresi (Beck,Kovacs, dan Weissman 1974, 1975a,
1975b ; Wetzel 1976). Data yang tersedia membuat kasus untuk hubungan antara bunuh diri dan
putus asa, namun, bukan antara mencoba bunuh diri dan putus asa. Penelitian terbaru dari
mencoba bunuh diri telah ditemukan hasil yang beragam mengenai keputusasaan, dengan tingkat
yang lebih tinggi di antara keputusasaan yang mencoba bunuh diri ditemukan di beberapa sampel
populasi (Ivanoff dan Jang 1991; Paykel dan Dienelt 1971; Wetzel 1976), meskipun tidak di
kalangan remaja minoritas bunuh diri atau perempuan yang mencoba bunuh diri (Rotheram -
Borus dan Trautman 1988).
Faktor yang menimbulkan risiko perilaku lebih singkat didefinisikan sebagai kegiatan
tersebut atau keadaan fisik dikaitkan dengan peningkatan risiko. Satu-satunya faktor risiko
terkuat untuk perilaku bunuh diri di masa depan adalah usaha bunuh diri sebelumnya atau
parasuicide. Kehadiran catatan bunuh diri pada saat sebuah parasuicide sebelumnya juga telah
dikaitkan dengan bunuh diri berikutnya (Leenaars 1992). Bukti yang sangat diperdebatkan yaitu
menghubungkan kematian dari upaya sebelum bunuh diri berikutnya atau parasuicide : beberapa
studi telah menemukan lethalitas lebih tinggi dalam upaya sebelumnya, sementara yang lain
tidak menemukan hubungan antara lethalitas dan perilaku bunuh diri berikutnya (Linehan 1981).
Penyalahgunaan zat dan alkohol secara luas dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh
diri pada orang dewasa dan remaja. Sampai dengan 20 persen dari semua kasus bunuh diri adalah
pecandu alkohol (Roy dan Linnoila 1986). Yang mencoba bunuh diri secara signifikan lebih
mungkin untuk menggunakan alkohol atau obat-obatan untuk mengubah suasana hati mereka
dalam dua puluh empat jam sebelumnya dibandingkan pasien rawat inap psikiatri lainnya,
bahkan mereka berpikir tentang bunuh diri (Chiles et al. 1986). Bukti catatan kriminal juga
berhubungan dengan peningkatan risiko antara laki-laki muda (Lettieri 1974a, 1974b).
Kecerobohan dan melarikan diri semalam juga dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk bunuh
diri selesai pada remaja, seperti agresivitas (Shaffer et al. 1996).
Kehadiran penyakit fisik, baik terminal, kronis, atau akut, juga terkait dengan bunuh diri
dan parasuicide. Upaya untuk mendapatkan bantuan medis yang sering dibuat oleh orang-orang
yang bunuh diri, bunuh diri dan kebanyakan parasuicides telah menemui seorang dokter dalam
enam bulan sebelum tindakan mereka (Linehan 1981, 1988). Banyak peneliti melaporkan bahwa
infeksi HIV dapat meningkatkan risiko bunuh diri dan perilaku bunuh diri pada remaja dan
dewasa muda (Cote, Biggar, dan Dannenberg 1992;. Kizer et al 1988) ;
Namun, temuan ini tidak seragam (Dannenberg et al. 1996). Kesehatan mental atau
gangguan kejiwaan, umumnya ditunjukkan dengan adanya diagnosis psikiatri, juga merupakan
indikator peningkatan risiko. Hanya sebagian kecil dari kasus bunuh diri di kalangan orang
dewasa atau remaja tampaknya bebas dari gejala kejiwaan (Shaffer et al. 1988, 1996). Di antara
bunuh diri dewasa, gangguan afektif berulang (depresi berat dan gangguan bipolar) dan
skizofrenia lazim, sementara antara parasuicides berulang, ada bukti bahwa terkait sociopathy.
sekitar 10 sampai 15 persen orang yang menderita depresi berat dan 20 sampai 25 persen dari
mereka dengan gangguan bipolar akan pergi untuk bunuh diri, sering gangguan mood disertai
dengan masalah penyalahgunaan zat (Slaby 1998). Pada orang depresi, risiko bunuh diri sangat
besar bila ada tanda-tanda neurovegetative (misalnya, peningkatan agitasi dan insomnia),
keinginan bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan beberapa dukungan sosial (Slaby 1998). Bagi
mereka dengan penyakit bipolar, bunuh diri biasanya terjadi selama episode depresi, tetapi juga
mungkin terjadi selama episode manic campuran (Isometsa et al. 1994), meskipun hal ini
biasanya ketika orang itu dalam keadaan campuran (Dilsaver et al. 1994). Proporsi yang sama
(10-15 persen) dari orang-orang dengan skizofrenia akan pergi untuk mati karena bunuh diri
(Slaby 1998). Penderita skizofrenia muda di khususnya risiko bunuh diri adalah penyebab
kematian terkemuka untuk kelompok ini (Caldwell dan Gottesman 1990). Dewasa didiagnosis
sebagai skizofrenia sangat rentan, terutama jika putus asa tinggi (Beck, Kovacs, dan Weissman
1974; Wetzel 1976). Beberapa faktor risiko lain untuk penderita skizofrenia meliputi fungsi yang
baik premorbid, durasi pendek penyakit, dan kesadaran tentang bagaimana masa depan akan
dipengaruhi oleh kondisi mental mereka (Clark dan Fawcett 1992).
Di antara kasus bunuh diri remaja, lebih sedikit skizofrenia dilaporkan dan bukti
gangguan manic-depressive campuran, depresi utama adalah diagnosis yang paling umum.
Selain depresi, berbagai gangguan dicap sebagai kejiwaan ditemukan antara bunuh diri remaja,
termasuk gangguan penggunaan zat (terutama untuk anak laki-laki), perilaku antisosial,
gangguan kecemasan (terutama untuk anak perempuan), dan gangguan belajar.Kebanyakan
korban bunuh diri remaja memiliki lebih dari satu diagnosis psikiatri pada saat kematian (Shaffer
dan Gould 1987; Shaffer et al 1996.).
Konsekuensi pada diskusi bunuh diri memerlukan keterlibatan dari yang selamat.
Pengalaman kehilangan orang tua, anak, pasangan, atau teman dekat untuk bunuh diri secara
signifikan menandai kehidupan. Reaksi bersalah dan kemarahan, ditambah dengan kerugian yang
mendalam, bisa sangat sulit untuk diselesaikan tanpa bantuan dari luar. Sayangnya, sosial
sentimen terhadap bunuh diri menghalangi korban mendapat perhatian yang memadai atau
dukungan. Bunuh diri tetap menjadi " memalukan " kematian, umumnya dianggap sebagai tidak
sebaiknya dibicarakan secara rinci. Ironisnya, salah satu kebutuhan terkuat di antara mereka yang
menghadiri kelompok korban bunuh diri seringkali dengan sangat rinci, keadaan sekitarnya
langsung bunuh diri. Secara khusus, ini mungkin termasuk menemukan tubuh, upaya untuk
menyelamatkan korban, dan membersihkan kekacauan apapun. Korban tidak segera hadir pada
saat kematian mungkin perlu hati-hati menggambarkan urutan peristiwa yang memahaminya.
Banyak laporan bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendiskusikan hal-hal ini
sebelum melakukannya (Samaria dari Ibukota Kabupaten, komunikasi pribadi, April 1987).
Konsekuensi negatif Praktis juga mungkin terjadi dari bunuh diri, yang melibatkan pemukiman,
klaim asuransi, dan kompensasi pekerja. Untuk lebih lanjut diskusi tentang masalah korban dan
intervensi yang direkomendasikan, lihat buku Suicide dan Its Aftermath (Dunne, McIntosh, dan
Dunne - Maxim 1987).
Sayangnya, lingkaran korban jauh melampaui korban langsung keluarga dan teman-
teman. Intervensi dengan selamat mungkin diperlukan di sekolah, di tempat kerja, atau dalam
komunitas agama. Intervensi ini, kadang-kadang disebut sebagai postvention, dilakukan dalam
kelompok besar dan kecil, serta dalam format individual. sebagaimana dicatat " Konteks
Masyarakat, " situasi ini harus hati-hati dibangun dengan remaja : postvention harus berhati-hati
untuk menyampaikan kesedihan terkait dengan kerugian sementara, dan konsisten
mempertahankan bahwa bunuh diri bukan solusi yang masuk akal atau baik untuk masalah.
Konsekuensi sosial dari percobaan bunuh diri atau parasuicide dapat dilihat sebagai
positif maupun negatif. Untuk individu yang merasa putus asa bahwa tidak ada tempat dan tidak
ada orang untuk berpaling, perilaku bunuh diri dapat memobilisasi sumber daya yang cukup
untuk menemukan solusi untuk masalah mendesak. Dari perspektif belajar, ini sangat
disayangkan bagi individu, karena tindakan tersebut telah efektif, yaitu, itu berhasil membawa
perubahan ke arah yang diinginkan. Interpersonal, mencoba bunuh diri dapat menarik keluarga
dan teman-teman dekat dengan korban, sebagaimana dibuktikan oleh pernyataan seperti sebagai
" kita tidak tahu seberapa buruk dia merasa sampai ini terjadi, " atau dapat mengubah perilaku
mitra terasing atau pasangan, yang kembali ke hubungan berikut. Berulang parasuicide
cenderung akhirnya menghasilkan permusuhan dan mendorong orang lain, bahkan dalam
hubungan yang signifikan primer, jauh emosional. Ketika dukungan sosial penting sengaja
membuat diri mereka tidak terlayani, parasuicide selanjutnya, sering mematikan dengan lebih
tinggi, dapat terjadi sebagai cara untuk mencoba untuk mendapatkan respon lebih peduli.
Secara sistematis, perilaku bunuh diri nonfatal menguras sumber daya dan membantu
menempatkan beban kronis pada sistem perawatan kesehatan, terutama pada kesehatan dan
layanan darurat jiwa (Hawton dan Catalan 1987; Kreitman 1977).

RESILIENSI DAN FAKTOR PELINDUNG
Individu dapat bergerak masuk dan keluar dari krisis bunuh diri selama seumur hidup
sebagai akibat dari terganggunya keseimbangan risiko dan faktor pelindung. Sebagian dari yang
kita lakukan tidak mengerti apakah bunuh diri adalah fenomena yang sama di masa muda dan
tua, kami juga tidak mengerti apakah bunuh diri memiliki arti yang berbeda dan faktor risiko
yang berbeda di seluruh siklus hidup. Ringkasan paling komprehensif pada topik ini
menunjukkan bahwa sementara faktor-faktor risiko yang sama muncul untuk beroperasi
sepanjang hidup, mereka memiliki bobot proporsional yang berbeda. Faktor pelindung
beroperasi sama (Vaillant dan Blumenthal 1990). Meskipun memahami bagaimana risiko dan
pelindung faktor beroperasi di seluruh kehidupan siklus di luar lingkup bab ini, ada beberapa
kesepakatan umum tentang faktor yang berfungsi protektif terhadap bunuh diri. Pemuda, atau
usia yang lebih muda, secara luas diterima sebagai epidemiologi " perlindungan " dengan
peningkatan baru-baru ini bunuh diri remaja dipandang sebagai hasil dari efek temporal.
Ketersediaan intervensi klinis dan sosial yang aktif merupakan faktor protektif penting
terhadap bunuh diri. Suatu kombinasi dari sumber formal dan informal menciptakan kondisi
yang paling stabil. Penilaian pekerjaan sosial dan intervensi sering menargetkan hambatan untuk
intervensi dan dukungan (Vaillant dan Blumenthal 1990). depresi, penyakit fisik, kehilangan,
dan peristiwa kehidupan yang penuh stres, bahkan ketika digabungkan, jarang menghasilkan
bunuh diri ketika dukungan sosial yang memadai hadir. Harapan adalah Faktor pelindung kedua
(Beck et al. 1985), sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa keputusasaan sebagai angka
kognitif mengidentifikasi persentase yang tinggi dari bunuh diri. Sayangnya, kita hanya tahu
sedikit tentang bagaimana fungsi harapan dan mengapa ketiadaan tampak begitu penting.

Program Dan Kontribusi Pekerjaan Sosial
Pekerja sosial memainkan peran penting dalam respon program interdisipliner untuk
bunuh diri dan perilaku bunuh diri. Di semua jenis dan tingkat layanan, termasuk intervensi
krisis, manajemen kasus, dan intervensi primer, pekerja sosial mungkin lebih banyak
berhubungan dengan individu bunuh diri dan keluarga mereka daripada kebanyakan profesional
lainnya. Dalam masyarakat, pekerja sosial sering mengarahkan dan mengkoordinasikan layanan
intervensi krisis. Di sekolah, pendidikan pencegahan dan postventive sering menjadi tugas kerja
sosial. Dalam situasi darurat kesehatan dan kesehatan mental, pekerja sosial sering jadi yang
pertama untuk melihat orang bunuh diri.
Intervensi krisis atau pencegahan bunuh diri dapat menyediakan layanan seperti hotline
telepon, berjalan - dalam konseling, dan akses langsung ke darurat medis dan layanan psikiatri.
Kelompok swadaya berurusan dengan kerugian akibat bunuh diri yang selamat atau mengatasi
bunuh diri yang dicintai juga dapat ditawarkan melalui instansi intervensi krisis. Kebanyakan
layanan jenis ini secara lokal dijalankan dan dikelola oleh para sukarelawan terlatih, sering di
bawah arahan seorang pekerja sosial. Jenis-jenis program khusus, aksesibilitas layanan, dan
tingkat kolaborasi dengan lembaga-lembaga masyarakat lainnya sangat bervariasi dan harus
diketahui sebelum rujukan klien. Klien juga harus tahu apakah hotline krisis segera memberitahu
polisi atau unit krisis seluler ketika niat bunuh diri dinyatakan. Sebagai contoh, orang-orang
Samaria, organisasi internasional dengan beberapa cabang di Amerika Serikat bagian timur,
umumnya tidak memulai kontak dengan otoritas medis kecuali pemanggil memberikan izin
untuk mendapatkan bantuan (Hirsch 1981).
Program pencegahan berbasis sekolah, dengan fokus pada pendidikan bunuh diri sebagai
metode interventif utama. Alasan di balik program ini adalah bahwa peningkatan pengetahuan
dan kepekaan akan membantu mengidentifikasi dan mendapatkan bantuan untuk remaja berisiko.
Meskipun pendekatan ini mungkin masuk akal secara teoritis, telah dikritik tidak efektif dan
tidak efisien. Satu-satunya evaluasi yang dikontrol program schoolbased secara sistematis tidak
menemukan peningkatan yang signifikan dalam sikap atau akurat sesuai pengetahuan tentang
bunuh diri, terutama hubungannya dengan penyakit mental (Shaffer dan Gould 1987). Kelompok
berisiko tinggi, pemuda dengan gangguan efektif, belum berhasil ditargetkan oleh sebagian besar
program pencegahan berbasis sekolah (Shaffer et al. 1988).Dengan mendefinisikan populasi
berisiko karena semua pemuda di sekolah, kita mengabaikan banyak dari apa yang telah
dipelajari selama dua dekade terakhir tentang bunuh diri remaja, dan kami melakukan upaya
pencegahan.
Lembaga-lembaga pelayanan keluarga, layanan konseling, klinik kesehatan mental, dan
bahkan beberapa program rawat inap psikiatri mulai merespon pemrograman lebih untuk
masalah bunuh diri dan perilaku bunuh diri. Dalam klinik atau pengaturan rawat jalan,
keterampilan kelompok pelatihan mungkin tersedia yang fokus secara khusus pada perilaku
bunuh diri (Linehan 1993a) atau depresi. Dalam pengaturan rawat inap rumah sakit, program
khusus telah yang dirancang untuk membantu individu memulihkan sebagian besar dengan cepat
dan mulai pemecahan masalah yang lebih adaptif. Contoh seperti program ini tersedia di Hawton
dan Catalan (1987) dan di Swenson, Sanderson, dan Linehan (1996).

Penilaian Dan Intervensi
Praktisi menghadapi orang bunuh diri dalam pengaturan banyak layanan. Ada beberapa
isu senilai pemikiran sebelum seseorang menghadapi klien bunuh diri. bunuh diri nonfatal
perilaku, termasuk parasuicide, yang dicatat sebelumnya karena kadang-kadang digunakan
sebagai tunggal atau berulang pemecahan masalah atau strategi coping oleh individu yang tidak
memiliki keterampilan yang memadai atau mekanisme regulasi emosi. Perilaku bunuh diri
merupakan respon terhadap masalah pandangan klien sebagai terpecahkan. Dengan demikian,
harus dianggap oleh praktisi sebagai pemecahan masalah alami. Sebuah alternatif yang sering
digunakan adalah untuk menggambarkan individu sebagai "manipulator", seseorang yang
mungkin tidak benar-benar ingin mati tapi menggunakan perilaku bunuh diri untuk mencapai
cara lain. Konotasi negatif terkait dengan pandangan ini membangkitkan permusuhan terhadap
yang mencoba bunuh diri dan dapat membahayakan kemampuan seorang praktisi untuk
memberikan perawatan. Individu yang terlibat dalam parasuicide, khususnya mereka yang
terlibat dalam parasuicide berulang, cenderung menerima kurang perawatan serta
kualitas perawatan yang lebih rendah dari penyedia layanan (Wandrei 1985).
Filosofi praktisi pribadi juga penting untuk dipertimbangkan : Di bawah situasi apa harus
Anda mencegah, dan dalam keadaan apa Anda tidak mungkin mencegah bunuh diri ? Apakah
bunuh diri merupakan hak pribadi yang tidak dapat dicabut ? Mereka yang berpendapat jadi
melihat semua bentuk pemaksaan pencegahan bunuh diri sebagai fitnah dan tidak sopan
(Gomery 1997; Szasz 1986). Gerakan bunuh diri rasional juga mendukung hak individu untuk
memilih bunuh diri sebagai tindakan pembebasan diri, paling sering dalam menanggapi sakit
fisik tak henti-hentinya atau penyakit terminal. Berdasarkan pengalaman klinis, bagaimanapun
ada bukti bahwa dalam banyak kasus, niat bunuh diri dapat berubah secara dramatis dalam
beberapa hari. Menyediakan kontrol sampai individu mampu mendapatkan kembali self-
management dianggap sebagai manusiawi dan peduli dari perspektif ini.
Para penulis sangat percaya bahwa situasi rumah sakit di luar spesifik, peran kesehatan
mental perlu dilestarikan. Dari perspektif hukum, lembaga dan praktisi individual sama-sama
khawatir tentang litigasi dan tanggung jawab jika terjadi bunuh diri. Akibatnya, banyak
kebijakan lembaga memerlukan praktisi untuk memberlakukan cara membatasi pencegahan,
seperti rawat inap paksa, dalam semua kasus dimana praktisi khawatir klien menyakiti diri.
Dalam keadaan di mana tidak ada kebijakan yang ada, pekerja harus berolahraga lebih besar
kesadaran diri, penilaian risiko, dan keterampilan pengambilan keputusan. Membaca berguna ini
subjek ditemukan di Comstock (1992), Ivanoff (1997), dan Linehan (1993a).
Akhirnya, kebutuhan untuk konsultasi berkelanjutan saat bekerja dengan klien bunuh diri
tidak dapat dilebih-lebihkan. Tingkat penghakiman dan jumlah serta kualitas keputusan yang
dibuat membutuhkan diskusi dengan profesional yang lain, sebaiknya salah satu berpengalaman
dalam bekerja dengan klien bunuh diri. Penilaian langsung dan berkelanjutan dari risiko, review
strategi intervensi, dan eksplorasi pencegahan lain yang tersedia sumber daya tiga fungsi yang
konsultasi ini dapat berfungsi.
Alasan lain yang penting untuk mempertahankan konsultasi erat sementara klien bunuh
diri aktif adalah untuk mempertahankan kesadaran diri dan untuk membantu mengatasi
tanggapan pribadi sendiri yang disebabkan oleh perilaku bunuh diri klien. Kemungkinan
kehilangan klien bunuh diri dan perasaan akibat frustrasi/kemarahan wajar dan normal, namun
mereka dapat mencegah pekerja dari yang efektif selama kali ini. Dalam kasus parasuicide
berulang, konsultasi dapat berguna dalam membantu memelihara sendiri perspektif pemecahan
masalah dan fokus ketika merasa tidak nyaman tertangkap oleh upaya maladaptif klien.
Kerentanan individu seperti gangguan kejiwaan, kemampuan pemecahan masalah yang buruk,
atau mekanisme koping yang tidak memadai yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap
perilaku bunuh diri dapat diperburuk oleh stres lingkungan. Sebuah perspektif ekologi menilai
interaksi antara individu dan lingkungan sosial dan fisik mereka adalah penting dalam
memperoleh pemahaman tentang risiko bunuh diri. Meskipun pekerja sosial berlatih di luar
pengaturan kesehatan mental mungkin memiliki lebih sedikit kesempatan untuk menilai risiko
bunuh diri, pengetahuan tersebut masih tetap diperlukan, mengingat kemungkinan konsekuensi.
Selain kesehatan dan konseling lembaga mental, di mana salah satunya mungkin biasa
menemukan orang bunuh diri, pekerja sosial juga menangani klien beresiko bantuan publik atau
kesejahteraan setting anak, di rumah sakit atau klinik kesehatan, dan terutama dalam pengaturan
kelembagaan seperti panti jompo, pusat penahanan remaja, dan penjara.
Ketika melihat klien dalam pengaturan lembaga yang menyajikan beberapa risiko
populasi karakteristik, yang terbaik adalah bertanya langsung tentang perilaku bunuh diri
sebelumnya. Sebagai bagian dari wawancara penilaian umum, pertanyaan dapat dimasukkan ke
dalam mendiskusikan cara di mana klien sebelumnya telah berusaha untuk mengatasi masalah
nya, standar komponen dalam wawancara penilaian kerja sosial (Hepworth, Rooney, dan Larsen
1997). Bertentangan dengan mitos, tidak dianjurkan untuk menghindari membahas bunuh diri,
juga tidak ada bukti bahwa hanya meminta orang dewasa tentang ide bunuh diri atau perilaku
bunuh diri, seperti pemikiran " Yah, tidak, aku tidak memikirkan hal itu sebelumnya, tapi itu
bukan ide yang buruk ! "
Bahkan, pengalaman klinis menunjukkan bahwa jika klien berpikir tentang bunuh diri,
sebagian besar merasa lega untuk bertanya tentang hal itu. Klien mungkin tidak yakin atau takut
tentang reaksi pekerja sosial untuk ide bunuh diri dan mungkin ragu-ragu untuk membawanya
sendiri ; terbuka berbicara tentang bunuh diri dan fakta materi pertanyaan dapat membuat diskusi
lebih mudah. Sebuah pertanyaan yang baik untuk memulai adalah dengan " Apakah Anda pernah
berpikir tentang melakukan atau berbuat menyakiti diri sendiri ? "Pertanyaannya harus diminta
secara langsung, dan respon harus segera dieksplorasi jika afirmatif.
Meskipun sebagian besar klien tidak mencari bantuan untuk bunuh diri, klien dapat
mencari bantuan masalah depresi atau keputusasaan terikat suasana hati, perasaan harga diri, dan
keberhasilan dalam memecahkan atau mengatasi masalah kehidupan. Komentar klien yang
memerlukan eksplorasi lebih lanjut termasuk pernyataan langsung tentang bagaimana orang lain
mungkin akan lebih baik jika klien pergi, komentar seperti "Saya tidak bisa tahan " atau "Saya
aman di ujung tali saya, " atau menyatakan keinginan untuk bersama saudaranya yang telah
meninggal atau hewan peliharaan. demikian keinginan yang diungkapkan harus dieksplorasi
dengan hati-hati pada remaja dan orang dewasa untuk bukti dari pemikiran konkret yang dapat
menunjukkan gangguan pikiran. Laporan langsung ingin mengakhiri semuanya, " " check out
"atau " pergi tidur dan tidak pernah bangun " juga membutuhkan segera tindak lanjut dengan
pertanyaan menanyakan secara langsung tentang keinginan dan menyakiti diri.
Akhirnya, pekerja sosial mungkin melihat klien menyebut mereka bagi individu yang
sedang berlangsung atau intervensi keluarga setelah usaha bunuh diri. Dalam situasi di mana
praktisi memiliki pengetahuan sebelumnya bahwa perilaku bunuh diri telah terjadi pada masa
lalu, adalah penting untuk membangun dengan cepat apakah bunuh diri atau niat tetap. apakah
isu permukaan risiko bunuh diri selama penilaian awal atau akhir, pekerja sosial menghasilkan
pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dengan sama.

TABEL 27.1. Langkah-langkah dalam Rantai Analisis
1. Jelaskan perilaku bunuh diri tertentu atau menyakiti diri. Detail persis apa yang klien
katakan, pikirkan, dan rasakan, termasuk intensitas perasaan.
2. Identifikasi acara pengendapan tertentu yang mulai rantai. Mulailah dengan peristiwa
lingkungan, misalnya, " Mengapa masalah terjadi kemarin lebih dari hari sebelumnya ? "
3. Mengidentifikasi faktor-faktor seperti penyakit fisik, tidur yang buruk, penyalahgunaan
obat atau alkohol, atau emosi yang intens yang tinggi kerentanan klien terhadap masalah
ini waktu.
4. Menggambarkan saat - demi-saat rantai peristiwa. Periksa pikiran, perasaan, tindakan,
dan menentukan apakah ada alternatif yang mungkin untuk ini.
5. Mengidentifikasi konsekuensi dari perilaku masalah.
6. Menghasilkan alternatif solusi : misalnya, keterampilan apa yang klien telah digunakan
untuk menghindari perilaku bermasalah sebagai solusi ?
7. Mengidentifikasi strategi pencegahan untuk mengurangi kerentanan masa depan untuk
rantai masalah ini.
8. Perbaikan konsekuensi signifikan dari masalah rantai atau analisis perilaku apa yang
menyebabkan perilaku bunuh diri.
Analisis perilaku adalah salah satu alat penilaian yang paling penting, sehingga
mengidentifikasi anteseden dan konsekuensi yang menyebabkan masalah serta kerentanan dan
kekuatan yang dapat berkontribusi untuk memecahkan masalah. Tabel 27.1 menggambarkan
prosedur dasar dalam analisis rantai.
Sementara karakteristik berisiko tinggi memberikan informasi tentang risiko jangka
panjang, mereka tidak tepat memprediksi kemungkinan bunuh diri di masa depan atau
parasuicide. Telah diketahui kombinasi dan jumlah karakteristik risiko yang diperlukan untuk
menempatkan seseorang pada risiko tinggi. Sejumlah skala prediksi bunuh diri telah
dikembangkan untuk mengidentifikasi individu yang berisiko. Timbangan ini mengingatkan
praktisi bahwa klien merupakan bagian dari risiko penduduk.
Namun, satu orang atau banyak karakteristik yang berhubungan dengan bunuh diri atau
parasuicide bukan tanpa risiko, mereka juga tidak mengambil risiko dengan cara kekebalan
tubuh apapun. Karakteristik risiko populasi adalah indikator yang berguna dari peningkatan
risiko, umumnya pada beberapa waktu yang tidak ditentukan di masa depan. Mereka tidak
memberikan informasi paling dibutuhkan oleh seorang praktisi tentang kemungkinan bunuh diri
atau parasuicide di beberapa hari ke depan.
Penilaian bunuh diri atau parasuicide dalam waktu dekat atau dekat ditunjukkan dalam
beberapa situasi, termasuk (1) ketika seorang individu memiliki beberapa indikator populasi
beresiko, (2) ketika sejarah perilaku bunuh diri menjadi jelas selama wawancara penilaian, dan
(3) ketika klien mengkomunikasikan niat untuk bunuh diri, baik dalam situasi krisis (misalnya, di
tengah malam melalui telepon) atau selama janji yang dijadwalkan secara rutin.
Sayangnya, seperti dalam menilai risiko jangka panjang, tidak ada faktor yang diketahui
dapat memprediksi risiko dekat. Namun demikian, langsung, tidak langsung, dan indikator
situasional (lihat Tabel 27.2). Indikator-indikator ini mendiskriminasi orang bunuh diri atau
parasuicidal dari mereka yang tidak dan menggambarkan keadaan yang terkait dengan bunuh diri
atau parasuicide dalam beberapa hari ke depan. Ini daftar indikator yang diperoleh secara empiris
awalnya disusun oleh Linehan (1981), tetapi telah diperbarui untuk tujuan ini.
Dalam penilaian dan perencanaan intervensi dengan klien mewujudkan bunuh diri
perilaku, enam daerah topikal harus dibahas oleh dokter.
TABEL 27.2. Faktor-faktor Terkait dengan Risiko Segera Bunuh Diri atau Parasuicide
I. Isyarat Langsung Jika sudah dekat Risiko Bunuh Diri atau Parasuicide
1. Ide bunuh diri
2. Ancaman bunuh diri saat ini atau baru-baru ini
3. Perencanaan bunuh diri saat atau selesai dan / atau persiapan
4. Parasuicide pada tahun lalu, terutama jika niat bunuh diri diungkapkan pada saat
II. Isyarat langsung Risiko sudah dekat untuk Bunuh diri atau Parasuicide
1. Pasien jatuh ke bunuh diri atau parasuicide populasi berisiko
2. Referensi langsung untuk memiliki kematian, pengaturan untuk kematian
3. Gangguan baru atau hilangnya hubungan interpersonal ; perubahan lingkungan
negatif dalam sebulan terakhir
4. Perawatan medis baru-baru ini
5. Keputusasaan saat ini atau kemarahan, atau keduanya; peningkatan gangguan
psikologis
6. Ketidakpedulian atau ketidakpuasan dengan terapi ; elopements dan awal lulus
kembali oleh pasien rawat inap
III. Isyarat Terkait dengan Bunuh Diri dan / atau Parasuicide di Berikutnya Beberapa Jam
1. Suicide catatan tertulis atau dalam proses
2. Metode yang tersedia atau mudah diperoleh
3. Kewaspadaan terhadap penemuan atau intervensi, penipuan atau penyembunyian
tentang waktu, rencana, dll
4. Konsumsi alkohol, berlebihan saat ini; isolasi
5. Depresi berat dengan :
a. Agitasi parah. Kecemasan psikis, serangan panik, merenungkan obsesif berat /
perilaku kompulsif
b. Insomnia global
c. anhedonia parah
d. Konsentrasi berkurang, keragu-raguan
e. Episode saat bersepeda gangguan afektif
6. Isolasi ; 24 jam pertama dari penjara penahanan
7. Media publikasi terbaru tentang bunuh diri
Sumber: Diadaptasi dari M. M. Linehan. 1993a. Pengobatan Kognitif Perilaku Gangguan
Batasan Kepribadian.New York : Guilford Press.
(1) Deskripsi perilaku bunuh diri (termasuk semua ide, perencanaan, ancaman, dan
tindakan parasuicidal) dan informasi tentang frekuensi, durasi, intensitas, dan besarnya ; (2)
sejarah perilaku bunuh diri sebelumnya klien dan anggota keluarga / nya ; (3) sebelumnya dan
konsekuen peristiwa situasional dan perilaku yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, (4)
sebelumnya dan masalah tergesa-gesa dan stressor menimpa klien; (5) deskripsi klien masalah
yang menyebabkan perilaku bunuh diri, dan (6) " Chain " atau analisis perilaku menyakiti diri
terbaru atau perilaku bunuh diri.
Dalam melakukan analisis perilaku, empat langkah berikut, diadaptasi untuk bunuh diri
perilaku dari model analisis wawancara fungsional Pomeranz dan Goldfried (1970), harus
diikuti:
1. Individu, interpersonal, dan faktor lingkungan yang meningkatkan dan menurunkan
risiko. Karakteristik individu, termasuk demografi, kognitif, afektif, dan faktor risiko perilaku.
Karakteristik lingkungan dan interpersonal termasuk sosial
dukungan, model untuk perilaku bunuh diri, dan konsekuensi dari perilaku bunuh diri.
2. Individu dan faktor lingkungan yang relevan dengan intervensi. Aset klien pribadi, seperti
bakat, kemampuan kognitif, intelektual, dan emosional ; keterampilan ; dan nilai-nilai budaya
dan agama. Defisit klien atau rintangan di wilayah yang sama.
Karakteristik dari lingkungan yang dapat membantu atau menghalangi intervensi.
3. Daftar Masalah dengan target jelas ditentukan. Kriteria hasil dan bagaimana kemajuan
akan diukur.
4. Langkah-langkah segera untuk mengurangi risiko perilaku bunuh diri. Daftar strategi
intervensi dengan target masalah dari sebelumnya.
Semua bentuk intervensi tidak efektif dengan klien mati (Mintz 1968). krisis
intervensi strategi garis depan pekerja sosial dengan klien beresiko langsung
perilaku bunuh diri. Metode standar intervensi krisis dijelaskan secara rinci
tempat lain (Butcher dan Maudal 1976; Roberts 1990). Ringkasan direkomendasikan
prosedur disajikan dalam tabel 27.3.

TABEL 27.3. Prosedur Manajemen Krisis
1. Menawarkan dukungan emosional.
2. Memberikan kesempatan untuk katarsis.
3. Berkomunikasi harapan dan optimisme.
4. Jadilah tertarik dan aktif terlibat.
5. Dengarkan selektif, menyaring keluar bahan yang berguna dalam membawa perubahan ;
meninggalkan pertahanan utuh.
6. Memberikan informasi faktual yang diperlukan.
7. Merumuskan masalah situasi, memberikan pernyataan masalah untuk klien.
8. Jadilah empati dan to the point.
9. Memprediksi konsekuensi masa depan berbagai tindakan.
10. Memberikan nasihat dan memberikan saran secara langsung.
11. Tetapkan batas ; menetapkan aturan.
12. Memperjelas dan memperkuat tindakan adaptif dan pemecahan masalah.
13. Hadapi ide atau perilaku klien secara langsung.
14. Mengakhiri sesi jika klien tidak pada titik bekerja pada nya masalah.
15. Tempatkan tuntutan beton atau persyaratan pada klien sebelum kontak berikutnya.
16. Berolahraga eksplisit, kontrak waktu terbatas.
17. Mintalah bantuan orang lain yang signifikan.
Sumber: Butcher dan Maudal 1976.
Setelah pekerja menentukan bahwa klien beresiko segera melalui menilai yang terdaftar
indikator, tindakan harus diambil untuk mencegah perilaku bunuh diri lebih lanjut. pertama, ini
berarti membuat yakin bahwa klien aman secara fisik : Apakah klien memerlukan rawat inap ?
Apakah ada seseorang di lingkungan rumah klien bersedia dan mampu untuk tinggal dengan
klien sampai krisis berlalu ? Apakah orang ini bersedia dan mampu layanan panggilan darurat
untuk bantuan jika klien muncul tidak dapat mempertahankan kontrol ?
Sebuah bias terhadap mempertahankan rasa kontrol diri dan manajemen pribadi klien bila
memungkinkan harus dibuktikan dalam menilai bagaimana menghadapi terbaik dengan krisis.
Keputusan untuk rawat inap klien umumnya dibuat dalam hubungannya dengan dokter atau staf
ruang gawat darurat. Pertanyaan untuk bertanya ketika mempertimbangkan keputusan ini
adalah " Dapatkah saya mencegah bunuh diri sekarang dengan rawat inap ? " Meskipun tidak ada
empiris bukti bahwa rawat inap paksa mencegah bunuh diri dari yang diselesaikan,
rawat inap adalah harapan terakhir bagi keluarga dan praktisi bahwa mungkin ada cara
untuk menyelamatkan hidup pasien. Ada beberapa tingkat perawatan paksa yang terjadi
sebelum pasien dirawat di rumah sakit. Pasien mungkin dibujuk untuk pergi ke seorang praktisi
oleh keluarganya. Hal ini juga terjadi ketika pasien tidak lagi memiliki keinginan untuk menolak
permintaan yang dibuat oleh keluarga dan praktisi untuk obat. Ini tidak berarti dengan cara
apapun bahwa semua parasuicides harus menghasilkan rawat inap, juga tidak menyiratkan
rawat inap yang setara dengan terapi atau obat-obatan. Rawat Inap adalah yang terakhir
terjadi ketika pasien tidak dapat dipertahankan di rumah atau di sebuah komunitas. etis,
seorang praktisi harus mengambil semua langkah, tidak peduli seberapa drastis, untuk
menyelamatkan nyawa pasien.
Meskipun sebagian besar program rawat jalan waktu yang lebih diinginkan untuk pasien,
ada kalanya tekanan dirasakan oleh anggota keluarga yang begitu luar biasa bahwa pasien
kehilangan sistem pendukung nya. Rawat inap singkat dapat memungkinkan pasien dan keluarga
untuk kembali fokus jika rencana rawat jalan sesuai tidak dapat ditemukan (Ivanoff 1997).
beberapa kejiwaan gangguan dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri, seperti depresi
delusi, schizophrenia, gangguan schizoafektif, dan gangguan panik, sebaiknya dirawat di rumah
sakit selama fase akut mereka. Dalam kasus lain, bagaimanapun, konsekuensi negatif dari rumah
sakit, termasuk stigma sosial, hilangnya perasaan kontrol, dan tidak menguntungkan pengobatan
yang diterima dari staf rumah sakit, juga pertimbangan layak berat. itu pertanyaan yang lebih
umum apakah rawat inap akan mencegah perilaku bunuh diri dari terjadi di masa depan tidak
dapat dijawab tegas, tapi rawat inap untuk ini alasan telah menemukan sedikit dukungan positif.
Penggunaan perjanjian, baik lisan dan tertulis, dilaporkan sangat berguna antara individu
bunuh diri dan praktisi. Dalam situasi ini, perjanjian tersebut merujuk hanya untuk perilaku
bunuh diri, bukan perjanjian lainnya untuk layanan bahwa klien membuat dengan pekerja.
Sebelum meninggalkan kantor pekerja sosial, klien diminta untuk setuju untuk tidak untuk bunuh
diri dan, jika merasa dorongan yang kuat untuk melakukannya, untuk menghubungi pekerja atau
penyedia layanan lain yang ditetapkan. Jika laporan klien tidak merasa mampu untuk masuk ke
dalam kontrak ini dengan pekerja, sebuah rumah sakit sukarela singkat dapat dibahas sebagai
metode dimulai dari mendapatkan diri kembali.
Jika upaya bunuh diri telah dibuat atau sedang berlangsung ketika pekerja sosial
diberitahu, mungkin perlu untuk memanggil polisi atau penyelamatan darurat skuad untuk
tindakan segera. Jika pekerja tahu bahwa layanan darurat lokal cenderung menjadi kurang dari
segera responsif, anggota keluarga yang terlibat dan mendukung atau teman dapat dipanggil
untuk pergi ke klien dan tinggal di sana sampai bantuan tiba.
Idealnya, cara terbaik untuk mengelola krisis adalah untuk memprediksi dan
merencanakan untuk itu. Jika klien memiliki mengalami intermittent keinginan bunuh diri yang
intens atau telah bertindak atas keinginan ini dalam masa lalu, hal ini berguna untuk mengakui
bahwa ideation mungkin tidak akan berakhir dengan segera setelah beberapa sesi pertama, yang
mungkin akan berguna untuk melihatnya sebagai " kebiasaan, " dan bahwa klien dan pekerja
bersama-sama akan mengembangkan strategi untuk mengelola itu di masa depan.
Berdasarkan informasi tentang kekuatan kognitif dan sumber daya yang diperoleh dalam
penilaian (misalnya, alasan penting untuk hidup, setiap harapan yang positif untuk masa depan,
dan Pengakuan bahwa bunuh diri bukanlah solusi efektif untuk masalah), rencana untuk
mengatasi disimpan pada " kartu krisis, " kartu nama yang berisi nomor telepon kontak darurat di
satu sisi dan daftar strategi coping untuk membantu mempertahankan kontrol di sisi lain. Dibawa
dalam dompet atau saku setiap saat, kartu tersebut dapat digunakan sebagai self- instruksional
perangkat untuk periode ketika klien takut kehilangan kontrol.
Berdasarkan kognitif - perilaku dan belajar teori, filsafat dialektik, dan Zen, terapi
perilaku dialektis (DBT, Linehan 1993a, 1993b) adalah intervensi pertama untuk perilaku bunuh
diri kronis, dengan diterbitkan dukungan empiris berdasarkan randomized desain eksperimental.
Dikembangkan oleh Linehan dan koleganya di University Washington, DBT awalnya dimulai
sebagai pengobatan untuk kronis bunuh diri perempuan. Seiring waktu, menjadi jelas bahwa
sebagian besar perempuan ini juga memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian borderline
(BPD) dan pengobatan berkembang sesuai. Standar DBT adalah satu tahun pengobatan rawat
jalan yang secara bersamaan menggabungkan mingguan psikoterapi individu dengan kelompok
pelatihan keterampilan yang berjalan dua setengah jam per minggu (Linehan 1993a, 1993b).
Kelompok-kelompok pelatihan keterampilan mengajar koping adaptif keterampilan di bidang
regulasi emosi, toleransi distress, efektivitas interpersonal,
dan kebingungan identitas dan pengurangan kognisi maladaptif, setiap bidang keterampilan ini
alamat salah satu dari empat bidang masalah utama BPD klien. Perlakuan individu membahas
perilaku maladaptif sekaligus memperkuat dan generalisasi keterampilan.
Komponen pengobatan wajar dari DBT termasuk konsultasi telepon, pengawasan tim,
dan kerja kasus dan konsultasi terapis. Strategi pengobatan DBT dibagi menjadi empat set dasar:
(a) strategi dialektis, (b) strategi inti (validasi dan pemecahan masalah), (c) strategi komunikasi
(komunikasi sopan dan timbal balik), dan (d) strategi manajemen kasus (konsultasi kepada
pasien, intervensi lingkungan, supervisi, konsultasi dengan terapis). Strategi-strategi ini dapat
dibagi menjadi mereka yang paling terkait dengan penerimaan dan mereka yang paling terkait
dengan perubahan (lihat tabel 27.4). The DBT praktisi harus menyeimbangkan penggunaan
kedua jenis strategi dalam setiap interaksi pengobatan. Tujuan utama adalah untuk membantu
klien memahami bahwa perilaku dapat membuktikan baik sesuai atau valid dan juga
disfungsional atau membutuhkan perubahan.
TABEL 27.4 Strategi Pengobatan Terapi Perilaku dialektis:
Penerimaan dan Perubahan
Strategi Penerimaan dan Prosedur
1. strategi dialektis
2. strategi validasi
3. strategi hubungan
4. intervensi lingkungan
5. komunikasi timbal balik
Perubahan Strategi dan Prosedur
1. strategi dialektis
2. Strategi pemecahan masalah
3. manajemen kontingensi
4. Peningkatan kemampuan dan keterampilan akuisisi
5. modifikasi kognitif
6. pencahayaan
7. Konsultasi kepada klien
8. komunikasi sopan
Validasi dimulai dengan empati. Pekerja kemudian mulai menganalisis klien respon dalam
hubungan dengan konteks dan fungsinya. Fungsi validasi adalah untuk membuat tidak masuk
akal masuk akal, dan untuk membantu klien belajar bagaimana dan kapan harus percaya sendiri.
Validasi juga dapat berfungsi sebagai penerimaan untuk menyeimbangkan perubahan dan dapat
fungsi untuk memperkuat proses klinis dan hubungan terapeutik. ada tiga jenis validasi : (a)
verbal (komunikasi langsung bahwa pernyataan ini berlaku : misalnya, " Ya. Saya dapat melihat
bahwa Anda benar-benar marah "), (b) fungsional (perilaku respon yang menunjukkan terapis
menerima pernyataan klien sebagai valid : misalnya, " Mari kita lihat apa yang mengganggu
Anda "), dan (c) pemandu sorak (memvalidasi kapasitas, belum tentu keyakinan klien : misalnya,
klien mengatakan " Saya tidak bisa melakukannya, " dan pekerja menjawab, "Saya tahu bahwa
Anda berpikir bahwa Anda tidak dapat melakukannya, tapi aku punya lengkap keyakinan bahwa
Anda benar-benar bisa melakukannya ").
Berdasarkan asumsi dasar bahwa kehidupan klien saat ini tak tertahankan, DBT
menempatkan penekanan besar pada prosedur perubahan.Pemecahan masalah, seperti pelatihan
keterampilan, manajemen kontingensi, modifikasi kognitif, dan eksposur, yang diadopsi
langsung dari literatur kognitif - perilaku. Klien dan pekerja bersama-sama mengidentifikasi
publik dan perilaku bermasalah pribadi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan inisiasi dan
pemeliharaan pola masalah ini. Selanjutnya, ekses perilaku klien dan defisit yang mengganggu
terlibat dalam perilaku tujuan diidentifikasi, serta seperti apa yang harus belajar klien,
pengalaman, dan melakukan untuk melakukan tujuan perilaku.
Perilaku krisis bunuh diri, parasuicide, menyakiti diri, dan mengganggu, intens berpikir
bunuh diri, gambar, dan komunikasi, serta perubahan signifikan dalam keinginan bunuh diri atau
mendesak untuk diri sendiri, selalu dibahas dalam terapi individu segera setelah terjadinya
mereka. Meskipun melukai diri sendiri secara nonsuicidal atau perilaku menyakiti diri lainnya
mungkin tidak tampak sama pentingnya dengan usaha bunuh diri yang sebenarnya untuk terapis,
mereka tidak pernah diabaikan dalam DBT : perilaku ini adalah prediktor yang baik di masa
depan mematikan tindakan dan juga dapat menyebabkan kerusakan besar.
Sebuah analisis perilaku atau rantai, diuraikan sebelumnya dalam tabel 27.1, adalah alat
standar yang digunakan untuk memahami perilaku bermasalah. Menggunakan informasi tentang
acara, respon emosional dan kognitif klien, tindakan nyata yang mendahului perilaku klien, dan
konsekuensi dari perilaku untuk klien dan lingkungan, sebuah analisis rantai memberikan
gambaran saat-demi - saat perilaku bermasalah.
Analisis ini menunjukkan satu atau lebih dari empat strategi perubahan : (a) latihan
keterampilan pengutaraan, ketidakmampuan klien untuk terlibat dalam respon yang lebih adaptif,
(b) strategi manajemen kontingensi, strategi pengutaraan penguatan yang mendukung klien
dengan perilaku bermasalah, (c) prosedur modifikasi kognitif pengutaraan keyakinan yang rusak
dan asumsi yang mempengaruhi pemecahan masalah kemampuan klien, dan (d) paparan berbasis
strategi pengutaraan kecemasan, rasa malu, atau tanggapan emosional lainnya yang mengganggu
adaptif upaya pemecahan masalah klien.
Peran pekerja dalam proses perubahan sering mencakup tiga kegiatan simultan. Yang
pertama adalah untuk memberikan harapan, dengan tidak adanya klien sendiri, bahwa dia atau
masalahnya akhirnya dapat dikelola atau diselesaikan. Sambil memberikan harapan jelas penting
dalam tahap awal pekerjaan, juga umum untuk otomatis, " Apa gunanya ? Aku mungkin juga
menyerah " pikiran untuk kembali sebentar-sebentar sebagai masalah pemecahan menjadi lebih
sulit untuk klien. Praktisi tidak boleh merasa tak nyaman dengan gagasan pinjaman harapan
sendiri kepada klien selama lambat, bertahap proses membangun kembali harapan klien.
Kedua, pekerja harus memodelkan masalah adaptif pemecahan untuk klien melalui
perilaku sendiri pekerja. Ini termasuk mengamankan informasi dan rujukan untuk layanan beton,
menghasilkan alternatif bila diperlukan, akurat mengidentifikasi masalah situasi, dan konsisten
mengevaluasi efektivitas upaya pemecahan masalah.
Akhirnya, respon pekerja terhadap upaya klien harus mendukung dan menggembirakan,
tetapi juga kolektif. Jika klien tetap dalam berusaha memecahkan masalah secara efektif atau
maladaptif, perubahan belum terjadi, juga belum kemungkinan perilaku bunuh diri di masa
depan menurun. Belajar cara baru untuk memecahkan masalah.
Namun, sulit. Setiap langkah menuju pemecahan masalah adaptif harus secara verbal
diidentifikasi atau bahkan menunjukkan untuk klien, karena mereka mungkin tidak mengenali
prestasi tersebut. Kehangatan dalam menanggapi upaya tidak-cukup - kanan, membantu dalam
menyesuaikan mereka, dan dorongan dari upaya di masa depan sering diulang tugas pekerja.
Sebuah asumsi penting yang mendasari DBT adalah bahwa banyak masalah yang dialami
oleh BPD klien disebabkan oleh kombinasi masalah motivasi dan perilaku defisit keterampilan,
yaitu, keterampilan yang diperlukan untuk mengatur menyakitkan mempengaruhi tidak pernah
belajar.
Untuk alasan ini, DBT meningkatkan keterampilan yang membangun untuk memfasilitasi
perubahan perilaku dan penerimaan. Dalam standar DBT, keterampilan diajarkan mingguan
dalam 2,5 jam psychoeducational keterampilan - pelatihan kelompok. Keterampilan ini diuraikan
dan dijelaskan secara rinci (Linehan 1993b). Fungsi kelompok adalah untuk mengajarkan
keterampilan individu perilaku tertentu pola. Kelompok DBT menekankan prosedur peningkatan
ketrampilan melalui pemodelan, instruksi, latihan perilaku, umpan balik dan coaching, dan
pekerjaan rumah.
Keterampilan kelompok latihan kerja bersama-sama dengan terapi individu. Rangsangan
kelompok dan pengobatan individu menciptakan waktu khusus untuk belajar keterampilan yang
sangat dibutuhkan dan konteks yang terpisah untuk aplikasi individual dilatih. Pelatihan
keterampilan kelompok memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pelatihan keterampilan
individu. Anggota kelompok belajar dari masing-masing lain dan dapat berlatih keterampilan
dengan anggota kelompok yang terlibat dalam tugas-tugas yang sama ; keterampilan praktek
dilatih oleh pemimpin kelompok set ekstra mata ahli, dan keanggotaan kelompok sering
berkurang isolasi dan meningkatkan rasa klien dari dipahami.
Keempat DBT modul pelatihan keterampilan langsung menargetkan perilaku, emosional,
dan ketidakstabilan kognitif dan disregulasi BPD : kesadaran, efektivitas interpersonal, regulasi
emosi, dan toleransi distress. Dalam standar DBT, dua yang pertama minggu modul yang
diberikan dihabiskan untuk perhatian dan enam minggu tersisa dihabiskan pada modul tertentu.
Kesadaran merupakan terjemahan psikologis dan perilaku dari keterampilan meditasi
biasanya diajarkan dalam praktek spiritual Timur. Tujuan dari modul ini adalah attentional
kontrol, kesadaran, dan rasa diri sejati. Tiga negara utama : (a) pikiran yang masuk akal (logis,
analitis, negara memecahkan masalah), (b) pikiran emosional (sebaliknya, memungkinkan
kreativitas, gairah, dan drama), dan (c) pikiran bijaksana (integrasi dari kedua wajar dan pikiran
emosi). Pikiran bijaksana memungkinkan respon - satu yang sesuai merespon sesuai kebutuhan,
mengingat situasi.
Toleransi tekanan difokuskan pada kemampuan untuk menerima baik diri sendiri dan
saat ini situasi lingkungan dengan cara nonevaluative.. Menenangkan diri, adaptif, gangguan
aktivitas berorientasi, dan pertimbangan dari pro dan kontra toleransi distress adalah
keterampilan dalam
modul. Mirip dengan standar pemecahan masalah interpersonal and pernyataan, keterampilan
ini mencakup strategi yang efektif untuk meminta apa yang perlu dan mengatakan tidak untuk
permintaan. Efektivitas sini didefinisikan sebagai memperoleh perubahan atau tujuan inginkan,
menjaga hubungan, dan membangun dan memelihara harga diri.
Regulasi emosional didefinisikan sebagai kemampuan untuk (a) meningkatkan atau
menurunkan physiological gairah berhubungan dengan emosi, (b) reorientasi perhatian, (c)
menghambat tindakan ketergantungan mood, (d) emosi pengalaman tanpa meningkat atau
menumpulkan, dan (e) mengatur perilaku dalam pelayanan nonmood tujuan tergantung eksternal.
Regulasi emosi dimulai dengan identifikasi dan pelabelan emosi saat ini. Hal ini terjadi melalui
mengamati dan menggambarkan peristiwa yang emosi cepat dan interpretasi seseorang tentang
peristiwa ini dan melalui memahami respon fisiologis, perilaku ekspresif secara emosional, dan
efek samping dari emosi. Mengurangi kerentanan terhadap reaktivitas emosional juga
ditargetkan.

Kesimpulan
Karena sifatnya sudut pandang orang dalam situasi, pekerjaan sosial cocok baik untuk
merancang intervensi, program, dan kebijakan untuk bekerja dengan masalah bunuh diri dan
perilaku bunuh diri nonfatal. Kesamaan antara individu bunuh diri dan klien multiproblem
terlihat pada lembaga pelayanan sosial ditandai. Meskipun ada memiliki belum ada penelitian
profesional yang bekerja secara khusus dengan klien bunuh diri, pekerjaan sosial tampaknya
memegang peran yang cukup besar dalam penyediaan layanan. Mengingat peran ini, pekerjaan
sosial juga harus mengambil peran aktif dalam pengembangan metode intervensi dan model.
Sampai saat ini, pekerjaan sosial telah memberikan kontribusi sedikit literatur yang dapat
membantu untuk menginformasikan pencegahan atau intervensi. Dengan pengecualian, sebagian
besar pekerjaan sosial Literatur mendatang pada perilaku bunuh diri adalah reaktif, memeriksa
hilangnya klien untuk bunuh diri lebih dari efektivitas program intervensi. Ada potensi signifikan
untuk kerja sosial untuk berkontribusi pada pengembangan dan pengujian model pengobatan
yang efektif untuk mengobati perilaku bunuh diri.
Sementara pengembangan program pencegahan primer berbasis luas yang berfokus pada
pendidikan tentang bunuh diri tidak muncul untuk menahan jawaban (Shaffer et al.1988),
informasi yang tersedia pada faktor-faktor risiko dapat memberikan populasi dan masalah target
untuk merancang intervensi. Meskipun bunuh diri tidak dapat diprediksi secara caseby - kasus,
bukti dikutip dalam esai ini menunjukkan bahwa model intervensi dapat dikembangkan. Tugas
ini melibatkan deskripsi secara sistematis, aplikasi, dan evaluasi komponen intervensi tertentu.
Pekerjaan ini harus terjadi melalui praktisi individu melaporkan hasil intervensi mereka kepada
orang lain. Hal itu merupakan fokus ganda pada bunuh diri dan perilaku bunuh diri nonfatal
diperlukan baik untuk mengurangi penderitaan individu dan keluarga mereka dan untuk
meningkatkan penggunaan sumber daya perawatan kesehatan yang mahal.

Anda mungkin juga menyukai