Anda di halaman 1dari 74

MENUJU

NEGARA KEBANGSAAN
MODERN
Wawasan Kebangsaan
dan Indonesia Masa Depan
Susilo Bambang Yudhoyono

Menuju Negara Kebangsaan Modern


Wawasan Kebangsaan dan Indonesia Masa Depan
Penulis : Susilo Bambang Yudhoyono
Penerbit : Brighten Press
Cetakan Pertama : Maret 2004
Cetakan Kedua : Mei 2004
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Menuju Negara Kebangsaan Modern Wawasan Kebangsaan dan
Indonesia Masa Depan, penulis, Susilo Bambang Yudhoyono,
cet. 2 Jakarta
65 + xii ; 11 x 15,5 cm
ISBN : 979-96431-7-1
v
MASALAH negara kebangsaan dan wawasan ke-
bangsaan memang telah menjadi isu yang sangat
pokok di Indonesia dewasa ini. Meski dampaknya
tidak terlalu kasat mata sebagaimana dampak ma-
salah-masalah ekonomi dan politik, namun justru
pada soal negara kebangsaan dan wawasan kebang-
saan inilah terletak inti masalah yang dihadapi Indo-
nesia. Menyangkut negara kebangsaan, misalnya,
pertanyaan yang sering muncul adalah: masih rele-
vankah keberadaan negara kebangsaan? Sedangkan
soal wawasan kebangsaan, banyak hal yang sekarang
mengundang pertanyaan. Misalnya, soal cita-cita
yang hendak dituju negara kebangsaan kita ini.Atau
Pengantar penerbit
vi
pertanyaan yang menyangkut pijakan bersama yang
dimiliki sebagai sebuah bangsa. Pendek kata, masa-
lah negara kabangsaan dan wawasan kebangsaan
adalah masalah visi, misi, dan tujuan. Tanpa ketiga-
nya, tak ada bangsa yang sanggup bertahan dan
menjadi bangsa besar di muka bumi ini.
Brighten Institute melihat penulis memaparkan
dengan gamblang dan inspiratif visi, misi, dan tujuan
Indonesia ke depannya. Untuk itulah Brighten
Institute memutuskan untuk menerbitkan paparan
penulis menjadi berbentuk buku, dengan tujuan
agar ide-ide yang disampaikannya bisa menjangkau
publik yang lebih luas. Seperti diucapkan sendiri
oleh penulis di akhir paparannya bahwa setelah me-
ngemukakan inti pemikirannya, kini saatnya saya
juga belajar dari seluruh warga bangsa, maka dari
buku ini diharapkan lahirnya tukar gagasan yang se-
gar dan kreatif mengenai masalah wawasan kebang-
saan: masalah yang bukan cuma menyangkut eksis-
tensi diri kita sekarang ini, melainkan yang terpen-
ting justru eksistensi kita dan anak-cucu kita di
masa depan.
Brighten Institute
vii
BANGSA Indonesia sedang menghadapi tahapan
yang sangat penting dalam perjalanan sejarahnya.
Berbagai perubahan yang bersifat internal maupun
eksternal tidak dapat dipungkiri akan berpengaruh
pada tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Masa
depan bangsa Indonesia akan ditentukan oleh sikap,
keputusan, dan tindakan kita dalam menyikapi ber-
bagai perubahan tersebut. Pengalaman bangsa sela-
ma menghadapi masa krisis multi-dimensi, yang di-
awali oleh krisis moneter, menyiratkan pentingnya
pemahaman yang benar tentang wawasan kebangsa-
an kita serta arah perjalanan bangsa ke depan.
Pemahaman wawasan kebangsaan yang benar
Prakata Penulis
viii
merupakan syarat keharusan untuk dapat mengelo-
la perubahan agar mampu menghasilkan bangun
bangsa dan negara seperti yang kita cita-citakan
bersama. Perubahan lingkungan internal dan eks-
ternal yang dihadapi suatu bangsa senantiasa memi-
liki aspek positif maupun negatif. Ada pihak yang
diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan oleh
adanya perubahan itu. Tanpa adanya pemahaman
wawasan kebangsaan yang benar, perubahan ling-
kungan tersebut akan sulit dikelola dan dimanfaat-
kan sebaik-baiknya bagi kemajuan bangsa dan
negara.
Perubahan merupakan suatu keniscayaan bagi
setiap bangsa. Namun bagaimana bangsa tersebut
menghadapi perubahan, di sanalah letak perbedaan
bangsa yang maju dengan bangsa yang terus ter-
tinggal dan terbelakang. Suatu bangsa akan lebih
mudah menghadapi dan mengelola perubahan apa-
bila telah ada pengertian dan pemahaman yang
benar dalam wawasan kebangsaannya. Tulisan ring-
kas ini memang dimaksudkan untuk memberikan
sumbangan pemikiran tentang wawasan kebangsaan
yang sangat penting bagi perjalanan hidup bangsa
Indonesia ke masa depan.
ix
Wawasan kebangsaan bukanlah sesuatu yang
bersifat statis dan tak berubah dari waktu ke waktu,
sebaliknya ia bersifat dinamis. Namun bukan berarti
juga wawasan kebangsaan tersebut dapat diubah-
ubah sekehendaknya. Seperti halnya bangun suatu
rumahtangga, ada bagian yang tidak mudah untuk
diubah dan ada bagian yang relatif mudah berubah.
Komitmen untuk hidup bersama dan saling menya-
yangi dan mengasihi merupakan landasan yang
seharusnya tetap menjiwai perjalanan rumahtangga.
Di atas landasan yang kokoh inilah rumahtangga
mengarungi suka-duka kehidupan, dan dalam per-
jalanannya ada berbagai hal yang berubah. Satu hal
yang tetap adalah komitmen anggota rumahtangga
untuk hidup bersama saling mengasihi, dan ini di-
wujudkan dalam menghadapi perubahan-perubah-
an yang terjadi.
Perjalanan bangsa Indonesia ke depan, menurut
hemat saya, seharusnya juga tetap berlandaskan pada
komitmen bersama seperti tertuang dalam Dasar
Negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Ber-
bagai perubahan yang terjadi hendaknya dihadapi
dengan sikap yang bijaksana. Perjalanan sejarah ke-
bangsaan Indonesia dan nilai-nilai dasar kebangsaan
x
perlu tetap menjadi acuan dalam menyikapi peru-
bahan. Hanya dengan cara inilah kita dapat selamat
dan membangun bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang besar dan modern.
Selanjutnya saya ingin mengucapkan terima ka-
sih kepada para scholars Brighten Institute -ter-
utama kepada Saudara Joyo Winoto, Ph.D.yang
membantu mengolah paparan yang saya sampaikan
dalam sebuah seminar tentang masalah kebangsaan
di Lemhanas menjadi sebuah buku. Selain itu saya
berterima kasih kepada saudara Aziz Ahmadi, Kurdi
Mustofa, M. Jauhar Arifin, dan juga Ronny Agus-
tinus dari Brighten Institute yang telah membantu
merakit dan merancang sampul buku serta meng-
urus pencetakannya.
Akhir kata, saya persembahkan buku ini kepada
segenap rakyat Indonesia.
Susilo Bambang Yudhoyono
xi
Pengantar Penerbit v
Prakata Penulis vii
Pendahuluan 1
Negara Kebangsaan dan Wawasan Kebangsaan 10
Acuan Pemikiran Negara Kebangsaan 10
Masalah Wawasan kebangsaan 13
Tujuan Negara Kebangsaan Indonesia 22
Nilai-Nilai Dasar yang Melandasi Tujuan Negara 22
Konstruksi Indonesia Masa Depan 25
Tantangan dan Ancaman Potensial 36
Langkah dan Agenda Ke Depan 57
Penutup 64
Daftar Isi
1
MENGEMBANGKAN negara kebangsaan Indo-
nesia yang berkelanjutan merupakan tugas terbesar
yang kita hadapi pasca kemerdekaan. Ia merupakan
inti perjuangan generasi-generasi pasca kemerde-
kaan: generasi 45, generasi 66, generasi 78, generasi
98, dan generasi-generasi yang akan datang.
Yang dimaksud dengan negara kebangsaan di
sini sejalan dengan arti kata nation-state yang sering-
kali diterjemahkan sebagai negara kebangsaan, ne-
gara-nasional atau negara bangsa. Sedangkan pe-
ngertian negara kebangsaan mengacu pada penger-
tian negara kebangsaan sebagaimana dinyatakan
oleh Bung Karno dalam pidato tentang Pancasila
Pendahuluan
2
tanggal 1 Juni 1945. Di sana dinyatakan bahwa ke-
bangsaan kita adalah dalam pengertian nationale
staat, suatu sistem kebangsaan yang terikat pada ta-
nah air Indonesia.
Sementara itu saya mengartikan negara kebang-
saan Indonesia yang berkelanjutan sebagai a sus-
tainable Indonesia. Dalam pengertian ini maka
negara kebangsaan Indonesia dimaknai secara lebih
dinamis, tetapi tanpa mengkompromikan prinsip-
prinsip dasar dan konsensus dasar pendirian negara
kita. Artinya, perjalanan kenegaraan harus menyan-
darkan diri pada proses kesejarahannya. Tetapi ber-
samaan dengan itu tetap memiliki ketajaman dan
kecerdasan kolektif untuk memposisikan negara
dalam perspektif kekinian serta dengan arahan masa
depan yang jelas.
Oleh karena itu kita harus cerdas untuk me-
mosisikan negara kita dalam percaturan dunia tanpa
harus mengorbankan kepentingan-kepentingan
dasar dari rakyat, bangsa, dan negara kita. Pertanya-
annya, kapan kita mampu bersikap dan berbuat se-
macam ini? Hal ini mungkin terjadi jika wawasan
kebangsaan kita bersifat inklusif, dalam pengertian
terbuka dan memiliki kesanggupan menyatukan
3
atau mempersatukan.Tentu menyatukan dan mem-
persatukan dalam pengertian yang dinamis, sebagai-
mana tercermin dari makna kata Bhinneka Tung-
gal Ika. Dalam konteks ini maka wawasan kebang-
saan kita harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai
universal kemanusiaan dan nilai-nilai dasar serta
kontemporer yang berkembang dalam masyarakat
kita sendiri.
Untuk itu kita harus berjuang menjadikan ne-
gara kita negara yang kuat dan terhormat. Negara
yang mampu menyejahterakan rakyatnya secara
berkeadilan sehingga nilai-nilai kemanusiaan tum-
buh subur dalam kehidupan kebangsaan dan ke-
rakyatan kita. Dan dalam negara yang seperti itu
kita akan mampu berperan secara aktif dalam per-
caturan internasional dan regional dalam keseta-
raan. Dalam situasi yang berkembang seperti itu
maka kita akan mampu berperan aktif dalam per-
caturan politik, ekonomi dan budaya internasional
dan global.
Bagaimanapun wujud negara kebangsaan yang
berkelanjutan adalah cita-cita kemerdekaan. Lebih
dari itu, ia bahkan mendasari perjalanan panjang
perjuangan rakyat untuk memerdekakan diri dari
4
penjajahan. Kemudian ia juga mendasari konsensus
bersama lahirnya negara Proklamasi 17 Agustus
1945. Dalam perjalanannya, negara kebangsaan yang
berkelanjutan juga menjadi wahana aktualisasi nilai-
nilai dan jati diri rakyat secara kolektif.
Pendek kata, ia adalah inti perjuangan kita sejak
masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Mengapa
ia menjadi inti perjuangan? Ini karena kita berang-
kat dari suatu keyakinan bahwa hanya dalam negara
kebangsaan Indonesia yang berkelanjutanlah maka
nilai-nilai, cita-cita, dan tujuan nasional dapat diwu-
judkan. Meskipun hal itu dibarengi dengan suatu
kesadaran bahwa proses perwujudannya mesti di-
tempuh secara bertahap dengan melewati gelom-
bang pasang naik dan pasang surut perkembangan
negara dan bangsa.
Oleh karena itu, perjuangan mengembangkan
dan mewujudkan negara kebangsaan yang berke-
lanjutan adalah perjuangan berat. Bobotnya tidak
kalah beratnya dengan perjuangan untuk memerde-
kakan diri dari penjajahan. Perjuangan itu sendiri
sekarang, antara lain, tergambar dari perjuangan un-
tuk mempertahankan dan mengembangkan, ke-
langsungan masyarakat Indonesia dalam wadah
5
negara kesatuan. Dan karena beratnya tantangan
perjuangan, maka perjuangan itu menuntut refleksi
dan pemaknaan yang dalam serta tak berkesudahan
terhadap keseluruhan proses perjuangan kemerde-
kaan negara dan bangsa.
Tidak hanya itu. Ia juga menuntut kemampuan
dan kapasitas yang terus berkembang untuk mewu-
judkan tujuan dan cita-cita. Kemampuan pengelo-
laan dan sensitivitas kebatinan yang tinggi atas re-
alitas kehidupan masyarakat yang masih jauh dari
kemakmuran dan keadilan. Kemampuan meman-
dang dan mengartikulasikan masa depan Indonesia
yang terus berkembang. Begitu pula upaya tak ber-
kesudahan untuk menjadikan Indonesia sebagai
negara kebangsaan modern. Dan tentu saja kecer-
dasan yang terus berkembang untuk menyikapi
hubungan internasional dan global yang terus
berubah.
Perjuangan tersebut menjadi lebih berat lagi
mengingat wawasan kebangsaan telah dan akan di-
tentukan oleh lebih banyak lagi faktor. Ia tidak lagi
sesederhana masa perjuangan kemerdekaan. Meski-
pun ia masih terikat oleh akar sejarah dan nilai-nilai
kolektif kita, tetapi lebih banyak lagi ditentukan
6
oleh kualitas proses dan hasil pembangunan yang
telah dan akan dilakukan.
Oleh sebab itu naik turunnya wawasan kebang-
saan berkorelasi dengan kualitas proses dan hasil
pembangunan yang dirasakan masyarakat. Wawasan
kebangsaan tumbuh subur dalam alam pembangun-
an yang memberdayakan dan memakmurkan secara
berkeadilan. Sebaliknya wawasan kebangsaan akan
mengering, menyempit dan meluruh bila pemba-
ngunan berkembang sebaliknya: tidak member-
dayakan dan tidak memakmurkan.
Wawasan kebangsaan juga naik turun oleh fak-
tor lain: globalisasi. Pengaruhnya terhadap perkem-
bangan wawasan kebangsaan sangat besar. Di sam-
ping globalisasi juga mempengaruhi kualitas proses
dan hasil pembangunan. Interaksi antara kualitas
pembangunan dan globalisasi pada gilirannya juga
akan berpengaruh pada pemaknaan nilai-nilai, jati
diri, dan konsensus kebangsaan. Sedangkan hasil
pemaknaannya secara lebih lanjut berpengaruh ter-
hadap perkembangan wawasan kebangsaan kita.
Dinamis. Berkembang pesat. Berubah cepat.
Itulah ciri-ciri lingkungan di mana upaya mewu-
judkan Indonesia modern harus dimasuki. Padahal
7
kondisi masyarakat masih belum berkemakmuran
secara berkeadilan. Sementara tantangan terus ber-
ubah dan berkembang. Pada saat yang sama harapan
masyarakat juga terus berubah dan berkembang.
Konteks internasional pun terus berubah dan ber-
kembang. Internasionalisasi nilai-nilai dan gaya hi-
dup terus berlangsung. Semuanya ini pada akhirnya
memberikan perspektif baru dalam menuju negara
kebangsaan modern yang berkelanjutan.
Semuanya itu menjadikan perjuangan pasca
kemerdekaan menjadi lebih berat lagi. Namun de-
mikian saya yakin, kita bisa dan mampu memper-
juangkannya. Indonesia modern yang berkelanjutan
pada saatnya pasti terwujud. Asalkan, perjuangan
yang dilakukan tidak ahistoristidak terputus dari
akar perjalanan sejarah. Juga, perjuangan yang di-
lakukan diletakkan dalam perspektif masa depan
yang jelas.
Perjuangan berat yang disebutkan di atas akan
lebih mudah dilakukan jika ia diletakkan dalam ke-
rangka berpikir interaktif dari empat hal berikut,
yang keseluruhannya dipandu oleh sistem nilai his-
toris yang kita miliki. Keempat hal interaktif terse-
but adalah :
8
a. perjalanan sejarah bangsa Indonesia dengan
nilai-nilai dasar kebangsaan yang akan menjadi
acuan;
b. interaksi internasional yang melahirkan nilai-
nilai kontemporer yang terus berkembang dan
terus berubah;
c. kondisi kehidupan masyarakat yang masih be-
lum berkemakmuran dan masih belum tertata
dalam suatu sistem yang berkeadilan sejak sebe-
lum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan;
dan
d. pengaruh globalisasi dan arah perkembangan
globalisasi ke depan.
Dengan keempat pertimbangan ini maka kita
tidak perlu reaktif atas realitas kenegaraan, kebang-
saan, dan kemasyarakatan yang berkembang. Begitu
pula kita tidak perlu terkaget-kaget dengan ke-
nyataan sosial yang terjadi. Justru melalui kerangka
berpikir di atas, saya mengajak untuk secara bersama
memahami realitas kehidupan yang terjadi dan
secara bersama pula mengartikulasikan masa depan
kita.
Berikut uraian perspektif saya mengenai ke-
bangsaan Indonesia modern. Termasuk penyikapan
9
saya terhadap berbagai isu kebangsaan dan kene-
garaan yang berkembang. Apakah itu lahir akibat
sikap konservatif, akibat realitas kehidupan masya-
rakat yang belum berkemakmuran, maupun realitas
kehidupan global yang sudah merubah makna-
makna kedaulatan dalam kehidupan modern. Sete-
lah itu akan saya ajukan agenda-agenda besar pem-
bangunan menuju Indonesia modern berdasarkan
prinsip dan pemikiran yang telah dikemukakan di
atas.
10
Acuan Pemikiran Negara Kebangsaan
KALAU dalam buku ini saya mengemukakan suatu
konsepsi tentang negara kebangsaan, maka perta-
nyaannya pertama adalah apa yang dimaksud de-
ngan istilah negara kebangsaan. Lalu kedua, menga-
pa saya memilih istilah negara kebangsaan? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka
saya perlu mengingatkan kembali kepada salah satu
pidato Bung Karno yang paling terkenal, yaitu ten-
tang Pancasila yang diucapkan pada tanggal 1 Juni
1945.
Dalam pidato tersebut, Bung Karno, antara lain
mengemukakan: Ke sinilah kita semua harus menuju:
Negara Kebangsaan dan
Wawasan Kebangsaan
11
mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi
Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian
Nationale Staat ini yang kemudian sering disebut dengan
nation state, negara nasional, negara kebangsaan.
Istilah yang dikemukakan oleh Bung Karno
tersebut sebenarnya hasil dari mengkombinasikan
definisi bangsa dari Otto Bauer dan Ernest Renan,
dengan pandangan kebangsaan Ki Bagoes Hadikoe-
soemo atau Tuan Munandar. Otto Bauer dan Ernest
Renan, sebagaimana pernah dikemukakan oleh
Bung Karno, menekankan arti natie, nation atau
bangsa lebih pada kehendak untuk hidup bersama.
Sedangkan Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Tuan
Munandar lebih menekan kepada persatuan antara
orang dan tempat (catatan: Bung Karno pada waktu
itu setengah ingat siapa persisnya yang mengemukakan:
Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Tuan Munandar)
Kombinasi dari definisi ini yang kemudian
diadopsi sebagai pengertian dari negara kebangsaan.
Ini dalam pengertian bahwa yang menjadi unsur
penting dari berdirinya negara kebangsaan tidak saja
karena adanya kesamaan kehendak untuk hidup ber-
sama, tetapi juga adanya persatuan orang dan tempat.
Oleh karena itu kalau saya mengemukakan istilah
12
negara kebangsaan, negara nasional, nation state, atau
nationale staat, maka sesungguhnya yang dimaksud-
kan adalah sama dengan apa yang pernah dikemu-
kakan oleh Bung Karno tersebut.
Dalam konteks ini maka bisa dikemukakan
bahwa yang mengikat kita menjadi sebuah bangsa
sekarang ini, menjadi bangsa Indonesia, adalah kita
memiliki konsensus masa kini dan kita ingin hidup
bersama di masa depan. Sedangkan sistem kebang-
saan kita adalah suatu sistem kebangsaan yang ter-
ikat pada tanah air Indonesia dan bukan suatu sis-
tem kebangsaan yang terikat pada suatu daerah atau
suatu suku.
Sejalan dengan apa yang sudah dikemukakan
itu, saya juga ingin mengangkat definisi negara ke-
bangsaan yang berkembang secara kontemporer.
Misalnya, saya ambil satu pengertian seperti yang
dikemukakan oleh Guibernau (1996). Menurutnya,
bangsa adalah :
a human group conscious of forming
community, sharing a common culture
attached to clearly demarcated territory,
having a common past and a common proj-
ect for the future and claiming the right to
13
rule itself.Thus nation includes five dimen-
sions : psychological, cultural, territorial,
political, and historical.
Apa yang menarik dari definisi ini adalah kese-
padanannya dengan pengertian yang diberikan oleh
Bung Karno. Sebagaimana didefinisikan di situ,
negara kebangsaan memiliki unsur-unsur penting
pengikat, yaitu: psikologi (sekelompok manusia
yang memiliki kesadaran bersama untuk memben-
tuk satu kesatuan masyarakat adanya kehendak
untuk hidup bersama), kebudayaan (merasa menja-
di satu bagian dari suatu kebudayaan bersama), teri-
torial (batas wilayah atau tanah air), sejarah dan masa
depan (merasa memiliki sejarah dan perjuangan
masa depan yang sama) dan politik (memiliki hak
untuk menjalankan pemerintahan sendiri). Jadi da-
lam negara modern dan dalam telaah kontemporer
bangsa-bangsa, apa yang disampaikan oleh Bung
Karno tentang negara kebangsaan ternyata masih
sepenuhnya relevan.
Masalah Wawasan Kebangsaan
Selanjutnya mengenai masalah wawasan kebangsa-
an. Ada dua hal yang perlu kita kemukakan sehu-
14
bungan dengan wawasan kebangsaan ini. Pertama,
mengapa kita masih harus berbicara tentang wawas-
an kebangsaan? Yang kedua, wawasan kebangsaan
Indonesia seperti apa yang hendak dituju di masa
depan? Pertanyaan ini penting dikemukakan agar
kita tahu betul posisi diri sehingga tidak tersesat di
dalam suatu rimba raya. Ketersesatan yang pada era
transisi dan reformasi ini bisa menimbulkan berba-
gai disorientasi dan ketidakpastian. Dalam kaitannya
dengan hal ini saya ingin mengangkat satu fenome-
na yang terjadi pada masa transisi, yaitu kesalahan
berfikir atau fallacy.
Selama ini banyak di antara kita, bahkan yang
mengaku dirinya sebagai kaum reformis, memaknai
reformasi itu hanya sebagai perubahan (change). Me-
reka lupa bahwa sesungguhnya reformasi itu suatu
proses, yang dalam proses tersebut selain harus dila-
kukan suatu perubahan juga dipertahankan suatu
keberlanjutan yang kita sebut dengan kesinambung-
an (continuity).
Rasa kebencian terhadap perkembangan masa
lalu, yang tidak jarang disertai dengan fikiran-fikiran
yang kelihatannya revolusioner, seringkali mendo-
rong mencuatnya suatu anggapan bahwa semua hal
15
yang pernah ada di masa lalu sudah pasti usang,
tidak reformis, dan karena itu, tidak diperlukan lagi.
Sebagai gambaran, pada kurun tahun 1998-1999
dan 2000-2001, amat jarang diangkat kembali hal-
hal yang berkaitan dengan persoalan: Ketahanan
Nasional,Wawasan Kebangsaan, Hankamrata, Stabiltas
Nasional, Persatuan Nasional, Kepentingan Nasional,
Nasionalisme dan sebagainya. Persoalan-persoalan
semacam itu seringkali dihubungkan dengan ga-
gasan-gagasan yang berkembang di masa lalu. Se-
hingga kalau kita mengemukakan persoalan-per-
soalan seperti itu, mudah sekali dianggap tidak
reformis, konservatif, sudah ketinggalan zaman dan
kuno. Oleh karena itu juga dianggap tidak relevan
lagi berbicara tentang masalah tersebut. Hal-hal se-
perti inilah yang saya maksudkan sebagai fenomena
kesalahan berfikir. Pukul rata bahwa semua yang
berhubungan dengan masa lalu adalah salah, buruk,
tidak diperlukan, dan tidak bermanfaat lagi untuk
masa depan.
Kita harus menyadari bahwa bagaimanapun re-
formasi itu merupakan suatu proses. Proses menuju
ke suatu perubahan yang diinginkan. Sedangkan
perubahan itu sendiri pada hakikatnya juga meru-
16
pakan suatu proses. Sehingga untuk mencapai
perubahan itu, tentu saja tidak akan ada jalan pintas.
Kembali lagi perlu proses. Sedangkan proses (menu-
ju perubahan) yang baik adalah paduan dari fungsi
waktu dan pengelolaan yang benar dan tepat atas
proses perubahan itu.
Atas dasar pemahaman itu maka dalam menem-
puh perjalanan reformasi, perjalanan menuju peru-
bahan yang lebih baik, kita perlu terus menerus me-
lakukan koreksi diri. Oleh karena itu dalam era ke-
terbukaan, perubahan dan transisi ini jangan kehi-
langan keyakinan diri. Lupa bahwa reformasi, bagai-
manapun tetap membutuhkan suatu proses. Tetap
harus melewati suatu perjalanan waktu, yang untuk
sampai ke tujuan yang dikehendaki memerlukan
proses. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita
harus mengerti dan menyadari bahwa ada sejumlah
sistem, tatanan dan doktrin yang pada prinsipnya
harus tetap berlanjut sebagai bagian dari kesinam-
bungan dalam reformasi. Sebaliknya untuk hal yang
sama ada, tentu pula yang mesti dihapus, diganti
atau pun dibuang.
Selanjutnya, melengkapi pertanyaan pokok se-
putar masalah wawasan kebangsaan sebagaimana di-
17
kemukakan di atas, ada enam kelompok pertanyaan
kritis lanjutan yang perlu didialogkan dan dicari
jawabannya. Enam kelompok pertanyaan kritis ini
penting dikemukakan. Ini terutama untuk memacu
mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan pokok
di atas. Pertanyaan pokok yang mendasari masalah
wawasan kebangsaan yang sedang kita hadapi ber-
sama ini. Pertanyaan pokok yang jawabannya bisa
bahan bagi upaya mereformulasi wawasan kebang-
saan dalam kerangka kehidupan bernegara dalam
jangka sekarang dan ke depan. Pertanyaan-perta-
nyaan kritis itu, antara lain:
Pertanyaan kritis pertama. Mengapa kita
harus berbicara lagi tentang wawasan kebangsaan?
Apakah ada ancaman dan juga degradasi terhadap-
nya? Apakah perkembangan kehidupan berbangsa
dan bernegara ini menyimpang dari nilai, jati diri
dan konsensus dasar kebangsaan yang telah ditetap-
kan oleh para pendiri republik?
Pertanyaan kritis kedua. Apakah pemikiran
dan debat yang muncul dalam era transisi dan refor-
masi dewasa ini? Mari kita menengok perjalanan ke
belakang sedikit, paling tidak hingga waktu enam
tahun terakhir ini, suatu kurun yang disebut sebagai
18
era reformasi.Yang muncul secara menonjol adalah:
(1) diskursus tentang amandemen UUD 1945; (2)
perdebatan tentang pilihan negara federalisme versus
unitarisme; (3) pemberian otonomi khusus untuk
Aceh dan Papua; (4) gejala penguatan kembali pri-
mordialisme dan gerakan sub-nasionalisme; (5) upaya
untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta
meskipun ini tidak dalam skala yang besar.
Pemikiran dan debat yang muncul itu kemudi-
an menimbulkan pertanyaan lanjutan, yaitu: apakah
semua itu bisa menjadi ancaman terhadap wawasan
kebangsaan dan keberlanjutan negara atau bangsa
Indonesia di masa depan. Sebagai contoh, Aceh dan
Papua, misalnya, telah memperoleh otonomi khu-
sus. Hal seperti ini sudah dianggap solusi final, jalan
politik yang terbaik, dan karena itu, tidak ada kamus
merdeka bagi Aceh dan Papua. Meskipun begitu 2 - 3
tahun yang lalu muncul wacana politik yang hangat,
apakah tidak terlalu jauh memberikan status sebesar
itu (otonomi khusus)?
Pertanyaan kritis ketiga. Apakah berkem-
bangnya nilai-nilai universal dalam era gobalisasi
memiliki pengaruh terhadap konsep wawasan ke-
bangsaan? Nilai-nilai yang dianggap universal itu
19
misalnya seperti: demokrasi, HAM, lingkungan
hidup, pasar terbuka, penegakan hukum (rule of law),
konsep keamanan manusia (human security) dan in-
tervensi kemanusiaan (humanitarian intervention), ser-
ta teori kedaulatan yang baru. Misalnya saja, bagai-
mana pengaruhnya terhadap wawasan kebangsaan
ketika nasionalisme dianggap sudah tidak relevan
lagi. Anggapan ini bisa saja muncul karena adanya
penilaian bahwa faham nasionalisme sudah usang
dan kuno, atau berdasarkan penilaian lain bahwa
peran negara kebangsaan dalam siatem kesatuan du-
nia (globalisasi) sudah merosot.
Pertanyaan kritis keempat. Apakah kebang-
kitan suatu kekuatan yang dalam istilah politik dise-
but sebagai ultra-nasionalisme (yang serba curiga
dan cenderung anti terhadap pihak asing) serta
ultra-globalisme (yang cenderung memuja dan le-
bih setia pada tatanan global), merupakan suatu
ancaman? Sedangkan keduanya, baik ultra-nasional-
isme dan ultra-globalisme, boleh dikatakan telah
muncul dalam era transisi dan reformasi ini, yang
pengaruhnya, sedikit banyak, turut meluruhkan
wawasan kebangsaan kita.
Pertanyaan kritis kelima. Apa sesungguhnya
20
hakikat, kerangka dan bangun dasar dari wawasan
kebangsaan dan negara kebangsaan Indonesia di
masa kini dan masa depan? Lalu bagaimana upaya
nasional kita untuk memperkuat, membangun dan
mengembangkan wawasan kebangsaan dan negara
kebangsaan Indonesia tersebut?
Pertanyaan kritis keenam. Dalam rangka
memperkuat dan membangun wawasan kebangsaan
dan kehidupan bernegara ke depan, bagaimana kita
menyikapi dan meletakkan berbagai isu strategis?
Isu strategis itu, misalnya, seperti: (1) aktualisasi nilai,
jati diri dan konsensus dasar kebangsaan negara pro-
klamasi 17 Agustus 1945; (2) pikiran-pikiran baru
seperti amandemen UUD 1945 dan sistem federal-
isme; (3) faham dan gerakan sub-nasionalisme; (3)
globalisasi dan gerakan universalisme; (4) isu tentang
liberty versus security (kebebasan lawan keamanan),
atau keseimbangan antara demokrasi, HAM dan civil
society di satu pihak, dengan stabilitas, keamanan dan
ketertiban umum di pihak yang lain.
Dalam hal ini masalahnya adalah bagaimana kita
membangun ekuilibrium atau keseimbangan ter-
hadap isu-isu strategis tersebut. Lalu bagaimanakah
arah dan agenda reformasi termasuk apakah
21
pengelolaan masa transisi tersebut sudah benar?
Lalu kalau kita bicara tentang konsepsi kewaspadaan
nasional, bagaimana aktualisasinya di masa sekarang?
Ini dikaitkan dengan pemahaman tentang konsepsi
kewaspadaan nasional di waktu lalu, yang lebih
mengarah pada tuntutan untuk harus waspada ter-
hadap bahaya komunisme, fundamentalisme agama
dan liberalisme.
Itulah pertanyaan-pertanyaan kritis, yang ja-
wabannya membutuhkan perenungan bersama.
Yang pasti, tidak ada jawaban tunggal yang paling
benar terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis itu. Ini
karena keluasan dan kedalaman masalah yang ter-
cakup dalam persoalan wawasan kebangsaan kita
sekarang ini. Sehingga selain membutuhkan pere-
nungan bersama, jawaban atas pertanyaan kritis,
memerlukan pula dialog bersama. Dialog yang pro-
sesnya diharapkan mengarah pada terjadinya suatu
pertemuan pikiran untuk membangun kesepakatan
dan konsensus nasional yang baru di antara segenap
elemen bangsa. Konsensus nasional tentang wawas-
an kebangsaan dalam kerangka kehidupan berbang-
sa dan bernegara di masa kini dan masa depan.
22
Nilai-Nilai Dasar
yang Melandasi Tujuan Negara
KETIKA pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,
sesungguhnya pada waktu itu kita mulai memba-
ngun suatu konsensus dasar tentang negara kebang-
saan dan wawasan kebangsaan. Proses membangun
konsensus dasar itu menghasilkan dan membawa
Pancasila, UUD 1945, NKRI serta konsepsi Bhin-
neka Tunggal Ika untuk ditempatkan sebagai nilai
dasar (basic values) yang melandasi keberadaan negara
dan bangsa yang ketika itu baru saja merdeka. Ini
merupakan momen sejarah ini sangat penting ini
Tujuan Negara
Kebangsaan Indonesia
23
dan yang terbukti ikut menentukan perjalanan ne-
gara dan bangsa Indonesia di kemudian hari.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno, agenda kebangsaan dan wawasan kebang-
saan terus berkembang. Dalam konteks kehidupan
bernegara dan berbangsa pada waktu itu, agenda
kebangsaan dan wawasan kebangsaan yang menon-
jol, di samping nilai dasar yang sudah ada adalah
persatuan, kedaulatan dan pembentukan karakter
bangsa (nation and character building). Harus diakui,
dengan mengedepankan agenda kebangsaan dan
wawasan kebangsaan ini, Bung Karno pada waktu
itu mampu mengangkat tinggi kehidupan kebang-
saan. Lebih dari itu konsepsi nation and character
building malahan masih terus hidup dan berlanjut
menyertai perjalanan kebangsaan hingga sekarang.
Lalu datang masa pemerintahan Pak Harto. Di-
dorong oleh kebutuhan zaman maka agenda ke-
bangsaan yang mengemuka pada waktu itu adalah
pentingnya stabilitas, tatanan atau order, pembangun-
an ekonomi dan pembangunan sistem (system build-
ing). Jadi kalau Bung Karno mengedepankan pem-
bangunan karakter bangsa (nation character building)
maka Pak Harto melanjutkannya dengan pemba-
24
ngunan sistem (system building).
Kemudian tiba zaman pemerintahan Presiden
Habibie, Gus Dur, dan Presiden Megawati. Meski-
pun masa transisi ini masih terus berlangsung, nam-
paknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa agenda
kebangsaan yang utama adalah reformasi dan re-
konstruksi, menuju ke kebangkitan kembali Indo-
nesia sebagai negara kebangsaan. Dalam pandangan
saya, dalam reformasi dan rekonstruksi yang memi-
liki skala yang besar dan cakupan yang luas ini, di
samping kita harus mampu bangkit kembali dari
krisis nasional yang dahsyat, agenda-agenda besar
yang oleh para pemimpin bangsa terdahulu telah di-
canangkan dan dijalankan yaitu nation and character
building dan system building patut terus kita mantap-
kan di era reformasi ini.
Terlepas dari persoalan yang berkaitan dengan
perjalanan sejarah agenda kebangsaan kita, ada satu
pertanyaan penting tersisa yang mesti dijawab. Be-
rangkat dari gambaran perjalanan sejarah agenda
kebangsaan kita maka ke depan Indonesia akan me-
nuju ke mana? Ini pertanyaan menyangkut visi per-
jalanan kebangsaan Indonesia dalam jangka depan,
jangka panjang, mencakup kurun, mungkin, 20, 30
25
atau 50 tahun lagi. Inilah yang saya konstruksikan
dalam rumusan Indonesia masa depan. Rumusan
yang mewarnai dimensi waktu dari keseluruhan
tema tulisan maupun judul dari buku ini.
Konstruksi Indonesia Masa Depan
Dalam mengkonstruksi Indonesia masa depan, yang
pertama kali dipegang adalah Indonesia (masa de-
pan) harus tetap Indonesia yang memiliki dan me-
megang cita-cita dan tujuan semula yang rumusan-
nya telah dipatrikan dalam konstitusi UUD 1945,
terutama bagian pembukaan (preambul). Ini tercer-
min dari dua kalimat penting yang tercantum dalam
rumusan pembukaan UUD 1945 tersebut, yaitu:
...mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang mer-
deka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, dan
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indo-
nesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksa-
nakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerde-
kaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...
26
Yang kedua, Indonesia masa depan haruslah
Indonesia yang tetap memiliki dasar negara Panca-
sila. Jadi negara Indonesia adalah Negara Pancasila,
bukan negara komunis, negara agama atau negara
apapun. Negara Pancasila yang dimaksudkan itu
(baca: Indonesia masa depan) mampu mewujudkan
keinginannya untuk menjadi negara yang stabil,
adil, demokratis dan sejahtera. Negara yang memi-
liki dan mampu memenuhi kriteria universal, yaitu:
berkembangnya masyarakat yang baik (good society),
berkembangnya perekonomian yang baik (good
economy), hadirnya proses-proses politik yang baik
(good political process) dan terpeliharanya lingkungan
yang baik (good environment).
Begitu pula negara Indonesia ke depan juga ha-
rus memenuhi syarat dan bisa dikategorikan sebagai
negara sukses. Dalam abad informasi sekarang ini
maka yang disebut negara sukses adalah negara-ne-
gara memiliki beberapa ciri atau syarat. Pertama,
negara yang bersangkutan mampu menjaga kelang-
sungan dan keberlanjutannya. Dalam konteks Indo-
nesia masa depan hal ini harus tercermin dari ada-
nya kelangsungan dan keberlanjutan eksistensi Ne-
gara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
27
Kedua, negara yang bersangkutan mampu me-
wujudkan keadilan dan kebebasan. Pengertian dan
pemahaman terhadap kata kebebasan (freedom) di
sini tidak boleh terlepas dari sesuatu pembatasan
yang sifatnya mengandung unsur nilai tanggung
jawab. Jadi kebebasan yang dibatasi oleh rasa dan
kehendak untuk bertanggung jawab. Ciri atau syarat
yang ketiga adalah negara yang bersangkutan mam-
pu menciptakan, menumbuhkan dan mengem-
bangkan keharmonisan sosial.
Dalam konteks ini kita harus belajar dari
pengalaman yang sejak beberapa tahun ini kita
hadapi yaitu merebaknya berbagai konflik sosial
yang berbasis rasial, komunal, ekonomi, politik,
agama. Konflik sosial yang multidimensi dan saling
tumpang tindih basisnya. Oleh karena itu dalam
perjalanan negara Indonesia ke depan, masalah ini
harus menjadi bahan pembelajaran bangsa yang
hasilnya diharapkan mampu mendorong bangsa
Indonesia supaya hidup lebih harmonis, penuh to-
leransi serta kerukunan.
Kemudian ciri dan syarat yang terakhir, negara
yang bersangkutan harus mampu mempersiapkan
diri untuk menghadapi masa depan. Mengingat te-
28
rus berlangsungnya berbagai perubahan yang cepat
dan dinamis dalam lingkungan kehidupan bangsa-
bangsa di dunia, dan dalam banyak aspek juga ling-
kungan kehidupan bangsa Indonesia sendiri, maka
upaya mempersiapkan diri untuk menghadapi masa
depan pasti tidak mudah. Sebab perubahan yang
cepat tersebut telah membawa segala sesuatu yang
berkembang dalam lingkungan kehidupan tersebut
cepat usang, cepat ketinggalan zaman. Sehingga
hampir tidak ada waktu sejenak pun bagi kita untuk
tidak mencermati, mempelajari dan berusaha de-
ngan bekerja keras mengambil manfaat sebaik-baik-
nya dari proses perubahan yang cepat tersebut. Atau
Indonesia termasuk kategori negara yang tidak suk-
ses karena tidak mampu mempersiapkan diri untuk
menghadapi masa depan. Tentu bukan demikian
yang diharapkan.
Itulah konstruksi negara Indonesia masa depan
menurut pandangan saya. Negara yang di masa
depan, yang selain mampu mendudukkan dirinya
dalam dalam kategori negara sukses, juga negara
yang terus tetap memegang teguh nilai-nilai kese-
jarahannya, yaitu sebagai negara proklamasi 17
Agustus 1945. Negara yang tetap teguh menjun-
29
jung tinggi empat konsensus dasar yang sudah diru-
muskan oleh para Bapak Pendiri Negara: Pancasila,
UUD 1945, Negara Kesatuan, dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Oleh karena itu, kita sebaiknya tidak lagi mem-
perdebatkan dengan alasan apa pun, termasuk
alasan kompetisi politik konsensus dasar tersebut.
Sebaliknya konsensus dasar atau fundamental consen-
sus ini harus dimaknai sebagai konsensus setiap ge-
nerasi, kapanpun dan di mana pun.
Bagaimanapun, negara Indonesia masa depan
adalah negara yang mampu mempertahankan keber-
lanjutannya sebagai negara kebangsaan modern.
Negara yang mampu merespon perkembangan ling-
kungan strategis, global, regional dan nasional. Da-
lam konteks yang terakhir ini harus dipahami bahwa
Indonesia hidup dalam lingkungan yang terus dan
selalu berubah cepat. Sehingga karena itu, suka atau
tidak suka, mau atau tidak mau, kita juga harus ber-
ubah.Atau kita akan tidak mampu mempertahankan
negara kebangsaan Indonesia yang berkelanjutan.
Hanya saja, memang, segala perubahan yang di-
lakukan dan terjadi di negeri ini tidak boleh di-
kendalikan begitu saja oleh perubahan global. Peru-
30
bahan yang dilakukan tidak boleh disubordinatkan
atau malahan diabdikan semata-mata bagi kepen-
tingan asing dan kepentingan global.Yang pasti dan
harus menjadi pegangan, kita berubah karena
memang harus berubah, dan perubahan itu sendiri
tetap harus sepenuhnya dalam kerangka pemikiran,
pemahaman dan kepentingan kita. Jadi perubahan
yang dasarnya diikat oleh agenda dan tujuan yang
ditetapkan oleh kita sendiri.
Mungkin saja ada orang yang ragu bahwa da-
lam masa transisi ini, pertumbuhan dan perkem-
bangan negara kebangsan Indonesia sudah dianggap
tidak cocok lagi dengan norma-norma negara
modern. Mungkin mereka merasa bahwa Indonesia
ini tidak melangkah ke arah perkembangan yang
benar. Mungkin banyak sekali pikiran-pikiran
menggoda, pikiran-pikiran nakal yang ekspresinya
mencerminkan kalimat-kalimat seperti: wah kita
ini kurang demokratis, lihat dunia sudah berubah, Indo-
nesia masih begini-begini saja. Tetapi apakah hal se-
perti itu sepenuhnya benar?
Yang jelas, kalau melihat dan mengacu pada
teori, konsep dan juga sistem yang hingga sekarang
berlaku pada tingkat dunia, keberadaan negara ke-
31
bangsaan Indonesia sesungguhnya masih menggam-
barkan dan mencerminkan suatu ciri-ciri negara
yang disebut negara modern. Ada pun ciri-ciri
negara modern yang saya maksudkan adalah:
Pertama, negara modern itu harus memiliki kon-
trol terhadap penggunaan kekerasan atau ke-
kuatan koersif. Misalnya, ada kejahatan berskala
besar, negara memiliki kewenangan dan kemam-
puan menggunakan kepolisian untuk mengatasinya.
Ada ancaman terorisme, negara juga punya kewe-
nangan untuk memeranginya. Pendek kata, ke-
kuatan koersif menjadi milik sah dari negara, yang
akan dan harus digunakan secara benar dan tepat
untuk mewujudkan dan mempertahankan kese-
lamatan, keamanan dan ketentraman rakyat dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan
hanya negaralah, bukan pihak lain dalam masya-
rakat, yang memiliki monopoli dan kontrol atas
penggunaan kekuatan koersif itu.
Kedua, teritorialitas. Negara semodern apa-
pun kenyataannya tetap menganut prinsip terito-
rialitas atau keutuhan wilayahnya. Tidak terkecuali,
negara kebangsaan Indonesia pun juga menganut
prinsip yang demikian itu. Oleh karena itu jangan
32
pernah tergoda dan terpengaruh buaian-buaian
yang sekarang berkembang seperti yang terefleksi
dari pikiran-pikiran sentrifugalisme. Pikiran-pi-
kiran yang memandang bahwa atas nama zaman
global maka setiap kelompok bangsa, suku bangsa,
bisa dan boleh memisahkan diri.
Ketiga, kedaulatan negara. Negara modern,
tidak peduli se-global apapun konsepsi yang dianut-
nya, ternyata masih memegang teguh dan memper-
tahankan prinsip kedaulatan. Indonesia juga meme-
gang dan mempertahankan konsepsi negara ber-
daulat. Meskipun sekarang mulai ada dan berkem-
bang pikiran-pikiran baru tentang kedaulatan yang
baru, atau kelompok-kelompok yang menginstro-
duksi konsep dan teori kedaulatan baru, yang pe-
ngertiannya akan dijelaskan lebih lanjut dalam ba-
gian berikutnya dari buku ini. Tetapi inti dari kon-
sep kedaulatan baru adalah suatu konsepsi yang
memandang bahwa penentu dari proses kehidupan
bangsa itu bukan keberadaan negara bangsa (nation
state), pemerintah melainkan hukum pasar.
Keempat, konstitualitas, yakni penghormatan
terhadap undang-undang dasar negara, peraturan
perundang-undangan yang lainnya serta berbagai
33
sistem pengaturan kenegaraan yang lainnya. Sampai
hari ini pun, negara kebangsaan Indonesia meng-
anut penghormatan yang sama terhadap hal-hal
tersebut.
Kelima, pelaksanaan the rule of law atau pe-
negakan hukum dan keadilan. Meskipun harus
diakui masih banyak persoalan yang dihadapi dan
harus diatasi, negara kebangsaan Indonesia juga ber-
usaha mengarahkan kemampuannya untuk mem-
praktekkan hal tersebut. Ini sejalan dengan amanah
konstitusi kenegaraan kebangsaan Indonesia sendiri.
Keenam, birokasi publik (pemerintahan).
Negara modern di dunia ini selalu memiliki dan
berusaha membangun birokrasi publik yang efisien
dan efektif. Negara kebangsaan Indonesia pun tidak
terkecuali. Oleh karena itu, dalam konteks negara
kebangsaan Indonesia, tidak cukup kuat alasan kalau
orang khawatir, yang hal itu, misalnya, dicerminkan
dari kalimat seperti:wah bahaya ini, proses pemilu-
nya panjang, tujuh bulan, sedang kabinetnya pela-
ngi. Menteri-menterinya jangan-jangan ikut kam-
panye. Lantas kalau menterinya berkampanye bisa
terjadi kevakuman pemerintahan.
Mengapa tidak cukup kuat alasan untuk kha-
34
watir? Jawabannya adalah bahwa sesungguhnya
tidak akan terjadi kevakuman pemerintahan. Ini ka-
rena mesin pemerintahan ada dan dijalankan oleh
birokrasi pemerintahan. Dalam birokrasi, misalnya,
terdapat pimpinan-pimpinan yang mengendalikan
jalannya pemerintahan. Mereka ini antara lain ter-
diri dari, misalnya, sekretaris jenderal, direktur jen-
deral dan pimpinan lain-lainnya yang bertindak
sebagai teknokrat dan birokrat, yang pengaturan tu-
gas dan wewenangnya telah diatur dalam undang-
undang. Sekali lagi, meskipun birokrasi pemerin-
tahan kita masih menghadapi banyak masalah, tetapi
jalannya pemerintahan tidak akan berhenti, vakum.
Politisi (baca: para menteri) boleh datang dan pergi,
tetapi birokrasi pemerintahan tetap jalan.
Ketujuh, otoritas dan legitimasi. Dalam ne-
gara modern, negara harus punya otoritas dan harus
memiliki legitimasi. Tidak boleh ada warga negara
atau sekelompok orang yang tidak tunduk kepada
UUD negaranya dan kepada kebijakan pemerintah-
annya. Tidak bisa diingkari, negara kebangsaan
Indonesia pun menganut prinsip ini.
Kedelapan, kewarganegaraan. Soal ini pen-
ting. Jangan sampai kita terpengaruh dengan prinsip
35
kewarganegaraan yang baru, yang seolah-olah atas
nama hak dan atas nama kebebasan, setiap warga ne-
gara boleh melakukan apa saja. Dalam teori yang
menyangkut negara kebangsaan (nation state) yang
juga terus berkembang, kewarganegaran harus ber-
ada dalam keseimbangan. Keseimbangan antara hak
dengan kewajiban; keseimbangan antara kebebasan
dengan pembatasannya.
Patut dicatat di sini bahwa hal-hal seperti di atas
memang perlu dikemukakan, review lagi. Tujuannya
adalah agar kita tetap yakin bahwa sosok negara
kebangsaan ini tetap sah dan benar, dan karena itu
harus terus kita pertahankan. Tetapi memperta-
hankan saja tidak cukup. Hal demikan harus terus
kita aktualisasikan untuk merespon perkembangan
kontemporer, yang dari situ akan muncul perta-
nyaan-pertanyaan seperti:Apa sebenarnya tantangan
dan ancaman potensial yang kita hadapi dewasa ini,
terutama yang menyangkut wawasan kebangsaan
dan kehidupan kebangsaan kita? Apakah globalisasi
itu dianggap sebagai ancaman atau peluang bagi
perkembangan negara kebangsaan untuk mewujud-
kan cita-cita dan tujuannya?
36
KALAU dikaji secara hati-hati, sesungguhnya
banyak sekali tantangan dan ancaman potensial ter-
hadap kelangsungan perkembangan wawasan ke-
bangsaan dan kehidupan kebangsaan kita. Tetapi
dalam membahas masalah tantangan dan ancaman
potensial ini, saya hanya akan mengemukakan be-
berapa isu penting saja. Itu adalah isu-isu yang saya
anggap mengandung problem paling mendasar me-
nyangkut masalah kelangsungan wawasan kebang-
saan dan kehidupan kebangsaan kita. Untuk memu-
dahkan pembahasannya, isu-isu itu bisa dikelom-
pokkan menjadi dua bagian besar, yaitu: pertama,
tantangan dan ancaman terhadap wawasan kebang-
Tantangan dan
Ancaman Potensial
37
saan; kedua, tantangan dan ancaman terhadap
kehidupan kebangsaan.
Sedangkan yang termasuk dalam kelompok
tantangan dan ancaman terhadap wawasan kebang-
saan, antara lain: (a) aspek negatif dari proses glo-
balisasi (sisi negatif), (b) perkembangan pandangan
sub-nasionalisme, (c) pemikiran primordialisme, (d)
gagasan nasionalisme sempit (chauvinisme), dan (e)
suatu pandangan yang berusaha untuk monopoli
sesuatu kebenaran.
Aspek negatif dari proses globalisasi. Ha-
rus diakui bahwa selain memiliki aspek positif,
proses globalisasi, dalam banyak hal, juga bisa mem-
bawa pengaruh negatif terhadap perkembangan
wawasan kebangsaan kita. Sedangkan bagi kita,
proses globalisasi itu adalah suatu proses yang tidak
bisa dihindari keberadaannya. Atau dengan kata
lain, kita tidak bisa melarikan diri dari globalisasi
karena kita memang hidup dalam dunia yang se-
dang dan terus berubah. Dunia yang bisa kita sebut
sebagai sedang mengalami proses globalisasi dan
universalisasi.
Perkembangan pandangan tentang sub-
nasionalisme. Dalam konteks perkembangan wa-
38
wasan kebangsaan kita sekarang ini, harus diakui,
masih ada suatu komunitas atau ras yang berpan-
dangan bahwa mereka bisa dan berhak membentuk
suatu negara dan bangsa sendiri. Terlepas dari na-
ungan negara dan bangsa yang ada selama ini. Pan-
dangan yang terlalu mengedepankan sub-nasional-
isme ini jelas bisa menjadi ancaman bagi perkem-
bangan wawasan kebangsaan, sekaligus juga bagi
keutuhan dan kelanjutan masa depan negara ke-
bangsaan. Oleh karena itu, dalam konteks perkem-
bangan negara kebangsaan Indonesia ke depan,
perlu ditegaskan kembali bahwa persoalan nasional-
isme sesungguhnya sudah selesai sejak terbangun
dan ditetapkannya konsensus dasar kebangsaan dan
kenegaraan pada saat proklamasi kemerdekaan Re-
publik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945.
Pemikiran primordialisme. Tantangan dan
ancaman yang berasal dari berkembangnya pemi-
kiran primodialisme ini sering kali tidak dirasakan
dan disadari. Primordialisme ini biasanya muncul
dalam kehidupan sosial-politik yang bentuk-bentuk
hubungannya kelewat mengedepankan dan me-
mentingkan ikatan-ikatan sektarian (atas dasar suku,
ras, dan agama), ikatan-ikatan kelompok sempit dan
39
eksklusif. Menguatnya pemikiran primodialisme
pada masa transisi ini, yang kerap kali justru meng-
atasnamakan reformasi, pada gilirannya bisa me-
mencarkan kohesi dan integrasi bangsa. Kalau per-
kembangan masalah ini tidak dicermati dengan
baik, maka bisa saja dalam kehidupan kebangsaan
ini kita tiba-tiba terjebak dalam entitas-entitas par-
sial yang terpisah sama sekali dengan keluarga
besarnya, yaitu Indonesia.
Gagasan nasionalisme sempit (chauvinis-
me). Nasionalisme sempit adalah suatu gagasan atau
paham yang amat mengagungkan bangsanya sendiri
dan menganggap bangsa lain rendah. Paham seperti
ini dalam prakteknya sering kali bersifat konfrontatif
terhadap segala hal yang bersifat dari luar. Ia bah-
kan bisa amat curiga terhadap hal-hal yang berbau
asing, meskipun hal-hal yang dicurigai itu bersifat
positif, atau mampu memberikan dan mengandung
unsur-unsur yang bermanfaat. Dalam zaman glo-
balisasi ini, kecenderungan nasionalisme sempit itu
banyak dinilai sebagai suatu suatu gejala pemikiran
yang tidak sehat. Selain ia juga bisa dinilai sebagai
salah satu faktor tantangan dan ancaman potensial
bagi masa depan negara kebangsaan Indonesia.
40
Pandangan yang berusaha memonopoli
kebenaran. Pandangan yang berusaha memonopo-
li kebenaran ini dalam prakteknya seringkali secara
tidak sadar muncul dan tercermin dari sikap-sikap
yang kelewat memandang hitam dan putih perkem-
bangan zaman. Di zaman reformasi, misalnya, hal
seperti ini diwakili oleh mereka yang sangat percaya
terhadap pandangan yang melihat bahwa segala hal
yang terjadi di masa lalu adalah salah semua, buruk
semua, dan karenanya, harus dibuang semua. De-
ngan kata lain, tidak ada yang benar, kecuali keada-
an sekarang. Pandangan yang seperti ini jelas meru-
pakan tantangan dan ancaman bagi perkembangan
wawasan kebangsaan. Untuk itu masalah-masalah
seperti ini harus dilihat secara lebih bijaksana se-
hingga tidak muncul suatu kelompok, golongan,
kekuatan, yang mampu memonopoli kebenaran.
Yang jelas, tidak ada satu pihak manapun, siapapun
itu, dan generasi kapanpun, yang bisa dan boleh me-
rasa benar sendiri. Sebaliknya, dalam keberagaman
dan kemajemukan yang ada di Indonesia ini, kita
dapat mendorong berlangsungnya dialog. Dialog
tentang berbagai hal yang menyangkut permasalah-
an kebangsaan antarkelompok, golongan, dan bah-
41
kan antargenerasi.
Selanjutnya yang termasuk dalam kelompok
tantangan dan ancaman terhadap negara kebangsaan
adalah: (a) situasi disintegrasi nasional, (b) proses
marginalisasi peran negara bangsa (nation state), (c)
perkembangan konsep kedaulatan global.
Situasi disintegrasi nasional. Perkembangan
keadaan yang mengarah pada situasi disintegrasi
nasional dengan sendirinya merupakan tantangan
dan ancaman bagi kelangsungan negara kebangsaan.
Oleh karena itu, upaya untuk memelihara dan men-
jaga integrasi nasional perlu mendapat tempat yang
utama dalam perjalanan membangun wawasan
kebangsaan dan negara kebangsaan. Dalam hubung-
annya dengan ini, perlu dicatat bahwa suatu Negara
dapat dikatakan terintegrasi dengan baik (well inte-
grated) apabila:
(1) Negara yang bersangkutan secara ideologis tidak
mengalami gangguan masalah. Oleh karena itu,
kalau Pancasila, misalnya, tetap kokoh menjadi
falsafah, landasan, dasar, dan ideologi negara,
maka secara ideologis negara Indonesia boleh
dianggap tidak sedang menghadapi ancaman
42
ideologis. Dan begitu pula sebaliknya bila ke-
beradaan Pancasila terus dipermasalahkan atau
telah menjadi masalah.
(2) Negara yang bersangkutan memiliki integrasi
sosial yang cukup kuat. Dalam prakteknya, hal
ini terwujud dari perkembangan situasi yang
menunjukkan tidak terjadi suatu gangguan atau
konflik sosial dan terdapat suatu harmoni dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena
itu berbagai kejadian konflik yang telah mem-
porakporandakan harmoni masyarakat di Ma-
luku Utara, Poso, dan Kalimantan Tengah, mi-
salnya, bisa dikategorikan ancaman terhadap
integrasi sosial.
(3) Negara yang bersangkutan mampu memelihara
dan mempertahankan keutuhan wilayahnya.
Berkaitan dengan persoalan keutuhan wilayah
ini, maka bagi negara kebangsaan Indonesia,
masalah yang berkembang di Aceh dan Papua
dengan tepat, arif tapi juga tegas (decisive) mam-
pu diselesaikan dengan baik.
43
Proses marginalisasi peran negara bangsa
(nation state). Dewasa ini berbagai pemikiran pro-
vokatif yang pada intinya menantang peran negara
bangsa semakin membanjir. Negara bangsa dinilai
sebagai suatu konsepsi yang sudah usang, dan dalam
era globalisasi diyakini akan melemah dan surut
peranannnya. Sebaliknya dalam zaman globalisasi
yang keberadaannya ditopang oleh perkembangan
kemajuan teknologi informasi (IT), pasar (market)
mendapat tempat penting dalam hubungan bangsa-
bangsa. Lebih dari itu, pemikiran yang paling pro-
vokatif bahkan meramalkan bahwa negara bangsa
sudah sampai pada akhir perjalanannya (the end of the
nation). Pemikiran provokatif ini, misalnya, tercer-
min dalam gagasan-gagasan yang ditulis oleh beber-
apa penulis futurolog seperti Alfin Toffler dalam
bukunya The Future Shock, Power Shift dan War and
Anti War; John Naisbitt & Patricia Aburdene dalam
bukunya Global Paradox; dan Kenichi Ohmae dalam
The End of Nation State. Membanjir dan menguat-
nya pemikiran-pemikiran seperti ini pada gilirannya
bisa menjadi tantangan dan ancaman yang potensial
terhadap gagasan tentang negara kebangsaan.
Perkembangan konsep Kedaulatan Glo-
44
bal. Pada dasarnya, inti dari konsepsi kedaulatan
global hampir sejalan dengan pemikiran provokatif
yang melihat semakin melemahnya peran negara
bangsa di era globalisasi. Konsepsi negara bangsa
dalam perkembangannya sudah dianggap tidak rele-
van, kuno. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan
bahwa dunia telah bergerak maju dalam tataran hu-
kum, logika, dan aturan main, yang semuanya serba
baru. Sejalan dengan gerak maju maka dalam pan-
dangan Kedaulatan Global, yang menentukan kehi-
dupan bangsa-bangsa bukan lagi negara kebangsaan
(nation state) atau pemerintah, tetapi adalah hukum
pasar.
Dengan mengacu pada pandangan seperti itu,
maka ide-ide, gagasan-gagasan ataupun pemikiran-
pemikiran tentang sesuatu hal pada dewasa ini men-
jadi mampu bergerak bebas tanpa batas. Ide-ide,
gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran mampu
merambah ke mana-mana, dari satu tempat ke tem-
pat lain dan dari satu negara ke negara yang lain.
Sekali lagi, bebas tanpa batas, menyebabkan dunia
menjadi dunia yang tanpa batas (borderless world).
Tidak hanya ide, gagasan dan pemikiran, yang
mampu bergerak bebas tanpa batas. Investasi atau
45
modal juga juga mampu bergerak secara leluasa ke
mana-mana, melintasi batas-batas negara tanpa ada
hambatan yang berarti. Tidak ketinggalan industri
yang mampu direlokasikan, dipindahkan dengan
cepat ke mana-mana tanpa hambatan. Pergerakan-
nya lebih mengikuti dorongan perhitungan pasar
ekonomi yang paling menguntungkan bagi industri
yang bersangkutan.
Begitu pula dengan individu, orang, manusia,
lalu bisa bermigrasi dengan mudah. Bisa pindah
kemana-mana, mengikuti dorongan hukum pasar.
Pendek kata, menurut pikiran-pikiran provokatif
tersebut di atas, hal-hal inilah (lebih jelasnya: pasar)
yang akan lebih menentukan bagi sebuah bangsa
apakah akan maju atau tetap terbelakang. Bukan
lagi elemen negara bangsa atau nation state yang
akan menentukan nasibnya di kemudian hari. Na-
mun, saya sendiri masih tetap tidak percaya dengan
pikiran-pikiran yang melihat sesuatu secara agak
gampang, hitam putih, seperti itu. Sebab bagaima-
napun, dalam pandangan saya, peran negara bangsa
(nation state) sampai saat ini dan ke depan masih
akan tetap penting dan mengemuka.
Masih berkaitan konsep kedaulatan global. Ada
46
satu pertanyaan lagi yang perlu dikemukakan, yaitu:
Apakah proses globalisasi itu merupakan suatu
ancaman atau peluang? Saya kira banyak pendapat
dan pandangan mengenai hal ini. Namun dari
semua pandangan yang mungkin ada, saya justru
lebih mementingkan untuk melihat aspek impli-
kasinya terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Misalnya, globalisasi dalam kaitannya dengan per-
kembangan demokrasi dan hak asasi manusia
(HAM) di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan demokrasi, misalnya,
maka menurut pendapat saya, tidak ada model ten-
tang demokrasi yang yang secara universal atau
global bisa diterapkan di semua negara, tidak terke-
cuali Indonesia. Jadi tidak ada model demokrasi
yang cocok dan berlaku bagi semua negara. Sejarah
juga menunjukkan bahwa perdebatan tentang de-
mokrasi, khususnya yang menyangkut model dan
praktek demokrasi, itu sendiri sudah berlangsung
lama sekali, hampir 250 tahun. Oleh karena itu
dalam berbicara tentang demokrasi tidak perlu ter-
buru-buru dan meyakini untuk mengambi oper be-
gitu saja suatu model demokrasi yang ada dan ber-
kembang di negara A, negara B, atau di negara C.
47
Sebaliknya, justru yang paling penting adalah pema-
haman mengenai nilai-nilai dan hakikat demokrasi,
serta berbagai kemungkinan pengembangan prak-
teknya di Indonesia.Tentu suatu praktek demokrasi
yang harus sesuai dan sejalan dengan perkembangan
sosio-kultural bangsa Indonesia.
Pada prinsipnya, demokrasi harus diabdikan
untuk kebaikan rakyat bersama. Oleh karena itu,
dalam demokrasi, rakyat harus terlibat dan diajak
serta dalam mengelola kehidupan, menentukan atu-
ran main, dan mengikuti etika yang berlaku. Untuk
itu demokrasi yang sedang berproses harus dijalan-
kan dengan pikiran yang tenang, jernih, dengan
tetap berpegang dan menjunjung tinggi nilai-nilai
dan hakikat demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks perkembangan negara kebang-
saan Indonesia ke depan, hal lain yang paling pen-
ting adalah memperluas ruang penerapan demo-
krasi dan HAM. Penempatan prioritas ini sekaligus
bisa menjadi koreksi atas apa yang pernah terjadi di
masa lalu ketika ruang yang tersedia untuk pene-
rapan demokrasi dan HAM dianggap terlalu sempit.
Walaupun untuk hal yang terakhir ini juga harus
dilihat secara bijaksana dan dengan pikiran yang
48
jernih. Tidak ketinggalan aspek-aspek kontekstual-
nya ketika itu, yaitu: realitas zaman pada waktu itu
lebih menuntut pengutamaan stabilitas nasional
untuk mendorong pembangunan ekonomi ketim-
bang hal yang lainnya.
Walaupun serentak dengan itu harus dipahami
pula bahwa kenyataan seperti itu sebagian mem-
bawa berbagai dampak yang menyulitkan bagi per-
jalanan kehidupan negara kebangsaan. Sehingga atas
dasar kenyataan itu diperlukan koreksi, yang pada
gilirannya mendorong tumbuhnya era baru, era
transisi, zaman reformasi. Maka tidak keliru kalau
dalam era reformasi ini ruang gerak penerapan de-
mokrasi dan hak asasi manusia harus terus diper-
lebar. Tetapi tetap dengan catatan, jangan sampai
HAM dan demokrasi diletakkan secara absolut.
Seolah-olah atas nama HAM dan demokrasi lantas
kita bisa berbuat dan melakukan apa saja.
Dalam posisi seperti ini maka konsepsi tentang
HAM seperti yang terdapat dalam Undang-undang
Dasar 1945, termasuk yang sudah diamandemen
empat kali, perlu dipahami secara bijaksana. Di situ
ada 10 butir tentang pasal HAM. Sembilan butir
pertama, yaitu pasal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 pada
49
hakikatnya mengatur tentang hak (HAM), tetapi
butir terakhir justru mengatur tentang pembatasan
terhadap hak tersebut. Melalui butir 10, ada rambu-
rambu yang membuat masalah HAM tidak boleh
absolut. Ini terutama ketika berkaitan dan me-
nyinggung masalah nilai-nilai keagamaan, kesusi-
laan, ketertiban, dan keamanan masyarakat. Oleh
karena itu, kalau mengacu pada UUD 1945, masa-
lah HAM ada pembatasannya, ada tanggungjawab-
nya. HAM dalam konteks pembatasan dan tang-
gungjawab ini yang harus dipahami dan dikem-
bangkan dengan baik.
Berikutnya soal implikasi globalisasi terhadap
pembangunan ekonomi nasional. Kalau cerdas,
melalui globalisasi bangsa kita bisa mengambil, me-
manfaatkan, dan mengalirkan sumber-sumber ke-
makmuran dari bangsa-bangsa dan negara-negara
lain. Bukan sebaliknya, globalisasi malah menjadi
ajang bagi pihak lain untuk mengeksploitasi bangsa
kita. Melalui globalisasi, misalnya, kita harus bisa
meraih keuntungan dengan memanfaatkan kerja-
sama perdagangan, investasi, dan lain-lain.
Tetapi apakah dengan adanya kesempatan ker-
jasama ekonomi itu negara-negara yang belum
50
maju dengan sendirinya akan diuntungkan? Belum
tentu. Kesempatan kerjasama ekonomi tidak selalu
akan menguntungkan. Bahkan ada satu kajian yang
mengatakan bahwa dalam 10-15 tahun terakhir ini,
kesenjangan ekonomi antara negara maju dan
negara yang belum maju menjadi semakin lebar. Ini
artinya adalah proses kemiskinan dan pemiskinan
masih kuat berlangsung di negara-negara berkem-
bang. Atas alasan itu maka muncul inisiatif di Eropa
yang mendesak agar Jepang, Amerika Serikat dan
Uni Eropa, tidak terlalu melindungi dan mem-
berikan subsidi pada para petaninya. Hal demikian
sangat diperlukan agar pertanian di negara-negara
berkembang mampu hidup, tumbuh dan berkem-
bang lebih baik lagi. Inisiatif itu diorganisasikan
dalam suatu lembaga yang disebut dengan Inter-
Action Council.
Pada tahun 1997 lahir sebuah deklarasi kema-
nusiaan PBB tentang tanggung jawab sosial yang
disebut dengan The Universal Declaration of Human
Responsibilities. Jauh sebelum itu PBB juga pernah
melahirkan sebuah deklarasi yang sama tentang
kemanusiaan, yaitu tentang hak-hak asasi manusia
(HAM), yang kemudian dikenal dengan nama The
51
Universal Declaration of Human Right. Kalau dicer-
mati, dua deklarasi ini memiliki kaitan yang erat.
Deklarasi PBB yang pertama berbicara tentang
masalah hak asasi manusia, sedangkan deklarasi
tahun 1997 berisi tentang masalah tanggung jawab
kemanusiaan.
Lahirnya deklarasi tentang tanggung jawab
kemanusiaan ini tidak terlepas dari keadaan ma-
syarakat dunia yang semakin gelisah melihat kenya-
taan kesenjangan yang semakin lebar di antara
bangsa-bangsa kaya dan bangsa-bangsa miskin. Ke-
senjangan itu muncul karena negara-negara yang
belum maju ternyata berada pada pihak yang kalah
atau terkalahkan dalam proses globalisasi. Jadi tidak
bisa diingkari bahwa dalam proses globalisasi, ter-
nyata dunia menyaksikan ada pihak yang kalah
(looser) dan ada pihak yang menang (winner). Mereka
yang kalah adalah negara belum maju yang kurang
atau tidak mampu memanfaatkan kesempatan-ke-
sempatan yang ada dalam proses globalisasi. Sedang-
kan mereka yang menang adalah negara maju yang
berhasil memanfaatkan kesempatan-kesempatan
yang ada. Atas dasar itu maka dalam melihat proses
dan fenomena globalisasi sikap cerdas dan kritis sa-
52
ngat dibutuhkan.
Pada sisi lain, globalisasi ternyata juga membawa
pengaruh yang besar terhadap pelestarian nilai, jati
diri, dan budaya bangsa. Bagaimanapun pengaruh se-
perti ini sulit untuk dielakkan karena gaya hidup
yang kita alami dan kembangkan sekarang ini, seba-
gian besar berinteraksi dengan proses-proses glo-
balisasi itu sendiri. Pada aspek tertentu, hal seperti
secara tidak terelakkan telah menimbulkan suatu
situasi yang membuat sebagian dari kita merasa
cemas, kuatir. Cemas dan kuatir terhadap kemung-
kinan bahwa di antara interaksi dengan globalisasi
itu sebagian hasilnya ternyata bisa mempengaruhi
dan menggilas sistim nilai, budaya, jati diri dan tra-
disi yang kita anggap luhur.
Selanjutnya globalisasi juga membawa penga-
ruh terhadap kedaulatan dan keamaan nasional.
Menyangkut hal ini ada konsep dunia yang harus
dicermati perkembangannya, yaitu konsepsi inter-
vensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Be-
rangkat dari dasar konsep human security (keamanan
kemanusiaan) maka menurut penganut konsep
intervensi kemanusiaan, konsep keamanan nasional
dianggap telah ketinggalan zaman, kuno, sama
53
kunonya dengan konsep kepentingan nasional
(national interest). Dengan perkembangan dunia se-
karang, konsep kepentingan manusia (human inter-
est) menjadi lebih utama ketimbang konsep kepen-
tingan nasional. Jadi berbicara tentang kepentingan
manusia (human security), keamanan manusia se-
dunia, menjadi lebih penting dalam tatanan dunia
yang sudah mengglobal sekarang ini.
Bagi saya, pandangan seperti ini tentu saja harus
dikaji dan dicermati baik-baik. Sebab dalam kon-
teks kepentingan negara bangsa, kalau suatu negara
ternyata tidak mampu melindungi rakyatnya sendiri
maka negara lain, menurut pandangan ini, bisa dan
sah melakukan sesuatu tindakan atas nama kemanu-
siaan. Tindakan itulah yang disebut dengan inter-
vensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Con-
tohnya, pasukan koalisi datang ke Kosovo tanpa
mandat dari PBB. Kedatangan itu dianggap sah
karena di Kosovo terjadi suatu tragedi kemanusiaan
(human tragedy).
Akhirnya, globalisasi juga bisa membawa pen-
garuh dan memacu timbulnya benturan konflik ke-
setiaan. Hal seperti ini seringkali terlihat pada feno-
mena ketika sebagian di antara kita, apakah per-
54
orangan atau kelompok, merasa lebih setia kepada
masyarakat global ketimbang kepada bangsanya
sendiri. Karena kesetiaannya pada masyarakat global
maka di antara mereka terkadang tidak segan-segan
menjual kehormatannya demi popularitas, demi
uang, demi status, dan lain sebagainya. Keadaan ini-
lah yang menurut saya mesti dikritisi. Dan dalam
menghadapi masalah ini, tidak ada cara lain kecuali
harus kembali membangun wawasan kebangsaan
yang tepat.
Kembali ke konsep Kedaulatan Global. Dalam
pandangan ini, pelaksanaan dari kedaulatan negara
termasuk di dalamnya adalah tanggung jawab untuk
melindungi rakyatnya sendiri. Oleh karena itu jika
sebuah negara ternyata gagal dalam melindungi rak-
yatnya sendiri apakah hal itu karena tidak mau
atau tidak mampu, lalu kemudian terjadi tragedi
kemanusiaan dan ratusan ribu orang tewasnegara
porak poranda, dan pemerintahannya tidak stabil,
gagal, maka atas nama perlindungan kemanusiaan
(human security), dunia memiliki tanggung jawab
untuk melindungi (responsibilities to protect) mereka
itu. Atas alasan itu maka pihak luar atau interna-
sional harus dan diperbolehkan serta sah melakukan
55
intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention).
Ini gejala yang ada dan semakin diterima di luar
negeri dan di dunia internasional dewasa ini. Dalam
konteks ini kita telah mengembangkan kebijakan
yang hati-hati dan tepat di Aceh. Pertama, sepa-
ratisme di Aceh harus kita hentikan, tidak ada to-
leransi untuk itu. Tetapi pada saat yang sama dalam
menyelesaikan masalah Aceh, kita harus menyetuh
semua aspek permasalahan yang ada, termasuk as-
pek yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan.
Untuk itulah maka dilaksanakan operasi terpadu,
yang di dalamnya antara lain mencakup: operasi ke-
manusiaan (termasuk di dalamnya penanganan
pengungsian, pendidikan, kesehatan dan lain-lain);
operasi pemulihan keamanan; operasi penegakan
hukum; operasi pemantapan pemerintahan daerah;
dan operasi pemulihan ekonomi. Kesemuanya dige-
lar secara komprehensif dan simultan.
Pendek kata, secara konsepsional, Indonesia
sebagai negara nasional harus menunjukkan tang-
gung jawab penuh dalam menyelesaikan Aceh.
Konsepsi yang dikembangkan dan dilaksanakan
adalah menyeluruh, menyentuh semua aspek masa-
lah termasuk kemanusiaan. Tujuannya agar Indo-
56
nesia, dalam menyelesaikan masalah Aceh, tidak ter-
jebak dan dianggap sebagai negara yang tidak ber-
tanggung jawab kepada rakyatnya.
57
DARI uraian semuanya itu, lantas bagaimana kita
melangkah ke depan? Pertama, marilah kita terus
menerus melakukan rekapitalisasi dan aktualisasi
wawasan kebangsaan menuju negara kebangsaan
modern. Marilah kita mengembangkan dialog antar
generasi dan membangun kesepakatan atau konsen-
sus nasional baru. Meskipun dunia akan terus ber-
kembang dan berubah, serta demokrasi Indonesia
juga akan makin dinamis, kita harus tetap punya
rumah sendiri. Dan rumah itu adalah negara ke-
bangsaan Indonesia.
Indonesia masa depan akan tetap dijiwai dan
disemangati oleh cita-cita kebangsaan. Ini ada dalam
Langkah dan
Agenda ke Depan
58
pembukaan UUD 1945, yakni: merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Sejarah telah menga-
jarkan bahwa tahun 1945 para pendiri itu juga per-
nah terlibat dalam debat dan silang pendapat yang
keras dan sangat keras. Mereka begitu karena ingin
membangun landasan dan tiang rumah kita, mem-
bangun falsafah UUD dan sistem negara kita.
Prof. Dr. Soepomo waktu itu, senang dengan
faham kekeluargaan. Bung Karno senang dengan
kebangsaan dan kedaulatan rakyat. Bung Hatta
menekankan hak azasi manusia dan demokrasi, agar
Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan. Debatnya
panjang dan kadang kala keras. Namun demikian
akhirnya jiwa para bapak pendiri negara itu sungguh
mulia dan besar. Mereka mampu membangun kese-
pakatan dan konsensus, yang kesemuanya itu ter-
tuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Sekarang di era reformasi ini kita patut berta-
nya: apakah kita tidak bisa membangun konsensus
dan harmoni yang baru? Pertanyaan ini perlu di-
ungkapkan kembali mengingat masih adanya ke-
nyataan bahwa sekarang masih terus ada sementara
pihak atau sekelompok orang, yang belum pandai
membangun keseimbangan antara kebebasan atau
59
liberty dengan keamanan atau security; keseimbangan
antara hak atau rights dengan tanggungjawab atau
responsibility dan lain-lain.
Berangkat dari uraian mengenai masalah negara
bangsa dan wawasan kebangsaan di atas, selanjutnya
kita bisa merumuskan agenda-agenda utama pem-
bangunan Indonesia ke depan, baik yang sifatnya
jangka panjang maupun jangka pendek-menengah.
Berikut saya sampaikan beberapa agenda penting
yang saya yakini tidak bersifat paripurna dan yang
oleh karenanya perlu terus didiskusikan dan dikem-
bangkan.
Dalam jangka panjang, agenda utama pemba-
ngunan nasional adalah terwujudnya negara ke-
bangsaan Indonesia modern yang berkelanjutan.
Keberlanjutan negara ke depan mengharuskan dila-
kukannya berbagai langkah berikut (yang harus su-
dah dilakukan saat ini walaupun perspektifnya jang-
ka panjang) :
(a) Pengembangan pondasi kebangsaan.
Pengembangan pondasi kebangsaan ini akan
dilakukan melalui pengembangan dan kapasitas
warga bangsa untuk terus memperbarui pe-
60
maknaan dan pelaksanaan :
(i) ideologi kebangsaan;
(ii) cita-cita dan tujuan kebangsaan;
(iii) adaptasi kebangsaan terhadap perubah-
an yang terus berlangsung; dan
(iv) respon kebangsaan terhadap berbagai
permasalahan yang dihadapi dari waktu
ke waktu
Semua ini dilakukan di atas kesadaran sejarah
nasional.
(b) Pengembangan identitas dan karakter bangsa;
(c) Pengembangan sistem kenegaraan dan pemer-
intahan yang berkelanjutan;
(d) Pengembangan wawasan kebangsaan yang
inklusif;
(e) Pengembangan demokrasi yang sejalan dengan
sejarah dan nilai-nilai kebangsaan;
(f) Pengembangan sistem politik yang menjamin
rakyat untuk bisa menginternalisasikan sistem
61
nilai dasar kebangsaan; dan
(g) Pengembangan sistem demokrasi yang memu-
ngkinkan rakyat untuk terus bisa memperbarui
konsensus atas nilai-nilai kontemporer.
Pembangunan dalam era transisi dan reformasi,
di samping menyisakan persoalan-persoalan emo-
sional politik jangka pendek, juga menyisakan isu-
isu penting yang harus diselesaikan dalam pemba-
ngunan nasional ke depan.
Isu-isu pembangunan yang masih harus dita-
ngani secara sistematik dan melembaga dalam jang-
ka pendek dan menengah tersebut meliputi :
Pertama, melanjutkan proses konsolidasi demo-
krasi. Proses konsolidasi demokrasi ini selama lima
tahun ke depan selayaknya memusatkan perhatian
pada proses penyeimbangan antara pengembangan
nilai dan praksis demokrasi, penghormatan atas hak
asasi manusia, dan pengembangan civil society di satu
pihak dengan mengembangkan keamanan dan ke-
teraturan di pihak lainnya. Stabilitas politik akan ter-
bangun dengan terbangunnya keseimbangan ini.
Hal ini memang merupakan tantangan besar bagi
negara yang sedang dalam transisi demokrasi.
62
Kedua, melanjutkan pemulihan ekonomi dan
rekonstruksi, dengan memusatkan perhatian pada
pengurangan pengangguran dan kemiskinan serta
meningkatkan investasi domestik dan asing untuk
merawat dan mengembangkan infrastruktur sosial
dan ekonomi kita. Pemulihan dan rekonstruksi eko-
nomi yang kita lakukan ke depan selayaknya adalah
suatu proses yang menjadikan sebagian terbesar
rakyat menjadi penerima manfaat dan menjadi
bagian utama penggeraknya.
Ketiga, melanjutkan upaya-upaya pengembang-
an harmoni sosial dan meningkatkan kapasitas ma-
syarakat dalam melakukan resolusi konflik komu-
nal. Tantangan kita ke depan adalah menciptakan
harmoni sosial yang berkelanjutan.
Keempat, melanjutkan upaya-upaya reformasi
hukum dan meningkatkan upaya-upaya penegakan
hukum terutama dalam pemberantasan korupsi gu-
na menciptakan sistem kepemerintahan yang baik.
Kelima, mengatasi persoalan-persoalan struk-
tural yang belum teratasi terutama ketimpangan
pendapatan antarkelompok masyarakat, ketimpang-
an pembangunan antarwilayah, dan persoalan struk-
tural lainnya seperti budaya yang permisif atas pe-
63
langgaran hukum, korupsi, dan berbagai penyakit
sosial lainnya.
Keenam, terpenuhinya hak-hak dasar rakyat
yang dijamin konstitusi secara bertahap sesuai de-
ngan kemampuan negara. Tantangan kita dalam hal
ini terutama adalah segera memberikan jaminan
atas hak dasar rakyat ini sesuai dengan tahapan yang
mampu dilakukan secara bersama.
Ketujuh, terjaminnya keseimbangan kekuasaan
antar daerah dan antara pusat dengan daerah. Tan-
tangan kita ke depan adalah melakukan sinkronisasi
perkembangan kebangsaan kita sejalan dengan cita-
cita dan tujuan nasional serta melakukan berbagai
upaya untuk terjadinya perkembangan yang se-
imbang antara daerah-daerah kaya dan miskin sum-
berdaya.
Kedelapan, tertatanya kelembagaan demokrasi,
kenegaraan, dan pemerintahan dengan mekanisme
pengambilan keputusan yang sistematik dan trans-
paran.
64
BANYAK gagasan lama yang saya sajikan dalam
buku ini. Tetapi banyak pula gagasan-gagasan baru
yang saya lemparkan. Saya ingin mengajak semua
anggota masyarakat untuk mendiskusikan secara
tenang dan mencoba menarik benang merah pemi-
kiran yang saya kemukakan untuk memberikan
kontribusi yang signifikan atas pembangunan
Indonesia modern. Dan, saya berharap dengan buku
ini bisa dilakukan gerakan bersama untuk memi-
kirkan dan mewujudkan Indonesia masa depan
yang modern. Kini waktunya kita melihat ke depan.
Waktunya kita berpikir dan berjuang untuk keber-
lanjutan sistem kebangsaan kita ke depan.
Penutup
65
Saya telah kemukakan inti pemikiran saya dan
kini saatnya saya juga belajar dari seluruh warga
bangsa. Pada akhirnya mari kita suburkan Indo-
nesia, sebagai ladang pertemuan dari banyak perbe-
daan, dalam kehidupan yang besar yang penuh har-
moni dan keseimbangan.

Anda mungkin juga menyukai