Anda di halaman 1dari 133

Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol

dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan
bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam
rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971;
Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan
2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan
(adatdan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.

Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh
rakyat
2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Pengertian Strategi
Definisi strategi adalah cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis bisa berupa
perluasan geografis, diversifikasi, akusisi, pengembangan produk, penetrasi pasar, rasionalisasi
karyawan, divestasi, likuidasi dan joint venture (David, p.15, 2004).
Pengertian strategi adalah Rencana yang disatukan, luas dan berintegrasi yang menghubungkan
keunggulan strategis perusahaan dengan tantangan lingkungan, yang dirancang untuk memastikan
bahwa tujuan utama dari perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi
(Glueck dan Jauch, p.9, 1989).
Pengertian strategi secara umum dan khusus sebagai berikut:
1. Pengertian Umum
Strategi adalah proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka
panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut
dapat dicapai.
2. Pengertian khusus
Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus,
serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di
masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan
dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola
konsumen memerlukan kompetensi inti (core competencies). Perusahaan perlu mencari kompetensi
inti di dalam bisnis yang dilakukan.

A. Pengertian Manajemen (Definition of Management)
Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno mnagement, yang artinya seni melaksanakan dan mengatur.
Menurut Mary Parker Follet, manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini
berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan
organisasi. Menurut Ricky W. Griffin : sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan
pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan
dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara
benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Istilah manajemen mengandung tiga pengertian yaitu :
1. Manajemen sebagai suatu proses,
2. Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen,
3. Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan (Science)
Manajemen sebagai suatu proses, dikemukakan tiga buah definisi:
1. Dalam Encylopedia of the Social Sience dikatakan bahwa manajemen adalah suatu proses dengan mana
pelaksanaan suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi.
2. Selanjutnya, Hilman mengatakan bahwa manajemen adalah fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan
orang lain dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan yang sama. Manajemen adalah kolektivitas
orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen. Jadi dengan kata lain, segenap orang-orang yang melakukan
aktivitas manajemen dalam suatu badan tertentu disebut manajemen.
3. Menurut pengertian yang ketiga, manajemen adalah seni (Art) atau suatu ilmu pnegetahuan. Mengenai inipun
sesungguhnya belum ada keseragaman pendapat, segolongan mengatakan bahwa manajemen adalah seni dan
segolongan yang lain mengatakan bahwa manajemen adalah ilmu. Sesungguhnya kedua pendapat itu sama
mengandung kebenarannya.
Menurut G.R. Terry manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau
pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata.
Menurut Mary Parker Follet manajemen adalah suatu seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain.
Definisi dari mary ini mengandung perhatian pada kenyataan bahwa para manajer mencapai suatu tujuan organisasi
dengan cara mengatur orang-orang lain untuk melaksanakan apa saja yang pelu dalam pekerjaan itu, bukan dengan
cara melaksanakan pekerjaan itu oleh dirinya sendiri.


CARA MEMBUAT ORGANISASI YANG BERHASIL.
Yang pertama harus dimiliki suatu organisasi adalah milai dan visi, nilai dan visi adalah suatu tujuan
yang akan digunakan sebagai target yang harus dicapai oleh suatu organisasi. Jika nilai organisasi tidak
ada makaorganisasi itu akan rusak, karna tidak memiliki tujuan yang jelas.
Yang kedua adalah misi , misi adalah hal-hal yang harus di lakukan untuk mencapai suatu visi ( tujuan ).
Tanpa ada misi yang jelas maka visi tidak akan pernah tercapai, maka dari itu visi dan misi sangat
berkaitan satu sama lain. Jika tidak memiliki misi maka organisasi tidak akan pernah mencapai visi yang
diinginkan.
Yang ketiga adalah aturan, aturan adalah batasan-batasan yang harus dimiliki organisasi. Jika suatu
organisasi memiliki aturan yang jelas maka bisa terjadi penyimpangan yg dapat merugikan.
Yang keempat adalah profesionalisme, profesionalisme adalah bagaimana cara organisasi itu bertindak.
Yang kelima adalah insentif, insentif adalah bonus atau hadiah.
Yang keenam adalah sumber daya, Jika suatu organisasi kehilangan sumber daya maka organisasi
tersebut tidak akan bisa bergerak dengan baik.
Yang ketujuh adalah rencana kerja, rencana kerja merupakan susunan kegiatan yang akan dilakukan
oleh suatu organisasi


Hal Penting Yang Harus di Penuhi Dalam Membentuk
Suatu Organisasi
20.45 Jaena Muhamad / 3 KA 26 No comments

ORGANISASI, yaitu merupakan kata yang seringkali kita
dengar diberbagai tempat maupun kegiatan. Dalam berbagai
kegiatan yang melibatkan orang banyak perlu adanya pembagian
tugas pada para anggotanya sebagai upaya mengefektifkan kinerja
organisasi yang bersangkutan. Sebab apabila tidak ada pembagian
tugas yang benar, maka sebuah organisasi di bidang apapun tidak
akan mampu mencapai tujuan yang diharapkan.

Ada beberapa definisi organisasi antara lain :
1. Prof Dr. Sondang P. Siagian, mendefinisikan organisasi ialah setiap bentuk persekutuan
antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka
pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang mana terdapat seseorang /
beberapa orang yang disebut atasan dan seorang / sekelompok orang yang disebut dengan
bawahan.
2. Drs. Malayu S.P Hasibuan mengatakan organisasi ialah suatu sistem perserikatan formal,
berstruktur dan terkoordinasi dari sekelompok yang bekerja sama dalam mencapai tujuan
tertentu.Organisasi hanya merupakan alat dan wadah saja.
3. Prof. Dr. Mr Pradjudi Armosudiro mengatakan organisasi adalah struktur pembagian kerja
dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang
bekerjasama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu.


Dengan demikian jelaslah bahwa di dalam suatu organisasi perlu adanya kesamaan visi dan misi serta
koordinasi yang harus terjalin terus menerus dengan baik antar para anggota maupun dengan
pimpinan organisasi. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan demi kelancaran jalannya
sebuah organsisasi tersebut, antara lain :
1. Sebuah organisasi harus memiliki pimpinan dan bawahan,
2. Perlu adanya kerja sama dan koordinasi yang baik,
3. Memiliki Visi dan Misi yang menjadi tujuan organisasi,
4. Adanya pembagian tugas dengan baik pada para anggotanya,
5. Memahami mekanisme proses pelaporan dari anggota paling bawah sampai kepada pimpinan
yang paling atas. Dengan kata lain, anggota paling bawah tidak diperkenankan memberikan
laporan langsung kepada peminpin organsiasi paling atas tetapi wajib melalui kepala bagian
(coordinator) masing-masing bidang.
Apabila beberapa ketentuan di atas dapat dipahami dan dijalankan dengan baik, maka sebuah
organisasi bidang apapun akan mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan baik sehingga tujuan
organisasi mampu dicapai secara maksimal.


Tips Merekrut SDM untuk
Organisasi Mahasiswa
Sumber daya manusia adalah problem klasik dari banyak organisasi kemahasiswaan di ITB. Bagi
angkatan muda yang masih berpikir ideal, pasti kaget dengan kenyataan bahwa organisasi
kemahasiswaan yang diikutinya tidak se wah yang dia bayangkan. Apalagi, kalau organisasi tersebut
memang masih baru dan masih membangun sistem. Tapi, di sini saya akan memberikan beberapa
pengalaman saya yang mungkin bisa dipraktekkan di organisasi yang sedang teman-teman geluti.
Pengalaman yang sangat minim ini semoga berguna untuk memberdayakan manusia yang ada di
organisasi teman-teman.

Mengapa saya harus merekrut dan memberdayakan banyak SDM?
Saya yakin, organisasi atau komunitas apapun yang teman-teman ikuti pasti memiliki sebuah tujuan.
Entah tujuan tersebut benar atau salah, saya optimis bahwa tujuan organisasi tersebut baik. Ketika
teman-teman merasakan manfaat dari organisasi yang diikuti teman-teman, coba pikirkan kembali,
betapa meruginya orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat itu. Pernah nggak sih teman-teman
berpikir bahwa, Wah, saya dapet manfaat banyak dari organisasi X, seharusnya orang lain juga
merasakan manfaat ini. Sayang banget kalo mereka nggak dapet pengalaman gini gini dan gini.
Singkatnya adalah kita perlu merekrut dan memberdayakan banyak orang agar kita bisa saling
berbagi manfaat. Selain itu, organisasi yang berkembang dan produktif tentunya membutuhkan
banyak orang untuk menjalankan roda organisasi. Tentu saja ini bukanlah alasan utama. Karena,
sebenarnya bagi saya, yang riil dari suatu organisasi adalah manusia-manusianya. Organisasi tersebut
dikatakan gagal apabila tidak mampu mengembangkan diri manusia-manusianya dalam upaya
mencapai tujuan bersama.
Rekrut!
Biasanya SDM direkrut melalui dua jalur, closed recruitment atau open recruitment. Nah, yang perlu
dilakukan dalam proses perekrutan tersebut adalah membuat calon anggota tertarik. Banyak kejadian
orang-orang memasuki organisasi yang sebenarnya tidak memiliki daya tarik buat mereka sehingga
mereka masuk organisasi tersebut untuk keluar, bukan untuk mencoba bertahan.
Suatu organisasi akan menarik ketika ia memiliki value. Value inilah yang harus ditentukan, dan
dikomunikasikan kepada calon anggota. Manfaat dan fasilitas dari organisasi yang diperoleh pun
termasuk sebagai value yang bisa dijual. Hal ini memiliki peran penting dalam membangkitkan rasa
penasaran dari calon anggota suatu organisasi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa penasaran dan
rasa ingin tahu adalah awal dari semua petualangan. Oh iya, sampai pada batas tertentu eksklusivitas
suatu organisasi juga bisa menjadi value menarik yang bisa menjadi pembeda suatu organisasi
dengan organisasi lain.

Berikan First Impression yang Bagus
Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah
anda. Kesan pertama adalah awal dari pembentukan mindset. Ketika menyambut anggota baru,
tunjukkan bahwa teman-teman telah mempersiapkan diri dengan baik untuk menyambut mereka.
Jangan sampai ketika anggota baru masuk, mereka mendapati diri mereka tidak dihargai. Setiap
manusia ingin diapresiasi dan salah satu cara mengapresiasi anggota yang baru masuk ke dalam
suatu organisasi adalah dengan menyambut mereka dengan baik.
Persiapan yang teman-teman lakukan tidak harus mewah, yang pasti, dengan cara apapun, tunjukkan
kepada mereka bahwa teman-teman serius dalam menyambut mereka. Tepat waktu di kumpul
perdana adalah sebuah keharusan! Selain itu, agenda pertemuan juga harus jelas, jangan sampai
kumpul jadi garing dan geje. Setelah itu selain memberikan impresi, teman-teman juga harus dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai organisasi tersebut. Dalam porsi yang pas, teman-teman
juga perlu memberitahu ketidakidealan yang ada di organisasi tersebut, sehingga mereka tidak
berekspektasi lebih, namun tidak juga berekspektasi terlalu rendah (hal ini dapat menimbulkan
kekecewaan).

Buat Mereka Berperan
Memberikan tanggung jawab adalah awal dari pemberdayaan anggota. Membuat mereka berperan
dalam organisasi adalah hal yang sangat penting bagi aktualisasi diri anggota. Dengan demikian,
mereka dapat merasa keberadaannya dalam suatu organisasi berarti. Jangan sampai mereka berpikir,
saya tidak diperlukan di organisasi ini. Nah, tentu saja seperti biasa, tanggung jawab yang diberikan
harus jelas scopenya.
Setelah memberikan tanggung jawab tersebut, tentunya teman-teman harus dapat memberikan
jaminan bahwa mereka bisa melaksanakan tanggung jawab tersebut. Beberapa anggota baru di
organisasi biasanya masih belum percaya diri untuk memegang amanah tertentu. Oleh karena itu,
teman-teman harus dapat menunjukkan bahwa si anggota baru tersebut akan dapat melaksanakan
amanah tersebut. Berikan jaminan bahwa teman-teman sebagai orang yang memiliki tanggung jawab
lebih besar siap membantu mereka jika ada kesulitan. Setelah memberikan jaminan, hal yang harus
teman-teman lakukan adalah membuktikan bahwa jaminan itu ada. Sering di suatu organisasi,
pemimpin memberikan jaminan di awal namun di tengah-tengah proses jaminan tersebut hanya
menjadi omong kosong belaka.
Dan setelah mereka berperan, tentunya perlu mendapatkan apresiasi. Gagal atau suksesnya mereka
dalam menjalankan amanah harus mendapatkan apresiasi yang pas.

Kenali Personal dan Bangun Kenyamanan
Dalam organisasi kemahasiswaan yang berazas kekeluargaan, ikatan personal antar anggota
merupakan hal terpenting yang akan terus bermanfaat bahkan hingga lulus nanti. Oleh karena itu,
kedekatan antar personal perlu dibangun, sebab organisasi kemahasiswaan bukan berazaskan
profesionalitas semata. Sering terjadi di organisasi kemahasiswaan, seorang anggota bertahan bukan
karena tujuan organisasi dan visi yang sama, tetapi karena sudah nyaman dengan orang-orangnya.
Setiap orang memiliki kepribadiannya masing-masing dan caranya masing-masing dalam
berkontribusi di organisasi. Hal inilah yang perlu digali, karena setiap orang adalah unik. Kita tidak
bisa memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, tetapi kita juga mungkin tidak bisa
mengakomodasi semua keinginan personal. Hal inilah yang perlu diramu dengan baik untuk dapat
menjalin suatu ikatan personal dalam organisasi dalam rangka membangun kenyamanan dalam
bekerja sama.

Ketika Konflik Terjadi
Dalam dinamisasi organisasi, pasti terdapat konflik. Jangan alergi dengan konflik. Konflik adalah hal
yang wajar, namun harus disikapi dengan bijak. Konflik ini bisa saja terjadi dalam diri satu anggota
yang dapat mengganggu keberjalanan organisasi. Selain itu, dapat pula terjadi dalam diri beberapa
anggota, atau konflik dalam tim. Nah, kuncinya adalah menyelidiki penyebab konflik ini dan selesaikan
dengan cara yang baik. Ada kalanya memang teman-teman tidak dapat memaksakan kehendak
dengan terus mempertahankan orang yang mungkin sudah tidak nyaman atau mengganggu
kenyamanan di organisasi. Hal ini harus diputuskan dengan baik-baik.

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manajemen strategi merupakan proses atau rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang
bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapan cara melaksanakanya, yang dibuat oleh
pimpinan dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran didalam suatu organisasi, untuk mencapai
tujuan. Sedangkan pengertian manajemen strategi menurut Hadar Nawawi (2005;148-149), adalah
perencanaan berskala besar (disebut perencanaan strategi) yang berorientasi pada jangkauan
masa depan yang jauh (disebut visi), dan ditetapkan sebagai keputusan pimpinan tertinggi
(keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil, agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara
efektif (disebut misi), dalam usaha menghasilkan sesuatu (perencanaan operasional untuk
menghasilkan barang dan / atau jasa serta pelayanan) yang berkualitas, dengan diarahkan pada
optimalisasi pencapaian tujuan (disebut tujuan strategis) dan berbagai sasaran (tujuan operasional)
organisasi.
Komponen pertama adalah perencanaan strategi dengan unsur-unsurnya yang terdiri dari visi, misi,
tujuan dan strategi utama organisasi. Sedangkan komponen kedua adalah perencanaan operasional
dengan unsur-unsurnya sasaran dan tujuan operasional, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen
berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan
situasional, jaringan kerja internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik.
Analisis lingkungan adalah suatu proses monitoring terhadap lingkungan organisasi yang bertujuan
untuk mengidentifikasikan peluang (opportunities) dan tantangan (threads) yang mempengaruhi
kemampuan organisasi untuk mencapai tujuannya. Tujuan dilakukan analisis lingkungan adalah
mengantisipasi lingkungan organisasi sehingga dapat berreaksi secara cepat dan tepat untuk
mensukseskan organisasi. Analisis lingkungan adalah suatu proses yang digunakan perencanan-
perencanaan strategi untuk memantau lingkungan dalam menentukan peluang atau ancaman.
Alfred Chandler mengatakan bahwa strategi adalah suatu penentuan sasaran dan tujuan dasar
jangka panjang dari suatu organisasi (perusahaan) serta pengadopsian seperangkat tindakan serta
alokasi sumber-sumber yang perlu untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Dalam kajiannya
tentang strategi, Henry Mintzberg mencatat bahwa setidaknya strategi tidak sekedar memiliki dua
elemen definisi, yaitu sebagai perencanaan (plan) dan pola (pattern). Lebih dalam lagi, ia
mengungkapkan bahwa definisi strategi telah berkembang dengan tiga P baru, yaitu posisi
(position), perspektif (perspective), dan penerapan (poly).
1.2. Perumusan Masalah
Dalam rangka untuk mempertajam telaah makalah ini, penyusun mengambil suatu permasalahan
mendasar, yaitu : bagaimana manajemen strategi dapat diterapkan dan di implementasikan didalam
suatu perusahaan atau organisasi sehingga keputusan manajerial dan kegiatan-kegiatan yang
mengarah pada penetapan kinerja jangka panjang organisasi atau perusahaan tersebut.
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran singkat tentang proses perencanaan
manajemen strategi dilingkungan organisasi dan perusahaan serta, memberikan gambaran
dikalangan mahasiswa tentang Manajemen Strategi yang merupakan keputusan manajerial dan
kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penetapan kinerja jangka panjang organisasi, yang meliputi
analisa lingkungan internal dan eksternal, disertai perumusan visi dan misi serta tujuan organisasi
guna menghadapi lingkungan tersebut.
II. PEMBAHASAN MAKALAH
Pengertian yang cukup luas manajemen strategi menunjukkan bahwa manajemen merupakan suatu
sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan
saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak kearah yang sama pula. Komponen pertama
adalah Perencanaan Strategi dengan unsur-unsurnya yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan strategi
organisasi. Sedang komponen kedua adalah Pelaksanaan Operasional dengan unsur-unsurnya
adalah sasaran atau Tujuan Operasional, Pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa fungsi
pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan situasional,
jaringan kerja internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik.
Model proses manajemen strategi meliputi tiga tahap :
1. Tahap formulasi strategi, yaitu pembuatan pernyataan visi, misi, dan tujuan,
2. Tahap implementasi strategi, yaitu proses penterjemahan strategi ke dalam tindakan-tindakan.
3. Tahap evaluasi strategi , yaitu proses evaluasi apakah implementasi strategi dapat mencapai
tujuan.
II.1. Visi,Misi, dan Tujuan
Setiap organisasi mempunyai tujuan dan alasan yang unik untuk keberadaannya. Keunikan ini harus
dicerminkan dalam visi dan misi. Pernyataan visi yang baik mengungkapkan pelanggan, produk atau
jassa, teknologi, pasar, pemikiran untuk bertahan hidup (pertumbuhan dan keuntungan), pemikiran
untuk karyawan,
pemikiran untuk citra publik/masyarakat, dan perusahaan. Terdapat delapan karakteristik dasar
yang berfungsi sebagai kerangka kerja praktis untuk mengevaluasi dan menuliskan pernyataan misi.
Ada 4 Proses perumusan Visi yaitu :
1. Tentukan rentang waktu dan lingkup analisis secara tepat.
2. Identifikasi trend sosial, ekonomi, politik, dan teknologi yang akan mempengaruhi masa depan
3. Identifikasi kondisi persaingan
4. Evaluasi sumber daya dan kapabilitas internal.
Adapun MISI yang ingin dicapai oleh suatu Perusahaan / Organisasi yakni ;
1. Publik atau pengguna jasa yang hendak dilayani
2. Jasa utama yang ditawarkan
3. Wilayah geografis yang dilayani
4. Komitmen organisasi terhadap pilihan teknologi
5. Komitmen organisasi terhadap alternative tujuan
6. Elemen kunci dalam filosofi organisasi
7. Konsep kedirian dan citra organisasi
II.2. Analisis Lingkungan Makro
Analisis lingkungan eksternal merupakan aktivitas memonitor dan mengevaluasi lingkungan
eksternal dan internal organisasi kepada orang-orang penting yang ada dalam perusahaan.
Lingkungan eksternal dibedakan atas lingkungan makro dan lingkungan industri. Untuk lingkungan
tersebut
menggunakan metode SWOT (Strength and weaknesses lingkungan internal, Opportunities and
Threats untuk analisa lingkungan eksternal).
Lingkungan makro merupakan lingkungan yang secara tidak langsung mempengaruhi keputusan-
keputusan strategi perusahaan dalam jangka panjang.
Secara umum lingkungan makro dikategorikan menjadi empat, yaitu :
1. Ekonomi
2. Teknologi
3. Politik dan budaya
4. Sosial budaya
II.3. Analisis Lingkungan Internal
Dalam proses perumusan strategi sebuah perusahaan perlu melakukan identifikasi dan evaluasi
atas lingkungan bisnis perusahaan. Hasil dari identifikasi dan evaluasi tersebut diharapkan
perusahaan dapat mengetahui profil keunggulan strategi perusahaan yang dimiliki. Sehingga
dengan demikian perusahaan dapat mengantisipasi peluang bisnis dan menyikapi ancaman bisnis
yang ada dengan cepat.
II.4. Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan alat yang membantu manajer menentukan dan mengembangkan strategi
yang tepat dalam menghadapi persaingan. Namun yang perlu diperhatikan bahwa tujuan dalam
menentukan strategi yang digunakan dari hasil SWOT adalah pada dasarnya menghasilkan strategi
alternative yang layak, bukan untuk menetapkan strategi yang terbaik. Sehingga seorang manajer
dapat menilai bahwa tidak semua strategi dalam SWOT dipilih untuk dikembangkan antara lain :
1. Strategi Integrasi Vertikal
Strategi integrasi vertical merupakan strategi yang menghendaki perusahaan melakukan
penguasaan yang lebih atas distributor, pemasok dan atau para pesaing baik melalui merjer,
aukuisisi, atau membuat perusahaan sendiri
Strategi intergrasi dibedakan menjadi tiga, yiatu :
1. Integrasi ke depan merupakan strategi untuk memperoleh kepemilikan atau meningkatkan kendali
atas distributor atau pengecer.
2. Integrasi kebelakang merupakan strategi untuk mencari kepemilikan atau meningkatkan kendali
atas perusahaan pemasok
3. Integrasi horizontal merupakan strategi untuk mengendalikan para pesaing
Perusahaan tertarik melakukan integrasi vertical didasarkan atas alasan :
1). Dapat menciptakan kenyamanan bagi pendatang baru.
2). Memberikan fasilitas investasi
3). Menjaga kualitas produk
4). Memperbaiki penjadualan.
Meskipun mempunyai manfaat, strategi integrasi vertical juga memiliki kelemahan, yaitu ;
1. Kelemahan dalam hal biaya
2. Teknologi
3. Adanya permintaan berfuluktuasi
2. Strategi Diversifikasi
Strategi diversifikasi merupakan pendekatan utama strategi pada level koroporasi. T
ingkat (level) strategi diversifikasi dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu :
1. Tingkat diversifikasi rendah
2. Tingkat diversifikasi menengah
3. Tingkat diversifikasi tinggi.
Selain itu juga dikenal dengan istilah diversifikasi related (diversfikasi konsentris) dan diversifikasi
unrelated (diversifikasi konglomerat dan diversifikasi horizontal). Perusahaan mengimplementasikan
strategi diversifikasi, dilandasi alasan dan motif untuk mempertahankan keunggulan strategis,
insentif dan sumber daya, serta motif manajerial. Disamping itu juga didorong oleh lingkungan
internal (kinerja yang rendah, ketidakpastian aliran kas mendatang, dan semua pengurangan resiko)
dan lingkungan eksternal (peraturan pemerintah, ketentuan pajak, atau aturan-aturan yang baru).
3. Strategi Level Bisnis
Untuk dapat mencapai keunggulan bersaing, perusahaan harus melakukan evaluasi lingkungan
ekternal, guna mengidentifikasikan peluang, ancaman, dan kemampuan sumber daya internal untuk
menentukan kompetensi inti dan strategi yang akan diimplementasikannya, yang disebut dengan
strategi level bisnis. Tipe strategi pada level bisnis ini disebut dengan strategi generik, yang terdiri
dari:
1. Cost Leadership (keunggulan biaya)
2. Differentiation (diferensiasi/perbedaan)
3. Focussed Low Cost (fokus pada biaya rendah)
4. Focused Differentiation (focus pada diferensiasi) strategi level fungsional.
Penjabaran strategi pada level fungsional memegang peranan yang sangat menentukan atas
berhasil tidaknya sasaran strategi bisnis yang telah ditetapkan, oleh karenanya diperlukan suatu
penjabaran aktivitas yang sedetail mungkin atas strategi bisnis yang telah dicanangkan. Penjabaran
tersebut selaian memudahkan kontrol dari manajer juga memudahkan bagian pelaksana untuk
mengimplementasikan. Pada tingkat strategi fungsional yang cukup strategis adalah
Fungsi produksi dan operasi yang meliputi :
i. Fasiltas dan peralatan
ii. Sumber bahan baku
iii. Perencanaan dan pengendalian produksi
Fungsi pemasaran yang meliputi
i. produk
ii. harga
iii. distribusi
iv. promosi
fungsi keuangan yang meliputi
i. Kebutuhan modal
ii. Alokasi modal
iii. Manajemen dividen dan modal
Fungsi sumber daya manusia yang meliputi
i. Proses rekrutrmen dan orientasi
ii. Pengembangan karir dan pelatihan
iii. Kompensasi evaluasi, disiplin dan pengendalian
Manajemen strategi mempunyai beberapa dimensi atau bersifat multidimensional. Dimensi
dimaksud adalah :
1. Dimensi waktu dan orientasi masa depan
Manajemen strategi dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi suatu organisasi
berpandangan jauh ke masa depan, dan berperilaku proaktif dan antisipatif terhadap kondisi masa
depan yang diprediksi akan dihadapi. Antisipasi masa depan tersebut dirumuskan dan ditetapkan
sebagai visi organisasi yang akan diwujudkan 10 tahun atau lebih massa depan.
Visi dapat diartikan sebagai kondisi ideal yang ingin dicapai dalam eksistensi organisasi dimasa
depan. Sehubungan dengan hal diatas Lonnie Helgerson yang dikutip Salusu menyatakan bahwa
Visi adalah gambaran kondisi masa depan dari suatu organisasi yang belum tampak sekarang tetapi
merupakan konsepsi yang dibuat dibaca oleh setiap orang (anggota organisasi). Visi memiliki
kekuatan yang mampu mengundang, memanggil, dan menyerukan pada setiap orang.
untuk memasuki masa depan. Visi organisasi harus dirumuskan oleh manajemen puncak (pucuk
pimpinan) organisasi.
2. Dimensi Internal dan Eksternal
Dimensi internal adalah kondisi organisasi non profit pada saat sekarang, berupa kekuatan,
kelemahan, peluang dan hambatan yang harus diketahui secara tepat untuk merumuskan renstra
yang berjangka panjang. Analisis terhadap lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan operasional,
lingkungan nasional dan lingkungan global (internal), yang mencakup berbagai aspek atau kondisi,
seperti kondisi sosial politik,sosial ekonomi, sosial budaya, kependudukan, kemajuan dan
perkembangan ilmu dan teknologi, adat istiadat, agama dan lain-lain.
3. Dimensi Pendayagunaan Sumber-Sumber
Sumber daya terdiri dari sumber daya material khususnya berupa sarana dan prasarana, sumber
daya finansial dalam bentuk alokasi dana untuk setiap program dan proyek, sumber daya manusia,
sumber daya teknologi dan sumber daya informasi.
4. Dimensi Keikutsertaan Manajemen Puncak
Manajemen strategi yang dimulai dengan menyusun rencana strategi merupakan pengendalian
masa depan organisasi, agar eksistensi sesuai dengan visinya dapat diwujudkan, baik pada
organisasi yang bersifat privat maupun publik. Rencana strategi harus mampu mengakomodasi
seluruh aspek kehidupan organisasi yang berpengaruh pada eksistensinya dimasa depan
merupakan wewenang dan tanggungjawab manajemen puncak, karena seluruh kegiatan
merealisasikannya merupakan tanggungjawabnya sebagai pimpinan tertinggi, meskipun
kegiatannya dilimpahkan pada organisasi atau satuan unit kerja yang relevan.
5. Dimensi Multi Bidang
Setiap organisasi / perusahaan untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai
tujuan perusahaan yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan. Ini berarti
organisasi (bisnis maupun publik) berusaha untuk mengurangi kelemahannya, dan berusaha
melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Kemudian pengertian ini menunjuk pula untuk
mengurangi efek negative yang ditimbulkan oleh ancaman-ancaman.
Kemudian komponen pokok manajemen strategi adalah :
a. Analisis lingkungan
b. Analisis profil
c. Strategi untuk mencapai tujuan organisasi (bisnis maupun publik) dengan memperhatikan
d. Misi
Dengan demikian analisis lingkungan sangat penting dalam proses manajemen strategi, karena
manajemen startegi bukan untuk melihat peluang-peluang (reaktif terhadap perubahan) tetapi
penyusun manajemen strategi haruslah dilihat sebagai usaha untuk mengetahui sedini mungkin
kekuatan dan kelemahan organisasi (bisnis/publik) agar organisasi mampu bertahan (survive)
menghadapi perubahan lingkungan secara terus menerus.
Dengan demikian, analisis lingkungan bisnis hanya berusaha mengumpulkan dan menganalisis
sejumlah variabel secara terbata (finite). Analisis lingkungan bisnis hendaknya tidak sampai
terjerumus untuk berusaha menganalisis sebanyak mungkin variabel (infinite) lingkungan perlu
dianalisis karena:
1). Agar pembuat strategi dapat mengantisipasi setiap kesempatan dan membantu
mengembangkan sistem pemecahan tujuan perusahaan/organisasi.
2). Untuk dapat mengefektifkan proses manajemen strategi, karena dengan melakukan analisis
lingkungan hasil yang akan diperoleh lebih efektif.
3). Untuk membantu manajer dalam meramalkan dampak lingkungan terhadap perkembangan
perusahaan. Terkumpulnya berbagai organisasi dari lingkungan, memudahkan untuk membuat
perencanaan jangka panjang.
Analisis lingkungan dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu :
1). Menganalis hubungan antara strategi perusahaan dan tanggapan terhadap lingkungan, yang
dipakai sebagai landasan untuk membandingkan strategi yang sedang berjalan dengan strategi
yang potensial yang akan datang.
2). Menganalisis kecenderungan faktor dan masalah utama yang potensial yang akan datang.
3). Mencoba meramalkan kemungkinan yang akan terjadi pada masa akan datang terhadap
lingkungan.
Pada dasarnya struktur lingkungan dapat dibagi atau dibedakan menjadi dua elemen utama, yaitu :
1. Lingkungan eksternal (Makro)
2. Lingkungan internal (Mikro)
II.5. PERENCANAAN STRATEGIS
Kegiatan pokok perencanaan strategis terdiri dari 4 (empat) elemen pokok:
1. Environmental scanning (Adaptasi terhadap lingkungan )
2. Strategi formulation (Formulasi Strategi)
3. Strategi implementation (pelaksanaan Strategi)
4. Evaluation dan control (Telaah dan Pengawasan)
Pilar strategi dalam organisasi Pemda (Moore, 1995:71)
1. Secara mendasar bernilai (substantively valuable); Pemda harus menghasilkan sesuatu yang
bernilai bagi lembaga pengawas, pengguna jasa (klien), dan masyarakat dengan biaya murah.
2. Absah dan secara politis dapat diterima (legitimate and politically sustainable); Pemda harus bisa
mendapatkan mandat maupun dana serta bertanggungjawab terhadap institusi politik yang ada.
3. Secara operasional dan administrative dapat dilaksanakan (operationally and administratively
feasibel); kewenangan dan kegiatan yang direncanakan dapat dilaksanakan dalam organisasi yang
ada atau dengan bantuan pihak-pihak lain yang membantu organisasi Pemda.
II.6.IMPLEMENTASI STRATEGI
Program; aktivitas atau langkah-langkah yang disusun secara sistematis sebagai penjabaran dari
strategi. Anggaran; gambaran rinci tentang sumber dana yang dibutuhkan dan bagaimana
penggunaannya.
Prosedur; sering disebut SOP, sistem dari langkah atau teknik yang berurutan tentang bagaimana
suatu pekerjaan atau tugas dikerjakan
Standar Kinerja; ukuran target bersifat kuantitatif maupun kualitatif dari program yang dilaksanakan
untuk mengetahui keberhasilan atau pencapaiannya.
Hubungan antar tingkat akhir (tujuan & sasaran) dengan alat pencapaiannya (strategi dan taktik)
tidaklah mudah. Keberadaan manajemen strategi tidak untuk mendikte tujuan, sebaliknya tujuan dan
sasaran harus dipengaruhi oleh peluang yang tersedia, ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam
usaha pencapaian tujuan dalam perencanaan manajemen strategi antara lain :
1. Efektif dan efesiensi
Manajemen strategi disebut efektif jika hasil yang dicapai seperti yang di inginkan. Karena
kebanyakan situasi yang memerlukan analisa strategi tidak statis melainkan interaktif dan dinamis,
maka hubungan antara penyebab dan hasilnya tidak tetap atau pasti. Sebaliknya taktik adalah
tindakan nyata yang diambil oleh pelaku dan sepenuhnya berada dibawah pengawasan pelaku.
Kebalikan dari strategi, taktik adalah internal dan kriteria yang digunakan bukanlah keefektifan
melainkan efesiensi
2. Keputusan dan Emplementasi
Keputusan manajemen strategi tidak berarti apa-apa tanpa implementasi. Strategi tergantung pada
kemungkinan dan taktik yang potensial. Keputusan strategi harus dapat mencapai tujuannya. Aturan
dalam manajemen strategi persaingan :
o Proses berfikir yang mendahului tindakan
o Pengetahuan mengenai jumlah merupkan kunci penting.
o Menejemen strategi tindakan yang dilakukan dengan cepat akan mendominasi yang lambat.
o Kemenangan harus menunjukkan nilai dari tujuan
o Menyerang hanya terhadap yang dapat diserang.
o Bertahan adalah bentuk terkuat dari persaingan
o Superioritas dalam faktor persaingan yang mendasar adalah segalanya.
o Tidak terkalahkan adalah merupakan pertahanan yang sebenarnya.
o Menajemen strategi membutuhkan pengembangan kekuatan yang unik.
3. Pertumbuhan dan Struktur Organisasi
Tahap implementasi strategi memerlukan pertimbangan dalam penyusunan struktur organisasi,
karena keselarasan struktur dengan strategi merupakan satu hal yang penting untuk tercapainya
implementasi strategi. Pertumbuhan organisasi terjadi kala skala organisasi berkembang.
Pertumbuhan yang terjadi bisa vertical dan bisa juga horizontal. Pertumbuhan organisasi
menghasilkan berbagai bentuk struktur organisasi seperti stuktur fungsional, divisional geografis,
organisasi unit bisnis, organisasi matrik dan struktur organisasi horizontal. Masing-masing struktur
tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
4. Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
Budaya organisasi sesungguhnya tumbuh karena diciptakan dan dikembangkan oleh individu-
individu yang bekerja dalam suatu organisasi, yang diterima sebagai nilai-nilai yang harus
dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai
pedoman bagi setiap anggota selama mereka berada dalam lingkungan organisasi tersebut, dan
dapat dianggap sebagai ciri khas yang membedakan sebuah organisasi lainnya.
III. KESIMPULAN
Manajemen strategi adalah cara terbaik untuk mencapai beberapa sasaran. Untuk menentukan
mana yang terbaik tersebut akan tergantung dari kriteria yang digunakan. Sedangkan taktik adalah
pilihan-pilihan yang dimiliki dalam mengimplementasikan sebuah strategi. Pilihan-pilihan manajemen
strategi ini akan bekerja atau tidak bekerja tergantung dari kriteria yang digunakan dan pilihan-
pilihan tersebut adalah yang berlangsung lama, tidak mudah diubah dan mencakup situasi yang
sangat terstruktur.
Tujuan manajemen strategi pada umumnya didefinisikan sebagai sesuatu yang ingin dicapai dalam
jangka panjang; seperti bertahan hidup, keamanan dan memaksimalkan profit. Sasaran lebih nyata
yaitu pencapaian hal-hal yang penting untuk mencapai tujuan. Mencapai sasaran akan lebih
mendekatkan pada tujuan. Sasaran pada umumnya lebih spesifik dan harus dapat diukur dan
biasanya mencakup kerangka target dan waktu.
Manajemen strategi juga merupakan himpunan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan
manajerial yang menentukan kinerja jangka panjang sesuatu organisasi. Manajemen strategi
sebagai bidang studi mencakup perhatian yang intergratif mengenai kebijakan organisasi publik
dengan penekanan yang lebih berat kepada lingkungan dan strategi.
Disamping itu pengertian manajemen strategi yang telah disebutkan terakhir dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu ;
1. Manajemen strategi diwujdukan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti mencakup
seluruh komponen dilingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam bentuk rencana strategis
(Renstra) yang dijabarkan menjadi perencanaan operasional, yang kemudian dijabarkan pula dalam
bentuk program kerja dan proyek tahunan.
2. Renstra berorientasi pada jangkauan masa depan.
3. Visi, misi, pemilihan strategi yang menghasilkan strategi induk, dan tujuan strategi organisasi
untuk jangka panjang merupakan acuan dalam merumuskan rencana strategi, namun dalam teknik
penempatannya sebagai keputusan manajeman puncak secara tertulis semua acuan terdapat
didalamnya.
4. Renstra dijabarkan menjadi rencana operasional yang antara lain berisi program-program
operasional termasuk proyek-proyek, dengan sasaran jangka sedang masing-masing juga sebagai
keputusan manajemen puncak.
5. Penetapan Renstra dan rencana operasi harus melibatkan manajemen puncak karena sifatnya
sangat mendasar/prinsipil dalam pelaksanaan seluruh misi organisasi, untuk mewujudkan,
mempertahankan dan mengembangkan eksistensi jangka sedang termasuk panjangnya.
6. Pengimplementasian strategi dalam program-program termasuk proyek-proyek untuk mencapai
sasarannya masing-masing dilakukan melalaui fungsi-fungsi manajeman lainnya yang mencakup
pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Hadari Nawawi (2005); Manjemen Strategi, Gadjah Mada Pers : Yogyakarta
Certo, Samuel C. & J. Paul Peter. STRATEGIC MANAJEMEN : Focus on Procces. New York,
McGrow-Hill, Inc. 1990.
Hunger, J. David & Thomas L. Wheelen. Strategic Manajemen : Bisnis Policy, Entering 21st Century
Global Society. USA. Adison Wesley-Longman,Inc. 1998.
Muhammad, Suwarsono. Manajemen Strategik : Konsep dan Kasus. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
2000.
Rachbini, Didik J. Pembangunan Ekonomi & Sumber Daya Manusia. Jakarta. Grasindo.2001.
Winardi. Pemikiran Sistemik Dalam BIdang Organisasi dan Manajemen. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 2005.
Porter, M.E. (1991) Startegi Bersaing ; Teknik menganalisis Industri dan pesaing, Cetakan Keempat,
Terjemahan, Penerbit Erlangga, Jakarta Statistik Indonesia, 1999 Pengelementasian Manajemen
Startegi, http://www.google.co.id



PENDEKATAN DAN TEORI TEORI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

diposting oleh rochyati-w-t-fisip pada 20 December 2012
di Umum - 0 komentar
PENDEKATAN DAN TEORI TEORI IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PUBLIK

DISKRIPSI DAN RELEVANSI
Bab ini akan dielaborasi berbagai pendekatan dan teori-teori Implementasi Kebijakan Publik, mulai dari awal studi ini
bermula, hingga yang relatif paling akhir (mengingat pandangan postmodern di negara negara maju, tempat
pendekatan dan teori-teori implementasi bermula, makin menguat akhir-akhir ini dan menganggap kajian mengenai
implementasi kebijakan publik khususnya yang menyangkut peran pemerintah agak ketinggalan jaman). Pada
negara-negara Barat pandangan tersebut masuk akal sebab peran negara pada peri kehidupan masyarakat juga
makin mengecil. Sektor Privat sering lebih mampu menyediakan layanan publik yang lebih baik daripada pemerintah.
Namun pada negara berkembang seperti negara kita, kajian tersebut masih sangat penting. Pemerintah masih
memegang leading sectors dan masih dianggap sebagai penanggung-jawab utama untuk mensejahterakan
masyarakat melalui kebijakan-kebijakannya.
Pada bab ini akan dapat dipelajari berbagai pendekatan dan teori implementasi yang pernah sangat mempengaruhi
implementasi kebijakan publik di negara-negara maju, dan mengambil manfaat dan pengalaman darinya untuk
memperbaiki implementasi di negeri kita. Sekalipun perlu ditekankan bahwa tidak akan pernah ada pendekatan/teori
yang cocok untuk segala situasi kebijakan, mengingat isi kebijakan yang begitu luas, konteks kelembagaan dan
lingkungan yang begitu beragam. Namun setidaknya dapat membantu mahasiswa menganalisis implementasi
kebijakan di Indonesia, mampu memberikan rekomendasi, serta mungkin dapat mendorong mahasiswa suatu saat
kelak menghasilkan pendekatan-pendekatan dan teori-teori implementasi yang khas Indonesia.
Bahasan dalam bab ini juga terkait dengan bahasan-bahasan dalam Teori Politik; Teori Organisasi, Teori
Manajemen, serta Teori Kebijakan Publik pada umumnya.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami berbagai pendekatan dan teori-teori implementasi kebijakan publik
2. Mahasiswa mampu memahami perbedaan, persamaan, kelebihan dan kelemahan, serta ciri khas dari
masing-masing pendekatan dan teori-teori implementasi.
3. Mahasiswa mampu membedakan penggunaan pendekatan dan teori implementasi yang tepat untuk masing-
masing situasi implementasi kebijakan publik.
4. Mahasiswa mampu menganalisis kasus dan situasi implementasi kebijakan publik menggunakan pendekatan
dan teori yang sesuai.
PENGANTAR
Studi Implementasi secara sungguh-sungguh dianggap muncul pertamakali pada tahun 1970-an saat Jeffrey
Pressman & Aaron Wildavsky (1973)menerbitkan bukunya yang sangat berpengaruh
: Implementation, dan Erwin Hargrove (1975) dengan bukunya The Misssing link : The Study of
Implementation of Social Policy yang mempertanyakan missing link antara formulasi kebijakan dan evaluasi
dampak kebijakan dalam studi Kebijakan publik. Sejak saat itu studi tentang Implementasi mulai marak, terutama
karena fakta menunjukkan berbagai intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah sosial terbukti tidak
efektif.
Hargrove menyatakan menyatakan selama ini studi tentang Public Policy hanya menitik beratkan pada studi tentang
proses pembuatan kebijakan dan studi studi tentang evaluasi, tapi mengabaikan permasalahan-permasalahan
pengimplementasian. Proses administrasi antara formulasi kebijakan dan hasil kebijakan dianggap sebagai kotak
hitam (black box) yang tidak berhubungan dengan kebijakan (terutama karena budaya administrasi di negara Inggris
yang bersifat relatif tertutup) Sampai akhir tahun 1960-an anggapan umum adalah bahwa mandat politik dalam
policy sudah sangat jelas dan orang-orang administrasi akan melaksanakannya sesuai dengan yang diinginkan oleh
bos mereka.
Dua perspektif awal dalam studi implementasi didasarkan pada pertanyaan sejauhmana implementasi terpisah dari
formulasi kebijakan, Yakni apakah suatu kebijakan dibuat oleh Pusat dan diimplementasikan oleh Daerah (bersifat
Top-Down) atau kebijakan tersebut dibuat dengan melibatkan aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para
pelaksananya (Bottom-Up). Padahal persoalan ini hanya merupakan bagian dari permasalahan yang lebih luas, yakni
bagaimana mengidentifikasikan gambaran-gambaran dari suatu proses yang sangat kompleks, dari berbagai ruang
dan waktu, serta beragam aktor yang terlibat di dalamnya.
Para penulis studi implementasipun memiliki keragaman tanggapan atas kekompleksan variabel yang terlibat di
dalamnya. Ada penulis yang cukup berani menyederhanakannya dengan mengurangi variabel variabel tersebut,
namun ada pula yang mencoba mengembangkan model studi implementasi dengan memperhitungkan seluruh
variabel yang teridentifikasi dalam studi mereka. Oleh karenanya dalam Studi Implementasi pretensi untuk
mengembangkan suatu teori implementasi yang bersifat umum (Grand Theory) yang dapat berlaku untuk semua
kasus, di semua tempat dan waktu, hampir mustahil dicapai, karena yang dikembangkan tak lebih hanya akan
menjadi teori tindakan atau teori melaksanakan bukan teori Implementasi Kebijakan.
Secara umum yang membuat perbedaan pendekatan dalam teori Implementasi ini berkaitan dengan :
1. Keragaman issu-issu kebijakan, atau jenis kebijakan. Isu atau jenis kebijakan yang berbeda menghendaki
perbedaan pendekatan pula, karena ada jenis kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit karena
melibatkan banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang relatif mudah. Kebijakan yang cakupannya
luas dan menghendaki perubahan yang relatif besar tentu cara implementasi dan tingkat kesulitannya akan
berbeda dengan kebijakan yang lebih sederhana.
2. Keragaman konteks kelembagaan, yang bisa meluas menyangkut pertanyaan sejauhmana generalisasi
dapat diterapkan pada sistem politik dan konteks negara yang berbeda. Kebijakan yang sama dapat
diimplementasikan dengan cara yang berbeda bergantung pada sistem politik serta kemampuan sistem
administrasi negara yang bersangkutan.
Kendati demikian, manfaat teori atau model-model implementasi kebijakan yang berkembang pesat sejak tahun
1970-an sampai pertengahan 1980-an ini cukuplah besar, setelahnya mengalami kemunduran dan tak ada lagi
pendekatan-pendekatan baru yang dihasilkan. Darinya kita dapat mengelaborasi dan memperoleh gambaran
mengenai faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengelola proses implementasi agar dapat
meningkatkan keberhasilannya dalam mencapai tujuan kebijakan.



III.1. SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI IMPLEMENTASI
Sejarah perkembangan studi implementasi baru dimulai sekitar tahun 1970 -an ketika perkembangan dalam studi
kebijakan mengalami pergeseran minat, dari focus kepada ujung depan dari proses kebijakan, yakni : keputusan
(politik) menjadi focus kepada tahap paska keputusan. Jika semula begitu banyak perhatian dan kajian yang
dilakukan untuk menjawab seberapa rasional terbuka dan adilkah keputusan tersebut dan bagaimana pengetahuan
terbuka dan adilkah keputusan tersebut dan bagaimana penegtahuan dapat menyempurnakannya? maka kajian
kemudian beralih untuk menjawab apa yang sesungguhnya terjadi setelah keputusan/ kebijakan disyahkan dan
bagaimana pengetahuan dapat meningkatkan hasilnya. Maka dimulailah era studi implementasi.
Karya yang dianggap mengawali era studi implementasi adalah tulisan Pressman dan Wildavsky Implementation
pada tahun 1973. Tulisan mereka membahas tentang implementasi program pembangunan ekonomi perkotaan di
Aucland USA, dengan mewancarai aktor pelaksana dan mengkaji dokumen dokumen kebijakan untuk menemukan
hal hal yang tidak beres. Hasilnya adalah suatu pendekatan yang bersifat rasional perspektif dengan model sudut
pandang Top-down. Tumbuhnya model rasional perspektif sebagai tonggak awal studi implementasi adalah sangat
wajar mengingat kebutuhan saat itu adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa banyak kebijakan mengalami
kegagalan saat diimplementasikan dan bagaimana menghasilkan suatu formula implementasi yang tingkat
kegagalannya rendah.
Model sudut pandang Top-down yang rasional perspektif ini tak lama kemudian mendapatkan kritik bertubi tubi.
Kritik pertama adalah bahwa pandangan ini masih terlalu menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan.
Bahwa dengan menyediakan prasyarat prasyarat sukses sebuah implementasi yang telah dihitung dan dianalisis
dengan cermat oleh pembuat kebijakan dan pelaksana tingkat atas (high level bureaucrazy), maka kebijakan dengan
sendirinya akan lebih berhasil dalam implementasinya. Pendekatan ini melupakan peran pelaksana tingkat bawah
yang pada kenyataannya justru lebih banyak berperan.
Kritik kedua adalah bahwa pendekatan perspektif untuk persoalan implementasi hanya akan dapat bersifat terbatas
pada ruang dan waktu serta permasalahan yang serupa. Padahal sebagaimana diketahui variasi masalah kebijakan
yang luas, serta ruang dan waktu pemerintahan yang berbeda, akan memebawa perbedaan pula dalam cara
pemecahan masalahnya. Oleh karena itu model Top-down kemudian diikuti oleh model sudut pandang Bottom-up
dan model Sintesis.
Model Bottom-up yang dikomandani oleh Michael Lypsky melalui bukunya yang baru diterbitkan tahun 1980.
pendekatan Bottom-up ini terutama merupakan kritik atas pandangan model Top-down yang menafikan kontribusi
peran pelaksana tingkat bawah (street level beaurocrazy) pada proses implemesi. Pada sudut pandang ini juga lebih
dipertegas bahwa proses politik bukan hanya tidak berhenti saat kebijakan sudah diputuskan, tapi juga tetap
berlangsung pada level pelaksana tingkat bawah yang banyak menentukan tingkat keberhasilan implementasi.
Dengan demikian perlu mempertimbangkan apa yang menjadi aspirasi, tujuan dan kebutuhan para pelaksana
termasuk kesulitan kesulitan yang mereka hadapi. Karena apa yang menjadi masalah dalam proses implementasi
bisa tampak berbeda dari perspektif level yang berbeda. Atau dengan kata lain antisipasi yang sudah dilakukan pada
masalah masalah implementasi yang akan dan dapat terjadi dari Top Level perspektif, bisa berlainan saat
implementasi running up di tingkat bawah.
Sudut pandang Model Sintesis muncul sekitar tahun 1982 dengan tokohnya yang popular Randall P. Ripley & Grace
Franklin. Model Sintesis ini memadukan kedua model sebelumnya (Top-down dan Bottom up) dengan tekanan utama
yang bisa beragam, mulai pada jaringan interaksi antar aktor pelaksana sampai pada pendekatan sosiologis, dll,
karenanya dalam beberapa literature juga disebut sebagai teory atau model Hybrid. Model sintesa/ hybrid ini pada
hakekatnya ingin menegaskan bahwa tidak ada model perspektif yang bisa diterapkan pada setiap masalah
implementasi. Tiap katagori kebijakan memiliki kekhasan tersendiri, sehingga pendekatannya pun harus disesuaikan
dengan kondisi tersebut. Model sintesa ini sangat beragam mulai dari yang hanya mengemukakan variable yang
dianggap mempengaruhi implementasi. Kategori model sintesis ini sungguhnya dilakukan hanya untuk
memeprmudah pengkatagorian berbagai pendekatan studi implementasi yang muncul belakangan.
Hasil pemikiran yang berbeda-beda sebagaimana tersebut diatas memang tak pelak pasti muncul mengingat studi
implementasi tumbuh dari berbagai hasil penelitian mengenai praktek implementasi pada era yang berbeda-beda,
dan dengan fokus perhatian yang berbeda-beda pula. Oleh Gogin dkk (1990) perbedaan era dan fokus tersebut
dikatagorikan sebagai berikut:
1. Fokus Penelitian generasi pertama
a. Bagaimana suatu aturan diujudkan sebagai hukum dan bagaimana suatu hukum dijadikan program
b. Menguraikan sifat kerumitan dan dinamika proses implementasi
c. Menekankan pentingnya subsistem kebijakan
d. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil suatu program
e. Mendiagnosis beberapa penyakit yang sering mengganggu proses implementasi
2. Fokus Penelitian generasi kedua:
a. Jenis dan isi kebijakan
b. Organisasi pelaksana dan sumberdaya
c. Pelaksana kebijakan : sikap, motivasi, hub antar pribadi, komunikasi dsb
d. Hasil : pengakuan bahwa implementasi bisa berubah setiap saat, identifikasi faktor penentu keberhasilan, berbagai
persoalan yang muncul, dsb.
3. Fokus Penelitian generasi ketiga:
a. Bentuk komunikasi antar lembaga pemerintahan
b. Penyusunan desain penelitian
c. Mengkaji variabel-variabel prediktor dalam implementasi
Wayne Parsons memberikan gambaran yang lebih rinci tentang perkembangan studi implementasi, yang bukan baru
dimulai saat model rasional top-down muncul, tapi bahkan jauh sebelumnya. Berikut ini garis besar perkembangan
studi implementasi berikut tokoh dan karyanya yang ia paparkan:
1940 an karya Sleznick tentang TVA, yakni penemuan tahap implementasi.
Analisis kegagalan : Derthick (1972): Pressman dan Wildavsky (1973), Bardach (1977) yang menganalisis
mengapa kebijakan gagal dilaksnaakan sehingga pula mencapai tujuannya.
Model rasional (Top-down) untuk mengidentifikasikan factor-faktor yang menjadikan implementasi berhasil:
Van Meter dan Van Horn (1975): Hood (1976), Gunn (1975), Sabatier & Mazmanian (1979).
Kritik Bottom-up terhadap model top-down dalam hal pentingnya factor lain dan interaksi organisasional :
Lipsky (1971), Wetherley & Lipsky (1977), Elmore (1978, 1979), Hjern et al. (1978).
Teory Hybrid/Sintesa : Implementasi sebagai evolusi (Majone & Wildavsy, 1978): sebagai pembelajaran
(Browne & Wildavsky, 1984): sebagai kontinum kebijakan tindakan (Lewis & Flynn, 1978, 1979: Barret &
Fudge, 1981): sebagai analisis interorganisasional (Hjern, 1982, Hjern & Porter, 1981): implementasi dan
tipe kebijakan (Ripley & Franklin 1982): sebagai bagian dari subsistem kebijakan (1986 an) dan sebagai
manajemen sector publik (Hughes, 1994) dalam (Parsons, 464 465).
Berikut ini berberapa dari berbagai pendekatan atau model yang dikembangkan selama tahun 1970-an hingga
pertengahan 1980-an, dari yang bersifat Top-down; Bottom-up hingga sistesa antara keduanya. Hal yang perlu
diingat bahwa beberapa nama yang tadinya dikenal sebagai penganut sudut pandang tertentu, seperti Wildavsky,
Bardach, Paul Sabatier dan lain lain, pada karya karya selanjutnya mulai bergeser pada sudut pandang yang lebih
bersifat sintesis, sebagai konsekuensi logis perkembangan studi yang mereka lakukan.

III.2. PENDEKATAN RASIONAL TOP-DOWN
Pendekatan ini yang pertamakali muncul saat studi Implementasi mulai menjadi kajian serius sekitar awal tahun
1970an. Pendekatan ini bersifat top-down, yang mengasumsikan bahwa apa yang sudah diputuskan (policy) adalah
alternatif terbaik, dan agar mencapai hasil maka kontrol administrasi dalam pengimplementasiannya adalah hal
mutlak. Ciri dari pendekatan ini adalah memandang proses pembuatan Kebijakan sebagai suatu proses yang
berlangsung secara rasional dan Implementasi adalah melaksanakan tujuan yang telah dipilih tersebut dengan
menentukan tindakan-tindakan rasional untuk mencapai tujuan tersebut. Implementasi kebijakan merupakan suatu
proses administrasi yang terpisah dari penentuan kebijakan (yang bersifat politik). Dengan demikian implementasi
sebagai proses interaksi antara penentuan tujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut (Pressman dan
Wildavsky, 73). Pendekatan ini juga mengasumsikan bahwa setiap kegagalan kebijakan dalam mencapai dampak
yang diinginkan, harus dicari faktor-faktornya dari kegagalan proses implementasi membangun mata-rantai
hubungan sebab-akibat agar kebijakan bisa berdampak.
III.2.1. Jeffrey Pressman & Aaron Wildavsky : Defisit Implementasi (1973)
Karya Pressman dan Wildavsky ini adalah model implementasi yang pertama kali muncul. Dalam tulisan mereka yang
berjudul Implementation (1973), mereka menyatakan bahwa sejauhmana implementasi dapat berhasil
tergantung pada keterkaitan antara berbagai organisasi dan departemen pada tingkat lokal yang terlibat dalam
implementasi. Karenanya kerjasama, koordinasi dan kontrol memegang peranan sangat penting. Jika tindakan-
tindakan bergantung pada kaitan-kaitan dari mata rantai implementasi, maka tingkat kerjasama antar departeman
yang dibutuhkan dalam mata rantai tersebut harus mendekati 100%, karena apabila ada hubungan kerjasama dalam
rangkaian mata rantai tersebut yang defisit, maka akan menyebabkan kegagalan implementasi. Rumusan Pressman
dan Wildavsky ini melihat bahwa persoalan implementasi dan kemungkinan tingkat keberhasilannya bisa dianalisis
secara matematis.
Rumusan mereka mungkin berguna manakala policy implementasi tidak melibatkan banyak aktor dan berbagai
tingkatan, sehingga faktor-faktor hubungan yang kritis bisa diperhitungkan untuk bisa segera diambil tindakan
perbaikan. Namun rumusan ini sulit diterapkan pada kebijakan yang melibatkan berbagai aktor, apalagi mengingat
hubungan antar aktor dari berbagai organisasi/departeman sangat jarang berlangsung mulus karena masing-masing
juga mengejar pencapaian tujuan sendiri. Oleh karenanya pendekatan Game Theory mungkin lebih bisa dimanfatkan
daripada teori Probabilitas untuk menganalisis Implementasi. Dengan kata lain pendekatan Kolaborasi antar aktor
yang terlibat bisa direkomendasikan untuk mengatasi kemacetan hubungan dlam matarantai implementasi (Bowen:
1982).
Selanjutnya mereka juga mengatakan bahwa pembuat kebijakan mesetinya tidak menjanjikan apa-apa yang tak
dapat mereka penuhi, karena implementasi kebijakan membutuhkan sistem kontrol dan komunikasi top-down serta
sumberdaya yang dapat menjalankan tugas implementasi tersebut. Jika sistem tidak mengijinkan kondisi seperti itu,
maka sebaiknya pembuat kebijakan membatasi janji pada tingkat yang bisa dipenuhi dalam proses implementasi
(Parsons:466)

III.2.2. Donald Van Meter & Carl Van Horn: Perspektif Teoritis Proses Implementasi Kebijakan (1975)
Dalam tulisannya yang relatif singkat The Policy Implementation Process di dalam Jurnal Administration
and Society, Vol 5 no. 4 tahun 1975, Donal Van Meter dan Carl Van Horn mendefinisikan implementasi sebagai
:
... policy implementation encompasses those action by publik and privatindividuals (or groups) that are directed at
the achievement of objectives set forth in the prior policy decisions. This includes both one-tome efforts to transform
decision into operational terms, as well as contuining efforts to achieve the large and small changes mandated by
policy decisions (Van Meter & Van Horn; 1975:447).

Model yang ditawarkan oleh mereka bergerak dari pendekatan umum yang dikembangkan oleh pendahulunya,
Pressman dan Wildavsky, menjadi sebuah model proses implementasi. Pendekatan-pendekatan sebelumnya meski
dianggap sangat membantu memahami proses implementasi, namun sangat kurang dalam kerangka teoritik. Model
yang mereka kembangkan bertumpu pada tiga pilar :
1. Teori Organisasi, khususnya tentang perubahan organisasi, baik yang dipengaruhi oleh karya Max Weber,
Amitai Etzioni.
2. Studi-studi tentang dampak Kebijakan Publik, terutama kebijakan yang bersifat hukum.
3. Berbagai studi tentang hubungan inter-organisasi, termasuk hasil studi Pressman & Wildavsky.
Mereka menyatakan pentingnya membedakan isi (content) kebijakan, karena efektifitas implementasi akan sangat
bervariasi bergantung tipe dan issu kebijakan tersebut, karena faktor-faktor yang mempengaruhi proses
implementasi juga akan sangat berbeda. Menurut mereka tipe kebijakan akan memerlukan karakteristik proses,
struktur dan hubungan antar berbagai faktor yang berbeda-beda pula dalam implementasinya. Mereka kemudian
mengklasifikasikan kebijakan berdasarkan 2 karakteristik pokok, yakni;
1. Seberapa besar perubahan yang dituju oleh kebijakan tersebut. Karena semakin besar perubahan yang
diharapkan akan berdampak pula pada perubahan organisasional pelaksananya.
2. Seberapa besar penerimaan atas tujuan kebijakan dari para aktor implementasi.
Dari karakteristik tersebut, mereka kemudian mengkatagorikan kebijakan ke dalam 4 tipe (lihat gambar III.1) yang
masing-masing dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi, sbb:
1. Isi Kebijakan dengan tujuan perubahan kecil dengan konsensus kecil diantara para pelaksananya
2. Isi Kebijakan dengan tujuan perubahan besar, dengan konsensus besar diantara para pelaksananya.
3. Isi Kebijakan dengan tujuan perubahan besar, dengan konsensus kecil, dan
4. Isi kebijakan dengan tujuan perubahan besar, dengan konsensus besar.
Gambar III. 1. Dimensions of Policy Affecting Implementation

Major

Amount of



change


Minor
Low High
Goal Consensus

Sumber : Van Meter & Van Horn, h: 460

Pada kebanyakan kasus, kebijakan dengan perubahan yang terjadi secara sedikit demi sedikit (incremental) biasanya
akan mendapat banyak dukungan; atau sebaliknya, jika kebijakan menghendaki perubahan yang radikal maka
pertentangan antar actor juga akan tinggi sehingga akan menghambat implementasi. Oleh karenanya jika
menginginkan kebijakan terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya dengan perubahan marginal yang terjadi
secara incremental.
Kasus kebijakan dengan tingkat perubahan tinggi dan mendapat dukungan yang tinggi; atau yang sebaliknya
kebijakan dengan tingkat perubahan rendah namun kurang didukung, umumnya jarang terjadi. Di Indonesia
misalnya, kebijakan yang mengatur tentang Otonomi Daerah yang menuntut perubahan yang besar, baik dalam
struktur kepemerintahan di daerah maupun dalam sumber keuangan daerah, mendapat dukungan yang besar dari
para implementor dan hasilnya jika hanya diukur dari tingkat pemerataan pembangunan dapat dikatakan cukup
berhasil. Sebaliknya kebijakan yang hanya sedikit menghendaki perubahan namun kurang mendapatkan dukungan
juga dapat terjadi manakala kebijakan tersebut bersifat controversial atau merugikan kepentingan implementor.
Penerimaan atau consensus atas tujuan kebijakan dianggap penting karena para implementor yang akan
menentukan berhasil tidaknya kebijakan mencapai tujuannya, untuk itu mereka menekankan pentingnya partisipasi
implementor dalam proses pembuatan kebijakan dengan mengutip Gross dkk sebagai berikut (h,7):
1. Partisipasi akan mengangkat semangat para staf implementor yang sangat dibutuhkan dalam proses
implementasi.
2. Partisipasi akan meningkatkan komitmen, yang dibutuhkan untuk menghasilkan perubahan.
3. Partisipasi akan memperjelas inti dari tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pada para implementor.
4. Partisipasi akan mengurangi resistensi para implementor
Meski model yang diajukan oleh Van Meter dan Van Horn menekankan pentingnya partisipasi implementor dalam
penyusunan tujuan kebijakan, namun pendekatan mereka terkatagori pendekatan Top-down, sebab dalam bukunya
mereka mengatakan bahwa standar dan tujuan kebijakan dikomunikasikan pada implementor melalui jaringan
interorganisasional, atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah para implementor memahami dan
menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.
Berbeda dengan penulis lain yang mencoba memberikan pendekatan preskriptif (Chritopher Hood, misalnya), mereka
mencoba memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis proses implementasi, sehingga dapat mengenali simpul-
simpul yang bisa menjadi penghambat keberhasilan implementasi. Selanjutnya Van meter dan Van Horn mengatakan
bahwa ada 6 (enam) variabel (atau kelompok variabel) yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi
keberhasilan implementasi. Variabel-variabel tersebut adalah :



1. Tujuan Kebijakan dan Standar yang jelas. yakni rincian mengenai sasaran yang ingin dicapai melalui
kebijakan beserta standar untuk mengukur pencapaiannya.
2. Sumberdaya (dana atau berbagai insentif yang dapat memfasilitasi keefektifan implementasi)
3. Kualitas Hubungan Inter-Organisasional. Keberhasilan implementasi seringkali menuntut prosedur dan
mekanisme kelembagaan yang memungkinkan struktur yang lebih tinggi mengontrol agar implementasi
berjalan sesuai dengan tujuan dan standar yang telah ditetapkan.
4. Karakteristik Lembaga/organisasi pelaksana (termasuk di dalamnya: kompetensi dan ukuran agen
pelaksana, tingkat kontrol hierarchis pada unit pelaksana terbawah pada saat implementasi, dukungan
politik dari eksekutif dan legislatif, dan keterkaitan formal dan informal dengan lembaga pembuat
kebijakan, etc)
5. Lingkungan politik, sosial dan ekonomi, ( apakah sumberdaya ekonomi mencukupi; seberapa besar dan
bagaimana kebijakan dapat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi yang ada; bagaimana tanggapan publik
tentang kebijakan tersebut; apakah elit mendukung implementasi; dlsb)
6. Disposisi/tanggapan atau sikap para pelaksana )termasuk di dalamnya : pengetahuan dan pemahaman akan
isi dan tujuan kebijakan; sikap mereka atas kebijakan tsb; serta intensitas sikap tsb)
Lebih jelasnya model mereka tampak sbb:
Gambar III.2. Proses Implementasi






Tujuan dan
Standar


Karakteristik badan
Pelaksana Kebijakan

KINERJA
POLICY
Sikap
Pelaksana
Kebijakan


IMPLE-


Aktifitas Penguatan &
Komunikasi Interorganisasi







MENTA

Sumberdaya




Kondisi Sosial, Politik dan Ekonomi






Karena hanya merupakan sebuah artikel , maka penjelasan Van Meter dan Van Horn mengenai model mereka kurang
rinci, sehingga menurut Mazmanian dan Sabatier, model ini memiliki keterbatasan, yakni hanya sesuai untuk
digunakan pada program yang bertujuan mendistribusikan barang dan pelayanan publik dan terlalu abstrak, dengan
kategori yang tidak jelas bentuknya serta variabelnya sulit untuk dioperasionalkan. Namun sebagai sebuah artikel,
gaung tulisan mereka cukup memancing minat para pemerhati implementasi, sehingga model mereka selalu disebut-
sebut dalam karya penulis Implementasi berikutnya. Tidak berlebihan jika dikatakan karya atau model yang mereka
maksudkan sebagai upaya memberikan sebuah perspektif teori bagi studi implementasi yang dirasakan sangat
kurang, telah cukup berhasil menggugah para akademisi lainnya untuk mengikuti jejak mereka, sehingga muncul
berbagai model-model implementasi kebijakan.
III.2.3. Eugene Bardach : The Implementation Game
Eugene Bardach (1977) menulis hasil analisisnya dari berbagai kasus yang ia teliti tentang implementasi
kebijakanan dalam bukunya yang berjudulThe Implementation Game : What happen after a bill become a Law?. Ia
menyatakan bahwa proses politik dalam suatu policy tidak berhenti hanya pada saat penyusunannya, tapi juga
sampai pada tahap pelaksanaan kebijakan tersebut. Berbagai trik politik berlangsung saat sebuah policy dijalankan,
sehingga seringkali tujuan utama dari policy tersebut justru tidak tercapai. Menurutnya sebuah implementasi
adalah suatu permainan tawar-menawar, persuasi, dan manuver di dalam kondisi ketidak-pastian oleh orang-orang
dan kelompok-kelompok guna memaksimalkan kekuasaan dan pengaruh mereka. Hal ini terjadi karena kontrol
rasional organisasi tidak dapat berjalan dengans sendirinya pada policy yang dijalankan oleh berbagai aktor dan
institusi, atau dengan kata lain, proses implementasi itu sudah dengan sendirinya berpotensi memunculkan konflik
kepentingan dan kekuasaan di antara para aktor pelaksananya. Permainan yang demikian tentu bisa berakibat tidak
sehat bagi implementasi sebuah policy, karena dapat mengakibatkan :
1. Terpecahnya Sumberdaya
2. Kaburnya tujuan
3. Dilema dan kesulitan-kesulitan administrasi
4. Terkurasnya energi.






Untuk mengatasi atau meminimalisisr dampak buruk permainan politik tersebut yang pada akhirnya
merugikan kepentingan masyarakat yang seharusnya menjadi tujuan utama dari sebuah kebijakan, maka pembuat
kebijakan harus memberikan perhatian ekstra pada 2 hal :
1. Penulisan scenario implementasi (scenario writing). Artinya pembuat policy harus memperkirakan
bagaimana scenario psoses implementasinya berikut syarat-syarat yang dibutuhkan agar policy tersebut
dapat dilaksanakan dengan baik (tujuan dan sasaran yang jelas, komunikasi, siapa pelaksanannya,
koordinasi antar pelaksana, sumberdaya yang cukup, dll. lihat acuan Gunn). Dengan penulisan scenario
implementasi ini kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul dalam proses implementasi akan lebih mudah
diantisipasi
2. Fixing the Game. Artinya politisi (the Top) yang berkepentingan dengan pencapaian tujuan sebagaimana
yang tertuang dalam policy, harus mengikuti keseluruhan jalannya implementasi dan segera memperbaiki
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diantara para implementor (jika perlu dengan tawar-menawar,
persuasi, manuver, dll).
Dalam tulisannya lebih lanjut pada bukunya Getting Agencies to work Together (1998), Bardach mengakui peran
penting para pelaksana tingkat bawah (the street level) dalam suatu implementasi kebijakan, dan menekankan
pentingnya pendekatan informal dengan mereka, bahkan berkolaborasi jika perlu, demi tercapainya tujuan policy.
III.2.4. Christopher Hood (1978)
Hood dalam bukunya Limit to Administration menyarankan lima syarat (yang merupakan keterbatasan administrasi)
agar implementasi bisa berlangsung sempurna :
1. Implementasi yang ideal adalah produk dari organisasi yang padu seperti militer, dengan garis komando
yang jelas.
2. Norma-norma ditegakkan dan tujuan ditentukan dengan jelas
3. Orang-orangnya dapat dipastikan akan melaksanakan apa yang diminta
4. Harus ada komunikasi yang sempurna di dalam dan antar organisasi.
5. Tidak ada tekanan waktu.
Tentunya akan sangat sulit memenuhi criteria-kriteria tersebut agar sebuah kebijakan terimplementasikan dengan
sempurna, terlebih karena beberapa kebijakan justru tidak harus dilaksanakan dengan aturan seperti di atas jika
ingin berhasil. Mungkin karena Hood sendiri menyadari keterbatasan tersebut, sehingga ia memberikan judul yang
ironi bagi bukunya. Sebagai contoh beberapa decade yll ketika kebijakan keluarga berencana yang bersifat
sentralistis dan harus dilaksanakan sesuai dengan acuan aturan tertentu, justru gagal ketika diterapkan di Iran Jaya.
Norma Keluarga Kecil bahagia Sejahtera yang ditafsirkan tunggal : dicapai melalui pembatasan kelahiran, di Irian
Jaya justru dituding sebagai program Jawanisasi dan Islamisasi. Kecurigaan itu disebabkan sifat program yang
bersifat nasional tanpa memperhatikan keunikan wilayah dan masyarakatnya, yang jumlah kelahiran terbatasi oleh
proses seleksi alam, sementara program Transmigrasi dari Jawa yang umumnya beragama Islam juga berlangsung
pada saat yang bersamaan.
III.2.5. Brian W. Hogwood & Lewis A. Gunn : Implementasi yang Sempurna (1978)
Hogwood dan Gunn adalah penulis dari Inggris yang sangat kuat mempertahankan pendapatnya tentang
pentingya pendekatan Top-down dalam proses implementasi, meski banyak kritik atas pendekatan tersebut. Bagi
mereka pendekatan bottom-up yang cenderung mendekati permasalahan implementasi kasus per kasus dianggap
tidak menarik apalagi mengingat para pembuat kebijakan adalah orang-orang yang telah dipilih secara demokratis,
sehingga sudut pandang mereka tentang implementasi bukanlah suatu hal yang mencederai demokrasi. Ide dasar
mereka bermuasal dari publikasi Gunn pada tahun 1978 yang mengkaji tentang penyebab implementasi seringkali
mengalami kegagalan, dan kemudian dikembangkan dalam tulisan yang berjudulPolicy Analysis for The Real
World (1984).
Dalam buku tersebut mereka memberikan proposisi-proposisi untuk mencapai implementasi yang
sempurna bagi para pembuat kebijakan, sebagai berikut :
1. Situasi di luar badan/organisasi pelaksana tidak menimbulkan kendala-kendala besar bagi proses
implementasi (that circumstances external to the implementing agency do not impose crippling constraints)
2. Tersedia cukup waktu dan cukup sumberdaya untuk melaksanakan program (that adequate time and
sufficient resources are made available to the programme)
3. Tidak ada kendala dalam penyediaan keseluruhan sumberdaya yang dibutuhkan, termasuk sumberdaya
yang dibutuhkan dalam setiap tahapan implementasi (that not only are there no constraints in terms of
overall resources but also that, each stages in the implementation process, the required combination of
resources is actually available).
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasarkan pada teori sebab-akibat yang valid.(That the policy to
be implemented is based upon a valid theory of cause anda effect).
5. Hubungan sebab-akibat tersebut hendaknya bersifat langsung dan sesedikit mungkin ada hubungan antara
(intervening variable) (the relationship between cause and effect is direct and that there ara a few, if any,
intervening links).
6. Diimplementasikan oleh lembaga tunggal yang tidak bergantung pada lembaga-lembaga lainnya, namun
jikapun melibatkan lembaga lainnya, hendaknya hubungan kebergantungan antar lembaga tersebut sangat
minim (that there is a single implementing agency that need not depend upon other agencies for success,
or if other agencies must be involved, that the dependency relationships are minimal in number and
importance).
7. Adanya pemahaman yang menyeluruh dan kesepakatan atas tujuan yang hendak dicapai dan kondisi ini
harus ada dalam seluruh proses implementasi (that there is complete understanding of, and agreement
upon, the objectives to be achieved, and that these conditions persists throughout the implementation
process) .
8. Dalam rangka mencapai tujuan yang telah disepakati, adalah mungkin untuk menspesifikasikan tugas-tugas
yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak yang terlibat, dalam urutan langkah langkah
pelaksanaan secara lengkap, detail dan sempurna (in the moving toward agreed objectives it is possible to
specify, in complete detail and perfect sequence, the tasks to be performed by each participant) .
9. Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna antara berbagai elemen yang terlibat dalam
program (that there is perfect communication among, and co-ordination of, the various elements involved in
the programme),
10. Bahwa yang berwenang dapat menuntut dan menerima kepatuhan yang sempurna (That those in authority
can demand and obtain perfect obedience).

Menurut Hogwood & Gunn untuk mencapai implementasi yang sempurna adalah mungkin manakala dapat
mengontrol seluruh system administrasi sehingga kondisi-kondisi sebagaimana yang mereka sebutkan di atas dapat
terpenuhi, meski juga menyadari bahwa kondisi demikian nyaris mustahil terjadi di dunia nyata. Namun mereka
memandang bahwa proposisi-proposisi tersebut adalah syarat normative yang harus diupayakan agar implementasi
berjalan menuju sempurna. Sayangnya di dunia nyata selain kondisi demikian sangat sulit bahkan mustahil dipenuhi
sepenuhnya, juga bahkan karena memang tak harus seperrti itu.
Bagi Negara-negara maju dengan prinsip demokrasinya mengharapkan syarat ke 10 terpenuhi yang menuntut dan
menerima kepatuhan yang sempurna dari aparat pelaksana, nyaris tak mungkin. Bagi Negara-negara berkembang
syarat-syarat yang sulit dipenuhi lebih banyak lagi terutaman yang berkaitan dengan ketersediaan waktu dan
sumberdaya secara menyeluruh (SDM, dana, skills, teknologii, dll) bagi setiap program yang diimplementasikan.
Justru karena keterbatasan sumberdaya (dan juga waktu) maka banyak kebijakan-kebijakan (program-program)
yang harus dilaksanakan secara incremental. Selain itu, syarat ke 8 yang menuntut spesifikasi tugas yang detail,
lengkap dalam urutan-urutan yang sempurna; seringkali justru tidak harus sedemikian ketat, karena cenderung
menyebabkan implementor lebih memilih memenuhi SOP daripada bertindak memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan sudut pandang yang sangat top-down oriented tersebut, tidak tersisa peluang diskresi bagi implementor
yang mungkin justru sangat diperlukan agar tujuan kebijakan dapat tercapai dalam situasi dan kondisi yang beragam
di lapangan.

III.2.6. George Charles Edwards III: Pendekatan Masalah Implementasi (1980)
Kendati karyanya tidak pernah dikutip dan dibahas oleh para penulis Asing (Amerika dan Inggris) dalam
buku tentang kebijakan public, khususnya dalam kajian tentang implementasi kebijakan, namun karya Edwards ini
justru paling banyak dikutip oleh penulis dan pemerhati implementasi di Indonesia dibanding model yang
dikembangkan oleh duet Van meter dan Van Horn. Dibanding tulisan Van Meter dan Van Horn yang hanya sebuah
artikel, jabaran George C. Edwards III mengenai konsep-konsep yang dibahasnya jauh lebih dalam dan operasional.
Mungkin karena alasan inilah karyanya banyak dikutip di dalam negeri, meski variable-variabel yang ia ajukan nyaris
serupa, bahkan lebih sederhana dibanding dengan variable-variabel yang diajukan oleh pendahulunya.
Dalam bukunya yang berjudul Implementing Public Policy yang diterbitkan tahun 1980, Edwards III menyatakan
bahwa proses implementasi sebagai : the state of policy making between the establishment of a policy (such as
the passage of a legislative act, the issuing of an executive order, the handing down of a judicial decision, or the
promulgation of a regulatory rule) and the consequences of the policy for the peple whom it effect. (Edwards, 1980
: 1)
Implementasi menurut Edwards, diartikan sebagai tahapan dalam proses kebijaksanaan yang berada diantara
tahapan penyusunan kebijaksanaan dan hasil atau konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan
itu (output, outcome). Yang termasuk aktivitas implementasi menurutnya adalah perencanaan, pendanaan,
pengorganisasian, pengangkatan dan pemecatan karyawan, negosiasi dan lain-lain.
Dalam model yang dikembangkannya, ia mengemukakan ada 4 (empat) faktor kritis yang mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan implementasi. Pendekatan yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan :Prakondisi
apa yang harus ada agar implementasi berhasil? dan Apa yang menjadi kendala pokok bagi suksesnya suatu
implementasi? dan menemukan 4 (empat) variabel tersebut setelah mengkaji beberapa pendekatan yang dilakukan
penulis lain.

Gambar III.3. Approach to Implemetation Problems












Ke empat variabel tersebut adalah : 1. Komunikasi; 2. Sumberdaya; 3. Disposisi atau Sikap Pelaksana; 4.
Struktur Birokrasi, yang keseluruhannya saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam
menentukan keberhasilan atau kegagalan implementasi. Dalam gambar geometris pendekatan tersebut tampak pada
gambar III.3.
Kesaling-terkaitan antara ke-empat variabel tersebut pada hasil implementasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. 1. Komunikasi
Ada tiga hal dalam komunikasi ini yang perlu mendapatkan perhatian :
1. Transmisi
Sebuah kebijakan yang akan diimplementasikan harus disalurkan pada pejabat yang akan melaksanakannya.
Seringkali masalah transmisi terjadi manakala pelaksana tidak menyetujui kebijakan (disposisi) tersebut dengan
mendistorsikan perintah kebijakan atau bahkan menutup komunikasi yang diperlukan. Masalah transmisi juga terjadi
manakala kebijakan yang akan diimplementasikan harus melalui struktur birokrasi yang berlapis atau karena tidak
tersedianya saluran komunikasi yang memadai (sumberdaya).
b. Kejelasan (Clarity)
Kejelasan tujuan dan cara yang akan digunakan dalam sebuah kebijakan merupakan hal yang mutlak agar dapat
diimplementasikan sebagaimana yang telah diputuskan. Namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Ada berbagai alasan
yang menyebabkan sebuah kebijakan tidak dirumuskan secara jelas, diantaranya adalah: i). kerumitan dalam
pembuatan kebijakan yang terjadi antara eksekutif dan legislatif, sehingga mereka cenderung menyerahkan detil
pelaksanaannya pada bawahan; ii) Adanya opisisi dari masyarakat atas kebijakan tersebut; iii). Kebutuhan mencapai
konsensus antara tujuan yang saling bersaing saat merumuskan kebijakan tersebut; iv). Kebijakan baru yang para
perumusnya belum terlalu menguasai masalah (tentang ini sering dikatakan sebagai upaya untuk menghindar dari
tanggung jawab); v). Biasanya terjadi pada kebijakan yang menyangkut aturan hukum.
Pada bagian ini selain mengaitkan implementasi dengan tipe/jenis kebijakan, tampaknya Edwards III juga banyak
mengacu pada hasil studi Bardach dalam Implementation Game.
c. Konsistensi
Implementasi yang efektif selain membutuhkan komunikasi yang jelas, juga yang konsisten. Proses transmisi yang
baik namun dengan perintah yang tidak konsisten akan menyebabkan membingungkan pelaksana. Banyak hal yang
bisa menyebabkan arah kebijakan menjadi tidak konsisten, diantaranya karena : i). Kompleksitas kebijakan yang
harus dilaksanakan; ii). Kesulitan yang biasa muncul saat memulai implementasi sebuah kebijakan baru; iii).


Kebijakan memiliki beragam tujuan dan sasaran, aau kadang karena bertentangan dengan kebijakan yang lain; iv).
Banyaknya pengaruh berbagai kelompok kepentingan atas isu yang dibawa oleh kebijakan tersebut.
1. 2. Sumberdaya
Yang dimaskud dengan sumberdaya yang diperlukan dalam implementasi menurut Edwards III adalah :
a. Staff, yang jumlah dan skills (kemampuannya) sesuai dengan yang dibutuhkan.
b. Informasi.
Informasi berbeda dengan komunikasi. Yang diperlukan di sini adalah : i). Informasi yang terkait dengan bagaimana
melaksanakan kebijakan tersebut (Juklak-Juknis) serta, ii). Data yang terkait dengan kebijakan yang akan
dilaksanakan.
c. Kewenangan
Kewenangan yang dibutuhkan dan harus tersedia bagi implementor sangat bervariasi tergantung pada kebijakan apa
yang harus dillaksanakan. Kewenangan tersebut dapat berwujud : membawa kasus ke meja hijau; menyediakan
barang dan jasa; kewenangan untuk memperoleh dan menggunakan dana, staf, dll kewenangan untuk meminta
kerjasama dengan badan pemerintah yang lain, dll.
d. Fasilitas
Kendati implementor telah memiliki jumlah staf yang memadai, telah memahami apa yang diharapkan darinya dan
apa yang harus dilaksanakan, juga telah memperoleh kewenangan yang diperlukan untuk mengimplementasikan
kebijakan, namun tanpa fasilitas fisik yang memadai, implementasi juga tidak akan efektif. Fasilitas fisik ini beragam
tergantung pada kebutuhan kebijakan : ruang kantor, komputer, dll.
1. 3. Disposisi
Yang dimaksud dengan disposisi adalah sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap kebijakan atau program yang
harus mereka laksanakan karena setiap kebijakan membutuhkan pelaksana-pelaksana yang memiliki hasrat kuat dan
komitmen yang tinggi agar mampu mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan. Terdapat tiga unsur utama yang
mempengaruhi kemampuan dan kemauan aparat pelaksana untuk melaksanakan kebijakan yaitu:
a. Kognisi yaitu seberapa jauh pemahaman pelaksanan terhadap kebijakan. Pemahaman terhadap tujuan kebijakan
sangatlah penting bagi aparat pelaksana lebih-lebih apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda
dengan sistem nilai pembuat kebijakan, maka implementasi kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif.
Ketidakmampuan administratif dari pelaksana kebijakan yaitu ketidakmampuan dalam menanggapi kebutuhan-
kebutuhan dan harapan-harapan yang disampaikan oleh masyarakat dapat menyebabkan pelaksanaan suatu
program tidak efektif.
1. Arahan dan tanggapan pelaksanan, hal ini meliputi bagaimana penerimaan, ketidakberpihakan maupun
penolakan pelaksana dalam menyikapi kebijaksanaan.
1. Intensitas respon atau tanggapan pelaksana.
Karakter dari pelaksana akan mempengaruhi tindakan-tindakan pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan
karena pelaksana adalah individu yang tidak mungkin bebas dari kepercayaan, aspirasi dan kepentingan pribadi yang
ingin mereka capai. Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan terdapat suatu kemungkinan dari pelaksana untuk
membelokkan apa yang sudah ditentukan demi kepentingan pribadinya, sehingga dengan sikap pelaksana tersebut
dapat menjauhkan tujuan dari kebijakan sebenarnya.
1. 4. Struktur birokrasi:
Yang dimaksud dengan Struktur Birokrasi Edwards III adalah mekanisme kerja yang dibentuk untuk mengelola
pelaksanaan sebuah kebijakan. Ia menekankan perlu adanya Standart Operating Procedure (SOP) yang mengatur
tata aliran pekerjaan diantara para pelaksana, terlebih jika pelaksanaan program melibatkan lebih dari satu institusi.
Ia juga mengingatkan bahwa adakalanya fragmentasi diperlukan manakala implementasi kebijakan memerlukan
banyak program dan melibatkan banyak institusi untuk mencapai tujuannya.
Berikut ini adalah 2 penulis buku tentang studi implementasi yang cukup berpengaruh yang semula memberikan
pendekatan yang bersifat Top-Down, namun pada tulisan-tulisan mereka selanjutnya mereka mulai memasukkan
pentingnya peran pelaksana tingkat bawah (Karenanya dalam bererapa literatur mengenai Studi Implementasi,
model mereka kadang dikatagorikan model Top--Down, kadang sudah dikatagorikan model Sintesa).

III.2.7 Merilee S. Grindle : Content of Policy & Context of Implementation (1980)
Grindle dalam bukunya yang berjudul Politics and Policy Implementation in The Third Word (1980), mengatakan
bahwa dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan tergantung pada content (isi) dan contextnya, dan tingkat
keberhasilannya tergantung pada kondisi 3 komponen variabel sumberdaya implementasi yang diperlukan. Ketiga
komponen ini menyebabkan program nasional menghasilkan variasi outputs dan outcomes yang berbeda di daerah.
Ketiga komponen itu adalah:
1. Contents of policy messages
2. ketersediaan dana dan sumber lain untuk melaksanakan kebijakan;
3. adanya sanksi;
4. tingkat kesukaran masalah kebijakan.
5. Kredibilitas pesan kebijakan
6. kejelasan pesan kebijakan;
7. konsistensi kebijakan;
8. frekuensi pengulangan kebijakan;
9. penerimaan pesan
10. Bentuk kebijakan
11. efficacy of the policy;
12. partisipasi masyarakat;
13. tipe kebijakan.
Selain itu Grindle juga mengatakan bahwa implementasi program ditentukan oleh Konten (isi) program/policy dan
konteks implementasinya, sebagai berikut :
A. Content of Policy (Isi Kebijakan)
Isi kebijakan atau program akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan implementasi. Kebijakan kontroversial,
kebijakan-kebijakan yang dipandang tidak populis, kebijakan menghendaki perubahan besar, biasanya akan
mendapatkan perlawanan baik dari kelompok sasaran bahkan mungkin dari implementornya sendiri yang mungkin
merasa kesulitan melaksanakan kebijakan tersebut atau merasa dirugikan. Isi kebijakan yang dapat mempengaruhi
implementasi menurut Grindle adalah sbb:
1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh adanya program.
Apabila kebijakan tersebut tidak menimbulkan kerugian di salah satu pihak (misalnya jenis kebijakan Redistribution
menurut katagori Ripley dan Lowie), maka implementasinya akan lebih mudah karena tidak akan menimbulkan
perlawanan bagi yang kepentingannya dirugikan.
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan.
Kebijakan yang memberikan manfaat kolektif atau pada banyak orang akan lebih mudah diimplementasikan karena
lebih mudah mendapatkan dukungan dari kelompok sasaran atau masyarakat.
3. Jangkauan perubahan yang diinginkan.
Semakin luas dan besar perubahan yang diinginkan melalui kebijakan tersebut, biasanya akan semakin sulit pula
dilaksanakan. Misalnya kebijakan anti Korupsi dan KKN yang telah berkali-kali dibuat oleh beberapa presiden RI
dengan berbagai badan pemeriksa, tetap menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi di
dunia karena kebijakan tersebut menuntut banyak perubahan perilaku yang tidak dilaksanakan dengan konsekuen.
Kredibilitas pesan kebijakan tidak terpenuhi karena isi kebijakan yang mengatur tentang adanya sangsi
tidakdijalankan dengan konsisten.
4. Kedudukan pengambil keputusan.
Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam kebijakan (baik secara geografis ataupun organisatoris),
akan semakin sulit pula implementasinya. Kasus demikian banyak terjadi pada kebijakan-kebijakan yang
implementasinya melibatkan banyak instansi.
5. Pelaksana program.
Manakala pelaksana program memiliki kemampuan dan dukungan yang dibutuhkan oleh kebijakan, maka tingkat
keberhasilannya juga akan tinggi.
1. 5. Sumber daya yang disediakan.
Tersedianya sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan, dengan sendirinya akan
mempermudah pelaksanaannya. Sumberdaya ini berupa tenaga kerja, keahlian, dana, sarana, dll.
1. B. Context of Implementation (Konteks Implementasi)
Konteks dimana dan oleh siapa kebijakan tersebut diimplemetasikan juga akan berpengaruh pada tingkat
keberhasilannya, karena seberapapun baik dan mudahnya kebijakan dan seberapapun dukungan kelompok sasaran,
hasil implementasi tetap bergantung pada implementornya. Karakter dari pelaksana akan mempengaruhi tindakan-
tindakan pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan karena pelaksana adalah individu yang tidak mungkin
bebas dari kepercayaan, aspirasi dan kepentingan pribadi yang ingin mereka capai. Dalam mengimplementasikan
suatu kebijakan terdapat suatu kemungkinan dari pelaksana untuk membelokkan apa yang sudah ditentukan demi
kepentingan pribadinya, sehingga dapat menjauhkan tujuan dari kebijakan sebenarnya.
Konteks implementasi yang berpengaruh pada keberhasilan implementasi menurut Grindle adalah sebagai berikut:
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat.
Strategi, sumber dan posisi kekuasaan implementor akan menentukan tingkat keberhasilan kebijakan yang
diimplentasikannya. Apabila suatu kekuatan politik merasa berkepentingan atas suatu program, maka mereka akan
menyusun strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam implementasi sehingga mereka dapat
menikmati outputnya.
1. Karakteristik lembaga dan penguasa.
Implementasi Suatu program dapat menimbulkan konflik bagi yang kepentingan-kepentingannya dipengaruhi.
Strategi penyelesaian konflik mengenai siapa mendapatkan apa (misalnya penggusuran pasar tradisional menjadi
supermarket) dapat menjadi petunjuk tak langsung mengenai ciri-ciri penguasa atau lembaga yang menjadi
implemento


AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA
SEMINAR AKUNTANSI
AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Seminar Akuntansi
Dosen : Ibu Mila Novira, S.E. Ak., M.Pd
Disusun oleh :
MILA KEMALASARI
NIM. 20080510259
Semester VII
Kelas Karyawan
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS KUNINGAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan akuntansi saat ini telah mengalami kemajuan yang cukup pesat, saat ini akuntansi
dituntut untuk lebih memberikan kontribusi yang positif terhadap para pemakai dan penggunanya.
Pihak-pihak yang berkepentingan diantaranya investor dan kreditor menggunakan akuntansi sebagai
sumber informasi utama untuk pengambilan keputusan mereka. Karena itu, agar kepentingan mereka
bisa terpenuhi, informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus mencakup penjabaran yang
lengkap. Dengan demikian, investor dan kreditor dapat mengandalkan laporan keuangan untuk
pengambilan keputusan mereka.
Aset merupakan salah satu elemen dalam laporan keuangan tepatnya neraca. IASB mendefinisi aset
dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut:
Asset is a resource controlled by the entity as a result of past events and from which future economic
benefits are expected to flow to the entity.
Sumber daya manusia (Human resource) merupakan aset penting yang harus dimiliki dan
diperhatikan oleh manajemen. Human Resource adalah elemen yang pasti ada dalam suatu
organisasi. Perusahaan tidak dapat memaksimalkan produktifitas dan laba tanpa adanya sumber daya
manusia yang kompeten dan berdedikasi terhadap tujuan perusahaan.
Adanya gagasan baru di bidang akuntansi yaitu Human Resource Accounting (HRA) yang dicetuskan
oleh Likert (1967) bahwa keputusan yang diambil oleh investor dan kreditor kadang-kadang keliru
sebab mengabaikan salah satu faktor yang penting yaitu sumber daya manusia.
Saat ini, informasi akuntansi konvensional belum mengungkapkan sumber daya manusia. Tujuan
menyajikan sumber daya manusia adalah untuk mengindentifikasi perubahan nilai sumber daya
manusia dengan demikian dapat diketahui sumber daya manusia di perusahaan itu mengalami
peningkatan atau penurunan nilai pada periode tertentu.
Menurut Byars dan Rue (1997), Human resource dalam suatu organisasi menggambarkan suatu
investasi terbesar. Likert juga berpendapat bahwa Pengeluaran yang berkaitan dengan sumber daya
manusia lebih tepat dianggap sebagai investasi SDM. Sebab pengeluaran terdiri atas kos untuk
menarik, memilih, melatih, mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya manusia merupakan
pengeluaran untuk pembentukan human capital. Pengeluaran tersebut seharusnya dikapitalisasi agar
manfaatnya dapat diukur.
Seringkali kos sumber daya manusia itu diperlakukan oleh perusahaan sebagai biaya saat terjadinya.
Hal tersebut menimbulkan pertentangan atas kegagalan prinsip akuntansi memberikan informasi yang
relevan bagi investor dan manajemen. Likert menyatakan bahwa pada saat manajer berusaha untuk
menurunkan biaya produksi, umumnya perusahaan mengurangi jumlah personel, menambah
supervisi, membatasi hak tenaga kerja dan manurunkan manfaat yang seharusnya diterima oleh
karyawan. Laba akan meningkat untuk jangka pendek karena adnya pemotongan biaya dan
peningkatan produktifitas. Meskipun demikian, menurut Participative School of management hal
tersebut akan mendatangkan dampak yang kurang menguntungkan bagi perusahaan dalam jangka
panjang.
Dari uraian diatas, penting untuk mengukur dan menyajikan human resources dalam stetement
keuangan. Teori elemen statemen keuangan tidak terbatas pada penalaran tentang pendefinisian
tetapi meliputi pula penalaran tentang pengukuran, penilaian, pengakuan, penyajian, dan
pengungkapan. Dalam lingkup perusahaan, akuntansi dapat didefinisikan sebagai: Proses
pengindentifikasian, pengukuran, dan penyajian suatu objek pelaporan keuangan dengan cara
tertentu untuk menyediakan informasi relevan kepada pihak yang berkepentingan sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Sehingga, pengukuran diperlukan untuk menyajikan atau memberikan informasi kepada pihak yang
berkepentingan. Dalam Pengukuran sumber daya manusia, ada empat metode yang dapat dipakai,
salah satu metode yang biasa dipakai oleh perusahaan yaitu Replacement cost.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Akuntansi Sumber Daya Manusia (Human Resource Accounting)
Human Resource Accounting (HRA) adalah pencatatan manajemen dan pelaporan personnel cost
(Cashin dan Polimeni, 1981). Sedangkan menurut Accounting Association Committee In Human
Resource Accounting, HRA adalah proses pengindentifikasian dan pengukuran data mengenai sumber
daya manusia dan pengkomunikasian informasi ini terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.
Dari definisi ini terkandung tiga pengertian HRA, yaitu:
Identifikasi nilai-nilai sumber daya manusia
Pengukuran kos dan nilai bagi organisasi itu
Penyelidikan mengenai dampak kognitif dalam perilaku sebagai akibat dari informasi itu.
Menurut Flamholtz (1968), HRA itu berarti akuntansi untuk manusia sebagai suatu organisasi. Hal ini
menyangkut biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk merekrut, memilih, memperkerjakan,
melatih dan mengembangkan aset SDM, serta berhubungan dengan pengukuran nilai ekonomis dari
pekerja atau pegawai suatu organisasi atau perusahaan.
2.2 Informasi yang Disajikan Akuntansi
Adanya gagasan baru di bidang akuntansi yaitu Human Resource Accounting (HRA) yang dicetuskan
oleh Likert bahwa keputusan yang diambil oleh investor dan kreditor kadang-kadang keliru sebab
mengabaikan salah satu faktor yang penting yaitu sumber daya manusia.
Informasi akuntansi konvensional belum mengungkapkan sumber daya manusia. Tujuan menyajikan
sumber daya manusia adalah untuk mengindentifikasi perubahan nilai sumber daya manusia, dengan
demikian dapat diketahui sumber daya manusia di perusahaan itu mengalami peningkatan atau
penurunan nilai pada periode tertentu.
Pengeluaran yang berkaitan dengan sumber daya manusia lebih tepat dianggap sebagai investasi
SDM. Sebab pengeluaran terdiri dari kos untuk menarik, memilih, melatih, mengembangkan dan
mendayagunakan sumber daya manusia merupakan pengeluaran untuk pembentukan human capital.
Pengeluran tersebut seharusnya dikapitalisasi agar manfaatnya dapat diukur.
Data yang diukur dan dicatat, dan dilaporkan adalah data mengenai pengeluaran untuk sumber daya
manusia dalam organisasi. Serta mengukur hasil yang diharapkan diperoleh pada masa mendatang
dari berbagai investasi.
Tiga hal penting yang terdapat pada akuntansi sumber daya manusia, yaitu:
Mengkapitalisasi kos sumber daya manusia secara konseptual lebih dibenarkan daripada
menganggapnya sebagai beban.
Informasi sumber daya manusia memungkinkan lebih relevannya keputusan yang diambil pihak
intern atau ekstern perusahaan.
Manusia merupakan sumber daya yang bernilai dan merupakan bagian integral dari sumber daya
perusahaan.
2.3 Sejarah Perkembangan Akuntansi Sumber Daya Manusia
Akuntansi sumber daya manusia atau HRA merupakan cabang baru dari akuntansi manajerial atau
akuntansi kos, hal ini ditekankan pada penerapan konsep dan prosedur akuntansi untuk personnel
(Cashin dan Polimeni, 1981). Publikasi yang dilakukan oleh perusahaan dan adanya iklan melalui
media televisi sering menyatakan bahwa our employees are our important asset. Dikatakan bahwa
karyawan sebagai sumber daya perusahaan merupakan aset yang penting bagi perusahaan. Namun
pada kenyataannya, sebagian besar perusahaan tidak menetapkan secara aktual dan pasti nilai dari
aset SDM, dan bagian akuntansi yang mereka miliki tidak banyak membantu dalam hal ini. Disisi lain
timbul suatu kenyakinan untuk mengakui keberadaan akuntansi sumber daya manusia, dan
pengakuan tersebut dari beberapa akuntan senior. Pada tahun 1922, Paton menyebutkan:
in the business enterprise, a well organized and loyal personel may be a more important asset than
a stock merchandise. at present there seem to be no way of measuring such factor in term of dollar.
but let us, accordingly, admit the serious limitation of the convensional balance sheet as a statement
of financial conditing
Pernyataan ini semakin memperkuat konsep untuk mengakui human resource sebagai suatu aset dan
mendorong timbulnya penelitian-penelitian yang berhubungan dengan human resource. Sejak tahun
1960-an, suatu badan yang berkembang untuk riset, percobaan, dan teori di Amerika Serikat telah
mengembangkan metode-metode akuntansi untuk aset manusia suatu organisasi. Riset ini merupakan
pengakuan yang lebih besar bahwa human aset dan human capital memainkan peranan yang lebih
besar dalam ekonomi sekarang dari pada dimasa lalu.
Sesuai dengan GAAP (Generally Accepted Accounting Principles) kos sumber daya manusia itu
diperlakukan sebagai biaya pada saat terjadinya. Hal tersebut menimbulkan pertentangan atas
kegagalan prinsip akuntansi memberikan informasi yang relevan bagi investor dan manajemen.
Seorang ahli jiwa sosial Amerika Serikat yang bernama Rensist Linkert dan pihak-pihak lain yang
sepaham menyatakan keberatannya (1960an) bahwa kegagalan akuntansi untuk mengakui human
resource secara tepat telah menimbulkan kesimpulan yang tidak akurat dan hal ini memepengaruhi
laba perusahaan untuk jangka panjang, efektifitas manajemen, dan motivasi karyawan atau tenaga
kerja. Setelah itu, muncul beberapa perdebatan dan keberatan terhadap prinsip akuntansi yang
dianggap gagal dalam menyediakan informasi yang relevan bagi decision makers. Pernyataan
keberatan kemudian muncul dari participatif school of management dan mendapat dukungan dari
Likert yang menyebutkan bahwa pernyataan keberatan yang diajukan sekolah-sekolah manajemen
tersebut didukung pula oleh peryataan atau teori dalam text book on management.
Likert menyatakan bahwa pada saat manajer berusaha untuk menurunkan biaya produksi,
manajemen cenderung mengurangi jumlah pesonel, menambah supervisi, membatasi hak tenaga
kerja dan menurunkan keuntungan yang seharusnya diterima oleh karyawan. Laba akan meningkat
untuk jangka pendek karena adnya pemotongan biaya dan peningkatan produktifitas. Namun,
menurut Participative School of management hal tersebut akan mendatangkan dampak yang kurang
menguntungkan bagi perusahaan dalam jangka panjang. Likert menyebutkan bahwa kerugian
tersebut akan muncul dalam beberapa hal yaitu:
Tingkat petentangan antara karyawan dan manajer (the Level Of Hostility)
Keinginan untuk membatasi produksi (The desire to restrict production)
Ketidakpuasan (grievances)
Ketidakhadiran (Absenteeism)
Perputaran (Turn over)
Kegagalan-kegagalan akuntansi konvensional yang dianggap bersifat prinsip menurut para pendukung
HRA, dapat dirangkum sebagai berikut:
Kos sumber daya manusia diperlakukan sebagai biaya. Sebagian kos HRA sekaligus memiliki
kompenen aset dan biaya. Untuk itu manfaat (benefit) pada periode dimasa yang akan datang seperti
kos akuisisi dan pengembangan harus dikapitalisasi dan dijabarkan berdasarkan product life dari
karyawan yang bersangkutan.
Kos jangka panjang HRA diabaikan. Tanpa adanya informasi HRA yang berkecukupan, manajemen
hanya akan memiliki ide atau gagasan yang kurang memadai tentang investasi total dalam human
resource.
Keterbatasan data yang dibutuhkan dalam perencanaan dan pengendalian. Manajemen
membutuhkan data personel sebagaimana mereka membutuhkan data tentang material dan
overhead, untuk perencanaan dan pengendalian. Saat ini sistem akuntansi belum menyediakan data
tersebut. Sebagai contoh, HRA akan menyediakan informasi kos yang sangat penting bagi
penganggaran, seperti kos penarikan dan pelatihan bagi karyawan baru. Pengendalian terhadap
sumber daya manusia membantu memberikan kepastian atau menjamin bahwa sasaran sumber daya
manusia itu dapat dicapai.
Keterbatasan pertanggungjawaban sosial. Para pendukung HRA mengkritik beberapa perusahaan
besar karena keterbatasan tanggungjawab mereka. Para pendukung tersebut menyatakan bahwa saat
ini profit bukan lagi menjadi satu-satunya tujuan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Mereka juga
harus mempertimbangkan adanya aspek lingkungan sosial. Misalnya ada beberapa permasalahan
yang harus mereka perhatikan, apakah produk yang mereka hasilkan dapat meningkatkan polusi
udara dan dapat mengancam kesehatan konsumen atau manusia serta alam sekitarnya.
Pengabaian terhadap kebutuhan karyawan. Para pendukung HRA menyatakan bahwa manajer pada
setiap tingkatan harus memperhatikan kemampuan, keterampilan, dan kreativitas para karyawannya.
Para pekerja memiliki keinginan untuk berpartisipasi dan memiliki kontribusi dalam manajemen
perusahaan. Pada tahun 1973 American Accounting Association (AAA) membentuk komite yang
disebut American Accounting Association on Human Resources Accounting yang pada dasarnya
menekankan pada tiga masalah utama yaitu:
1. Memperkenalkan model-model pengukuran kos dan nilai sumber daya manusia
2. Aplikasi HRA
3. Mengidentifikasi dampak-dampak perilaku kognitif HRA.
2.4 Ruang Lingkup Akuntansi Sumber Daya Manusia (HRA)
Secara skematis ruang lingkup HRA mencakup komponen-komponen sebagai berikut:
Gambar II-2, Ruang lingkup Akuntansi Sumber Daya Manusia
2.5 Metode Pengukuran Akuntansi Sumber Daya Manusia (HRA)
a. Replacement Cost of Human Resource
Dalam metode kos pengganti terdiri dari biaya penaksiran biaya penggantian sumber daya manusia
yang sudah ada dalam suatu perusahaan. Biaya-biaya tersebut akan meliputi seluruh biaya
penerimaan tenaga kerja baru, penyeleksian, penggajian, pendidikan dan pelatihan, penempatan dan
pengembangan karyawan baru untuk mencapai kecakapan. Keuntungan utama metode kos ini yaitu
metode ini merupakan suatu pengganti yang baik bagi nilai ekonomi aset dalam arti pertimbangan
pasar adalah pencapaian suatu bilangan akhir. Dengan demikian, informasi kos pengganti akan
memberikan informasi kepada pemakai berapa besar sumber daya ekonomik yang dibutuhkan untuk
mempertahankan aset, misalnya SDM yang dikuasai sekarang. Suatu bilangan akhir tersebut
umumnya dimaksudkan pula secara konseptual menjadi ekuivalen dengan suatu pengertian tentang
nilai ekonomi sekarang.
Adapun kelemahan menggunakan metode kos pengganti yaitu:
1. Suatu perusahaan mungkin mempunyai seorang karyawan tertentu yang nilainya dirasa lebih besar
daripada biaya penggantinya yang relevan.
2. Kemungkinan tidak ada pengganti yang sepadan bagi suatu aset yang berupa manusia
3. Adanya kemungkinan timbulnya kesulitan bagi pihak manajemen dalam melaksanakan penafsiran
biaya pengganti.
b. Kelayakan Pengembangan Sistem Human Resource Replacement Cost (HRRC)
Tidak semua Perusahaan membutuhkan, atau mempunyai kemampuan, mengembangkan sistem
HRRC. Kelayakan pengembangan sistem HRRC berkaitan dengan faktor berikut :
Ukuran perusahaan
Bisnis
Struktur sumber daya manusia
Kebijakan sumber daya manusia, dan
Filsafat manajemen
E. Flamholtz (1968) dalam melukiskan nilai pengganti sumber daya manusia (penggantian nilai),
mengacu pada pengorbanan yang pasti terjadi sekarang untuk menggantikan sumber daya manusia
yang sekarang dipekerjakan.
Dalam rangka menyediakan basis sistematis untuk mengindentifikasi berbagai kategori biaya
fungsional, Timoty Hinkin, Bruce Tracey, E. Flamholtz, dan Barcons-Vilardell mengembangkan model
yang diperluas untuk HRRC.
Gambar II-3, Human Resource Replacement Cost Model
Masing-masing kategori meliputi beberapa kategori biaya, yang ketika diagabungkan akan
menyediakan perkiraan yang layak dari total biaya penggantian. Pada model HRRC, pengukuran yang
paling sulit dari HRRC adalah pengukuran Learning Costs dan Separation Cost. Salah satu alasan tidak
adanya pengukuran dari produktivitas dalam perusahaan jasa atau organisasi jasa adalah sulit untuk
mengukurnya.
Pada pengukuran Learning costs indentifikasi sistematis dari biaya-biaya yang digabungkan dengan
masing-masing aspek dari proses pelalatihan menurut empat kategori utama dari sumber daya,
personil, peralatan, fasilitas, dan bahan-bahan. Berikut adalah persamaan-persamaan yang
mendukung perhitungan Learning Costs :
Persamaan I, Total Training Costs
Gambar II-5, Training Resource Components
Untuk menghitung dan mengukur produktivitas yang hilang umumnya mengarah pada pandangan
teknik dan ekonomi tradisional tentang produktivitas sebagai perbandingan dari output ke input.
Biaya produktivitas tenaga kerja yang hilang dapat digambarakan sebagai pengurangan dari kelebihan
output yang berkurang dari kesesuaian input tenaga kerja. Berikut adalah persamaan yang
mendukung perhitungan produktivitas tenaga kerja yang hilang:
Hasil bisnis
Produktivitas =
Input sumber daya manusia
Persamaan II, Produktivitas
Penjualan dan Pendapatan
Produktivitas Tenaga Kerja =
Input Tenaga Kerja
Persamaan III, Produktivitas tenaga kerja
Sebuah definisi dikemukakan untuk menghitung biaya produktivitas yang hilang dalam persamaan
IV dibawah ini:
Cp = DI DO
DI = IA IB
DO = Y(OA OB)
Dimana:
Cp = Biaya produktivitas yang hilang
DI = Penyimpangan dari input tenaga kerja
DO = Penyimpangan dari output bisnis
IA, OA = Output dan input karyawan dalam tingkat nyata
IB, OB = Output dan input karyawan dalam tingkat standar
Y = Revenue on salary
Untuk lebih memahami pengukuran dari penyimpangan ouput (Do), dapat ditunjukan dalam
persamaan V, dan perhitungannya:
Planning Fare revenue
Revenue on salary =
Planning Total salaries
Penyimpangan dari output (Do) = Revenue on salary X (Gaji nyata-kriteria Gaji).
Untuk mengkalkulasi biaya lowongan pekerjaan, situasi yang ekstrim dari hilangnya produktivitas,
membawa baik input maupun output ke dalam persamaan nol:
Penyimpangan input = 0 Input pada tingkat nyata
Penyimpangan output = 0 (revenue on salary X Input pada tingkat nyata)
Biaya lowongan pekerjaan = Penyimpangan input Penyimpangan output
Apabila perusahaan sudah mempunyai standar dalam ganti rugi karyawan, maka rumus yang
dugunakan adalah:
Untuk menghitung jangka waktu kontrak adalah dengan rumus dibawah ini:
Planning Fare revenue
Revenue on salary =
Planning Total Salaries
(a + b + c ) + d.X = Revenue on Salary . d .X
Dimana:
a = Acquisition costs
b = Orientation costs
c = Learning costs
d = Salary individu
X = Jangka waktu kontrak
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan ketika menentukan separasi penggantian kerugian.
Contohnya, dengan nilai pencapaian tertentu, perusahaan mungkin menuntut penggantian kerugian
yang lebih tinggi untuk kontribusi siapa yang lebih rendah, sementara membebankan penggantian
kerugian yang lebih rendah untuk kontribusi siapa yang lebih tinggi.
Dari sistem nilai pengganti sumber daya manusia, kita mengetahui bahwa biaya ini dapat
mencerminkan investasi karyawan (biaya perolehan, biaya orientasi, dan biaya pemahaman) dan
pencapaian karyawan.
Untuk menghitung Separation indemnity, perhitungan ditunjukan dalam rumus dibawah ini:
Dimana:
SI = Separation indemnity
C1 = Investasi karyawan (dihitung oleh nilai pengganti kurang separasi berharga).
DC = Jangka waktu dari kontrak tenaga kerja.
DA = Jangka waktu dari karyawan yang sebenarnya bekerja untuk perusahaan.
CS = Harga dari produktivitas kerugian sebelum separasi.
SA = Gaji yang sebenarnya per bulan untuk karyawan.
M = Jumlah bulanan dengan karyawan yang membuat kontribusi perusahaan.
RC = Tingkat pendapatan pada gaji (tingkat kontribusi).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengukuran sumber daya manusia sebagai aset pada perusahaan, penulis menyimpulkan
sebagai berikut:
1. Pengukuran sumber daya manusia sebagai aset perusahaan penting dilakukan oleh perusahaan.
Informasi kos pengganti akan memberi informasi kepada pemakai berapa besar sumber daya
ekonomik yang dibutuhkan untuk mempertahankan aset misalnya SDM yang dikuasai sekarang.
2. Dengan adanya pengukuran aset sumber daya manusia ini perusahaan dapat mengetahui besarnya
investasi terbesar dalam perusahaannya. Pengukuran ini dapat bermanfaat untuk perhitungan
berbagai rasio dan untuk mengambil keputusan ekonomik dan sosial terutama bagi kepentingan
investor dan kreditor.
3. Dengan adanya pengukuran aset sumber daya manusia ini, perusahaan dapat menentukan
lamanya jangka waktu kontrak dengan memperhitungkan dan mempertimbangkan atas dasar kos
yang telah dikeluarkan.
4. Adapun kelemahan menggunakan metode kos pengganti adalah:
Suatu perusahan mungkin mempunyai seorang karyawan tertentu yang nilainya dirasa lebih besar
daripada biaya penggantinya yang relevan.
Kemungkinan tidak ada pengganti yang sepadan bagi suatu aset yang berupa manusia.
5. Pengukuran aset sumber daya manusia pada perusahaan, terutama perusahaan yang memiliki aset
sumber daya manusianya cukup besar, dengan pengukuran menggunakan metode replacement cost
ini perusahaan dapat menentukan besarnya biaya pengganti yang layak dan sesuai dengan nilai
wajarnya.
6. Dengan melakukan pengukuran berdasarkan metode replacement cost maka kemungkinan
timbulnya kesulitan bagi pihak manajemen dalam melaksanakan penafsiran biaya pengganti akan
teratasi.
3.2 Saran
Melalui kesimpulan tersebut diatas, penulis mengungkapkan saran-saran yang diharapkan dapat
berguna untuk memperbaiki kinerja pelaporan keuangan perusahaan sebagai berikut:
Perusahaan sebaiknya melakukan pengukuran dan penyajian untuk aset sumber daya manusianya.
Dengan menyajikan aset sumber daya manusia di neraca perusahaan, kreditor dan investor dapat
melihat investasi terbesar pada perusahaan untuk mengambil keputusan ekonomik dan sosial.
Perusahaan juga sebaiknya menggunakan metode replacement cost untuk mengukur aset sumber
daya manusianya karena nilai wajar atau nilai pasar dapat diketahui.
Perusahaan juga sebaiknya melakukan perhitungan lamanya jangka waktu kontrak agar diketahui
jangka waktu minimum untuk kontrak setiap karyawannya.
Sebaiknya perusahaan menggunakan perangkat software karena dalam pengukuran aset sumber
daya manusianya dan dalam menghitung jangka waktu kontrak minimal atau masa penyusutan
minimal, jumlah nominal setiap individu berbeda-beda. Penggunaan software dapat memudahkan
organisasi dalam melakukan pengukuran dan berbagai perhitungan.


Sumber Daya Manusia sebagai aset Perusahaan
Pendapat bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) adalah aset perusahaan sudah sering kita dengar dan
baca. Para pemimpin perusahaan pun sering menyampaikan hal tersebut dalam beberapa kesempatan
untuk meyakinkan karyawan bahwa keberadaan mereka sangat penting bagi perusahaan. Tanpa
keberadaan mereka perusahaan akan kesulitan dalam menjalankan bisnisnya karena merekalah (baca:
manusia) yang menjalankan roda perusahaan. It is People who run the Business.

Namun demikian masih banyak karyawan yang menganggap bahwa pendapat tersebut hanya sebatas
slogan saja, masih jauh dari kenyataan. Mengapa demikian, dimana letak kesalahannya? Mengutip dari
beberapa sumber, masalah terjadi apabila ada kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan. Dengan
demikian bisa juga kita tarik kesimpulan bahwa sikap sebahagian besar karyawan yang skeptis terhadap
pernyataan bahwa mereka adalah aset perusahaan bisa jadi karena adanya kesenjangan antara
pernyataan dengan kebijakan perusahaan yang dianggap tidak mencerminkan hal tersebut. Terutama
ketika perusahaan harus mengambil tindakan pemutusan hubungan kerja. Karyawan mulai
mempertanyakan apakah seperti ini bisa disebut memperlakukan karyawan sebagai aset perusahaan,
bukankah sebagai aset seharusnya dijaga dan diperhatikan dengan sebaik-baiknya.

Kita, sebagai karyawan, tidak boleh lupa bahwa sebuah perusahaan memiliki rules of the game yang
harus diikuti oleh team yang ada di dalamnya. Bagi perusahaan yang berorientasi laba (profit) maka
sudah jelas tujuannya adalah mencapai laba. Perusahaan tersebut hanya akan menganggap karyawan
adalah aset apabila karyawan tersebut dapat mengikuti aturan main yang ada dalam perusahaan dan
dapat memberikan kontribusi untuk mencapai laba, apabila tidak maka perusahaan akan mencoret
karyawan tersebut dari daftar aset karena dianggap tidak dapat memberikan kontribusi.

Oleh karena itu, supaya tetap bisa dianggap menjadi aset perusahaan maka karyawan juga harus
membuktikan bahwa dirinya memiliki kualifikasi menjadi aset. Bagaimana caranya? Dengan tetap
mengembangkan kemampuan diri sehingga dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam
perusahaan.

Siapa yang bertanggung jawab untuk pengembangan karyawan, karyawan sendiri atau perusahaan? Kita
akan bicarakan hal tersebut dalam topik berikutnya bagaiman menjadi karyawan/individu yang efektif di
tempat kerja.


DEFINISI PERENCANAAN (Planning) Dan
LANGKAH DALAM MENYUSUN PERENCANAAN

A. PENGERTIAN PERENCANAAN (PLANNING)
1. Dalam ilmu menejemen menjelaskan bahwa salah satu fungsi pokok manajemen adalah perencanaan,
dimana dalam ilmu manajemen menjelaskan bahwa fungsi pokok manajemen terdiri dari perencanaan,
koordinasi, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Perencanaan merupakan salah satu fungsi pokok
manajemen yang pertama harus dijalankan. Sebab tahap awal dalam melakukan aktivitas perusahaan
sehubungan dengan pencapaian tujuan organisasi perusahaan adalah dengan membuat perencanaan.

Definisi perencanaan dikemukakan oleh Erly Suandy (2001:2) sebagai berikut :
Secara umum perencanaan merupakan proses penentuan tujuan organisasi (perusahaan) dan
kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi-strategi (program), taktik-taktik (tata
cara pelaksanaan program) dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan
secara menyeluruh.
2. Dalam manajemen, Perencanaan adalah proses mendefinisikan tujuan organisasi, membuat strategi
untuk mencapai tujuan itu, dan mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi. Perencanaan
merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan fungsi-fungsi lain
pengorganisasian, pengarahan, dan pengontrolan tidak akan dapat berjalan. Rencana dapat berupa
rencana informal atau rencana formal. Rencana informal adalah rencana yang tidak tertulis dan bukan
merupakan tujuan bersama anggota suatu organisasi. Sedangkan rencana formal adalah rencana tertulis
yang harus dilaksanakan suatu organisasi dalam jangka waktu tertentu. Rencana formal merupakan
rencana bersama anggota korporasi, artinya, setiap anggota harus mengetahui dan menjalankan
rencana itu. Rencana formal dibuat untuk mengurangi ambiguitas dan menciptakan kesepahaman
tentang apa yang harus dilakukan.
3. Beberapa Arti Perencanaan Menurut Para Ahli :
1. Garth N.Jone, Perencanaan adalah suatu proses pemilihan dan pengembanngan dari pada tindakan
yang paling baik untuk pencapaian tugas.
2. M.Farland, Perencanan adalah suatu fungsi dimana pimpinan kemungkinan mengunakan sebagian
pengaruhnya untuk mengubah daripada wewenangnya.
3. Abdulrachman (1973), Perencanaan adalah pemikiran rasional berdasarkan fakta-fakta dan atau
perkiraan yang mendekat (estimate) sebagai persiapan untuk melaksanakan tindakan-tindakan
kemudian.
4. Siagian (1994), Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penetuan secara matang
daripada hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian yang telah
ditentukan.
5. Terry (1975), Perencanaan adalah pemilihan dan menghubungkan fakta-fakta, membuat serta
menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan masa datang dengan menggambarkan dan
merumuskan kegiatan-kegiatan tertentu yang diyakini diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu.
6. Kusmiadi (1995), Perencanaan adalah proses dasar yang kita gunakan untuk memilih tujuan-tujuan dan
menguraikan bagaimana cara pencapainnya.
7. Soekartawi (2000), Perencanaan adalah pemilihan alternatif atau pengalokasian berbagai sumber daya
yang tersedia.
B. LANGKAH-LANGKAH DALAM MENYUSUN PERENCANAAN
Proses perencanaan terdiri dari 5 tahap :
1. Penetapan Tujuan Organisasi
Penetapan tujuan awal organisasi merupakan bagian awal dari proses penyusunan perencanaan. Tujuan
organisasi ibarat kompas ayang dijadikan arah abgi keputusan dan aktivitas organisasi. Perumusan
tujuan harus dibuat sejelas mungkin dan sedapat mungkin bersifat kuantitatif. Sedangkan perumusan
tujuan yang bersifat kualitatif memiliki kecenderungan dalam salah tafsir dari berbagai pihak atau dapat
menimbulkan salah persepsi sehingga memberi kesan adanya pelonggaran di dalam pencapaian tujuan
organisasi. Tanpa perumusan tujuan organisasi yang tegas dan jelas maka organisasi akan
menghamburkan sumber daya secara berlebihan. Mengenal priorotas akan kekhasan tujuan organisasi
akan membuat manajemen dapat menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien. Perumusan
organisasi snagat penting baik bagi perusahaan besar maupun perusahaan kecil. Perumusan tujuan
organisasi merupakan prioritas pertama atau kedua, dikarenakan penetapan tujuan organisai merupakan
langkah pertama yang sangat esensial didalam perencanaan, maka pemimpin/manajer harus dapat
membuat perencanaan yang efektif dan efisien. Kegagalam atau tidak merumuskan tujaun organisasi
disebabkan :
Keengganan menetapkan alternatif tujuan. Seringkali pemimpin/manajer dihdapkan kepada
berbagai keukaran mengakui kenyataan bahwa tidak semua hal dapat dicapainya, akibatnya
pemimpin/manajer enggan membuat komitmen organisasi kepada satu tujuan jika tidak tercapai maka
pemimpin/manajer dihadapkan kepada penilaian tidak berhasil
Takut gagal. Pemimpin/manajer yang menetapkan satu tujuan umumnya takut tidak mencapainya
(gagal) dan oleh karena itu pemimpin/manajer sering merumuskan banyak tujuan yang akan dicapai.
Meskipun ada menajer bertipe berani menghadapi resiko akan tetapi umumnya resiko sering kali
dihindari sedapat mungkin
Kekurangan pengetahuan tentang organisasi. Pemimpin/manajer akan menetapkan tujuan
organisasi yang tepat, jika pemimpin/manajer tidak mempunyai pengetahuan yang luas tentang
organisasi dan unit-unitnya. Setiap bagian (unit) mempunyai keterkaitan yang luas dengan tujuan
organisasi secara keseluruhan. Pemimpin/manajer harus mengetahui berbagai karakteristik unit dan
organisasi secara keseluruhan agar dengan mudah dapat mengarahkan dan mengelola sarana dan
prasarana secara efktif dan efisien
Kekurangan pengetahuan akan lingkungan. Pemimpin/manajer disamping mengetahui
lingkungan internal organisasi juga harus emngenal lingkungan eksternal organisasi. Tanpa mengenal
lingkungan eksternal organisasi, maka manajemen organisasi akan berjalan secara acak (tak terarah) dan
akan mudah terhempas oelh lingkungan eksternal yang mengitarinya. Lingkungan eksternal di dunia
organisasi meliputi pesaing, pemasok, sponsor, target sasaran, lembaga pemerintah, masyarakat luas
dan lain sebagainya.
Kurang percaya diri. Untuk mempunyai kemantapan terhadap tujuan organisasi, maka
pemimpin/manajer dan orang-orangnya harus mempunyai kepercayaan diri yang kuat (self
confidence) bahwa ia mampu mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Jika manajer mempunyai
kepercayaan diri yang lemah maka akan senantiasa ragu di dalam melaksanakan tugasnya.
Apa yang dapat dikerjakan untuk membantu pemimpin/manajer didalam merumuskan tujua organisasi
secara efektif dan efisien. Pemimpin/manajer yang pengetahuannya kurang memadai di bidang
lingkungan eksternal organisasi membutuhkan bantuan di bidang sistem informasi yang cukup memadai
yang dapat disediakan dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Dalam program pengembangan
manajemen organisasi pemimpin/manajer akan melakukan kontak informal dari berbagi unit. Departemen
atau divisi yang berbeda-beda. Kontak informal ini membantu untuk mengetahui berbagai hal yang ada
diluar organisasi dan juga meningkatkan kepercayaan diri pemimpin di dalam melaksanakan tugasnya.
Berbagai kendala atau ketakutan akan kegagalan akan dapat ditekan serendah mungkin jika organisasi
telah mempunyai komunikasi yang baik dan efektif dalam kaitannya dengan penyusunan rencana.
Bilamana perenecanaan merupakan proses yang mudah dimengerti maka akan lebih mudah bagi setiap
individu mengembangkan tujuannya serta akan memperoleh bantuan di dalam mengembangkan rencana
untuk mencapai nilai tujuan. Bilamana teknik pengambilan keputusan dipakai secara meluas maka akan
lebih mudah menetapkan alternatif yang diperlukan untuk mencapai tujuan lainnya. Ketakutan akan
kegagalan dan kekurang yakinan diri juga dapat diperkecil melalui penataan dan penetapan tujuan yang
realisitis serta berbagai cara untuk mencapainya. Pelatihan dan pembimbingan merupakan langkah yang
efektif di dalam mencapai tujuan organisasi. Pengakuan dan penghargaan terhadap mereka yang
berhasil merupakan langkah kedua dan menyediakan respon yang konstruktif dan mendukung ketika
target masih belum tercapai merupakan langkah ketiga yang tidak bisa di remehkan. Perencanaan
secara tidak langsung terkait dengan perubahan dan mengimplementasikan serta mengelola perubahan
merupakan bagian tugas yang penting bagi manajemen. Banyak cara yang harus dilakukan oleh
manajemen di dalam menghadapi berbagai perlawanan yang dilakukan oleh pihak lain atau bawahan
yaitu :
Perlu melibatkan pegawai dan kelompok terkait lainnya termasuk berbagai pihak yang berkepentingan
di dalam proses perencanaan
Menyediakan informasi yang memadai bagi pegawai mengenai rencana dan berbagai konsekuensi yang
mungkin terjadai agar supaya mereka mau mengerti tentang kebutuhan akan adanya perubahan
manfaat yang diharapkan dan apa yang diperlukan bagi implementasi yang efektif dan efisien.
Mengembangkan perencaan yang efektif dan efisien serta implementasi yang efektif dan efisien pula.
Catatan penelusuran keberhasilan kepercayaan diri bagi penyusun rencana dan pengakuan rencana
baru.
Sadar akan dampak perubahan organisasi yang diusulkan dan memperkecil gangguan yang tidak
dikehendaki. Jika pengenalan proses manufaktur baru mengarah kepada pemberhentian (pemutusan
hubungan kerja) maka pelaksanaan proses baru tersebut harus dikaitkan dengan kendala yang ada
sereta meyakinkan mereka yang berprasangka negatif
Penetapan tujan dan skala prioritas di awal telah dijelaskan bahwa langkah awal di dalam menyususn
rencana harus dimulai dari tujuan. Di dalam menyusun rencana maka pemimpin/manajer atau
perencana harus menetapkan skala prioritas dan waktu yang tepat tentang tercapainya tujuan. Di
samping itu maka pemimpin/manajer harus menyadari konflik tujuan dan harus pula menyediakan
pengukuran tujaun sehingga hasil dari pelaksanaan dapat diukur dan dievaluasi. Berbagai aspek yang
harus diperhatikan di dalam penetapan tujan dan prioritas meliputi :
a.Skala Prioritas Tujuan
Yang dimaskud skala prioritas adalah urutan kepentingan dari tertinggi sampai terendah. Skala prioritas
memegang peranan yangsangat penting sebab skala prioritas ini akan memberikan perhatian yang
penuh bagi manajer didalam mengalokasikan sumber daya yang ada sehingga yang diutamakan adalah
yang mempunyai prioritas utama (terpenting). Skala prioritas tujuan organisasi menunjukkan tahapan
yang hendak dicapai yang disesuaikan dengan kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman
organisasi. Karena penetapan skala prioritas merupakan keputusan kebijakan maka umumnya manajer
menghadapi kesulitan di dalam merumuskannya. Untuk itu biasanya disusun tim yang akan membahas
skala prioritas tersebut.
b.Kerangka Waktu Tujuan
Di dalam kajian analisis studi gerak dan waktu dijelaskan bahwa setiap setiap gerak membutuhkan waktu
dan tindakan merupakan kumpulan gerak sehingga tindakan akan lebih banyak waktu yang diperlukan
dibandingkan gerak. Dimensi waktu secara tak langsung merujuk pada aktivitas organisasi yang
diarahkan oleh berbagai tujuan yang berbeda dan sangat tergantung kepada durasi (penyelesaian)
tidankan yang direncanakan. Tujuan jangka pendek dapat dicapai dalam waktu kurang dari satu tahun
sedangkan tujuan jangka menengah dicapai kurang dari 5 tahun, akan tetapi lebih dari satu tahun
keterkaitan prioritas dan waktu sangat erat dan keterkaitan itulah maka dapat menetapkan suatu definisi
tentang suatu kegiatan atau suatu obyek. Batasan waktu dapat menjadi manajemen berpikir dan
bertindak efektif sehingga menghasilkan kinerja yang efektif pula. Dari ukuran (dimensi) waktu maka
kinerja organisasi akan dapat diketahui apakah organisasi tersebut telah melakukan tugasnya secara
efektif dan efisien. Dalam kaitannya dengan waktu ini pula maka meskipun tujuan organisasi
diklasifikasikan kedalam jangka pendek, menengah dan panjang aka tetapi ketiganya sebenarnya
mempunyai satu kesatuan yang utuh, karena ketiganya akan saling mempengaruhi. Oleh karena itu
perhatian manajemen suatu organisasi tidak dibenarkan hanya berfokus pada salah satu unsur waktu
saja.
c.Konflik Diantara Tujuan
Organisasi akan berhubungan dengan berbagai pihak yang berkepentingan dan berbagai pihak yang
berkepentingan atas organisasi mempunyai berbagai otoritas yang berbeda-beda dari mulai lemah
sampai yang kuat. Yang kuat mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan dan kinerja
prganisasi. Karena benyaknya pihak yang berkepentingan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi
konflik tujuan organisasi. Oleh karena itu, manajemen dituntut untuk membuat keputusan yang bijak agar
pihak yang berkepentingan tidak merasa dikecewakan. Meskipun dengan sebenarnya terdapat tujuan
organisasi umumnya tidak akan menolaknya dan manajemen harus mempertimbangkan berbagai
kepentingan dan pemusatan dari berbagai kelompok berkepentingan yang berbeda-beda.
d.Pengukuran Tujuan
Tujuaan organisai harus dapat dimengerti dan diterima guna membantu manajemen agar dapat
mencapainya. Dalam kenyataannya, banyak orang percaya bahwa tujuan spesifik yang mudah diukur
akan dapat meningkatkan kinerja, baik bagi individu maupun bagi organisasi. Dalam kaitannya dengan
pengukuranini yang harus diperhatikan adalah di bidang apa yang akan diukur dan apa jenis
pengukurannya serta metode apa yang digunakan di dalam pengukuran. Di dalam praktiknya ternyata
kinerja manajemen yan efektif memerlukan penetapan pengukuran tujuan diberbagai bidang fungsi
kegiatan.
2. Mendefinisikan Situasi Sekarang (Berjalan)
Seberapa jauh suatu organisasi gagal mencapai tujuan jangka pendeknya atau berhasil mencapainya
dan berbagai faktor apa yang berpengaruh ? pertanyaan ini tentunya sangat terkait dengan situasi
sekarang atau situasi sedang berjalan. Pemimpin/manajer harus menyadari bahwa situasi dan keadaan
sekarang sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sebelumnya dan posisi sekarang sangan
dipengaruhi akan mempengaruhi situasi dan kondisi yang akan datang. Oleh karena itu mengenal situasi
dan kondisi sekarang sangat penting artinya bagi seorang pemimpin/manajer dan dari data masa lalu
sampai pada posisi sekarang merupakan petunjuk atau sinyal seberapa jauh perencanaan yang telah
dilakukan telah berjalan efektif dan efisien. Berdasarkan pengalaman di dalam menyususn perencanaan
untuk masa yang akan datang.
3. Mengenal Dukungan dan Kendala
Setiap penyususn rencana sebaiknya mengenal apa saja yang akan mendukung perencanaan yang
disusum dan kendala apa saja yang merintanginya. Dengan mengenal dukungan dan kendala maka
pemimpin/manajer akan dapat mengantisipasi sedini mungkin tentang berbagai hal yang akan terjadi dari
kemungkinan yang terjelek (terburuk) sampai kepada kemungkinan terbaik. Sebaiknya
pemimpin/manajer lebih memusatkan perhatiannya kepada berbgai kemungkinan terjelek dari pada
memusatkan kepada kemungkinan terbaik. Memahami berbagai kemungkinan terjelek akan
menyadarkan pemimpin/manajer untuk bertindak hati-hati, sedangkan memperhatikan kemungkinan
terbaik akan memotivasi pemimpin/manajer di dalam melaksanakan tugasnya. Segala kemungkinan
terjelek dan terbaik harus dapat dicantumkan di dalam penyusunan perencanaan. Pemimpin/manajer
dapat menggunakan pendekatan terendah dan tertinggi (high and lawa point method) atau menggunakan
teerjelek dan terbaik (the worts and the best method).

4. Mengembangkan Premis Peerencanaan
Yang dimaksud premis disini adalah asumsi tentang lingkungan dimana organisasi itu berada.
Lingkungan organisasi yang sedang berubah akan sangat mempengaruhi aktivitas organisasi, memaksa
adaptasi operasi berjalan dan perlu peninjauan tentang segala tatanan yang ada dalam organisasi.
Pemimpin/manajer yang ahli akan senantiasa berusaha memanfaatkan sumber informasi yang tersedia
guna mengantisipasi dan merencanakan metode yang tepat untuk disesuaikan dengan segala
kemungkinan yang akan terjadi. Oleh karena itu, sebelum pemimpin/manajer menyusun rencana
sebaiknya pemimpin/manajer telah membuat peramalan yang terkait dengan rencana yang akan di
susun. Peramalan akan sangat membantu pemimpin/manajer di dalam menyusun rencana sebab
peramalan akan memberikan sinyal dini bagi manajer.
5. Mengembangkan Metode Pegawasan Operasi Rencana
Meskipun perencanaan berlum dilaksanakan akan tetapi sebaiknya metode pengawasan yang akan
dilakukan telah ditetapkan terlebih dahulu. Didalam metode pengaawasan telah dperhitungkan berbagai
permasalahan dan kendala di lapangan serta berbagai cara menanggulanginya, jka metode
pengawasan tidak dipersiapkan terlebih dahulu maka terjadi permasalahan atau kendala di lapangan
maka metode pegawasannya cenderung kurang sistematis dan cenderung bersifat acak. Pengawasan
melibatkan analisis berkelanjutan dan pengukuran operasi aktual terhadap standar yang dikembangkan
dan di rumuskan di dalam proses perencanaan.





DAFTAR PUSTAKA
http://www.kajianpustaka.com/2012/10/pengertian-dan-fungsi-perencanaan.html#.UmARnX8u7EQ
http://id.wikipedia.org/wiki/Perencanaan
http://stiacomunitypalu.blogspot.com/2012/11/beberapa-arti-perencanaan-menurut-para.html
http://alisadikinwear.wordpress.com/2012/01/28/langkah-di-dalam-menyusun-perencanaan/



Tipe-Tipe Kepemimpinan

Pada umumnya para pemimpin dalam setiap organisasi dapat diklasifikasikan menjadi lima type utama
yaitu sebagai berikut :


1. Tipe pemimpin otokratis
2. Tipe pemimpin militeristik
3. Tipe pemimpin paternalistis
4. Tipe pemimpin karismatis
5. Tipe pomimpin demokratis

1. Tipe Pemimpin Otokratis
Tipe pemimpin ini menganggap bahwa pemimpin adalah merupakan suatu hak.
Ciri-ciri pemimpin tipe ini adalah sebagai berikut :

Menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi
Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
Menganggap bahwa bawahan adalah sebagai alat semata-mata
Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia menganggap dialah
yang paling benar.Selalu bergantung pada kekuasaan formal
Dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan pendekatan (Approach) yang
mengandung unsur paksaan dan ancaman.
Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe mimpinan otokratis tersebut di atas dapat diketahui bahwa tipe ini
tidak menghargai hak-hak dari manusia, karena tipe ini tidak dapat dipakai dalam organisasi modern.

2. Tipe Kepemimpinan Militeristis
Perlu diparhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan seorang pemimpin tipe militeristis tidak
sama dengan pemimpin-pemimpin dalam organisasi militer. Artinya tidak semua pemimpin dalam militer
adalah bertipe militeristis.
Seorang pemimpin yang bertipe militeristis mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

Dalam menggerakkan bawahan untuk yang telah ditetapkan, perintah mencapai tujuan
digunakan sebagai alat utama.
Dalam menggerakkan bawahan sangat suka menggunakan pangkat dan jabatannya.Sonang
kepada formalitas yang berlebihan
Menuntut disiplin yang tinggi dan kepatuhan mutlak dari bawahan
Tidak mau menerima kritik dari bawahanMenggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe pemimpin militeristis jelaslah bahwa ripe pemimpin seperti ini bukan
merupakan pemimpin yang ideal.

3. Tipe Pemimpin Paternalistis
Tipe kepemimpinan fathornalistis, mempunyai ciri tertentu yaitu bersifat fathernal atau kepakan.ke
Pemimpin seperti ini menggunakan pengaruh yang sifat kebapaan dalam menggerakkan bawahan
mencapai tujuan. Kadang-kadang pendekatan yang dilakukan sifat terlalu sentimentil.
Sifat-sifat umum dari tipe pemimpin paternalistis dapat dikemukakan sebagai berikut:

Menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa.
Bersikap terlalu melindungi bawahanJarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengambil keputusan. Karena itu jarang dan pelimpahan wewenang.
Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya tuk mengembangkan inisyatif daya kreasi.
Sering menganggap dirinya maha tau.

Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu pemimpin seperti ini sangat diporlukan. Akan tetapi ditinjau
dari segi sifar-sifar negatifnya pemimpin faternalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap
organisasi yang dipimpinnya.

4. Tipe Kepemimpinan Karismatis
Sampai saat ini para ahli manajemen belum berhasil menamukan sebab-sebab mengapa seorang
pemimin memiliki karisma. Yang diketahui ialah tipe pemimpin seperti ini mampunyai daya tarik yang
amat besar, dan karenanya mempunyai pengikut yang sangat besar. Kebanyakan para pengikut
menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini, pengetahuan tentang faktor
penyebab Karena kurangnya seorang pemimpin yang karismatis, maka sering hanya dikatakan bahwa
pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers), perlu dikemukakan
bahwa kekayaan, umur, kesehatan profil pendidikan dan sebagainya. Tidak dapat digunakan sebagai
kriteria tipe pemimpin karismatis.

5. Tipe Kepemimpinan Demokratis
Dari semua tipe kepemimpinan yang ada, tipe kepemimpinan demokratis dianggap adalah tipe
kepemimpinan yang terbaik. Hal ini disebabkan karena tipe kepemimpinan ini selalu mendahulukan
kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan individu.
Beberapa ciri dari tipe kepemimpinan demokratis adalah sebagai berikut:

Dalam proses menggerakkan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu
adalah mahluk yang termulia di dunia.
Selalu berusaha menselaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan organisasi.
Senang menerima saran, pendapat dan bahkan dari kritik bawahannya.
Mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan berikan pendidikan kepada bawahan agar
jangan berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisyatif dan prakarsa dari
bawahan.
Lebih menitik beratkan kerjasama dalam mencapai tujuan.
Selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya.
Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.

Dari sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin tipe demokratis, jelaslah bahwa tidak mudah untuk
menjadi pemimpin demokratis.

Teori Kepemimpinan

Beberapa teori telah dikemukakan para ahli majemen mengenai timbulnya seorang pemimpin. Teori yang
satu berbeda dengan teori yang lainnya.
Di antara berbagai teori mengenai lahirnya paling pemimpin ada tiga di antaranya yang paling menonjol
yaitu sebagai berikut :

1. Teori Genetie
Inti dari teori ini tersimpul dalam mengadakan "leaders are born and not made". bahwa penganut teori ini
mengatakan bahwa seorang pemimpin akan karena ia telah dilahirkan dengan bakat pemimpin.Dalam
keadaan bagaimana pun seorang ditempatkan pada suatu waktu ia akn menjadi pemimpin karena ia
dilahirkan untuk itu. Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin.

2. Teori Sosial
Jika teori genetis mengatakan bahwa "leaders are born and not made", make penganut-penganut sosial
mengatakan sebaliknya yaitu :

"Leaders are made and not born".
Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa setiap orang akan dapat menjadi pemimpin apabila
diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu.

3. Teori Ekologis
Teori ini merupakan penyempurnaan dari kedua teori genetis dan teori sosial. Penganut-ponganut teori
ini berpendapat bahwa seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang baik apabila pada waktu lahirnya
telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, bakat mana kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang
teratur dan pangalaman-pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-
bakat yang memang telah dimilikinya itu.

Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori genetis dan teori sosial dan dapat dikatakan
teori yang paling baik dari teori-teori kepemimpinan.Namun demikian penyelidikan yang jauh yang lebih
mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang timbul sebagai pemimpin yang baik.



Selanjutnya Heckert (1994: 7) mengemukakan ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam menyusun perencanaan, yaitu:
1. Tujuan, atau posisi usaha yang diinginkan pada waktu mendatang.
2. Suatu pengakuan atau keyakinan, bahwa tujuan yang dikehendaki dapat dicapai
selayaknya dipandang dari sudut kondisi-kondisi ekstern yang mungkin terjadi
di masa mendatang, yaitu kondisi lingkungan ekonomi sosial politik yang
diharapkan akan terjadi.
3. Suatu keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai dengan sumber daya yang tersedia
pada perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
4. Keyakinan bahwa perusahaan dapat mengarahkan atau mengkoordinasikan atau
melaksanakan tindakan-tindakan di masa mendatang, yang direncanakan untuk
mencapai tujuan-tujuan (atau menghindari kondisi-kondisi yang merintangi
kemajuan).
5. Suatu pengertian atau pengakuan, bahwa perubahan yang tidak ada putusnya, dan
perkembangan kondisi yang diharapkan, akan mengharuskan adanya penilaianpenilaian
yang berkesinambungan terhadap tujuan, kendala dan rencana tindakan.
Dari kedua pendapat ahli di atas terlihat bahwa adanya kesinambungan antara
fungsi dari perencanaan dengan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam
melakukan suatu perencanaan. Dalam melaksanakan perencanaan juga harus
diperhatikan ke empat fungsi perencanaan, tentunya dengan prioritas pada fungsi
yang sesuai dengan kondisi organisasi.


otivasi seseorang sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
a. Faktor Internal; faktor yang berasal dari dalam diri individu, terdiri atas:
Persepsi individu mengenai diri sendiri; seseorang termotivasi atau tidak untuk melakukan sesuatu banyak
tergantung pada proses kognitif berupa persepsi. Persepsi seseorang tentang dirinya sendiri akan mendorong dan
mengarahkan perilaku seseorang untuk bertindak;
Harga diri dan prestasi; faktor ini mendorong atau mengarahkan inidvidu (memotivasi) untuk berusaha agar menjadi
pribadi yang mandiri, kuat, dan memperoleh kebebasan serta mendapatkan status tertentu dalam lingkungan
masyarakat; serta dapat mendorong individu untuk berprestasi;
Harapan; adanya harapan-harapan akan masa depan. Harapan ini merupakan informasi objektif dari lingkungan
yang mempengaruhi sikap dan perasaan subjektif seseorang. Harapan merupakan tujuan dari perilaku.
Kebutuhan; manusia dimotivasi oleh kebutuhan untuk menjadikan dirinya sendiri yang berfungsi secara penuh,
sehingga mampu meraih potensinya secara total. Kebutuhan akan mendorong dan mengarahkan seseorang untuk
mencari atau menghindari, mengarahkan dan memberi respon terhadap tekanan yang dialaminya.
Kepuasan kerja; lebih merupakan suatu dorongan afektif yang muncul dalam diri individu untuk mencapai goal atau
tujuan yang diinginkan dari suatu perilaku.
b. Faktor Eksternal; faktor yang berasal dari luar diri individu, terdiri atas:
Jenis dan sifat pekerjaan; dorongan untuk bekerja pada jenis dan sifat pekerjaan tertentu sesuai dengan objek
pekerjaan yang tersedia akan mengarahkan individu untuk menentukan sikap atau pilihan pekerjaan yang akan
ditekuni. Kondisi ini juga dapat dipengartuhi oleh sejauh mana nilai imbalan yang dimiliki oleh objek pekerjaan
dimaksud;
Kelompok kerja dimana individu bergabung; kelompok kerja atau organisasi tempat dimana individu bergabung dapat
mendorong atau mengarahkan perilaku individu dalam mencapai suatu tujuan perilaku tertentu; peranan kelompok
atau organisasi ini dapat membantu individu mendapatkan kebutuhan akan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan
serta dapat memberikan arti bagi individu sehubungan dengan kiprahnya dalam kehidupan sosial.
Situasi lingkungan pada umumnya; setiap individu terdorong untuk berhubungan dengan rasa mampunya dalam
melakukan interaksi secara efektif dengan lingkungannya;
Sistem imbalan yang diterima; imbalan merupakan karakteristik atau kualitas dari objek pemuas yang dibutuhkan
oleh seseorang yang dapat mempengaruhi motivasi atau dapat mengubah arah tingkah laku dari satu objek ke objek
lain yang mempunyai nilai imbalan yang lebih besar. Sistem pemberian imbalan dapat mendorong individu untuk
berperilaku dalam mencapai tujuan; perilaku dipandang sebagai tujuan, sehingga ketika tujuan tercapai maka akan
timbul imbalan.


Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi
Diposkan oleh Prasetya Ferilian di 11/28/2011 07:46:00 AM
Pengertian Motivasi
Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak
jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan
manusia untuk bertingkah- laku, dan di dalam perbuatanya itu mempunyai tujuan tertentu.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat). menurut Wexley &
Yukl (dalam Asad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapatpula diartikan hal
atau keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili
proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi
kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu. Sedangkan menurut Gray
(dalam Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi
seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal
melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu.
Morgan (dalam Soemanto, 1987) mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang
sekaligus merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah: keadaan yang mendorong
tingkah laku ( motivating states ), tingkah laku yang di dorong oleh keadaan tersebut (
motivated behavior ), dan tujuan dari pada tingkah laku tersebut ( goals or ends of such behavior ).
McDonald (dalam Soemanto, 1987) mendefinisikan motivasi sebagai perubahan tenaga di dalam diri
seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi mencapai tujuan. Motivasi merupakan
masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda
satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara
biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula (Suprihanto
dkk, 2003).
Soemanto (1987) secara umum mendefinisikan motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai
oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi pencapaian tujuan. Karena kelakuan manusia itu selalu
bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan tenaga yang memberi kekuatan bagi tingkahlaku
mencapai tujuan,telah terjadi di dalam diri seseorang.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah merupakan sejumlah proses- proses
psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan
sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu, baik yang bersifat internal, atau eksternal bagi
seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi
Motivasi sebagai proses batin atau proses psikologis dalam diri seseorang, sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Faktor Ekstern
Lingkungan kerja
Pemimpin dan kepemimpinannya
Tuntutan perkembangan organisasi atau tugas
Dorongan atau bimbingan atasan

2. Faktor Intern
Pembawaan individu
Tingkat pendidikan
Pengalaman masa lampau
Keinginan atau harapan masa depan.

Sumber lain mengungkapkan, bahwa didalam motivasi itu terdapat suatu rangkaian interaksi antar
berbagai faktor. Berbagai faktor yang dimaksud meliputi :
a) Individu dengan segala unsur-unsurnya : kemampuan dan ketrampilan, kebiasaan, sikap dan sistem nilai
yang dianut, pengalaman traumatis, latar belakang kehidupan sosial budaya, tingkat kedewasaan, dsb.
b) Situasi dimana individu bekerja akan menimbulkan berbagai rangsangan: persepsi individu terhadap
kerja, harapan dan cita-cita dalam keja itu sendiri, persepsi bagaimana kecakapannya terhadap kerja,
kemungkinan timbulnya perasaan cemas, perasaan bahagia yang disebabkan oleh pekerjaan.
c) Proses penyesuaian yang harus dilakukan oleh masing-masing individu terhadap pelaksanaan
pekerjaannya.
d) Pengaruh yang datang dari berbagai pihak : pengaruh dari sesama rekan, kehidupan kelompok maupun
tuntutan atau keinginan kepentingan keluarga, pengaruh dari berbagai hubungan di luar pekerjaan
e) Reaksi yang timbul terhadap pengaruh individu
f) Perilaku atas perbuatan yang ditampilkan oleh individu
g) Timbulnya persepsi dan bangkitnya kebutuhan baru, cita-cita dan tujuan

Beberapa faktor yang dapat mempngaruhi motivasi kelompok (teamwork) dalam bekerja dapat
dikategorikan sebagai berikut:

Tujuan
Visi, misi dan tujuan yang jelas akan membantu team dalam bekerja. Namun hal tersebut belum cukup
jika visi., misi dan tujuan yang ditetapkan tidak sejalan dengan kebutuhan dan tujuan para anggota..
Tantangan
Manusia dikarunia mekanisme pertahanan diri yang di sebut fight atau flight syndrome. Ketika
dihadapkan pada suatu tantangan, secara naluri manusia akan melakukan suatu tindakan untuk
menghadapi tantangan tersebut (fight) atau menghindar (flight). Dalam banyak kasus tantangan yang
ada merupakan suatu rangsangan untuk mencapai kesuksesan. Dengan kata lain tantangan tersebut
justru merupakan motivator.
Namun demikian tidak semua pekerjaan selalu menghadirkan tantangan. Sebuah team tidak selamanya
akan menghadapi suatu tantangan. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya memberikan suatu tugas
atau pekerjaan yang menantang dalam interval. Salah satu criteria yang dapat dipakai sebagai acuan
apakah suatu tugas memiliki tantangan adalah tingkat kesulitan dari tugas tersebut. Jika terlalu sulit,
mungkin dapat dianggap sebagai hal yang mustahil dilaksanakan, maka team bisa saja menyerah
sebelum mulai mengerjakannya. Sebaliknya, jika terlalu mudah maka team juga akan malas untuk
mengerjakannya karena dianggap tidak akan menimbulkan kebanggaan bagi yang melakukannya.

Keakraban
Team yang sukses biasanya ditandai dengan sikap akraban satu sama lain, setia kawan, dan merasa
senasib sepenanggungan. Para anggota team saling menyukai dan berusaha keras untuk
mengembangankan dan memelihara hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal menjadi sangat
penting karena hal ini akan merupakan dasar terciptanya keterbukaan dan komunikasi langsung serta
dukungan antara sesama anggota team.

Tanggung jawab
Secara umum, setiap orang akan terstimulasi ketika diberi suatu tanggungjawab. Tanggungjawab
mengimplikasikan adanya suatu otoritas untuk membuat perubahan atau mengambil suatu keputusan.
Team yang diberi tanggungjawab dan otoritas yang proporsional cenderung akan memiliki motivasi kerja
yag tinggi.

Kesempatan untuk maju
Setiap orang akan melakukan banyak cara untuk dapat mengembangkan diri, mempelajari konsep dan
ketrampilan baru, serta melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Jika dalam sebuah team setiap
anggota merasa bahwa team tersebut dapat memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan hal-hal
tersebut di atas maka akan tercipta motivasi dan komitment yang tinggi. Hal ini penting mengingat
bahwa perkembangan pribadi memberikan nilai tambah bagi individu dalam meningkatkan harga diri.

Kepemimpinan
Tidak dapat dipungkiri bahwa leadership merupakan faktor yang berperan penting dalam mendapatkan
komitment dari anggota team. Leader berperan dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi team
untuk bekerja dengan tenang dan harmonis. Seorang leader yang baik juga dapat memahami 6 faktor
yang dapat menimbulkan motivasi seperti yang disebutkan diatas
Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan
atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga
yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar
yang perlu dipenuhi.
Kebutuhan maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke
yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan
dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.
Lima (5) kebutuhan dasar Maslow disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang
tidak terlalu krusial :
1. Kebutuhan Fisiologis
Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis
seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan
lain sebagainya.
3. Kebutuhan Sosial
Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
4. Kebutuhan Penghargaan
Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.


engertian Motivasi Menurut para Ahli | Motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang
menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi
berasal dari kata motif yang berarti "dorongan" atau rangsangan atau "daya penggerak" yang ada
dalam diri seseorang. Menurut Weiner (1990) yang dikutip Elliot et al. (2000), motivasi
didefenisikan sebagai kondisi internal yang membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kita
mencapai tujuan tertentu, dan membuat kita tetap tertarik dalam kegiatan tertentu. Menurut Uno
(2007), motivasi dapat diartikan sebagai dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang
yang diindikasikan dengan adanya; hasrat dan minat; dorongan dan kebutuhan; harapan dan cita-
cita; penghargaan dan penghormatan. Motivasi adalah sesuatu apa yang membuat seseorang
bertindak (Sargent, dikutip oleh Howard, 1999) menyatakan bahwa motivasi merupakan dampak
dari interaksi seseorang dengan situasi yang dihadapinya (Siagian, 2004).

Motivasi menjadi suatu kekuatan, tenaga atau daya, atau suatu keadaan yang kompleks dan
kesiapsediaan dalam diri individu untuk bergerak ke arah tujuan tertentu, baik disadari maupun
tidak disadari (Makmun, 2003). Motivasi seseorang dapat ditimbulkan dan tumbuh berkembang
melalui dirinya sendiri-intrinsik dan dari lingkungan-ekstrinsik (Elliot et al., 2000; Sue Howard,
1999). Motivasi intrinsik bermakna sebagai keinginan dari diri sendiri untuk bertindak tanpa adanya
rangsangan dari luar (Elliott, 2000). Motivasi intrinsik akan lebih menguntungkan dan memberikan
keajegan dalam belajar. Motivasi ekstrinsik dijabarkan sebagai motivasi yang datang dari luar
individu dan tidak dapat dikendalikan oleh individu tersebut (Sue Howard, 1999). Elliott et al.
(2000), mencontohkannya dengan nilai, hadiah, dan/atau penghargaan yang digunakan untuk
merangsang motivasi seseorang.

Misalnya, dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan daya penggerak yang menjamin terjadinya
kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang
diinginkan dapat terpenuhi. Dengan demikian motivasi sangat berpengaruh terhadap hasil belajar
seseorang. Apabila seseorang tidak mempunyai motivasi untuk belajar, maka orang tersebut tidak
akan mencapai hasil belajar yang optimal. Untuk dapat belajar dengan baik di perlukan proses dan
motivasi yang baik, memberikan motivasi kepada pembelajar, berarti menggerakkan seseorang agar
ia mau atau ingin melakukan sesuatu.

Sekian uraian tentang Pengertian Motivasi Menurut para Ahli, semoga bermanfaat


Pengertian dari Wirausahawan (Entrepreneur)
Written By Mujib Ridwan on Tuesday, January 17, 2012 | 10:28 AM
Wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru,
menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru,
memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.

Pengertian Wirausahawan menciptakan sebuah bisnis baru dalam menghadapi risiko dan
ketidakpastian untuk tujuan mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan mengidentifikasi
peluang signifikan dan sumber daya yang diperlukan.

Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) mendefinisikan wirausahawan sebagai "orang yang pandai
atau berbakat mengenali produk baru, menyusun cara baru dalam berproduksi, menyusun operasi
untuk pengadaan produk baru, mengatur permodalan operasinya, serta memasarkannya.

Sedangkan, Louis Jacques Filion menggambarkan wirausahawan sebagai orang yang imajinatif,
yang ditandai dengan kemampuannya dalam menetapkan sasaran serta dapat mencapai sasaran-
sasaran itu. Ia juga memiliki kesadaran tinggi untuk menemukan peluang-peluang dan membuat
keputusan.

Persamaannya dari pengertian - pengertian tersebut yaitu wirausahawan memiliki dan mampu
berpikir kreatif-imajinatif, melihat peluang dan membuat bisnis baru.

Seorang wirausahawan adalah seorang manajer, tetapi melakukan kegiatan tambahan yang tidak
dilakukan semua manajer. Manajer bekerja dalam hierarki manajemen yang lebih formal, dengan
kewenangan dan tanggung jawab yang didefinisikan secara jelas sedangkan pengusaha
menggunakan jaringan daripada dari kewenangan formal.


Pengertian Entrepreneurship
Kata entrepreneurship yang diIndonesiakan menjadi Kewirausahaan berasal dari kata perancis
entreprende yang berarti berusaha. Dalam konteks bisnis berarti memulai sebuah bisnis. Adabanyak
definisi dari kata entrepreneurship yang dikemukakan para ahli. Salah satunya yang paling saya sukai
adalah menurut Peter Drucker yang menyatakan bahwa yang dimaksud entrepreneurship adalah
aktivitas yang secara konsisten dilakukan guna mengkonversi ide-ide yang bagus menjadi kegiatan
usaha yang menguntungkan.

Sebenarnya latar belakang keilmuan saya sangatlah tidak memadai untuk membahas apa dan
bagaimana atau seluk beluk entrepreneurship itu sendiri. Hanya karena perjalanan hidup memaksa saya
(tentu saja bersama suani) untuk mau mempelajarinya. Melalui tulisan ini pula sebanarnyalah saya
dalam rangka belajar sembari memenuhi tantangan pak Ersis untuk mewujudkan menulis. Tema ini yang
saya pilih karena saya merasa inilah yang paling berkaitan dengan apa yang saya alami.

Dimulai sekitar 6-7 tahun yang lalu ketika buku Rich Dad Poor Dad nya Robert Kiyosaki ramai
diperbincangkan orang. Buku yang betul-betul telah sanggup mengguncang dunia. Saya sendiri ketika
membeli buku itu tidak tahu-menahu isinya bakal bagaimana. Saya hanya tertarik judulnya. Toh begitu
selesai membaca, saya penasaran untuk mengikuti seri selanjutnya Cashflow Quadrant kemudian Retire
Young Retire Rich. Agak-agak terprovokasi juga dengan pemaparan dan segala iming-iming yang
ditawarkan buku tersebut. Siapa orangnya yang tidak menginginkan kebebasan financial, punya lebih
banyak waktu luang untuk keluarga, tidak perlu bekerja keras (karena uang yang akan bekerja untuk kita)
dan akhirnya bias pension di usia muda kaya raya- bisa berkeliling dunia. Siapapun orangnya pastilah
tergiur.

Dalam keadaan masih membayang-bayangkan untuk berani memulai usaha sendiri, tiba-tiba suami
dihadapkan pada pilihan yang sulit. Perusahaan tempatnya bekerja menawarkan 2 opsi. Pertama terus
bergabung dengan menejemen baru yang artinya masa kerja dianggap nol tahun. Atau keluar dengan
mendapatkan sejumlah pesangon (waktu itu masih sesuai keputusan menteri). Normalnya, kabar
tersebut akan membuat kami panik, tetapi saya biasa saja menanggapinya bahkan bisa dikata justeru
bersyukur. Singkat kata akhirnya kami memutuskan untuk memulai bisnis kecil kami sendiri.

Kami pulang ke kota kecil darimana saya berasal, dengan pertimbangan kami sudah pernah membangun
ruang usaha yang terpaksa saya tinggalkan karena harus mengikuti suami yang sering berpindah-
pindah.Di kota kecil ini kami memulai usaha kami. Dalam waktu singkat, usaha yang kami rintis tumbuh
dengan cukup signifikan. Kami pun tergoda untuk segera menambah jenis usaha lain. Dan inilah awal
bencana. Karena menjadi tidak fokus, usaha pertama yang secara fundamental sebenarnya belum cukup
kuat mengalami kemunduran bahkan akhirnya benar-benar kami tutup di tahun ke empat. Sedih sekali
rasanya.
Jatuh bangkrut apapun alasan dan penyebabnya terasa begitu menyakitkan. Beruntung masih ada usaha
semacam business opportunity yang kami miliki. Waktu itu kami benar-benar hanya sanggup menggaji
satu orang pramusaji (karena bisnis makanan) untuk bergantian jaga dengan suami. Itupun pada saat-
saat ramai saya harus turut membantu. Anda bisa bayangkan bagaimana kehidupan kami waktu itu.
Hampir semua harta yang kami punya terjual, bahkan TV dan computer yang semestinya satu-satunya
hiburan ikut terjual.
Bangkrut adalah suatu kondisi yang benar-banar sanggup menghancurkan segala potensi diri maupun
keluarga. Begitu sakit begitu membuat nyaris putus asa. Pada saat kesedihan begitu mendalam tidak ada
lagi yang bisa kami perbuat selain tetap bekerja meski dalam keputus asaan.

Pada saat inilah hadir buku yang sangat menyejukkan hati La Tahzan Jangan Bersedih. Saya beli juga
buku itu meski harganya cukup mahal untuk ukuran kami, karena setiap rupiah yang kami kumpulkan
harus dibelanjakan dengan sangat hati-hati. Buku inilah yang sanggup membangkitkan semangat kami
kembali. Buku ini pula yang mengajari kami untuk berani menghadapi hidup dengan segala manis
getirnya, naik turun, susah senang. Karena hidup tidak selalu bergula.
Dari perjalanan hidup kami ini, ada yang ingin saya bagikan kepada anda dan kita semua Pertama, jika
anda dan kita semua masih menganggap bahwa entrepreneurship adalah tentang cara bagaimana
menjadi kaya, adalah suatu kesalahan. Kewirausahaan lebih mengacu kepada nilai kemampuan dan
perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai
resiko yang akan dihadapi. Kedua, Kewirausahaan bukan semata-mata tentang mengajari cara untuk
berdagang dan memulai bisnis sendiri. Karena dalam kewirausahaan selalu ada prinsip-prinsip keluhuran
budi, jujur, ksatria mau bekerja keras dan tidak mudah menyerah.

Kita melihat bagaimana para wirausaha yang berhasil dengan gemilang selalu mengajarkan bahwa tidak
ada jalan mudah menjadi kaya, semua diawali dengan kerja keras, konsisten dan berkelanjutan. Tidak
cepat puas dan selalu bersyukur untuk kemudian tidak dengan egois kekayaan itu digunakan untuk
bersenang senang semata.

Terakhir yang ingin saya bagikan adalah jika anda sedang bersiap memulai bisnis anda sendiri,
camkanlah nasehat ini. Merintis usaha semata-mata untuk menjadi kaya bisa dipastikan gagal. Geserlah
pengharapan dengan menambah nilai-nilai yang ingin dicapai dari usaha anda itu. Karena seberapa
kecilpun ukuran suatu usaha jika dimulai dengan niat baik, cara-cara bersih, keberanian dan kemandirian
akan jauh lebih mulia bila dibandingkan dengan sebuah perusahaan besar yang bergelimang fasilitas
sarat kolusi dan penuh keculasan. Ketika semua kebutuhan diri dan keluarga telah bisa dipenuhi
segeralah bekerja untuk orang lain. Itulah nilai-nilai kewirausahaan atau yang dalam bahasa kerennya
disebut entrepreneurship.
Diposkan oleh Rarangken's File di 16.02
STUDI KELAYAKAN USAHA
STUDI KELAYAKAN USAHA

"12 Langkah Memulai Usaha"
Berniat membuka usaha sendiri, tapi bingung harus mulai darimana? Memang tak
mudah untuk memulai usaha, tapi jika Anda bisa menjawab pertanyaan berikut, berarti
Anda siap memulainya:
1. Apakah bidang usaha yang akan digeluti itu cukup potensial? Bagaimana
prospeknya?
2. Seberapa ketat persaingannya? Siapa kira-kira yang akan menjadi pesaing usaha
tersebut? Bagaimana cara menghadapinya?
3. Apa target usaha tersebut? Bagaimana mencapainya?
4. Dari segi hukum, apa yang perlu disiapkan? Apa saja penghalangnya?
5. Apa nama usaha (perusahaan) itu?
6. Berapa dana yang dibutuhkan? Bagaimana memenuhinya?
7. Dimana usaha tersebut akan dijalankan? Apakah sudah mempersiapkan kantornya?
8. Sarana atau peralatan apa yang dibutuhkan? Bagaimana mendapatkannya?
9. Apa tersedia asuransi yang memadai?
10. Apakah Anda sudah memiliki supplier atau pemasok bahan baku?
11. Sistem manajemen seperti apa yang akan diterapkan? Siapa yang akan menjalankan
operasional usaha sehari-hari? Berapa karyawaan yang dibutuhkan?
12. Bagaimana sistem pemasaran dan distribusi produk atau jasa yang akan dihasilkan?
Bagaimana agar masyarakat mengenal produk atau jasa yang akan dipasarkan?
Bila tidak bisa menjawab semua pertanyaan itu, maka sebaiknya Anda mengkaji ulang
niat membuka usaha sendiri, sampai benar-benar siap. (*)
Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka seorang wirausaha dapat
melakukan suatu Studi Kelayakan Usaha.
Pengertian Studi Kelayakan Usaha
Usaha yang akan dijalankan diharapkan dapat memberikan penghasilan sesuai dengan
target yang telah ditetapkan. Pencapaian tujuan usaha harus memenuhi beberapa
kriteria kelayakan usaha. Artinya, jika diihat dari segi bisnis, suatu usaha sebelum dijalankan harus dinilai
pantas atau tidak untuk dijalankan. Pantas artinya layak atau akan
memberikan keuntungan dan manfaat yang maksimal.
Agar tujuan perusahaan dapat tercapai sesuai keinginan, apapun tujuan perusahaan
(baik profit, sosial, maupun gabungan dari keduanya), apabila ingin melakukan investasi,
terlebih dahulu hendaknya dilakukan sebuah studi. Tujuannya adalah untuk menilai
apakah investasi yang akan ditanamkan layak atau tidak untuk dijalankan (dalam arti
sesuai dengan tujuan perusahaan) atau dengan kata lain, jika usaha tersebut dijalankan,
akan memberikan manfaat atau tidak.
Untuk itu suatu usaha perlu melakukan suatu studi kelayakan usaha, yaitu suatu
kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan, usaha atau bisnis
yang akan dijalankan dalam rangka menentukan layak atau tidak suatu usaha tersebut
dijalankan.
Dari pengertian tersebut, maka studi kelayakan usaha merupakan kegiatan untuk mempelajarisecara
mendalam, artinya meneliti secara sungguh-sungguh data dan informasi yang ada, yang kemudian
mengukur, menghitung dan menganalisis hasil penelitian tersebut dengan menggunakan metode-
metode tertentu. Dan penelitian yang dilakukan terhadap usaha yang akan dijalankan menggunakan
ukuran tertentu, sehingga diperoleh hasil yang maksimal.
Istilah kelayakan mengandung arti, bahwa penelitian yang dilakukan secara mendalam
dengan tujuan untuk menentukan apakah usaha yang dijalankan akan memberikan
manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan. Dengan
kata lain, kelayakan dapat berarti bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan finansial
dan nonfinansial sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Lebih lanjut, istilah layak juga berarti bahwa
suatu usaha juga dapat memberikan keuntungan tidak hanya bagi perusahaan yang menjalankan, tetapi
juga bagi investor, kreditor, pemerintah dan masyarakat luas. Dengan demikian dalam suatu studi
kelayakan usaha akan menyangkut tiga aspek, yaitu:
1. Manfaat ekonomis usaha tersebut bagi usaha itu sendiri (sering disebut sebagai
manfaat finansial). Yang berarti apakah usaha tersebut dipandang cukup
menguntungkan apabila dibandingkan dengan risiko usaha tersebut.
2. Manfaat ekonomis usaha tersebut bagi Negara tempat usaha itu dilaksanakan (sering
disebut sebagai manfaat ekonomi nasional). Yang menunjukkan manfaat usaha
tersebut bagi ekonomi makro suatu negara.
3. Manfaat sosial usaha tersebut bagi masyarakat di sekitar lokasi usaha.
Tujuan
Ada lima tujuan, pentingnya melakukan studi kelayakan usaha:
1. Menghindari risiko kerugian
Studi kelayakan bertujuan untuk menghindari risiko kerugian keuangan di masa datang
yang penuh ketidakpastian. Kondisi ini ada yang dapat diramalkan akan terjadi
atau terjadi tanpa dapat diramalkan. Dalam hal ini fungsi studi kelayakan adalah untuk
meminimalkan risiko yang tidak diinginkan, baik risiko yang dapat dikendalikan
maupun yang tidak dapat dikendalikan.
2. Memudahkan perencanaan
Ramalan tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, dapat mempermudah
dalam melakukan perencanaan. Perencanaan tersebut, meliputi:
Berapa jumlah dana yang diperlukan
Kapan usaha akan dijalankan
Di mana lokasi usaha akan dibangun
Siapa yang akan melaksanakan
Bagaimana cara melaksanakannya
Berapa besar keuntungan yang akan diperoleh
Bagaimana cara mengawasinya jika terjadi penyimpangan
Dengan adanya perencanaan yang baik, maka suatu usaha akan mempunyai jadwal
pelaksanaan usaha, mulai dari usaha dijalankan sampai pada waktu tertentu.
3. Memudahkan pelaksanaan pekerjaan
Berbagai rencana yang sudah disusun akan memudahkan dalam pelaksanaan usaha.
Rencana yang sudah disusun akan dijadikan acuan dalam mengerjakan setiap tahap
usaha, sehingga suatu pekerjaan dapat dilakukan secara sistematis dan dapat tepat
sasaran serta sesuai rencana.
4. Memudahkan pengawasan
Pelaksanaan usaha yang sesuai rencana akan memudahkan untuk melakukan
pengawasan terhadap jalannya uasaha. Pengawasan ini perlu dilakukan agar tidak
terjadi penyimpangan dari rencana yang telah disusun. Di samping itu, pelaksanaan
usaha dapat dilakukan secara sungguh-sungguh, karena ada yang mengawasi.
5. Memudahkan pengendalian
Adanya pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan dapat terdeteksi terjadinya suatu
penyimpangan, sehingga dapat dilakukan pengendalian atas penyimpangan tersebut.
Tujuan dari pengendalian ini adalah untuk mengendalikan pelaksanaan pekerjaan
yang melenceng, sehingga tujuan perusahaan akan tercapai.
Pihak-pihak yang berkepentingan
Peusahaan yang melakukan studi kelayakan usaha akan mempertanggungjawabkan
hasilnya kepada berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu:
1. Investor
Jika hasil studi kelayakan yang telah dibuat ternyata layak untuk direalisasikan,
pendanaan dapat mulai dicari dengan mencari investor atau pemilik modal yang
mau menanamkan modalnya. Bagi investor, hasil studi kelayakan memiliki arti
tersendiri, karena investor akan mempelajari laporan tersebut untuk memastikan
keuntungan yang akan diperoleh serta jaminan keselamatan atas modal yang akan
ditanamkannya.
2. Lembaga keuangan
Jika modal perusahaan berasal dari dana pinjaman bank atau lembaga keuangan
lainnya, maka lembaga-lembaga tersebut akan berkepentingan terhadap hasil studi
kelayakan. Bank dan lembaga keuangan lainnya tidak mau memberi kredit atau
pinjaman, bila suatu usaha tersebut di kemudian hari mempunyai masalah (kredit
macet). Oleh karena itu, untuk usaha-usaha tertentu pihak perbankan akan
melakukan studi kelayakan terlebih dahulu secara mendalam sebelum pinjaman
dikucurkan kepada pihak peminjam.
3. Pemerintah
Bagi pemerintah pentingnya studi kelayakan adalah untuk meyakinkan apakah
usaha yang dijalankan akan memberikan manfaat, baik bagi perekonomian secara
umum maupun gaji masyarakat luas, seperti penyediaan lapangan pekerjaan.
Pemerintah juga berharap usaha yang akan dijalankan tidak merusak lingkungan
sekitarnya, baik terhadap manusia dan lingkungan hidup lainnya
4. Masyarakat luas
Bagi masyarakat luas, adanya bisnis akan memberikan manfaat seperti tersedia
lapangan kerja, baik bagi pekerja di sekitar likasi proyek maupun bagi masyarakat
lainnya. Manfaat lain adalah terbukanya wailayah tersebut dari ketertutupan.
Dengan adanya usaha akan memancing munculnya sarana dan prasarana bagi
masyarakat.
Proses dan Tahap Studi Kelayakan
Langkah-langkahnya:
1. Tahap Penemuan Ide atau Perumusan Gagasan
Dalam tahap ini wirausaha memiliki ide untuk merintis usaha barunya. Ide tersebut
kemudian dirumuskan dan diidentifikasi dalam bentuk pemikiran dan kemungkinankemungkinan
bisnis apa saja yang paling memberikan pluang untuk dilakukan dan
menguntungkan dalam jangka waktu yang panjang.
2. Tahap Memformulasikan Tujuan
Dalam tahap ini dalah tahap perumusan visi dan misi
3. Tahap Analisis
Tahap ini merupakan tahap penelitian, yaitu proses sistematis yang dilakukan untuk
membuat suatu keputusan apakah bisnis tersebut layak dilaksanakan atau tidak.
Adapun aspek-aspek yang diamati dan dicermati adalah:
Aspek hukum
Aspek Pasar dan Pemasaran
Aspek Keuangan
Aspek Ekonomi Sosial
Aspek Lingkungan
4. Tahap Keputusan
Merupakan tahap akhir yang merupakan pembuatan keputusan untuk melaksanakan
atau tidak suatu bisnis.
Aspek-aspek dalam Penilaian
Tahap-tahap dalam pembuatan dan penilaian studi kelayakan hendaknya dilakukan
secara benar dan lengkap. Setiap tahapan memiliki berbagai aspek yang harus diteliti,
diukur dan dinilai sesuai dengan ketentuan.
Secara umum prioritas aspek-aspek yang perlu dilakukan dalam studi kelayakan adalah:
1. Aspek hukum
Dalam aspek ini yang akan dibahas adalah masalah kelengkapan dan keabsahan
dokumen perusahaan, mulai dari bentuk badan usaha sampai ijin-ijin yang dimiliki.
Kelengkapan dokumen sangat penting karena hal ini merupakan dasar hukum yang
harus dipegang, apabila di kemudian hari timbul masalah. Keabsahan dan
kesempurnaan dokumen dapat diperoleh dari pihak-pihak yang menerbitkan atau
mengeluarkan dokumen tersebut.
Dokumen yang diperlukan meliputi:
Akte Pendirian Perusahaan dari Notaris
Bentuk badan usaha, serta keabsahannya dan bentuk badan usaha tertentu,
seperti PT dan Yayasan harus disahkan oleh Departemen Kehakiman
Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Di samping dokumen di atas, perusahaan juga perlu memiliki ijin-ijin tertentu, yaitu
Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), diperoleh melalui Departemen
Perdagangan
Surat Ijin Usaha Industri (SIUI), diperoleh melalui Departemen Perindustrian
Ijin domisili, diperoleh melalui kelurahan setempat
Ijin mendirikan bangunan (IMB), diperoleh melalui pemerintah daerah setempat
Ijin gangguan, diperoleh melalui kelurahan setempat
Selain itu juga dibutuhkan beberapa dokumen penting lainnya, antara lain:
Bukti diri (KTP/SIM)
Sertifikat tanah
Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)
2. Aspek Pasar dan Pemasaran
Setiap usaha yang akan dijalankan harus memiliki pasar yang jelas. Dalam aspek
pasar dan pemasaran, hal-hal yang perlu dijabarkan adalah;
Ada-tidaknya pasar (konsumen)
Seberapa besar pasar yang ada
Peta kondisi pesaing, terutama untuk produk yang sejenis
Perilaku konsumen
Strategi yang dijalankan untuk memenangkan persaingan dan merebut pasar
yang ada.
Untuk mengetahui ada-tidaknya pasar dan seberapa besarnya pasar, serta perilaku
konsumen, maka perlu dilakukan riset pasar, dengan cara:
Melakukan survey dengan terjun langsung ke pasar untuk melihat kondisi pasar
yang ada. Dalam hal ini untuk mengetahui jumlah pembeli dan pesaing.
Melakukan wawancara dengan berbagai pihak yang dianggap memegang
peranan. Dalam hal ini melakukan wawancara kepada pesaing secara diamdiam.
Menyebarkan kuesioner ke berbagai calon konsumen untuk mengetahui
keinginan dan kebutuhan konsumen saat ini. Dalam hal ini untuk mengetahui
jumlah konsumen, daya beli dan selera.
Menawarkan produk dengan pemasangan iklan, seolah-olah produknya sudah
ada. Dalam hal ini untuk melihat respon konsumen, waluapun produknya harus
pesan terlebih dahulu.
Perlu diketahui bahwa, di dalam pasar, sebesanrnya dapat dibagi menjadi 2
kelompok pasar, yaitu:
Pasar nyata: sekumpulan konsumen yang mempunyai minat, pendapatan dan
akses pada suatu produk tertentu
Pasar potensial: sekumpulan konsumen yang memiliki minat terhadap suatu
produk, tetapi belum didukung oleh akses dan pendapatan. Namun suatu saat,
apabila telah memiliki pendapatan dan akses, mereka akan membeli.
Setelah diketahui pasar dan potensinya, maka langkah selanjutnya adalah menyusun
strategi pemasaran, yang meliputi:
Strategi produk
Strategi harga
Strategi lokasi dan distribusi
Strategi promosi
3. Aspek Keuangan
Dalam aspek keuangan, hal-hal yang perlu digambarkan adalah jumlah investasi,
biaya-biaya dan pendapatan yang akan diperoleh.
Besarnya investasi berarti jumlah dana yang dibutuhkan, baik untuk modal investasi
pembelian aktiva tetap maupun modal kerja, selain itu juga biaya-biaya yang
diperlukan selama umur investasi dan pendapatan.
Untuk dapat melakukan penilaian investasi, maka sebuah perusahaan harus
memubuat laporan keuangan. Adapun fungsi laporan keuangan, secara umum
adalah:
Memberikan informasi keuangan tentang jumlah aktiva dan jenis-jenis aktiva
Memberikan informasi tentang jumlah kewajiban, jenis-jenis kewajiban dan
jumlah modal
Memberikan informasi tentang hasil usaha yang tercermin dari jumlah pendapat
yang diperoleh dan sumber-sumber pendapatan
Memberikan informasi tentang jumlah biaya yang dikeluarkan berikt jenis-jenis
biaya dalam periode tertentu
Memberikan informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
aktiva , kewajiban dan modal di dalam suatu perusahaan
Memberikan informasi tentang kinerja manajemen dalam suatu periode dari
hasil-hasil laporan keuangan yang disajikan.
4. Aspek Teknik/Operasi
Dalam aspek teknis atau operasi, hal-hal yang perlu digambarkan adalah:
Lokasi usaha
Lokasi merupakan tempat melayani konsumen. Dengan demikian, maka perlu
dicari lokasi yang tepat sebagai tempat usaha, karena akan memberikan
keuntungan sebagai berikut:
Pelayanan yang diberikan kepada konsumen dapat lebih memuaskan
Kemudahan dalam memperoleh tenaga kerja yang diinginkan, baik jumlah
dan kualitasnya
Kemudahan dalam memperoleh bahan baku atau bahan penolong dalam
jumlah yang diinginkan secara terus-menerus
Kemudahan untuk memperluas lokasi usaha karena biasanya sudah
diperhitungkan untuk usaha perluasan lokasi sewaktu-waktu
Memiliki nilai atau harga ekonomi yang lebih tinggi di masa yang akan
datang
Meminimalkan terjadinya konflik, terutama dengan masyarakat dan
pemerintah setempat
Penentuan layout/tata letak
Penentuan layout perlu dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan
faktor keamanan, kenyamanan, keindahan, efisiensi, biaya, fleksibilitas.
Dengan pertimbangan di atas, maka akan diperoleh keuntungan sebagai berikut:
Ruang gerak untuk beraktivitas dan pemeliharaan memadai. Artinya suatu
ruangan didesain sedemikian rupa, sehingga tidak terkesan sumpek.
Kemudian layout juga harus memudahkan untuk melakukan pemeliharaan
ruangan atau gedung.
Pemakaian ruangan menjadi efisien. Artinya pemakaian ruangan harus
dilakukan secara optimal, jangan sampai ada ruangan yang menganggur atau
tidak terpakai karena hal ini akan menimbulkan biaya bagi perusahaan.
Aliran material menjadi lancar. Artinya jika layout dibuat secara benar,
maka produksi menjadi tepat waktu dan tepat sasaran.
Layout yang tepat memberikan keindahan, kenyamanan, kesehatan dan
keselamatan kerja yang lebih baik, sehingga memberikan motivasi yang
tinggi kepada karyawan. Di samping itu, pelanggan pun betah untuk
bertransaksi atau berurusan dengan perusahaan.
Teknologi yang digunakan
Teknologi yang digunakan harus sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini
dan yang akan datang, serta harus disesuaikan dengan luas produksi, supaya
tidak terjadi kelebihan kapasitas.
Volume produksi
Volume produksi harus relevan dengan potensi pasar dan prediksi permintaan,
sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan kapasitas. Volume operasi
yang berlebihan akan menimbulkan masalah dalam penyimpanan, sedangkan
volume produksi yang kurang akan menyebabkan hilangnya pelanggan.
Bahan baku dan bahan penolong
Bahan baku dan bahan penolong serta sumber daya yang diperlukan harus
cukup tersedia. Persediaan tersebut harus sesuai dengan volume produksi.
Tenaga kerja
Meliputi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dan kualifikasi yang sesuai
dengan pekerjaan yang ada agar penyelesaian pekerjaan bisa lebih cepat, tepat
dan hemat.
5. Aspek Ekonomi Sosial
Gambaran dalam aspek ekonomi adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh
yang ditimbulkan jika proyek tersebut dijalankan. Pengaruh tersebut terutama
terhadap ekonomi secara luas serta dampak sosialnya terhadap masyarakat secara
keseluruhan.
Dampak ekonomi meliputi:
Jumlah tenaga kerja yang tertampung, baik yang bekerja di pabrik maupun
masyarakat yang di luar pabrik
Peningkatan pendapatan masyarakat
Demikian pula, perusahaan perlu mencamtumkan dampak sosial yang ada dalam
hasil penelitian. Dampak sosial yang muncul akibat adanya usaha berupa
tersedianya sarana dan prasarana, antara lain:
Pembangunan jalan
Penerangan
Sarana telepon
Sarana air minum
6. Aspek Dampak Lingkungan
Aspek dampak lingkungan merupakan analisis yang paling dibutuhkan pada saat
ini, karena setiap proyek yang dijalankan akan memiliki dampak yang sangat besar
terhadap lingkungan di sekitarnya, antara lain:
Dampak terhadap air
Dampak terhadap tanah
Dampak terhadap udara
Dampak terhadap kesehatan manusia
Pada akhirnya pendirian usaha akan berdampak terhadap kehidupan fisik, flora dan
fauna yangada di sekitar usaha secara keseluruhan.


0 komentar
MARI MENGENAL SAHAM (1)

Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh pengeboman Gedung Bursa Efek Jakarta. Di gedung
inilah saham diperdagangkan. Mungkin ada di antara Anda bertanya, apa sih yang dimaksud
dengan saham? Bagaimana cara bekerjanya? Mari kita berkenalan dengannya.
Pernahkah Anda berpikir untuk memiliki sebuah usaha? Katakan saja Anda ingin memiliki usaha
berupa sebuah toko. Apa yang bisa Anda lakukan untuk dapat memiliki toko tersebut?
Bila Anda punya modal, maka Anda bisa membeli atau menyewa sebuah bangunan dan membeli
barang-barang yang akan dijual. Bila toko Anda masih baru, tentu ada risiko tertentu, semisal
belum dikenalnya toko Anda oleh masyarakat. Artinya, toko Anda belum dikunjungi banyak
pembeli.
Kalau begitu, sebagai alternatif, kenapa tidak mencoba membeli toko lain yang sudah lebih dulu
berdiri? Anda bisa memilih-milih toko mana yang akan Anda beli, dan tentu saja Anda pasti
akan memilih toko yang kelihatannya sudah cukup dikenal dan laris, bukan?
Bila demikian, maka uang yang harus Anda bayarkan ke pemilik lama toko tersebut biasanya
adalah senilai harga bangunan (bila bangunan toko itu dimiliki sendiri) dan barang-barang yang
dijual didalamnya. Dengan kata lain, Anda telah membeli kepemilikan toko tersebut, di mana
yang Anda beli adalah modalnya. PECAHAN-PECAHAN KECIL
Perlu diketahui, dalam dunia usaha tidak hanya toko yang bisa memberikan keuntungan. Usaha
lain yang tidak berbentuk toko juga banyak yang bisa memberi keuntungan. Usaha tersebut
biasanya adalah dalam bentuk badan usaha, atau istilah populernya: perusahaan. Sama dengan
toko, kepemilikan perusahaan juga bisa dibeli. Jadi Anda bisa memilih perusahaan mana yang
kira-kira selalu menguntungkan pada tahun-tahun lalu, dan Anda bisa membeli kepemilikan
(modal) dari perusahaan tersebut.
Berbeda dari toko, pada umumnya modal sebuah perusahaan jauh lebih besar daripada modal
dari sebuah toko. Sebagai contoh, modal dari toko yang ingin Anda beli mungkin Rp 30 juta,
namun modal dari perusahaan yang hendak Anda beli bisa saja mencapai Rp 300 juta.
Masalahnya, tidak semua orang memiliki uang kontan Rp 300 juta. Mungkin saja orang hanya
punya Rp 3 juta sehingga ini berarti ia hanya mendapatkan kepemilikan sebesar satu persen saja
dari semua nilai kepemilikan perusahaan tersebut. Tapi bagaimana caranya agar ia dapat
membeli kepemilikan yang cuma sebesar satu persen itu?
Oleh hukum, diaturlah suatu cara: kepemilikan perusahaan dibagi ke dalam pecahan-pecahan
kecil yang disebut saham. Sebagai contoh, kepemilikan perusahaan senilai Rp 300 juta tadi
dibagi ke dalam saham di mana satu saham diberi nilai katakan Rp 1.000. Dengan demikian,
bila Anda hanya punya Rp 3 juta, maka Anda hanya bisa membeli 3.000 lembar saham.
KEUNTUNGAN MEMBELI SAHAM
Keuntungan apa yang akan Anda dapatkan dengan membeli saham atau kepemilikan dari sebuah
perusahaan?
Yang pertama, kalau perusahaan mengalami untung (laba), maka biasanya Anda mendapatkan
pembagian keuntungan yang disebut dividen. Ambil contoh, bila dari per lembar saham Anda
mendapat dividen Rp 100 per lembar sahamnya, maka dengan 3.000 saham yang Anda miliki,
total dividen yang Anda dapatkan adalah Rp 300.000. Tentu saja patokan besarnya dividen
berbeda-beda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Tapi prinsipnya kurang lebih
sama saja. Makin banyak saham yang Anda miliki, makin besar pula dividen yang Anda dapat
bila memang perusahaan untung.
Keuntungan kedua, bisa saja nilai saham Anda naik. Kembali kita misalkan Anda membeli
saham seharga Rp 1.000. Nah, bila kemudian makin banyak yang ingin membeli saham
perusahaan, maka mungkin saja harga saham tersebut meningkat jadi katakan Rp 1.400 per
lembar. Dengan demikian, bila Anda menjualnya, ini berarti Anda mendapatkan keuntungan
sebesar 40 persen. Keuntungan seperti ini disebut capital gain. Ke mana Anda menjual saham
itu? Bukan ke perusahaan yang menerbitkan saham bersangkutan, tapi pada orang lain yang
memang ingin memiliki saham tersebut. Tentu saja investasi dalam bentuk saham juga berisiko.
Yakni, turunnya harga saham yang Anda miliki. Misalnya saja dari Rp 1.000 turun jadi Rp 600
per lembar saham. Bila Anda menjualnya, maka Anda akan rugi Rp 400 per lembar sahamnya.
Kerugian seperti ini biasa disebut capital loss. Ke mana Anda menjualnya? Juga ke orang lain
yang memang ingin memiliki saham tersebut.
0 komentar
HAKEKAT KEWIRAUSAHAAN
Anda tentu sering mendengar tentang kata Wirausaha, Kewirausahaan maupun
Wirausahawan
Apakah yang dimaksud dengan Wirausaha, Kewirausahaan maupun Wirausahawan tersebut?
Dan apakah beda ketiga kata tersebut?
Wirausaha adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai
kesempatan-kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk
mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam rangka meraih sukses.
Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan
dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan seorang Wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber daya-
sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta
memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata
secara kreatif dalam rangka meraih sukses/meningkatkan pendapatan.
Intinya, seorang Wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki jiwa Wirausaha dan
mengaplikasikan hakekat Kewirausahaan dalam hidupnya. Orang-orang yang memiliki kreativitas
dan inovasi yang tinggi dalam hidupnya. Secara epistimologis, sebenarnya kewirausahaan
hakikatnya adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan
dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat dan kiat dalam menghadapi tantangan
hidup. Seorang wirausahawan tidak hanya dapat berencana, berkata-kata tetapi juga berbuat,
merealisasikan rencana-rencana dalam pikirannya ke dalam suatu tindakan yang berorientasi pada
sukses. Maka dibutuhkan kreatifitas, yaitu pola pikir tentang sesuatu yang baru, serta inovasi, yaitu
tindakan dalam melakukan sesuatu yang baru.
Beberapa konsep kewirausahaan seolah identik dengan kemampuan para wirausahawan dalam
dunia usaha (business).Padahal, dalam kenyataannya, kewirausahaan tidak selalu identik dengan
watak/ciri wirausahawan semata, karena sifat-sifat wirausahawanpun dimiliki oleh seorang yang
bukan wirausahawan. Wirausaha mencakup semua aspek pekerjaan, baik karyawan swasta
maupun pemerintahan (Soeparman Soemahamidjaja, 1980). Wirausahawan adalah mereka yang
melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu
sumber daya untuk menemukan peluang(opportunity) dan perbaikan (preparation) hidup
(Prawirokusumo, 1997)
Kewirausahaan (entrepreneurship) muncul apabila seseorang individu berani mengembangkan
usaha-usaha dan ide-ide barunya. Proses kewirausahaan meliputi semua fungsi, aktivitas dan
tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan organisasi usaha
(Suryana, 2001). Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui
proses pengkombinasian sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat bersaing.
Menurut Zimmerer (1996:51), nilai tambah tersebut dapat diciptakan melalui cara-cara sebagai
berikut:
Pengembangan teknologi baru (developing new technology)
Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge)
Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving existing products or services)
Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak
dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding different ways of providing more goods and
services with fewer resources)
Walaupun di antara para ahli ada yang lebih menekankan kewirausahaan pada peran pengusaha
kecil, namun sifat inipun sebenarnya dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi di luar
wirausahawan. Jiwa kewirausahaan ada pada setiap orang yang menyukai perubahan,
pembaharuan, kemajuan dan tantangan, apapun profesinya.
Dengan demikian, ada enam hakekat pentingnya Kewirausahaan, yaitu:
Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan sumber daya,
tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis (Ahmad Sanusi, 1994)
Kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha dan
mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, 1997)
Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (kreatif) dan
berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam memberikan nilai lebih.
Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda
(Drucker, 1959)
Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreatifitas dan keinovasian dalam memecahkan
persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan usaha (Zimmerer, 1996)
Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan
sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan.


PERAN SOCIAL ENTREPRENEURSHIP DALAM MEMBANGUN
EKONOMI PERDESAAN BERBASIS KOMODITAS LOKAL
POSTED ON JULY 25, 2012 BY PUSPICHAN
2
Oleh:
Dini Marliani, Puspi Eko Wiranthi, dan Ahmad Fariz Viali
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi dan perkembangan kewirausahaan (entrepreneurship) di Indonesia belum begitu signifikan
jika dibandingkan dengan negara lain. Pada tahun 2007 jumlah wirausahawan di Amerika Serikat
telah mencapai 11,5 persen wirausahawan, Singapura 7,2 persen, sementara Indonesia baru memiliki
400.000 orang atau hanya 0.18 persen dari total penduduk Indonesia. Padahal, Menurut Peter
Drucker diperlukan sekitar 2 persen wirausaha (inovatif) dari total jumlah penduduk untuk menjadi
negara maju. Kewirausahaan memiliki peran dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa yaitu
sebagai pencipta kesempatan kerja baru, penghasilan baru, inovasi baru, dan pembayar-pembayar
pajak baru.
Terkait dengan hal tersebut, peran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi sangat strategis
dalam suatu Negara. UKM memiliki potensi dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat
sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraannya. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada Statistik UKM
2006-2007 mengatakan bahwa upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun
ke tahun selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya baik dalam hal kontribusi terhadap
penciptaan produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan perkembangan pelaku
usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan menengah melalui pembentukan modal tetap
bruto (investasi).
Pada tahun 2006, peran UKM terhadap penciptaan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional menurut
harga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.786,22 triliun atau 53,49 persen, kontribusi Usaha Kecil (UK)
tercatat sebesar Rp. 1.253,36 triliun atau 37,53 persen dan Usaha Menengah (UM) sebesar Rp.
532,86 triliun atau 15,96 persen dari total PDB nasional, selebihnya adalah usaha besar (UB) yaitu
Rp. 1.553,26 triliun atau 46,51 persen. Sedangkan pada tahun 2007, peran UKM terhadap penciptaan
PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 2.121,31 triliun atau 53,60 persen dari total
PDB nasional, mengalami perkembangan sebesar Rp. 335,09 triliun atau 18,76 persen dibanding
tahun 2006. Kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 1.496,25 triliun atau 37,81 persen dan UM sebesar
Rp. 625,06 triliun atau 15,79 persen, selebihnya sebesar Rp. 1.836,09 triliun atau 46,40 persen
merupakan kontribusi UB, seperti ditampilkan pada gambar grafik berikut.
Gambar 1. Kontribusi Jenis Usaha Terhadap PDB (angka dalam triliun rupiah)
Sumber : Statistik UKM (2006-2007)
Sedangkan data pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat 51,3 juta unit Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) di Indonesia atau 99,98 persen dari total usaha nasional serta telah
menyumbangkan tidak kurang dari 55,56 persen terhadap PDB. Bahkan sektor ini telah mampu
menyerap sebanyak 90,9 juta orang tenaga kerja atau 97,1 persen dari seluruh tenaga kerja yang
terserap. Di samping itu, selama Indonesia terkena krisis moneter yang berdampak kepada krisis
multi dimensi, UKM sudah diakui menjadi katup pengaman karena justru merekalah yang eksis dan
menggerakkan ekonomi Indonesia. Usaha Kecil dan Menengah termasuk koperasi telah diakui
memiliki peran penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Bukan saja UKM jumlahnya
yang besar dan tersebar di seluruh pelosok nusantara, namun keberadaannya juga memberi makna
yang sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pendistribusian barang
dan jasa ke seluruh pelosok nusantara. Namun, tentu saja, hal ini tanpa mengabaikan pentingnya
usaha besar pada perekonomian Indonesia.
Namun, sayangnya masih sedikit dari sektor kewirausahaan yang berkembang tersebut berlandaskan
pada kewirausahaan sosial yaitu usaha yang dibangun tidak hanya berorientasi pada profit, tetapi
juga pada investasi dan pengembangan sosial. Ashoka, sebuah asosiasi global para wirausahawan
sosial setiap tahunnya memberikan penghargaan kepada orang-orang yang dianggap sebagai
wirausahawan sosial terbaik. Sejak didirikan pada 1981, hingga saat ini Ashoka telah memberikan
penghargaan kepada 2.000 wirausahawan sosial di mana hanya 131 orang, dimana 15,26 persen di
antaranya berasal dari Indonesia.
Artinya, kesadaran akan pentingnya kewirausahaan sosial terhadap pembangunan perekonomian
suatu bangsa masih sangat rendah. Padahal sektor ini dapat memberikan dampak positif karena selain
berperan dalam meningkatkan pembangunan sektor ekonomi juga meningkatkan pembangunan dan
mendorong perubahan dan pertumbuhan sektor sosial masyarakat.
1.2 Perumusan Masalah
Kewirausahaan (entrepreneurship) masih dianggap sebagai kegiatan murni berorientasi profit.
Sehingga, orientasi bisnis hanya ditujukan kepada pemilik dan para stakeholder saja. Padahal, angka
pengangguran dan kemiskinan bangsa ini masih tergolong sangat tinggi. Data jumlah penduduk
miskin di Indonesia pada tahun 1980-2009 ditunjukkan pada tabel lampiran 1, sedangkan data jumlah
pengangguran di Indonesia pada tahun 1980-2009 ditunjukkan pada tabel lampiran 2. Kedua tabel
tersebut menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai angka 11,9 juta di perdesaan
dan 20,6 juta di perkotaan pada tahun 2009, walaupun terdapat penurunan dari tahun sebelumnya,
yaitu 12,8 juta di perdesaan dan 22,2 juta di perkotaan pada tahun 2008. Demikian halnya dengan
pengangguran. Pada Februari 2009, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai angka 9.258.964
menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) walaupun juga terdapat penurunan dari tahun sebelumnya.
Kemudian, pada sektor pertanian, pendekatan pembangunan pertanian masih berorientasi kepada
usaha tani (on farm). Hal tersebut terlihat pada gerakan-gerakan yang dilakukan dimana petani
dikerahkan untuk menerapkan berbagai teknologi alternatif agar target produksi tercapai. Akan
tetapi, yang menjadi kendala sekarang adalah pemasaran. Tidak ada lembaga formal yang membantu
petani untuk memperoleh harga layak. Akibatnya, mayoritas petani di perdesaan menggunakan
tengkulak sebagai tempat untuk menjualkan produknya kepada lembaga tataniaga yang berada di
atasnya hingga ke konsumen akhir. Dampak langsung yang dirasakan dari sistem ini adalah margin
tataniaga yang diterima oleh petani kecil. Namun, kondisi ini masih lebih baik dibanding desa-desa
dimana hasil pertanian para petani sama sekali tidak dapat dipasarkan karena mereka tidak memiliki
akses pada berbagai saluran pemasaran. Karena itu, perdesaan yang mayoritas berbasiskan pertanian
membutuhkan solusi konkrit untuk meningkatkan ekonomi perdesaan yang pada akhirnya akan
meningkatkan ekonomi nasional. Sementara, pada akhir tahun belakangan ini, perkembangan
kewirausahaan di Indonesia sangat tinggi dan memberikan dampak positif bagi perekonomian dan
pembangunan bangsa. Namun, kewirausahaan yang dimaksud masih berorientasi profit. Masih
sangat sedikit dari total usaha di Indonesia yang melandaskan kegiatannya tidak hanya berorientasi
profit tetapi juga memberikan perhatian pada pembangunan dan perubahan sosial masyarakat. Inilah
yang disebut dengan kewirausahaan sosial.
Lembaga amil zakat seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat merupakan contoh dari
kewirausahaan sosial yang ada di Indonesia . Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga yang
mengurusi masalah zakat, infak dan shodaqoh yang dirintis oleh beberapa orang dengan
mengumpulkan donasi. Tetapi dalam perkembangannya lembaga tersebut dapat menyerap beribu
tenaga kerja. Rumah sakit bersalin gratis, mobil jenazah keliling dan berobat gratis di berbagai pos
kesehatan yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia adalah contoh hasil nyatanya. Sehingga
manfaatannya tidak hanya untuk kemaslahatan umat, tetapi juga keuntungan secara finansial.
Namun, daftar usaha yang bergerak pada kewirausahaan sosial ternyata masih jarang ditemui usaha
yang menanamkan investasi sosialnya pada sektor pertanian. Padahal mengingat mayoritas penduduk
negara Indonesia yang masih bekerja di sektor pertanian, khususnya di sektor perdesaan, seharusnya
sektor ini mendapat perhatian yang lebih dalam pengembangannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah :
1) Bagaimana urgensi pembangunan ekonomi perdesaan berbasis komoditas lokal?
2) Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pembangunan ekonomi perdesaan berbasis komoditas
lokal?
3) Bagaimana peran dan pengaruh kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dalam membangun
ekonomi perdesaan berbasis komoditas lokal?
4) Apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya menuju pembangunan
kewirausahaan sosial sebagai solusi dalam membangun ekonomi perdesaan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari karya tulis ini adalah :
1) Menganalis urgensi pembangunan ekonomi perdesaan berbasis komoditas lokal.
2) Menganalisis faktor-faktor yang menjadi kendala pembangunan ekonomi perdesaan berbasis
komoditas lokal.
3) Menganalisis peran dan pengaruh kewirausahaan sosial ( social entrepreneurship) dalam
membangun ekonomi perdesaan berbasis komoditas lokal.
4) Merumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya menuju pembangunan
kewirausahaan sosial sebagai solusi dalam membangun ekonomi perdesaan
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari karya tulis ini antara lain :
1) Bagi penulis, karya tulis ini akan menambah wawasan dan kompetensi di bidang kewirausahaan
sosial dan ekonomi pertanian.
2) Bagi pembaca, karya tulis ini akan memberikan gambaran mengenai kewirausahaan sosial
sehingga dapat menjadi referensi dalam penerapannya baik yang telah memiliki usaha maupun yang
akan membuka usaha.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kewirausahaan (Entrepreneurship)
Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah usaha untuk menciptakan nilai melalui pengenalan dari
kesempatan bisnis, manajemen risiko yang menyesuaikan dengan peluang, dan melalui komunikatif
dan keterampilan manajemen untuk mengerahkan manusia, keuangan, dan sumber daya material
yang penting untuk membawa satu proyek ke tujuannya.
Istilah kewirausahaan secara filosofis berarti kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku
inovatif yang dijadikan dasar atau penggerak dalam menghadapi tantangan hidup. Setidaknya ada
tiga pengertian tambahan dari kewirausahaan, yaitu:
1) Tanggapan terhadap peluang usaha yang terungkap dalam seperangkat
tindakan serta membuahkan hasil berupa organisasi usaha yang melembaga, produktif, dan inovatif.
2) Semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan sesorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan
yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, dan menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk
baru.
3) Kemampuan untuk mengelola aktivitas usaha, mulai dari proses merencanakan, melaksanakan,
hingga menanggung resiko yang timbul untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Apa yang menjadi tugas seorang wirausaha pada dasarnya adalah menangkap peluang secepat
mungkin. Peluang tersebut dapat diambil dari mana saja: ketidaksengajaan; relasi dengan berbagai
industri dan pelanggan; proses kebutuhan; perubahan pada industri dan struktur pasar; perubahan
teknologi; peraturan pemerintah; demografi; dan tekanan persaingan.
Sedangkan ciri-ciri kewirausahaan, telah banyak text book yang mendefinisikan ciri-ciri
kewirausahaan dari berbagai aspek, seperti gender, produk yang dihasilkan, usia, serta profil
psikologis, seperti yang ditulis oleh Griffin & Ebert (2005) dan Boone (2007), yang dapat diringkas
sebagai berikut:
1) Mempunyai hasrat untuk selalu bertanggung jawab bisnis dan sosial.
2) Komitmen terhadap tugas.
3) Memilih resiko yang moderat.
4) Merahasiakan kemampuan untuk sukses.
5) Cepat melihat peluang.
6) Orientasi ke masa depan.
7) Selalu melihat kembali prestasi masa lalu.
8) Memiliki skill dalam organisasi.
9) Toleransi terhadap ambisi.
10) Fleksibilitas tinggi.
Arti penting kewirausahaan di dalam kehidupan suatu bangsa adalah meningkatkan pendapatan
masyarakat, mengurangi angka pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja baru,
memanfaatkan sumber daya ekonomi dengan produktif, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
membantu terwujudnya pemerataan ekonomi. Sehingga, tingkat kesejahteraan suatu masyarakat
sangat ditentukan oleh seberapa banyak jumlah wirausahawan yang ada pada masyarakat tersebut.
2.1 Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship)
Kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) merupakan sebuah istilah turunan dari
kewirausahaan. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan, dan entrepreneurship
yang artinya kewirausahaan. Pengertian sederhana dari social entrepreneur adalah seseorang yang
mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan
perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan
kesehatan (healthcare) (Santosa, 2007). Mereka memiliki ambisi dan secara persisten mengambil
permasalahan sosial utama di masyarakat, kemudian menawarkan ide baru untuk membuat
perubahan dalam skala luas.
Ashoka Fellows, yang didirikan oleh Bill Drayton tahun 1980, menyebutkan karakteristik kegiatan
wirausaha sosial sebagai berikut:
1) Tugas wirausaha sosial ialah mengenali adanya kemacetan atau kemandegan dalam kehidupan
masyarakat dan menyediakan jalan keluar dari kemacetan atau kemandegan itu. Ia menemukan apa
yang tidak berfungsi, memecahkan masalah dengan mengubah sistemnya, menyebarluaskan
pemecahannya, dan meyakinkan seluruh masyarakat untuk berani melakukan perubahan.
2) Wirausaha sosial tidak puas hanya memberi ikan atau mengajarkan cara memancing ikan. Ia
tidak akan diam hingga industri perikanan pun berubah.
Jika wirausahawan bisnis mengukur kinerja dengan keuntungan dan pendapatan (pengembalian
modal), maka wirausahawan sosial diukur keberhasilannya dari dampak aktivitasnya terhadap
masyarakat.
Fondasi dasar kewirausahaan sosial adalah : 1) Tujuan dari entitas adalah melakukan perbaikan
masyarakat atau berkontribusi dalam mengatasi masalah yang ada di masyarakat, 2) kepemilikan
entitas adalah milik masyarakat atau komunitas, bukan dimiliki oleh seorang individu pemodal dan
3) Di dalam aktivitasnya terkandung muatan aktivitas bisnis yang memberikan manfaat kepada
masyarakat (Drayton, 1980 ).
Lingkup entitas yang dapat dimasukkan ke dalam kewirausahaan sosial menurut Bill Drayton pada
tahun 1980 terdiri dari empat kategori :
1) Kategori pertama adalah perusahaan filantropis yaitu perusahaan yang berkomitmen menyisihkan
sebagian keuntungannya untuk kegiatan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Dalam kategori ini
dapat dimasukkan perusahaan perusahaan yang menyadari bahwa keberadaan perusahaan adalah
mengusung peran sosial dan ekonomi sekaligus. Perusahaan filantropis mengalokasikan keuntungan
untuk kegiatan sosial bukan karena tekanan publik dan ancaman regulasi, akan tetapi karena
perusahaan menyadari bahwa memang kehadiran perusahaan adalah mengemban tugas-tugas sosial.
Karena itu pada kategori perusahaan filantropis konsentrasi perusahaan dalam mengelola kontribusi
sosialnya bukanlah asesoris, tapi betul-betul secara mendalam.
2) Kategori kedua adalah perusahaan dengan jiwa sosial, yaitu perusahaan yang didirikan dan
dikelola dengan dimensi sosial. Bukan hanya komitmen dan konsentrasi dalam mendukung kegiatan
sosial, akan tetapi memang keseluruhan unsur kegiatan operasi perusahaan didesain dan dikelola
dengan orientasi untuk memberikan dampak sosial. Seluruh elemen kegiatan perusahaan telah
dirancang dan dikawal agar berkontribusi positif kepada masyarakat dan terhindar dari aspek negatif
yang akan merugikan masyarakat.
3) Kategori ketiga adalah lembaga sosial yang memiliki aktivitas bisnis. Pada lembaga sosial ini telah
dikembangkan unit-unit usaha yang didedikasikan segala keuntungan dan manfaat usahanya untuk
mendukung layanan sosialnya. Lembaga sosial pada kategori ini terdukung kegiatan sosialnya
melalui pendapatan dan keuntungan usaha yang dikelolanya. Seluruh operasi dan kontribusi sosial
lembaga ini ditopang oleh penghasilan dan interaksi lini bisnis yang dilakukan.
4) Kategori keempat adalah lembaga sosial yang mampu menopang seluruh pendanaannya dengan
kemampuan menghimpun dana secara swadaya dalam jangka panjang. Kemampuan mengumpulkan
dana yang bersifat jangka panjang ini akan memastikan bahwa peran sosial lembaga ini terus terjaga
sehingga memiliki peran yang nyata dalam perubahan masyarakat.
Walaupun istilah kewirausahaan sosial terdengar baru di dunia kewirausahaan, namun sesungguhnya
sosial entrepreneurship sudah dikenal ratusan tahun yang lalu diawali antara lain oleh Florence
Nightingale (pendiri sekolah perawat pertama) dan Robert Owen (pendiri koperasi). Pengertian sosial
entrepreneurship sendiri berkembang sejak tahun 1980 an yang diawali oleh para tokoh-tokoh
seperti Rosabeth Moss Kanter, Bill Drayton, Charles Leadbeater dan Profesor Daniel Bell dari
Universitas Harvard yang sukses dalam kegiatan kewirausahaan sosial karena sejak tahun 1980
berhasil membentuk 60 organisasi yang tersebar di seluruh dunia (Setyanto, 2007).
Konsep secara umum dari kewirausahaan sosial, sebenarnya bukan merupakan sebuah lembaga atau
organisasi bentukan atau turunan dari perusahaan swasta (misalnya hasil dari CSR, Corporate Sosial
Responsibility) dan lembaga pemerintahan (dalam hal ini yang terkait dengan Dinas Kesejahteraan
Sosial). Akan tetapi murni merupakan sebuah usaha kewirausahaan (entrepreneurship) yang bergerak
di bidang sosial. Pada awalnya, kewirausahaan sosial mempunyai inti pemberdayaan dalam bidang
kemasyarakatan yang bersifat voluntary atau charity (kedermawanan dan sukarela). Dalam hal ini
membentuk sebuah lembaga-lembaga sosial seperti panti asuhan, anak asuh atau donasi untuk
beasiswa di bidang pendidikan. Konsep awal mula kewirausahaan sosial tidak menekankan pada
usaha untuk menghasilkan profit (non-profit). Kalaupun ada profit, bukan menjadi tujuan utama dan
nilainya bisa dibilang kecil. Karena inti utama dalah pemberdayaan untuk kemaslahatan bersama.
Kewirausahaan sosial akhir-akhir ini menjadi makin populer terutama setelah salah satu tokohnya Dr.
Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh yang mendapatkan hadiah Nobel untuk
perdamaian tahun 2006 (Santosa, 2003). Yang dikembangkan oleh Yunus, dengan pemberdayaan
masyarakat di segmen kurang mampu secara finansial, tidak hanya menghasilkan kesejahteraan
sosial masyarakat tetapi ternyata juga mendatangkan sebuah keuntungan secara finansial. Bisa dilihat
dengan banyaknya tenaga kerja yang terserap (6 juta wanita), seperti phone-lady, ribuan pengemis,
dan tumbuhnya UKM (Usaha Kecil Menengah) yang terbentuk dari usaha peminjaman uang atau
kredit uang dengan bunga murah.
Kewirausahaan sosial tersusun atas dasar 3 aspek. voluntary sektor bersifat suka rela. Public sektor
menyangkut kepentingan publik bersama sedangkan private sektor adalah unsur pribadi atau
individual yang bersangkutan, bisa termasuk unsur kepentingan profit.
Keterangan :
= The social entrepreneurs sektor (irisan ketiga lingkaran)
Gambar 2. Sources of the Sosial Entrepreneur Sector
Sumber: Leadbeater (1997)
Namun, akhir-akhir ini telah pergeseran kewirausahaan sosial yang semula dianggap merupakan
kegiatan non-profit (antara lain melalui kegiatan amal) menjadi kegiatan yang berorientasi bisnis
(entrepreneurial private-sector business activities). Keberhasilan legendaris dari Grameen Bank dan
Grameen Phone di Bangladesh adalah salah satu contoh terjadinya pergeseran orientasi dalam
menjalankan program kewirausahaan sosial. Hal ini menjadi daya tarik bagi dunia bisnis untuk turut
serta dalam kegiatan kewirausahaan sosial, karena ternyata dapat menghasilkan keuntungan finansial.
2.2 Peran Kewirausahaan Sosial (Sosial Entrepreneurship) dalam
Pembangunan Ekonomi
Menurut Setyanto P. Santosa (Dosen FE Unpad dan Komisaris PT. Indosat Tbk.), kewirausahaan
sosial memiliki peran dalam pembangunan ekonomi karena ternyata mampu memberikan daya cipta
nilainilai sosial maupun ekonomi sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.
2.2.1 Kesempatan Kerja
Manfaat ekonomi yang dirasakan dari kewirausahaan sosial di berbagai negara adalah penciptaan
kesempatan kerja baru yang meningkat secara signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh John
Hopkins University pada tahun 1998 di 13 negara menunjukan bahwa tenaga kerja yang bekerja
disektor ini berkisar antara 1 7 persen.
Selain itu memberikan pula peluang kerja kepada penyandang cacat untuk dilibatkan dalam kegiatan
produktif. Keberhasilan Muhammad Yunus antara lain adalah kemampuannya untuk
memberdayakan enam juta orang wanita menjadi kekuatan yang produktif secara ekonomi,
membentuk phone-lady yang tersebar didesa-desa dan memberdayakan ribuan pengemis untuk
melakukan kegiatan yang lebih produktif.
2.2.2 Inovasi dan Kreasi
Berbagai inovasi terhadap jasa kemasyarakatan yang selama ini tidak tertangani oleh pemerintah
dapat dilakukan oleh kelompok Social Entrepereneurship seperti misalnya : penanggulangan HIV
dan narkoba, pemberantasan buta huruf, kurang gizi. Seringkali standar pelayanan yang dilakukan
pemerintah tidak mengenai sasaran karena terlalu kaku mengikuti standar yang ditetapkan.
Sedangkan Social Entrepreneurs mampu untuk mengatasinya karena memang dilakukan dengan
penuh dedikasi.
2.2.3 Modal Sosial
Modal sosial merupakan bentuk yang paling penting dari berbagai modal yang dapat diciptakan oleh
social entrepreneur karena walaupun dalam kemitraan ekonomi yang paling utama adalah nilai -nilai
: saling pengertian (shared value), trust (kepercayaan) dan budaya kerjasama (a culture of
cooperation), kesemuanya ini adalah modal sosial. Keberhasilan negara Jerman dan Jepang adalah
karena akar dari long-term relationship dan etika kerjasama yang mampu untuk menumbuhkan
inovasi dan mengembangkan industri di negara masing-masing. Bank Dunia menyatakan pula bahwa
permasalahan yang kritis dalam penanggulangan kemiskinan adalah modal sosial yang tidak
memadai.
Selanjutnya dibangun jaringan kepercayaan dan kerjasama yang makin meningkat sehingga dapat
akses kepada pembangunan fisik, aspek keuangan dan sumber daya manusia.
2.2.4 Peningkatan Kesetaraan
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi adalah terwujudnya kesetaraan dan pemerataan
kesejahteraan masayarakat. Dan melalui kewirausahaan sosial tujuan tersebut akan dapat
diwujudkan, karena para pelaku bisnis yang semula hanya memikirkan pencapaian keuntungan yang
maksimal, selanjutnya akan tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan agar dapat
dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Contoh keberhasilan Grameen Bank adalah
salah satu bukti dari manfaat ini. Demikian pula upaya J.B.Schramm dari Amerika Serikat yang telah
membiayai ribuan pelajar dari keluarga tidak mampu untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan
tinggi.
2.3. Koperasi
Dr. Fay (1908) menyatakan bahwa koperasi adalah suatu perserikatan dengan tujuan berusaha
bersama yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan semangat tidak
memikirkan diri sendiri sedemikian rupa, sehingga masing-masing sanggup menjalankan
kewajibannya sebagai anggota dan mendapat imbalan sebanding dengan pemanfaatan mereka
terhadap organiasasi. R.M. Margono Djojohadikoesoemo dalam bukunya yang berjudul sepuluh
tahun koperasi : penerangan tentang koperasi oleh pemerintah 1930-1940 menyatakan bahwa
koperasi adalah perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukarela sendiri hendak bekerja
sama untuk memajukan ekonominya.
Pengertian koperasi menurut UU RI No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian adalah badan usaha
yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan. Landasan dan asas koperasi menurut UU RI No. 25 Tahun 1992 adalah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan koperasi seperti yang diuraikan dalam Bab II Pasal 3 UURI No.25 Tahun 1992 adalah untuk
memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut
membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil,
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Selanjutnya dalam bab III, bagian pertama pasal 4 UURI No 25 Tahun 1992 diuraikan fungsindan
peran koperasi. Fungsi dan peran koperasi adalah sebagai berikut :
1) Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya.
2) Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan
masyarakat.
3) Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian
nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya.
4) Berusaha mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usahan
bersama berdasar asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Gambaran dari fungsi dan peran koperasi Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Koperasi dapat mengurangi tingkat penggangguran.
2) Koperasi dapat mengembangkan kegiatan usaha masyarakat.
3) Koperasi dapat berperan ikut meningkatkan pendidikan rakyat, terutama pendidikan perkoperasian
dan dunia usaha.
4) Koperasi dapat berperan sebagai alat perjuangan ekonomi.
5) Koperasi Indonesia dapat berperan menciptakan demokrasi ekonomi.
III. METODE PENULISAN
3.1 Pengumpulan Data dan Informasi
Pengumpulan data dan informasi untuk pembuatan karya tulis ini dilakukan dengan mengumpulkan
data-data yang telah terdokumentasi sebelumnya (data sekunder), baik berupa data BPS, lembaga-
lembaga penelitian atau publikasi yang relevan dengan tujuan penelitian.
3.2 Pengolahan Data dan Informasi
Data dan informasi yang diperoleh kemudian diolah berdasarkan studi pustaka yang dikelompokkan
secara sistematis dan relevan dengan masing-masing sub bab dalam tema penulisan karya tulis.
3.3 Analisis dan Sintesis
Data dan informasi yang telah dikelompokkan kemudian dianalisis relevansinya dengan ide
penulisan karya tulis, untuk kemudian menghasilkan gagasan baru serta keakuratan penerapan ide
sesuai dengan tema karya tulis.
3.4 Pengambilan Kesimpulan dan Perumusan Saran
Kesimpulan diperoleh berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, sedangkan perumusan saran
didasarkan pada prediksi keberhasilan penerapan ide dalam karya tulis.
IV. ANALISIS DAN SINTESIS
4.1 Urgensi Pembangunan Ekonomi Perdesaan Berbasis Komoditas Lokal
Data sensus penduduk tahun 2008 menunjukkan bahwa sekitar 56 persen penduduk Indonesia
bertempat tinggal di ekonomi perdesaan. Namun, sebagian besar penduduk desa adalah miskin dan
terbelakang. Dari sekitar 37 juta rakyat Indonesia yang miskin, 63,58 persen diantaranya adalah
orang desa dan 70 persennya adalah petani. Data komposisi penduduk bekerja menurut status
pekerjaan dan daerah pada tahun 2007-2008 ditunjukkan pada tabel lampiran 3.
Dalam dua dekade terakhir, posisi desa sebagai kantong kemiskinan utama tidak pernah beringsut.
Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 1990 ditemukan jumlah penduduk miskin sebesar 27,2
juta jiwa. Dari jumlah itu, lebih dari setengahnya (17,8 juta jiwa) adalah orang desa. Pada 1998,
ketika Indonesia memulai proses reformasi, terdapat 49,5 juta jiwa penduduk Indonesia yang miskin.
Dari jumlah itu, 60 persen di antaranya (29,7 juta jiwa) tinggal di perdesaan. Lebih dari sewindu
setelah reformasi, angka kemiskinan di perdesaan tidak merangkak jauh. Desa tetap menjadi kantong
utama kemiskinan dan keterbelakangan. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 73.798 desa yang
terletak di 440 kabupaten. Dari jumlah sebesar itu, hampir setengahnya (45,98 persen) masih
tergolong miskin dan tertinggal. Jumlah penduduk miskin terutama memusat di Pulau Jawa, terutama
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Konsentrasi penduduk miskin di Pulau Jawa mencapai
rata-rata 57,5 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Sumatera menjadi daerah kedua setelah
Jawa yang memiliki jumlah penduduk miskin sebesar 20,4 persen dari total penduduk miskin di
Indonesia. Pemusatan kemiskinan, terutama di desa-desa di Pulau Jawa dan Sumatera, mencapai 78
persen dari total penduduk miskin di Indonesia (BPS, 2007). Membangun desa, terutama sektor
pertaniannya, di kedua Pulau itu akan berarti menyelesaikan 2/3 dari masalah kemiskinan di
Indonesia.
Pembangunan ekonomi nasional selama ini cenderung bias kota (urban bias). Hal ini ditunjukkan
oleh terus merosotnya sumbangan sektor pertanian, yang identik dengan ekonomi perdesaan,
terhadap produk domestik bruto (PDB). Dibandingkan dengan pertumbuhan sektor industri dan jasa,
yang identik dengan ekonomi perkotaan, sektor pertanian terus mengalami ketertinggalan.
Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 1980 masih sekitar 30,7 persen, namun
kemudian merosot menjadi 16,1 persen pada 1995, turun lagi menjadi 15,2 persen pada 2003 dan
tinggal 13,8 persen pada 2007. Di sisi lain, kendatipun sumbangannya terus melemah, sektor
pertanian masih menjadi tumpuan hidup sebagian besar angkatan kerja di Indonesia. Pada tahun
1995, angkatan kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini masih sekitar 55 persen. Pada
tahun 2003, pangsa tenaga kerja di di sektor pertanian meningkat menjadi 67,7 persen. Jumlah ini
tidak banyak bergerak beberapa tahun kemudian. Pada tahun 2008, angkatan kerja yang
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian masih sekitar 43,7 persen. Dengan kata lain,
presentasi ekonomi pertanian makin mengecil, tetapi mereka yang menggantungkan hidup darinya
masih sangat besar (Choirie, 2009).
Lemahnya produktivitas pertanian telah menyumbang tingkat rasio ketimpangan kesejahteraan
penduduk Indonesia yang diukur dari koefisien gini (gini ratio). Tercatat rasio gini terus meningkat
dari semula 0,32 (2004) menjadi 0,36 (2007). Pembangunan ekonomi yang urban bias jelas lebih
banyak dinikmati oleh 20 persen kelompok teratas dari struktur piramida ekonomi nasional dan 40
persen kelas menengah. Sementara 40 persen lainnya di lapis terbawah struktur piramida ekonomi
nasional, terutama mereka yang hidup di desa-desa, nyaris tidak tersentuh oleh intervensi
pembangunan sama sekali. Tidak heran jika porsi pendapatan 40 persen penduduk paling bawah
berkurang dari sekitar 20,9 persen pada 2002 menjadi hanya 19,2 persen pada 2005. Sebaliknya, 20
persen penduduk berpendapatan paling atas meningkat dari semula 44,7 persen menjadi 45,7 persen
(Choirie, 2009).
Selain itu, pengembangan komoditas unggulan pertanian di perdesaan umumnya tidak mendapat
perhatian yang cukup. Padahal setiap desa di Indonesia memiliki potensi keunggulan komoditas lokal
karena kondisi alam, budaya cocok tanam, kebiasaan petani, dan sebagainya yang jika dikembangkan
akan meningkatkan perekonomian petani dan pertanian di desa tersebut. Di Jepang dan Thailand,
konsep kawasan komoditas unggulan telah membuktikan kehandalan model satu desa satu komoditas
yang dibangun berdasarkan keunggulan komparatif. Di Jepang istilah ini dikenal dengan One Village
One Commodity (OVOC) atau One Village One Product (OVOP).
Program ini bermula di Provinsi Oita-Jepang dan gerakan satu desa satu komoditas ini sukses
mengangkat harkat desa miskin Oyama berkat adanya hasil pertanian unggulan meskipun dengan
skala kecil (Tambunan, 2003). Di Thailand, program sejenis diperkenalkan pertama kali oleh Perdana
Menteri Thaksin Shinawatra yang terinspirasi dan kemudian mengadopsi program tersebut untuk
dikembangkan lebih lanjut dengan nama One Tambon One Product (OTOP). Tambon dalam bahasa
setempat berarti kecamatan, sehingga OTOP dikenal sebagai suatu konsep atau program untuk
menghasilkan satu jenis komoditas atau produk unggulan yang berada dalam suatu kawasan tertentu.
Pengertian kawasan dalam hal ini bisa meliputi suatu areal wilayah dengan luasan tertentu yang
dalam hal ini adalah wilayah kecamatan. OTOP di Thailand tidak lagi diartikan secara sempit sebagai
batasan kawasan dan produk tertentu saja, tetapi sudah mengarah menjadi industri perdesaan dengan
produk yang merambah ke luar negeri.
Secara konseptual, sebenarnya model OTOP maupun OVOP identik dengan konsep Agro-Ecological
Zone (AEZ) atau Perwilayahan Komoditas Unggulan yang juga mengarahkan suatu kawasan tertentu
untuk menghasilkan satu atau beberapa jenis komoditas pertanian atau bahkan industri unggulan.
Bedanya dalam konsep AEZ terdapat perhatian dan penekanan yang sangat kental kepada aspek
kondisi lahan, topografi, sarana dan prasarana, serta kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat
setempat. Adapun konsep OVOP ataupun OTOP diterapkan pada kondisi dan kapasitas yang sudah
terbentuk tetapi belum dioptimalkan untuk memasuki jangkauan pasar yang lebih luas.
Program OTOP diluncurkan sebagai terobosan untuk menggerakkan produksi dalam negeri
khususnya dengan mengembangkan produk khas lokal yang telah dilaksanakan secara turun-temurun
di wilayah yang bersangkutan. Setiap tambon diupayakan memiliki sedikitnya satu produk unggulan.
Program ini mendorong pemanfaatan sumberdaya lokal (alam, manusia, dan teknologi),
mengandalkan tradisi setempat dan menggunakan keahlian terbatas yang dimiliki masyarakat.
Terutama untuk mendapatkan nilai tambah (added value) melalui perbaikan mutu dan penampilan.
Misi program dikembangkan dengan berlandaskan kepada tiga filosofi yaitu: (1) merupakan produk
lokal yang mengglobal, (2) menghasilkan produk atas kreativitas dan dengan kemampuan sendiri,
serta (3) sekaligus mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia. Secara perlahan tetapi pasti
produk-produk baru akan bermunculan dan produk lama hadir dalam wajah baru. Satu tambon
ternyata bisa menghasilkan sejumlah produk unggulan. OTOP secara konsisten diadopsi oleh hampir
seluruh desa dengan melibatkan organisasi masyarakat setempat dan menurut laporan terakhir telah
tercatat sebanyak 75.840 unit OTOP yang telah terdaftar di Thailand. Masyarakat pengusaha mikro
dan kecil serta gerakan koperasi sangat antusias menyambut program OTOP di Thailand. Tujuan dari
program ini pada dasarnya adalah untuk mengembangkan komoditas pertanian unggulan masing-
masing desa.
Program OTOP telah memilih dan menetapkan enam kelompok besar komoditas unggulan dengan
tidak kurang dari 10 jenis produk dalam setiap kelompok. Sebagian besar produk telah memiliki
segmen dan pangsa pasar (market share) tersendiri, baik di dalam maupun di luar negeri. Ciri khas
produk yang tetap dipertahankan adalah adanya peran serta pengusaha-pengusaha kecil dan
menengah yang berasal dari perdesaan setempat. Kumpulan komoditas unggulan tersebut diantaranya
dapat dicermati dalam tabel lampiran 4
Selain itu, data potensi sentra yang berpeluang diikutsertakan dalam program OTOP ala Indonesia
ditunjukkan pada tabel lampiran 5. Ditinjau dari aspek kelembagaan dan definisi, sulit dibantah
bahwa peluang koperasi dalam mereplikasi program OTOP cukup besar. Pemerintah, pada periode
awal tahun 2000-an pernah dengan gencar mencanangkan BDS/ LPB (Business Development
Service/Lembaga Pelayanan Bisnis). Dalam program ini, BDS diperankan untuk menjadi lembaga
usaha yang profesional di bidang jasa layanan usaha. Sejalan dengan itu, program pendukung yaitu
sentra bisnis dikembangkan di banyak daerah sebagai pusat kegiatan di kawasan tertentu. Di lokasi
tersebut, terdapat UKM yang menggunakan bahan baku/sarana yang identik untuk menghasilkan
berbagai produk. Sentra-sentra pada saatnya direncanakan untuk dikembangkan menjadi klaster.
Meski kiprah program BDS gaungnya sudah semakin meredup namun keberadaan sentra (dan
klaster) masih prospektif untuk dimanfaatkan.
Menurut data, di beberapa daerah pernah tercatat sebanyak 1.056 unit sentra yang dipromosikan
sejak tahun 2000 dan hingga tahun 2005. Sentra dapat dimanfaatkan dan diarahkan kepada pemilihan
dan penetapan komoditas unggulan, termasuk produk unggulan industri rumah tangga yang
menggunakan bahan dasar lokal. Pola pembinaan yang sudah berlangsung di sentra melalui
kelompok-kelompok usaha kecil dan menengah merupakan pintu masuk model pengembangan usaha
melalui OTOP. Perlu dicatat bahwa pengusaha kecil dan menengah itu sebagian besar adalah anggota
koperasi. Sementara ini terdapat beberapa komoditas yang memiliki prospek pasar dan berdaya saing
di pasar global seperti: 1) sentra kerajinan, 2) sentra pertanian (holtikultura), 3) sentra perikanan.
Namun, tidak semua desa memiliki koperasi. Bahkan kesadaran masyarakat petani akan pentingnya
koperasi dan melakukan transaksi untuk pertanian melalui kelembagaan ini masih sangat rendah.
Umumnya, para petani masih memanfaatkan jasa para tengkulak untuk membeli dan memasarkan
produk pertanian mereka. Bahkan jikapun ada kelembagaan seperti Kelompok Tani (Poktan) atau
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), keberadaan dan kinerjanya masih tergolong di bawah standar.
Hal ini juga disebabkan karena kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang mengelola
kelembagaan tersebut yang masih sangat terbatas.
Sedangkan, banyak pengusaha kecil dan menengah yang beralasan adanya karena keterbatasan
pemahaman, akses informasi, dan alasan klasik lainnya memilih bergabung dengan koperasi yang
secara legal berbadan hukum. Tentu saja, jika dikaitkan dengan realitas sebelumnya, hal ini akan
menghambat pembangunan ekonomi perdesaan. Padahal mengatasi masalah ekonomi perdesaan
berpengaruh sangat besar pada penanggulangan masalah kemiskinan dan ekonomi di Indonesia.
4.2 Faktor-Faktor yang Menjadi Kendala Pembangunan Ekonomi Perdesaan Berbasis Komoditas
Lokal
1) Sumber Daya Manusia Perdesaan
Untuk membangun ekonomi pedesaan berbasis komoditas lokal dibutuhkan peran serta dari
masyarakat desa itu sendiri. Namun, dengan segala keterbatasan yang mereka miliki menyebabkan
kurangnya informasi yang mereka terima. Itulah hal krusial yang disebut dengan rendahnya
partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan keputusan pembangunan pertanian. Padahal untuk
menuju pembangunan ekonomi dibutuhkan peningkatan kemampuan petani untuk lebih berperan
dalam proses pembangunan. Bagaimana pun juga membangun SDM pertanian tidak terlepas dari
pembanguan dalam berbagai aspek strategis petani, yaitu aspek produksi dan ekonomi, sosial, dan
ekologi. Keberhasilan penguatan aspek tersebut yang akan menentukan apakah kualitas SDM
pertanian dan pedesaan akan meningkat nyata atau berjalan di tempat.
2) Kelembagaan Pertanian
Tidak semua desa memiliki koperasi. Selain itu, kesadaran akan pentingnya koperasi juga masih
dipertanyakan. Padahal, revitasilasi kinerja kelembagaan dan penyuluh pertanian akan memberikan
kontribusi positif bagi peningkatan SDM pertanian. Namun, kelembagaan ekonomi yang ada belum
dapat sepenuhnya memberikan manfaat secara ekonomi. Terjadi banyak kegagalan setelah
terbentuknya koperasi di desa karena kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat.
3) Peran Pemerintah dan Swasta
Peran aktif pemerintah dan pihak swasta dalam peningkatan SDM petani antara lain melalui
pembentukan sistem penyediaan layanan dan pendanaan sistem informasi pertanian sangat
dubutuhkan demi tercipatanya pembangunan ekonomi berbasis komoditas lokal. Namun masih
sangat disayangkan masih kurangnya perhatian dari pemerintah menyebabkan kurangnya informasi
dan layanan yang masyarakat pedesaan yang mereka dapat.
4.3 Peran dan Pengaruh Kewirausahaan Sosial ( social entrepreneurship) dalam Membangun
Ekonomi perdesaan Berbasis Komoditas Lokal
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kewirausahaan sosial menggunakan kemampuan
entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial di masyarakat. Namun, konsep ini tidak dapat
dipisahkan dari konsep kewirausahaan sendiri yang mengharapkan profit. Namun, kewirausahaan
yang dilakukan tidak saja berdampak pada pemerolehan profit bagi usaha, namun juga memberikan
dampak perubahan sosial pada masyarakat. Jika dikaitkan dengan ekonomi perdesaan, maka seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, sektor ini masih kurang berkembang. Padahal potensi komoditas
lokal perdesaan masih begitu besar. Namun, potensi yang begitu besar ini hanya berakhir pada
penjualan kepada tengkulak dan hasilnya yang tidak seberapa digunakan untuk kebutuhan petani.
Padahal jika dikembangkan secara intensif, potensi komoditas lokal tersebut akan sangat
menguntungkan baik bagi petani, perekonomian desa, dan perekonomian Indonesia secara umum.
Jumlah pengusaha yang bergerak pada sektor pertanian sangat banyak Mereka pada umumnya
mendapatkan bahan baku usaha/industri dari para petani di perdesaan. Sistem yang digunakan selama
ini hanya bersifat mencari keuntungan pada masing-masing pihak. Pihak pengusaha/industri
mendapat keuntungan melalui bahan baku yang diperoleh dari petani dengan harga yang terjangkau.
Sedangkan petani mendapatkan keuntungan melalui uang yang mereka peroleh dari hasil penjualan
kepada pengusaha/industri. Beberapa pengusaha/industri ada yang juga ikut menginvestasikan
modalnya kepada petani agar petani dapat memproduksi produk sesuai kebutuhan
pengusaha/industri. Namun, modal yang diinvestasikan tersebut baru sebatas modal finansial. Masih
sangat sedikit pengusaha/industri yang selain menginvestasikan modal finansial, juga
menginvestasikan modal sosial.
Apa yang dimaksud dengan modal sosial menurut sejumlah ekonom dan sosiolog adalah kekayaan
materil dan sekaligus keuntungan sosial yang didapat oleh suatu masyarakat. Konsep inilah yang
ingin dibangun di perdesaan di Indonesia. Perusahaan yang mengambil bahan baku usaha dari petani
di perdesaan, tidak hanya mengedepankan keuntungan materi yang diperoleh secara sepihak, tetapi
mereka juga diharapkan memiliki tanggung jawab sosial melalui investasi sosial yang akan
memberikan keuntungan dan perubahan sosial di masyarakat.
Hal ini sangat berhubungan dengan konsep pembangunan ekonomi perdesaan berbasis komoditas
lokal. Ketertinggalan pembangunan ekonomi perdesaan yang ditunjukkan dengan angka kemiskinan
di perdesaan khususnya petani masih sangat tinggi. Kondisi ini ironis dengan potensi komoditas lokal
pertanian perdesaan yang sangat besar. Proses pengembangan perekonomian perdesaan berarti
pengembangan komoditas lokal perdesaan. Dan terkait dengan konsep One Tambon One Product
(OTOP) yang berarti satu komoditas untuk satu desa, hal ini sangat membutuhkan koperasi sebagai
kelembagaan pertanian yang melakukan agen alih teknologi, transfer informasi, peningkatan akses
petani pada sumberdaya yang lain seperti pasar dan modal dan sebagai jembatan yang
menghubungkan kepentingan petani dengan kepentingan perusahaan.
Sehingga peran perusahaan/industri yang mendapatkan bahan baku usaha dari petani di perdesaan
adalah menciptakan misi kewirausahaan sosial di perusahaan mereka. Melalui misi ini, perusahaan
tidak hanya mendapatkan keuntungan dari produk komoditas lokal yang merupakan produk unggulan
desa tersebut, tetapi juga perusahaan melakukan investasi sosial berupa melakukan pembinaan pada
sumber daya manusia petani di perdesaan untuk membentuk kelembagaan berupa koperasi pertanian.
Karena, proses pembentukan kelembagaan koperasi bukan hal yang mudah bagi petani, maka mereka
membutuhkan campur tangan pihak lain, termasuk di dalamnya adalah pengusaha yang berhubungan
dengan mereka. Melalui pembentukan kelembagaan ini, petani memiliki wadah dimana mereka
mendapatkan berbegai pembinaan untuk peningkatan kualitas produk mereka, proses alih teknologi
dan pada akhirnya akan meningkatkan kualitas dan kuantitas produk yang berbasis komoditas
unggulan lokal. Dari hasil ini, perusahaan juga akan diuntungkan dengan mendapatkan pasokan
produk yang berkualitas, dan pada akhirnya selain mengembangkan perekonomian desa, perusahaan
juga mendapatkan keuntungan materi.
4.4 Langkah-langkah Menuju Pembangunan Kewirausahaan Sosial ( social entrepreneurship)
Sebagai Solusi dalam Membangun Ekonomi perdesaan Berbasis Komoditas Lokal
Langkah-langkah meningkatkan kesadaran kewirausahaan sosial dalam upaya membangun ekonomi
perdesaan berbasis komoditas lokal :
1) Menyertakan Topik Kewirausahaan Sosial ke dalam Kurikulum Perguruan Tinggi Sebagai
Pengembangan dari Mata Kuliah Kewirausahaan.
Semakin sempitnya lapangan pekerjaan menuntut setiap orang untuk berlomba-lomba agar segera
memperoleh pekerjaan yang layak bagi mereka. Sementara jumlah penduduk sudah tidak sebanding
lagi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Oleh karena itu, perguruan tinggi sebagai lembaga
pendidikan yang mencetak generasi yang siap bersaing di dunia kerja kini telah mengubah pemikiran
itu dengan mempersiapkan mahasiswanya agar mampu menjadi pencipta lapangan pekerjaan bukan
menjadi pencari kerja. Salah satu program yang telah diupayakan yaitu dengan menambahkan
kewirausahaan sebagai salah satu mata kuliah yang wajib diikuti. Namun, kewirausahaan yang
menjadi pokok bahasan barulah kewirusahaan yang berorientasi pada profit semata. Kewirausahaan
sosial belum termasuk di dalamnya. Untuk dapat membentuk sebuah kesadaran bahwa
kewirausahaan sosial memiliki tingkat urgensitas terhadap pembangunan ekonomi, maka diharapkan
kewirausahaan sosial dapat disertakan sebagai salah satu topik yang dapat dipahami dengan baik.
2) Mendirian Pusat Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kewirausahaan Sosial.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kewirausahaan Sosial perlu didirikan sebagai tempat dan
sarana pendidikan dan pelatihan kewirausahaan sosial bagi akademisi, wirausaha, maupun
masyarakat umum yang tertarik dan berminat untuk membuka usaha.
3) Memberikan Dana Hibah untuk Pendirian dan Pengembangan Bisnis Berbasis Kewirausahaan
Sosial oleh Pemerintah atau Swasta.
Peran serta Pemerintah tentunya sangat diperlukan dalam proses tercapainya program ini. Salah satu
yang dilakukan adalah pemberian dana hibah tentunya akan menambah modal serta dapat membantu
dalam proses pelaksanaan bisnis. Hal ini dimaksudkan agar proses pendirian dan pengembangan
bisnis berbasis kewirausahaan dapat berjalan. Namun, dana hibah yang banyak diberikan oleh
pemerintah maupun swasta selama ini adalah dana hibah untuk pendirian maupun pengembangan
bisnis secara umum. Sementara persyaratan tanggung jawab sosial usaha belum mendapat perhatian.
Karena itu, pemberian dana hibah untuk usaha yang menyertakan persyaratan tangung jawab sosial
(social entrepreneurship) sangat perlu dilakukan dan diperbanyak untuk menambah jumlah usaha
yang berbasiskan kewirausahaan sosial.
4) Penegasan Undang-Undang No. 40 Pasal 74 Bab V Tahun 2007 Tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PT) Beserta Sanksinya oleh Pemerintah
Peraturan hukum yang mengatur tentang tanggung jawab sosial Perseroan Terbatas (PT) telah diatur
dalam Undang-undang No.40 Pasal 74 Bab V Tahun 2007. Bunyi lengkap dari undang-undang
tersebut adalah 1) perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, 2) tanggung
jawab sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseorangan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran, 3) perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-
undangan, 4) ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah.
Namun, dalam pelaksanaannya Undang-undang tersebut tidak memberikan sanksi secara tegas bagi
yang tidak menjalankan kewajiban berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan. Menurut pasal 74
ayat (4) ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan sosial diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Menurut Jamal Wihoho (2008), karena bentuk peraturan perundang-undangannya adalah
Peraturan Pemerintah, maka sanksinya tidak akan lebih dari pada sanksi administratif. Oleh karena
itu, penegasan terhadap pemberlakuan sanksi dalam undang-undang tersebut perlu ditinjau ulang.
5) Mempromosikan Kewirausahaan Sosial kepada UKM-UKM oleh Pemerintah
Selain pemberian dana hibah, pemerintah pusat maupun daerah juga dapat membantu dalam
mempromosikan kewirausahaan sosial kepada UKM-UKM yang ada di Indonesia dan daerah.
Promosi adalah salah satu bentuk aktivitas untuk memperkenalkan program kewirausahaan sosial
agar setiap UKM mengetahui dampak positif yang akan tercipta dari pengembangan program
kewirausahaan ini.
6) Meningkatkan Profil Kewirausahaan Sosial Perusahaan Serta Dampak Positif dari Kewirausahaan
Sosial bagi Perusahaan Maupun Masyarakat.
Salah satu dampak positif dari kewirausahaan sosial ini bagi perusahaan yaitu perusahaan akan
diuntungkan dengan mendapatkan pasokan produk yang berkualitas, dan pada akhirnya selain
mengembangkan perekonomian desa, perusahaan juga mendapatkan keuntungan dalam bentuk laba
usaha. Maka dari itu, setiap perusahaan harus berupaya untuk meningkatkan profil perusahaannya
dalam kewirausahaan sosial. Karena hal ini akan memberikan pengaruh pada wirausaha lainnya atau
calon wirausaha untuk menempuh langkah yang sama.
7) Memberikan Insentif Serta Penghargaan Bagi Perusahaan yang Berkinerja Baik dalam
Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial.
Pemberian insentif dan penghargaan bagi perusahaan bertujuan agar semakin termotivasinya
perusahaan yang mengembangkan kewirausahaan sosial agar dapat memberikan dan melaksanakan
tanggung jawab sosialnya dengan baik.
8) Membentuk dan Menghidupkan Kembali Koperasi Pertanian di Perdesaan Sebagai Sarana
Investasi Sosial dalam Membangun Ekonomi perdesaan.
Koperasi merupakan satu-satunya lembaga resmi yang berbadan hukum yang berfokus pada bidang
sosial dan ekonomi. Indonesia telah membangun koperasi di berbagai daerah, namun saat ini
pandangan masyarakat perdesaan masih belum sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya
koperasi. Investasi sosial yang memiliki keuntungan ekonomi sngat memungkinkan dibangun
melalui koperasi terlebih pada bidang pertanian di daerah perdesaan. Prinsip yang diterapkan pada
koperasi adalah prinsip yang berfokus pada anggotanya dimana hal itu akan membuat para petani
diperdesaan yang tergabung sebagai anggota koperasi akan sangat terbantu dalam meningkatkan
pendapatan mereka. Selain itu, perekonomian perdesaan akan terangkat terlebih jika para petani
memilki akses dan posisi tawar dalam pemasaran hasil-hasil pertanian sehingga keberlanjutan usaha
meraka berjalan dengan baik. Terlebih lagi, melalui koperasi, kualitas sumberdaya manusia di sektor
pertanian perdesaan dapat ditingkatkan secara perlahan melalui pendidikan dan pembinaan pertanian
di koperasi sehingga para petani dapat melaksanakan fungsi produksi, pengelolaan, pengolahan dan
pemasaran produk pertanian dengan optimal. Koperasi yang telah mati di perdesaan sebaiknya
dihidupkan kembali, serta membentuk koperasi bagi daerah yang belum terbentuk sehingga dapat
mewadahi serta mensinergiskan seluruh sektor yang dapat membangun perekonomian pertanian
perdesaan.
9) Menggalakan program One Village One Product (OVOP) berbasis komoditas lokal melalui
kelembagaan koperasi pertanian.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, untuk membangun ekonomi pertanian berbasis komoditas lokal,
maka program one village one product yang diimplementasikan melalui kelembagaan koperasi dirasa
sangat tepat. Konsep yang ingin dikembangkan melalui program ini adalah konsep satu komoditas
satu desa atau pengembangan komoditas lokal. Melalui program ini diharapkan setiap desa mampu
membangun dan meningkatkan daya saing produk. Petani yang menjadi aktor dalam pembangunan
ini akan lebih terbantu dengan koperasi yang ada karena akan terpusat dalam produksi, pengelolaan,
pengolahan dan pemasaran hasil komoditas lokal.
Dampak lain dari program ini adalah optimalisasi sumberdaya alam yang ada, peningkatan lapangan
pekerjaan pada bidang pertanian, peningkatan pendapatan petani yang pada akhirnya akan
membangun perekonomian perdesaan yang berbasis pada pertanian komoditas lokal.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pembangunan ekonomi perdesaan berbasis komoditas lokal dinilai sangat penting karena mayoritas
penduduk Indonesia berdomisili di perdesaan sebagai petani dengan angka kemiskinan yang masih
tergolong tinggi. Selain itu potensi komoditas lokal pertanian perdesaan masih sangat besar yang jika
dimanfaatkan akan meningkatkan pendapatan petani dan menghidupkan perekonomian perdesaan.
Faktor-faktor yang menjadi kendala pembangunan ekonomi perdesaan berbasis komoditas lokal
adalah kuantitas dan kualitas sumber daya manusia perdesaan yang masih rendah, ketidaktersediaan
kelembagaan pertanian yang mampu mengakomodir kepentingan petani dan peran pemerintah dan
swasta yang belum maksimal.
Peran kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) dalam membangun ekonomi perdesaan berbasis
komoditas lokal adalah memberikan investasi sosial dengan implementasinya berupa bantuan dalam
proses pembentukan kelembagaan pertanian berupa koperasi yang diharapkan dapat meningkatkan
kualitas produk komoditas lokal, yang akan memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan,
petani serta menghidupkan perekonomian perdesaan secara luas.
5.2 Saran
Pembangunan kesadaran akan investasi sosial di masyarakat menjadi tanggung jawab semua pihak
untuk menciptakan perubahan baik dalam sektor ekonomi perdesaan maupun sosial masyarakat,
termasuk perusahaan/industri yang menggantungkan kebutuhan bahan baku perusahaan/industrinya
dari pertanian di perdesaan.
Karena itu, konsep kewirausahaan sosial ini diharapkan diadopsi oleh lebih banyak
perusahaan/industry yang bergerak di sektor pertanian atau yang mendapatkan bahan baku
perusahaan/industri dari komoditas pertanian lokal perdesaan.



Pentingnya Pengetahuan Hukum

Suatu bentuk usaha yang sah digunakan untuk menentukan kelayakan, kolaborasi dengan
usaha-usaha lain, keikutsertaan dalam tender-tender swasta dan pemerintah, dsb. Memilih
suatu badan hukum yang benar merupakan salah satu hal terpenting bagi pengusaha atau
bagi seorang pengusaha yang memiliki tekad.Notaris atau konsultan hukum akan
membantu anda untukmendirikan suatu badan hukum yang terbaik untuk usaha anda,
mencakup usaha perseorangan (Sole Proprietorship), Firma(General Partnership),
Persekutuan Komanditer (Limited Partnership atau lebih dikenal dengan commanditaire
vennootschap atau CV) atau Perseroan Terbatas (Limited Company).

Jasa Hukum

Selain membantu untuk mendirikan badan hukum yang paling sesuai untuk usaha baru
anda, seorang konsultan hukum juga dapat membantu anda dalam tantangan hukum yang
dihadapi dalam suatu usaha. Dalam suatu usaha terdapat banyak tantangan, dari mulai
memperkerjakan karyawan, pembayaran pajak, pendaftaran merk sampai dengan negoisasi
transaksi bisnis. Konsultan hukum dapat memberikan nasihat/pandangan hukumnya untuk
anda tekait dengan hal-hal tersebut. Konsultan hukum dapat mengidentifikasi dan
mendapatkan perizinan-perizinan yang dipersyaratkan dan menjalankan kepatuhan
terhadap hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku disuatu negara. Konsultan
hukum juga dapat memberikan suatu nasihat hukum secara berkala, pada saat hukum dan
kebijakan berubah dan berkembang, termasuk untuk menghindari pelanggaran dan
membantuperusahaan anda secara positif dan membatu membuat keputusan-keputusan
bisnis yang menguntungkan. Nasihat hukum dapat membantu anda untuk dapat mengelola
resiko hukum dan resiko keuangan, melindungi aset dan melindungi terhadap kepatuhan
hukum, selain itu juga membantu anda untuk memeriksa dan meninjau dokumen, negoisasi
perjanjian-perjanjian dan, jika dibutuhkan, mewakili anda di pengadilan.

Sebagai entrepreneur, berikut adalah beberapa tantangan hukum yang mungkin akan anda
hadapi :


1. Sumber Daya Manusia

Memperkerjakan orang membutuhkan perhatian terhadap hukum ketenagakerjaan
perburuhan. Dimana perjanjian kerja dapat berbentuk lisan atau tulisan, hubungan kerja
waktu tertentu harus dalam bentuk tertulis. Terkait dengan pengakhiran masa kerja,
pemberi kerja atau pengusaha wajib mendapatkan izin dari Pengadilan Perselisihan
Perburuhan, kecuali apabila pekerja atau karyawan mengundurkan diri secara sukarela atau
dimasa percobaan telah diatur secara tertulis. Pembayaran pesangon juga diwajibkan
apabila pengakhiran masa kerja, alasan pengakhiran masa kerja dan penggantian hak yang
belum digunakan oleh pekerja selama masa bekerja.




2. Perpajakan
Sebagai pemberi kerja, anda wajib untuk, memotong, menyimpan dan melaporkan
pajak atas pemberian upah yang didapat oleh pekerja. Anda juga harus membayarkan
kewajiban pajak lainnya, seperti pajak penghasilan perusahaan, pajak pertambahan nilai,
pajak atas penjualan barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak pendapatan daerah
dan materai. Pengacara anda merupakan sumber yang akan membantu anda dengan
pengetahuan dasar dalam hal ini.

3. Hak atas Kekayaan Intelektual
Indonesia merupakan peserta dalam berbagai konvensi terkait dengan hak atas kekayaan
intelektual. Untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi-konvensi tersebut, oleh
karenanya telah ditetapkan hukum yang mengatur tentang paten, merek dagang, desain
sirkuit terpadu, varietas tanaman dan hak cipta. Pengacara anda dapat membantu anda
dalam hal pendaftaran dan perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, yang
mana khususnya merupakan persoalan yang menarik bagi para pengusaha dan usaha yang
akan dimulai.

4. Persyaratan Hukum Lingkungan
Peraturan tentang lingkungan yang baru mewaijbkan penilaian terhadap dampak
lingkungan, usaha pengelolaan lingkungan atau usaha pemantauan lingkungan, termasuk
perizinan lingkungan, hal mana merupakan prasyarat bagi usaha anda untuk mendapatkan
izin usaha dasar dari kementrian terkait. Persyaratan-persyaratan tersebut, dan kekosongan
peraturan-peraturan pelaksananya, membutuhkan perhatian lebih dan nasihat dari
pengacara anda.

5. Jasa Hukum yang Mendukung Akses Pembiayaan
Memilki dukungan legal yang berkualitas dalam memeriksa dokumen-dokumen hukum
untuk presentasi dapat membuat perbedaan dalam kekayaan kredit pada saat anda
mengajukan pinjaman. Bank dan peminjam cenderung untuk melihat penasihat hukum
anda sebagai tanda bahwa rencana bisnis anda serius dan oleh karenanya layak bagi bank.
Pengacara anda juga dapat menjelaskan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan untuk
pembiayaan tersebut, membantu melengkapi formulir-formulir yang dibutuhkan atau
mungkin membantu anda untuk menegoisasikan ketentuan dan taraf yang lebih baik.

Usaha mikro juga terlibat dalam berbagai transaksi hukum setiap harinya. Sebagian besar
bisnis berjalan tanpa insiden, tetapi sebagian kecil terbaikan, hal mana dapat memberikan
resiko yang tidak perlu terhadap kesehatan dan masa depan bisnis anda. Penasehat hukum
anda dapat memberikan bantuan yang perannya sangat penting yang anda butuhkan untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan membantu usaha anda untuk bertumbuh dan
berkembang dalam ketidakpastian keadaan.



Gita Lahutung's Blog
Just for your information
Arsip Kategori: Manajemen Audit

16OKT / 2012

Prosedur Pelaksanaan Audit Kinerja
PROSEDUR PELAKSANAAN
AUDIT KINERJA MANAJERIAL
Brigita Lahutung
I. Prosedur Pelaksanaan
Secara umum, prosedur pelaksanaan audit adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Audit Kinerja
2. Pengujian Pengendalian Manajemen
3. Pengukuran dan Pengujian Key Performance Indicator (KPI) atau yang disebut Indikator
Kinerja Kunci (IKK).
4. Review Operasional
5. Pembuatan Kertas Kerja Audit (KKA)
6. Pelaporan
7. Pemantauan Tindak Lanjut
Deskripsi Prosedur Pelaksanaan Audit Kinerja BUMN/BUMD
1. Perencanaan Audit Kinerja
Dalam Pedoman Pelaksanaan Audit Kinerja, Perencanaan audit merupakan langkah
penting yang dilakukan untuk memenuhi standar audit. Dalam perencanaan audit perlu
memperhatikan perkiraan waktu dan petugas audit, selain itu juga mempertimbangkan
perencanaan lainnya yang meliputi:
1. Sumber dan cara memperoleh informasi yang cukup mengenai auditan
2. Hasil audit yang diperoleh pada tahap sebelumnya.
2. Prosedur Pelaksanaan Audit Kinerja
Pengertian Prosedur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 703) adalah tahap-
tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas.
Menurut Setyawan (1988: 35), prosedur adalah langkah-langkah yang harus dilaksanakan
guna mencapai tujuan pemeriksaan. Pelaksanaan Audit Kinerja oleh kantor akan
berdasarkan prosedur yang terdiri dari tahapan Audit Kinerja yang menguraikan tentang
bagaimana langkah kerja Audit Kinerja itu dilakukan.
A. Persiapan Audit Kinerja
Dalam tahap ini dilakukan kegiatan-kegiatan yang merupakan tahap awal dari rangkaian
Audit Kinerja sebagai dasar penyusunan Program Kerja Audit Tahap berikutnya. Tahap ini
meliputi:
a. Pembicaraan pendahuluan dengan auditan
b. Pengumpulan informasi umum dalam pengenalan terhadap kegiatan yang diaudit
c. Pengidentifikasian aspek manajemen atau bidang masalah yang menunjukkan
kelemahan dan perlu dilakukan pengujian lebih lanjut.
d. Pembuatan ikhtisar hasil persiapan Audit Kinerja.
Dalam pengumpulan informasi kegiatan persiapan Audit Kinerja mencakup:
1. Organisasi
2. Peraturan perundangan yang berlaku
3. Tujuan, Visi, Misi, sasaran, strategi dan kegiatan usaha
4. Sistem dan prosedur
5. Data keuangan
6. Informasi lainnya yang relevan
Simpulan Hasil Persiapan Audit Kinerja yang disusun setelah kegiatan persiapan Audit
Kinerja selesai. Simpulan hasil Audit Kinerja ini antara lain meliputi mengenai kelemahan-
kelemahan yang harus dikembangkan lebih lanjut dalam tahap audit berikutnya. Dari
simpulan tersebut dibuat program audit tahap pengujian pengendalian manajemen.
(Deputi Bidang Akuntan Negara, 2001: 8-15).
B. Pengujian Pengendalian Manajemen
Pada tahap ini harus dilakukan pengujian atas:
1. Sistem pengendalian manajemen
2. Penerapan good cooperate governance (GCG) oleh manajemen auditan dan jajarannya
Pengendalian manajemen adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris,
manajemen dan personil lain dalam perusahaan yang dirancang untuk memberikan
keyakinan memadai tentang pencapaian tiga kelompok tujuan utama yaitu:
a) Efektivitas dan efisiensi operasi
b) Keandalan pelaporan keuangan
c) Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
Dalam Pengujian penerapan Good Cooperate Governance (GCG) oleh manajemen, Auditor
wajib melakukan pengujian penerapan prinsip-prinsip GCG oleh manajemen dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Prinsip dasar GCG yang harus diterapkan oleh manajemen auditan sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 adalah
sebagai berikut:
1.Transparansi dalam mengemukakan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan
2. Kemandirian
3. Akuntabilitas
4. Pertanggungjawaban
5. Kewajaran
b. Dalam melakukan pengujian penerapan GCG oleh manajemen, auditor minimal perlu
memanfaatkan dan mengembangkan indikator/parameter yang relevan. Dan dari hasil
pengujian tersebut kemudian dibuat simpulan mengenai penerapan GCG.
c. Jika ditemukan kelemahan yang signifikan segera dibuat manajemen letter (ML). (Deputi
Bidang Akuntan Negara: 15-18)
C. Pengukuran dan Pengujian Indikator Kinerja Kunci
Dalam tahap ini dilakukan penilaian atas proses penetapan indikator kinerja, juga
membandingan antara pencapaiaan indicator kinerja dengan target. Kesenjangan yang ada
harus dianalisis sehingga diperoleh penyebab sebenarnya. Indikator Kinerja adalah
diskripsi kuantitatif dan kualitatif dari kinerja yang dapat digunakan oleh manajemen
sebagai salah satu alat untuk menilai dan melihat perkembangan yang dicapai selama ini
atau dalam jangka waktu tertentu.
Tujuan pengujian atas pengukuran capaian indikator kinerja kunci yaitu untuk menilai
efisiensi dan efektifitas beberapa aktivitas utama, guna menyarankan dan mendorong
pengembangan rencana aksi untuk peningkatan kinerja. Rencana aksi dikembangkan oleh
manajemen auditan (Focus Group), dan kemajuan yang dibuat dalam implementasi
rencana akan direview secara periodik.
Diharapkan manajemen auditan mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Tujuan akhir
tersebut akan dicapai melalui berbagai tujuan setiap kegiatan review yaitu:
1. Menentukan kekuatan dan kelemahan utama yang dimiliki
perusahaan
2. Menentukan implikasi operasional dan strategis dari kekuatan dan kelemahan tersebut
diatas
3. Mengidentifikasi area-area yang perlu perbaikan
4. Mengembangkan rencana aksi perbaikan atas area-area tersebut diatas.
(Deputi Bidang Akuntan Negara: 20-23)
D. Review Operasional
Pada tahap ini dilakukan review yang sistematis atas prosedur metode, organisasi,
program atau kegiatan-kegiatan dengan tujuan untuk mengevaluasi sejauh mana
pencapaiaan suatu tujuan/sasaran secara ekonomis, efisien, dan efektif.
Informasi mengenai praktek terbaik (best practice) pada perusahaan sejenis perlu
diperoleh sebagai pembanding (benchmark). Selain itu perlu perlu dilakukannya pula
penilaian tingkat kesehatan dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku dan evaluasi
perkembangan usaha perusahaan.
Tujuan dari fase ini adalah untuk mendapatkan informasi detail/rinci untuk menguji
kinerja dari aktivitas yang direview dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Review operasional dapat mengarah pada beberapa atau seluruh sasaran berikut:
1. kehematan, efisiensi dan/atau efektivitas
2. keandalan dan integritas sistem dan prosedur
3. Pengendalian manajemen dan akuntabilitas
4. Perlindungan terhadap aktiva
5. Kepatuhan pada peraturan, kebijakan dan prosedur, dan/atau
6. Aspek-aspek lingkungan
(Brigita Lahutung, 07301541, Manajemen Keuangan)
Terdapat dua pendekatan review pokok:
a) Review hasil secara langsung
Pendekatan ini berfokus pada outcome dan output (berfokus pada penilaian hasil yang
ingin dicapai). Pendekatan ini secara khusus layak dimana terdapat data yang tersedia
untuk menghitung indikator kinerja kunci bagi aktivitas. Jika hasil memuaskan, resiko
karena kesalahan yang serius dalam dan mengimplementasikan aktivitas menjadi minimal.
b) Review Sistem pengendalian
Pendekatan ini berfokus pada sistem dan pengendalian. Pendekatan ini dirancang untuk
menentukan apakah organisasi telah memiliki sistem pengendalian yang cukup untuk
menyediakan jaminan yang layak atas pencapaian hasil yang diinginkan. Review dirancang
untuk melakukan analisis, review dan pengujian atas komponen kunci dari sistem
pengendalian untuk meyakinkan bahwa hal itu telah dirancang dan diterapkan secara
layak.
Hasil akhir dari review operasional adalah merekomendasikan peningkatan dan solusi
praktis yang dapat dimplementasikan manajemen.
(Deputi Bidang Akuntan Negara: 30-35)
E. Kertas Kerja Audit
Kertas Kerja Audit adalah catatan yang dibuat dan data yang dikumpulkan pemeriksa
secara sistematis pada saat melaksanakan tugas pemeriksaan. Kertas kerja audit memuat
informasi yang memadai dan bukti yang mendukung kesimpulan dan pertimbangan
auditor.
Manfaat Kertas kerja audit adalah:
1. Memberikan dukungan utama terhadap Laporan Audit Kinerja.
2. Merupakan alat bagi atasan untuk mereview dan mengawasi pekerjaan para pelaksana
audit.
3. Merupakan alat pembuktian yang mendukung kesimpulan dan rekomendasi signifikan
dari auditor.
4. Menyajikan data untuk keperluan referensi.
Syarat pembuatan Kertas kerja audit:
a. Lengkap
b.Bebas dari kesalahan, baik kesalahan hitung/kalimat maupun kesalahan penyajian
informasi.
c. Didasarkan pada fakta dan argumentasi yang rasional.
d. Sistematis, bersih, mudah diikuti, dan rapi.
e. Memuat hal-hal penting yang relevan dengan audit.
f. Dalam kertas kerja audit harus mencantumkan kesimpulan hasil audit dan komentar atau
catatan dari reviewer.
(Deputi Bidang Akuntan Negara: 41-43)
F. Pelaporan Hasil Audit
Laporan hasil Audit Kinerja merupakan laporan hasil analisis dan interprestasi atas
keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya yang
dilaporkan oleh auditor.
Pelaporan Audit Kinerja meliputi:
1. Hasil penilaian atas kewajaran IKK
2. Hasil Review Operasional beserta kelemahan yang ditemukan
3. Rekomendasi yang telah disepakati
4. Hasil pengujian atas laporan (hasil) pengujian tingkat kesehatan perusahaan
5. Analisis perkembangan usaha
Tujuan pelaporan Audit Kinerja:
a. Memberikan informasi yang relevan dan objektif mengenai kinerja auditan kepada pihak
terkait
b. Menyajikan analisis dan interprestasi atas kondisi kinerja auditan serta memberikan
c. Menyediakan informasi untuk penetapan kebijakan dalam rangka penugasan berikutnya.
(Deputi Bidang Akuntan Negara: 52-55)
G. Pemantauan Tindak Lanjut hasil Audit Kinerja
Tindak lanjut adalah pelaksanaan atas rekomendasi hasil Audit Kinerja yang telah
disampaikan dan disetujui oleh manajemen auditan. Suatu hasil Audit Kinerja baru
dikatakan berhasil apabila rekomendasi praktis yang dikembangkan bersama dilaksanakan
oleh manajemen. Pelaksanaan tindak lanjut itu sendiri merupakan tanggung jawab
manajemen, akan tetapi auditor berkewajiban memantau pelaksanaan rekomendasi yang
telah dikembangkan bersama tersebut, guna mendorong percepatan pelaksanaan tindak
lanjut sesuai dengan yang telah rekomendasikan. (Deputi Bidang Akuntan Negara: 63)
Pengendalian Mutu
Pengendalian Mutu merupakan metode yang digunakan untuk memastikan bahwa kantor
akuntan tersebut dapat memenuhi tanggung jawab jabatannya kepada para klien.
Pengendalian Mutu adalah prosedur yang digunakan oleh kantor akuntan tersebut untuk
membantunya menaati standarstandar secara konsisten dalam setiap kontrak kerja yang
mengikatnya. (Loebbecke, 1995:22)
Di Kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan suatu ketetapan yang
merupakan sarana untuk pengendalian pelaksanaan penugasan berupa formulir kendali
mutu (KM). Sarana-sarana pengendalian pelaksanaan pemeriksaan tersebut bertujuan agar
dapat dijaga dan ditingkatkan mutu hasil pemeriksaan serta ketepat waktuan dalam
pelaksanaan dan penyelesaian pemeriksaan. Kegunaan formulir kendali mutu ini sangat
penting untuk menghasilkan informasi bagi pimpinan suatu organisasi dalam setiap
tingkatan, untuk mengetahui perkembangan kegiatan pemeriksaan agar dapat
dilaksanakan dengan lancar, terarah, bermutu, serta koreksi perencanaan atau
pelaksanaan pemeriksaan untuk periode berikutnya. Dengan formulir kendali ini akan jelas
bagaimana tingkat tanggungjawab masing-masing pejabat/pemeriksa jika terjadi
penyimpangan dalam perencanaan pemeriksaan, pengendalian, pelaksanaan dan evaluasi
hasil pemeriksaan. (BPKP, 1990: 1-2)
(Brigita Lahutung, 07301541, Manajemen Keuangan)
Jenis formulir kendali mutu (KM) yang digunakan BPKP adalah sebagai berikut:
1. Rencana Pemeriksaan dari segi pelaksana pemeriksaan (formulir KM_1)
2. Rencana Pemeriksaan dari segi obyek pemeriksaan (formulir KM_2)
3. Anggaran Waktu Pemeriksaan (formulir KM_3)
4. Kartu penugasan (formulir KM_4)
5. Laporan Mingguan (perbandingan rencana dan realisasi pekerjaan setiap pemeriksa
(formulir KM_5)
6. Daftar Analisis Tugas-tugas Mingguan (dibuat bulanan dengan membandingkan secara
bertahap setiap minggu anggaran waktu hasil pemeriksaan produktif dan realisasinya)
(formulir KM_6)
7. Daftar Rincian Pemakaian Hari Kerja disusun pemeriksa setiap bulan(formulir KM_7)
8. Laporan Pengawasan Pelaksanaan Pengawasan (formulir KM_8)
9. Program Pemeriksaan (formilir KM_9)
10. Daftar Pengujian Akhir (formulir KM_10)
11. Pengendalian Rencana Mulai Pemeriksaan (RMP) dan Rencana Penerbitan Laporan
(RPL) (formulir KM_11)
12. Laporan Rencana dan Realisasi Mingguan RMP/RPL (formulir KM_12)
CONTOH HASIL AUDIT KINERJA MANAJERIAL
II. Pelaksanaan audit kinerja manajerial pada BUMN/BUMD di kantor perwakilan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Tengah
Di Kantor BPKP Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan
Audit pada BUMN/BUMD adalah Bidang Akuntan Negara. Bidang Akuntan Negara
mempunyai obyek audit atas Laporan Keuangan dan Audit Kinerja BUMN/BUMD.
Penerapan Prosedur Pelaksanaan Audit Kinerja BUMN/BUMD meliputi:
A. Penugasan Audit Kinerja
Penugasan Audit Kinerja berdasarkan Program Kerja Pemeriksaan Tahunan (PKPT) atau
bisa juga berdasarkan permintaan langsung dari Pemegang saham Perusahaan (Non
PKPT).
B. Perencanaan Pemeriksaan dan Program Audit Kinerja
a) Perencanaan Pemeriksaan
Setelah adanya penugasan untuk melakukan Audit Kinerja, auditor melaksanakan
perencanaan pemeriksaan.
Auditor akan membuat lembar perencanaan pemeriksaan dengan memperhatikan:
1. Dasar pemeriksaan
2. Obyek pemeriksaan
3. Alamat Obyek pemeriksaan
4. Sasaran Pemeriksaan
5. Nomor Kartu Penugasan
6. Petugas Pemeriksa, terdiri dari:
- Pengawas
- Ketua Team
- Anggota Team (jumlah anggota team disesuaikan dengan obyek audit)
7. Lampiran berkas:
- Surat tugas (KM. 4)
- Kesimpulan Hasil Review Internal Control
- Internal Control Questioneres
- Program Audit (KM.9)
- Laporan Audit tahun lalu
- Kertas Kerja Pemeriksaan tahun lalu
Urutan Pelaksanaan Pekerjaan Perencanaan Pemeriksaan adalah sebagai berikut:
Penyusunan Rencana Pemeriksaan oleh Ketua Team
Rencana Pemeriksaan yang selesai disusun, diserahkan kepada Pengawas untuk direview
Rencana Pemeriksaan selesai direview pengawas diserahkan kepada Pembantu
Penanggung jawab untuk disetujui
b) Program Audit
Sebelum pelaksanaan Audit Kinerja, perlu dibuat program audit yang merupakan langkah
kerja yang harus dilakukan selama pelaksanaan audit. BPKP menggunakan program audit
sebagai alat pengendali dari setiap kegiatan audit yang dilakukan. Untuk setiap tahap audit
harus dipersiapkan program kerja audit secara tertulis. Program kerja audit harus
dituangkan dalam suatu kertas kerja audit, dan setiap penugasan mengandung bagian
pokok:
a. Pendahuluan yang memuat:
- Informasi latar belakang mengenai kegiatan/program yang diperiksa yang berguna bagi
para auditor untuk dapat melaksanakan program kerja auditnya
- Komentar mengenai kegiatan/program yang sedang diaudit dari berbagai pihak seperti
hasil audit BPKP atau lembaga audit lainnya dan komentar auditor sendiri.
b. Pernyataan Tujuan Audit, yaitu memaparkan tujuan-tujuan khusus audit yang
menentukan arah audit, Cara pendekatan dan metode audit yang dipilih.
c. Instruksi-instruksi Khusus, bagian ini memuat instruksiinstruksi khusus BPKP perlu
mendapat perhatian khusus auditor, seperti penyampaian laporan, masalah koordinasi
audit dan lain-lain.
d. Langkah-langkah kerja, yang memuat pengarahanpengarahan khusus dalam
pelaksanaan tugas audit.
Dalam pembuatan program kerja audit, auditor harus memperhatikan dasar-dasar sebagai
berikut:
Tujuan audit harus dinyatakan secara jelas dan harus dapat dicapai atas dasar pekerjaan
yang direncanakan dalam program kerja audit
Program kerja audit harus disusun sesuai dengan penugasan yang bersangkutan
Program kerja audit harus mempertimbangkan hasil audit tahap sebelumnya
Setiap langkah kerja harus merinci pekerjaan yang harus dilakukan disertai alasan-
alasannya
Setiap langkah kerja harus berbentuk instruksi mengenai pekerjaan-pekerjaan yang
harus dilakukan
Program kerja audit harus menggambarkan urutan prioritas langkah-langkah kerja yang
harus dilaksanakan
Program kerja audit harus fleksibel, setiap perubahan harus dengan persetujuan
Pengendali Teknis/Pengendali Mutu
Dalam penyusunan program kerja audit, auditor harus memperhatikan Aturan Perilaku
Pemeriksa, Norma Pemeriksaan APFP, Standar Audit Pemerintahan (SAP), dan Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP)
Program kerja audit harus menyertakan taksiran-taksiran waktu yang diperlukan sesuai
dengan perencanaan kerja audit guna melaksanakan kegiatan yang bersangkutan.
Anggaran waktu diperlukan juga untuk menentukan jumlah tenaga audit yang harus
dikerahkan agar tugas audit dapat diselesaikan dalam waktu yang tepat
Program kerja audit disiapkan oleh ketua tim audit dan harus disetujui Pengendali
Teknis dan Pengendali Mutu.
C. Persiapan Audit
Persiapan Audit Kinerja yang dilakukan oleh Tim Audit, meliputi kegiatan-kegiatan:
C.1. Persiapan Pemeriksaan Dalam Pemeriksaan Untuk Pertama Kali
1) Ketua Tim bersama-sama pengawas pemeriksaan mengadakan pembicaraan dengan
pemimpin obyek pemeriksaan
2) Tim mengumpulkan informasi mengenai seluk-beluk operasi perusahaan antara lain
jenis kegiatan/usaha, struktur organisasi
3) Tim melakukan review dan penilaian terhadap system pengendalian intern obyek
pemeriksaan. Ketua Tim menyusun program pemeriksaan berdasarkan hasil penilaian
sistem pengendalian intern
4) Pengawas pemeriksaan mereview hasil penilaian terhadap sistem pengendalian intern
dan program pemeriksaan
C.2. Persiapan Pemeriksaan Dalam Pemeriksaan Ulangan
1) Tim mempelajari Kertas Kerja Audit (KKA) tahun terakhir pemeriksaan
2) Ketua Tim bersama-sama pengawas pemeriksaan mengadakan pembicaraan dengan
pemimpin obyek pemeriksaan
3) Tim melakukan review dan penilaian terhadap system pengendalian intern dan program
pemeriksaan obyek yang diperiksa yang telah dipersiapkan oleh tim pemeriksa
sebelumnya
4) Pengawas pemeriksaan mereview hasil penilaian terhadap sistem pengendalian intern
dan program pemeriksaan.
Dalam tahap persiapan audit, tim audit mengumpulkan informasi pendukung kegiatan
audit mencakup:
1. Informasi mencakup keseluruhan organisasi
2. Peraturan perundangan yang berlaku
3. Tujuan, Visi, Misi, sasaran, strategi dan kegiatan usaha auditan
4. Sistem dan prosedur yang digunakan di perusahaan yang diaudit
5. Data keuangan, untuk mengetahui tingkat kesehatan perusahaan
6. Informasi lainnya yang relevan
Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, auditor mengadakan kerjasama dengan
satuan pengawas intern dari auditan atau yang diperiksa. Cara yang dilakukan auditor
untuk memperoleh informasi agar informasi yang diperoleh memiliki kualitas, valid,
akurat, dan relevan dengan sasaran kegiatan yang diaudit adalah:
1. Pembicaraan dengan auditan
Untuk memperoleh informasi yang bernilai dari para pejabat dan pegawai terkait,
khususnya mengenai kelemahankelemahan yang belum ada penyelesaiannya.
2. Wawancara dengan pihak lain (stakeholders auditan)
Dapat diperoleh informasi yang berguna dalam menetapkan tujuan audit dan
mengidentifikasikan kelemahan auditan.
3. Pengamatan/observasi fisik
Pengamatan fisik berguna dalam survei yang berkaitan dengan keekonomisan dan
efisiensi.
4. Mereview laporan Manajemen
Informasi dari perbandingan realisasi dengan anggarannya, laporan keuangan, laporan
biaya masing-masing bagian, laporan informasi, dan sebagainya. Auditor perlu
menganalisis laporan dengan menggunakan perbandingan, melihat perbedaan yang
penting dan mengungkapkannya
5. Mereview laporan hasil audit sebelumnya
Suatu sumber informasi dalam setiap auditan adalah arsip mengenai studi dan laporan
audit pada audit yang bersangkutan. Hasil pemeriksaan Satuan Pengawas Intern
(SPI) dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan mengenai ruang
lingkup survei dan audit.
6. Mereview sistem dan prosedur
Dengan mereviu sistem dan prosedur dapat diperoleh informasi mengenai kekuatan dan
kelemahan pengendalian manajemen perusahaan. Akhir dari kegiatan tahap persiapan
Audit Kinerja, Tim audit kemudian membuat simpulan kegiatan dari hasil kegiatan
persiapan audit yang memuat mengenai kelemahan-kelemahan
yang dijumpai dalam kegaiatan audit. Kelemahan yang teridentifikasi tersebut akan
dikembangkan lebih lanjut dalam tahap audit berikutnya, yaitu tahap pengujian
pengendalian manajemen.
D. Pengujian Pengendalian Manajemen
Langkah-langkah pendekatan pengujian pengendalian manajemen antara lain adalah:
1. Memahami komponen pengendalian yang berupa:
a. Lingkungan pengendalian
b. Penaksiran risiko yang berkaitan dengan permasalahan keuangan dan non keuangan
sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
c. Aktivitas pengendalian
2. Menentukan kekuatan dan kelemahan pengendalian manajemen
3. Mengidentifikasi masalah-masalah pokok dan kondisi yang perlu dilaporkan
4. Memvalidasi bukti-bukti yang diuji
5. Melakukan penilaian akhir
6. Mengidentifikasi tindakan korektif
7. Membuat simpulan pengujian pengendalian manajemen
Hasil evaluasi harus dapat menentukan dimana kekuatan dan kelemahan sistem
pengendalian intern. Jika pemeriksa mengidentifikasikan adanya kelemahan dalam system
yang mempengaruhi aspek lainnya termasuk terjadinya in-efisiensi dalam produksi atau
kegiatan lain, maka tanggung jawab pemeriksa yaitu memberitahukan temuannya kepada
manajemen. Untuk menyampaikan rekomendasi pemeriksaan manajemen dapat
menggunakan Surat Kepada Manajemen (Manajemen Letter).
E. Pengukuran dan Pengujian Indikator Kinerja Kunci (IKK)
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan penilaian pencapaian prestasi kerja perusahaan
berdasarkan Indikator Kinerja Kunci yang digunakan oleh perusahaan.
i. Review Atas Hasil Pengukuran Indikator Kinerja Kunci
Langkah kerja auditor dalam melakukan reviu atas hasil pengukuran KPI/IKK yang telah
dilaksanakan oleh manajemen dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Mendapatkan visi dan misi BUMN/BUMD yang sejalan dengan harapan dan kebutuhan
stakeholder, lingkungan, aktivitas pokok perusahaan
2. Mendapatkan penjelasan dan mengidentifikasikan strategi BUMN/BUMD dalam
mencapai visi dan misinya
3. Mengidentifikasikan faktor-faktor kritikal keberhasilan dalam pencapaian visi dan misi
4. Mengidentifikasi target kuantitatif yang sejalan dengan faktor kritikal keberhasilan
(target harus merujuk pada standar eksternal, standar internal, benchmark dan target lain,
yang seharusnya dicapai untuk menjamin adanya peningkatan kinerja.
5. Auditor harus memastikan komprehensif atau tidaknya Indikator Kinerja Kunci (IKK)
yang akan dipakai untuk mengukur kemajuan/keberhasilan pencapaian sasaran. Hal ini
dilakukan dengan:
1) Menentukan bahwa informasi mengenai IKK telah cukup memadai, dengan menguji:
a. Apakah laporan kinerja memiliki banyakinformasi?
b. Apakah informasi kinerja yang dilaporkanberhubungan dengan target (standards
internal) dan Standards (benchmarks eksternal)?
c. Apakah banyaknya IKK telah cukup untuk menilaikinerja?
d. Tentukan apakah maksud dari peraturan yang terkait telah cukup tercakup dalam IKK?
2) Pastikan bahwa IKK telah mencakup semua aktivitas kunci dan outcome. Dilakukan
pengujian:
a. Apakah informasi kinerja telah mencakup keseluruhan organisasi?
b. Pastikan apakah IKK yang ada mencakup semua aktivitas utama bagi keberhasilan
organisasi?
3) Menentukan apakah tersedia cukup informasi tentang aktivitas yang dilaporkan.
Pengujian yang dilakukan adalah apakah cukup informasi tersedia dalam laporan bagi
pengguna untuk memahami sifat aktivitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
yang telah tercapai?
4) Berdasarkan hasil pelaksanaan langkah-langkah diatas, Tim Audit membuat kesimpulan
apakah perusahaan telah memiliki IKK secara komprehensif atau tidak?
ii. Review/Pengujian Atas Pengukuran Capaian Indikator Kinerja Kunci
Pengukuran dan review IKK meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Tim pemeriksa melakukan survei kepuasan pelanggan,
(1) Bagi organisasi yang bergerak pada sektor publik yaitu untuk memantau dan
memperbaiki pelayanan organisasi yang bersangkutan.
(2) Melaksanakan kegiatan untuk:
a) Mengidentifikasi siapa sebenarnya pelanggan organisasi dan menentukan sampel yang
dapat mewakili populasinya
b) Menyusun kuesioner survei untuk para pelanggan
c) Mengumpulkan data dan mengevaluasi hasil survei
d) Melaporkan temuan survei, berkaitan dengan harapan pelanggan perusahaan mengenai
kualitas pelayanan, dibanding dengan para pesaing. Dan bagi perusahaan akan bermanfaat
untuk memperbaiki pelayanan kepada pelanggan sehingga dapat meningkatkan pangsa
pasar.
2. Melakukan survei kepuasan karyawan, untuk menentukan tindakan guna menangani
permasalahan yang dimiliki pegawai agar organisasi dapat berjalan dengan baik. Area yang
dicakup dalam survei pegawai adalah struktur kerja produktivitas, budaya kerja, kondisi
kerja.
3. Menentukan kelemahan dan kekuatan utama yang dimiliki perusahaan
(1) Melakukan analisa atas capaian kinerja periode sebelumnya untuk melihat perubahan
tingkat kinerja yang diperoleh.
(2) Menyajikan indikator kinerja yang hasilnya dibawah target sebagai salah satu
kelemahan perusahaan, dan diatas target sebagai kekuatan perusahaan
(3) Bila BUMN/BUMD menggunakan metode Balanced Scorecard untuk pengembangan
indikator kinerjanya, pemeriksa juga harus menyajikan kekuatan dan kelemahan untuk
setiap perspektif yang digunakan
4. Mengidentifikasi area-area yang perlu perbaikan
(1) Mengidentifikasi penyebab kelemahan, seperti lemahnya produktivitas pegawai, mesin
yang tidak efisien sehingga mempengaruhi tingginya unit cost.
(2) Mengkonfirmasikan seluruh implikasi dan penyebab dari setiap capaian indikator
kinerja kepada focus group.
5. Mengembangkan rencana aksi perbaikan atas area-area tersebut
(1) Mengkaji ulang seluruh kesimpulan atas penyebab dan implikasi dari sudut pandang
visi, misi, tujuan organisasi
(2) Melakukan diskusi dengan focus group (manajemen auditan) untuk mengidentifikasi
tindakan untuk mengatasi kelemahan dan mengambil manfaat dari kekuatan
(3) Apabila BUMN/BUMD menggunakan metode Balanced Scorecard , sajikan rencana aksi
untuk setiap perspektif sebagai berikut:
- Perspektif Stakeholders/Keuangan
a. Peningkatan profitabilitas melalui pertumbuhan penjualan, efisiensi dan praktek
manajemen yang lebih baik
b. Restrukturisasi keuangan, mendapatkan tambahan modal
c. Peningkatan efisiensi biaya serta efektivitas melalui praktek pemberian jasa yang lebih
baik.
- Perspektif Pelanggan
a. Peningkatan dalam jumlah pelanggan jasa
b. Peningkatan dalam kualitas produk atau jasa
c. Peningkatan dalam penyerahan kualitas produk atau jasa
d. Mendapatkan persepsi yang lebih baik tentang kebutuhan pelanggan dan mengambil
tindakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
- Perspektif Internal Proses
a. Restrukturisasi organisasi untuk meningkatkan efisiensi dan kehematan
b. Peningkatan efisiensi fasilitas produksi
c. Peningkatan penggunaan aset/fasilitas
d. Peningkatan moral pegawai dan kompensasi untuk menambahkan produktivitas
pegawai
- Perspektif Inovasi dan Pembelajaran
a. Perencanaan peningkatan keahlian
b. Pemberdayaan pegawai
c. Pengembangan produk baru
d. Pengembangan teknologi
e. Proses dan produk baru
Tabel Contoh Bagaimana Mengukur Critical Succes Factors
(Faktor-faktor Keberhasilan Kritikal)
Setelah selesai melakukan kegiatan dalam tahap pengukuran dan review IKK, Tim Audit
melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan dalam tahap pengukuran dan review IKK, berupa:
(1) Laporan survei pelanggan
(2) Laporan survei pegawai
(3) Laporan Indikator Kinerja kunci (IKK)
(4) Rencana Tindak Lanjut
F. Review Operasional
Review operasional meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengembangkan tujuan review. Tujuan review harus ditentukan terlebih dahulu untuk
menghindari pekerjaan yang tidak perlu.
2. Menentukan ruang lingkup. Untuk memudahkan konsentrasi sumber daya tim review.
Review difokuskan pada area yang mempunyai dampak signifikan terhadap kinerja dan
hasil BUMN.
3. Pengembangan Kriteria (standar/acuan). Review harus mempunyai kriteria cocok yang
fokus dan memberikan dasar bagi kegiatan observasi. Kriteria dapat berupa praktek-
praktek manajemen yang wajar.
4. Merancang pendekatan review
a) Menentukan populasi pengujian
b) Memilih sampel untuk diuji, dengan membandingkan antara kejadian sesungguhnya
dengan standar atau kriteria.
5. Mengumpulkan alat bukti.
Ada beberapa cara untuk mendapatkan bukti, sehingga Tim review harus menilai
cara/metode yang paling sesuai dalam mendapatkan informasi tersebut.
Contoh alat yang berguna untuk melakukan review operasional:
a) Kuesioner. Dipersiapkan sebelum kunjungan, kuesioner harus dikembangkan untuk
mengarahkan interview kepada karyawan yang berkompeten sesuai dengan kebutuhan
yang diusulkan dalam rencana penugasan.
b) Model dan diagram arus. Model dan diagram arus merupakan alat yang berguna untuk
mengorganisir informasi yang dikumpulkan untuk analisa dan presentasi. Diagram yang
diperlukan adalah diagram yang menunjukkan hubungan antara stakeholders utama dan
pihak luar serta hubungan mereka dengan organisasi.
c) Manajemen Risiko. Kelemahan dalam kinerja bisa terjadi karena kurangnya proses
manajemen risiko. Risiko yang ditetapkan sebagai kemungkinan dimana suatau kejadian
atau tindakan dapat mempengaruhi organisasi atau hal yang tidak diinginkan, seperti:
kerugian finansial, kegagalan menjalankan program secara ekonomis, efisien, efektif atau
pertimbangan dampak terhadap lingkungan.
Tim Review harus mempertimbangkan tipe pertanyaan berkaitan manajemen resiko
berikut:
a) Kesalahan apa yang dapat terjadi?
b) Seberapa besar tingkat kesalahan dapat terjadi?
c) Apa konsekuensinya?
d) Apakah risiko dapat dikendalikan dan diminimalisasi? Evaluasi kebijakan dan praktek-
praktek manajemen risiko klien untuk mengembangkan rekomendasi bagi pemantauan
dari risiko yang signifikan yang mempengaruhi organisasi.
6. Bila diketahui ada penyimpangan antara kejadian sesungguhnya dengan kriteria/standar
perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Menilai dampak dari penyimpangan terhadap hasil, untuk mengetahui tindakan apa
yang harus diambil dalam laporan.
(2) Mengidentifikasi penyebab penyimpangan dengan maksud untuk meyakinkan bahwa
rekomendasi yang diberikan akan dapat menyelesaikan masalah.
(3) Mengumpulkan bukti lebih lanjut untuk menggambarkan sifat dan pentingnya isu
tersebut.
7. Mengembangkan rekomendasi
(1) Review harus memasukkan rekomendasi untuk mangarahkan tindakan koreksi ketika
melaporkan penyimpangan.
(2) Langkah dalam mengembangkan rekomendasi:
- Mencari masukan dari manajemen terhadap isu tersebut dan apa yang perlu dilakukan
- Memahami dampak atas hasil, baik positif maupun negatif, jika rekomendasi itu diterima.
8. Pelaporan
Laporan review operasional merupakan output paling nyata dari pelaksanaan review
kinerja. Review kinerja harus menghasilkan laporan tertulis yang secara jelas
mengkomunikasikan kepada klien, mengenai:
1. Latar belakang, tujuan dan ruang lingkup review, termasuk pembatasan ruang
lingkupnya.
2. Kriteria review yang digunakan
3. Observasi yang dilakukan
4. Rekomendasi yang dibuat dan diajukan
5. Tanggapan manajemen termasuk tindakan yang direncanakan
6. Simpulan yang diperoleh untuk setiap tujuan.
G. Pembuatan Kertas Kerja Audit (KKA)
Selama proses pemeriksaan auditor mengumpulkan buktibukti mengenai apa yang
dikerjakan dan apa yang ditemukan selama melakukan pemeriksaan. Semua bukti-bukti itu
dikumpulkan dan didokumentasikan oleh auditor dalam bentuk kertas kerja audit.
Pada tahap pemeriksaan pendahuluan informasi yang dikumpulkan pada KKA dalam
bentuk paparan. Dengan melakukan analisis terhadap paparan informasi tersebut, auditor
akan dapat menemukan bukti-bukti atas 3 elemen, yaitu kriteria, penyebab dan akibat dari
sasaran pemeriksaan sementara. Pada tahap review dan pengujian terhadap pengendalian
manajemen, kertas kerja yang disusun oleh auditor harus dapat menunjukkan bahwa bukti
yang dikumpulkan adalah cukup memberikan keyakinan bagi auditor atas kompetensi
system pengendalian manajemen organisasi yang diperiksa. Kertas kerja untuk tahap
pemeriksaan terinci (review dan pengujian IKK dan review operasional) harus
menunjukkan buki-bukti yang dikumpulkan adalah cukup guna mencapai suatu
kesimpulan atau pendapat atas sasaran pemeriksaan yang sesungguhnya.
H. Pelaporan Hasil Audit
Langkah-langkah pelaporan hasil pemeriksaan:
1) Ketua Tim menyusun Konsep Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) berdasarkan Kertas
kerja Audit yang dibuat Tim Audit
2) Konsep Laporan Hasil Pemeriksaan diserahkan ke Pengendali Teknis, selanjutnya
Pengendali teknis menyerahkan konsep LHP tersebut kepada Pengendali Mutu atau Kepala
Bidang untuk direview.
3) Kemudian konsep LHP diserahkan kepada Kepala Perwakilan BPKP untuk disetujui dan
digandakan
4) Laporan Hasil Pemeriksaan yang sudah ditandatangani oleh Kepala Perwakilan
kemudian kepada Obyek Pemeriksaan yang bersangkutan dan dikirim ke BPKP pusat.
Penyampaian hasil-hasil pekerjaan audit dalam bentuk laporan tertulis merupakan sebuah
ukuran yang nyata atas nilai sebuah pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor, sehingga
auditor akan menyajikan laporan hasil audit yang berisi kesimpulan dari keseluruhan
kegiatan Audit Kinerja yang telah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur audit, yang
merupakan criteria penting bagi kesuksesan atau kegagalan pekerjaan audit. Laporan audit
untuk Audit Kinerja mempunyai struktur dan format yang hampir sama dengan laporan
audit pada umumnya. Kekhususan laporan Audit Kinerja terletak pada bagian pemberian
rekomendasi untuk perbaikan.
Laporan Audit Kinerja terdiri atas:
1. Pendahuluan
a. Umum
b. Memorandum ( Surat Pengiriman)
c. Laporan Ringkasan
d. Daftar Isi Laporan secara keseluruhan
e. Daftar Tabel dan Gambar
2. Teks
a. Pendahuluan
b. Isi, mencakup:
- Pengantar masalah
- Temuan-temuan
- Kesimpulan dan rekomendasi
c. Komentar pihak manajemen (auditee)
3. Referensi Masalah
a. Lampiran
b. Catatan kaki
I. Pemantauan Tindak Lanjut hasil Audit Kinerja
Setelah melaksanakan aktivitas-aktivitas utama audit, masih ada aktivitas lain yang perlu
dilakukan yaitu tahap penindaklanjutan. Dalam tahap ini akan melibatkan auditor, pihak
manajemen (auditee), dan pihak yang berkompeten. Tahap penindaklanjutan bertujuan
untuk memastikan/memberikan pendapat apakah rekomendasi yang diusulkan oleh
auditor sudah diimplementasikan.
Prosedur penindaklanjutan dimulai dengan tahap perencanaan melalui pertemuan dengan
pihak manajemen untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi organisasi dalam
mengimplementasikan rekomendasi auditor. Kemudian auditor mengumpulkan data-data
yang ada dan melakukan analisis terhadap data-data tersebut untuk kemudian disusun
dalam sebuah laporan.
Peranan auditor dalam mengimplementasikan rekomendasi audit hanya sebagai
pendukung, untuk menjaga obyektivitas dan independensi auditor, karena ada
kemungkinan dimasa-masa yang akan datang organisasi tersebut akan diaudit oleh auditor
yang sama. Auditor akan memberikan penjelasan tentang bagaimana dan mengapa sebuah
rekomendasi diberikan dan memonitor tindakan manajemen sehubungan dengan laporan
audit untuk mengetahui perkembangan pengimplementasian rekomendasi audit.
Pengendalian Mutu
Pengendalian mutu yang dilaksanakan BPKP dalam setiap perikatan audit dengan
memperhatikan peranan auditor sebagai pelaksana kegiatan audit dan pembuatan
formulit-formulir pendukung kegiatan dalam pelaksanaan Audit Kinerja.
(Brigita Lahutung, 07301541, Manajemen Keuangan)
Ditulis dalam Manajemen Audit
Tags: audit kinerja, Prosedur
Permalink Tinggalkan Komentar

15OKT / 2012

Audit Kinerja Manajerial
Audit Kinerja Manajerial
Brigita lahutung
BAB I. PENDAHULUAN
Audit Kinerja
Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika organisasi yang bersangkutan mampu
melaksanakan tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada
standar yang tinggi dengan biaya yang rendah. Kinerja yang baik bagi suatu organisasi
dicapai ketika administrasi dan penyediaan jasa oleh organisasi yang bersangkutan
dilakukan pada tingkat yang ekonomis, efisien dan efektif. Konsep ekonomi, efisiensi dan
efektivitas saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat diartikan secara terpisah.
Konsep ekonomi memastikan bahwa biaya input yang digunakan dalam operasional
organisasi dapat diminimalkan. Konsep efisien memastikan bahwa output yang maksimal
dapat dicapai dengan sumber daya yang tersedia. Sedangkan konsep efektif berarti bahwa
jasa yang disediakan/dihasilkan oleh organisasi dapat melayani kebutuhan pengguna jasa
dengan tepat.
Struktur Audit Kinerja
Sebelum melakukan audit, auditor terlebih dahulu harus memperoleh informasi umum
organisasi guna mendapatkan pemahaman yang memadai tentang lingkungan organisasi
yang diaudit, struktur organisasi, misi organisasi, proses kerja serta sistem informasi dan
pelaporan. Pemahaman lingkungan masing-masing organisasi akan memberikan dasar
untuk memperoleh penjelasan dan analisis ynag lebih mendalam mengenai sistem
pengendalian manajemen.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kelemahan dan kekuatan sistem pengendalian dan
pemahaman mengenai keluasan (scope), validitas dan reabilitas informasi kinerja yang
dihasilkan oleh entitas/organisasi, auditor kemudian menetapkan kriteria audit dan
mengembangkan ukuran-ukuran kinerja yang tepat. Berdasarkan rencana kerja yang telah
dibuat, auditor melakukan pengauditan, mengembangkan hasil-hasil temuan audit dan
membandingkan antara kinerja yang dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Hasil temuan kemudian dilaporkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan
yang disertai dengan rekomendasi yang diusulkan oleh auditor. Pada akhirnya,
rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan oleh auditor akan ditindaklanjuti oleh pihak-
pihak yang berwenang.
Struktur audit kinerja terdiri atas tahap pengenalan dan perencanaan, tahap pengauditan,
tahap pelaporan dan tahap penindaklanjutan.
Pada tahap pengenalan dilakukan survei pendahuluan dan review sistem pengendalian
manajemen. Pekerjaan yang dilakukan pada survei pendahuluan dan review sistem
pengendalian manajemen bertujuan untuk menghasilkan rencana penelitian yang detail
yang dapat membantu auditor dalam mengukur kinerja dan mengembangkan temuan
berdasarkan perbandingan antara kinerja dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tahap pengauditan dalam audit kinerja terdiri dari tiga elemen, yaitu telaah hasil-hasil
program, telaah ekonomi dan efisiensi dan telaah kepatuhan. Tahapan-tahapan dalam audit
kinerja disusun untuk membantu auditor dalam mencapai tujuan audit kinerja.
Tahap pelaporan merupakan tahapan yang harus dilaksanakan karena adanya tuntutan
yang tinggi dari masyarakat atas pengelolaan sumber daya publik. Hal tersebut menjadi
alasan utama untuk melaporkan keseluruhan pekerjaan audit kepada pihak manajemen,
lembaga legislatif dan masyarakat luas. Penyampaian hasil-hasil pekerjaan audit dapat
dilakukan secara formal dalam bentuk laporan tertulis kepada lembaga legislatif maupun
secara informal melalui diskusi dengan pihak manajemen. Selain itu, laporan tertulis juga
sangat penting untuk akuntabilitas publik. Laporan tertulis merupakan ukuran yang nyata
atas nilai sebuah pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor. Laporan yang disajikan oleh
auditor merupakan kriteria yang penting bagi kesuksesan atau kegagalan pekerjaannya.
Tahapan yang terakhir adalah tahap penindaklanjutan, dimana tahap ini didesain untuk
memastikan/memberikan pendapat apakah rekomendasi yang diusulkan oleh auditor
sudah diimplentasikan. Prosedur penindaklanjutan dimulai dengan tahap perencanaan
melalui pertemuan dengan pihak manajemen untuk mengetahui permasalahan yang
dihadapi organisasi dalam mengimplementasikan rekomendasi auditor. Selanjutnya,
auditor mengumpulkan data-data yang ada dan melakukan analisis terhadap data-data
tersebut untuk kemudian disusun dalam sebuah laporan.
(Brigita Lahutung, 07301541, Manajemen Keuangan)
BAB II. PEMBAHASAN
Audit Kinerja Manajerial Disoroti Dari Kemampuan Memainkan Berbagai Perannya
Secara Efektif
Dalam dunia yang penuh dinamika dan perubahan yang berlangsung dengan sangat cepat,
manajemen suatu perusahaan dituntut memiliki suatu kemampuan memainkan peran yang
beraneka ragam, tidak hanya interaksi dengan berbagai komponen dalam perusahaan
melainkan juga interaksi dengan berbagai pihak diluar perusahaan. Bentuk dan jenis
interaksi itu berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain dalam perusahaan yang sama.
Namun meskipun terdapat berbagai perbedaan, kesamaan dalam pengalaman banyak
manajer memungkinkan generalisasi tentang peranan yang dituntut dan dari biasanya
dimainkan oleh para manajer.
Beberapa peranan itu dapat dikategorikan menjadi :
a). Peranan yang bersifat interpersonal
b). Peranan yang bersifat informasional
c). Peranan sebagai pengambil keputusan
d). Peranan selaku wirausahawan
e). Peranan selaku perendam krisis
f). Peranan selaku pembagi sarana prasarana dan dana dan daya
g). Peranan selaku perunding
Peranan yang bersifat informasional
Peranan yang bersifat informasional menuntut manajemen memiliki kemampuan tinggi
untuk memilih informasi yang diperlukan guna mendukung penyelenggaraan berbagai
kegiatan manajerial. Berkat perkembangan teknologi informasi yang berlangsung dengan
sangat pesat, para manajer dewasa ini dihadapkan pada situasi yang sangat berbeda
dibandingkan dengan masa lalu pada waktu mana teknologi informasi belum
berkembangan seperti sekarang ini, oleh karena itu tidak jarang seorang manajer lebih
mengandalkan pengetahuan, pengalaman dan intuisinya dalam mengambil berbagai
keputusan. Audit manajemen dalam dalam bidang ini dirasakan penting karena pada
manajer diharapkan mampu memainkan paling sedikit tiga peranan dalam penanganan
dan pemanfaatan informasi yaitu :
1). Sebagai pemantau informasi
2). Penanggungjawab penyeberluasan informasi dan
3). Karena dalam tuntutan terhadap kemampuan sebagai jurubicara organisasi yang
semuanya menunjukan bahwa informasi merupakan salah satu asset milik perusahaan
yang sangat berharga.
Peranan selaku pengambil keputusan
Peranan selaku pengambil keputusan adalah upaya sadar, sistematik dan rasional guna
menjamin bahwa hal-hal yang terjadi dalam perusahaan bukan karena suatu kebetulan.
Salah satu kriteria keberhasilan para manajer memimpin suatu perusahaan ialah
kemampuan dan kecekatannya mengambil keputusan yang efektif. Demikian pentingnya
kemampuan dan kecekatan itu sampai para pakar sering menekankan bahwa inti
kepemimpinan ialah pengambilan keputusan. Karena itu perlu pemahaman yang tepat
tentang berbagai bentuk peranan yang harus dimainkan oleh kelompok manajemen selaku
pengambil keputusan yang pada dasarnya berkisar pada peranan selaku wirausahawan,
peredam krisis, yang mungkin pada mulanya timbul dalam bentuk hambatan atau ancaman
baik yang datang dari luar maupun yang bersumber dari dalam perusahaan sendiri,
penentu pembagian sarana,prasarana, dana, dan daya untuk digunakan oleh para bawahan
dan perunding atas nama perusahaan. Selaku wirausahawan para manajer harus mampu
antara lain untuk :
1). Mempertahankan eksistensi perusahaan
2). Menghadapi persaingan yang sering sangat tajam
3). Menciptakan kondisi yang memungkinkan perusahaan bertumbuh dan berkembang
4). Menghadapi tantangan eksternal yang sering menuntut perusahaan memilih strategi
yang tepat
5). Meraih keuntungan untuk sebagian dibagikan kepada pemodal dan pemilik saham
sebagai difiden dan kepada para karyawan dalam imbalan serta sebagian lagi untuk
investasi
6). Penguasaan pangsa pasar yang lebih besar berkat adanya produk yang diminati oleh
para konsumen
7). Mempunyai visi tentang masa depan perusahaan
Audit kinerja dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi manajerial
Meskipun manajemen sudah diakui sebagai salah satu cabang disiplin ilmiah yang bersifat
terapan para pakar belum sepakat tentang klasifikasi fungsi-fungsi yang diselenggarakan
oleh para manajer yang telah disepakati ialah adanya fungsi-fungsi manajerial.
Dalam mengembangkan konsep dan teori tertentu, para ilmuan menggunakan kerangka
acuan dan titik tolak berpikir yang berbeda, dan juga dipengaruhi oleh berbagai factor
seperti:
a) Falsafah hidupnya
b) Latar belakang sosialnya
c) Latar belakang pendidikan
d) Interpretasi tentang perkembangan bidang ilmu yang ditekuninya
e) Kondisi lingkungan
Dari cara berpikir demikian, fungsi-fungsi manajerial yang dibahas dan disoroti sebagai
sasaran audit ialah perencanaan, pengorganisasian, penumbuhan, dan pemeliharaan
motivasi karyawan, pengawasan dan penilaian.
Perencanaan merupakan kegiatan mental intelektual yang dilakukan oleh seseorang
dengan sadar dan sadar untuk memutuskan hal-hal yang akan dikerjakan dalam satu kurun
waktu tertentu di masa depan. Perencanaan memerlukan organisasi. Pandangan
tradisional menekankan bahwa organisasi merupakan wadah yang menampung berbagai
komponen dan aktivitas perusahaan secara melembaga. Jika fungsi organisasi
diselenggarakan berdasarkan pandangan yang tradisional, manajemen puncak sudah
dihadapkan pada tugas memahami cirri-ciri berbagai tipe dan struktur organisasi yang
sudah lama dikenal dan kemudian memilih struktur yang dianggap paling tepat, yang
menjamin kelancaran pelaksanaan kegiatan dalam perusahaan yang bersangkutan.
Keterampilan Memimpin Sebagai Sasaran Audit Kinerja Manajerial
Audit kinerja manajerial dengan kepemimpinan sebagai objeknya ialah rumus yang
mengatakan bahwa produktivitas suatu organisasi termasuk organisasi bisnis terwujud
karna penggabungan kepemimpinan yang efektif dan pelaksanaan semua kegiatan
operasional dengan efisien, efektivitas kepemimpinan tercermin dalam berbagai hal
seperti:
a. Kemahiran menetukan tujuan yang layak dan mungkin dicapai
b. Kemampuan menentukan berbagai sasaran dengan tepat
c. Kemampuan merumuskan dan menentukan strategi baik dalam arti strategi induk,
strategi dasar atau strategi fungsional dan strategi operasional.
d. Memilih dan menetapkan filsafat bisnis yang dianut
e. Keterampilan menyelenggarakan berbagai fungsi manajerial
f. Ketangguhan menghadapi tantangan termasuk mengatasi krisis
g. Kejelian melihat dan memanfaatkan peluang yang timbul
h. Kehandalan dalam menumbuhkan dan memelihara kultur organisasi
i. Kecekatan menggunakan gaya kepemimpinan yang situasional
j. Pemilikan visi tentang masa depan yang diinginkan
Kesemuanya itu dilakukan secara bertanggung jawab dalam arti moral, etika dan legal.
Sering ditekankan bahwa manajemen berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang benar,
sedangkan pada tingkat pelaksanaan karyawan berkewajiban untuk menyelesaikan
tugasnya dengan cara-cara yang tepat.
Kelompok manajer dalam setiap organisasi memainkan peranan yang sangat menetukan.
Mereka menjadi pemain utama dan kunci dengan peranan yang sangat strategic. Karena
itu, agar audit kinerja manajerial berhasil mengungkap informasi tentang efektif tidaknya
kepemimpinan para manajer dalam perusahaan, audit kinerja harus memahami berbagai
teori tentang kepemimpinan, karena konsep-konsep yang terdapat dalam teori itulah yang
dijadikan sebagai bahan pembanding.
Teori kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Teori kepemimpinan yang menyoroti cirri-ciri kepemimpinan yang efektif
b) Teori dengan sorotan perhatian yang ditunjukkan pada perilaku dan gaya manajerial
c) Teori yang menekankan pentingnya pendekatan situasional dalam menerapkan
kepemimpinan.
(Brigita Lahutung, 07301541, Manajemen Keuangan)
BAB III. PENUTUP
KESIMPULAN
Kelompok manajemen dalam suatu organisasi, termasuk perusahaan merupakan pemain
kunci dalam seluruh aspek kehidupan organisasi atau perusahaan yang dipimpinnya, pada
tingkat yang dominan, berhasil tidaknya organisasi atau perusahaan meraih kemajuan
dalam berbagai bentuk dan manifestasinya ditentukan oleh kinerja mereka. Sebaliknya
kegagalan atau kekurangberhasilan perusahaan mencapai tujuan dan berbagai sasarannya
harus dilihat sebagai kegagalan atau ketidakberhasilan kelompok manejemen puncak
untuk menampilkan kinerja yang memuaskan yang menuntut pertanggungjawaban.
Memang benar bahwa manajemen, terutama manajemen puncak tidak mengerahkan
kemampuan, penetahuan, keterampilan, waktu dan tenaga mereka untuk hal-hal yang
sifatnya teknis operasional, tetapi untuk kepentingan yang lebih strategis. Pada tingkat
tertentu kelompok manajemen harus memperhatikan hal-hal yang bersifat teknis dan
operasional itu, karena manajemen merupakan kiat untuk memperoleh hasil dalam rangka
pencapain tujuan melalui orang lain.
Dengan perkataan lain meskipun mengelolah suatu perusahaan tidak dapat dilakukan
dengan pendekatan yang dikotonis dalam arti menggunakan pendekatan manajemen vis a
vis pelaksana kegiatan teknis dan operasoinal seolah-olah kepentingan mereka merupakan
dua hal yang mutually exclusive sehingga dapat diterima sebagai suatu kebenaran ilmiah
apabila dikatakan bahwa prokduktivitas suatu organisasi merupakan hasil positif dari
penggabungan dari efektivitas manajerial dan efisiensi operasional. Dari sudut pandang
demikianlah pentingnya audit kinerja manajerial harus dilihat artinya jika manajemen
menyambut baik pelaksanaan audit berbagai bidang fungsional yang akan dibahas dalam
bab-bab tersendiri mereka harus menunjukan sikap yang sama terhadap pelaksanaan audit
kinerja manajerial meraka sendiri.
Dengan demikian, ada tiga aspek yang bermuara pada kinerja manajerial yang dapat dan
harus dijadikan sebagai sasaran audit kinerja manajerial adalah :
1). Kemampuan manajerial memainkan perannya
2). Ketangguhan manajemen menyelenggarakan berbagai fungsi manajerial
3). Keterampilan memimpin perusahaan yang dihadapkan kepada berbagai tantangan, baik
yang sifatnya eksternal maupun internal.
(Brigita Lahutung, 07301541, Manajemen Keuangan)
DAFTAR PUSTAKA
Rumawir, J. 2010. Buku Ajar MANAJEMEN AUDIT. Manado. Jurusan Ekonomi Manajemen,
FEKON UNIMA
http://idtesis.blogspot.com/2008/03/audit-kinerja-pada-organisasi-sektor.html
http://www.scribd.com/doc/43621082/Audit-Kinerja-Manajerial
elearning-1.esaunggul.ac.id/mod/resource/view.php?id=57012
http://www.ebookgg.com/au/audit-kinerja-manajerial-book.pdf
Ditulis dalam Manajemen Audit
Tags: Audit, kinerja manajerial
Permalink Tinggalkan Komentar

15OKT / 2012

Proses Audit Kinerja
Proses Audit Kinerja
Brigita Lahutung
Bab ini akan menjelaskan proses audit kinerja scr umum, dg sistematika:
1. struktur audit kinerja
2. tahapan audit kinerja
3. kriteria atau indikator yang menjadi tolok ukur audit kinerja.
Untuk mencapai tujuan organisasi diperlukan penjabaran strategi dlm bentuk program
atau aktivitas.
STRUKTUR AUDIT KINERJA
Pd dasamya, struktur audit adl sama, hal yg membedakan adl spesific tasks pd tiap tahap
audit yg menggambarkan kebutuhan dr masing-masing audit.
Scr umum, struktur audit terdiri atas:
1. Tahap-tahap audit
2. Elemen masing-masing tahap audit
3. Tujuan umum masing-masing elemen &
4. Tugas-tugas ttt yg diperlukan utk mencapai setiap tujuan
Audit kinerja mrp perluasan dr audit keuangan dlm hal tujuan & prosedumya. Berdasarkan
kerangka umum struktur audit di atas, dpt dikembangkan struktur audit kinerja yg terdiri
atas:
1. familiarization and planning phase
2. audit phase
3. reporting phase
4. follow-up phase
TAHAP PENGENALAN & PERENCANAAN
Tahap pengenalan & perencanaan terdiri dr dua elemen:
1. survei pendahuluan, bertujuan utk menghasilkan research plan yg detail yg dpt
membantu auditor dlm mengukur kinerja
2. review SPM, bertujuan utk mengembangkan temuan berdsrkan perbandingan antara
kinerja & kriteria yg telah ditetapkan sblmnya.
Preliminary Survey
Auditor akan berupaya utk memperoleh gambaran yg akurat ttg lingkungan organisasi yg
diaudit, terutama berkaitan dg
1. struktur & operasi organisasi
2. lingkungan manajemen
3. kebijakan, standar & prosedur kerja
Deskripsi tsb akan membantu auditor utk:
1. menentukan tujuan audit & rencana audit scr detail
2. memanfaatkan sumber daya yg ada utk hal-hal yg sifatnya material
3. mendisain tugas scr efisien & menghindari kesalahan
Control System Review
1. Pd audit keuangan, audit dimulai dg review & evaluasi thdp SPI terutama yg berkaitan dg
prosedur akuntansinya
2. Pd audit kinerja, auditor hrs menelaah SPM utk menemukan kelemahan pengendalian yg
signifikan agar menjadi perhatian manajemen & utk mettkan luas, sifat & waktu pekerjaan
pemeriksaan berikutnya
3. SPM memberikan gambaran ttg metoda & prosedur yg digunakan oleh organisasi utk
mengendalikan kinerjanya
4. Pengendalian manajemen bertujuan utk memastikan bhw tujuan organisasi dicapai scr
ekonomis, efisien, & sesuai dg hukum & peraturan yg berlaku.
Tiga langkah prosedur audit yg dilakukan pd review sistem pengendalian:
1. Menganalisis sistem manajemen organisasi
2. Membandingkannya dg model yg ada.
3. Mencatat dugaan thdp setiap ketidakcocokan/ketidaksesuaian
Pertanyaan yg diajukan auditor pada tahapan ini:
1. Apakah organisasi membuat perencanaan yg cukup? Apakah strategi utk mencapai
tujuan telah ditetapkan? Apakah standar pencapaian tujuan juga telah ditetapkan?
2. Apakah organisasi sudah terstruktur dengan baik untuk menjalankan aktivitasnya?
Apakah sumber daya sudah tersedia dan terdistribusi dengan baik?
3. Apakah rencana sudah dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab
untuk melaksanakan?
4. Apakah kinerja telah dimonitor dengan menggunakan dasar/kriteria yang pasti? Apakah
penyimpangan dari rencana semula diidentifikasi dan dianalisis dengan hati-hati? Apakah
tindakan koreksi yang tepat waktu telah dilaksanakan?
Kriteria penilaian reliabilitas data dibagi dalam dua area, yaitu:
1. Proses pengumpulan, perhitungan, dan pelaporan data
a. Prosedur yang ada didisain untuk memastikan fairness, dependability, & reliability data.
b. Terdapat pengendalian dalam proses pengumpulan dan penghitungan data untuk
memastikan integritas data.
c. Pengendalian yang telah ditetapkan sudah dijalankan.
d. Terdapat dokumentasi yang memadai untuk menentukan integritas data.
2. Kecukupan pelaporan data
a. Data yang dikumpulkan dan dihitung, dibuat dengan dasar yang konsisten dengan tahun
sebelumnya
b. Kewajaran dan reliabilitas data disajikan dengan kriteria tertentu
Audit pada tahap pengenalan dan perencanaan mempersiapkan dokumen:
1. Analitical memorandum berisi identifikasi kelemahan yang material dalam sistem
pengendalian manajemen dan pembuatan rekomendasi untuk perbaikan atas kelemahan
tersebut
2. Planning memorandum dibuat berdasarkan hasil review sistem pengendalian untuk
menentukan sifat, luas, dan waktu pekerjaan audit berikutnya
Indikator kinerja dapat membantu pemakai laporan dalam menilai kinerja organisasi yang
diaudit.
TAHAPAN AUDIT
Tahapan dalam audit kinerja terdiri dari tiga elemen, yaitu:
1. program results review
2. economy and efficiency review
3. compliance review
Komponen audit adalah
1. identifikasi lingkungan manajemen
2. perencanaan dan tujuan
3. struktur organisasi
4. kebijakan dan praktik
5. sistem dan prosedur
6. pengendalian dan metodanya
7. sumber daya manusia dan lingkungan fisik
8. praktik pengelolaan staf
9. analisis fiskal
10. area khusus investigasi
TAHAPAN PELAPORAN
Laporan tertulis bersifat permanen dan sangat penting untuk akuntabilitas publik. Hal
terpenting bahwa laporan tersebut dapat dipahami oleh pihak-pihak yang menerima dan
membutuhkan.
Tiga langkah pengembangan laporan audit, yaitu:
1. preparation
2. review
3. transmission
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan laporan adalah:
1. laporan audit kinerja harus ditulis secara objektif
2. auditor tidak boleh overstate
3. informasi yang disajikan harus disertai suatu bukti yang kompeten
4. auditor hendaknya menulis laporan secara konstruktif, memberikan pengakuan
terhadap kinerja yang baik maupun yang buruk
5. auditor hendaknya mengakomodasi usaha-usaha yang dilakukan oleh manajemen untuk
memperbaiki kinerjanya
Keahlian yang perlu dimiliki dan dikembangkan oleh auditor agar menghasilkan laporan
yang efektif adalah:
1. Keahlian teknis
Keahlian yang dibutuhkan untuk mengorganisasikan atau menyusun informasi audit
menjadi sebuah laporan yang koheren
2. Keahlian manajerial
Keahlian yang dibutuhkan untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan
mengendalikan masing-masing tahap audit untuk memastikan hasil akhir yang berkualitas
dan tepat waktu.
3. Keahlianinterpersonal
Keahlian untuk menjaga hubungan baik dengan auditee, kemampuan untuk menyampaikan
temuan-temuan negatif menjadi kesempatan-kesempatan positif sehingga mampu
meyakinkan manajemen atas potensi-potensi yang ada.
Kekhususan laporan audit kinerja terletak pada rekomendasi untuk perbaikan
Sistematika laporan audit kinerja, terdiri atas:
I. Pendahuluan
a. Umum
b. Surat pengiriman atau memorandum
c. Laporan ringkasan
d. Daftar isi laporan secara keseluruhan
e. Daftar tabel dan gambar
II. Teks
a. Pendahuluan
b. Body atau badan, mencakup:
1) Pengantar masalah (jika perlu)
2) Temuan-temuan
3) Kesimpulan dan rekomendasi
c. Komentar auditee
III. Referensi Masalah
a. Footnotes
b. Lampiran
c. Bibliografi
d. Komentar auditee (jika tidak dimasukkan ke dalam teks)
e. Bahan referensi
Langkah-langkah dalam mengembangkan sebuah laporan audit adalah:
1. Menyiapkan temuan-temuan secara individual
2. Mengumpulkan semua referensi yang diperlukan untuk mendukung teks
3. Menyiapkan teks
4. menyiapkan laporan inti
5. menyiapkan memorandum pengiriman laporan
Temuan audit merupakan building blocks laporan audit, maksudnya bahwa temuan audit
akan disajikan secara tertulis sesuai dengan permasalahan yang relevan dan material yang
ditemukan selama audit, yang mencakup argumen yang logis & komplit dan didukung oleh
bukti-bukti yang cukup.
TAHAP PENINDAKLANJUTAN (FOLLOW UP)
Tindak lanjut didisain untuk memastikan/memberikan pendapat apakah rekomendasi
auditor sudah diimplementasikan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap penindaklanjutan dari sisi auditor adalah:
1. Dasar untuk melakukan follow up adalah perencanaan yang dilakukan oleh pihak
manajemen
2. Pelaksanaan review follow up
3. Batasan review follow up
4. Implementasi rekomendasi
a. Implementasi oleh unit kerja
b. Implementasi oleh eksekutif
c. Peranan auditor dalam implementasi rekomendasi audit
Auditor hanya berperan sebagai pendukung
d. Peranan legislatif dalam implementasi rekomendasi audit
Merupakan otoritas tingkat akhir yang dapat mengambil tindakan implementasi
rekomendasi secara formal dengan mengadopsi peraturan, mosi, dlsb.
Beberapa pendekatan implementasi rekomendasi oleh legislatif yaitu
1. Tindakan legislatif secara formal
2. Tindakan legislatif secara informal
3. Tindakan legislatif melalui anggaran
4. Pemeriksaan kembali secara periodik
(Brigita Lahutung, 07301541, Manajemen Keuangan)
Ditulis dalam Manajemen Audit
Tags: proses audit
Permalink Tinggalkan Komentar
about.me

Brigita Julianti Lahutung
It is Me, Myself and I..

Tweet Me.. ^_^
Home..homee..homeee.. I just wanna go hooooooome, :'( 23 hours ago
Bawahan dilarang membela diri.. Ternyata masih berlaku juga 'pasal 1' itu,
(_) #Sucks1 day ago
Happy Wedding Pak Leonardo Simamarmata, Kepala Tata Usaha PT. Usaha Sawit Unggul, Asian
Agri Group. Papan... fb.me/37tCbg5d3 3 days ago
Begadang sampe midnight for mo bungkus anak serani yg nun jauh di mata p kado tahun baru..
() #fb 1 week ago
'Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang
demikianlah yang berkenan kepada Allah.' (Ibrani 13:16) 1 week ago
Follow @gita_july
Search

Tulisan Terkini
Asian Agri (Training OJT) Agustus 18, 2013
Asian Agri (Training) Agustus 18, 2013
Asian Agri (Join) Agustus 18, 2013
Asian Agri (Introduction) Oktober 25, 2012
Job Seeker Part 2 Oktober 24, 2012
Arsip

Kategori

Manajemen Audit (3)

Meta
Daftar
Masuk
RSS Entri
RSS Komentar
Blog pada WordPress.com.
Blog pada WordPress.com. | Tema: Pink Touch 2 oleh WordPress.com.
Ikuti
Follow Gita Lahutung's Blog
Get every new post delivered to your Inbox.
Bergabunglah dengan 225 pengikut lainnya.
Sign me up

Powered by WordPress.com
Bagi sebuah perusahaan, maka unsur Sumber Daya Manusia saat ini bukan hanya sebagai unsur biaya,
namun sebagai unsur Human Capital. Banyak perusahaan yang tetap eksis karena memperhatikan
tentang unsur SDM ini. Perusahaan saat ini telah menyadari unsur pentingnya SDM ini untuk kelanjutan
organisasi, dan dalam menyiapkan kadernya, ada berbagai pendekatan yang digunakan.
Secara umum ada dua pendekatan yang dapat dilakukan oeh organisasi dalam menyiapkan kadernya, yakni
pendekatan build atau buy. Build kependekan dari build from within, yaitu lebih menekankan
pencetakan kader dari dalam perusahaan. Perusahaan yang build oriented akan merekrut kadernya di
tingkat bawah, yang selanjutnya melalui pendidikan dan pelatihan, dipersiapkan untuk suatu ketika dapat
menduduki jenjang jabatan sampai yang paling tinggi.
Sementara, buy, adalah singkatan dari buy from outside, yaitu pendekatan yang mengutamakan perekrutan
kader dari luar perusahaan. Perusahaan yang buy oriented akan merekrut kader, bahkan sampai
jajaran Top Management, dari luar perusahaan. Pada umumnya dalam merekrut kader dari luar ini,
perusahaan menggunakan para head hunter.
Dari kedua hal tersebut, tentunya ada sisi positif dan negatifnya. Namun yang perlu dipahami adalah, bahwa
bisnis di saat sekarang dan yang akan datang menghadapi tantangan, yang akan memperberat usaha
mewujudkan usaha yang kompetitif, karena terjadi perubahan yang sangat cepat. Tantangan itu akan
mengakibatkan:
1. Persaingan bisnis menjadi semakin berat dan tajam, dengan mengarah pada bisnis global, karena
isu-isu bisnis internasional semakin besar pengaruhnya pada bisnis lokal dan internasional.
2. Bisnis lokal dan internasional semakin kuat keterikatannya pada peraturan dan ketentuan
perundang-undang an untuk memberikan identitas bisnis yang memberikan manfaat besar, tidak
saja kepada organisasi, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa dan negara masing2.
3. Semakin berkembangnya isu sosial politik global yang berpengaruh pada kegiatan bisnis secara
operasional.
Dengan demikian dunia bisnis memerlukan kemampuan untuk memahami, menerima dan menyesuaikan diri
dengan berbagai pergeseran dan perubahan lingkungan/iklim bisnis, melalui manajemen SDM yang mampu
menghargai martabat dan harkat manusia. Dalam pendekatan SDM berarti semua dan setiap organisasi
harus mampu menciptakan rasa aman dan kepuasan dalam bekerja (Quality of Work Life disingkat QWL),
agar SDM dilingkungannya menjadi kompetitif.
Dalam QWL ada 9 aspek pada SDM dilingkungan perusahaan yang perlu diciptakan, dibina dan
dikembangkan, sebagai berikut:
a. Dilingkungan setiap dan semua perusahaan, pekerja sebagai SDM memerlukan komunikasi yang
terbuka dalam batas-batas wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Komunikasi yang
lancar untuk memperoleh informasi-informasi yang dipandang penting oleh pekerja dan
disampaikan tepat pada waktunya, dapat menimbulkan rasa puas dan merupakan motivasi kerja
yang positif. Informasi dapat disampaikan langsung melalui bentuk pertemuan, atau melalui
pertemuan kelompok, dapat pula melalui sarana publikasi perusahaan, seperti papan buletin,
majalah perusahaan dll.
b. Setiap dan semua pekerja memerlukan pemberian kesempatan pemecahan konflik dengan
perusahaan atau sesama karyawan, jujur dan adil. Untuk itu perusahaan perlu mengatur cara
penyampaian keluhan secara terbuka atau melalui proses pengisian formulir khusus.
c. Setiap dan semua karyawan memerlukan kejelasan pengembangan karir masing-masing dalam
menghadapi masa depannya. Untuk itu dapat ditempuh melalui penawaran untuk memangku
suatu pekerjaan/jabatan, memberi kesempatan mengikuti pelatihan atau pendidikan di luar
perusahaan atau pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Perlu ditempuh Penilaian Karya
untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya dalam bekerja yang dilakukan secara obyektif.
d. Setiap karyawan perlu diikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan
pekerjaan, sesuai dengan posisi, kewenangan dan jabatan masing-masing. Perusahaan dapat
membentuk tim inti dengan mengikut sertakan karyawan, dalam rangka memikirkan langkah-
langkah bisnis yang akan ditempuh.
e. Karyawan perlu dibina dan dikembangkan perasaan bangganya pada tempatnya bekerja,
termasuk juga pekerjaan dan jabatannya. Perusahaan berkepentingan menciptakan dan
mengembangkan identitas yang dapat menimbulkan rasa bangga karyawan pada perusahaan.
Dalam bentuk sederhana dapat dilakukan melalui logo, lambang, jaket perusahaan dll.
f. Setiap dan semua karyawan harus memperoleh kompensasi yang adil/wajar dan mencukupi.
Untuk itu diperlukan kemampuan menyusun, menyelenggarakan sistem dan struktur pemberian
kompensasi langsung, serta tidak langsung yang kompetitif, dan menyejahterakan kehidupan
karyawan sesuai posisi/jabatannya di perusahaan dan status sosial di masyarakat.
g. Setiap dan semua karyawan memerlukan keamanan lingkungan kerja. Perusahaan berkewajiban
menciptakan dan mengembangkan, serta memberi jaminan lingkungan kerja yang aman.
h. Setiap atau semua karyawan memerlukan rasa aman atau jaminan kelangsungan pekerjaannya.
i. Setiap atau semua karyawan memerlukan perhatian terhadap pemeliharaan kesehatannya, agar
dapat bekerja secara efektif, efisien dan produktif.
Dalam bisnis global kerap kali mengharuskan industri mengalihkan atau mengganti bidang bisnisna, bukan
saja karena tidak kompetitif, tetapi juga disebabkan produknya tak sesuai lagi dengan perkembangan
keinginan dan kebutuhan konsumen global. Dalam keadaan seperti itu, dilihat dari segi SDM perlu diambil
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mempertahankan personil kunci yang memiliki kemampuan bisnis tinggi
2. Memprogramkan penyesuaian kemampuan tenaga kerja dengan bisnis baru, terutama jika
diintroduksikan penggunaan teknologi baru
3. Menyelesaikan masalah-masalah sosial yang timbul, terutama jika terdapat sejumlah tenaga kerja
yang tidak dapat ditempatkan dalam reorganisasi berdasarkan bisnis baru
4. Diperlukan usaha memilih dan menempatkan para manager yang profesional dalam menghadapi
bisnis global yang penuh tantangan.
Keempat langkah untuk mengantisipasi perubahan terhadap bidang bisnis, tak boleh mengabaikan
ketentuan perundang-undangan, agar tak menimbulkan masalah yang merugikan.
Totalitas Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen SDM bukan komponen yang berdiri sendiri dilingkungan sebuah industri atau perusahaan.
Manajemen SDM pada dasarnya merupakan penunjang bagi komponen utama perusahaan berupa strategi
bisnis perusahaan, baik strategi jangka panjang, jangka sedang maupun jangka pendek.
Strategi Bisnis Jangka Panjang sebagai acuan utama strategi Manajemen SDM pada dasarnya memuat
komponen-komponen sbb:
1. Rumusan Filsafat Perusahaan
Komponen ini berisi nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan utama bagi perusahaan yang
melakukan kegiatan bisnis. Norma-norma ini memberikan gambaran tentang dasar dari eksistensi
perusahaan
2. Rumusan tentang identitas, tujuan dan sarana perusahaan
Komponen ini memuat tentang identitas berupa penegasan dari Misi yang dijalankan perusahaan.
Penegasan itu secara konkrit akan menggambarkan bidang bisnis utama yang dipilih dan ditekuni
perusahaan. Selanjutnya perlu dirumuskan tujuan utama bisnis yang akan dijelajahi, yang harus dijabarkan
menjadi sasaran2 yang dikaitkan dengan interval waktu untuk mencapainya. Dengan demikian akan terlihat
volume dan beban kerja, yang akan mempermudah dalam menyusun struktur organisasi perusahaan berupa
unit2 kerja, baik secara vertikal maupun horisontal.
3.Evaluasi kekuatan dan kelemahan
Komponen ini memuat hasil evaluasi mengenai kekuatan yang dimiliki untuk mensukseskan bisnis
perusahaan, sekaligus juga mengenai kelemahan atau keterbatasan yang dihadapi perusahaan dalam
menjalankan bisnisnya.
4.Merumuskan desain pembidangan dan pembagian kerja
Komponen ini berisi penetapan unit kerja-unit kerja sehingga dihasilkan struktur organisasi, yang jelas
volume dan beban kerja yang harus dilaksanakannya. Demikian juga jelas hubungannya satu dengan yang
lain dalam rangka mencapai sasaran dan mewujudkan misi organisasi
5. Pengembangan strategi
Komponen ini berisi tentang cara mencapai tujuan secara bertahap dan cara menilai/mengukur tingkat
pencapaiannya, tidak saja secara kuantitatif, tetapi juga kecepatannya dalam arti tingkat ketepatannya
dilihat dari segi waktu.
6.Penjabaran program
Komponen ini tentang program setiap unit kerja, dan cara menilai tingkat efektivitas pelaksanaannya.
Selain komponen tsb, dalam strategi bisnis sebuah perusahaan, juga dimuat uraian tentang kondisi
lingkungan/iklim bisnis yang dihadapi, untuk mempersiapkan usaha mengantisipasinya jika diperlukan,
dalam rangka mengatasi atau mengurangi hambatan-hambatan. Pada tahap berikutnya, manajemen SDM
harus diintegrasikan dengan strategi bisnis tsb, karena sifatnya sebagai penunjang utama, bagi berhasilnya
perusahaan mencapai tujuannya.
Untuk itu strategi manajemen SDM harus memuat unsur-unsur sbb:

Strategi Manajemen Sumber Daya Manusia
Dari tulisan di atas dapat disimpulkan, agar perusahaan tetap eksis, maka Manajemen harus membuat
Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia jangka panjang, yang melibatkan juga unsur-unsur lainnya,
serta tak bisa berdiri sendiri-sendiri.
Sumber Bacaan:
1. H. Hadari Nawawi. Manajemen Sumber Daya Manusia: untuk bisnis yang kompetitif. Gajah Mada
University Press: 2008. Bulaksumur, Yogyakarta, 55281
2. Goestiandi, Ekuslie. Menyiapkan Kader Macan atau Kuda. Kontan, No.1-XIV, 2-8 Oktober 2009,
hal. 21

Anda mungkin juga menyukai