Anda di halaman 1dari 7

Agen Perubahan

II. 1. 1 Pengertian Agen Perubahan


Usaha-usaha pembangunan suatu masyarakat selalu ditandai oleh adanya sejumlah orang yang
mempelopori, menggerakkan, dan menyebarluaskan proses perubahan tersebut. Mereka adalah
orang-orang yang disebut sebagai agen perubahan. Nama yang diberikan sesuai dengan misi yang
ingin dibawa, yakni membuat suatu perubahan yang berarti bagi sekelompok orang.
Menurut Soerjono Soekanto menyatakan, pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan
agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan sebagai
pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. (Soekanto, 1992:273)
Dalam rumusan Havelock (1973), agen perubahan adalah orang yang membantu terlaksananya
perubahan sosial atau suatu inovasi berencana.(Nasution, 1990:37) Pengenalan dan kemudian
penerapan hal-hal, gagasan-gagasan, dan ide-ide baru tersebut yang dikenal dengan sebagai
inovasi, dilakukan dengan harapan agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan akan
mengalami kemajuan. Agen perubahan juga selalu menanamkan sikap optimis demi terciptanya
perubahan yang diharapkan tadi. Segala sesuatu tidak akan dengan mudahnya dirubah tanpa
adanya sikap optimis dan kepercayaan terhadap diri sendiri bahwa dapat melakukan perubahan
tersebut.
Agen perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya,
agen perubahan langsung tersangkut dalam tekanan- tekanan untuk mengadakan perubahan.
Bahkan mungkin menyiapkan pula perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainnya. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan
terlebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (social engineering) atau sering pula dinamakan
perencanaan sosial (social planning) (Soekanto, 1992:273).
Suatu usaha perubahan sosial yang berencana tentu ada yang memprakarsainya. Prakarsa itu
dimulai sejak menyusun rencana, hingga mempelopori pelaksanaannya.
II. 1. 2 Kualifikasi Agen Perubahan
Duncan dan Zaltman dalam Komunikasi Pembangunan:Pengenalan Teori dan Penerapannya
mengemukakan kualifikasi dasar agen perubahan, yakni tiga yang utama di antara sekian banyak
kompetensi yang mereka miliki. Yaitu:
1) Kualifikasi teknis, kompetensi teknis dalam tugas spesifik dari proyek perubahan yang
bersangkutan. Misalnya pengetahuan dan keterampilan pertanian bagi seorang penyuluh
pertanian, pengetahuan dan wawasan tentang pemberdayaan perempuan bagi penyuluh/tenaga
lapangan yang LSM tempat ia bekerja khusus menangani tentang perempuan.
2) Kemampuan administratif, yaitu persyaratan administratif yang paling dasar dan elementer,
yakni kemauan untuk mengalokasikan waktu untuk persoalan-persoalan yang relatif menjelimet
(detailed). Maksudnya para agen perubahan merupakan orang yang menyediakan waktu dan
tenaga mereka untuk secara sepenuh hati mengurus masyarakat yang dibinanya.(Nasution,
1990:38)
3) Hubungan antarpribadi. Suatu sifat yang paling penting adalah empati, yaitu kemampuan
seseorang untuk mengidentifikasikan diri dengan orang lain, berbagi akan perspektif dan
perasaan mereka dengan seakan-akan mengalaminya sendiri.

Seorang agen perubahan tidak dengan mudahnya mampu membuat perubahan tanpa
menanamkan karakteristik dalam dirinya sendiri agar dapat menjadi panutan atau teladan
terhadap sekelompok orang yang menjadi target perubahannya. Seorang agen perubahan yang
berhasil, menurut Havelock (1970) memiliki karakteristik seperti berikut (Nasution, 1990:38):
1. Agen perubahan harus memiliki nilai-nilai dan sikap mental (attitudes) sebagai berikut:
a) Pertimbangan (concern) utamamya mengenai manfaat dari inovasi bagi pengguna akhir
(end user).
b) Pertimbangan utama mengenai manfaat inovasi yang disebarluaskannya bagi masyarakat
secara keseluruhan.
c) Respek terhadap nilai-nilai yang dianut dengan teguh oleh pihak lain.
d) Kepercayaan bahwa perubahan harus menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi yang
terbanyak (mayoritas).
e) Percaya bahwa masyarakat yang diubah mempunyai suatu kebutuhan, dan juga hak untuk
memahami mengapa perubahan dilakukan (rationale) dan hak untuk berpartisipasi dalam
memilih di antara alternatif cara dan tujuan perubahan itu sendiri.
f) Rasa yang kuat mengenai identitasnya sendiri dan upayanya untuk menolong orang lain.
g) Pertimbangan (concern) yang kuat untuk membantu tanpa menyakiti perasaan, untuk
membantu dengan resiko yang minimal untuk jangka pendek dan jangka panjang bagi
ketenangan masyarakat, baik sebagai keseluruhan, maupun individu tertentu dalam
masyarakat yang bersangkutan.
h) Respek terhadap institusi-institusi yang ada sebagai pencerminan concern yang sah
terhadap batas ruang kehidupan orang, keamanan, dan pengembangan identitas di balik
diri masing-masing.
2. Agen perubahan harus mengetahui hal-hal sebagai berikut (Nasution, 1990:39):

a) Bahwa individu-individu, kelompok, dan masyarakat merupakan sistem-sistem terbuka
yang saling berhubungan (open interrelating systems).
b) Bagaimana peranannya yang lain cocok dengan konteks sosial yang lebih luas dari
perubahan.
c) Konsepsi-konsepsi alternatif mengenai peranannya sekarang dan peranannya yang
potensial di masa mendatang.
d) Bagaimana orang lain memandang peranannya.
e) Lingkup kebutuhan manusia, hubungan-hubungannya dan peringkat prioritas yang
mungkin dalam berbagai tahap pada lingkaran kehidupan.
1. f.) Keseluruhan sumber-sumber (resources) dan cara untuk akses ke sana.
f) Mengapa orang dan sistem-sistem dapat berubah dan menolak perubahan.
g) Pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan yang dibutuhkan oleh seorang agen
perubahan dan seorang pengguna sumber-sumber yang efektif.
3. Agen perubahan harus memiliki keterampilan berikut (Nasution, 1990:39-40):

a. Bagaimana mengembangkan dan memelihara hubungan proyek perubahan dengan orang lain.
b. Bagaimana membawa orang ke suatu konsepsi mengenai kebutuhan dan prioritas mereka
dalam hubungan dengan kebutuhan dan prioritas orang lain.
c. Bagaimana mengatasi kesalahpahaman dan konflik.
d. Bagaimana membina jembatan nilai.
e. Bagaimana menyampaikan kepada orang lain perasaan berdaya untuk melaksanakan
pembangunan.
f. Bagaimana membina tim kerja sama (collaborative teams) untuk perubahan.
g. Bagaimana mengorganisir dan melaksanakan proyek-proyek perubahan yang berhasil.
h. Bagaimana menyampaikan kepada orang lain mengenai pengetahuan, nilai-nilai dan
keterampilan yang dimilikinya.
i. Bagaimana menyadarkan masyarakat akan potensi yang tersedia dari sumber-sumber
(resources) mereka sendiri.
j. Bagaimana mengembangkan keterbukaan masyarakat untuk menggunakan sumber-sumber,
baik yang internal maupun yang eksternal.
Agen perubahan akan lebih efektif jika mereka:
a) Merangsang berlangsungnya proses-proses pemecahan masalah di kalangan klien.
b) Cukup pengetahuan mengenai proses penelitian dan pengembangan yang menghasilkan solusi,
sehingga mereka dapat membantu mendorong proses ini agar berfungsi lebih konsisten dengan
kebutuhan klien.
c) Mampu membina komunikasi dan kolaborasi yang mungkin di antara sistem-sistem klien dan
di antara lembaga-lembaga perubahan.
d) Mampu menghubungkan klien tertentu dengan suatu jumlah lembaga-lembaga perubahan yang
optimal, dan menghubungkan lembaga-lembaga perubahan tertentu dengan suatu jumlah klien
yang optimal.
e) Bersedia mendengarkan ide-ide baru dengan telinga yang reseptif, tapi kritis konstruktif.
f) Mampu mengintrodusir sifat keluwesan ke dalam hubungan antara klien dengan lembaga
perubahan.(Nasution, 1990:38)

II. 1. 3Peranan Agen Perubahan
Menurut Rogers dan Shoemaker, agen perubahan berfungsi sebagai mata rantai komunikasi
antardua (atau lebih) sisitem sosial. Yaitu menghubungkan antara suatu sistem sosial yang
mempelopori perubahan tadi dengan sistem sosial masyarakat yang dibinanya dalam usaha
perubahan tersebut. Hal itu tercermin dalam peranan utama seorang agen perubahan
yaitu(Nasution, 2004:129):
1) Sebagai katalisator, menggerakkan masyarakat untuk mau melakukan perubahan.
2) Sebagai pemberi pemecahan persoalan.
3) Sebagai pembantu proses perubahan: membantu dalam proses pemecahan masalah dan
penyebaran inovasi, serta member petunjuk mengenai bagaimana
a. Mengenali dan merumuskan kebutuhan
b. Mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan
c. Mendapatkan sumber-sumber yang relevan
d. Memilih atau menciptakan pemecahan masalah
e. Menyesuaikan dan merencanakan pentahapan pemecahan masalah.
4) Sebagai penghubung (linker) dengan sumber-sumber yang diperlukan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi.
Inti dari peranan agen perubahan dalam proses pembangunan masyarakat, menurut OGorman
(1978) adalah (Nasution, 2004:129):
1) mengidentifikasi tujuan, isu, dan permasalahan.
2) yaitu melakukan identifikasi dan pemanfaatan dari :
- sumber-sumber
- kepemimpinan
- organisasi
3) Menetapkan dan menegakkan prioritas, rencana dan pelaksanaan, serta evaluasi yang
dilakukan menurut urutan yang teratur agar alternatif yang telah dipilih dapat membawa hasil
yang diharapkan.

Keseluruhan peran agen perubahan dapat dikelompokkan menjadi peran yang laten dan peran
yang manifes. Peran yang manifes adalah yang kelihatan di permukaan dalam hubungan antara
agen perubahan dengan masyarakatnya, dan merupakan peran yang dengan sadar dipersiapkan
sebelumnya. Peran yang manifes ini kelak merupakan bukti yang nyata baik bagi si agen maupun
masyarakat. Sedangkan peran yang laten merupakan peran yang timbul dari arus bawah yang
memberi petunjuk bagi si agen dalam mengambil tindakan-tindakan yang
dilakukannya.(Nasution, 2004:130-133)

Peran Mahasiswa dalam Gerakan Anti-korupsi

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang berdampak sangat luar biasa.
Pada dasarnya korupsi berdampak buruk pada seluruh sendi kehidupan manusia. Korupsi
merupakan salah satu faktor penyebab utama tidak tercapainya keadilan dan kemakmuran
suatu bangsa. Korupsi juga berdampak buruk pada sistem perekonomian, sistem demokrasi,
sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan. Yang
tidak kalah penting korupsi juga dapat merendahkan martabat suatu bangsa dalam tata
pergaulan internasional.
Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah bersifat kolosal dan ibarat penyakit sudah sulit untuk
disembuhkan. Korupsi dalam berbagai tingkatan sudah terjadi pada hampir seluruh sendi
kehidupan dan dilakukan oleh hampir semua golongan masyarakat. Dengan kata lain korupsi
sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari yang sudah dianggap biasa. Oleh karena
itu sebagian masyarakat menganggap korupsi bukan lagi merupakan kejahatan besar. Jika
kondisi ini tetap dibiarkan seperti itu, maka hampir dapat dipastikan cepat atau lambat
korupsi akan menghancurkan negeri ini. Oleh karena itu sudah semestinya kita menempatkan
korupsi sebagai musuh bersama (common enemy) yang harus kita perangi bersama-sama
dengan sungguh-sungguh.
Karena sifatnya yang sangat luar biasa, maka untuk memerangi atau memberantas korupsi
diperlukan upaya yang luar biasa pula. Upaya memberantas korupsi sama sekali bukanlah
suatu pekerjaan yang mudah. Upaya memberantas korupsi tentu saja tidak bisa hanya
menjadi tanggungjawab institusi penegak hukum atau pemerintah saja, tetapi juga merupakan
tanggungjawab bersama seluruh komponen bangsa. Oleh karena itu upaya memberantas
korupsi harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait, yaitu
pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam konteks inilah mahasiswa, sebagai salah satu
bagian penting dari masyarakat, sangat diharapkan dapat berperan aktif.

A. Gerakan Anti Korupsi
Korupsi di Indonesia sudah berlangsung lama. Berbagai upaya pemberantasan korupsipun
sudah dilakukan sejak tahun-tahun awal setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan
perundangan tentang pemberantasan korupsi juga sudah dibuat. Demikian juga berbagai
institusi pemberantasan korupsi silih berganti didirikan, dimulai dari Tim Pemberantasan
Korupsi pada tahun 1967 sampai dengan pendirian KPK pada tahun 2003. Namun demikian
harus diakui bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini belum
menunjukkan hasil maksimal. Hal ini antara lain terlihat dari masih rendahnya angka Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
Berdasarkan UU No.30 tahun 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan
sebagai serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi -
melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan - dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Rumusan undang-undang tersebut menyiratkan bahwa
upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan peran serta
masyarakat. Dengan demikian dalam strategi pemberantasan korupsi terdapat 3 (tiga) unsur
utama, yaitu: pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat.
Pencegahan adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku
koruptif. Pencegahan juga sering disebut sebagai kegiatan Anti-korupsi yang sifatnya
preventif. Penindakan adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk menanggulangi atau
memberantas terjadinya tindak pidana korupsi. Penindakan sering juga disebut sebagai
kegiatan Kontra Korupsi yang sifatnya represif. Peran serta masyarakat adalah peran aktif
perorangan, organisasi kemasyarakatan, atau lembaga swadaya masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Salah satu upaya pemberantasan korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu Gerakan Anti-
korupsi di masyarakat. Gerakan ini adalah upaya bersama yang bertujuan untuk
menumbuhkan Budaya Anti Korupsi di masyarakat. Dengan tumbuhnya budaya anti- korupsi
di masyarakat diharapkan dapat mencegah munculnya perilaku koruptif. Gerakan Anti
Korupsi adalah suatu gerakan jangka panjang yang harus melibatkan seluruh pemangku
kepentingan yang terkait, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam konteks inilah
peran mahasiswa sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat sangat diharapkan.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, pada dasarnya korupsi itu terjadi jika ada pertemuan
antara tiga faktor utama, yaitu: niat, kesempatan dan kewenangan.
Niat adalah unsur setiap tindak pidana yang lebih terkait dengan individu manusia, misalnya
perilaku dan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang. Sedangkan kesempatan lebih terkait
dengan sistem yang ada. Sementara itu, kewenangan yang dimiliki seseorang akan secara
langsung memperkuat kesempatan yang tersedia. Meskipun muncul niat dan terbuka
kesempatan tetapi tidak diikuti oleh kewenangan, maka korupsi tidak akan terjadi. Dengan
demikian, korupsi tidak akan terjadi jika ketiga faktor tersebut, yaitu niat, kesempatan, dan
kewenangan tidak ada dan tidak bertemu. Sehingga upaya memerangi korupsi pada dasarnya
adalah upaya untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan ketiga faktor tersebut.
Gerakan anti-korupsi pada dasarnya adalah upaya bersama seluruh komponen bangsa untuk
mencegah peluang terjadinya perilaku koruptif. Dengan kata lain gerakan anti-korupsi adalah
suatu gerakan yang memperbaiki perilaku individu (manusia) dan sistem untuk mencegah
terjadinya perilaku koruptif. Diyakini bahwa upaya perbaikan sistem (sistem hukum dan
kelembagaan serta norma) dan perbaikan perilaku manusia (moral dan kesejahteraan) dapat
menghilangkan, atau setidaknya memperkecil peluang bagi berkembangnya korupsi di negeri
ini.
Upaya perbaikan perilaku manusia antara lain dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai
yang mendukung terciptanya perilaku anti-koruptif. Nilai-nilai yang dimaksud antara lain
adalah kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggungjawab, kerja keras,
kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Penanaman nilai-nilai ini kepada masyarakat
dilakukan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kebutuhan. Penanaman nilai-nilai
ini juga penting dilakukan kepada mahasiswa. Pendidikan anti- korupsi bagi mahasiswa dapat
diberikan dalam berbagai bentuk, antara lain kegiatan sosialisasi, seminar, kampanye atau
bentuk-bentuk kegiatan ekstra kurikuler lainnya. Pendidikan anti korupsi juga dapat
diberikan dalam bentuk perkuliahan, baik dalam bentuk mata kuliah wajib maupun pilihan.
Upaya perbaikan sistem antara lain dapat dilakukan dengan memperbaiki peraturan
perundang-undangan yang berlaku, memperbaiki tata kelola pemerintahan, reformasi
birokrasi, menciptakan lingkungan kerja yang anti-korupsi, menerapkan prinsip-prinsip clean
and good governance, pemanfaatan teknologi untuk transparansi, dan lain-lain. Tentu saja
upaya perbaikan sistem ini tidak hanya merupakan tanggungjawab pemerintah saja, tetapi
juga harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan termasuk mahasiswa. Pengetahuan
tentang upaya perbaikan sistem ini juga penting diberikan kepada mahasiswa agar dapat lebih
memahami upaya memerangi korupsi.

B. PERAN MAHASISWA
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tercatat bahwa mahasiswa mempunyai peranan
yang sangat penting. Peranan tersebut tercatat dalam peristiwa-peristiwa besar yang dimulai
dari Kebangkitan Nasional tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi
Kemerdekaan NKRI tahun 1945, lahirnya Orde Baru tahun 1996, dan Reformasi tahun 1998.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut mahasiswa tampil di
depan sebagai motor penggerak dengan berbagai gagasan, semangat dan idealisme yang
mereka miliki.
Peran penting mahasiswa tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakteristik yang mereka
miliki, yaitu: intelektualitas, jiwa muda, dan idealisme. Dengan kemampuan intelektual yang
tinggi, jiwa muda yang penuh semangat, dan idealisme yang murni telah terbukti bahwa
mahasiswa selalu mengambil peran penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Dalam
beberapa peristiwa besar perjalanan bangsa ini telah terbukti bahwa mahasiswa berperan
sangat penting sebagai agen perubahan (agent of change).
Dalam konteks gerakan anti-korupsi mahasiswa juga diharapkan dapat tampil di depan
menjadi motor penggerak. Mahasiswa didukung oleh kompetensi dasar yang mereka miliki,
yaitu: intelegensia, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran.
Dengan kompetensi yang mereka miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi
agen perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi
kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi watch dog lembaga-lembaga
negara dan penegak hukum.

C. KETERLIBATAN MAHASISWA
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
empat wilayah, yaitu: di lingkungan keluarga, di lingkungan kampus, di masyarakat
sekitar, dan di tingkat lokal/nasional. Lingkungan keluarga dipercaya dapat menjadi tolok
ukur yang pertama dan utama bagi mahasiswa untuk menguji apakah proses internalisasi anti
korupsi di dalam diri mereka sudah terjadi. Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti
korupsi di lingkungan kampus tidak bisa dilepaskan dari status mahasiswa sebagai peserta
didik yang mempunyai kewajiban ikut menjalankan visi dan misi kampusnya. Sedangkan
keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi di masyarakat dan di tingkat
lokal/nasional terkait dengan status mahasiswa sebagai seorang warga negara yang
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya.













Daftar Pustaka
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi
Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi/Anti Korupsi
Jakarta:Kemendikbud
Cetakan 1. Desember 2011
Tim Penulis. Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi.Jakarta: Kemendikbud

Anda mungkin juga menyukai