Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Ptosis (Blepharoptosis) merupakan keadaan jatuhnya kelopak mata
(Drooping eye lid ), dimana kelopak mata atas tidak dapat diangkat atau terbuka
sehingga celah kelopak mata menjadi lebih kecil dibandingkan dengan keadaan
normal.1 Posisi normal palpebra superior adalah ditengah-tengah antara limbus
superior dan tepian atas pupil. Ini dapat bervariasi 2mm jika kedua palpebra
simetris.2
Ptosis terutama terjadi akibat tidak baiknya fungsi m. levator palpebra,
lumpuhnya saraf ke III untuk levator palpebra atau dapat pula terjadi akibat
jaringan penyokong bola mata yang tidak sempurna, sehingga bola mata tertarik
ke belakang atau enoftalmus. Ptosis juga dapat terjadi pada miastenia gravis
pada satu mata atau kedua mata.3
Sampai saat ini insidens ptosis belum pernah dilaporkan. Ptosis
kongenital biasanya tampak segera setelah lahir maupun pada tahun pertama
kelahiran.4 Ptosis yang didapat (acquired) dapat terjadi pada setiap kelompok
usia, tetapi biasanya ditemukan pada usia dewasa tua.5
Berdasarkan onsetnya ptosis dibagi menjadi ptosis kongenital dan ptosis
didapat (acquired). Berdasarkan etiologinya ptosis dapat dibagi menjadi
miogenik, aponeurotik, neurogenik, mekanikal dan traumatik.6 Sedangkan
menurut derajatnya ptosis dibagi menjadi ptosis ringan jika batas kelopak mata
atas menutupi kornea < 2 mm, ptosis sedang jika batas kelopak mata atas
menutupi kornea 3 mm dan ptosis berat jika batas kelopak mata atas menutupi
kornea > 4 mm.7
Blepharoptosis merupakan penyebab penting dari kehilangan penglihatan.
Mengingat penatalaksanaan ptosis tergantung dari etiologi dan derajat ptosis

maka perlu diketahui lebih jelas tentang etiologi dan derajat ptosis. Menurut
etiologinya, pada ptosis kongenital (myogenic etiology) dilakukan pembedahan
(memperpendek) otot levator yang lemah serta aponeurosisnya atau
menggantungkan palpebra pada otot frontal. Jenis operasi untuk ptosis
kongenital adalah reseksi levator eksternal. Pada ptosis yang didapat
(aponeurotic etiology), misalnya pada myastenia gravis dilakukan koreksi
penyebab. Jika koreksi penyebab tidak mungkin, maka kelopak mata
diperpendek menurut arah vertikalnya (jika fungsi levator baik) atau diikatkan
ke frontal (jika fungsi levator buruk). Prosedur Fasenella-Servat lebih sering
digunakan untk kasus ptosis yang didapat.8,9
Sedangkan menurut derajatnya, untuk ptosis ringan yang tidak didapati
kelainan kosmetik dan tidak terdapat kelainan visual seperti ambliopia,
strabismus dan defek lapang pandang, lebih baik dibiarkan saja dan tetap
diobservasi.

Bila

akan

dilakukan

operasi,

prosedur

Fasenella-Servat

diindikasikan untuk ptosis ringan. Pada kasus ptosis moderat diindikasikan


pembedahan dengan teknik reseksi levator eksternal. Sedangkan pada ptosis
berat, frontalis sling merupakan pendekatan yang paling baik.8,9

B.

Tujuan
Tujuan kajian ilmiah ini adalah untuk mengetahui dengan lebih jelas diagnosis,
etiologi, klasifikasi serta derajat ptosis sehingga penatalaksanaan dapat lebih
tepat.

BAB II
ANATOMI PALPEBRA
Palpebra terletak di depan bola mata, yang melindungi mata dari cedera dan
cahaya yang berlebihan. Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah bergerak
daripada palpebra inferior. Bila mata ditutup, palpebra superior menutup kornea
dengan sempurna. Bila mata dibuka dan menatap lurus ke depan, palpebra superior
hanya menutupi pinggir atas kornea.10
Palpebra berfungsi:

Memberikan proteksi mekanis pada bola mata anterior

Mensekresi lapisan lemak dari lapisan air mata

Menyebarkan film air mata ke konjungtiva dan kornea

Mencegah mata menjadi kering

Memiliki pungta tempat air mata mengalir ke sistem drainase lakrimal.11

Srtuktur Palpebra
Palpebra terbagi menjadi 7 lapisan, yaitu kulit, otot orbikularis, septum,
bantalan lemak, tarsus, levator, dan konjungtiva.12
Kulit
Kulit merupakan lapisan anterior dengan jaringan subkutaneous. Palpebra
memiliki kulit yang tipis 1 mm dan tidak memiliki lemak subkutan. Kulit disini
sangat halus dan mempunyai rambut vellus halus dengan kelenjar sebaseanya,
juga terdapat sejumlah kelenjar keringat. Dibawah kulit terdapat jaringan areolar
longgar yang dapat meluas pada edema masif.12,13
Otot orbikularis
M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan
bawah, dan terletak dibawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra

terdapat otot orbikularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. orbikularis


berfungsi menutup bola mata. Otot ini terdiri dari lempeng yang tipis yang seratseratnya berjalan konsentris. Otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (n.VII) yang
kontraksinya menyebabkan gerakan mengedip, disamping itu otot ini juga
dipersarafi oleh saraf somatik eferen yang tidak dibawah kesadaran.12
M. orbikularis okuli terbagi dalam bagian orbital, praseptal, dan pratarsal.
Bagian orbital, yang terutama berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot
melingkar tanpa insertio temporal. Otot praseptal dan pratarsal memiliki kaput
medial superficial dan profundus, yang turut serta dalam pemompaan air mata.12
Septum Orbita
Septum orbita merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan
pembatas isi orbita dengan kelopak depan. Septum merupakan sawar penting
antara palpebra dan orbita.12 Pada palpebra superior, septum orbita bersatu
dengan levator aponeurosis kurang lebih 1-3 mm superior tarsus pada orang yang
bukan etnis Asia.13
Bantalan lemak pra aponeurotika
Bantalan lemak tambahan terdapat di medial palpebra superior. Lemak ini
penting sebagai petunjuk dalam operasi, karena letaknya langsung di belakang
septum orbita dan di depan aponeurosis levator.12,13
Tarsus
Tarsus merupakan jaringan ikat fibrous panjangnya 25 mm, yang
dihubungkan pada tepian orbita oleh tendo-tenso kanthus medialis dan lateralis.
Didalamnya terdapat kelenjar Meibom (40 buah di kelopak atas) yang
membentuk oily layer dari air mata. Tarsus palpebra superior merupakan
jaringan ikat yang kokoh, tebal , yang berguna sebagai kerangka palpebra, tarsus
superior pada bagian tengah palpebra vertical berukuran 9-10 mm, dengan
4

ketebalan lebih-kurang 1 mm. Arkade arteri marginal terletah 2 mm superior


margin palpebra dekat dengan folikel silia dan anterior tarsus antara levator
aponeurosis dengan muskulus Muller.12,13
Otot levator dan aponeurotik levator palpebra
Merupakan major refractor untuk kelopak mata atas. M. levator palpebra,
yang berorigo pada anulus foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan
sebagian menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah.
Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan)
palpebra. Saat memasuki palpebra, otot ini membentuk aponeurosis yang melekat
pada sepertiga bawah tarsus superior.13
Otot ini dipersarafi oleh nervus okulomotoris (N.III), yang berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atau membuka mata.14 Kerusakan pada nervus
okulomotoris (N.III) atau perubahan-perubahan pada usia tua menyebabkan
jatuhnya kelopak mata (ptosis). Suatu otot polos datar yang muncul dari
permukaan profunda levator berinsersi pada lempeng tarsal. Otot ini dipersarafi
oleh sistem saraf simpatis. Jika persarafan simpatis rusak (seperti pada sindrom
Horner) akan terjadi ptosis ringan.11
Muskulus levator pada orang dewasa panjangnya lebih-kurang 40 mm,
sedangkan aponeurosis panjangnya 14-20 mm. Ligamentun transversal
(Whitnalls ligament) adalah penebalan dari fasia muskulus levator yang berlokasi
di daerah transisi muskulus levator dengan aponeurosis levator.13
Ligamentum whitnalls adalah muskulus levator yang bertransformasi,
berstruktur seperti tendon yang berwarna putih berkilat. Levator aponeurosis
membelah menjadi lamella anterior dan posterior pada lokasi kira-kira 10-12 mm
di atas tarsus. Lamella posterior terdiri dari jaringan otot yang lembut yang
diinervasi oleh saraf simpatis, disebut juga muskulus mullers, yang analog
dengan muskulus tarsal palpebra inferior. Muskulus muller kemudian berinsersi
pada pinggir atas tarsus. Muskulus muller bagian posterior melekat erat dengan
5

lapisan konjungtiva dan bagian anterior melekat dengan aponeurosis. Tidak


ditemukan arcade pembuluh darah perifer pada anterior muskulus muller dekat
dengan insersi pinggir superior tarsus.13
Konjungtiva Tarsal
Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat
dengan melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup
bulbus okuli. Konjungtiva merupakan membrane mukosa yang mempunyai sel
Goblet yang menghasilkan musin.14
Eversi kelopak dilakukan dengan mata pasien melihat jauh ke bawah. Pasien
diminta jangan mencoba memejamkan mata. Tarsus ditarik ke arah orbita. Pada
konjungtiva dapat dicari adanya papil, folikel, perdarahan, sikatriks dan
kemungkinan benda asing.15

Gambar 1. Penampang Melintang Palpebra

Margo Palpebra
Panjang margo palpebra adalah 25-30 mm lebar 2 mm. Ia dipisahkan oleh garis
kelabu (batas mukokutan) menjadi tepian anterior dan posterior.
6

a) Margo anterior
1. Bulu mata
Bulu mata muncul dari tepian palpebra dan tersusun tidak teratur.
2. Glandula Zeis
Ini adalah modifikasi kelenjar sebasea kecil, yang bermuara ke dalam folikel
rambut pada dasar bulu mata.
3. Glandula Moll
Ini adalah modifikasi kelenjar keringat yang bermuara ke dalam satu baris
dekat bulu mata.
b) Margo posterior
Margo palpebra superior berkontak dengan bola mata, dan sepanjang margo
ini terdapat muara-muara kecil dari kelenjar sebasea yang telah dimodifikasi
(glandula Meibom, atau tarsal).
c) Punktum Lakrimal
Pada ujung medial dari margo palpebra posterior terdapat elevasi kecil dengan
lubang kecil di pusat yang terlihat pada palpebra superior dan inferior.12

Fissura Palpebra
Fissura palpebra adalah ruang ellips diantara kedua palpebra yang dibuka.
Normalnya fissura palpebra memiliki lebar 9 mm. Fissura ini berakhir di kanthus
medialis dan lateralis. Kanthus lateralis kira-kira 0,5 cm dari tepian lateral orbita dan
membentuk sudut tajam. Kanthus medialis lebih elliptic dan mengelilingi lakuna
lakrimalis.12

Retraktor Palpebra
Retractor palpebra berfungsi membuka palpebra. Mereka dibentuk oleh
kompleks muskulofasial, dengan komponen otot rangka dan polos, dikenal sebagai
kompleks levator palpebra superior. Di palpebra superior, bagian otot rangka adalah
levator palpebra superioris, yang berasal dari apeks orbita dan berjalan ke depan
7

dan bercabang menjadi sebuah aponeurosis dan bagian yang lebih dalam yang
mengandung serat-serat otot polos dari muskulus Muller (tarsalis superior).
Levator dipasok cabang superior dari nervus okulomotorius (N.III). Darah ke levator
palpebrae superioris datang dari cabang muskular lateral dari arteri oftalmika.12

Persarafan Sensoris
Persarafan sensoris ke palpebra datang dari divisi pertama dan kedua dari
nervus trigeminus (N.V). Nervus lakrimalis, supraorbitalis, supratrokhlearis,
infratrokhlearis dan nasalis eksterna kecil adalah cabang-cabang dari divisi oftalmika
dari nervus kelima. Nervus infraorbitalis, zigomaticofacialis, zigomaticotemporalis
merupakan cabang-cabang dari divisi maksilaris (kedua) nervus trigeminus.12

Pembuluh Darah dan Limfe


Pasokan darah ke palpebra datang dari arteri lakrimalis dan oftalmika melalui
cabang-cabang palpebra lateral dan medialnya. Anastomosis antara arteri palpebra
lateralis dan medialis membentuk arcade tarsal yang terletak di dalam jaringan areolar
submuskular.12
Drainase vena dari palpebra mengalir ke dalam vena oftalmika dan vena-vena
yang mengangkut darah dari dahi dan temporal. Vena-vena itu tersusun dalam
pleksus pra- dan pasca tarsal.12
Pembuluh limfe dari segmen lateral palpebra berjalan ke dalam nodus praauricular dan parotis. Pembuluh limfe dari sisi medial palpebra mengalirkan isinya ke
dalam limfonodus submandibular.12

BAB III
PTOSIS
A.

Definisi
Ptosis merupakan keadaan jatuhnya kelopak mata (Drooping eye lid ),
dimana kelopak mata atas tidak dapat diangkat atau terbuka sehingga celah
kelopak mata menjadi lebih kecil dibandingkan dengan keadaan normal.1
Normalnya fissura palpebra memiliki lebar 9 mm. Posisi normal palpebra
superior adalah ditengah-tengah antara limbus superior dan tepian atas pupil.
Ini dapat bervariasi 2 mm jika kedua palpebra simetris.2

B.

Etiologi
Ptosis terutama terjadi akibat tidak baiknya fungsi m. levator palebra,
lumpuhnya saraf ke III untuk levator palpebra atau dapat pula terjadi akibat
jaringan penyokong bola mata yang tidak sempurna, sehingga bola mata tertarik
ke belakang atau enoftalmus. Penyebab ptosis adalah miogenik, aponeurotik,
neurogenik, mekanikal, dan traumatik. Ptosis juga dapat terjadi pada miastenia
gravis pada satu mata atau kedua mata.3,6

C.

Insidensi
Sampai saat ini insidensi ptosis belum pernah dilaporkan. Ptosis
kongenital dapat mengenai seluruh ras, angka kejadian ptosis sama antara pria
dan wanita. Ptosis kongenital biasanya tampak segera setelah lahir maupun
4

pada tahun pertama kelahiran. Ptosis yang didapat (acquired) dapat terjadi
pada setiap kelompok usia, tetapi biasanya ditemukan pada usia dewasa tua.5

D.

Klasifikasi
Berdasarkan Onsetnya
Secara garis besar ptosis dapat dibedakan atas 2, yaitu :
A. Kongenital
Sebagian besar kasus ptosis kongenital akibat gangguan pembentukan
jaringan muskulus levator (myogenic etiology).6,13

Dapat terjadi dalam

bentuk:
1. Unilateral : kegagalan perkembangan innervasi abnormal otot levator
palpebra.
Bila cukup berat dapat menyebabkan ambliopia dan harus segera
ditangani dengan pembedahan. Dapat menyertai Marcus Gunn
syndrome (kelainan nervus III dan nervus V), dimana kontraksi
m.levator palpebra terjadi bila rahang membuka ke samping pada sisi
yang berlawanan.
2. Bilateral : infantile myastenia gravis atau anak dari ibu yang menderita
Myastenia gravis.
3. Ptosis yang menyertai Sturge Weber, von Recklinghausen syndrome dan
alkohol fetal syndrome.16

B. Didapat (Acquired)
Ptosis didapat terjadi akibat penurunan regangan atau disinsersi aponeurosis
levator (aponeurotic abnormality).6,13 Dapat terjadi pada keadaan:
1. Terkait dengan penyakit muskular, kelainan neurologis, faktor mekanik.
Pada beberapa kasus memerlukan penanganan secepatnya.
2. Myastenia Gravis
3. Botulinism
4. Paralysis n. III akibat trauma, tumor, degenerative CNS disease, lesi
vaskular.

10

5. Distrofi miotonik.
6. Tumor, trauma, jaringan sikatrik pada palpebra.
7. Horner syndrom (ptosis, miosis dan dishidrosis ipsilateral).16
Perbandingan Blefaroptosis 6
Kongenital Myogenik

Acquired Aponeurotik

Ptosis

Ptosis

Ptosis ringan- berat

Ptosis ringan- berat

Lemah atau tidak ada

Lebih tinggi dari

pada posisi normal

normal

Levator function

Berkurang

Hampir normal

On downgaze

Eyelid lag

Eyelid drop

Palpebral fissure
height
Upper eyelid crease

Berdasarkan Etiologinya
1. Ptosis Myogenik
Kongenital
Akibat dari gangguan perkembangan (maldevelopment) muskulus
levator dengan karakteristik penurunan fungsi levator, kelopak mata
tertinggal, dan kadang-kadang lagoftalmus. Congenital Myogenic Ptosis
dengan phenomena Bells yang buruk atau strabismus vertikal
kemungkinan mengindikasikan gangguan perkembangan konkomitan
pada muskulus rektus superior.6,13
Didapat
Ptosis ini jarang ditemukan, merupakan akibat dari kelainan muskuler
lokal atau menyeluruh, seperti distrofi muskuler, eksternal oftalmoplegia
progresif kronik, miastenia grafis, atau distrofi okulofaringeal. 6,13

11

Distrofi muskuler
Ditemukan ptosis dan kelemahan muka. Gejala lainnya adalah
katarak, kelainan pupil, botak frontal, atrofi testes dan diabetes.2

Oftalmoplegia eksternal menahun progresif


Adalah penyakit neuromuskuler herediter progresif lambat, yang
mulai dipertengahan kehidupan. Semua otot ekstra okuler termasuk
levator dan otot-otot ekspresi muka berangsur-angsur terkena.
Biasanya bersifat bilateral, simetris dan progresif ptosis. Namun
reaksi pupil dan akomodasi normal . Untuk dapat mengangkat
palpebra biasanya pasien menggunakan M. Frontalis. Pada Sindroms
Kearns Sayre ophtalmoplegia disertai renitis pigmentosa dan blok
jantung.2

Myasthenia gravis
Suatu gangguan neuro muskular yang diduga disebabakan oleh
adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada neuro muskular
jungtion. Merupakan myogenik ptosis yang bilateral dan asimetris.
Ptosis yang terjadi sering bersamaan dengan diplopia . Muskulus
orbikularis okuli juga sering terkena. Kedut palpebra Cogan kadangkadang ada saat menggerakkan mata dari pandangan ke bawah ke
posisi primer, palpebra superior berkedut ke atas.2

2. Ptosis Aponeurotika
Kongenital
Akibat kegagalan insersi aponeurosis pada posisi normal di permukaan
anterior tarsus.6,13

12

Didapat
Akibat kelemahan, perlepasan, atau disinsersi aponeurosis levator dari
kedudukan noramal. Umumnya terdapat cukup sisa perlekatan ke tarsus
yang dapat mengangkat palpebra saat melihat keatas. Tetap tersisanya
perlekatan aponeurosis levator ke kulit dan muskulus orbicularis
menghasilkan lipatan palpebra yang sangat tinggi, dapat pula terjadi
penipisan palpebra dimana bayangan iris tampak terbayang melalui kulit
palpebra

superior.

Mekanisme

ptosis

pada

operasi

mata,

blepharochalasis, kehamilan dan penyakit Grave umumnya akibat


kerusakan pada aponeurosis.2,6,13

3. Ptosis Neurogenik
Kongenital
Disebabkan karena adanya defek neurogenik yang terjadi pada saat
perkembangan embrio. Ptosis ini jarang ditemukan dan sering
berhubungan dengan kelumpuhan nervus kranial III kongenital, horner
sindrom congenital, atau Marcus Gunn jaw-winking sindrom.6,13
Didapat
Disebabkan karena putusnya hubungan persarafan normal yang paling
sering terjadi akibat sekunder dari kelumpuhan nervus kranial III
didapat, sindrom horner atau miastenia grafis didapat.6,13

Sindrom Marcus Gunn


Pada sindrom Marcus Gunn (fenomena berkedip-rahang),
mata membuka saat mandibula dibuka atau menyimpang ke sisi
berlawanan. Muskulus levator yang mengalami ptosis disarafi oleh

13

cabang-cabang
okulomotorius.

motorik

nervus

trigeminus

dan

nervus

Sindroma Horner
Blepharoptosis yang terjadi adalah akibat berkurangnya
inervasi simpatis ke otot otot muller palpebra superior yang
terkadang juga diikuti pada palpebra inferior yang jika kedua
palpebra mengalami ptosis akan beradampak berkurangnya lebar
vertikal fisura palpebra yang sering disalah diagnosis dengan
enophthalmos.2
Penyebab sindrom horner adalah fraktur vertebra servikalis,
tabes dorsalis , siringomelia . tumor corda servikal. Paralisis otot
Muller hampir selalu berkaitan dengan sindroma Horner dan
biasanya didapat. Jarang ada ptosis di bawah 2 mm, dan ambliopia
tidak pernah terjadi.2

4. Ptosis Mekanikal
Ptosis mekanikal biasanya terjadi akibat neoplasma yang mendorong
palpebra superior ke inferior, hal ini dapat disebabkan oleh kelainan
kongenital seperti neuroma fleksiform, hemangioma, atau oleh neoplasma
didapat seperti khalazion besar, basal sel atau squamous sel karsinoma.
Edema setelah operasi atau trauma dapat menyebabkan ptosis mekanikal
sementara.6,13

5. Ptosis Traumatik
Ptosis Traumatik terjadi akibat trauma tajam dan tumpul pada muskulus
atau aponeurosis levator. Seperti pada laserasi palpebra superior dan
prosedur bedah saraf orbital. Pada kasus ptosis traumatic dokter mata harus

14

melakukan observasi selama 6 bulan sebelum melakukan koreksi ptosis


karena kadang-kadang dapat sembuh spontan.6,13

Pseudoptosis
Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pseudoptosis, termasuk
hipertropia, enoftalmos, mikroftalmos, anofthalmos, ptisis bulbi, defek sulkus
superior akibat trauma, atau kasus lainnya.6,13

Berdasarkan Jarak Jatuhnya Palpebra Superior


Ptosis diklasifikasikan atas 3 derajat: 7
1.

Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea < 2 mm termasuk ptosis
ringan,

E.

2.

Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 3 mm termasuk ptosis sedang

3.

Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea > 4 mm termasuk ptosis berat.

Gambaran Klinis
Pasien ptosis sering datang dengan keluhan utama jatuhnya kelopak mata
atas dengan atau tanpa riwayat trauma lahir, paralisis n. III, horner syndrom
ataupun penyakit sistemik lainnya. Keluhan tersebut biasanya disertai dengan
ambliopia sekunder.4
Pada orang dewasa akan disertai dengan berkurangnya lapang pandang
karena mata bagian atas tertutup oleh palpebra superior. Pada kasus lain,
beberapa orang (utamanya pada anak-anak) keadaan ini akan dikompensasi
dengan cara memiringkan kepalanya ke belakang (hiperekstensi) sebagai usaha
untuk dapat melihat dibalik palpebra superior yang menghalangi pandangannya.
Biasanya penderita juga mengatasinya dengan menaikkan alis mata
(mengerutkan dahi). Ini biasanya terjadi pada ptosis bilateral. Jika satu pupil
tertutup seluruhnya, dapat terjadi ambliopia.1,7

15

Ptosis yang disebabkan distrofi otot berlangsung secara perlahan-lahan


tapi progresif yang akhirnya menjadi komplit. Ptosis pada myasthenia gravis
onsetnya perlahan-lahan, timbulnya khas yaitu pada malam hari disertai
kelelahan, dan bertambah berat sepanjang malam. Kemudian menjadi
permanen. Ptosis bilateral pada orang muda merupakan tanda awal myasthenia
gravis.2
Pada ptosis kongenital seringkali gejala muncul sejak penderita lahir,
namun kadang pula manifestasi klinik ptosis baru muncul pada tahun pertama
kehidupan. Kebanyakan kasus ptosis kongenital diakibatkan oleh suatu
disgenesis miogenic lokal. Bila dibandingkan dengan otot yang normal,
terdapat serat dan jaringan adipose di dalam otot, sehingga akan mengurangi
kemampuan otot levator untuk berkontraksi dan relaksasi. Kondisi ini disebut
sebagai miogenic ptosis kongenital.4
Symptom/ gejala ptosis:

Jatuhnya / menutupnya kelopak mata atas yang tidak normal.


Kesulitan membuka mata secara normal.
Peningkatan produksi air mata.
Adanya gangguan penglihatan.
Iritasi pada mata karena kornea terus tertekan kelopak mata.
Pada anak akan terlihat guliran kepala ke arah belakang untuk mengangkat
kelopak mata agar dapat melihat jelas.17

F.

Diagnosis
Diagnosis ptosis dapat ditegakkan. Berdasarkan pada anamnesa dan
pemeriksaan yang tepat maka selain diagnosis, juga dapat diketahui kausa dari
ptosis dan derajat beratnya ptosis sehingga dapat ditentukan tindakan dan
penanganan yang tepat.

16

Anamnesis:

Identitas

Onset ptosis

Faktor yang mengurangi atau pemicu

Riwayat keluarga

Sejak pertama muncul apakah meningkat, berkurang atau konstan.

Hubungannya dengan:
Gerakan rahang
Gerakan mata yang abnormal
Postur kepala yang abnormal

Riwayat trauma atau pembedahan sebelumnya

Foto lama dari wajah dan mata pasien dapat dijadikan dokumentasi untuk
melihat perubahan pada mata. 12,18

Pemeriksaan Oftalmologi:
Secara fisik, ukuran bukaan kelopak mata pada ptosis lebih kecil
dibanding mata normal. Ptosis biasanya mengindikasikan lemahnya fungsi dari
otot levator palpebra superior ( otot kelopak mata atas ). Rata rata lebar fisura
palpebra / celah kelopak mata pada posisi tengah adalah berkisar 9 mm,
panjang fisura palpebra berkisar 28 mm. Rata rata diameter kornea secara
horizontal adalah 12 mm, tetapi vertikal adalah = 11 mm. Bila tidak ada deviasi
vertikal maka refleks cahaya pada kornea berada 5,5 mm dari batas limbus atas
dan bawah. Batas kelopak mata atas biasanya menutupi 1.5 mm kornea bagian
atas, sehingga batas kelopak mata atas di posisi tengah seharusnya 4 mm diatas
reflek cahaya pada kornea.15

17

Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut meliputi:


1. Palpebra Fissure Height
Jarak antara margo palpebra superior dan inferior pada posisi penglihatan
primer.13

Gambar 2. Pemeriksaan Palpebra Fissure Height


2.

Margin-Reflex Distance

Margin-Reflex Distance 1 (MRD 1)


Jarak antara tengah refleks cahaya pupil dan margin kelopak mata atas
dengan pada posisi primer. Hasil pengukuran 4 - 5 mm dianggap
normal.18

Gambar 3. Pemeriksaan Margin-Reflex Distance 1 (MRD 1)

Margin-Reflex Distance 2 (MRD 2)


Jarak antara pusat refleks cahaya pupil dan margin kelopak mata bawah
pada posisi primer. Jumlah MRD1 dan MRD2 sama dengan palpebra
fissure height.6

18

3.

Upper Lid Crease


Jarak antar lipatan kulit palpebra superior dengan margin palpebra.
Akibat insersi jaringan muskulus levator ke dalam kulit sehingga
membentuk lid-crease. Disinsersi aponeurosis levator membentuk lidcrease pada posisi tinggi, ganda, dan asimetris. Lid-crease biasanya tinggi
pada pasien ptosis involusional. Pada ptosis kongenital biasanya samarsamar atau tidak ada. Ciri khas lid-crease orang Asia biasanya rendah dan
tidak jelas walaupun tidak ada ptosis.6,13

4.

Levator Function
Penderita diminta melihat ke bawah maksimal, pemeriksa memegang
penggaris dan menempatkan titik nol pada margo palpebra superior, juga
pemeriksa menekan otot frontal agar otot frontal tidak ikut mengangkat
kelopak, lalu penderita diminta melihat ke atas maksimal dan dilihat
margo palpebra superior ada pada titik berapa. Aksi levator normal 14-16
mm.13

Gambar 4. Pemeriksaan Levator Function

19

5.

Bells Phenomenon
Penderita disuruh menutup atu memejamkan mata dengan kuat,
pemeriksa membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas
berarti Bells Phenomenon (+).19

Gambar 5. Pemeriksaan Bells Phenomena


Eyelid Measurements 21
Test
PF
PFd
MRD1
MRD2
MRD3
BLF
MCD
MFD
MLD
lag

Measurement
palpebral fissure vertical
palpebral fissure vertical in downgaze
light reflex to upper lid margin
light reflex to lower lid margin
margin to corneal light reflex in upgaze
upper lid margin from down gaze to upgaze
on down gaze lid margin to crease
on primary gaze lid margin to crease
margin to 6 oclock limbus in upgaze
lagophthalmos

Normal
9 mm
2-4 mm
4-5 mm
4-5 mm
12-18 mm
7-10 mm
4-5 mm
9 mm
0 mm

Pemeriksaan Oftalmologi Lainnya:

Tajam penglihatan dan kelainan refraksi kedua mata

Posisi kepala, elevasi dagu, posisi alis mata, dan aksi alis saat berusaha
melihat ke atas.

Lagoftalmus (penutupan kelopak mata yang tidak sempurna)

20

Tes Schimer

Sensibilitas kornea

Gerakan bola mata 6,13

Pemeriksaan Tambahan:

Pemeriksaan lapangan pandang

Pemeriksaan farmakologi: kokain topical, tes tensilon.6


Pada pasien ptosis umumnya tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium.

Namun untuk mengetahui adanya kelainan sistemik yang dapat mengakibatkan


keadaan tersebut kiranya dapat dilakukan pemeriksaan darah. Pemeriksaan MRI
dan CT-scan kepala dan mata dibutuhkan misalnya bila untuk melihat adanya
massa tumor yang menyebabkan terjadinya ptosis, dan pada pasien yang
ditemukan adanya kelainan neurologik lainnya misalnya pada pupil yang
abnormal.4

G.

Penatalaksanaan
Penting untuk menyingkirkan penyebab dasar yang terapinya dapat
menyelesaikan masalah (misal myasthenia gravis).7 Apabila ptosisnya ringan,
tidak didapati kelainan kosmetik dan tidak terdapat kelainan visual seperti
ambliopia, strabismus dan defek lapang pandang, lebih baik dibiarkan saja dan
tetap diobservasi.8
Pada ptosis kongenital, dilakukan pembedahan (memperpendek) otot
levator yang lemah serta aponeurosisnya atau menggantungkan palpebra pada
otot frontal. Pada anak-anak dengan ptosis tidak memerlukan pembedahan
secepatnya namun perlu tetap diobservasi secara periodik untuk mencegah
terjadinya ambliopia. Bila telah terjadinya ambliopia, pembedahan dapat
direncanakan secepatnya. Namun jika hanya untuk memperbaiki kosmetik

21

akibat ptosis pada anak, maka pembedahan dapat ditunda hingga anak berumur
3-4 tahun.8
Pada ptosis yang didapat, dilakukan koreksi penyebab. Jika koreksi
penyebab tidak mungkin, maka kelopak mata diperpendek menurut arah
vertikalnya (jika fungsi levator baik) atau diikatkan ke frontal (jika fungsi
levator buruk).8
Indikasi pembedahan: 2
1. Fungsional
Gangguan axis penglihatan. Ambliopia dan stabismus dapat menyertai
ptosis pada anak-anak.
2. Kosmetik
Tujuan operasi adalah simetris, dan simetris dalam semua posisi
pandangan hanya mungkin jika fungsi levator tidak terganggu.
Kontra Indikasi pembedahan:2,21
1.

Kelainan permukaan kornea

2.

Bells Phenomenon negatif

3.

Paralisa nervus okulomotoris

4.

Myasthenia gravis

Prinsip-Prinsip Pembedahan:
Pembedahan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan cukup dengan
anestesi lokal. Pada ptosis ringan, jaringan kelopak mata yang dibuang
jumlahnya sedikit. Prinsip dasar pembedahan ptosis yaitu memendekkan otot
levator palpebra atau menghubungkan kelopak mata atas dengan otot alis mata.
Koreksi ptosis pada umumnya dilaksanakan hanya setelah ditemukan penyebab
dari kondisi tersebut. Dan perlu diingat bahwa pembedahan memiliki banyak

22

resiko dan perlu untuk didiskusikan sebelumnya dengan ahli bedah yang akan
menangani pasien tersebut.9

Beberapa Pembedahan Ptosis:

Reseksi Levator Eksternal


Prosedur ini memendekan aponeirosis levator dengan cara insisi pada
lipat palpebra. Insisi pada kulit disembunyikan antara lid fold yang lama
dan yang baru agar serasi dengan mata kontralateral. Reseksi levator
eksternal diindikasikan pada kasus ptosis moderat sampai berat dengan
fungsi kelopak yang buruk. Ptosis kongenital termasuk kategori tersebut.9
Pedoman yang dianjurkan Beard :
1. Ptosis kongenital ringan (1,5-2 mm) dengan fungsi levator yang
masih baik (8 mm atau lebih) : reseksi 10 13 mm.
2. Ptosis kongenital sedang (3 mm) :
fungsi levator baik (8 mm atau lebih) : dipotong 14 17 mm;
fungsi yang kurang (5-7 mm) : direseksi 13 22 mm
fungsi yang buruk (0-4 mm): reseksi 22 mm atau lebih.
3. Ptosis kongenital berat (4 mm atau lebih) dengan fungsi yang
kurang sampai buruk : reseksi 22 mm atau lebih atau lakukan sling
frontalis.9

Frontalis sling
Pada kasus ptosis berat dengan fungsi palpebra 1-2 mm, frontalis sling
merupakan pendekatan yang paling baik.9

Prosedur Fasenella Servat


Elevasi palpebra dengan cara mengambil jaringan didalam palpebra
termasuk tarsus , konjungtiva dan Mller muscle, jarang digunakan untuk

23

kasus ptosis konginental. Operasi ini diindikasikan jika fungsi levator


baik (10 mm) dan ptosis ringan (1-2 mm).9

Gambar 6. Teknik Pembedahan Ptosis


Kebanyakan operasi ptosis berupa reseksi aponeurosis levator atau otototot tarsus superior (atau keduanya). Banyak cara, dari kulit maupun dari
konjungtiva, kini dipakai. Pada tahun-tahun terakhir ini, titik berat diletakkan
pada keuntungan membatasi operasi pada perbaikan dan reseksi aponeurosis
levator, terutama pada ptosis yang didapat.2
Pasien dengan sedikit atau tanpa fungsi levator memerlukan sumber
pengangkatan alternatif. Menggantungkan palpebra pada kening (alis)
memungkinkan pasien mengangkat palpebra dengan bantuan gerak alami
muskulus frontalis. Fascia lata autogen biasanya dianggap sebagai alat terbaik
untuk menggantung.2

24

H.

Prognosis
Prognosis tergantung pada tingkat ptosisnya dan etiologinya.4

Ptosis kongenital tipe mild dan moderate dapat mengalami perbaikan


seiring dengan waktu tanpa komplikasi yang berat.

Ptosis yang menyebabkan ambliopia membutuhkan terapi Patching. Ini


dilakukan setelah operasi ptosis.

Ptosis kongenital yang menyebabkan hambatan penglihatan sebaiknya


segera ditangani dengan pembedahan.

I.

Komplikasi

Underkoreksi
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada operasi ptosis.
Underkoreksi ini dapat dicegah dengan mengukur jumlah reseksi aponeurosis
levator yang tepat sebelum ujung aponeurosis dipotong dan dijahit pada pinggir
tarsus. Koreksi ulang apabila dijumpai underkoreksi dapat dilakukan dalam
minggu pertama setelah operasi atau pada saat pasien masih dirawat di rumah
sakit. Dalam hal ini harus dapat dibedakan underkoreksi karena edema setelah
operasi dengan underkoreksi sebenarnya.

Overkoreksi
Dapat disertai dengan keratitis eksposure dan dry eyes.6,13

25

BAB IV
KESIMPULAN
Diagnosis ptosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologi yang tepat. Anamnesis pada pasien ptosis meliputi identitas; onset ptosis;
faktor yang mengurangi atau pemicu; riwayat keluarga; sejak pertama muncul apakah
meningkat, berkurang atau konstan; hubungannya dengan gerakan rahang, gerakan
mata yang abnormal, postur kepala yang abnormal; riwayat trauma atau pembedahan
sebelumnya dan foto lama dari wajah dan mata pasien dapat dijadikan dokumentasi
untuk melihat perubahan pada mata. Pemeriksaan oftalmologi pada ptosis meliputi
pengukuran palpebra fissure height, margin-reflex distance, upper lid crease, levator
function, Bells phenomenon dll.
Etiologi ptosis terutama terjadi akibat tidak baiknya fungsi muskulus levator
palpebra, lumpuhnya saraf ke III untuk levator palpebra atau dapat pula terjadi akibat
jaringan penyokong bola mata yang tidak sempurna, sehingga bola mata tertarik ke
belakang atau enoftalmus.
Berdasarkan onsetnya ptosis dibagi menjadi ptosis kongenital dan ptosis
didapat (acquired). Berdasarkan etiologinya ptosis dapat dibagi menjadi miogenik,
aponeurotik, neurogenik, mekanikal dan traumatik. Sedangkan menurut derajatnya
ptosis dibagi menjadi ptosis ringan jika batas kelopak mata atas menutupi kornea < 2
mm, ptosis sedang jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 3 mm dan ptosis
berat jika batas kelopak mata atas menutupi kornea > 4 mm.
Penatalaksanaan ptosis tergantung dari etiologi dan derajatnya. Menurut
etiologinya, pada ptosis kongenital (myogenic etiology) dilakukan pembedahan
(memperpendek) otot levator yang lemah serta aponeurosisnya atau menggantungkan
palpebra pada otot frontal. Jenis operasi untuk ptosis kongenital adalah reseksi levator
eksternal. Pada ptosis yang didapat (aponeurotic etiology), misalnya pada myastenia
gravis dilakukan koreksi penyebab. Jika koreksi penyebab tidak mungkin, maka

26

kelopak mata diperpendek menurut arah vertikalnya (jika fungsi levator baik) atau
diikatkan ke frontal (jika fungsi levator buruk). Prosedur Fasenella-Servat lebih sering
digunakan untk kasus ptosis yang didapat.
Sedangkan menurut derajatnya, untuk ptosis ringan yang tidak didapati
kelainan kosmetik dan tidak terdapat kelainan visual seperti ambliopia, strabismus
dan defek lapang pandang, lebih baik dibiarkan saja dan tetap diobservasi. Bila akan
dilakukan operasi, prosedur Fasenella-Servat diindikasikan untuk ptosis ringan. Pada
kasus ptosis moderat diindikasikan pembedahan dengan teknik reseksi levator
eksternal. Sedangkan pada ptosis berat, frontalis sling merupakan pendekatan yang
paling baik.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidharta. Ptosis. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI,
2007; hal .100.
2. Vaughan, Daniel. Blepharoptosis. Dalam: Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika, 2000; hal. 86-7.
3. Ilyas, Sidharta. Ptosis. Dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga.
Jakarta: FKUI, 2005; hal.47.
4. Suh, Donny Wun. Ptosis, Congenital. Editor(s) : Michael J Bartiss, Donald S
Fong, Mark T Duffy, Lance L Brown, Hampton Roy. Department of
Ophthalmology, University of Nebraska Medical Center. Avaiable at
http://www.emedicine.com/ ph/topic345. 10 Mei 2010.
5. Cohen, Adam. Ptosis, Adult. Available at http://emedicine.medscape.com
/article/1212082-overview. 10 Mei 2010.
6. American Academy of Ophthalmology: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System in
Basic and Clinical Science Course, Section 7, 2001-2002.page 189-204.
7. Bermant, Michael. Measuring Eyelid Function and Ptosis (drooping upper
eyelid).
American
Board
of
Plastic
Surgery.
Available
at
http://www.plasticsurgery4u.com/procedure_folder/eyelid_recon_folder/eyelid_f
unction.html. 10 Mei 2010.
8. Ilyas, Sidharta. Ptosis. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi kedua. Jakarta: Sagung
Seto, 2002; hal .73-75.
9. Sparth, George L. Plastic Surgery. Dalam Opthalmic Surgery. W.B. Saunders
Company. Philadelphia. 1982; hal : 582-589.
10. Snell, Richard. Palpebra. Dalam: Anatomi Klinik. Jakarta: EGC, 2006; hal. 7668.
11. James, Bruce. Kelopak Mata. Dalam: Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2005; hal .3-5.
12. Vaughan, Daniel. Palpebra. Dalam: Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika, 2000; hal. 17-21.
13. Aryatul, Aryani. Penatalaksanaan Ptosis dengan Teknik Reseksi Aponeurosis
Levator Melalui Kulit. USU Resepository. 2008; p 1-32.
14. Ilyas, Sidharta. Kelopak Mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta:
FKUI, 2007; hal .1-2.
15. Ilyas, Sidharta. Anatomi Kelopak. Dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi
ketiga. Jakarta: FKUI, 2005; hal.42-43.

28

16. Bermant, Michael. Measuring Eyelid Function and Ptosis (drooping upper
eyelid).
American
Board
of
Plastic
Surgery.
Available
at
http://www.plasticsurgery4u.com/procedure_folder/eyelid_recon_folder/eyelid_f
unction.html. 10 Mei 2010.
17. Mahendra. Ptosis: Kelopak Mata yang Menggantung. Available at
http://www.mahendraindonesia.com. 10 Mei 2010.
18. Grover, AK. Long Case of Ptosis. Available at http://www.eophtha.com/
ejo13.html. 10 Mei 2010.
19. Newman, Steven A. The Pasient With Eyelid or Facial Abnormalities. Dalam
Basic And Clinical Science Course-Neuro Opthalmology. Bagian 5. The
Foundation Of The American Academy Of Ophthalmology. San Fransisco. 2001;
hal : 263.
20. The Online Eye Manual / Occuloplastics. Eyelid Measurements. Available at
http://mail.ml.usoms.poznan.pl/eyemanual/plastics5.htm. 19 Mei 2010.
21. Evans, N.M. The Eyelids. Dalam Opthalmology. Oxford University Press.
Oxford. 1995; hal : 17-20

29

Anda mungkin juga menyukai