ANAK (DDST) DENGAN KELAINAN KONGENITAL SISTEM MUSKULOSKELETAL POLIDACTILI, SYNDACTILI DAN CTEV (GENUVALGUM DAN GENUVARUS)
Disusun oleh : Kelompok 3 Rafika Fransiska 131311123004 Rini Wahyuni Mohamad 131311123011 Yosina Martha I. T 131311123021 Achmad Luky Amanda 131311123035 Maria Nining Kehi 131311123060 Enggar Ratna Kusuma 131311123072 Happy Restu Widayati 131311123080 Rifantika Puspitasari 131311123068
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014
ii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul Asuhan Keperawatan Muskuloskeletal dan Tumbuh Kembang Anak (DDST) dengan Kelainan Kongenital Sistem Muskuloskeletal Polidactili, Syndactili, dan CTEV (Genuvalgum dan Genuvarus), tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan tugas pembelajaran dari pendidikan mata kuliah Sistem Muskuloskeletal. Dalam penulisan makalah ini penulis telah mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik dalam hal materi maupun moril sehingga pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Bapak Deni Yasmara, M.Kep, .Sp.Kep.MB selaku PJMA Keperawatan Muskuloskeletal, 2. Ibu Ilya Krisnana, S.Kep, Ns, M.Kep sebagai fasilitator dan pembimbing 3. Teman-teman angkatan B16 yang telah memberikan motivasi dalam penyusunan asuhan keperawatan ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini untuk menjadi lebih baik lagi. Demikianlah makalah ini kami buat, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan terutama bagi kelompok kami dan mahasiswa Fakultas Keperawatan Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.
Surabaya, September 2014
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar I Daftar Isi . II Daftar Gambar.... III BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 1.2 Rumusan Masalah........ 2 1.3 Tujuan...... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Polidactili.. 3 2.1.1 Konsep Teori Polidactili.................. 3 2.1.1 Konsep Teori Poldactili........ 3 2.1.1.1 Pengertian Polidactili............ 3 2.1.1.2 Etiologi.......... 4 2.1.1.3 Manifestasi Klinis......... 6 2.1.1.4 WOC Polidactili... 8 2.1.1.5 Klasifikasi......... 9 2.1.1.6 Diagnosis...... 10 2.1.1.7 Penatalaksanaan............. 11 2.1.2 Konsep Asuhan Keperawatan Polidactili............ 11 2.1.2.1 Pengkajian..................... 11 2.1.2.2 Diagnosis Keperawatan............ 12 2.1.2.3 Intervensi...................... 12 2.2 Konsep Syndaktili..................... 15 2.2.1 Konsep Teori Sindaktili.......... 15 2.2.1.1 Pengertian Sindaktili..... 15 2.2.1.2 Etiologi Sindaktili......... 15 2.2.1.3 Patofisiologi Sindaktili...... 16 2.2.1.4 WOC Sindaktili ........... 18 2.2.1.5 Tipe Sindaktili.............. 19
4.1 Kesimpulan......................................................................................... 51 4.2 Saran................................................................................................... 52 DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 53
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Polidactili..................... 3 Gambar 2.2 Pewarisan Sifat Autosom Dominan............. 4 Gambar 2.3 Polidactili Postaxial..... 9 Gambar 2.4 Tipe Polidactili Preaxial....... 10 Gambar 2.5 Polidaktili Sentral........ 10 Gambar 2.6 Hasil Rontgent Polidactili........ 11 Gambar 2.7 Sindaktili...................... 16 Gambar 2.8 Sindaktili tipe I ........... 20 Gambar 2.9 Sindaktili tipe II (synpolydactyly) ...... 21 Gambar 2.10 Simpel Sindaktili ....... 23 Gambar 2.11 Simpel Kompleks ...... 23 Gambar 2.12 Apert syndrome.......... 25 Gambar 2.13 Perencanaan insisi untuk memisahkan simplecomplete sydactyly............... 26 Gambar 2.14 Bentuk kaki Bowleg dan Knock-Knee.... 30 Gambar 2.15 AP dengan berbaring.. 34 Gambar 2.16 Gambar AP dengan berdiri..... 34 Gambar 2.17 Pertumbuhan kaki normal ..... 35 Gambar 2.18 Hasil radiologi dari KAFO.... 36
1
BAB 1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada anak balita terdapat beberapa kelainan kongenital antara lain sindaktili, polidaktili dan CETV Genu Varum dan Genu Valgum. Sindaktili merupakan defek pada diferensiasi. Insiden Sindaktili terjadi pada 1 : 2.000 sampai 1 : 3.000 kelahiran. Defek ini dua kali lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dan 10 kali lebih sering terjad pada kulit putih daripada kulit hitam. Peleburan terjadi terbatas pada jaringan lunak diantara dua jari yang berdekatan (simpel atau kutaneus sindaktili) atau dapat menyertakan tulang, jaringan lunak dan struktur neurouskular (komplek sindaktili). Tipe-tipe pada sindaktili adalah diwariskan dengan pembawaan autosom dominan, dan kesamaan dari tipe tersebut dikenali dari silsilah (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). Polidaktili merupakan salah satu kelainan pertumbuhan pada jari sehingga terdapat jumlah jari pada tangan atau kaki lebih dari lima. Bila jumlah jarinya enam disebut seksdaktili, dan bila tujuh disebut heksadaktili. Polidaktili terjadi pada 1 dari 1.000 kelahiran. Polidaktili merupakan kebalikan dari oligodaktili (Muttaqin, 2008). Genu Varum adalah kelainan ekstrimitas bawah berupa melengkungnya tibia kearah lateral. Sedangkan Genu Valgum atau Knock-knee sama seperti Genu Varum namun lengkungannya ke arah medial. Lengkungan Genu Varum secara klinis terlihat ketika anak berdiri dengan posisi meleoli medial (tonjolan bundar pada kedua sisi pergelangan kaki) berlawanan satu sama lain dan jarak di antara lutut lebih besar kira-kira 5 cm. Sedangkan pada Genu Valgum lutut saling mendekat satu sama lain tetapi kaki terpisah jauh. Hal ini ditentukan secara klinis dengan menggunakan metode yang sama dengan Genu Varum tetapi dengan mengukur jarak di antara maleolus, yang kurang dari 7,5 cm. Pada anak dengan kelainan tulang kongenital sindaktili, polidaktili dan CETV Genu Varum dan Genu Valgum memerlukan observasi dan perhatian khusus untuk mendeteksi adanya kelainan pertumbuhan dan perkembangan. Sehingga diperlukan peran perawat untuk memberikan asuhan keperawatan yang
2
sesuai dengan masalah keperawtan yang muncul pada anak dengan sindaktili, polidaktili dan CETV Genu Varum dan Genu Valgum.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah konsep teori Polidactili dan asuhan keperawatan Polidactili? 2. Bagaimanakah konsep teori Syndaktili dan asuhan keperawatan Syndactili? 3. Bagaimanakah konsep teori CTEV (Congenital Talipes Equinovarus) Genu Valgum dan Genu Varus dan asuhan keperawatan CTEV (Congenital Talipes Equinovarus) Genu Valgum dan Genu Varus?
1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui dan memahami konsep teori Polidactili dan asuhan keperawatan Polidactili. 2. Untuk mengetahui dan memahami konsep teori Syndaktili dan asuhan keperawatan Syndactili. 3. Untuk mengetahui dan memahami konsep teori CTEV (Congenital Talipes Equinovarus) Genu Valgum dan Genu Varus dan asuhan keperawatan CTEV (Congenital Talipes Equinovarus) Genu Valgum dan Genu Varus.
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Polidactili 2.1.1 Konsep Teori Polidactili 2.1.1.1 Pengertian Polidactili Polydactyl berasal dari bahasa yunani kuno (Polus) "banyak" dan (daktulos) "jari", juga dikenal sebagai hyperdactyly, adalah anomali kongenital fisik jari tangan atau kaki. Polidaktili adalah terjadinya duplikasi jari-jari tangan dan kaki melebihi dari biasanya (Muttaqin, 2008). Polidaktili adalah suatu kelainan yang diwariskan oleh gen autosomal dominan P, yang dimaksud dengan sifat autosomal ialah sifat keturunan yang ditentukan oleh gen pada autosom. Gen ini ada yang dominan dan ada pula yang resesif. Oleh karena laki-laki dan perempuan mempunyai autosom yang sama, maka sifat keturunan yang ditentukan oleh gen autosomal dapat dijumpai pada laki-laki maupun perempuan. Sehingga orang bisa mempunyai tambahan jari pada kedua tangan atau kakinya. Jari-jari yang lebih dari 5 pada manusia adalah suatu ketidaknormalan, dan polidaktili merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan duplikasi jari. Pada polidaktili, biasanya terdapat 6 jari pada setiap jari tangan, terkadang bisa lebih seperti 7 atau 8 jari.
Gambar 2.1 Polidactili
4
Gambar 2.2 Pewarisan Sifat Autosom Dominan p pp x Pp normal polidaktili F1 Pp = polidaktili (50%) pp = normal (50%) Orang normal adalah homozigotik resesif pp. Pada individu heterozigotik Pp derajat ekspresi gen dominan itu dapat berbeda-beda, sehingga lokasi tambahan jari dapat bervariasi. Bila seorang laki-laki polidaktili heterozigotik menikah dengan orang perempuan normal, maka dalam keturunan kemungkinan timbulnya polidaktili ialah 50%.
2.1.1.2 Etiologi Adapun etiologinya yaitu sebagai berikut :
a. Familial polydactyly b. Trisomi 13 c. Trisomi 21 Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya polidaktili antara lain : a. Kelainan Genetik dan Kromosom Diturunkan secara genetik (autosomal dominan). Jika salah satu pasangan suami istri memiliki polidaktili, kemungkinan 50% anaknya juga polidaktili. Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas polidaktili pada anaknya. b. Faktor Teratogenik
5
Dalam istilah medis, teratogenik berarti terjadinya perkembangan tidak normal dari sel selama kehamilan yang menyebabkan kerusakan pada embrio sehingga pembentukan organ-organ berlangsung tidak sempurna (terjadi cacat lahir). Di dalam Keputusan Menteri Pertanian nomor 434.1 (2001), teratogenik adalah sifat bahan kimia yang dapat menghasilkan kecacatan tubuh pada kelahiran. Teratogenik adalah perubahan formasi dari sel, jaringan, dan organ yang dihasilkan dari perubahan fisiologi dan biokimia. Senyawa teratogen akan berefek teratogenik pada suatu organisme, bila diberikan pada saat organogenesis. Apabila teratogen diberikan setelah terbentuknya sel jaringan, sistem fisiologis dan sistem biokimia, maka efek teratogenik tidak akan terjadi. Teratogenesis merupakan pembentukan cacat bawaan. Malformasi (kelainan bentuk) janin disebut terata, sedangkan zat kimia yang menimbulkan terata disebut zat teratogen atau teratogenik. Perubahan yang disebabkan teratogen meliputi perubahan dalam pembentukan sel, jaringan dan organ sehingga menyebabkan perubahan fisiologis dan biokimia yang terjadi pada fase organogenesis. Umumnya bahan teratogenik dibagi menjadi 3 kelas berdasarkan golongannya yakni bahan teratogenik fisik, kimia dan biologis. 1) Faktor teratogenik fisik Bahan tertogenik fisik adalah bahan yang bersifat teratogen dari unsur- unsur fisik misalnya Radiasi nuklir, sinar gamma dan sinar X (sinar rontgen). Bila ibu terkena radiasi nuklir (misal pada tragedi chernobil di Ukraina) atau terpajan dengan agen fisik tersebut, maka janin akan lahir dengan berbagai kecacatan fisik. Tidak ada tipe kecacatan fisik tertentu pada paparan ibu hamil dengan radiasi, karena agen teratogenik ini sifatnya tidak spesifik karena mengganggu berbagai macam organ. Dalam menghindari terpaan agen teratogen fisik, maka ibu sebaiknya menghindari melakukan foto rontgen apabila ibu sedang hamil. Foto rontgen yang terlalu sering dan berulang pada kehamilan kurang dari 12 minggu dapat memberikan gangguan berupa kecacatan lahir pada janin.
6
2) Faktor teratogenik kimia Bahan teratogenik kimia adalah bahan yang berupa senyawa senyawa kimia yang bila masuk dalam tubuh ibu pada saat saat kritis pembentukan organ tubuh janin dapat menyebabkan gangguan pada proses tersebut. Kebanyakan bahan teratogenik adalah bahan kimia. Bahkan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati beberapa penyakit tertentu juga memiliki efek teratogenik. Alkohol merupakan bahan kimia teratogenik yang umum terjadi terutama di negara-negara yang konsumi alkohol tinggi. Konsumsi alkohol pada ibu hamil selama kehamilannya terutama di trisemester pertama, dapat menimbulkan kecacatan fisik pada anak dan terjadinya kelainan yang dikenal dengan fetal alkoholic syndrome. Alkohol yang dikonsumsi ibu dapat turut masuk ke dalam plasenta dan memperngaruhi janin sehingga pertumbuhan otak terganggu dan terjadi penurunan kecerdasan/retardasi mental. Alkohol juga dapat menyebabkan bayi mengalami berbagai kelainan bentuk muka, tubuh dan anggota gerak bayi begitu dilahirkan. Obat-obatan untuk kemoterapi kanker umumnya juga bersifat teratogenik. Beberapa polutan lingkungan seperti gas CO, senyawa karbon dan berbagai senyawa polimer dalam lingkungan juga dapat menimbulkan efek teratogenik. 3) Faktor teratogenik biologis Agen teratogenik biologis adalah agen yang paling umum dikenal oleh ibu hamil. Istilah TORCH atau toksoplasma, rubella, cytomegalo virus dan herpes merupakan agen teratogenik biologis yang umum dihadapi oleh ibu hamil dalam masyarakat. Infeksi TORCH dapat menimbulkan berbagai kecacatan lahir dan bahkan abortus sampai kematian janin. Selain itu, beberapa infeksi virus dan bakteri lain seperti penyakit sifilis/raja singa juga dapat memberikan efek teratogenik.
2.1.1.3 Manifestasi Klinis a. Jumlah jari lebih dari normal (lima) yang ditemukan sejak lahir. b. Dapat terjadi pada salah satu atau kedua jari tangan atau kaki. c. Jari tambahan bisa melekat pada kulit ataupun saraf, bahkan dapat melekat sampai ke tulang.
7
d. Jari tambahan bisa terdapat di jempol (paling sering) dan keempat jari lainnya. e. Dapat terjadi bersamaan dengan kelainan bawaan lainnya, walaupun jarang.
8
2.1.1.4 WOC Polidactili
Faktor Penyebab Kelainan genetik dari kromosom Faktor teratogenik Fisik Kimia Biologis Bawaan dari orang tua Radiasi, sinar-X Obat-obatan, polutan, alkohol Virus, rubella, TORCH Mutasi pd gen Ggn.proses pembentukan organ Malformasi (kelainan bentuk) Perubahan formasi sel, jaringan, organ Terjadi duplikasi jaringan lunak Kelainan kongenital polidaktili teratogenesis Pre operasi Post operasi Penambahan jari ansietas Luka operasi Resiko tinggi infeksi Kerusakan integritas kulit Kontak dgn bakteri nyeri Kurang pengetahuan Ketidaktahuan keluarga mengenai penyakit Ggn. Konsep Diri (citra diri) Menolak atas kelainan diri
9
2.1.1.5 Klasifikasi a. Polidaktili postaxial Duplikasi pada jari kelingking. Pada tipe A, jari tambahan tumbuh penuh. Pada tipe B, jari tambahan tumbuh tidak sempurna dan bercabang. Seeorang dengan polidaktili tipe A dapat menghasilkan keturunan dengan polidaktili tipe A atau B, sedangkan seseorang dengan polidaktili tipe B dapat menghasilkan keturunan dengan hanya polidaktili tipe B.
Gambar 2.3 Polidactili Postaxial
b. Polidaktili preaxial : duplikasi pada ibu jari Tahap penyatuan tulang, Wassel mengklasifikasikan polidaktili ibu jari menjadi 7 tipe. 1) Tipe I, phalanx distal bercabang (sangat jarang , 2 %) 2) Tipe II, phalanx distal berduplikasi (15 %) 3) Tipe III, phalanx proksimal bercabang tetapi phalanx distal berduplikasi (6 %) 4) Tipe IV sering terjadi (43 %), baik phalanx proksimal maupun phalanx distal berduplikasi 5) Tipe V (10 %), metakarpal dari ibu jari bercabang, dan kedua phalanx distal dan proksimal berduplikasi 6) Tipe VI (4 %) metakarpal ibu jari dan kedua phalanx distal dan proksimal berduplikasi 7) Tipe VII (20 %) ibu jari hanya memiliki 3 ruas phalanx.
10
Gambar 2.4 Tipe Polidactili Preaxial
c. Polidaktili sentral : duplikasi dari jari telunjuk, jari tengah dan jari manis dihubungkan pada polidaktili sentral atau axial.
Gambar 2.5 Polidaktili Sentral 2.1.1.6 Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan beberapa cara sebagai berikut : a. Anamnesis : 1) Apakah ada anggota keluarga yang dilahirkan dengan jari tambahan? 2) Apakah ada riwayat keluarga dengan kelainan yang berhubungan dengan polidaktili? 3) Apakah ada gejala lain? b. Pemeriksaan Fisik Terlihat adanya jari tambahan (inspeksi). c. Pemeriksaan Penunjang 1) Analisa kromosom
11
2) Rontgen
Gambar 2.6 Hasil Rontgent Polidactili 2.1.1.7 Penatalaksanaan a. Tindakan pembedahan Tindakan pembedahan untuk mengangkat jari tambahan biasanya dilakukan untuk mengatasi masalah yang mungkin timbul akibat polidaktili. Pengangkatan jari tambahan di jempol kaki merupakan prosedur tersering karena implikasi kosmetik dan kenyamanan saat memakai sepatu. Bila jari berlebihan hanya berupa gumpalan daging, biasanya tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, tapi mungkin anak menjadi malu atau minder. Tindakan operasi biasanya dilakukan saat usia telah mencapai 1 tahun. b. Pemeriksaan Rontgen Diperlukan untuk menentukan apakah jari tambahan mengandung struktur tulang, dan untuk menentukan perubahan yang dapat terjadi saat operasi.
2.1.2 Asuhan Keperawatan 2.1.2.1 Pengkajian a. Anamnesis Mengenai riwayat keluarga, apakah orangtua ada yang mengalami polidaktili. b. Riwayat prenatal-postnatal Apakah selama hamil ibu minum alkohol, terpapar sinar-X, terkena TORCH. c. Riwayat kelahiran serta berat badan lahir. d. Pemeriksaan fisik Dilakukan keseluruh tubuh untuk menggali adanya kelainan atau anomali lainnya dibagian tubuh lain. Pemeriksaan fisik dengan dilakukan secara sistematik, dengan cara inspeksi yaitu terlihat adanya jari tambahan.
12
Berikut adalah pemeriksaan yang harus dilakukan : 1) Catat dan dokumentasikan nomor jari tangan yang mengalami gangguan, keterlibatan jaringan yang mengalami penambahan, penyatuan, panjang setiap jari, dan tampilan dari kuku. 2) Pengambilan foto pada tangan terutama pada saat pertama kali kunjungan biasanya sangat membantu diagnosis. 3) Lakukan pergerakan pasif untuk memeriksa adanya penambahan tulang dengan penambahan jaringan lunak. 4) Periksa dengan mempalpasi adanya polidaktili yang tersembunyi. 5) Tingkat anomali dari struktur tendon dan neurovaskular mencerminkan kompleksitas dari polidaktili. Adanya kondisi polidaktili komplet atau kompleks biasanya melibatkan bagian distal dari falang (jari ). 6) Selalu melakukan pemeriksaan radiografi untuk membantu identifikasi anomali lainnya. 2.1.2.2 Diagnosis Keperawatan a. Pre Operasi 1) Gangguan konsep diri berhubungan dengan anomali kongenital/ perubahan bentuk tubuh (kaki/tangan) 2) Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan 3) Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidaktahuan keluarga mengenai penyakit atau pengobatan. b. Pasca Operasi 1) Nyeri berhubungan dengan luka pascaoperasi 2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pembedahan 3) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan 2.1.2.3 Intervensi a. Pre Operasi 1) Gangguan konsep diri berhubungan dengan anomali kongenital / perubahan bentuk tubuh (kaki/tangan) Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan klien dapat menunjukkan harga diri16 dengan mengungkapkan penerimaan diri secara verbal.
13
Intervensi : a) Dorong klien mengekspresikan perasaan, khususnya mengenai bagaimana individu merasakan, memikirkan atau memandang dirinya. b) Dorong klien untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan, prognosis kesehatan. c) Beri informasi yang dapat dipercaya dan perkuat informasi yang sudah diberikan d) Hindari kritik negative e) Beri privasi dan keamanan lingkungan f) Dorong interaksi dengan teman sebaya dan orang dewasa yang mendukung g) Perjelas adanya kesalahan konsep klien mengenai diri, perawatan atau pemberi perawatan 2) Ansietas berhubungan dengan dengan rencana pembedahan Tujuan : Kecemasan dapat diminimalkan setelah dilakukan tindakan keperawatan Intervensi : a) Jelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien b) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan akan ketakutannya c) Evaluasi tingkat pemahaman pasien / orang terdekat tentang diagnosa medis d) Akui rasa takut/ masalah pasien dan dorong mengekspresikan perasaan 3) Kurang pengetahuan b/d ketidaktahuan keluarga mengenai penyakit atau pengobatan. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan pengetahuan klien terhadap penyakit bertambah. Intervensi : a) Berikan informasi tentang proses penyakit. b) Cek keakuratan umpan balik untuk memastikan bahwa pasien memahami penanganan yang dianjurkan dan informasi yang relevan lainnya
14
c) Lakukan penilaian tingkat pengetahuan pasien dan pahami isinya d) Tentukan motivasi pasien untuk mempelajari informasi khusus b. Pasca Operasi 1) Nyeri berhubungan dengan luka pasca operasi Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1X24 jam, diharapkan nyeri klien berkurang bahkan hilang Intervensi : a) Kaji skala nyeri klien b) Ajarkan strategi relaksasi distraksi untuk managemen nyeri c) Tanyakan pada anak apa yang meredakan nyeri dan apa yang membuatnya lebih buruk d) Tingkatkan rasa aman dengan penjelasan dan kesempatan untuk memilih e) Jelaskan pada anak bahwa dia dapat dialihkan perhatiannya dari prosedur jika hal itu yang diinginkan f) kolaborasi terapi analgesik 2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1X24 jam, diharapkan klien menunjukkan penyembuhan jaringan progresif. Intervensi : a) Pantau kulit dari adanya ruam dan lecet b) Bersihkan kulit saat terkena kotoran c) Minimalkan terpajannya kulit pada lembab d) Jadwalkan mandi untuk pasien, gunakan pembersih yang ringan e) Gunakan lapisan pelindung, seperti krim atau bantalan penyerap kelembapan untuk menghilangkan kelebapan yang berlebihan, jika memungkinkan f) Ganti posisi dengan hati-hati untuk menghindari cedera pada kulit yang rentan g) Pantau status gizi dan asupan makanan
15
2.2 Konsep Syndaktili 2.2.1 Konsep Teori Sindaktili 2.2.1.1 Pengertian Sindaktili Sindaktili merupakan defek pada diferensiasi (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). Sindaktili adalah kondisi terdapatnya tidak adanya atau pembentukkan inkomplet jeda jarak diantara dua jari-jari (Brunner, et al, 2007). Sindaktili merupakan kegagalan pemisahan antara jari-jari yang berdekatan yang menghasikan adanya jaringan pada jari-jari (Hurley, 2011).
Gambar 2.7 Sindaktili
2.2.1.2 Etiologi Sindaktili Kegagalan prosese resesi dari pembelahan jari-jari (webbing) pada pasien sindaktili masih belum diketahui. Riwayat keluarga didapatkan 15%-40% kasus. Pola pewarisan genetik ditemukan pada pasien sindaktili tanpa berhubungan dengan kondisi lain. Sindaktili merupakan tipe autosom dominan dengan variable pentrance (Herring, 2013). Sindaktili terjadi karena mutasi, predisposisi keluarga yang mengindikasikan adanya pola autosom dominan. Sindaktili juga berhubungan dengan sindrom spesifik seperti Apert syndrome (Kenner, 2013).Sindaktili erhubungan dengan sindrom craniofacial seperti Apert Sydrome atau acrocephalosyndactyly. Poland syndrome dan constriction bund syndrome (Parvizi, 2010).
16
2.2.1.3 Patofisiologi Sindaktili Pada ibu hamil yang mengkonsumsi obat mempunyai resiko bayi mengalami malformasi jari-jari. Terdapat dua kategori obat yang meningkatkan risiko tersebut yaitu antikonvulsan dan antiasmatik (Kallen, 2014). Sindaktili merupakan hasil kegagalan dari diferensiasi dan diklasifikasikan oleh klasifikasi embriologi pada anomali kongenital yang diadopsi dari International Federation for Societies for Surgery of the Hand (Hurley, 2011). Secara embriologi jari-jari tumbuh dari kondensasi mesoderm dalam dasar perkembangan upper limb. Selama kehamilan 5-6 minggu, terbentuk pembelahan antar jari melalui proses apoptosis atau programed cell death, bermula pada ujung jari dan diteruskan ke arah distal serta proksimal. Daerah ektodermal meregulasi proses embriologi ini dalam kombinasi dengan faktor pertumbuhan, protein morfogenetik tulang, perubahan faktor pertumbuhan, produksi gen. Terjadinya kegagalan pada proses ini dapat terjadi sindaktili (Hurley, 2011). Terdapat lima perbedaan fenotip pada sindaktili tangan, dengan menyertakan kaki atau tidak. Pada semua tipe merupakan warisan ciri pembawaan autosom dominan serta keseragaman dari tipe yang dikenali dalam silsilah. Tipe genetik dari sindaktili akan berbeda dari sindaktili yang berhubungan dengan congenital constricting bands, kondisi non-mendel. (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). Jenis kelamin yang biasanya terkena sindaktili adalah laki-laki daripada perempuan serta kulit putih lebih rentan terkena daripada kulit hitam atau orang Asia (Hurley, 2011). Pada permasalahan keluarga tersebut, sindaktili berhubungan dengan bermacam-macam anomali dan sindrom malformasi. Sindaktili biasanya terjadi pada acrocephalo (poly) syndactyly syndrome yang berdengan kekhasan abnormal pada craniofasial. Pada Apert Syndome (acrocephalosyndactyly tipe I), multipel progresif syostose meliputi phalax distal (biasanya pada jari ke-3 dan 4) dan akhir proksimal pada metakarpal (ke-4 dan ke-5) pada kedua tangan. Perlekatan osseus pada jari ke-2 sampe ke-4, kuku tunggal terdapat pada masa tulang yang menonjol. Perlekatan karpal progresif sympalangism dan khas dari konfigurasi ibu jari tangan pendek dan meluas distal phalanx dengan deviasi
17
radial serta pendek, betuk delta proximal phalanx (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). Sindaktili kutaneus pada jari ke-2 hingga 5 dan jari-jari kaki biasanya ditemukan. Manifestasi pada kaki meliputi perlekatan progresif tarsal , toe syphalangism, da jari-jari kaki sangat pendek dengan deformitas varus (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). Tipe acrocephalosyndactyly pada tangan dan tulang tengkorak terjadi perubahan ringan. Pada Saethre-Chotzen syndrome (acrocephalosyndactyly tipe III), sindaktili kutaneus parsial khasnya adalah pada jari tanga ke-2 dan 3 serta pada jari kaki ke-3 dan 4 dengan ibu jari normal (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). Pada Pfeiffer syndrome (acrocephalosyndacytyly tipe V) autosom resesif, dimana terdapat banyak macam dari ekspresi fenotip dengan perubahan dari ringan hingga berat pada medekati yang dijumpai pada Apert syndrome (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).
18
2.2.1.4 WOC Sindaktili
Kegagalan proses pembelahan jari dan apoptosis Riwayat sindaktili pada keluarga Pewarisan gen autosom dominan Sindrom craniofacial Konsumsi obat antikonvulsan dan antiasmatik Mutasi gen Kegagalan perkembangan jari Malformasi jari Sindaktili Ekspresi gen autosom dominan Fenotip pada sindaktili Tipe sindaktili Tipe I - Lokus 2q34-q36 - Perlekatan komplit atau parsial pada jari ke-3 dan 4 - Perlekatan tulang pada phalanx distal - Pada kaki diantara jari ke-2 dan 3 Tipe II - Mutasi pada gen HOXD13 lokus 2q31-q32 - Pada jari ke-3 dan 4 duplikasi pada jari ke-3 dan 4 dalam selaput diantara jari-jari - Pada kaki jari ke-4 dan ke-5 duplikasi ada kelima jari kaki denngan selaput dantara jari kaki Tipe III - Komplit dan sindaktili jaringan lunak bilateral diantara jari ke-4 dan ke-5 - Perlekatan ossues tulang jari distal - Jari-jari pendek, dasar, atau tidak ada pada jari ke-5 bagian tengah Tipe IV - Tangan seperti mangkok - Tidak ada perlekatan tulang - Pada kaki lebih kompleks Tipe V - Jarang ditemukan - Mempengaruhi jari ke-3 dan 4 serta jari kaki ke-2 dan 3 Klasifikasi 1. Simpel sindaktili Perlekatan pada jaringan lunak dan kulit 2. Sindaktili kompleks Perlekatan melibatkan tulang, jar.lunak, dan struktur neurovaskar 3. Sindaktili parsial Melibatkan daerah proksimal pada jari tangan 4. Sndaktili komplit Memanjang keseluruh sampai ujung jari 5. Complicated Syndactyly Tulang yang abnormal diantara jari-jari 6. Acrosyndactyly Perlekatan hanya melibatkan bagian distal pada jari tangan
Penatalakasanaan
Bedah
MK Pre-op: 1. Kecemasan orang tua 2. Kurang pengetahuan orang tua tetang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
Terdapat luka pembedahan
Stimulus pengeluaran neurotransmitter nyeri
Port de entree bakteri MK: Nyeri akut
MK: Kerusakan integritas kulit
MK: Risiko infeksi
Non bedah
19
2.2.1.5 Tipe Sindaktili a. Sindaktili Tipe I Pada sindaktili tipe I terdapat perlekatan yang kuat komplit atau parsial seperti pada perlekatan kutan diantara jari ke-3 dan ke-4, kadang terdapat pula perlekatan tulang pada tulang jari (phalanx) distal. Pada kaki biasanya sindaktili terjadi diantara jari kaki ke-2 da ke-3. Kejadian sindaktili tipe I terjadi tanpa dihubungkan dengan adanya anomali limb, Poland compelx, atau amniotic bands yang diperkirakan terjadi pada 3/10.000 bayi baru lahir. Sindaktili tipe I lokus pada 2q34-q36 (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).
Gambar 2.8 Sindaktili tipe I pada bayi laki-laki. (a) komplit (tangan kiri) dan parsial (tangan kanan) peyatuan diantara jari tangan ke-3 dan 4. b. Sindaktili Tipe II Pada sindaktili tipe II (synpolydactyly) biasanya sindaktili pada jari ke-3 dan ke-4 berhubungan dengan duplikasi pada jari 3 atau 4 dalam selaput diantara jari-jari. Pada kaki selalu menunjukkan terjadi sindaktili pada jari kaki ke-4 dan 5 dengan duplikasi pada kelima jari kaki pada selaput diantara jari-jari kaki. Aplasia atau hipoplasia pada tulang jari bagian tengah pada kaki dapat ditemukan. Fenotip ini disebabkan oleh adanya mutasi di dalam gen HOXD13 dipetakan pada 2q31- q32 (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).
20
Gambar 2.9 Sindaktili tipe II (synpolydactyly) (a) sindaktili distal pada jari ke-3 dan 4 degan duplikasi jari tangan ke-4. (b) (c) sindaktili jaringan lunak diantara jari k-3 dan 4 dngan duplikasi pada jari ke4 yang lekat. Jari tangan tambahan hanya sebagian terbentuk dan menyatu dengan jari ke-4. (c) malformasi komplek yang terlihat, bercerangah metakarpal ke-3 dengan duplikasi pada jari tangan ke-3, proksimal dan distal sinostosis pada jari tambahan dengan ke-4. Kaki juga ikut terpengaruh. Keberagaman pada defek yang ditunjukkan secara klinis pada keluarga yang sama dijumpai secara signifikan dengan individu yang menunjukkan ciri-ciri tipe pada sinpolidaktili, yang lainnya menunjukkan kedua pre dan postaxial polidaktili atau postaxial polidaktili tipe A dan masih termanifestasi berat fenotip yang kosisten dengan homozigot. Manifestasi klinis pada fenotip homozigot meliputi tangan yang sangat kecil dan kaki dengan jari-jari pendek. Sindaktili jaringan lunak komplit meliputi semua empat limbs, polidaktili komplit, distorsi pada tulang panjang di tangan dan kaki serta tulang carpotarsal (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). c. Sindaktili Tipe III Pada sindaktili tipe III (ring and little finger syndactyly) biasanya komplit dan sindaktili jaringan lunak bilateral diantara jari ke-4 dan ke-5. Kadang-kadang perlekatan ossues pada tulang jari distal terjadi. Terjadinya ketidakadaan, pendek atau dasar pada phalanx ke-5 bagian tengah merupakan bagian dari fenotip. Pada
21
kaki tidak termasuk dalam sindaktili tipe III dan adanya kejang paraplegia di dalam keluarga yang sama lebih dari multipel generasi mengangkat kemungkinan bahwa adanya dua gen yang berhubungan. Hubungan tersebut terbukti bahwa isolasi sindaktili tipe III ditentukan oleh adanya mutasi gen di dalam 6q22-q24, dimana pada gen tersebut untuk oculodentodigital syndrome. Ciri-ciri yang diwariskan sama autosom dominan dengan transmisi laki-laki ke laki-laki (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). d. Sindaktili Tipe IV Pada sindaktili tipe IV tidak terdapat sindaktili kutaneus komplit pada seluruh jari di kedua tangan yang dihubungkan dengan pre- atau postaxial hexadactyly (jari-jari tambahan yang berkembang sepenuhnya dengan duplikasi metakarpal komplit). Flexi pada jari-jari membuat tangan berbentuk mangkok. Sindaktili tipe IV tidak terdapat perlekatan tulang. Sindaktili kutaneus parsial pada jari kaki 2 dan 3 dapat terjadi. Sindaktili tipe IV dengan hexadactyly pada kaki berbeda dan lebih kompleks pada malformasi lower limbs lainnya seperti aplasia tibia (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). e. Sindaktili Tipe V Sindaktili tipe V jarang ditemukan, jarinagan lunak sindaktili terjadi berhubungan dengan metakarpal dan metatarsal sinostosis. Sindaktili jaringan lunak biasanya mempengaruhi jari-jari tangan ke-3 dan 4 serta jari-jari kaki ke-2 dan 3 tetapi tidak dapat lebih luas. Metakarpal dan metatarsal biasanya melibatkan jari ke-4 dan 5 (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).
2.2.1.6 Klasifikasi Sindaktili Sindaktili kongenital diklasifikasikan berdasarkan pada keterlibatan jari- jari dan karakter dari jaringan yang bergabung (Hurley, 2011). a. Simpel Sindaktili Perlekatan terbatas pada jaringan lunak dan kulit diantara dua jari tangan yang berdekatan (simple atau kutaneus sindaktili).
22
Gambar 2.10 Simpel Sindaktili pada anak 1 tahun (laki-laki). Jaringan lunak menempel pada daerah distal akhir jari ke-4 dan ke-5. b. Sindaktili Komplek Sindaktili atau perlekatan yang melibatkan tulang, jaringan lunak, dan struktur neurovaskuler (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005)
. Gambar 2.11 Sindaktili kompleks dengan perlekatan diantara jari tangan ke-4 dan 5 meliputi jaringan lunak dan tulang keduanya. Sindaktili pada kasus ini merupakan parsial karena hanya melibatkan bagian proksimal pada jari tangan (proximal phalanges). Pada temuan selanjutnya meliputi adanya defisiensi proksimal ke-4 metakarpal dan penyatuan karpal antara lunate triquetrum. c. Sindaktili Parsial Sindaktili yang melibatkan daerah proksimal pada jari-jari tangan disebut sindaktili parsial (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).
23
d. Sindaktili Komplit Sindaktili yang memanjang kearah ujung dari seluruh panjang jari-jari tangan disebut sindaktili komplit (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005). e. Complicated Syndactyly Tulang yang abnormal diantara jari-jari (Hurley, 2011). f. Acrosyndactyly Acrosyndactyly adalah perlekatan yang hanya melibatkan bagian distal pada jari-jari tangan (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).
2.2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik Sindaktili a. Radiologi Plain radiograph pada jari atau tangan yang terdampak dapat diperoleh secara akurat klasifikasi sindaktili dan untuk mengkaji adanya perlekatan tulang atau penempatan aksesoris tulang (Hurley, 2011). Proyeksi AP dan oblique (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005): 1) Jaringan komplit atau parsial antara jari ke-3 dan 4 dengan atau tanpa perlekatan tulang pada akhir distal, tipe I sindaktili. 2) Sindaktili pada jari tangan ke-3 dan 4 menyambung, sindaktili pada jari kaki ke-4 dan 5 dengan duplikasi pada jari ke-5 dalam jaringannya, aplasia/hipoplasia pada phalanx tengah jari kaki (sindaktili tipe II). 3) Sindaktili jaringan lunak bilateral pada jari tangan ke-4 dan dengan atau tanpa perlekatan tulang pada akhir distal, hipoplasia pada phalanx tengah ke-5 (sindaktili tipe III). 4) Sindaktili perlekatan jaringan lunak bilateral pada seluruh jari-jari tangan, preaxial atau postaxial hexadactili (sindaktili tipe IV). 5) Perlekatan jaringan lunak pada jari-jari ke-3 dan 4 dan jari kaki ke-2 dan 3, metakarpal dan metatarsal sinostosis (sindaktili tipe V). 6) Sindaktili kutaneus bilateral pada jari ke-2 sampai 5 pada tangan dan kaki dengan perlekatan tulang pada tulang jari distal, sinostosis proksimal akhir metacarpal atau metatarsal, perlekatan karpotarsal, ibu jari pendek dan deformitas dan jari kaki besar (Apert syndrome).
24
Gambar 2.12 Apert syndrome 7) Sindaktili kutaneus pada jari tangan ke-2 dan 3 serta pada kaki jari ke-3 dan 4 (Saethre-Chotzen syndrome).
2.2.1.8 Komplikasi Sindaktili Komplikasi dari pembedahan yang kurang baik adalah dilakukannya pembedahan ulang pada anak-anak (Herring, 2013).
2.2.1.9 Penatalaksanaan Sindaktili a. Penatalaksanaan Kolaboratif Orang tua pasien dengan sindaktili diinstruksikan untuk melakukan physical therapy yaitu masase pada kulit yang menyatu. Masase daerah yang menyatu sebelum pembedahan tujuannya untuk meregangkan kulit sehingga dapat diperbaiki lebih mudah (Kenner, 2013). b. Penatalaksanaan Non-Bedah Penatalaksanaan non-bedah dipertimbangkan untuk sindaktili ringan, inkomplit yang sederhana. Pemilihan non-bedah juga dipilih pada kasus sidaktili yang rumit (Compicated Syndactyly) yang biasanya disebut superdigit atau pada kasus polisindaktili kompleks kaena kesulitan dalam mencapai perbaikan fungsi yang optimal setla dilakukan pembedahan. Pada sindaktili simple complete tidak dianjurkan penatalaksanaan non-bedah (Hurley, 2011). c. Pembedahan Pembedahan menakutkan karena risiko komplikasi paa kaki lebih banyak daripada tangan. Postoperasi tidak menjamin jarak antara jari kering diantara jari- jari, pada akhirnya dapat memicu potensi adesi pada luka dan pembentukan skar yang dapat menyebabkan masalah fungsi (Brunner, et al, 2007).
25
Pertimbangan pembedahan yaitu (Hurley, 2011): a. Jari-jari yang berbeda harus dilepas segera untuk mencegah deformitas dan gangguan pertumbuhan pada jari-jari. b. Penutup sekitar kulit digunakan untuk membentuk batas dan mencegah kontraktur skar. c. Pembungkus lateral zigzag digunakan untuk mencegah kontraktur skar longitudinal. d. Pembungkus untuk mempercepat penutupan kulit, mengurangi tekanan disekitar pembungkus, dan memperindah estetik dari jari-jari yang direkonstruksi.
Gambar 2.13 Perencanaan insisi untuk memisahkan simple complete sydactyly (A) Dorsal (B) Volar. (C) Jari-jari dipisahkan. (D) komusira intedigital. (E) Pemisahan sudah selesai.
2.2.1.10 Prognosis Sindaktili Prognosis dari sindaktili adalah bagus dengan fungsi dan bentuk normal, kecuali pada kasus sindaktili kompleks yang melibatkan tulang, pembuluh darah, jaringan saraf. Pada kasus tersebut berhubungan dengan kehilangan fungsi setelah operasi (Kenner, 2013).
26
2.2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Sindaktili 2.2.2.1 Pengkajian Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, umur, suku, agama, pendidikan, alamat, pekerjaan, tanggal masuk tanggal pengkajian. Biasanya banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Terdeteksi adanya kelainan umumnya sejak baru lahir. Terdapat riwayat keluarga dengan sindaktili. Inspeksi ditemukan adanya perlekatan kulit diantara sela-sela jari-jari tangan/kaki atau keduanya. Pada sela jari ke-3 yang lebih banyak terjadi (50%), jari ke-4 30%, jari kedua 15%, dan pertama 5%. Terdapat sindaktili dari sedang hingga berat. Pada derajat yang berat melibatkan komplit kutaan dan perlekatan tulang sepanjang 2 jari sampai kuku, hingga mempunyai satu kuku (hudgins, Louanne, et al, 2014).
2.2.2.2 Diagnosa Keperawatan a. Diagnosa Pre-Operasi 1. Kecemasan orang tua berhubungan dengan rencana tindakan pembedahan. 2. Kurang pengetahuan orang tua tetang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi. b. Diagnosa Post-Operasi 1. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi sekunder dari tindakan pembedahan. 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan struktur kulit sekunder dari tindakan pembedahan. 3. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka insisi sekunder dari tindakan pembedahan.
27
2.2.2.3 Intervensi Keperawatan Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional 1 Kecemasan orang tua berhubungan dengan rencana tindakan pembedahan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, cemas berkurang degan kriteria hasil: - Orang tua klien mengatakan sudah tidak cemas - Tidak sering bertanya tentang kondisi anaknya - Mengatakan siap untuk dilakukan pembedahan 1. Kaji kecemasan 2. Berikan informasi yang akurat dan berikan penjelasan tindakan 3. Diskusikan penundaan pembedahan dengan doter, anatesiologi, dan keluarga 1. Kecemasan dapat mengakibatkan reasi stress 2. Memberikan penjelasan tentang prosedur dapat menambah pengetahuan tentang tindakan sehingga dapat mengurangi kecemasan prosedur 3. Apabila rasa cemas berlebihan 2 Kurang pengetahuan orang tua tetang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pengetahuan meningkat, dengan kriteria hasil: Orang tua klien mengatakan mengetahui tentang kondisi anaknya - Orang tua klien mengatakan mengetahui tentang penyakit anaknya 1. Kaji pegetahuan orang tua pasien tentang penykit dan kondisi anaknya 2. Berikan penjelasan tentang penyakit anak 1. Untuk memberikan informasi tentang penyakit anak 2. Meningkatkan pengetahuan orangtua 3 Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi sekunder dari tindakan pembedahan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri akut dapat berkurang, dengan kriteria hasil: - Skala nyeri grimace anak menunjukkan nyeri sedang 1. Kaji nyeri menggunakan skala nyeri 2. Berikan posisi yang nyaman 3. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgesik 1. Mengetahui tingkat nyeri 2. Posisi yang nyaman mengurangi stimulus nyeri dari luar 3. Untuk mendapatkan terapi dan dosisi yang sesuai untuk anak-
28
sampai ringan - Anak tidak menangis, gelisah, dan rewel - RR dalam rentang normal yaitu 28 kali/menit - Nadi dalam rentang normal yaitu 100x/ menit anak 4 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan struktur kulit sekunder dari tindakan pembedahan. Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam, kerusakan integritas kulit berkurang, dengan kriteria hasil: - Jahitan mulai menyatu - Tidak terdapat pus - Tidak ada tanda-tanda infeksi 1. Kaji daerah sekitar luka apakah ada pus atau jahitan basah 2. Periksa luka secara teratur dan catat karakteristik integritas kulit 3. Rawat luka dan jahitan dengan teknik aseptik 4. Perhatikan intake nutrisi klien 1. Deteksi dini terjadina gangguan proses penyembuhan 2. Menilai perkembangan luka 3. Mencegah infeksi dan transmisi bakteri pada jahitan dan luka 4. Kebutuhan protein sangat penting untuk pertumbuhan jaringan yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka 5 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka insisi sekunder dari tindakan pembedahan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tidak terjadi infeksi, dengan krteria hasil: - Suhu ubuh normal yaitu 36 0 celcius - Tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada luka (rubor, dolor, kalor, tumor, fungsiolesa) dan tidak terdapat pus - Anak tidak rewel 1. Lakukan rawat luka sesuai kebutuhan pasien dengan teknik steril 2. Kaji kondisi luka setiap merawat luka 3. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik 1. Pencegahan transmisi bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada luka dan jahitan 2. Mengidentifikasi adanya pus dan tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kalor, tumor, fungsiolesa) 3. Pemberian antibiotik untuk pencegahan transmisi mikroba pada luka dan jahitan
29
2.3 Konsep CTEV (Congenital Talipes Equinovarus) Genu Valgum dan Genu Varus 2.3.1 Konsep Teori CTEV (Congenital Talipes Equinovarus) Genu Valgum dan Genu Varus 2.3.1.1 Definisi Genu Varum (bowleg) merupakan melengkungnya tibia kearah lateral. Kaki melengkung seperti busur unilateral atau asimetris yang terjadi setelah usia 2 sampai 3 tahun, terutama pada anak kulit hitam, dapat menunjukkan adanya kondisi patologis yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Genu Valgum (Knock-knee), tampak berlawanan dengan Genu Varum. Genu Valgum merupakan lutut saling mendekat satu sama lain tetapi kaki terpisah jauh.. Knock-knee yang berlebihan, asimetris, disertai dengan pemendekan tinggi tubuh, atau terjadi pada anak yang mendekati masa pubertas memerlukan evaluasi lebih lanjut.
(a) (b) Gambar 2.14 Bentuk kaki (a) Genu Varum; (b)Genu Valgum
2.3.1.2 Etiologi Penyebab Genu Varum dan Genu Valgum antara lain : a. Posisi tidur yang salah Apabila berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan gangguan rotasi dan bentuk tungkai. b. Kebiasaan duduk yang salah
30
c. Pemakaian popok sekali pakai dalam waktu yang lama Dapat membuat anak sulit untuk menemukan posisi kaki yang stabil. d. Pemakaian babywalker Anak belum kuat untuk menopang berat badannya memaksa salah satu kaki, sehingga tungkai bawah dan pegelangan kaki yang terlatih maka ketidakseimbangan kekuatan otot terjadi. e. Kebiasaan menggendong yang salah Terbentuknya Genu Valgum (kaki X) dan Genu Varum (kaki O) disebabkan oleh : a. Jenis Kelamin Perempuan lebih sering mengalami Genu Valgum karena perempuan mempunyai pelvis yang lebih luas daripada pria serta dan relatif paha pada wanita lebih pendek daripada pria. b. Obesitas Pada anak yang obesitas cenderung memiliki bentuk Genu Varum karena kaki menopang berat badan yang berlebih.
2.3.1.3 Patofisiologi Pada saat anak mulai berjalan dan usia 1,5 2 tahun, sudut lutut biasanya berbentuk O. Batasan 8 derajat dan dianggap normal dengan jarak ukuran 4 cm dari kedua lututnya. Pada usia 3 4 tahun kaki balita cenderung berubah seperti huruf X. Bentuk lututnya searah ke depan, juga tidak lebih dari 8 derajat dengan jarak sekitar 4 cm antara kedua mata kaki. Tidak ada rotasi berlebihan dengan derajat yang akan berkurang hingga mencapai usia 6 tahun. Pada keadaan normal, physis dan epiphysis terlindungi dari tekanan patologis dan mempertahankan pertumbuhan serta keseimbangan kaki sehingga kaki dapat lurus. Kelainan bentuk kaki (X atau O) merupakan jenis gangguan pertumbuhan tulang kaki akibat terjadinya pergeseran rotasi pada persendian antara tulang paha dan tulang lutut. Hal ini, diakibatkan oleh kesalahan perlakuan dalam menangani balita. Gangguan pertumbuhan pada bentuk kaki seperti ini mengakibatkan sudut yang terbentuk antara kedua tulang menjadi tidak normal. Ketika, berdiri, titik
31
beratnya tidak terletak di antara jari kaki pertama dan kedua seperti yang terjadi pada kaki yang normal. Biasanya disebabkan oleh gangguan rotasi atau putaran tulang yang salah, sehingga sumbu putaran bergeser dan tidak jatuh pada titik sumbu yang semestinya. Hal ini jelas terlihat ketika anak sering jatuh ketika belajar jalan, sehingga anak menjadi mudah lelah, dan cenderung membuat aktivitasnya menjadi terbatas. Dan yang paling penting, akan sangat mempengaruhi penampilan, dan berdampak pada rasa percaya diri anak . Hal ini akan menghambat pertumbuhan physeal, tetapi juga dengan adanya efek Hueter-Volkmann pada seluruh epiphysis yang dapat menghambat perluasan (ekspansi) tulang. Menurut prinsip Hueter-Volkmann, pasokan tekanan yang terus menerus (berdiri, berjalan) yang berlebihan pada epiphysis dapat menyebabkan sulkus femur menjadi lebih pendek, dan adanya kecenderungan patella (lutut) miring ke arah lateral sehingga menempel.
2.3.1.4 Manifestasi Klinis Genu valgum atau Genu varum merupakan jenis gangguan pertumbuhan tulang kaki yang sering dijumpai. Terjadi akibat adanya pergeseran rotasi pada persendian antara tulang paha dan tulang lutut. Pada saat anak berdiri titik berat tidak terletak di antara jari kaki pertama dan kedua seperti yang terjadi pada kaki yang normal. Hal ini dikarenakan sudut yang terbentuk antara dua kaki tidak normal. Anak sering jatuh ketika belajar jalan sehingga anak menjadi mudah lelah, dan cenderung membuat aktivitasnya menjadi terbatas.
32
2.3.1.5 WOC
y Muscle imbalance Genetik/Kongenital Posisi tidur yg salah Kebiasaan menggendong salah Saat berdiri, titik berat tidak terletak di antara jari kaki pertama dan kedua Abnormal bentuk kaki Terjadi pergeseran rotasi persendian antara tulang paha dan lutut Genu varum/Genu valgum Baby walker Popok sekali pakai Aktivitas terbatas Mudah lelah Sering terjatuh Anak belum kuat menopang berat badan Penampilan abnormal MK : Resiko cedera MK : Hambatan Mobilitas Fisik MK : pertumbuhan, risiko tidak proporsional Tekanan terus menerus (berdiri/berjalan) MK : Gangguan citra tubuh Sudut kedua tulang tidak normal Tekanan berlebih pada epifisis Menghambat pertumbuhan Tekanan ditempatkan pada femur dan tibia
33
2.3.1.6 Pemeriksaan Diagnostik a. Radiografi AP dengan berbaring 1) Keparahan genu varum untuk usia anak 2) Torsi tibia internal yang berlebihan 3) Peningkatan genu varum 4) Tungkai yang asimetri atau tidak selaras 5) Dorongan ke arah lateral 6) Adanya nyeri 7) Pemeriksaan pinggul yang tidak normal
Gambar 2.15 AP dengan berbaring
Pemeriksaan AP dengan berdiri hasilnya: 1) Penampakan yang normal pada pertumbuhan plantar kaki 2) Medial bowing yang mempengaruhi tibia proksimal dan femur distal 3) Mengukur sudut Metaphyseal/Diaphyseal dari upper tibia. 4) Mengukur sudut pada pinggul-lutut-angkle.
Gambar 2.16 Gambar AP dengan berdiri
34
Gambar 2.17 Pertumbuhan kaki normal b. Laboratorium Pada anak yang mengalami deformitas diperlukan pemeriksaan sistem metabolik, meliputi : 1) Kalsium, fosfat, alkaline fosfat, kreatinin, dan hematokrit. 2) PTH 3) 25 Hydroxy Vitamin D 4) I25 Dehydroxy Vit D
2.3.1.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan disesuaikan usia, keparahan deformitas, faktor psikososial. a. Penatalaksanaan Non Operatif 1) Edukasi Untuk observasi, memantau waktu dan perkembangan untuk mengkoreksi kaki anak. 2) Brace treatment Brace dapat digunakan untuk semua klien dengan usia dibawah 2,5 tahun dengan blount disease. Brace treatment dapat mengkoreksi deformitas varus gangguan pertumbuhan pathologic proximal-medial tibial. 3) KAFO (Knee Ankle Foot Orthosis) Pada anak sebelum usia 3 tahun digunakan knee-ankle-foot-orthosis (KAFO) selama 23 jam sehari. Tulang akan diluruskan dengan brace, orthotic diganti setiap dua bulan atau lebih untuk memperbaiki posisi bowlegged.
35
Gambar 2.18 Hasil radiologi dari KAFO b. Operatif Indikasi mutlak untuk operasi adalah depresi tibialis dataran tinggi (Langenskold tahap IV), dan kelemahan ligamen lutut. Apabila deformitas tidak membaik dengan pengobatan orthotic dan penyakit berlanjut ke tahap berikutnya maka koreksi bedah harus dilakukan. Operasi dianjurkan untuk cacat yang semakin parah dan bisa melumpuhkan anak, atau jika anak tersebut memiliki sudut metaphyseal-diaphyseal lebih besar dari 14.. Osteotomi merupakan tindakan operasi dimana tulang dipotong untuk memperpendek, memperpanjang, atau mengubah keselarasannya. Saat osteotomi, sepotong tulang berbentuk baji akan dihilangkan dari sisi medial femur (tulang paha). Kemudian potongan tulang dimasukkan ke tibia kemudian dilakukan fiksasi. Apabila fiksasi digunakan di dalam kaki disebut Osteotomi fiksasi internal. Osteotomi fiksasi eksternal menggambarkan frame kawat khusus melingkar di bagian luar kaki dengan pin untuk memegang perangkat di tempat. Penatalaksanaan operatif lainnya meliputi realignment osteotomy, lateral hemiepiphyseodesis, dan guided growth di sekitar lutut, distraksi fisis tibia proksimal asimetris bertahap, reseksi physeal bar, dan elevasi tibial plateau.
36
2.3.1.8 Kompilkasi Artitis, gangguan vaskular, fraktur patologis, dan infeksi luka. 2.1.3.9 Prognosis Prognosis tergantung pada usia pasien, keparahan deformitas pada saat intervensi. Setelah dilakukan osteotomi valgus pada anak dengan Blount disease onset awal, hasil lebih baik jika koreksi dilakukan sebelum anak berusia 4 tahun. Pada anak yang berusia lebih tua, deformitas varus tetap berkembang walaupun dengan pembidaian. Pada deformitas dengan stadium langenskiold <III saat dilakukan pembedahan, memiliki hasil akhir yang lebih baik.
2.3.2 Konsep Asuhan Keperawatan CTEV (Congenital Talipes Equinovarus) Genu Valgum dan Genu Varus 2.3.2.1 Pengkajian Biodata klien : Mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama, umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan alamat. bayi laki-laki dua kali lebih banyak menderita kaki bengkok daripada perempuan. Kelainan ini sering terjadi pada anak laki-laki. Survei membuktikan dari 4 orang kasus Club foot, maka hanya satu saja seorang perempuan. Itu berarti perbandingan penderita perempuan dengan penderita laki-laki adalah 1:3 dan 35% terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3% pada kembar dizigot. Keluhan Utama : Keluhan yang membuat klien dibawa ke rumah sakit karena adanya keadaan yang abnormal pada kaki anak yaitu adanya berbagai kekakuan kaki, atrofi betis kanan, hipoplasia tibia, fibula dan tulang-tulang kaki ringan. Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti Klien tidak mengalami keluhan apa-apa selain adanya keadaan yang abnormal pada kakinya. Riwayat penyakit keluarga Dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.
37
Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatal 1. Antenatal Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali perawatan antenatal , kemana serta kebiasaan minum jamua-jamuan dan obat yang pernah diminum serat kebiasaan selama hamil. 2. Natal Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara persalinan (spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, section secaria dan gamelli), presentasi kepala dan komplikasi atau kelainan congenital. Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa kehamilan (cukup, kurang, lebih ) bulan. Saat lahir anak menangis spontan atau tidak. 3. Postnatal Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan dengan gagguan sistem, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna kulit,pola eliminasi dan respon lainnya. Selama neonatal perlu dikaji adanya ashyksia, trauma dan infeksi. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Berat badan, lingkar kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada terakhir. Tingkat perkembangan anak yang telah dicapai motorik kasar, halus, sosial, dan bahasa. Selanjutnya dilakukan evaluasi ektremitas bawah pada anak. Dinilai pola berdiri anak, apakah ada posisi abnormal dari kesegarisan ekstremitas bawah anak, dinilai ada atau tidaknya keabnormalan cara jalan anak. Jika didapatkan keabnormalan, kemudian anak diminta untuk berbaring pada meja pemeriksaan untuk menilai apakah ada genu varum dan genu valgus. Untuk penentuan kelainan pada anak dapat dilakukan dengan dua cara, yang pertama adalah dengan mengukur sudut femoral-tibia, yaitu sudut yang dibentuk antara paha dan kaki bagian bagian bawah; atau dapat dinilai dengan menghitung jarak antar tulang, yaitu jarak interkondilar (pada genu varum): jarak yang ada diantara kondilus medial femur dari kedua lutut atau dengan mengukur jarak intermaleolar (pada genu valgum), yaitu jarak antara malleolus medial pada pada pergelangan kaki. Pemeriksaan ini dilakukan, karena harusnya pada saat anak berdiri dalam posisi kedua kaki saling merapat, seharusnya baik lutut dan pergelangan kaki (kondilus dan maleolar) akan saling bertemu (Swiontkowski & Stovitz, 2001). Pada anak usia 10 sampai dengan 16 tahun, jarak interkondilar normal kurang dari 4 cm pada anak perempuan dan kurang dari 5 cm pada anak laki-laki, sedangkan untuk jarak intermelleolus normal adalah kurang dari 8 cm untuk anak perempuan dan kurang dari 4 cm untuk anak laki-laki (McRae, 2004). Riwayat Kesehatan Keluarga Sosial , perkawinan orang tua, kesejahteraan dan ketentraman, rumah tangga yan harmonis dan pola suh, asah dan asih. Ekonomi dan adat istiaadat, berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan intelektual dan pengetahuan serta ketrampilan
38
anak. Disamping itu juga berhubungan dengan persediaan dan pengadaan bahan pangan, sandang dan papan. Riwayat Imunisasi Riwayat imunisasi anak sangat penting, dengan kelengkapan imunisasi pada anak mencegah terjadinya penyakit yang mungkin timbul. Meliputi imunisai BCG, DPT, Polio, campak dan hepatitis. Pola Fungsi Kesehatan 1. Pola nutrisi, Makanan pokok utama apakah ASI atau PASI. pada umur anak tertentu. Jika diberikan PASI (ditanyakan jenis, takaran dan frekuensi) pemberiaannya serta makanan tambahan yang diberikan. Adakah makanan yan disukai, alergi atau masalah makanan yang lainnya). 2. Pola eliminasi, sistem pencernaan dan perkemihan pada anak perlu dikaji BAB atau BAK (Konsistensi, warna, frkuensi dan jumlah serta bau). Bagaimana tingkat toileting trining sesuai dengan tingkat perkembangan anak. 3. Pola aktivitas, kegiatan dan gerakan yang sudah dicapai anak pada usia sekelompoknya mengalami kemunduran atau percepatan. 4. Pola istirahat, kebutha istirahat setiap hari, adakah gangguan tidur, hal- hal yang mengganggu tidur dan yang mempercepat tidur. 5. Pola kebersihan diri, bagaiman perawatan pada diri anak apakah sudah mandiri atau masih ketergantuangan sekunder pada orang lain atau orang tua. Pemeriksaan Fisik 1. Pantau status kardiovaskuler 2. Pantau nadi perifer 3. Pucatkan kulit ekstremitas pada bagian distal untuk memastikan sirkulasi yang adekuat pada ekstremitas tersebut 4. Perhatikan keketatan gips, gips harus memungkinkan insersi jari diantara kulit ekstremitasdengan gips setelah gips kering 5. Kaji adanya peningkatan hal-hal berikut: - Nyeri - Bengkak - Rasa dingin - Sianosis atau pucat 6. Kaji sensasi jari kaki - Minta anak untuk menggerakkan jari kaki - Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang tidak mampu berespon terhadap perintah - Laporkan dengan segera adanya tanda-tanda ancaman kerusakan sirkulasi - Intruksikan anak untuk melaporkan adanya rasa kebas atau kesemutan 7. Periksa suhu (gips plester)
39
- Reaksi kimia pada proses pengeringan gips, yang meningkatkan panas - Evaporasi air, yang menyebabkan kehilangan panas 1. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau adanya nyeri tekan 2. Inspeksi bagian dalam gips untuk adanya benda-benda yang terkadang dimasukkan oleh anak yang masih kecil 3. Observasi adanya tanda-tanda infeksi: - Periksa adanya drainase - Cium gips untuk adanya bau menyengat - Periksa gips untuk adanya bercak panas yang menunjukkan infeksi dibawah gips - Waspadai adanya peningkatan suhu, letargi dan ketidaknyamanan 8. Observasi kerusakan pernapasan (gips spika) - Kaji ekspansi dada anak - Observasi frekuensi pernafasan - Observasi warna dan perilaku 9. Kaji adanya bukti-bukti perdarahan (reduksi bedah terbuka): - Batasi area perdarahan 10. Kaji kebutuhan terhadap nyeri
2.3.2.2 Diagnosa Keperawatan a. Resiko cidera berhubungan dengan sering terjatuh karena perubahan mobilitas sekunder b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan aktivitas c. Pertumbuhan, resiko tidak proporsional berhubungan dengan penyakit (penekanan pada epifisis) d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampilan abnormal
2.3.2.3 Intervensi Keperawatan 1. Resiko cidera berhubungan dengan sering terjatuh karena perubahan mobilitas sekunder. Tujuan : Resiko terjadinya cidera dapat dikendalikan dan menurun dalam waktu 2x24 jam Kriteria hasil : a. Keluarga pasien dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko cidera
40
b. Keluarga pasien dapat mengungkapkan keinginan untk melakukan tindakan pengamanan terhadap cidera c. Keluarga pasien dapar memilihkan kegiatan/permainan yang dapat menghindarkan pasien dari resiko cidera. Intervensi dan Rasional No Intervensi Rasionalisasi 1 Berikan informasi pada keluarga pasien tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko cidera Pemberian informasi yang adekuat dapat memberi pengetahuan pada keluarga sehingga keluarga dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko cidera 2 Diskusikan dengan orang tua pasien mengenai perlunya pemantauan konstan terhadap kegiatan px Pemantauan terhadap kegiatan pasien dapat meminimalisir resiko cidera 3 Berikan informasi untuk membantu orang tua dalam memilih pengasuhan yang tepat dengan tumbuh kembang tanpa menyebabkan cidera Cara pengasuhan yang tepat, yaitu membebaskan anak berkreasi sesuai dengan pola tumbuh kembang dengan pengawasan orang tua akan membuat anak merasa nyaman dan tidak stress 4 Identifikasi faktor lingkungan yang dapat menyebabkan jatuh (lantai licin, anak tangga, karpet, dll.) Selain faktor internal, faktor eksternal lingkungan memungkinkan mencaji pemacu terjadinya resiko cidera 5 Modifikasi faktor-faktor lingkungan yang bisa menyebabkan cidera dan menggunakan alat bantu dalam berjalan Lingkungan yang aman dapat meminimalisir cidera
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan aktivitas Tujuan : Pasien menunjukkan peningkatan kekuatan dan ketahanan tungkai serta dapat melakukan aktivitas sesuai tahap pertumbuhan dan perkembangan. Kriteria Hasil : a. Keluarga dapat mengidentifikasi aktivitas yang sebaiknya dilakukan pasien b. Pasien menunjukkan tingkat mobilisasi
41
Intervensi dan Rasional
3. Pertumbuhan, resiko tidak proporsional berhubungan dengan penyakit (penekanan pada epifisis) Tujuan : Pertumbuhan yang normal sesuai dengan konsep pertumbuhan Kriteria hasil : a. Keluarga pasien mengetahui pertumbuhan yang proporsional untuk pasien b. Pasien dapat mencapai pertumbuhan yang diharapkan Intervensi dan Rasionalisasi No Intervensi Rasionalisasi 1 Kaji pengetahuan penerimaan asuhan, sistem pendukung untuk pertumbuhan, dll Pengetahuan sangat berpengaruh dengan intervensi selanjutnya yang akan diambil 2 Ajarkan pada keluarga pasien mengenai pola pertumbuhan, kebutuhan nutrisi pertumbuhan Pengetahuan tentang pola pertumbuhan akan membuat keluarga memahami kepatuhan pengobatan, sedangkan nutrisi juga berpengaruh dengan pertumbuhan 3 Kolaborasi: Koordinasikan dengan tim kesehatan untuk melakukan tindakan medis (osteotomy)
Untuk menyelaraskan bentuk kaki. No Intervensi Rasionalisasi 1 Diskusikan dengan keluarga pasien mengenai aktivitas sesuai pertumbuhan dan yang mendukung peningkatan aktivitas Keluarga dapat memahami aktivitas yang sesuai 2 Ajarkan keluarga pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada bagian tubuh yang sehat ROM membuat bagian tubuh yang sehat agar tidak ikut sakit 3 Lakukan terapi aktivitas mobilitas sendi Penggunaan anggota tubuh pasif atau aktif untuk mempertahankan dan memperbaiki fleksibilitas sendi 4 Mobilisasi posisi secara berkala sesuai indikasi yang dianjurkan Memobilisasi bagian tubuh dapat menberikan kenyamanan, menurunkan resiko kerusakan kulit, mendukung integritas kulit dan mempercepat penyembuhan
42
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampilan abnormal Tujuan : Pasien dapat menerima penampilannya dan Gangguan citra tubuh berkurang Kriteria Hasil : a. Pasien dapat mengidentifikasi keinginan secara verbal dan dapat berinteraksi dengan teman sebaya b. Pasien mengungkapkan dan mendemonstrasikan penerimaan penampilan c. Pasien mengalami perspektif yang positif terhadap penampilannya Intervensi dan Rasionalisasi No Intervensi Rasionalisasi 1 Diskusikan dengan orang tua bagaimana citra diri berkembang dan anjurkan untuk melakukan interaksi yang adekuat dengan anak Mendiskusikan tentang perkembangan citra diri anak dengan orang tua akan dapat mengukur pengetahuan orang tua terhadap konsep diri, sehingga dapat menambah pengetahuan yang kuran, sedangkan interaksi yang adekuat dapat memberi kenyamanan anak untuk mengungkapkan citra diri 2 Anjurkan Orang tua/orang terdekat untuk memberikan support system terhadap perubahan fisik dan emosional.
Orang tua/orang terdekat mempunyai pengaruh lebih dominan ntuk membantu pasien menerima keaadaannya sekarang ketika sudah di masyarakat.
3 Pertahankan lingkungan yang kondusif untuk perubahan citra tubuh Lingkungan kondusif dapat membuat pasien lebih mudah mengungkapkan perasaannya dan lebih mudah bersosialisasi 4 Bantu klien dalam mengembangkan mekanisme koping untuk mengatasi perubahan fisik Meningkatkan rasa percaya diri pasien sehingga tidak merasa minder dengan perubahan fisiknya
43
BAB 3 CONTOH KASUS KASUS SEMU Ny. T (31 tahun) datang ke Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga pada tanggal 2 April 2013 dengan anak H (8 tahun).An H mengalami pembengkokan membentuk huruf O pada kakinya. Sebelumnya keadaan ini dianggap wajar oleh keluarga An H, akan tetapi lama kelamaan An H merasakan ada yang aneh pada kakinya karena tinggi badan An H tidak berkembang seperti teman-temannya yang lain. Ketika berjalan, An H terlihat lebih lambat dan hati- hati. Selain itu, An H sering merasa akan terjatuh saat berjalan. Menurut keterangan sang ibu An. Y tidak pernah mengalami trauma sebelumnya. Kemudian dokter mendiagnosis: Genuvarum. 3.1 Pengkajian 1. Anamnesa a. Identitas Klien Nama : An. H Usia : 8 thn Jenis kelamin : laki-laki Agama : islam Pendidikan : SD Pekerjaan : - Alamat : Surabaya b. Riwayat Penyakit Sekarang Klien datang ke rumah sakit denga keluhan bentuk kaki yang menyerupai huruf O, pertumbuhan yang tidak sesuai dengan teman- temannya, dan jalan yang lebih berhati-hati atau melambat c. Keluhan Utama Klien menyatakan yang paling dirasakan saat ini adalah sering terjatuh pada saat berjalan, serta gerakan berjalan yang melambat d. Riwayat Penyakit Dahulu Klien mengatakan bahwa sebelumnya klien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya dengan penyakit yang berbeda
44
e. Riwayat Penyakit Keluarga Dari anggota klien tidak ada yang mengalami gangguan kesehatan seperti yang dialami klien. f. Persepsi keluarga terhadap kondisi anak. Keluarga menerima kondisi anak sebagai cobaan dari Tuhan g. Perubahan proses keluarga Keluarga tidak begitu mengalami perubahan pada proses keluarga karena ibu An H adalah ibu rumah tangga yang menunggu An H di RS dan tidak mengganggu penghasilan keluarga 1. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan Pertumbuhan a. BB : 2,8 kg b. TB : 50 cm c. LLA : 10 cm Perkembangan Tahap perkembangan Psikoseksual Tahap perkembangan Psikoseksual An H adalah Fase Latensi, pada fase ini semua aktifitas dan fantasi seksual seakan-akan tertekan, karena perhatian anak lebih tertuju pada hal-hal di luar rumah. Tetapi keingin- tahuan tentang seksualitas tetap berlanjut. Dari teman-teman sejenisnya anak-anak juga menerima informasi tentang seksualitas yang sering menyesatkan. Keterbukaan dengan orangtua dapat meluruskan informasi yang salah dan menyesatkan itu. Pada fase ini dapat terjadi gangguan hubungan homoseksual pada laki-laki maupun wanita. Kegagalan dalam fase ini mengakibatkan kurang berkembangnya kontrol diri sehingga anak gagal mengalihkan energinya secara efisien pada minat belajar dan pengembangan ketrampilan.Tahap perkembangan psikososial Tahap perkembanga Usia sekolah (Industry Vs Inferiority), pada tahap ini, anak mulai mencoba untuk beraktualisai dengan teman- temannya, dengan tujuan agar mereka mendapatkan pengakuan atas
45
kemampuannya. Bila menemui kegagalan dalam perkembangan ini, manusia yang bersangkutan akan lebih menjadi bersifat inferior. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik pada klien dengan genuvarum, ditemukan hasil sebagai berikut: Tanda tanda vital TD : 90/60 mmhg Nadi : 86x/menit (normal) RR : 22x/menit (normal) Suhu : 37 derajat celcius (normal) 1. B1 (Breath) Tidak ditemukan masalah keperawatan 2. B2 (Blood) Tidak ditemukan masalah keperawatan 3. B3 (Brain) Tidak ditemukan masalah keperawatan 4. B4 (Bladder) Tidak ditemukan masalah keperawatan 5. B5 (Bowel) Tidak ditemukan masalah keperawatan 6. B6 ( Bone) 1. Kemampuan berjalan yang terlihat tidak seimbang (goyang- goyang). 2. Klien terlihat tidak bebas ketika menggerakkan kakinya. 3. klien lebih sika menyendiri (menarik diri) dan sering melihat kakinya dengan pandangan kosong. Kekuatan otot : 5 5 4 4
46
3. Pemeriksaan Diagnostik Pada genu varum dilakukan beberapa pemeriksaan antara lain : 1. Radiography : AP dengan berbaring 1) Keparahan genu varum untuk usia anak 2) Torsi tibia internal yang berlebihan 3) Peningkatan genu varum 4) Tungkai yang asimetri atau tidak selaras 5) Dorongan ke arah lateral 6) Adanya nyeri 7) Pemeriksaan pinggul yang tidak normal 2. Radiographic characteristics: AP dengan berdiri a. Penampakan yang normal pad pertumbuhan plantar kaki b. Medial bowing yang mempengaruhi tibia proksimal dan femur distal c. Mengukur sudut Metaphyseal/Diaphyseal dari upper tibia. d. Mengukur sudut pada pinggul-lutut-angkle. 3. Laboratorium Jika anak mengalami deformitas secara umum maka diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya kelainan pada sistem metabolik yang meliputi : a. Kalsium, fosfat, alkaline fosfat, kreatinin, dan hematokrit. b. PTH c. 25 Hydroxy Vitamin D d. I25 Dehydroxy Vit D 3.2 Diagnosa Keperawatan a. Resiko cidera berhubungan dengan sering terjatuh karena perubahan mobilitas sekunder b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan aktivitas c. Pertumbuhan, resiko tidak proporsional berhubungan dengan penyakit (penekanan pada epifisis) d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampilan abnormal
47
3.3 Intervensi Keperawatan 1. Resiko cidera berhubungan dengan sering terjatuh karena perubahan mobilitas sekunder. Tujuan : Resiko terjadinya cidera dapat dikendalikan dan menurun dalam waktu 2x24 jam Kriteria hasil : a. Keluarga pasien dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko cidera b. Keluarga pasien dapat mengungkapkan keinginan untk melakukan tindakan pengamanan terhadap cidera c. Keluarga pasien dapar memilihkan kegiatan/permainan yang dapat menghindarkan pasien dari resiko cidera.
Intervensi dan Rasionalisasi Intervensi Rasionalisasi Berikan informasi pada keluarga pasien tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko cidera Pemberian informasi yang adekuat dapat memberi pengetahuan pada keluarga sehingga keluarga dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko cidera Diskusikan dengan orang tua pasien mengenai perlunya pemantauan konstan terhadap kegiatan px Pemantauan terhadap kegiatan pasien dapat meminimalisir resiko cidera Berikan informasi untuk membantu orang tua dalam memilih pengasuhan yang tepat dengan tumbuh kembang tanpa menyebabkan cidera Cara pengasuhan yang tepat, yaitu membebaskan anak berkreasi sesuai dengan pola tumbuh kembang dengan pengawasan orang tua akan membuat anak merasa nyaman dan tidak stress
48
Identifikasi faktor lingkungan yang dapat menyebabkan jatuh (lantai licin, anak tangga, karpet, dll.) Selain faktor internal, faktor eksternal lingkungan memungkinkan mencaji pemacu terjadinya resiko cidera Modifikasi faktor-faktor lingkungan yang bisa menyebabkan cidera dan menggunakan alat bantu dalam berjalan Lingkungan yang aman dapat meminimalisir cidera
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan aktivitas Tujuan : Pasien menunjukkan peningkatan kekuatan dan ketahanan tungkai serta dapat melakukan aktivitas sesuai tahap pertumbuhan dan perkembangan. Kriteria Hasil : a. keluarga dapat mengidentifikasi aktivitas yang sebaiknya dilakukan pasien b. pasien menunjukkan tingkat mobilisasi Intervensi dan Rasionalisasi Intervensi Rasionalisasi Diskusikan dengan keluarga pasien mengenai aktivitas sesuai pertumbuhan dan yang mendukung peningkatan aktivitas Keluarga dapat memahami aktivitas yang sesuai Ajarkan keluarga pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada bagian tubuh yang sehat ROM membuat bagian tubuh yang sehat agar tidak ikut sakit Lakukan terapi aktivitas mobilitas sendi Penggunaan anggota tubuh pasif atau aktif untuk mempertahankan dan memperbaiki fleksibilitas sendi Mobilisasi posisi secara berkala sesuai indikasi yang dianjurkan Memobilisasi bagian tubuh dapat menberikan kenyamanan,
49
menurunkan resiko kerusakan kulit, mendukung integritas kulit dan mempercepat penyembuhan
3. Pertumbuhan, resiko tidak proporsional berhubungan dengan penyakit (penekanan pada epifisis) Tujuan : Pertumbuhan yang normal sesuai dengan konsep pertumbuhan Kriteria hasil : a. Keluarga pasien mengetahui pertumbuhan yang proporsional untuk pasien b. Pasien dapat mencapai pertumbuhan yang diharapkan Intervensi dan Rasionalisasi Intervensi Rasionalisasi Kaji pengetahuan penerimaan asuhan, sistem pendukung untuk pertumbuhan, dll Pengetahuan sangat berpengaruh dengan intervensi selanjutnya yang akan diambil Ajarkan pada keluarga pasien mengenai pola pertumbuhan, kebutuhan nutrisi pertumbuhan Pengetahuan tentang pola pertumbuhan akan membuat keluarga memahami kepatuhan pengobatan, sedangkan nutrisi juga berpengaruh dengan pertumbuhan Kolaborasi: Koordinasikan dengan tim kesehatan untuk melakukan tindakan medis (osteotomy)
Untuk menyelaraskan bentuk kaki.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampilan abnormal Tujuan : Pasien dapat menerima penampilannya dan Gangguan citra tubuh berkurang Kriteria Hasil :
50
a. Pasien dapat mengidentifikasi keinginan secara verbal dan dapat berinteraksi dengan teman sebaya b. Pasien mengungkapkan dan mendemonstrasikan penerimaan penampilan c. Pasien mengalami perspektif yang positif terhadap penampilannya Intervensi dan Rasionalisasi Intervensi Rasionalisasi Diskusikan dengan orang tua bagaimana citra diri berkembang dan anjurkan untuk melakukan interaksi yang adekuat dengan anak Mendiskusikan tentang perkembangan citra diri anak dengan orang tua akan dapat mengukur pengetahuan orang tua terhadap konsep diri, sehingga dapat menambah pengetahuan yang kuran, sedangkan interaksi yang adekuat dapat memberi kenyamanan anak untuk mengungkapkan citra diri Anjurkan Orang tua/orang terdekat untuk memberikan support system terhadap perubahan fisik dan emosional.
Orang tua/orang terdekat mempunyai pengaruh lebih dominan ntuk membantu pasien menerima keaadaannya sekarang ketika sudah di masyarakat.
Pertahankan lingkungan yang kondusif untuk perubahan citra tubuh Lingkungan kondusif dapat membuat pasien lebih mudah mengungkapkan perasaannya dan lebih mudah bersosialisasi Bantu klien dalam mengembangkan mekanisme koping untuk mengatasi perubahan fisik Meningkatkan rasa percaya diri pasien sehingga tidak merasa minder dengan perubahan fisiknya
51
BAB 4 PENUTUP
3.1 Kesimpulan Polidaktili adalah suatu kelainan yang diwariskan oleh gen autosomal dominan P. Polidaktili disebabkan oleh kelainan genetik dan kromosom sertafaktor teratogenik. Manifestasi linik polidaktili adalah jumlah jari lebih dari normal pada salah satu atau kedua jari tangan atau kaki. Polidaktili terdapat 7 tipe. Penatalaksanaan Polidaktili dengan tindakan pembedahan. Sindaktili adalah kondisi terdapatnya tidak adanya atau pembentukkan inkomplet jeda jarak diantara dua jari-jari. Sindaktili disebabkan oleh faktor eturunan. Sindaktili terdapat 5 tipe dan diklasifikasikan menjadi simpel sindaktili, sindaktili komplek, sindaktili parsial, sindaktili komplit, complicated syndactyly, acrosyndactyly. Penatalaksanaan sindaktili dengan cara bedah dan non-bedah. Genu Varum (bowleg) merupakan melengkungnya tibia kearah lateral. Genu Valgum (Knock-knee), tampak berlawanan dengan Genu Varum. Penyebab Genu Varum dan Genu Valgum adalah posisi tidur yang salah, kebiasaan duduk yang salah, pemakaian popok sekali pakai dalam waktu yang lama, Kebiasaan menggendong yang salah. Kemudian jenis kelamin dan obesitas turut menjadi etiologi. Penatalaksanaan meliputi non-operatif (edukasi, Brace treatment, KAFO) dan operatif.
3.2 Saran Setelah mahasiswa mengikuti SGD serta membaca membaca makalah ini diharapkan lebih memahami tentang konsep teori Polidaktili, Syndaktili, dan CETV (Genu Valgum dan Genu Varum). Serta dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada anak dengan Polidaktili, Syndaktili, dan CETV (Genu Valgum dan Genu Varum) secara komprehensif.
52
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman, dan Hal B. Jenson, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed 16. Philadelphia: WB Saunders Company, 2000 Brunner, R., Freuler, Hasler & Jundt 2007, F. Hefti pediatric Orthopedics in practice, Springer, Berlin. Doyle, James R 2006, Orthopaedic surgery essentials : Hand & wrist, Lippincot Williams & Wilkins, United States. Herring, Jon Anthony 2013, Tachdjians pediatric orthopaedics 5th edition, Elsevier, USA. Hudgins, Louanne, et al 2014. Sign and symptoms of genetic condition,. Oxford, USA. Hurley, Robert A. 2011, Operative techniques in orthopaedic pediatric surgery, Lippicot Williams, Philadelphia. Kallen, Bengt 2014, Epidemiology of human congenital malformations, Springer, New York. Kenner, Carol & Judy Wright Lott 2013, Comprehensive neonatal nursing care fifth edition, Springer, USA. Morrissy, Raymond T. & Stuart L. Weinstein 2006, Pediatric orthopaedics sixth edtion, Lippincot Williams & Wilkins, United States. Parvizi, Javad 2010, High yield orthopaedics, Elsevier Saunders, USA. Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan dengan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC. Rudolph, Colin D., dan Abraham M. Rudolph 2003, editor. Rudolph Pediatrics. 21 ed. New York: McGraw-Hill. Scanderbeg, A. Castriota & B. Dallapiccola 2005, Abnormal skeletal phenotypes: from simple signs to complex diagnosis, Springer, Germany. Staheli, Lynn. 2008. Fundamental of Pediatric Orthopedics. Philadelphia : Lippicontt Williams & Wilkins. Watson, Roger. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat. Jakarta : EGC Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Jakarta : EGC
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis