Anda di halaman 1dari 10

Filsafat Islam dan Filsafat Yunani

Pengertian Filsafat Islam


Menurut Mustofa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata
hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum Al-Islam (hakim-
hakim Islam) sama dengan falasifatul Islam (failasuf-failasuf Islam). Hal ini dikuatkan oleh
Dr. Faud Al-Ahwani, bahwa kebanyakan pengaran-pengarang Arab menempatkan kalimat
hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat failusuf
atau sebaliknya. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa sebenarnya kata hikmah itu
berada di atas kata filsafat.

Al-Farabi berkata: Failusuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari
kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu memarifati Allah yang
mengandung pengertian memarifati kebaikan.
Ibnu Sina mengatakan, hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat
menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun
praktik menurut kadar kemampuan manusia.
Kemudian Ahli tafsir Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang
berhubungan dengan rahasia-rahasia, yang kokoh/rapi, dan bermanfaat dalam menggerakkan
amal pekerjaan.
Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal makna hikmah adalah tali kendali untuk kuda
dalam mengekang kenakalannya. Dari sini makna diambillah kata hikmah dalam arti
pengetahuan atau kebijaksanaan karena hikmah ini menghalang-halangi dari orang yang
mempunyai perbuatan rendah. Kemudian hikmah diartikan perkara yang tinggi yang dapat
dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu yaitu akal dan metode-metode
berpikirnya.
Apabila melihat ayat-ayat Al-Quran, maka ada beberapa arti yang dikandung dalam
kata hikmah itu, antara lain adalah:
Untuk memperhatikan keadaan dengan seksama untuk memahami rahasia syariat dan maksud-
maksudnya.
Kenabian
Dengan demikian hikmah yang diidentikkan dengan filsafat adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat
praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.
Sampailah kita pada pengertian Filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam.
Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di
bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya.
Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang
telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya
dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.
Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan: Filsafat Arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk
suatu ras atau umat. Meskipun demikian saya mengutamakan menamakannya filsafat Islam,
karena Islam bukan akidah saja, tetapi juga sebagai peradaban. Setiap peradaban mempunyai
kehidupannya sendiri dalam aspek moral, material, intelektual dan emosional. Dengan demikian,
Filsafat Islam mencakup seluruh studi filosofis yang ditulis di bumi Islam, apakah ia hasil karya
orang-orang Islam atau orang-orang Nasrani ataupun orang-orang Yahudi (Fuad Al-Ahwani,
Hal. 15).
Drs. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut: Bahwa Tuhan memberikan akal
kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu/sunnah) untuk dia. Dengan akal itu ia membentuk
pengetahuan. Apabila pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal, menjadilah ia filsafat
Islam. Wahyu dan Sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan
kebenarannya dengan riset, filsafat Islamlah yang memberikan keterangan, ulasan dan tafsiran
sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum
(Drs. Sidi Gazalba, hal. 31).
Dengan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang
dicelup ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu.
Banyak di kalangan para ahli berbeda dalam menanamkan filsafat Islam. Apakah ia merupakan
filsafat Islam atau filsafat Arab atau ada nama lain dari kedua istilah itu.
Prof. Muin, menyatakan apabila filsafat itu disebut dengan Filsafat Arab, berarti mengeluarkan
orang Iran, orang Afghanistan, orang Pakistan, dan orang India. Oleh karena itu memilih dengan
Filsafat Islam. Demikian pula orientalis Perancis Courbin, seorang Islamolog dan kebudayaan
Iran, membela dengan Filsafat Islam. Sebagaimana dikatakannya. Jika kita mengambil nama
Filsafat Arab, pengertiannya sempit sekali bahkan keliru.
Berbeda dengan As-Sahrawardi Ar-Razi, beliau lebih suka memilih pendapat yang
menamakannya Filsafat di dunia Islam, adapun Mauric de Wild, Emik Brehier dan Lutfi As
Sayid menyebutkan dengan Filsafat Arab. Pada umumnya pendapat yang menyebutkan Filsafat
Arab beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa Arab, atau ia diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa Arab.
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga
hidup dan suburnya pemikiran filsafat tersebut adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan
ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa filsafat
tersebut adalah hasil orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan
bahwa Islah telah mempersatukan berbagai-bagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam
memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sebaliknya kalau yang dimaksud dengan
filsafat Islam adalah hasil pemikiran kaum muslimin semata-mata, juga berlawanan dengan
sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Yacobias dari golongan
Masehi, Yahudi dan penganut agama Shabiah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan filsafat
selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam,
mengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga peradaban. Pemikiran filsafat ini
sudah barang tentu berpengaruh oleh peradaban Islam tersebut, meskipun pemkiran itu banyak
sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik
tentang problem-problemnya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah
memadu dan menampung aneka peradaban serta pemikiran dalam satu kesatuan. Apabila hal ini
ditunjang dengan pemakaian buku-buku yang berasal dari filosuf Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusyd, ataupun Al-Farabi.
Objek Filsafat Islam
Telah disebutkan bahwa objek filsafat adalah menelaah hakikat tentang Tuhan, tentang manusia
dan tentang segala realitas yang nampak di hadapan manusia. Ada beberapa persoalan yang biasa
dikedepankan dalam mencari objek filsafat meskipun akhirnya tidak akan lepas dari ketiga hal
itu, yaitu:
Dari apakah benda-benda dapat berubah menjadi lainnya, seperti perubahan oksigen dan
hidrogen menjadi air?
Apakah jaman itu yang menjadi ukuran gerakan dan ukuran wujud semua perkara?
Apakah bedanya makhluk hidup dengan makhluk yang tidak hidup?
Apakah ciri-ciri khas makhluk hidup itu?
Apa jiwa itu? Jika jiwa itu ada, apakah jiwa manusia itu abadi atau musnah?
Dan masih ada lagi pertanyaan-pertanyaan lain.
Persoalan-persoalan tersebut membentuk ilmu fisika dan dari sini kita meningkat kepada ilmu
yang lebih umum ialah ilmu metafisika, yang membahas tentang wujud pada umumnya, tentang
sebab wujud, tentang sifat zat yang mengadakan. Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan:
Apakah alam semesta ini wujud dengan sendirinya ataukah ia mempunyai sebab yang tidak
nampak?
Kemudian kita dapat membuat obyek pembahasa lagi, yaitu pengetahuan/pengenalan itu sendiri,
cara-cara dan syarat-syarat kebenaran atau salahnya, dan dari sini maka keluarlah ilmu logika
(ilmu mantiq) yang tidak ada kemiripannya dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian kita melihat
kepada akhlak dan apa yang seharusnya diperbuat oleh perorangan, keluarga dan masyarakat,
yang berbeda dengan ilmu. Sosiologi lebih menekankan kepada pengertian tentang gejala-gejala
kemasyarakatan dan hubungannya, tanpa meneliti apa yang seharusnya terjadi.
Dari uraian ini, maka filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui
sebab-sebab yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu
sebab. Ilmu terhadap wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena
pengetahuan secara terperinci menjadi lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya
keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan pada
umumnya.
Dengan demikian filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan
terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk
menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-
fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses
pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola
pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada
kebenaran ajaran ialah Islam.
Hubungan Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam
terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosuf Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles
dan mereka banyak tertarik terhadap pemikiran-pemikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori
filosuf Yunani diambil oleh filsuf Islam.
Demikian keadaan orang yang dapat kemudian. Kedatangan para filosuf Islam yang terpengaruh
oleh orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada
abad ke-20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan
tetap berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat
Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, sebagaimana yang dikatakan oleh Renan,
karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran.
Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India
dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu
dikatakan utang budi. Suatu persoalan dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak.
Seorang dapat mengemukakan persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil
mengemukakan teorinya sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia
mempunyai mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia mempunyai
pemikiran yang berbeda-beda.
Para filsuf Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa
yang dialami oleh filsuf-filsuf lain. Sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka
tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya, tidaklah dapat dipungkiri bahwa dunia Islam berhasil
membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu
sendiri.
Hubungan Filsafat Islam dengan Ilmu-ilmu Islam
Keunggulan khusus bagi filsafat Islam dalam masalah pembagian cabang-cabangnya adalah
mencakup ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik ataupun falak yang semuanya menjadi cabang
filsafat Islam. Sehingga hal ini menjadi nilai lebih bagi filsafat Islam. Dengan demikian filsafat
Islam secara khusus memisahkan diri sebagai ilmu yang mandiri. Walaupun hasil juga
ditemukan keidentikan dengan Pemandangan orang Yunani (Aristoteles) dalam masalah teori
tentang pembagian filsafat oleh filosuf-filosuf Islam.
Filsafat memasuki lapangan-lapangan ilmu ke-Islaman dan mempengaruhi pembatas-
pembatasnya. Penyelidikan terhadap keilmuan meliputi kegiatan filsafat dalam dunia Islam. Dan
yang menjadi perluasan ilmu dengan tidak membatasi diri dari hasil-hasil karya filosuf Islam
saja, tetapi dengan memperluas pembahasannya. Hasil ini meliputi ilmu kalam, tasawuf, ushul
fiqh dan tarikh tasyri.
Para ulama Islam memikirkan sesuatu dengan jalan filsafat ada yang lebih berani dan lebih bebas
daripada pemikiran-pemikiran mereka yang biasa dikenal dengan nama filosuf-filosuf Islam. Di
mana perlu diketahui bahwa pembahasan ilmu kalam dan tasawuf banyak terdapat pemikiran dan
teori-teori yang tidak kalah teliti daripada filosuf-filosuf Islam.
Pemikiran Islam mempunyai ciri khas tersendiri dibanding dengan filsafat Aristoteles, seperti
halnya pemikiran Islam pada ilmu kalam dan tasawuf. Demikian pula pada pokok-pokok hukum
Islam (tasyri) dan Ushul Fiqh juga terdapat beberapa uraian yang logis dan sistematis dan
mengandung segi-segi kefilsafatan. Syekh Mustafa Abdur Raziq adalah orang yang pertama
mengusulkan ilmu Fiqh menjadi bagian dari filsafat. Berikut ini ada beberapa hubungan filsafat
Islam dengan Ilmu Tasawuf, Ilmu Fiqh, dan Ilmu Pengetahuan:
Filsafat Islam dengan Ilmu Kalam
Problem yang ada terhadap filsafat Islam, apakah identik dengan Ilmu Kalam? Ataukah sebagai
ilmu yang berdiri sendiri? Apakah ilmu kalam itu sebagai cabang dari filsafat?
Ada beberapa pendapat ahli yang mencoba menjawab pertanyaan di atas antara lain:
Dr. Fuad Al-Ahwani di dalam bukunya Filsafat Islam tidak setuju kalau filsafat sama
dengan ilmu kalam. Dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Karena ilmu kalam dasarnya adalah keagamaan atau ilmu agama. Sedangkan filsafat merupakan
pembuktian intelektual. Obyek pembahasannya bagi ilmu kalam berdasar pada Allah SWT. dan
sifat-sifat-Nya serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia yang berada di bahwa syariat-Nya.
Objek filsafat adalah alam dan manusia serta pemikiran tentang prinsip wujud dan sebab-
sebabnya. Seperti filosuf Aristoteles yang dapat membuktikan tentang sebab pertama yaitu
Allah. Tetapi ada juga yang mengingkari adanya wujud Allah SWT. sebagaimana aliran
materialisme.
Ilmu kalam adalah suatu ilmu Islam asli yang menurut pendapat paling kuat, bahwa ia lahir dari
diskusi-diskusi sekitar Al-Quran yaitu Kalam Allah, apakah ia Qadim atau makhluk. Perbedaan
pendapat terjadi antra Kaum Mutazilah, pengikut Ahmad bin Hambal dan pengikut-pengikut
Asyari. Adapun filsafat adalah istilah Yunani yang masuk ke dalam bahasa Arab sebagai
penegasan Al-Farabi bahwa nama filsafat itu berasal dari Yunani dan masuk ke dalam bahasa
Arab.
Pada Abad 2 H, telah lahir filsafat Islam, dengan bukti adanya filosuf-filosuf Islam seperti Al-
Kindi.
Di samping itu, di kalangan ahli ilmu kalam sudah ada ahli yang terkenal seperti Al-Annazam,
Al-Jubbai, Abul-Huzail Al-Allaf. Para ahli ilmu kalam ini tidak ada yang menamakan diri
sebagai filosuf. Dan ada pertentangan tajam di antara kedua belah pihak. Sebagaimana Al-
Ghazali sebagai pengikut aliran Asyariyah yang menulis kitab Tahafutul Falasifah. Namun dari
kalangan ahli filsafat, Ibnu Rusyd menjawab terhadap tuduhan itu dengan menulis: Tahafutul Al-
Tahafuit (Inkosistensinya kitab Tahafut).
Prof. Tara Chana
Dia mengemukakan bahwa istilah filsafat Islam adalah untuk arti dari ilmu kalam. Ia lebih lanjut
menyatakan bahwa filsafat itu telah lahir dari kebutuhan Islam dan perdebatan keagamaan dan
pada dasarnya mementingkan pengukuhan landasan aqidah atau mencarikan dasar filosofisnya,
ataupun untuk membangun pemikiran-pemikiran theologi keagamaan.
Prof. Fuad Al-Ahwani
Ia mengakui, bahwa sekolah pada abad ke-6 H, filsafat telah bercampur dengan ilmu kalam,
sampai yang terakhir ini telah menelan filsafat sedemikian rupa dan memasukkannya di dalam
kitab-kitabnya. Sehingga kitab-kitab tauhid yang membahas ilmu kalam didahului dengan
pendahuluan mengenai logika Aristoteles dengan mengikuti cara para filosuf.
Share this:
















Apa Itu Filsafat Islam?
Ketika ditanya apa itu filsafat, seorang mahasiswa menjawab singkat: filsafat itu mencari
kebenaran. Dengan cara berpikir dan bertanya terus-menerus.Tentang segala hal: dari persoalan
gajah sampai persoalan semut, dari soal hukum dan politik hingga soal moral dan metafisika,dari
soal galaksi sampai soal bakteri. Kalau begitu, berarti filsafat itu ada dimana-mana. Memang
benar, filsafat ada di Barat dan di Timur. Ada filsafat Yunani, filsafat India, filsafat Cina, filsafat
Kristen, dan juga filsafat Islam. Inilah makna filsafat sebagai kearifan (sophia) dan pengetahuan
(sapientia) yang dicapai manusia dengan akal pikirannya.
Tiga Istilah
Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum untuk filsafat. Pertama,
istilah hikmah,yang tampaknya sengaja dipakaiagar terkesan bahwa filsafat itu bukan barang
asing, akan tetapi berasal dari dan bermuara pada al-Quran. Al-Amiri, misalnya, menulis
bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh
Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno itu sebagai ahli hikmah
(al-hukama as-sabah)yakni Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon.
Demikian pula al-Kindi, yang menerangkan bahwa falsafah itu artinya hubb al-hikmah (cinta
pada kearifan). Sementara Ibn Sina menyatakan bahwa: hikmah adalah kesempurnaan jiwa
manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran
dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-
insaniyyah bi tashawwur al-umur wa t-tashdiq bi l-haqaiq an-nazhariyyah wa l-amaliyyah ala
qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai hikmah sedemikian makaiatelah mendapat
anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.
Sudah barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam al-Ghazali termasuk yang
menentangnya. Menurut beliau, lafaz hikmah telah dikorupsi untuk kepentingan filsuf, karena
hikmah yang dimaksud dalam kitab suci al-Quran itu bukan filsafat, melainkan Syariat Islam
yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.
Yang kedua adalah istilah falsafah, yang diserap ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan
karya-karya Yunani kuno. Definisinya diberikan oleh al-Kindi: filsafat adalah ilmu yang
mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis mencari
kebenaran, manakala filsafat praktis mengarahkan pelakunya agar ikut kebenaran. Berfilsafat itu
berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat merupakan usaha manusia mengenal dirinya. Demikian
tulis al-Kindi.
Sekelompok cendekiawan bernamaIkhwan as-Shafa menambahkan: Filsafat itu berangkat
darirasaingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang anda
tahu (al-falsafah awwaluha mahabbatul-ulum wa akhiruha al-qawl wal-amal bi-ma
yuwafiqul-ilm).
Ketiga, istilah ulum al-awail yang artinya ilmu-ilmu orang zaman dulu. Yaitu ilmu-ilmu yang
berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia, Yunani dan Romawi. Termasuk
diantaranya ilmu logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.
Tiga Perspektif
Terdapat beberapa pandangan mengenai matriks filsafat Islam. Pandangan pertamadipegang oleh
mayoritas orientalis. Filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: It is Greek
philosophy in Arabic garb, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamsonyang lebih suka
menyebutnya sebagai filsafat [berbahasa] Arab (Arabic Philosophy).Dibalik pandangan ini
terselip rasisme intelektual bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim
sekadar mengambil danmemelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Memang,
dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali
dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai
Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu,sebagai jembatan peradaban
(Kulturvermittler)dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan.
Pandangan kedua menganggap filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang
telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah mencomot dan
terpengaruh oleh tradisiYahudi-Kristen. Pendapat ini diwakili Rahib Maimonides: Ketahuilah
olehmu bahwa semua yang dilontarkan oleh orang Islam dari golongan Mutazilah maupun
Asyariyah mengenai masalah-masalah ini berasas pada sejumlah proposisi-proposisi yang
diambil dari buku-buku orang Yunani dan Syria yang ditulis untuk menyanggah para filosof dan
mematahkan argumen-argumen mereka.
Dua sudut pandang tersebut di atas dikritik tajam antara lain oleh Seyyed Hossein Nasr.
Orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai
barang purbakala atau artifak museum, sehingga pendekatannya melulu historis dan filologis. Di
mata orientalis semisal Van den Bergh, Walzer dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok
mummi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Akibatnya, lanjut Nasr, para
orientalis itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat Islam sebagai kegiatan intelektual yang
terus hidup dari dahulu sampai sekarang: Islamic philosophy has remained a major intellectual
activity and a living intelllectual tradition within the citadel of Islam to this day, di pusat-pusat
keilmuan di Dunia Islam.
Yang ketiga adalah perspektif revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari kegiatan
intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Bukankah perbincangan tentang
kemahakuasaan dan keadilan Tuhan,tentang hakikat kebebasan dan tanggung-jawab manusia
merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat? Munculnya kelompok Khawarij, Syiah,Mutazilah
dan lain-lain,yang melontarkan pelbagai argumen rasional disamping merujuk kepada ayat-ayat
al-Quran jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam. Contohnya
sepucuk surat dari al-Hasan al-Basri kepada Khalifah perihal qadha dan qadar, dimana beliau
menangkis argumen kaum fatalis maupun argumen rasionalis sekular. Perdebatan seru segera
menyusul di abad-abad berikutnya seputar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa, masa,
dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan serta keazalian dan
keabadian alam semesta.
Pandangan revisionis ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan Alparslan
Akgen. Filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian Ibnu
Rusyd. Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat
Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Quran yang menduduki posisi sentral
dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver Leaman,filsafat Islam adalah
nama generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkup peradaban
Islam, terlepas apakah mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun non-Arab, Muslim
ataupun non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan,berbahasa Arab, Parsi, Ibrani,
Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dulu sampai sekarang ini. Leaman
mencermati adanya cara pandang Islami yang membingkai itu semua (framed within the
language of Islam, within the cultural context of Islamic society). Artinya, filsafat Islam itu luas
dan kaya.
Corak Filsafat
Masih menurut Oliver Leaman, filsafat Islam itu sangat filosofis dalam arti logis- analitis,terus
hidup dan penuh gejolak, tidak sekadar melanjutkan tradisi sebelumnya, akan tetapi juga
memperlihatkan terobosan-terobosan kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan klasik
maupun modern: MuchIslamic philosophy, like much philosophy of any kind, is just the
accretion of new technical representaions of existing issues . new traditions of thinking about
problems and resolving difficult conceptual issues(Lihat: History of Islamic Philosophy, London:
Routledge, 1996, hlm. 1-10).
Pernyataan serupa diutarakan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir seperti Ibrahim Madkour,
Musthafa Abdur Raziq, dan Syekh Abdul Halim Mahmud. Filsafat Islam itu Islami dari
empat segi: pertama, dari sisi masalah-masalah yang dibahas; kedua, dari aspek konteks sosio-
kulturalnya; ketiga, dari sudut faktor-faktor pemicu serta tujuan-tujuannya; dan keempat, dari
kenyataan bahwa para pelakunya hidup di bawah naungan kekuasaan Islam (Lihat: I. Madkour,
al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa tathbiquhu, hlm.19).
Memang, jika ditelusuri dan diteliti karya-karyanya, para filsuf Muslim bukan semata-mata
membeo atau sekadar mereproduksi apa yang mereka pelajari dari ahli pikir Yunani kuno.
Mereka tidak pasif-reseptif, tidak menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah tanpa
resistensi dan sikap kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim semisal Ibn Sina, al-Baghdadi dan
ar-Razi mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi, menjelaskan dan
menyanggah, melontarkan kritik, memodifikasi dan menyaring, mengukuhkan dan
menambahkan, memperkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru pada
istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi baru untuk persoalan-persoalan
perennial dalam filsafat.
Selain berhasil menelurkan sintesis cemerlang dan membangun sistem pemikiran tersendiri, para
filsuf Muslim terutama berhasil mengakomodasi khazanah keilmuan Yunani kuno dalam
kerangka pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, mereka berupaya
mengislamkannya. Maka yang terjadi adalah islamisasi filsafat secara negatif (pengenyahan
unsur-unsur kufur) dan positif (pemasukan unsur-unsur Islami).
KontroversiFilsafat Islam
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap
filsafat bukan (i) sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat (ii) sebagai
barang impor yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme,
danliberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua (ii) inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim,
yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama,
mendewakanakal, melecehkanNabi, dansebagainya.
Di abad kelima Hijriyah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap filsafat dalam
karyanya Tahafut al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur tiga doktrin filsafat: pertama,
keyakinan filosof bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak
mengetahui perkara-perkara detil; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad
di hari qiyamat. Fatwa yang begitu keras melarang pengajaran filsafat juga dikeluarkan oleh Ibn
as-Sholah: Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan kesesatan.
Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya akan keutamaan Syariah suci yang ditopang dalil-
dalil dan bukti-bukti yang jelas. Siapa mempelajarinya akan bersama kehinaan, tertutup dari
kebenaran, dan terpedaya oleh setan.
Adapun filsafat dalam pengertian pertama, dengan tujuan ganda membenarkan yang benar
(ihqaq al-haqq) dan membatalkan yang batil (ibthal al-bathil) secara rasional, persuasif dan
elegan, maka bisa dikategorikan fardu kifayah. Seperti rasa ingin tahu Nabi Ibrahim yang
mendorongnya bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang mati. Allah balik bertanya,
Apakah engkau belum percaya? Nabi Ibrahim menjawab, Aku percaya, akan
tetapi[akubertanya] supaya hatiku tentram (mantap). Jadi, filsafat itu untuk mengokohkan
kebenaran sekaligus menghapus keraguan. (****)
On 19/07/2011 / Artikel / 1 Comment

Anda mungkin juga menyukai