NEGARA KEBANGSAAN MODERN Wawasan Kebangsaan dan Indonesia Masa Depan Susilo Bambang Yudhoyono
Menuju Negara Kebangsaan Modern
Wawasan Kebangsaan dan Indonesia Masa Depan Penulis : Susilo Bambang Yudhoyono Penerbit : Brighten Press Cetakan Pertama : Maret 2004 Cetakan Kedua : Mei 2004 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Menuju Negara Kebangsaan Modern Wawasan Kebangsaan dan Indonesia Masa Depan, penulis, Susilo Bambang Yudhoyono, cet. 2 Jakarta 65 + xii ; 11 x 15,5 cm ISBN : 979-96431-7-1 v MASALAH negara kebangsaan dan wawasan ke- bangsaan memang telah menjadi isu yang sangat pokok di Indonesia dewasa ini. Meski dampaknya tidak terlalu kasat mata sebagaimana dampak ma- salah-masalah ekonomi dan politik, namun justru pada soal negara kebangsaan dan wawasan kebang- saan inilah terletak inti masalah yang dihadapi Indo- nesia. Menyangkut negara kebangsaan, misalnya, pertanyaan yang sering muncul adalah: masih rele- vankah keberadaan negara kebangsaan? Sedangkan soal wawasan kebangsaan, banyak hal yang sekarang mengundang pertanyaan. Misalnya, soal cita-cita yang hendak dituju negara kebangsaan kita ini.Atau Pengantar penerbit vi pertanyaan yang menyangkut pijakan bersama yang dimiliki sebagai sebuah bangsa. Pendek kata, masa- lah negara kabangsaan dan wawasan kebangsaan adalah masalah visi, misi, dan tujuan. Tanpa ketiga- nya, tak ada bangsa yang sanggup bertahan dan menjadi bangsa besar di muka bumi ini. Brighten Institute melihat penulis memaparkan dengan gamblang dan inspiratif visi, misi, dan tujuan Indonesia ke depannya. Untuk itulah Brighten Institute memutuskan untuk menerbitkan paparan penulis menjadi berbentuk buku, dengan tujuan agar ide-ide yang disampaikannya bisa menjangkau publik yang lebih luas. Seperti diucapkan sendiri oleh penulis di akhir paparannya bahwa setelah me- ngemukakan inti pemikirannya, kini saatnya saya juga belajar dari seluruh warga bangsa, maka dari buku ini diharapkan lahirnya tukar gagasan yang se- gar dan kreatif mengenai masalah wawasan kebang- saan: masalah yang bukan cuma menyangkut eksis- tensi diri kita sekarang ini, melainkan yang terpen- ting justru eksistensi kita dan anak-cucu kita di masa depan. Brighten Institute vii BANGSA Indonesia sedang menghadapi tahapan yang sangat penting dalam perjalanan sejarahnya. Berbagai perubahan yang bersifat internal maupun eksternal tidak dapat dipungkiri akan berpengaruh pada tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Masa depan bangsa Indonesia akan ditentukan oleh sikap, keputusan, dan tindakan kita dalam menyikapi ber- bagai perubahan tersebut. Pengalaman bangsa sela- ma menghadapi masa krisis multi-dimensi, yang di- awali oleh krisis moneter, menyiratkan pentingnya pemahaman yang benar tentang wawasan kebangsa- an kita serta arah perjalanan bangsa ke depan. Pemahaman wawasan kebangsaan yang benar Prakata Penulis viii merupakan syarat keharusan untuk dapat mengelo- la perubahan agar mampu menghasilkan bangun bangsa dan negara seperti yang kita cita-citakan bersama. Perubahan lingkungan internal dan eks- ternal yang dihadapi suatu bangsa senantiasa memi- liki aspek positif maupun negatif. Ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan oleh adanya perubahan itu. Tanpa adanya pemahaman wawasan kebangsaan yang benar, perubahan ling- kungan tersebut akan sulit dikelola dan dimanfaat- kan sebaik-baiknya bagi kemajuan bangsa dan negara. Perubahan merupakan suatu keniscayaan bagi setiap bangsa. Namun bagaimana bangsa tersebut menghadapi perubahan, di sanalah letak perbedaan bangsa yang maju dengan bangsa yang terus ter- tinggal dan terbelakang. Suatu bangsa akan lebih mudah menghadapi dan mengelola perubahan apa- bila telah ada pengertian dan pemahaman yang benar dalam wawasan kebangsaannya. Tulisan ring- kas ini memang dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang wawasan kebangsaan yang sangat penting bagi perjalanan hidup bangsa Indonesia ke masa depan. ix Wawasan kebangsaan bukanlah sesuatu yang bersifat statis dan tak berubah dari waktu ke waktu, sebaliknya ia bersifat dinamis. Namun bukan berarti juga wawasan kebangsaan tersebut dapat diubah- ubah sekehendaknya. Seperti halnya bangun suatu rumahtangga, ada bagian yang tidak mudah untuk diubah dan ada bagian yang relatif mudah berubah. Komitmen untuk hidup bersama dan saling menya- yangi dan mengasihi merupakan landasan yang seharusnya tetap menjiwai perjalanan rumahtangga. Di atas landasan yang kokoh inilah rumahtangga mengarungi suka-duka kehidupan, dan dalam per- jalanannya ada berbagai hal yang berubah. Satu hal yang tetap adalah komitmen anggota rumahtangga untuk hidup bersama saling mengasihi, dan ini di- wujudkan dalam menghadapi perubahan-perubah- an yang terjadi. Perjalanan bangsa Indonesia ke depan, menurut hemat saya, seharusnya juga tetap berlandaskan pada komitmen bersama seperti tertuang dalam Dasar Negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Ber- bagai perubahan yang terjadi hendaknya dihadapi dengan sikap yang bijaksana. Perjalanan sejarah ke- bangsaan Indonesia dan nilai-nilai dasar kebangsaan x perlu tetap menjadi acuan dalam menyikapi peru- bahan. Hanya dengan cara inilah kita dapat selamat dan membangun bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan modern. Selanjutnya saya ingin mengucapkan terima ka- sih kepada para scholars Brighten Institute -ter- utama kepada Saudara Joyo Winoto, Ph.D.yang membantu mengolah paparan yang saya sampaikan dalam sebuah seminar tentang masalah kebangsaan di Lemhanas menjadi sebuah buku. Selain itu saya berterima kasih kepada saudara Aziz Ahmadi, Kurdi Mustofa, M. Jauhar Arifin, dan juga Ronny Agus- tinus dari Brighten Institute yang telah membantu merakit dan merancang sampul buku serta meng- urus pencetakannya. Akhir kata, saya persembahkan buku ini kepada segenap rakyat Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono xi Pengantar Penerbit v Prakata Penulis vii Pendahuluan 1 Negara Kebangsaan dan Wawasan Kebangsaan 10 Acuan Pemikiran Negara Kebangsaan 10 Masalah Wawasan kebangsaan 13 Tujuan Negara Kebangsaan Indonesia 22 Nilai-Nilai Dasar yang Melandasi Tujuan Negara 22 Konstruksi Indonesia Masa Depan 25 Tantangan dan Ancaman Potensial 36 Langkah dan Agenda Ke Depan 57 Penutup 64 Daftar Isi 1 MENGEMBANGKAN negara kebangsaan Indo- nesia yang berkelanjutan merupakan tugas terbesar yang kita hadapi pasca kemerdekaan. Ia merupakan inti perjuangan generasi-generasi pasca kemerde- kaan: generasi 45, generasi 66, generasi 78, generasi 98, dan generasi-generasi yang akan datang. Yang dimaksud dengan negara kebangsaan di sini sejalan dengan arti kata nation-state yang sering- kali diterjemahkan sebagai negara kebangsaan, ne- gara-nasional atau negara bangsa. Sedangkan pe- ngertian negara kebangsaan mengacu pada penger- tian negara kebangsaan sebagaimana dinyatakan oleh Bung Karno dalam pidato tentang Pancasila Pendahuluan 2 tanggal 1 Juni 1945. Di sana dinyatakan bahwa ke- bangsaan kita adalah dalam pengertian nationale staat, suatu sistem kebangsaan yang terikat pada ta- nah air Indonesia. Sementara itu saya mengartikan negara kebang- saan Indonesia yang berkelanjutan sebagai a sus- tainable Indonesia. Dalam pengertian ini maka negara kebangsaan Indonesia dimaknai secara lebih dinamis, tetapi tanpa mengkompromikan prinsip- prinsip dasar dan konsensus dasar pendirian negara kita. Artinya, perjalanan kenegaraan harus menyan- darkan diri pada proses kesejarahannya. Tetapi ber- samaan dengan itu tetap memiliki ketajaman dan kecerdasan kolektif untuk memposisikan negara dalam perspektif kekinian serta dengan arahan masa depan yang jelas. Oleh karena itu kita harus cerdas untuk me- mosisikan negara kita dalam percaturan dunia tanpa harus mengorbankan kepentingan-kepentingan dasar dari rakyat, bangsa, dan negara kita. Pertanya- annya, kapan kita mampu bersikap dan berbuat se- macam ini? Hal ini mungkin terjadi jika wawasan kebangsaan kita bersifat inklusif, dalam pengertian terbuka dan memiliki kesanggupan menyatukan 3 atau mempersatukan.Tentu menyatukan dan mem- persatukan dalam pengertian yang dinamis, sebagai- mana tercermin dari makna kata Bhinneka Tung- gal Ika. Dalam konteks ini maka wawasan kebang- saan kita harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai universal kemanusiaan dan nilai-nilai dasar serta kontemporer yang berkembang dalam masyarakat kita sendiri. Untuk itu kita harus berjuang menjadikan ne- gara kita negara yang kuat dan terhormat. Negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya secara berkeadilan sehingga nilai-nilai kemanusiaan tum- buh subur dalam kehidupan kebangsaan dan ke- rakyatan kita. Dan dalam negara yang seperti itu kita akan mampu berperan secara aktif dalam per- caturan internasional dan regional dalam keseta- raan. Dalam situasi yang berkembang seperti itu maka kita akan mampu berperan aktif dalam per- caturan politik, ekonomi dan budaya internasional dan global. Bagaimanapun wujud negara kebangsaan yang berkelanjutan adalah cita-cita kemerdekaan. Lebih dari itu, ia bahkan mendasari perjalanan panjang perjuangan rakyat untuk memerdekakan diri dari 4 penjajahan. Kemudian ia juga mendasari konsensus bersama lahirnya negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam perjalanannya, negara kebangsaan yang berkelanjutan juga menjadi wahana aktualisasi nilai- nilai dan jati diri rakyat secara kolektif. Pendek kata, ia adalah inti perjuangan kita sejak masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Mengapa ia menjadi inti perjuangan? Ini karena kita berang- kat dari suatu keyakinan bahwa hanya dalam negara kebangsaan Indonesia yang berkelanjutanlah maka nilai-nilai, cita-cita, dan tujuan nasional dapat diwu- judkan. Meskipun hal itu dibarengi dengan suatu kesadaran bahwa proses perwujudannya mesti di- tempuh secara bertahap dengan melewati gelom- bang pasang naik dan pasang surut perkembangan negara dan bangsa. Oleh karena itu, perjuangan mengembangkan dan mewujudkan negara kebangsaan yang berke- lanjutan adalah perjuangan berat. Bobotnya tidak kalah beratnya dengan perjuangan untuk memerde- kakan diri dari penjajahan. Perjuangan itu sendiri sekarang, antara lain, tergambar dari perjuangan un- tuk mempertahankan dan mengembangkan, ke- langsungan masyarakat Indonesia dalam wadah 5 negara kesatuan. Dan karena beratnya tantangan perjuangan, maka perjuangan itu menuntut refleksi dan pemaknaan yang dalam serta tak berkesudahan terhadap keseluruhan proses perjuangan kemerde- kaan negara dan bangsa. Tidak hanya itu. Ia juga menuntut kemampuan dan kapasitas yang terus berkembang untuk mewu- judkan tujuan dan cita-cita. Kemampuan pengelo- laan dan sensitivitas kebatinan yang tinggi atas re- alitas kehidupan masyarakat yang masih jauh dari kemakmuran dan keadilan. Kemampuan meman- dang dan mengartikulasikan masa depan Indonesia yang terus berkembang. Begitu pula upaya tak ber- kesudahan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kebangsaan modern. Dan tentu saja kecer- dasan yang terus berkembang untuk menyikapi hubungan internasional dan global yang terus berubah. Perjuangan tersebut menjadi lebih berat lagi mengingat wawasan kebangsaan telah dan akan di- tentukan oleh lebih banyak lagi faktor. Ia tidak lagi sesederhana masa perjuangan kemerdekaan. Meski- pun ia masih terikat oleh akar sejarah dan nilai-nilai kolektif kita, tetapi lebih banyak lagi ditentukan 6 oleh kualitas proses dan hasil pembangunan yang telah dan akan dilakukan. Oleh sebab itu naik turunnya wawasan kebang- saan berkorelasi dengan kualitas proses dan hasil pembangunan yang dirasakan masyarakat. Wawasan kebangsaan tumbuh subur dalam alam pembangun- an yang memberdayakan dan memakmurkan secara berkeadilan. Sebaliknya wawasan kebangsaan akan mengering, menyempit dan meluruh bila pemba- ngunan berkembang sebaliknya: tidak member- dayakan dan tidak memakmurkan. Wawasan kebangsaan juga naik turun oleh fak- tor lain: globalisasi. Pengaruhnya terhadap perkem- bangan wawasan kebangsaan sangat besar. Di sam- ping globalisasi juga mempengaruhi kualitas proses dan hasil pembangunan. Interaksi antara kualitas pembangunan dan globalisasi pada gilirannya juga akan berpengaruh pada pemaknaan nilai-nilai, jati diri, dan konsensus kebangsaan. Sedangkan hasil pemaknaannya secara lebih lanjut berpengaruh ter- hadap perkembangan wawasan kebangsaan kita. Dinamis. Berkembang pesat. Berubah cepat. Itulah ciri-ciri lingkungan di mana upaya mewu- judkan Indonesia modern harus dimasuki. Padahal 7 kondisi masyarakat masih belum berkemakmuran secara berkeadilan. Sementara tantangan terus ber- ubah dan berkembang. Pada saat yang sama harapan masyarakat juga terus berubah dan berkembang. Konteks internasional pun terus berubah dan ber- kembang. Internasionalisasi nilai-nilai dan gaya hi- dup terus berlangsung. Semuanya ini pada akhirnya memberikan perspektif baru dalam menuju negara kebangsaan modern yang berkelanjutan. Semuanya itu menjadikan perjuangan pasca kemerdekaan menjadi lebih berat lagi. Namun de- mikian saya yakin, kita bisa dan mampu memper- juangkannya. Indonesia modern yang berkelanjutan pada saatnya pasti terwujud. Asalkan, perjuangan yang dilakukan tidak ahistoristidak terputus dari akar perjalanan sejarah. Juga, perjuangan yang di- lakukan diletakkan dalam perspektif masa depan yang jelas. Perjuangan berat yang disebutkan di atas akan lebih mudah dilakukan jika ia diletakkan dalam ke- rangka berpikir interaktif dari empat hal berikut, yang keseluruhannya dipandu oleh sistem nilai his- toris yang kita miliki. Keempat hal interaktif terse- but adalah : 8 a. perjalanan sejarah bangsa Indonesia dengan nilai-nilai dasar kebangsaan yang akan menjadi acuan; b. interaksi internasional yang melahirkan nilai- nilai kontemporer yang terus berkembang dan terus berubah; c. kondisi kehidupan masyarakat yang masih be- lum berkemakmuran dan masih belum tertata dalam suatu sistem yang berkeadilan sejak sebe- lum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan; dan d. pengaruh globalisasi dan arah perkembangan globalisasi ke depan. Dengan keempat pertimbangan ini maka kita tidak perlu reaktif atas realitas kenegaraan, kebang- saan, dan kemasyarakatan yang berkembang. Begitu pula kita tidak perlu terkaget-kaget dengan ke- nyataan sosial yang terjadi. Justru melalui kerangka berpikir di atas, saya mengajak untuk secara bersama memahami realitas kehidupan yang terjadi dan secara bersama pula mengartikulasikan masa depan kita. Berikut uraian perspektif saya mengenai ke- bangsaan Indonesia modern. Termasuk penyikapan 9 saya terhadap berbagai isu kebangsaan dan kene- garaan yang berkembang. Apakah itu lahir akibat sikap konservatif, akibat realitas kehidupan masya- rakat yang belum berkemakmuran, maupun realitas kehidupan global yang sudah merubah makna- makna kedaulatan dalam kehidupan modern. Sete- lah itu akan saya ajukan agenda-agenda besar pem- bangunan menuju Indonesia modern berdasarkan prinsip dan pemikiran yang telah dikemukakan di atas. 10 Acuan Pemikiran Negara Kebangsaan KALAU dalam buku ini saya mengemukakan suatu konsepsi tentang negara kebangsaan, maka perta- nyaannya pertama adalah apa yang dimaksud de- ngan istilah negara kebangsaan. Lalu kedua, menga- pa saya memilih istilah negara kebangsaan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka saya perlu mengingatkan kembali kepada salah satu pidato Bung Karno yang paling terkenal, yaitu ten- tang Pancasila yang diucapkan pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidato tersebut, Bung Karno, antara lain mengemukakan: Ke sinilah kita semua harus menuju: Negara Kebangsaan dan Wawasan Kebangsaan 11 mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian Nationale Staat ini yang kemudian sering disebut dengan nation state, negara nasional, negara kebangsaan. Istilah yang dikemukakan oleh Bung Karno tersebut sebenarnya hasil dari mengkombinasikan definisi bangsa dari Otto Bauer dan Ernest Renan, dengan pandangan kebangsaan Ki Bagoes Hadikoe- soemo atau Tuan Munandar. Otto Bauer dan Ernest Renan, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Bung Karno, menekankan arti natie, nation atau bangsa lebih pada kehendak untuk hidup bersama. Sedangkan Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Tuan Munandar lebih menekan kepada persatuan antara orang dan tempat (catatan: Bung Karno pada waktu itu setengah ingat siapa persisnya yang mengemukakan: Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Tuan Munandar) Kombinasi dari definisi ini yang kemudian diadopsi sebagai pengertian dari negara kebangsaan. Ini dalam pengertian bahwa yang menjadi unsur penting dari berdirinya negara kebangsaan tidak saja karena adanya kesamaan kehendak untuk hidup ber- sama, tetapi juga adanya persatuan orang dan tempat. Oleh karena itu kalau saya mengemukakan istilah 12 negara kebangsaan, negara nasional, nation state, atau nationale staat, maka sesungguhnya yang dimaksud- kan adalah sama dengan apa yang pernah dikemu- kakan oleh Bung Karno tersebut. Dalam konteks ini maka bisa dikemukakan bahwa yang mengikat kita menjadi sebuah bangsa sekarang ini, menjadi bangsa Indonesia, adalah kita memiliki konsensus masa kini dan kita ingin hidup bersama di masa depan. Sedangkan sistem kebang- saan kita adalah suatu sistem kebangsaan yang ter- ikat pada tanah air Indonesia dan bukan suatu sis- tem kebangsaan yang terikat pada suatu daerah atau suatu suku. Sejalan dengan apa yang sudah dikemukakan itu, saya juga ingin mengangkat definisi negara ke- bangsaan yang berkembang secara kontemporer. Misalnya, saya ambil satu pengertian seperti yang dikemukakan oleh Guibernau (1996). Menurutnya, bangsa adalah : a human group conscious of forming community, sharing a common culture attached to clearly demarcated territory, having a common past and a common proj- ect for the future and claiming the right to 13 rule itself.Thus nation includes five dimen- sions : psychological, cultural, territorial, political, and historical. Apa yang menarik dari definisi ini adalah kese- padanannya dengan pengertian yang diberikan oleh Bung Karno. Sebagaimana didefinisikan di situ, negara kebangsaan memiliki unsur-unsur penting pengikat, yaitu: psikologi (sekelompok manusia yang memiliki kesadaran bersama untuk memben- tuk satu kesatuan masyarakat adanya kehendak untuk hidup bersama), kebudayaan (merasa menja- di satu bagian dari suatu kebudayaan bersama), teri- torial (batas wilayah atau tanah air), sejarah dan masa depan (merasa memiliki sejarah dan perjuangan masa depan yang sama) dan politik (memiliki hak untuk menjalankan pemerintahan sendiri). Jadi da- lam negara modern dan dalam telaah kontemporer bangsa-bangsa, apa yang disampaikan oleh Bung Karno tentang negara kebangsaan ternyata masih sepenuhnya relevan. Masalah Wawasan Kebangsaan Selanjutnya mengenai masalah wawasan kebangsa- an. Ada dua hal yang perlu kita kemukakan sehu- 14 bungan dengan wawasan kebangsaan ini. Pertama, mengapa kita masih harus berbicara tentang wawas- an kebangsaan? Yang kedua, wawasan kebangsaan Indonesia seperti apa yang hendak dituju di masa depan? Pertanyaan ini penting dikemukakan agar kita tahu betul posisi diri sehingga tidak tersesat di dalam suatu rimba raya. Ketersesatan yang pada era transisi dan reformasi ini bisa menimbulkan berba- gai disorientasi dan ketidakpastian. Dalam kaitannya dengan hal ini saya ingin mengangkat satu fenome- na yang terjadi pada masa transisi, yaitu kesalahan berfikir atau fallacy. Selama ini banyak di antara kita, bahkan yang mengaku dirinya sebagai kaum reformis, memaknai reformasi itu hanya sebagai perubahan (change). Me- reka lupa bahwa sesungguhnya reformasi itu suatu proses, yang dalam proses tersebut selain harus dila- kukan suatu perubahan juga dipertahankan suatu keberlanjutan yang kita sebut dengan kesinambung- an (continuity). Rasa kebencian terhadap perkembangan masa lalu, yang tidak jarang disertai dengan fikiran-fikiran yang kelihatannya revolusioner, seringkali mendo- rong mencuatnya suatu anggapan bahwa semua hal 15 yang pernah ada di masa lalu sudah pasti usang, tidak reformis, dan karena itu, tidak diperlukan lagi. Sebagai gambaran, pada kurun tahun 1998-1999 dan 2000-2001, amat jarang diangkat kembali hal- hal yang berkaitan dengan persoalan: Ketahanan Nasional,Wawasan Kebangsaan, Hankamrata, Stabiltas Nasional, Persatuan Nasional, Kepentingan Nasional, Nasionalisme dan sebagainya. Persoalan-persoalan semacam itu seringkali dihubungkan dengan ga- gasan-gagasan yang berkembang di masa lalu. Se- hingga kalau kita mengemukakan persoalan-per- soalan seperti itu, mudah sekali dianggap tidak reformis, konservatif, sudah ketinggalan zaman dan kuno. Oleh karena itu juga dianggap tidak relevan lagi berbicara tentang masalah tersebut. Hal-hal se- perti inilah yang saya maksudkan sebagai fenomena kesalahan berfikir. Pukul rata bahwa semua yang berhubungan dengan masa lalu adalah salah, buruk, tidak diperlukan, dan tidak bermanfaat lagi untuk masa depan. Kita harus menyadari bahwa bagaimanapun re- formasi itu merupakan suatu proses. Proses menuju ke suatu perubahan yang diinginkan. Sedangkan perubahan itu sendiri pada hakikatnya juga meru- 16 pakan suatu proses. Sehingga untuk mencapai perubahan itu, tentu saja tidak akan ada jalan pintas. Kembali lagi perlu proses. Sedangkan proses (menu- ju perubahan) yang baik adalah paduan dari fungsi waktu dan pengelolaan yang benar dan tepat atas proses perubahan itu. Atas dasar pemahaman itu maka dalam menem- puh perjalanan reformasi, perjalanan menuju peru- bahan yang lebih baik, kita perlu terus menerus me- lakukan koreksi diri. Oleh karena itu dalam era ke- terbukaan, perubahan dan transisi ini jangan kehi- langan keyakinan diri. Lupa bahwa reformasi, bagai- manapun tetap membutuhkan suatu proses. Tetap harus melewati suatu perjalanan waktu, yang untuk sampai ke tujuan yang dikehendaki memerlukan proses. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita harus mengerti dan menyadari bahwa ada sejumlah sistem, tatanan dan doktrin yang pada prinsipnya harus tetap berlanjut sebagai bagian dari kesinam- bungan dalam reformasi. Sebaliknya untuk hal yang sama ada, tentu pula yang mesti dihapus, diganti atau pun dibuang. Selanjutnya, melengkapi pertanyaan pokok se- putar masalah wawasan kebangsaan sebagaimana di- 17 kemukakan di atas, ada enam kelompok pertanyaan kritis lanjutan yang perlu didialogkan dan dicari jawabannya. Enam kelompok pertanyaan kritis ini penting dikemukakan. Ini terutama untuk memacu mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan pokok di atas. Pertanyaan pokok yang mendasari masalah wawasan kebangsaan yang sedang kita hadapi ber- sama ini. Pertanyaan pokok yang jawabannya bisa bahan bagi upaya mereformulasi wawasan kebang- saan dalam kerangka kehidupan bernegara dalam jangka sekarang dan ke depan. Pertanyaan-perta- nyaan kritis itu, antara lain: Pertanyaan kritis pertama. Mengapa kita harus berbicara lagi tentang wawasan kebangsaan? Apakah ada ancaman dan juga degradasi terhadap- nya? Apakah perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara ini menyimpang dari nilai, jati diri dan konsensus dasar kebangsaan yang telah ditetap- kan oleh para pendiri republik? Pertanyaan kritis kedua. Apakah pemikiran dan debat yang muncul dalam era transisi dan refor- masi dewasa ini? Mari kita menengok perjalanan ke belakang sedikit, paling tidak hingga waktu enam tahun terakhir ini, suatu kurun yang disebut sebagai 18 era reformasi.Yang muncul secara menonjol adalah: (1) diskursus tentang amandemen UUD 1945; (2) perdebatan tentang pilihan negara federalisme versus unitarisme; (3) pemberian otonomi khusus untuk Aceh dan Papua; (4) gejala penguatan kembali pri- mordialisme dan gerakan sub-nasionalisme; (5) upaya untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta meskipun ini tidak dalam skala yang besar. Pemikiran dan debat yang muncul itu kemudi- an menimbulkan pertanyaan lanjutan, yaitu: apakah semua itu bisa menjadi ancaman terhadap wawasan kebangsaan dan keberlanjutan negara atau bangsa Indonesia di masa depan. Sebagai contoh, Aceh dan Papua, misalnya, telah memperoleh otonomi khu- sus. Hal seperti ini sudah dianggap solusi final, jalan politik yang terbaik, dan karena itu, tidak ada kamus merdeka bagi Aceh dan Papua. Meskipun begitu 2 - 3 tahun yang lalu muncul wacana politik yang hangat, apakah tidak terlalu jauh memberikan status sebesar itu (otonomi khusus)? Pertanyaan kritis ketiga. Apakah berkem- bangnya nilai-nilai universal dalam era gobalisasi memiliki pengaruh terhadap konsep wawasan ke- bangsaan? Nilai-nilai yang dianggap universal itu 19 misalnya seperti: demokrasi, HAM, lingkungan hidup, pasar terbuka, penegakan hukum (rule of law), konsep keamanan manusia (human security) dan in- tervensi kemanusiaan (humanitarian intervention), ser- ta teori kedaulatan yang baru. Misalnya saja, bagai- mana pengaruhnya terhadap wawasan kebangsaan ketika nasionalisme dianggap sudah tidak relevan lagi. Anggapan ini bisa saja muncul karena adanya penilaian bahwa faham nasionalisme sudah usang dan kuno, atau berdasarkan penilaian lain bahwa peran negara kebangsaan dalam siatem kesatuan du- nia (globalisasi) sudah merosot. Pertanyaan kritis keempat. Apakah kebang- kitan suatu kekuatan yang dalam istilah politik dise- but sebagai ultra-nasionalisme (yang serba curiga dan cenderung anti terhadap pihak asing) serta ultra-globalisme (yang cenderung memuja dan le- bih setia pada tatanan global), merupakan suatu ancaman? Sedangkan keduanya, baik ultra-nasional- isme dan ultra-globalisme, boleh dikatakan telah muncul dalam era transisi dan reformasi ini, yang pengaruhnya, sedikit banyak, turut meluruhkan wawasan kebangsaan kita. Pertanyaan kritis kelima. Apa sesungguhnya 20 hakikat, kerangka dan bangun dasar dari wawasan kebangsaan dan negara kebangsaan Indonesia di masa kini dan masa depan? Lalu bagaimana upaya nasional kita untuk memperkuat, membangun dan mengembangkan wawasan kebangsaan dan negara kebangsaan Indonesia tersebut? Pertanyaan kritis keenam. Dalam rangka memperkuat dan membangun wawasan kebangsaan dan kehidupan bernegara ke depan, bagaimana kita menyikapi dan meletakkan berbagai isu strategis? Isu strategis itu, misalnya, seperti: (1) aktualisasi nilai, jati diri dan konsensus dasar kebangsaan negara pro- klamasi 17 Agustus 1945; (2) pikiran-pikiran baru seperti amandemen UUD 1945 dan sistem federal- isme; (3) faham dan gerakan sub-nasionalisme; (3) globalisasi dan gerakan universalisme; (4) isu tentang liberty versus security (kebebasan lawan keamanan), atau keseimbangan antara demokrasi, HAM dan civil society di satu pihak, dengan stabilitas, keamanan dan ketertiban umum di pihak yang lain. Dalam hal ini masalahnya adalah bagaimana kita membangun ekuilibrium atau keseimbangan ter- hadap isu-isu strategis tersebut. Lalu bagaimanakah arah dan agenda reformasi termasuk apakah 21 pengelolaan masa transisi tersebut sudah benar? Lalu kalau kita bicara tentang konsepsi kewaspadaan nasional, bagaimana aktualisasinya di masa sekarang? Ini dikaitkan dengan pemahaman tentang konsepsi kewaspadaan nasional di waktu lalu, yang lebih mengarah pada tuntutan untuk harus waspada ter- hadap bahaya komunisme, fundamentalisme agama dan liberalisme. Itulah pertanyaan-pertanyaan kritis, yang ja- wabannya membutuhkan perenungan bersama. Yang pasti, tidak ada jawaban tunggal yang paling benar terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis itu. Ini karena keluasan dan kedalaman masalah yang ter- cakup dalam persoalan wawasan kebangsaan kita sekarang ini. Sehingga selain membutuhkan pere- nungan bersama, jawaban atas pertanyaan kritis, memerlukan pula dialog bersama. Dialog yang pro- sesnya diharapkan mengarah pada terjadinya suatu pertemuan pikiran untuk membangun kesepakatan dan konsensus nasional yang baru di antara segenap elemen bangsa. Konsensus nasional tentang wawas- an kebangsaan dalam kerangka kehidupan berbang- sa dan bernegara di masa kini dan masa depan. 22 Nilai-Nilai Dasar yang Melandasi Tujuan Negara KETIKA pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, sesungguhnya pada waktu itu kita mulai memba- ngun suatu konsensus dasar tentang negara kebang- saan dan wawasan kebangsaan. Proses membangun konsensus dasar itu menghasilkan dan membawa Pancasila, UUD 1945, NKRI serta konsepsi Bhin- neka Tunggal Ika untuk ditempatkan sebagai nilai dasar (basic values) yang melandasi keberadaan negara dan bangsa yang ketika itu baru saja merdeka. Ini merupakan momen sejarah ini sangat penting ini Tujuan Negara Kebangsaan Indonesia 23 dan yang terbukti ikut menentukan perjalanan ne- gara dan bangsa Indonesia di kemudian hari. Selanjutnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, agenda kebangsaan dan wawasan kebang- saan terus berkembang. Dalam konteks kehidupan bernegara dan berbangsa pada waktu itu, agenda kebangsaan dan wawasan kebangsaan yang menon- jol, di samping nilai dasar yang sudah ada adalah persatuan, kedaulatan dan pembentukan karakter bangsa (nation and character building). Harus diakui, dengan mengedepankan agenda kebangsaan dan wawasan kebangsaan ini, Bung Karno pada waktu itu mampu mengangkat tinggi kehidupan kebang- saan. Lebih dari itu konsepsi nation and character building malahan masih terus hidup dan berlanjut menyertai perjalanan kebangsaan hingga sekarang. Lalu datang masa pemerintahan Pak Harto. Di- dorong oleh kebutuhan zaman maka agenda ke- bangsaan yang mengemuka pada waktu itu adalah pentingnya stabilitas, tatanan atau order, pembangun- an ekonomi dan pembangunan sistem (system build- ing). Jadi kalau Bung Karno mengedepankan pem- bangunan karakter bangsa (nation character building) maka Pak Harto melanjutkannya dengan pemba- 24 ngunan sistem (system building). Kemudian tiba zaman pemerintahan Presiden Habibie, Gus Dur, dan Presiden Megawati. Meski- pun masa transisi ini masih terus berlangsung, nam- paknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa agenda kebangsaan yang utama adalah reformasi dan re- konstruksi, menuju ke kebangkitan kembali Indo- nesia sebagai negara kebangsaan. Dalam pandangan saya, dalam reformasi dan rekonstruksi yang memi- liki skala yang besar dan cakupan yang luas ini, di samping kita harus mampu bangkit kembali dari krisis nasional yang dahsyat, agenda-agenda besar yang oleh para pemimpin bangsa terdahulu telah di- canangkan dan dijalankan yaitu nation and character building dan system building patut terus kita mantap- kan di era reformasi ini. Terlepas dari persoalan yang berkaitan dengan perjalanan sejarah agenda kebangsaan kita, ada satu pertanyaan penting tersisa yang mesti dijawab. Be- rangkat dari gambaran perjalanan sejarah agenda kebangsaan kita maka ke depan Indonesia akan me- nuju ke mana? Ini pertanyaan menyangkut visi per- jalanan kebangsaan Indonesia dalam jangka depan, jangka panjang, mencakup kurun, mungkin, 20, 30 25 atau 50 tahun lagi. Inilah yang saya konstruksikan dalam rumusan Indonesia masa depan. Rumusan yang mewarnai dimensi waktu dari keseluruhan tema tulisan maupun judul dari buku ini. Konstruksi Indonesia Masa Depan Dalam mengkonstruksi Indonesia masa depan, yang pertama kali dipegang adalah Indonesia (masa de- pan) harus tetap Indonesia yang memiliki dan me- megang cita-cita dan tujuan semula yang rumusan- nya telah dipatrikan dalam konstitusi UUD 1945, terutama bagian pembukaan (preambul). Ini tercer- min dari dua kalimat penting yang tercantum dalam rumusan pembukaan UUD 1945 tersebut, yaitu: ...mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang mer- deka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, dan Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indo- nesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksa- nakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerde- kaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ... 26 Yang kedua, Indonesia masa depan haruslah Indonesia yang tetap memiliki dasar negara Panca- sila. Jadi negara Indonesia adalah Negara Pancasila, bukan negara komunis, negara agama atau negara apapun. Negara Pancasila yang dimaksudkan itu (baca: Indonesia masa depan) mampu mewujudkan keinginannya untuk menjadi negara yang stabil, adil, demokratis dan sejahtera. Negara yang memi- liki dan mampu memenuhi kriteria universal, yaitu: berkembangnya masyarakat yang baik (good society), berkembangnya perekonomian yang baik (good economy), hadirnya proses-proses politik yang baik (good political process) dan terpeliharanya lingkungan yang baik (good environment). Begitu pula negara Indonesia ke depan juga ha- rus memenuhi syarat dan bisa dikategorikan sebagai negara sukses. Dalam abad informasi sekarang ini maka yang disebut negara sukses adalah negara-ne- gara memiliki beberapa ciri atau syarat. Pertama, negara yang bersangkutan mampu menjaga kelang- sungan dan keberlanjutannya. Dalam konteks Indo- nesia masa depan hal ini harus tercermin dari ada- nya kelangsungan dan keberlanjutan eksistensi Ne- gara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 27 Kedua, negara yang bersangkutan mampu me- wujudkan keadilan dan kebebasan. Pengertian dan pemahaman terhadap kata kebebasan (freedom) di sini tidak boleh terlepas dari sesuatu pembatasan yang sifatnya mengandung unsur nilai tanggung jawab. Jadi kebebasan yang dibatasi oleh rasa dan kehendak untuk bertanggung jawab. Ciri atau syarat yang ketiga adalah negara yang bersangkutan mam- pu menciptakan, menumbuhkan dan mengem- bangkan keharmonisan sosial. Dalam konteks ini kita harus belajar dari pengalaman yang sejak beberapa tahun ini kita hadapi yaitu merebaknya berbagai konflik sosial yang berbasis rasial, komunal, ekonomi, politik, agama. Konflik sosial yang multidimensi dan saling tumpang tindih basisnya. Oleh karena itu dalam perjalanan negara Indonesia ke depan, masalah ini harus menjadi bahan pembelajaran bangsa yang hasilnya diharapkan mampu mendorong bangsa Indonesia supaya hidup lebih harmonis, penuh to- leransi serta kerukunan. Kemudian ciri dan syarat yang terakhir, negara yang bersangkutan harus mampu mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. Mengingat te- 28 rus berlangsungnya berbagai perubahan yang cepat dan dinamis dalam lingkungan kehidupan bangsa- bangsa di dunia, dan dalam banyak aspek juga ling- kungan kehidupan bangsa Indonesia sendiri, maka upaya mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan pasti tidak mudah. Sebab perubahan yang cepat tersebut telah membawa segala sesuatu yang berkembang dalam lingkungan kehidupan tersebut cepat usang, cepat ketinggalan zaman. Sehingga hampir tidak ada waktu sejenak pun bagi kita untuk tidak mencermati, mempelajari dan berusaha de- ngan bekerja keras mengambil manfaat sebaik-baik- nya dari proses perubahan yang cepat tersebut. Atau Indonesia termasuk kategori negara yang tidak suk- ses karena tidak mampu mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. Tentu bukan demikian yang diharapkan. Itulah konstruksi negara Indonesia masa depan menurut pandangan saya. Negara yang di masa depan, yang selain mampu mendudukkan dirinya dalam dalam kategori negara sukses, juga negara yang terus tetap memegang teguh nilai-nilai kese- jarahannya, yaitu sebagai negara proklamasi 17 Agustus 1945. Negara yang tetap teguh menjun- 29 jung tinggi empat konsensus dasar yang sudah diru- muskan oleh para Bapak Pendiri Negara: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan, dan Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, kita sebaiknya tidak lagi mem- perdebatkan dengan alasan apa pun, termasuk alasan kompetisi politik konsensus dasar tersebut. Sebaliknya konsensus dasar atau fundamental consen- sus ini harus dimaknai sebagai konsensus setiap ge- nerasi, kapanpun dan di mana pun. Bagaimanapun, negara Indonesia masa depan adalah negara yang mampu mempertahankan keber- lanjutannya sebagai negara kebangsaan modern. Negara yang mampu merespon perkembangan ling- kungan strategis, global, regional dan nasional. Da- lam konteks yang terakhir ini harus dipahami bahwa Indonesia hidup dalam lingkungan yang terus dan selalu berubah cepat. Sehingga karena itu, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita juga harus ber- ubah.Atau kita akan tidak mampu mempertahankan negara kebangsaan Indonesia yang berkelanjutan. Hanya saja, memang, segala perubahan yang di- lakukan dan terjadi di negeri ini tidak boleh di- kendalikan begitu saja oleh perubahan global. Peru- 30 bahan yang dilakukan tidak boleh disubordinatkan atau malahan diabdikan semata-mata bagi kepen- tingan asing dan kepentingan global.Yang pasti dan harus menjadi pegangan, kita berubah karena memang harus berubah, dan perubahan itu sendiri tetap harus sepenuhnya dalam kerangka pemikiran, pemahaman dan kepentingan kita. Jadi perubahan yang dasarnya diikat oleh agenda dan tujuan yang ditetapkan oleh kita sendiri. Mungkin saja ada orang yang ragu bahwa da- lam masa transisi ini, pertumbuhan dan perkem- bangan negara kebangsan Indonesia sudah dianggap tidak cocok lagi dengan norma-norma negara modern. Mungkin mereka merasa bahwa Indonesia ini tidak melangkah ke arah perkembangan yang benar. Mungkin banyak sekali pikiran-pikiran menggoda, pikiran-pikiran nakal yang ekspresinya mencerminkan kalimat-kalimat seperti: wah kita ini kurang demokratis, lihat dunia sudah berubah, Indo- nesia masih begini-begini saja. Tetapi apakah hal se- perti itu sepenuhnya benar? Yang jelas, kalau melihat dan mengacu pada teori, konsep dan juga sistem yang hingga sekarang berlaku pada tingkat dunia, keberadaan negara ke- 31 bangsaan Indonesia sesungguhnya masih menggam- barkan dan mencerminkan suatu ciri-ciri negara yang disebut negara modern. Ada pun ciri-ciri negara modern yang saya maksudkan adalah: Pertama, negara modern itu harus memiliki kon- trol terhadap penggunaan kekerasan atau ke- kuatan koersif. Misalnya, ada kejahatan berskala besar, negara memiliki kewenangan dan kemam- puan menggunakan kepolisian untuk mengatasinya. Ada ancaman terorisme, negara juga punya kewe- nangan untuk memeranginya. Pendek kata, ke- kuatan koersif menjadi milik sah dari negara, yang akan dan harus digunakan secara benar dan tepat untuk mewujudkan dan mempertahankan kese- lamatan, keamanan dan ketentraman rakyat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan hanya negaralah, bukan pihak lain dalam masya- rakat, yang memiliki monopoli dan kontrol atas penggunaan kekuatan koersif itu. Kedua, teritorialitas. Negara semodern apa- pun kenyataannya tetap menganut prinsip terito- rialitas atau keutuhan wilayahnya. Tidak terkecuali, negara kebangsaan Indonesia pun juga menganut prinsip yang demikian itu. Oleh karena itu jangan 32 pernah tergoda dan terpengaruh buaian-buaian yang sekarang berkembang seperti yang terefleksi dari pikiran-pikiran sentrifugalisme. Pikiran-pi- kiran yang memandang bahwa atas nama zaman global maka setiap kelompok bangsa, suku bangsa, bisa dan boleh memisahkan diri. Ketiga, kedaulatan negara. Negara modern, tidak peduli se-global apapun konsepsi yang dianut- nya, ternyata masih memegang teguh dan memper- tahankan prinsip kedaulatan. Indonesia juga meme- gang dan mempertahankan konsepsi negara ber- daulat. Meskipun sekarang mulai ada dan berkem- bang pikiran-pikiran baru tentang kedaulatan yang baru, atau kelompok-kelompok yang menginstro- duksi konsep dan teori kedaulatan baru, yang pe- ngertiannya akan dijelaskan lebih lanjut dalam ba- gian berikutnya dari buku ini. Tetapi inti dari kon- sep kedaulatan baru adalah suatu konsepsi yang memandang bahwa penentu dari proses kehidupan bangsa itu bukan keberadaan negara bangsa (nation state), pemerintah melainkan hukum pasar. Keempat, konstitualitas, yakni penghormatan terhadap undang-undang dasar negara, peraturan perundang-undangan yang lainnya serta berbagai 33 sistem pengaturan kenegaraan yang lainnya. Sampai hari ini pun, negara kebangsaan Indonesia meng- anut penghormatan yang sama terhadap hal-hal tersebut. Kelima, pelaksanaan the rule of law atau pe- negakan hukum dan keadilan. Meskipun harus diakui masih banyak persoalan yang dihadapi dan harus diatasi, negara kebangsaan Indonesia juga ber- usaha mengarahkan kemampuannya untuk mem- praktekkan hal tersebut. Ini sejalan dengan amanah konstitusi kenegaraan kebangsaan Indonesia sendiri. Keenam, birokasi publik (pemerintahan). Negara modern di dunia ini selalu memiliki dan berusaha membangun birokrasi publik yang efisien dan efektif. Negara kebangsaan Indonesia pun tidak terkecuali. Oleh karena itu, dalam konteks negara kebangsaan Indonesia, tidak cukup kuat alasan kalau orang khawatir, yang hal itu, misalnya, dicerminkan dari kalimat seperti:wah bahaya ini, proses pemilu- nya panjang, tujuh bulan, sedang kabinetnya pela- ngi. Menteri-menterinya jangan-jangan ikut kam- panye. Lantas kalau menterinya berkampanye bisa terjadi kevakuman pemerintahan. Mengapa tidak cukup kuat alasan untuk kha- 34 watir? Jawabannya adalah bahwa sesungguhnya tidak akan terjadi kevakuman pemerintahan. Ini ka- rena mesin pemerintahan ada dan dijalankan oleh birokrasi pemerintahan. Dalam birokrasi, misalnya, terdapat pimpinan-pimpinan yang mengendalikan jalannya pemerintahan. Mereka ini antara lain ter- diri dari, misalnya, sekretaris jenderal, direktur jen- deral dan pimpinan lain-lainnya yang bertindak sebagai teknokrat dan birokrat, yang pengaturan tu- gas dan wewenangnya telah diatur dalam undang- undang. Sekali lagi, meskipun birokrasi pemerin- tahan kita masih menghadapi banyak masalah, tetapi jalannya pemerintahan tidak akan berhenti, vakum. Politisi (baca: para menteri) boleh datang dan pergi, tetapi birokrasi pemerintahan tetap jalan. Ketujuh, otoritas dan legitimasi. Dalam ne- gara modern, negara harus punya otoritas dan harus memiliki legitimasi. Tidak boleh ada warga negara atau sekelompok orang yang tidak tunduk kepada UUD negaranya dan kepada kebijakan pemerintah- annya. Tidak bisa diingkari, negara kebangsaan Indonesia pun menganut prinsip ini. Kedelapan, kewarganegaraan. Soal ini pen- ting. Jangan sampai kita terpengaruh dengan prinsip 35 kewarganegaraan yang baru, yang seolah-olah atas nama hak dan atas nama kebebasan, setiap warga ne- gara boleh melakukan apa saja. Dalam teori yang menyangkut negara kebangsaan (nation state) yang juga terus berkembang, kewarganegaran harus ber- ada dalam keseimbangan. Keseimbangan antara hak dengan kewajiban; keseimbangan antara kebebasan dengan pembatasannya. Patut dicatat di sini bahwa hal-hal seperti di atas memang perlu dikemukakan, review lagi. Tujuannya adalah agar kita tetap yakin bahwa sosok negara kebangsaan ini tetap sah dan benar, dan karena itu harus terus kita pertahankan. Tetapi memperta- hankan saja tidak cukup. Hal demikan harus terus kita aktualisasikan untuk merespon perkembangan kontemporer, yang dari situ akan muncul perta- nyaan-pertanyaan seperti:Apa sebenarnya tantangan dan ancaman potensial yang kita hadapi dewasa ini, terutama yang menyangkut wawasan kebangsaan dan kehidupan kebangsaan kita? Apakah globalisasi itu dianggap sebagai ancaman atau peluang bagi perkembangan negara kebangsaan untuk mewujud- kan cita-cita dan tujuannya? 36 KALAU dikaji secara hati-hati, sesungguhnya banyak sekali tantangan dan ancaman potensial ter- hadap kelangsungan perkembangan wawasan ke- bangsaan dan kehidupan kebangsaan kita. Tetapi dalam membahas masalah tantangan dan ancaman potensial ini, saya hanya akan mengemukakan be- berapa isu penting saja. Itu adalah isu-isu yang saya anggap mengandung problem paling mendasar me- nyangkut masalah kelangsungan wawasan kebang- saan dan kehidupan kebangsaan kita. Untuk memu- dahkan pembahasannya, isu-isu itu bisa dikelom- pokkan menjadi dua bagian besar, yaitu: pertama, tantangan dan ancaman terhadap wawasan kebang- Tantangan dan Ancaman Potensial 37 saan; kedua, tantangan dan ancaman terhadap kehidupan kebangsaan. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok tantangan dan ancaman terhadap wawasan kebang- saan, antara lain: (a) aspek negatif dari proses glo- balisasi (sisi negatif), (b) perkembangan pandangan sub-nasionalisme, (c) pemikiran primordialisme, (d) gagasan nasionalisme sempit (chauvinisme), dan (e) suatu pandangan yang berusaha untuk monopoli sesuatu kebenaran. Aspek negatif dari proses globalisasi. Ha- rus diakui bahwa selain memiliki aspek positif, proses globalisasi, dalam banyak hal, juga bisa mem- bawa pengaruh negatif terhadap perkembangan wawasan kebangsaan kita. Sedangkan bagi kita, proses globalisasi itu adalah suatu proses yang tidak bisa dihindari keberadaannya. Atau dengan kata lain, kita tidak bisa melarikan diri dari globalisasi karena kita memang hidup dalam dunia yang se- dang dan terus berubah. Dunia yang bisa kita sebut sebagai sedang mengalami proses globalisasi dan universalisasi. Perkembangan pandangan tentang sub- nasionalisme. Dalam konteks perkembangan wa- 38 wasan kebangsaan kita sekarang ini, harus diakui, masih ada suatu komunitas atau ras yang berpan- dangan bahwa mereka bisa dan berhak membentuk suatu negara dan bangsa sendiri. Terlepas dari na- ungan negara dan bangsa yang ada selama ini. Pan- dangan yang terlalu mengedepankan sub-nasional- isme ini jelas bisa menjadi ancaman bagi perkem- bangan wawasan kebangsaan, sekaligus juga bagi keutuhan dan kelanjutan masa depan negara ke- bangsaan. Oleh karena itu, dalam konteks perkem- bangan negara kebangsaan Indonesia ke depan, perlu ditegaskan kembali bahwa persoalan nasional- isme sesungguhnya sudah selesai sejak terbangun dan ditetapkannya konsensus dasar kebangsaan dan kenegaraan pada saat proklamasi kemerdekaan Re- publik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945. Pemikiran primordialisme. Tantangan dan ancaman yang berasal dari berkembangnya pemi- kiran primodialisme ini sering kali tidak dirasakan dan disadari. Primordialisme ini biasanya muncul dalam kehidupan sosial-politik yang bentuk-bentuk hubungannya kelewat mengedepankan dan me- mentingkan ikatan-ikatan sektarian (atas dasar suku, ras, dan agama), ikatan-ikatan kelompok sempit dan 39 eksklusif. Menguatnya pemikiran primodialisme pada masa transisi ini, yang kerap kali justru meng- atasnamakan reformasi, pada gilirannya bisa me- mencarkan kohesi dan integrasi bangsa. Kalau per- kembangan masalah ini tidak dicermati dengan baik, maka bisa saja dalam kehidupan kebangsaan ini kita tiba-tiba terjebak dalam entitas-entitas par- sial yang terpisah sama sekali dengan keluarga besarnya, yaitu Indonesia. Gagasan nasionalisme sempit (chauvinis- me). Nasionalisme sempit adalah suatu gagasan atau paham yang amat mengagungkan bangsanya sendiri dan menganggap bangsa lain rendah. Paham seperti ini dalam prakteknya sering kali bersifat konfrontatif terhadap segala hal yang bersifat dari luar. Ia bah- kan bisa amat curiga terhadap hal-hal yang berbau asing, meskipun hal-hal yang dicurigai itu bersifat positif, atau mampu memberikan dan mengandung unsur-unsur yang bermanfaat. Dalam zaman glo- balisasi ini, kecenderungan nasionalisme sempit itu banyak dinilai sebagai suatu suatu gejala pemikiran yang tidak sehat. Selain ia juga bisa dinilai sebagai salah satu faktor tantangan dan ancaman potensial bagi masa depan negara kebangsaan Indonesia. 40 Pandangan yang berusaha memonopoli kebenaran. Pandangan yang berusaha memonopo- li kebenaran ini dalam prakteknya seringkali secara tidak sadar muncul dan tercermin dari sikap-sikap yang kelewat memandang hitam dan putih perkem- bangan zaman. Di zaman reformasi, misalnya, hal seperti ini diwakili oleh mereka yang sangat percaya terhadap pandangan yang melihat bahwa segala hal yang terjadi di masa lalu adalah salah semua, buruk semua, dan karenanya, harus dibuang semua. De- ngan kata lain, tidak ada yang benar, kecuali keada- an sekarang. Pandangan yang seperti ini jelas meru- pakan tantangan dan ancaman bagi perkembangan wawasan kebangsaan. Untuk itu masalah-masalah seperti ini harus dilihat secara lebih bijaksana se- hingga tidak muncul suatu kelompok, golongan, kekuatan, yang mampu memonopoli kebenaran. Yang jelas, tidak ada satu pihak manapun, siapapun itu, dan generasi kapanpun, yang bisa dan boleh me- rasa benar sendiri. Sebaliknya, dalam keberagaman dan kemajemukan yang ada di Indonesia ini, kita dapat mendorong berlangsungnya dialog. Dialog tentang berbagai hal yang menyangkut permasalah- an kebangsaan antarkelompok, golongan, dan bah- 41 kan antargenerasi. Selanjutnya yang termasuk dalam kelompok tantangan dan ancaman terhadap negara kebangsaan adalah: (a) situasi disintegrasi nasional, (b) proses marginalisasi peran negara bangsa (nation state), (c) perkembangan konsep kedaulatan global. Situasi disintegrasi nasional. Perkembangan keadaan yang mengarah pada situasi disintegrasi nasional dengan sendirinya merupakan tantangan dan ancaman bagi kelangsungan negara kebangsaan. Oleh karena itu, upaya untuk memelihara dan men- jaga integrasi nasional perlu mendapat tempat yang utama dalam perjalanan membangun wawasan kebangsaan dan negara kebangsaan. Dalam hubung- annya dengan ini, perlu dicatat bahwa suatu Negara dapat dikatakan terintegrasi dengan baik (well inte- grated) apabila: (1) Negara yang bersangkutan secara ideologis tidak mengalami gangguan masalah. Oleh karena itu, kalau Pancasila, misalnya, tetap kokoh menjadi falsafah, landasan, dasar, dan ideologi negara, maka secara ideologis negara Indonesia boleh dianggap tidak sedang menghadapi ancaman 42 ideologis. Dan begitu pula sebaliknya bila ke- beradaan Pancasila terus dipermasalahkan atau telah menjadi masalah. (2) Negara yang bersangkutan memiliki integrasi sosial yang cukup kuat. Dalam prakteknya, hal ini terwujud dari perkembangan situasi yang menunjukkan tidak terjadi suatu gangguan atau konflik sosial dan terdapat suatu harmoni dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu berbagai kejadian konflik yang telah mem- porakporandakan harmoni masyarakat di Ma- luku Utara, Poso, dan Kalimantan Tengah, mi- salnya, bisa dikategorikan ancaman terhadap integrasi sosial. (3) Negara yang bersangkutan mampu memelihara dan mempertahankan keutuhan wilayahnya. Berkaitan dengan persoalan keutuhan wilayah ini, maka bagi negara kebangsaan Indonesia, masalah yang berkembang di Aceh dan Papua dengan tepat, arif tapi juga tegas (decisive) mam- pu diselesaikan dengan baik. 43 Proses marginalisasi peran negara bangsa (nation state). Dewasa ini berbagai pemikiran pro- vokatif yang pada intinya menantang peran negara bangsa semakin membanjir. Negara bangsa dinilai sebagai suatu konsepsi yang sudah usang, dan dalam era globalisasi diyakini akan melemah dan surut peranannnya. Sebaliknya dalam zaman globalisasi yang keberadaannya ditopang oleh perkembangan kemajuan teknologi informasi (IT), pasar (market) mendapat tempat penting dalam hubungan bangsa- bangsa. Lebih dari itu, pemikiran yang paling pro- vokatif bahkan meramalkan bahwa negara bangsa sudah sampai pada akhir perjalanannya (the end of the nation). Pemikiran provokatif ini, misalnya, tercer- min dalam gagasan-gagasan yang ditulis oleh beber- apa penulis futurolog seperti Alfin Toffler dalam bukunya The Future Shock, Power Shift dan War and Anti War; John Naisbitt & Patricia Aburdene dalam bukunya Global Paradox; dan Kenichi Ohmae dalam The End of Nation State. Membanjir dan menguat- nya pemikiran-pemikiran seperti ini pada gilirannya bisa menjadi tantangan dan ancaman yang potensial terhadap gagasan tentang negara kebangsaan. Perkembangan konsep Kedaulatan Glo- 44 bal. Pada dasarnya, inti dari konsepsi kedaulatan global hampir sejalan dengan pemikiran provokatif yang melihat semakin melemahnya peran negara bangsa di era globalisasi. Konsepsi negara bangsa dalam perkembangannya sudah dianggap tidak rele- van, kuno. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa dunia telah bergerak maju dalam tataran hu- kum, logika, dan aturan main, yang semuanya serba baru. Sejalan dengan gerak maju maka dalam pan- dangan Kedaulatan Global, yang menentukan kehi- dupan bangsa-bangsa bukan lagi negara kebangsaan (nation state) atau pemerintah, tetapi adalah hukum pasar. Dengan mengacu pada pandangan seperti itu, maka ide-ide, gagasan-gagasan ataupun pemikiran- pemikiran tentang sesuatu hal pada dewasa ini men- jadi mampu bergerak bebas tanpa batas. Ide-ide, gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran mampu merambah ke mana-mana, dari satu tempat ke tem- pat lain dan dari satu negara ke negara yang lain. Sekali lagi, bebas tanpa batas, menyebabkan dunia menjadi dunia yang tanpa batas (borderless world). Tidak hanya ide, gagasan dan pemikiran, yang mampu bergerak bebas tanpa batas. Investasi atau 45 modal juga juga mampu bergerak secara leluasa ke mana-mana, melintasi batas-batas negara tanpa ada hambatan yang berarti. Tidak ketinggalan industri yang mampu direlokasikan, dipindahkan dengan cepat ke mana-mana tanpa hambatan. Pergerakan- nya lebih mengikuti dorongan perhitungan pasar ekonomi yang paling menguntungkan bagi industri yang bersangkutan. Begitu pula dengan individu, orang, manusia, lalu bisa bermigrasi dengan mudah. Bisa pindah kemana-mana, mengikuti dorongan hukum pasar. Pendek kata, menurut pikiran-pikiran provokatif tersebut di atas, hal-hal inilah (lebih jelasnya: pasar) yang akan lebih menentukan bagi sebuah bangsa apakah akan maju atau tetap terbelakang. Bukan lagi elemen negara bangsa atau nation state yang akan menentukan nasibnya di kemudian hari. Na- mun, saya sendiri masih tetap tidak percaya dengan pikiran-pikiran yang melihat sesuatu secara agak gampang, hitam putih, seperti itu. Sebab bagaima- napun, dalam pandangan saya, peran negara bangsa (nation state) sampai saat ini dan ke depan masih akan tetap penting dan mengemuka. Masih berkaitan konsep kedaulatan global. Ada 46 satu pertanyaan lagi yang perlu dikemukakan, yaitu: Apakah proses globalisasi itu merupakan suatu ancaman atau peluang? Saya kira banyak pendapat dan pandangan mengenai hal ini. Namun dari semua pandangan yang mungkin ada, saya justru lebih mementingkan untuk melihat aspek impli- kasinya terhadap kehidupan politik di Indonesia. Misalnya, globalisasi dalam kaitannya dengan per- kembangan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Dalam kaitannya dengan demokrasi, misalnya, maka menurut pendapat saya, tidak ada model ten- tang demokrasi yang yang secara universal atau global bisa diterapkan di semua negara, tidak terke- cuali Indonesia. Jadi tidak ada model demokrasi yang cocok dan berlaku bagi semua negara. Sejarah juga menunjukkan bahwa perdebatan tentang de- mokrasi, khususnya yang menyangkut model dan praktek demokrasi, itu sendiri sudah berlangsung lama sekali, hampir 250 tahun. Oleh karena itu dalam berbicara tentang demokrasi tidak perlu ter- buru-buru dan meyakini untuk mengambi oper be- gitu saja suatu model demokrasi yang ada dan ber- kembang di negara A, negara B, atau di negara C. 47 Sebaliknya, justru yang paling penting adalah pema- haman mengenai nilai-nilai dan hakikat demokrasi, serta berbagai kemungkinan pengembangan prak- teknya di Indonesia.Tentu suatu praktek demokrasi yang harus sesuai dan sejalan dengan perkembangan sosio-kultural bangsa Indonesia. Pada prinsipnya, demokrasi harus diabdikan untuk kebaikan rakyat bersama. Oleh karena itu, dalam demokrasi, rakyat harus terlibat dan diajak serta dalam mengelola kehidupan, menentukan atu- ran main, dan mengikuti etika yang berlaku. Untuk itu demokrasi yang sedang berproses harus dijalan- kan dengan pikiran yang tenang, jernih, dengan tetap berpegang dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan hakikat demokrasi itu sendiri. Dalam konteks perkembangan negara kebang- saan Indonesia ke depan, hal lain yang paling pen- ting adalah memperluas ruang penerapan demo- krasi dan HAM. Penempatan prioritas ini sekaligus bisa menjadi koreksi atas apa yang pernah terjadi di masa lalu ketika ruang yang tersedia untuk pene- rapan demokrasi dan HAM dianggap terlalu sempit. Walaupun untuk hal yang terakhir ini juga harus dilihat secara bijaksana dan dengan pikiran yang 48 jernih. Tidak ketinggalan aspek-aspek kontekstual- nya ketika itu, yaitu: realitas zaman pada waktu itu lebih menuntut pengutamaan stabilitas nasional untuk mendorong pembangunan ekonomi ketim- bang hal yang lainnya. Walaupun serentak dengan itu harus dipahami pula bahwa kenyataan seperti itu sebagian mem- bawa berbagai dampak yang menyulitkan bagi per- jalanan kehidupan negara kebangsaan. Sehingga atas dasar kenyataan itu diperlukan koreksi, yang pada gilirannya mendorong tumbuhnya era baru, era transisi, zaman reformasi. Maka tidak keliru kalau dalam era reformasi ini ruang gerak penerapan de- mokrasi dan hak asasi manusia harus terus diper- lebar. Tetapi tetap dengan catatan, jangan sampai HAM dan demokrasi diletakkan secara absolut. Seolah-olah atas nama HAM dan demokrasi lantas kita bisa berbuat dan melakukan apa saja. Dalam posisi seperti ini maka konsepsi tentang HAM seperti yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945, termasuk yang sudah diamandemen empat kali, perlu dipahami secara bijaksana. Di situ ada 10 butir tentang pasal HAM. Sembilan butir pertama, yaitu pasal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 pada 49 hakikatnya mengatur tentang hak (HAM), tetapi butir terakhir justru mengatur tentang pembatasan terhadap hak tersebut. Melalui butir 10, ada rambu- rambu yang membuat masalah HAM tidak boleh absolut. Ini terutama ketika berkaitan dan me- nyinggung masalah nilai-nilai keagamaan, kesusi- laan, ketertiban, dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu, kalau mengacu pada UUD 1945, masa- lah HAM ada pembatasannya, ada tanggungjawab- nya. HAM dalam konteks pembatasan dan tang- gungjawab ini yang harus dipahami dan dikem- bangkan dengan baik. Berikutnya soal implikasi globalisasi terhadap pembangunan ekonomi nasional. Kalau cerdas, melalui globalisasi bangsa kita bisa mengambil, me- manfaatkan, dan mengalirkan sumber-sumber ke- makmuran dari bangsa-bangsa dan negara-negara lain. Bukan sebaliknya, globalisasi malah menjadi ajang bagi pihak lain untuk mengeksploitasi bangsa kita. Melalui globalisasi, misalnya, kita harus bisa meraih keuntungan dengan memanfaatkan kerja- sama perdagangan, investasi, dan lain-lain. Tetapi apakah dengan adanya kesempatan ker- jasama ekonomi itu negara-negara yang belum 50 maju dengan sendirinya akan diuntungkan? Belum tentu. Kesempatan kerjasama ekonomi tidak selalu akan menguntungkan. Bahkan ada satu kajian yang mengatakan bahwa dalam 10-15 tahun terakhir ini, kesenjangan ekonomi antara negara maju dan negara yang belum maju menjadi semakin lebar. Ini artinya adalah proses kemiskinan dan pemiskinan masih kuat berlangsung di negara-negara berkem- bang. Atas alasan itu maka muncul inisiatif di Eropa yang mendesak agar Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa, tidak terlalu melindungi dan mem- berikan subsidi pada para petaninya. Hal demikian sangat diperlukan agar pertanian di negara-negara berkembang mampu hidup, tumbuh dan berkem- bang lebih baik lagi. Inisiatif itu diorganisasikan dalam suatu lembaga yang disebut dengan Inter- Action Council. Pada tahun 1997 lahir sebuah deklarasi kema- nusiaan PBB tentang tanggung jawab sosial yang disebut dengan The Universal Declaration of Human Responsibilities. Jauh sebelum itu PBB juga pernah melahirkan sebuah deklarasi yang sama tentang kemanusiaan, yaitu tentang hak-hak asasi manusia (HAM), yang kemudian dikenal dengan nama The 51 Universal Declaration of Human Right. Kalau dicer- mati, dua deklarasi ini memiliki kaitan yang erat. Deklarasi PBB yang pertama berbicara tentang masalah hak asasi manusia, sedangkan deklarasi tahun 1997 berisi tentang masalah tanggung jawab kemanusiaan. Lahirnya deklarasi tentang tanggung jawab kemanusiaan ini tidak terlepas dari keadaan ma- syarakat dunia yang semakin gelisah melihat kenya- taan kesenjangan yang semakin lebar di antara bangsa-bangsa kaya dan bangsa-bangsa miskin. Ke- senjangan itu muncul karena negara-negara yang belum maju ternyata berada pada pihak yang kalah atau terkalahkan dalam proses globalisasi. Jadi tidak bisa diingkari bahwa dalam proses globalisasi, ter- nyata dunia menyaksikan ada pihak yang kalah (looser) dan ada pihak yang menang (winner). Mereka yang kalah adalah negara belum maju yang kurang atau tidak mampu memanfaatkan kesempatan-ke- sempatan yang ada dalam proses globalisasi. Sedang- kan mereka yang menang adalah negara maju yang berhasil memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada. Atas dasar itu maka dalam melihat proses dan fenomena globalisasi sikap cerdas dan kritis sa- 52 ngat dibutuhkan. Pada sisi lain, globalisasi ternyata juga membawa pengaruh yang besar terhadap pelestarian nilai, jati diri, dan budaya bangsa. Bagaimanapun pengaruh se- perti ini sulit untuk dielakkan karena gaya hidup yang kita alami dan kembangkan sekarang ini, seba- gian besar berinteraksi dengan proses-proses glo- balisasi itu sendiri. Pada aspek tertentu, hal seperti secara tidak terelakkan telah menimbulkan suatu situasi yang membuat sebagian dari kita merasa cemas, kuatir. Cemas dan kuatir terhadap kemung- kinan bahwa di antara interaksi dengan globalisasi itu sebagian hasilnya ternyata bisa mempengaruhi dan menggilas sistim nilai, budaya, jati diri dan tra- disi yang kita anggap luhur. Selanjutnya globalisasi juga membawa penga- ruh terhadap kedaulatan dan keamaan nasional. Menyangkut hal ini ada konsep dunia yang harus dicermati perkembangannya, yaitu konsepsi inter- vensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Be- rangkat dari dasar konsep human security (keamanan kemanusiaan) maka menurut penganut konsep intervensi kemanusiaan, konsep keamanan nasional dianggap telah ketinggalan zaman, kuno, sama 53 kunonya dengan konsep kepentingan nasional (national interest). Dengan perkembangan dunia se- karang, konsep kepentingan manusia (human inter- est) menjadi lebih utama ketimbang konsep kepen- tingan nasional. Jadi berbicara tentang kepentingan manusia (human security), keamanan manusia se- dunia, menjadi lebih penting dalam tatanan dunia yang sudah mengglobal sekarang ini. Bagi saya, pandangan seperti ini tentu saja harus dikaji dan dicermati baik-baik. Sebab dalam kon- teks kepentingan negara bangsa, kalau suatu negara ternyata tidak mampu melindungi rakyatnya sendiri maka negara lain, menurut pandangan ini, bisa dan sah melakukan sesuatu tindakan atas nama kemanu- siaan. Tindakan itulah yang disebut dengan inter- vensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Con- tohnya, pasukan koalisi datang ke Kosovo tanpa mandat dari PBB. Kedatangan itu dianggap sah karena di Kosovo terjadi suatu tragedi kemanusiaan (human tragedy). Akhirnya, globalisasi juga bisa membawa pen- garuh dan memacu timbulnya benturan konflik ke- setiaan. Hal seperti ini seringkali terlihat pada feno- mena ketika sebagian di antara kita, apakah per- 54 orangan atau kelompok, merasa lebih setia kepada masyarakat global ketimbang kepada bangsanya sendiri. Karena kesetiaannya pada masyarakat global maka di antara mereka terkadang tidak segan-segan menjual kehormatannya demi popularitas, demi uang, demi status, dan lain sebagainya. Keadaan ini- lah yang menurut saya mesti dikritisi. Dan dalam menghadapi masalah ini, tidak ada cara lain kecuali harus kembali membangun wawasan kebangsaan yang tepat. Kembali ke konsep Kedaulatan Global. Dalam pandangan ini, pelaksanaan dari kedaulatan negara termasuk di dalamnya adalah tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya sendiri. Oleh karena itu jika sebuah negara ternyata gagal dalam melindungi rak- yatnya sendiri apakah hal itu karena tidak mau atau tidak mampu, lalu kemudian terjadi tragedi kemanusiaan dan ratusan ribu orang tewasnegara porak poranda, dan pemerintahannya tidak stabil, gagal, maka atas nama perlindungan kemanusiaan (human security), dunia memiliki tanggung jawab untuk melindungi (responsibilities to protect) mereka itu. Atas alasan itu maka pihak luar atau interna- sional harus dan diperbolehkan serta sah melakukan 55 intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Ini gejala yang ada dan semakin diterima di luar negeri dan di dunia internasional dewasa ini. Dalam konteks ini kita telah mengembangkan kebijakan yang hati-hati dan tepat di Aceh. Pertama, sepa- ratisme di Aceh harus kita hentikan, tidak ada to- leransi untuk itu. Tetapi pada saat yang sama dalam menyelesaikan masalah Aceh, kita harus menyetuh semua aspek permasalahan yang ada, termasuk as- pek yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan. Untuk itulah maka dilaksanakan operasi terpadu, yang di dalamnya antara lain mencakup: operasi ke- manusiaan (termasuk di dalamnya penanganan pengungsian, pendidikan, kesehatan dan lain-lain); operasi pemulihan keamanan; operasi penegakan hukum; operasi pemantapan pemerintahan daerah; dan operasi pemulihan ekonomi. Kesemuanya dige- lar secara komprehensif dan simultan. Pendek kata, secara konsepsional, Indonesia sebagai negara nasional harus menunjukkan tang- gung jawab penuh dalam menyelesaikan Aceh. Konsepsi yang dikembangkan dan dilaksanakan adalah menyeluruh, menyentuh semua aspek masa- lah termasuk kemanusiaan. Tujuannya agar Indo- 56 nesia, dalam menyelesaikan masalah Aceh, tidak ter- jebak dan dianggap sebagai negara yang tidak ber- tanggung jawab kepada rakyatnya. 57 DARI uraian semuanya itu, lantas bagaimana kita melangkah ke depan? Pertama, marilah kita terus menerus melakukan rekapitalisasi dan aktualisasi wawasan kebangsaan menuju negara kebangsaan modern. Marilah kita mengembangkan dialog antar generasi dan membangun kesepakatan atau konsen- sus nasional baru. Meskipun dunia akan terus ber- kembang dan berubah, serta demokrasi Indonesia juga akan makin dinamis, kita harus tetap punya rumah sendiri. Dan rumah itu adalah negara ke- bangsaan Indonesia. Indonesia masa depan akan tetap dijiwai dan disemangati oleh cita-cita kebangsaan. Ini ada dalam Langkah dan Agenda ke Depan 58 pembukaan UUD 1945, yakni: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sejarah telah menga- jarkan bahwa tahun 1945 para pendiri itu juga per- nah terlibat dalam debat dan silang pendapat yang keras dan sangat keras. Mereka begitu karena ingin membangun landasan dan tiang rumah kita, mem- bangun falsafah UUD dan sistem negara kita. Prof. Dr. Soepomo waktu itu, senang dengan faham kekeluargaan. Bung Karno senang dengan kebangsaan dan kedaulatan rakyat. Bung Hatta menekankan hak azasi manusia dan demokrasi, agar Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan. Debatnya panjang dan kadang kala keras. Namun demikian akhirnya jiwa para bapak pendiri negara itu sungguh mulia dan besar. Mereka mampu membangun kese- pakatan dan konsensus, yang kesemuanya itu ter- tuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Sekarang di era reformasi ini kita patut berta- nya: apakah kita tidak bisa membangun konsensus dan harmoni yang baru? Pertanyaan ini perlu di- ungkapkan kembali mengingat masih adanya ke- nyataan bahwa sekarang masih terus ada sementara pihak atau sekelompok orang, yang belum pandai membangun keseimbangan antara kebebasan atau 59 liberty dengan keamanan atau security; keseimbangan antara hak atau rights dengan tanggungjawab atau responsibility dan lain-lain. Berangkat dari uraian mengenai masalah negara bangsa dan wawasan kebangsaan di atas, selanjutnya kita bisa merumuskan agenda-agenda utama pem- bangunan Indonesia ke depan, baik yang sifatnya jangka panjang maupun jangka pendek-menengah. Berikut saya sampaikan beberapa agenda penting yang saya yakini tidak bersifat paripurna dan yang oleh karenanya perlu terus didiskusikan dan dikem- bangkan. Dalam jangka panjang, agenda utama pemba- ngunan nasional adalah terwujudnya negara ke- bangsaan Indonesia modern yang berkelanjutan. Keberlanjutan negara ke depan mengharuskan dila- kukannya berbagai langkah berikut (yang harus su- dah dilakukan saat ini walaupun perspektifnya jang- ka panjang) : (a) Pengembangan pondasi kebangsaan. Pengembangan pondasi kebangsaan ini akan dilakukan melalui pengembangan dan kapasitas warga bangsa untuk terus memperbarui pe- 60 maknaan dan pelaksanaan : (i) ideologi kebangsaan; (ii) cita-cita dan tujuan kebangsaan; (iii) adaptasi kebangsaan terhadap perubah- an yang terus berlangsung; dan (iv) respon kebangsaan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi dari waktu ke waktu Semua ini dilakukan di atas kesadaran sejarah nasional. (b) Pengembangan identitas dan karakter bangsa; (c) Pengembangan sistem kenegaraan dan pemer- intahan yang berkelanjutan; (d) Pengembangan wawasan kebangsaan yang inklusif; (e) Pengembangan demokrasi yang sejalan dengan sejarah dan nilai-nilai kebangsaan; (f) Pengembangan sistem politik yang menjamin rakyat untuk bisa menginternalisasikan sistem 61 nilai dasar kebangsaan; dan (g) Pengembangan sistem demokrasi yang memu- ngkinkan rakyat untuk terus bisa memperbarui konsensus atas nilai-nilai kontemporer. Pembangunan dalam era transisi dan reformasi, di samping menyisakan persoalan-persoalan emo- sional politik jangka pendek, juga menyisakan isu- isu penting yang harus diselesaikan dalam pemba- ngunan nasional ke depan. Isu-isu pembangunan yang masih harus dita- ngani secara sistematik dan melembaga dalam jang- ka pendek dan menengah tersebut meliputi : Pertama, melanjutkan proses konsolidasi demo- krasi. Proses konsolidasi demokrasi ini selama lima tahun ke depan selayaknya memusatkan perhatian pada proses penyeimbangan antara pengembangan nilai dan praksis demokrasi, penghormatan atas hak asasi manusia, dan pengembangan civil society di satu pihak dengan mengembangkan keamanan dan ke- teraturan di pihak lainnya. Stabilitas politik akan ter- bangun dengan terbangunnya keseimbangan ini. Hal ini memang merupakan tantangan besar bagi negara yang sedang dalam transisi demokrasi. 62 Kedua, melanjutkan pemulihan ekonomi dan rekonstruksi, dengan memusatkan perhatian pada pengurangan pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan investasi domestik dan asing untuk merawat dan mengembangkan infrastruktur sosial dan ekonomi kita. Pemulihan dan rekonstruksi eko- nomi yang kita lakukan ke depan selayaknya adalah suatu proses yang menjadikan sebagian terbesar rakyat menjadi penerima manfaat dan menjadi bagian utama penggeraknya. Ketiga, melanjutkan upaya-upaya pengembang- an harmoni sosial dan meningkatkan kapasitas ma- syarakat dalam melakukan resolusi konflik komu- nal. Tantangan kita ke depan adalah menciptakan harmoni sosial yang berkelanjutan. Keempat, melanjutkan upaya-upaya reformasi hukum dan meningkatkan upaya-upaya penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi gu- na menciptakan sistem kepemerintahan yang baik. Kelima, mengatasi persoalan-persoalan struk- tural yang belum teratasi terutama ketimpangan pendapatan antarkelompok masyarakat, ketimpang- an pembangunan antarwilayah, dan persoalan struk- tural lainnya seperti budaya yang permisif atas pe- 63 langgaran hukum, korupsi, dan berbagai penyakit sosial lainnya. Keenam, terpenuhinya hak-hak dasar rakyat yang dijamin konstitusi secara bertahap sesuai de- ngan kemampuan negara. Tantangan kita dalam hal ini terutama adalah segera memberikan jaminan atas hak dasar rakyat ini sesuai dengan tahapan yang mampu dilakukan secara bersama. Ketujuh, terjaminnya keseimbangan kekuasaan antar daerah dan antara pusat dengan daerah. Tan- tangan kita ke depan adalah melakukan sinkronisasi perkembangan kebangsaan kita sejalan dengan cita- cita dan tujuan nasional serta melakukan berbagai upaya untuk terjadinya perkembangan yang se- imbang antara daerah-daerah kaya dan miskin sum- berdaya. Kedelapan, tertatanya kelembagaan demokrasi, kenegaraan, dan pemerintahan dengan mekanisme pengambilan keputusan yang sistematik dan trans- paran. 64 BANYAK gagasan lama yang saya sajikan dalam buku ini. Tetapi banyak pula gagasan-gagasan baru yang saya lemparkan. Saya ingin mengajak semua anggota masyarakat untuk mendiskusikan secara tenang dan mencoba menarik benang merah pemi- kiran yang saya kemukakan untuk memberikan kontribusi yang signifikan atas pembangunan Indonesia modern. Dan, saya berharap dengan buku ini bisa dilakukan gerakan bersama untuk memi- kirkan dan mewujudkan Indonesia masa depan yang modern. Kini waktunya kita melihat ke depan. Waktunya kita berpikir dan berjuang untuk keber- lanjutan sistem kebangsaan kita ke depan. Penutup 65 Saya telah kemukakan inti pemikiran saya dan kini saatnya saya juga belajar dari seluruh warga bangsa. Pada akhirnya mari kita suburkan Indo- nesia, sebagai ladang pertemuan dari banyak perbe- daan, dalam kehidupan yang besar yang penuh har- moni dan keseimbangan.