Anda di halaman 1dari 14

MATERI UTAMA

ANALISIS SEMENTARA PENYEBAB KECELAKAAN


PESAWAT MA-60 MERPATI DI KAIMANA
BERDASARKAN DATA LAPORAN AWAL KNKT
oleh R. Baskara H. pada 24 Mei 2011 jam 15:00
Pesawat MA-60 Merpati Nusantara yang jatuh di Kaimana, Papua Barat, Sabtu 7 Mei 2011
Akhir-akhir ini kita sering melihat tayangan di media elektronik dan cetak seputar jatuhnya
pesawat Merpati MA-60 di Kaimana, Papua Barat, Sabtu 7 Mei 2011 silam. Beragam analisis
dan pendapat baik yang mendasar maupun tidak, dikemukakan oleh berbagai kalangan dan
justru mendapat dukungan pers yang sayangnya kurang memahami secara komprehensif
mengenai aspek teknis pesawat terbang dan penerbangan pada umumnya sehingga justru
menambah kisruhnya persoalan ini secara tidak proporsional dan membuat gemas insan
penerbangan dan pakar, membingungkan politisi dan masyarakat pada umumnya yang
berdampak pada penerbangan itu sendiri.

Tulisan singkat ini dibuat lebih pada tujuan yang mudah-mudahan bisa membantu menepis
berbagai praduga yang tidak mendasar atas jatuhnya pesawat Merpati MA-60 berdasarkan
Laporan Awal Hasil Temuan Investigasi Komonite Nasional Keselamatan Transportasi
(KNKT) secara lebih proporsional, khususnya dapat memberikan wawasan bagi mahasiswa
dan peminat lainnya di bidang penerbangan, serta masyarakat pada umumnya sehingga di
masa depan dapat lebih arif dan bijaksana dalam berpendapat dan lebih bersabar menunggu
hasil temuan investigasi KNKT.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan rasa berduka cita yang sedalam-
dalamnya kepada para awak dan penumpang pesawat yang menjadi korban, semoga
mendapat tempat disisiNya. Begitu pula kepada para keluarga korban penulis berdoa semoga
diberi ketabahan.

Laporan Awal Hasil Investigasi KNKT
Berdasarkan Laporan Awal Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sebagai
hasil investigasi atas hasil pembacaan terhadap Kotak Hitam Pesawat (Black-Box) yang
terdiri atas FDR (Flight Data Recorder) dan CVR (Cockpit Voice Recorder), ditemukan data
awal bahwa tak ditemukan kelainan fungsi sistem pesawat. "Pada investigasi FDR dan CVR
tidak terdeteksi adanya kelainan fungsi-fungsi sistem pesawat udara," kata Kepala KNKT
Tatang Kurniadi dalam rekomendasi segera KNKT dalam siaran persnya Kamis, 19 Mei
2011 di Jakarta.

Dalam kegiatan investigasi tersebut, FDR pesawat dibaca oleh investigator KNKT dengan
difasilitasi oleh produsen FDR di China. Dari data yang terekam pada FDR tersebut
diharapkan dapat diperoleh data mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan paramater
pesawat saat mengalami kecelakaan seperti kecepatan pesawat, arah, posisi, ketinggian, daya
mesin, percepatan/perlambatan, dan sebagainya.

Sedangkan pembacaan terhadap CVR buatan Honeywell AS, telah dilakukan di laboratorium
KNKT di Jakarta. Dari CVR diperoleh rekaman pembicaraan berdurasi 2 jam dengan suara
yang terekam baik. Hasil rekaman suara oleh CVR (Cockpit Voice Recorder) itu ternyata
tidak ditemukan kepanikan atau kegaduhan di Kokpit pesawat. Keterangan yang diumumkan
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) ini menyatakan bahwa Pilot maupun
Ko-Pilot tetap dalam kondisi biasa ketika pesawat MA-60 jatuh ke laut. Dari data FDR
(Flight Dara Recorder) pada saat kecelakaan, Pilot dan Ko-Pilot juga tidak terlihat berusaha
mendaratkan pesawat di atas air (Ditching).

Temuan lain yang diperoleh KNKT adalah bahwa fasilitas atau perlengkapan Bandar Udara
terutama lampu landasan yang disediakan oleh salah satu operator penerbangan dan
digunakan khusus untuk operator tersebut kurang memadai. Lampu landasan sebagai bagian
dari Sistem Navigasi Pendaratan Pesawat ini dapat membantu Pilot untuk melihat landasan
dalam kondisi jarak pandang yang minimum.

Atas temuan-temuan itu KNKT membuat rekomendasi segera yang dikeluarkan 18 Mei 2011
dan dipublikasikan Kamis, 19 Mei 2011. KNKT memberikan rekomendasi kepada 3 pihak,
yakni Merpati Nusantara Airlines, Dirjen Perhubungan Udara, dan Dirjen Perhubungan
Udara cq. Direktorat Bandar Udara. Kepada Merpati, KNKT merekomendasikan agar
maskapai tersebut menjamin pelaksanaan penerbangan visual (terbang secara visual) untuk
dilaksanakan sesuai ketentuan Visual Flight Rules (VFR). Selain itu Merpati agar
melaksanakan pelatihan terhadap kru MA-60 di Flight Simulator dengan penekanan materi
pada Manajemen Sumberdaya Awak Pesawat/CRM (Crew Resource Management),
khususnya dalam menghadapi cuaca buruk.

Sedangkan kepada Dirjen Perhubungan Udara, KNKT merekomendasikan untuk memonitor
pelaksanaan rekomendasi kepada Merpati agar dilaksanakan dengan seksama oleh jajaran PT.
Merpati Nusantara Airlines. Untuk Dirjen Perhubungan Udara cq. Direktorat Bandar Udara,
direkomendasikan agar me-review ketentuan penggunaan fasilitas/perlengkapan Bandar
Udara, terutama lampu landasan agar dapat meningkatkan keselamatan operasi penerbangan.

Peta Situasi dan Lokasi Jatuhnya Pesawat MA-60 Merpati di Teluk Simora, Kaimana, Papua
Barat.

Analisis terhadap Parameter Pesawat dan Fakta lainnya
1. Kronologi dan Kondisi Cuaca
Kronologi kecelakaan pesawat dari saat tinggal landas dari Sorong hingga sesaat sebelum
kecelakaan di Kaimana yang diperoleh dari berbagai sumber dan kondisi cuaca saat itu,
adalah sebagai berikut:

Pukul 12.05 WIT pesawat Merpati MA-60 Nomor Penerbangan MZ-8968 mendarat di
Bandara Eduard Osok, Sorong, pukul 12.05 WIT. Pesawat berkapasitas 56 penumpang
tersebut diisi 25 penumpang yang terdiri atas 18 orang dewasa (termasuk dua teknisi),
seorang anak, dan dua bayi. Adapun jumlah kru pesawat empat orang, terdiri atas Pilot, Ko-
Pilot, dan dua Pramugari.

Pukul 12.40 WIT pesawat itu kemudian tinggal landas untuk melakasanakan penerbangan
berikutnya menuju Bandara Utarom, Kaimana. Pesawat diperkirakan akan mendarat di
Kaimana pukul 14.10 WIT. Sekitar 20 menit sebelum pesawat tersebut sampai di tujuan,
beberapa pesawat dari maskapai lain sudah ada yang mendarat dalam kondisi guyuran hujan
(rain shower).

Pada pukul 13.46 WIT, pada saat pesawat melakukan Approach terhadap Bandara Utarom
Kaimana, cuaca di Kaimana dilaporkan sedikit berangin, jarak pandang (visibility) 2.000
meter, hujan (rain shower), dan ketinggian awan 330 meter (cloud ceiling 1000ft above
ground). Karena jarak pandang begitu pendek (seharusnya minimal 5.000 meter), pesawat
melakukan putaran (holding) di ketinggian 5.000 kaki, di Runway 01 Banda Udara Utarom,
Kaimana.

Pukul 14.05 WIT pada saat pesawat sedang melakukan pendekatan (approach) terhadap
Bandara Utarom di Kaimana dalam kondisi cuaca buruk, tiba-tiba pesawat jatuh dari
ketinggian 5.000 kaki dan masuk ke laut di Teluk Simora, Kaimana pada jarak 500 meter dari
Landasan Pacu (Runway) 01 Bandara Utarom, Kaimana. Seluruh penumpang yang ada dalam
pesawat tewas, telah dievakuasi, dan diidentifikasi.

2. Performa Pesawat MA-60
Menganalis dari sisi teknis dan performa pesawat terbang jenis Xian MA-60 maka tidak
dapat diragukan bahwa pesawat ini sudah teruji dan memiliki teknologi yang canggih. MA-
60 merupakan pengembangan dari pesawat Xian Y-7 yang merupakan imitasi dari pesawat
Antonov 24 buatan Rusia dan sekelas dengan ATR-72 buatan Perancis.

Pesawat ini ditenagai oleh 2 buah mesin Turboprop Pratt & Whitney Canada, masing-masing
PW127J, 2.051 kW yang juga biasa dipakai oleh Boeing dan pesawat-pesawat lain di seluruh
dunia (lihat tulisan saya mengenai Spesifikasi dan Insiden Kecelakaan Pesawat Terbang
MA-60 di Seluruh Dunia yang diposting Selasa 10 Mei 2011). Baling-balingnya
menggunakan baling-baling lengkung yang merupakan teknologi mutakhir dari Hartzell,
vendor spesialis baling-baling terkenal asal Amerika Serikat.

Instrumen Sistem Navigasi Penerbangan yang terdapat di Kokpitnya sudah berbasis komputer
(fully computerized), juga sistem komunikasinya menggunakan teknologi buatan Rockwell
Collins Amerika Serikat. Walaupun pesawat dilengkapi dengan (Instrumen Landing System
ILS), yaitu perangkat navigasi pendaratan otomatis yang terkomputerisasi, namun Bandara
Kaimana tidak menunjang perangkat itu, sehingga pendaratan tetap dilakukan secara visual
dengan panduan dari petugas Menara Pengatur Lalulintas Udara (ATC, Air Traffic
Controller) melalui komunikasi radio AM di Band VHF (Very Hight Frequency).

Berdasarkan data-data itu dan data-data kecelakaan yang pernah dialami oleh MA-60 yang
terjadi sebelumnya di seluruh dunia, juga sama sekali tidak ditemukan penyebabnya ada pada
masalah teknis dan performa pesawat. Ini artinya pada saat mengalami kecelakaan, pesawat
dalam kondisi prima dan dalam kondisi perawatan yang baik. Jadi dari sisi teknis dan
performa pesawat MA-60 pada insiden kecelakaan Pesawat Mepati MA-60 di Kaimana dapat
dikatakan tidak ada masalah. Hal ini sesuai dengan temuan KNKT: "Pada investigasi FDR
dan CVR tidak terdeteksi adanya kelainan fungsi-fungsi sistem pada pesawat udara" seperti
dinyatakan oleh Ketua KNKT Tatang Kurniadi dalam siaran persnya Kamis, 19 Mei 2011 di
Jakarta.

Proses Evakuasi Korban dan Pesawat MA-60 Merpati di Teluk Simora, Kaimana, Papua
Barat.
3. Kualifikasi Pilot
Kapten Pilot (Pilot in-command) Purwadi Wahyu yang mengawaki pesawat MA-60 Merpati
yang mengalami kecelakaan di Kaimana itu, adalah salah satu pilot senior dan handal di
Merpati dengan mengantongi lebih dari 25.000 jam terbang. Sejak lulus dari LPPU Curug
Tangerang pada tahun 1977, Purwadi Wahyu bergabung dengan Merpati, menerbangkan
pesawat DHC-6 Twin Otter lebih dari 10 tahun, dengan wilayah terbang meliputi Indonesia
Tengah, Indonesia Timur, Nusa Tenggara. Kapten Purwadi Wahyu juga pernah menjabat
sebagai Chief Pilot Twin Otter Wilayah Bali Nusa Tenggara, menerbangkan Fokker F-27,
Pesawat Jet Fokker F-28 saat integrasi dengan Garuda Indonesia dan bertugas sebagai Route
Instructor, Jet Fokker F-100.

Almarhum Kapten Purwadi Wahyu juga pernah bertugas di Cosmic Air, Nepal, selama 2
tahun dengan wilayah penerbangan meliputi Nepal, India, Bangladesh, suatu area
penerbangan yang sudah dikenal oleh para pilot di seluruh dunia sebagai area yang
menakutkan dengan gunung-gunung tinggi dan cuacanya yang terkenal ekstrem. Mungkin
karena ingin mendedikasikan dirinya untuk perkembangan wilayah di Indonesia Timur,
menjelang pensiun Kapten Purwadi Wahyu memilih terbang dengan Pesawat MA-60
menerbangi route penerbangan di wilayah Kabupaten-kabupaten di Indonesia Bagian Tengah
dan Timur.

4. Fasilitas Bandar Udara
Seperti kita ketahui bahwa bentang alam di daerah Papua sangatlah berbukit-bukit dengan
gunung yang tinggi dan hutan yang masih perawan. Karena itu curah hujan di wilayah itu
memang cenderung lebih tinggi dibanding daerah lain dan mengakibatkan cuaca yang sering
berubah-ubah setiap waktu. Dalam kondisi geografis seperti itu salah satu faktor yang sangat
menunjang keselamatan/suksesnya misi penerbangan disamping performa pesawat dan
pilotnya itu sendiri, adalah fasilitas bandar udara/bandara.

Fasilitas-fasilitas tersebut, antara lain, alat bantu navigasi berupa VOR/ NDB, alat bantu
pendaratan berupa ILS (Instrument Landing System/Precision Approach), Instrument
Approach Procedure (VOR or NDB Non Precision Approach), Approach Light, PAPI/ Vasi
Light, Runway/Taxy Light, Center Line Guidance, dan lain sebagainya. Sedangkan dari data
yang diperoleh, kita tahu bahwa Bandar Udara Utarom Kaimana, juga umumnya bandara di
Papua (kecuali Bandara Sentani Jayapura, Bandara Moses Kilangin Timika, Bandara Frans
Kaisiepo Biak, dan Bandara Mopah Merauke), tidak memiliki fasilitas sebagaimana
diharapkan seperti di atas. Jadi mendarat di Bandara Utarom Kaimana penerbang hanya bisa
mengandalkan Visual Approach, tidak bisa secara Instrumental yang dapat memandu pesawat
melakukan Stabilized Approach dan mendarat secara lebih presisi dan aman.

Alangkah sulitnya seorang penerbang dengan tipe pesawat sekelas MA-60 atau Fokker F-27
atau CN-235 jika harus terbang dan mendarat di daerah yang tanpa fasilitas pendukung yang
memadai, mengingat untuk pesawat sekelas itu dalam bermanuver tidak selincah pesawat-
pesawat yang kelasnya lebih kecil. Hanya beberapa Bandara Udara besar di Papua yang
memiliki fasilitas tersebut. Itupun bukan kelas untuk Precision Approach, belum lagi jika
ditambah cuaca buruk Windshear yang dapat menghempaskan pesawat walau sekelas
Boeing-737 sekalipun.

Interpretasi Penulis dan Pembahasan
Kecelakaan sebuah pesawat terbang tidak pernah disebabkan oleh faktor determinatif
tunggal, melainkan perpaduan di antara faktor-faktor: (1) Teknis Pesawat, termasuk
perawatan, (2) Cuaca, (3) Fasilitas Bandara dan pendukungnya, (4) Human, dan lain-lain.

Dari analisis terhadap beberapa fakta dan parameter seperti telah diuraikan di atas, kita tahu
bahwa kecelakaan pesawat di duga disebabkan oleh gabungan antara faktor Cuaca, Fasilitas
Bandara dan Pendukungnya, dan faktor Human sebagai akibat dari kedua faktor sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan temuan-temuan dan rekomendari dari KNKT mengenai Falisitas
Bandara dan Pendukungnya dan juga mengenai pembenahan CRM (Crew Resouce
Manajement).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, kita tahu bahwa pada saat pesawat hendak melakukan
pendekatan (approach) terhadap Bandara Utarom Kaimana dan hendak mendarat, kondisi
cuaca saat itu dilaporkan: sedikit berangin, jarak pandang (visibility) 2.000 meter, hujan (rain
shower), dan ketinggian awan 330 meter (cloud ceiling 1000ft above ground).

Di lain pihak, walaupun pesawat MA-60 dilengkapi Instrumen Landing System (ILS), yaitu
perangkat navigasi pendaratan otomatis yang terkomputerisasi, namun Bandara Utarom
Kaimana tidak menunjang perangkat itu, sehingga pendaratan hanya bisa dilakukan secara
visual dengan mengandalkan panduan dari petugas Menara Pengatur Lalulintas Udara (ATC,
Air Traffic Controller) melalui komunikasi radio AM di Band VHF (Very Hight Frequency).

Dengan kondisi cuaca dan fasilitas bandara seperti itu, maka proses pendekatan dan
pendaratan hanya bisa dilakukan secara visual (Visual Approach). Namun secara visual-pun
sebenarnya tidak memenuhi syarat karena syarat utamanya menurut VFR Rules adalah bahwa
jarak pandang (veasibility) tidak terpenuhi, yaitu hanya 2.000 meter dari yang seharusnya
yaitu minimum 5.000 meter (lihat juga artikel saya tentang Aturan Menerbangkan Pesawat
Terbang Secara Visual (Visual Flight Rules) yang diposting pada 6 Desember 2010). Jadi
sangat beralasan jika saat itu penerbang memutuskan untuk berputar (holding) dahulu dua
kali sambil menunggu kondisi cuaca membaik dengan harapan dapat melihat landasan
dengan jelas.

Masalah lain yang menjadi rintangan (obstacle) yang ada saat melakukan Visual-Approach di
Runway 01 Bandara Utarom Kaimana itu, adalah adanya rintangan alam di sebelah Utara dan
Timur bandara berupa perbukitan dengan ketinggian 400 hingga 600 meter di atas permukaan
laut, sehingga satu-satunya cara yang memaksa setiap penerbangan harus selalu bermanuver
dan berputar 180 derajat (Escape Path) ke arah kiri, yaitu ke arah laut di Teluk Simora,
Kaimana (lihat Kontur Topografi Peta 3D Google Earth Premium pada Peta Situasi dan
Lokasi Jatuhnya Pesawat di atas).

Pada kondisi cuaca normal, manuver seperti itu mudah dan biasa dilakukan oleh para
penerbang yang hendak mendarat di Bandara Utarom, Kaimana. Namun dalam kondisi
Pendekatan Visual (Visual Approach) di tengah cuaca buruk seperti digambarkan di atas,
menjadi sulit dan tidak tertutup kemungkinan terjadinya apa yang disebut dengan Spatial
Disorientation.

Spatial Orientation atau Orientasi Ruang adalah orientasi penerbang dalam mengenali ruang
angkasa dan posisi pesawat di ruang angkasa, terutama posisinya terhadap horizon, yaitu
bidang datar yang menggambarkan batas langit dan daratan atau lautan. Spatial
Disorientation adalah keadaan sebaliknya, yaitu dimana penerbang mengalami kesalahan
dalam memahami posisi pesawat terhadap horizon karena saat itu warna langit gelap dan sulit
dibedakan dengan warna laut sehingga mereka tidak menyadari jika pesawat miring dan
tercebur ke laut yang dikiranya langit gelap kelabu. Hal ini terbukti dari temuan KNKT atas
hasil rekaman suara pada CVR (Cockpit Voice Recorder) yang ternyata tidak ditemukan
adanya kepanikan atau kegaduhan di Kokpit pesawat sesaat sebelum pesawat jatuh ke laut.
Ini artinya penerbang sama sekali tidak menyadari bahwa pada saat bermanuver pesawat
berbelok tajam ke kiri mengarah ke laut dan akhirnya tercebur dengan sayap kiri
menghempas ke laut terlebih dahulu. Oleh karena kedalaman laut hanya 8 meter, maka
sebagian besar tubuh pesawat hancur.

Sebagian serpihan Pesawat MA-60 Merpati yang dievakuasi dari Teluk Simora, Kaimana,
Papua Barat.
Fakta lain yang mendukung peristiwa ini adalah saat pesawat akan mendarat biasanya sudut
pendaratan saat roda pesawat menyentuh landasan (touch-down) ialah 3 derajat. Jika
ketinggian pesawat saat itu ada pada jarak 500 meter dari landasan pacu, maka pesawat
berada pada ketinggian kurang lebih 50 meter di atas permukaan laut, sehingga disorientasi
selama 10 detik saja akan berakibat sangat fatal. Seandainyapun penerbang menyadari hal ini,
maka tidak cukup waktu untuk memulihkan kondisi terbang pesawat (recovery) ke kondisi
normal yang dikehendaki.

Sayangnya hingga saat ini kita belum menemukan teknologi yang bisa merekam apa yang
ada dalam pikiran penerbang di saat-saat seperti itu, sehingga kita tidak mengetahui apakah
penerbang pada saat berputar (holding) yang kedua kalinya itu akan menunggu kondisi cuaca
membaik dan lalu memaksakan mendarat, ataukah akan melakukan prosedur terbang Go
Around. Dalam kondisi seperti itu memang idealnya penerbang membatalkan pendaratan
pesawat dan melakukan prosedur terbang kembali (Go-around) menuju bandara terdekat
(Divert) atau kembali ke bandara asal (RTB, Return to Base) yang memungkinkan untuk
melakukan pendaratan secara aman, karena sesuai ketentuan CASR (Civil Aviation Safety
Rules) setiap pesawat dimungkinkan untuk melakukan hal seperti itu karena dibekali bahan
bakar yang cukup untuk melakukan prosedur terbang seperti itu.

Penutup
Itulah fakta peristiwa kecelakaan pesawat MA-60 Merpati berdasarkan hasil analisis penulis
terhadap beragam sumber dan data-data temuan awal KNKT dalam Laporan Awalnya.
Namun demikian ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa pesawat hendak melakukan
pendaratan darurat di laut (Ditcing) yang tidak mendasar, karena sama sekali tidak ada fakta
bahwa hasil percakapan penerbang mengarah ke tindakan seperti itu. Lalu fakta lain juga
menunjukkan bahwa penumpang tidak dalam kondisi menggunakan pelampung, konfigurasi
pesawat yang terekam pada FDR tidak dalam konfigurasi mendarat darurat di laut, hal ini
terbukti bahwa roda pendarat (landing gear) masih dalam kondisi turun dan belum diangkat
atau belum dimasukkan ke badan pesawat (Landing Gear Bay), padahal syarat dalam
pendaratan darurat di laut atau perairan adalah roda pedaratan harus diangkat dan dimasukkan
ke dalam Landing Gear Bay agar pendaratan darurat di laut atau air itu berjalan mulus.

Ada juga pendapat yang menyatakan mengapa kalau tidak bisa dilakukan pendaratan visual
tidak menggunakan GPS? Cara ini biasa dilakukan oleh penerbang-penerbang senior dan
sedikit ngoboi disaat akan mencoba masuk dengan kondisi cuaca dibawah kondisi terbang
visual minimum (VFR Minimum), yaitu minimum jarak pandang 5 km, ialah menggunakan
GPS (Global Posotioning System). GPS tentu saja bisa memberikan panduan navigasi
setingkat VOR/DME Approach, namun membutuhkan GPS yang sudah dikalibrasi dengan
baik (approved) untuk digunakan di wilayah tersebut dalam Approach dan harus disertai
dengan penggunaan GPS Approach Procedure yang sudah resmi, bukan rekayasa sendiri atau
menggunakan Waypoint untuk Guidance only.

Pendapat-pendapat itu dan juga-juga pendapat-pendapat lainnya di berbagai media massa
sah-sah saja selama didukung oleh fakta dan teori yang memadai. Oleh karena itu marilah
kita bersabar untuk menahan diri dalam membuat kesimpulan akhir hingga Laporan Akhir
(Final Report) KNKT di siarkan secara resmi di waktu mendatang.

Semoga bermanfaat. Salam penerbangan, jayalah penerbangan Indonesia..

R. Baskara H. adalah Pengajar, Pemerhati, Praktisi Penerbangan, dan Anggota Persatuan Ahli
Navigasi Penerbangan Indonesia (PANPI).


http://www.facebook.com/note.php?note_id=226503537360358

SPESIFIKASI DAN INSIDEN KECELAKAAN
PESAWAT TERBANG MA-60 DI SELURUH DUNIA
by R. Baskara H. on Tuesday, 10 May 2011 at 06:00
Xian MA-60 (60, Xnzhu 60, "Modern Ark 60") adalah pesawat penumpang bermesin
Turboprop yang dibuat oleh perusahaan China Xi'an Aircraft Industrial Corporation di bawah
China Aviation Industry Corporation I (AVIC I). MA-60 adalah versi pengembangan dari
Xian Y7-200A. Pesawat ini menerima sertifikasi kelaikan dari Badan Administrasi
Penerbangan Sipil China pada bulan Juni 2000 dan Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara
Kementerian Perhubungan RI awal tahun 2011. Pesawat pertama dikirim ke Sichuan Airlines
bulan Agustus 2000. Pada Oktober 2006, XAC telah menerina lebih dari 90 pesanan MA-60.
Perusahaan telah mengirim 23 MA-60 pada akhir tahun 2006, dan diperkirakan mengirimkan
tambahan 165 unit pada akhir tahun 2016.

MA-60 Merpati Nusantara PK-MZA adalah satu dari dua jenis MA-60 yang masih melayani
rute penerbangan Denpasar-Labuhan Bajo, NTT. Sedangkan PK-MZK yang melayani rute
penerbangan Jayapura-Nabire-Sorong-Kaimana, Papua, jatuh di Kaimana 7 Mei 2011 lalu.

Spesifikasi
Karakteristik umum
Kru: 2
Kapasitas: 60 penumpang
Panjang: 24.71 m
Lebar sayap: 29.20 m
Tinggi: 8.86 m
Luas sayap: 75.0 m
Bobot kosong: 13.700 kg
Bobot maksimum lepas landas: 21.800 kg
Mesin: 2 Turboprop Pratt & Whitney Canada, masing-masing PW127J 2.051 kW.
Kinerja
Laju maksimum: 514 km/h (278 knots, 319 mph)
Laju jelajah: 430 km/h (232 knots, 267 mph) (econ cruise speed)
Jarak jangkau: 1.600 km
Batas tertinggi servis: 7.620 m
Negara Pengguna, Operator MA-60
1. Bolivia: TAM - Transporte Areo Militar - 2 dalam layanan
2. Ekuador: Angkatan Udara Ekuador sedang bernegosiasi untuk 4 MA-60 (Agustus
2009).
3. Indonesia: Merpati Nusantara Airlines - 2 dalam layanan, 13 pesanan
4. Laos: Laos Airlines - 4 dalam layanan
5. Myanmar: Myanmar Airways - 3 dalam layanan
6. Nepal: Nepal Airlines - 2 pesanan
7. China:
Civil Aviation Flight University of China
China United Airlines - 1 dalam layanan, 1 disimpan
Okay Airways - 2 dalam layanan, 8 pesanan
Joy Air (Xingfu Airlines) - 5 dalam layanan, 45 pesanan
Sichuan Airlines - 2 disimpan
Wuhan Airlines - 3 disimpan
Ying An Airlines - 1 dalam layanan
8. Filipina: Zest Airways - 4 dalam layanan, 1 rusak parah akibat kecelakaan, 6 tambahan
MA60 dipesan pada 30 Mei 2009)
9. Republik Kongo: Air Congo Internationall - 3 dalam layanan
10. Sri Lanka:
Angkatan Udara Sri Lanka - 4 MA60 dipesan (Maret 2010)
Mihin Lanka - 2 MA60 dipesan (March 2010)
11. Zambia: Angkatan Udara Zambia - 2 dalam layanan
12. Zimbabwe: Air Zimbabwe - 2 dalam layanan, 1 kecelakaan pada 3 November 2009.

Insiden dan Kecelakaan
1. Pada 11 Januari 2009, Zest Airways Nomor Penerbangan 865, Xian MA60 dengan 22
penumpang dan 33 awak, mengalami undershot di landasan pacu 06 ketika mendarat di
Bandar Udara Godofredo P. Ramos, membelok tajam ke kiri saat menyentuh landasan pacu
setelah benturan sebelumnya dan menabrak tembok beton dan merusak hidung pesawat. Roda
pendarat dan baling-baling pesawat mengalami kerusakan parah. Tiga orang terluka. Tidak
ada korban jiwa.
2. Pada 25 Juni 2009, Zest Airways Penerbangan 863, Xian MA-60 dengan 54
penumpang dan lima awak pesawat, mengalami overshot saat mendarat di Bandar Udara
Godofredo P. Ramos. Tidak ada korban luka.
3. Pada 3 November 2009, Xian MA60 UM-239 milik Air Zimbabwe menabrak lima
babi hutan saat lepas landas dari Bandar Udara Internasional Harare. Proses lepas landas
berhasil dihentikan namun bagian lambung bawah rusak, menyebabkan kerusakan serius
pada pesawat.
4. Terakhir pada 7 Mei 2011, Xian MA-60 milik Merpati Nusantara Airlines jatuh ke laut
di Teluk Kaimana 500 meter dari Bandara saat akan mendarat di Bandar Udara Utarom,
Kaimana, Papua Barat.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=222635421080503
Besar Kecil Normal

Bagikan

0
Materi pendukung
Kecelakaan Pesawat di Indonesia Tertinggi di Asia
Senin, 17 Juli 2006 | 03:37 WIB
TEMPO I nteraktif, Jakarta: Frekwensi kecelakaan pesawat terbang niaga komersial
Indonesia tertinggi di Asia atau rata-rata sembilan kali per tahun. Sedangkan di negara Asia
lain hanya 3-4 kali setahun. Kecelakaan yang dimaksud adalah kecelakaan yang
menimbulkan korban jiwa, luka-luka, dan fisik pesawat rusak serius.

Kepala Subdirektorat Perawatan Pesawat Departemen Perhubungan, Yurlis Hasibuan, angka
itu merupakan kesimpulan penelitian lembaga penerbangan sipil Internasional. "Di Eropa dan
Amerika, rata-rata kecelakaan 1-2 kali per tahun," kata dia di Jakarta pekan lalu.

Secara keseluruhan, kata Yurlis, rasio kecelakaan pesawat skala berat sampai ringan di
Indonesia mencapai 21 kali per tahun dari total frekwensi keberangkatan pesawat 323.400
kali. Kesimpulan Asosiasi Maskapai Sipil International (IATA) juga tidak jauh berbeda.

IATA menyimpulkan tingkat keamanan penerbangan di Indonesia rendah sebesar 1,3, jauh
dari standar ideal 0,35. Standar penerbangan di Cina sangat baik mencapai 0,0. Negara di
Eropa 0,3, Amerika 0,2, Timur Tengah 3,8, Amerika latin 2,6. "Semakin besar angkanya,
semakin jelek standar keamanannya," kata Yurlis.

Anton Aprianto
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/07/17/brk,20060717-80222,id.html
Materi pendukung
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/7526/Merpati-Rugi-US-15-juta
JAKARTA (IFT) - PT Merpati Nusantara Airlines menderita kerugian sebesar US$ 15 juta akibat
jatuhnya pesawat berjenis MA-60 di Kaimana, Papua pada Sabtu pekan lalu. Kerugian tersebut
dihitung berdasarkan harga pesawat sebesar US$ 11,2 juta dan biaya operasional lainnya.
Materi pendukung
9 Agustus 1995
Pesawat HS 748 PK-KHL milik Bouraq Airlines menabrak gunung Kumawa, Kaimana, Irian
Jaya. 7 awak dan 3 penumpang tewas.

Anda mungkin juga menyukai