Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Lupus dalam bahasa latin berarti Anjing Hutan. Istilah ini mulai dikenal

sekitar satu abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES) alias Lupus Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik
bermakna menyebar luas ke berbagai organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya
menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di
dalam tubuh. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema
berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah
malar)
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik
(LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya
diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk
penyakit collagen-vascular yaitu suatukelompok penyakit yang melibatkan sistem
muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa
penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat
sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh
berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda,
misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia
berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).Perkembangan
penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga
Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung
sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal
Page
1

ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga
berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan,
dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang
timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya
tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.
Manifestasi

klinis

dari

SLE

bermacam-macam

meliputi

sistemik,

muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran


cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang
tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala
dan induksi

remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada

perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka


pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing
individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita
SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria,
kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obatobat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi,
monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi
penelitian para ilmuwan.
1.2 Rumusan masalah
Apa yang dimaksud dengan Lupus Eritematosus sistemik
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami penjabaran tentang penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).

Page
2

1.3.2 Tujuan Khusus


(1).

Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda

dan gejala, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, serta


komplikasi dari penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE).
(2).

Mahasiswa

dapat

menambah

wawasan

baru

mengenai

penyakit

Systemic Lupus Erythematosus (SLE).


1.4 Manfaat Penulisan
- Sebagai bahan masukan kepada masyarakat tentang penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik .
- Sebagai bahan informasi tentang penyakit Lupus eritematosus sistemik itu
sendiri kepada pembaca.

Page
3

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem
pertahanan tubuh (sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami
kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun,
yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun
sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin
akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertaioleh
terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita
lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,
oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan
keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna
kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain.
Oleh karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena mengenai hampir
seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ
lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak
terlalu berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Gejala-gejala SLE adalah seperti ruam di wajah, kepala dan anggotaanggota badan, ruam ini tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan
meninggalkan parut, ulser di dalam mulut, keguguran rambut, demam
berkepanjangan, dan penderita akan sensitif terhadap pancaran sinar matahari.
2.2 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan
10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat.
Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 1564 tahun.
Page
4

Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan
usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbedabeda untuk
tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per
2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi
di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand,
terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per
100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000
populasi (Bartels, 2006).
2.3 Etiologi
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
a)

Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 9 kali lebih sering dari pada
pria dewasa

b)

Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun

c)

Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam


keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut

2. Faktor Resiko Hormon


Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko
ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang
efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut maupunsecara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus
Page
5

Erythematosus atau DILE). Jeni sobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat
adalah :
a)

Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa,


hidralasin, prokainamid, dan isoniazid

b)

Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin,penisilamin, dan


kuinidin

c)

Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenisantibiotic dan


griseofurvin

6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
3.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, Systemic Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
A.

Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang

meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut
di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
B.

Systemic Lupus Erythematosus


SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang

disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi


oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun
dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya
autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler,
Page
6

sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003)
melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
C.

Lupus yang diinduksi oleh obat


Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada

asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

3.5 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan
produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibody
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

3.6 Kriteria SLE


Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan
kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE

Page
7

ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu
periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,
bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami
kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian
obat yang dapat memicu ANAsebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas,
datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari,
menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah;
a)

anemia hemolitik,

b)

Leukosit < 4000/mm,

c)

Limfosit<1500/mm,

d)

Trombosit <100.000/mm

7. Salah satu Kelainan Ginjal;


a)

Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

b)

Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal
dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal

8. Salah satu Serositis :


a)

Pleuritis,

b)

Perikarditis

9. Salah satu kelainan Neurologis;


a)

Konvulsi / kejang,

b)

Psikosis

10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
Page
8

11. Salah satu Kelainan Imunologi


a)

Sel LE+

b)

Anti dsDNA diatas titer normal

c)

Anti Sm (Smith) diatas titer normal

d)

Tes serologi sifilis positif palsu

3.7 Manifestasi Klinis


Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan
pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak
diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala
dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini
bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas
gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus
hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ
lainnya.
A.

Muskuloskleletal

Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan


menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian padajari
tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang
panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerahtersebut.
B. Integumen
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.
Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh
sinar matahari.
C. Ginjal
Page
9

Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam selsel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal
yangmenetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita
perlumenjalanidialis a atau pencangkokkan ginjal.

D.Sistem Neuron
Kelainan

saraf

ditemukan

pada

25%

penderita

lupus.

Yang

paling

seringditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa


terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistemsaraf.
Kejang,ps ikos a, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakanbeberapa
kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.
E.Sistem Hematologi
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan
darah

di

dalam

vena

maupun

arteri,

yang

bisa

menyebabkanstroke danemboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh


membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa
menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit
menahun.
F.Sistem Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar
ditismaupunmiokarditis. Nyeri dada danaritmia bisa terjadi sebagai akibat
darikeadaan tersebut.
G.Sistem Respirasi
Pada

lupus

bisa

terjadi

pleuritis (peradangan

selaput

paru)

dan efusi

pleura(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari


keadaantersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

Page
10

3.8 Pemeriksaan Laboratorium


1.

Anti ds-DNA

Batas normal : 70 200 IU/mL


Negatif
Positif

: < 70 IU/mL
: > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan

jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada
penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus
(ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang doublestranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerangsingle-stranded DNA (anti ssDNA).

Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif

untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit


autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang
besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi
sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal
maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
2. Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang
lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari
suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif
terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena
Page
11

ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang
tinggi

berkaitan

dengan

kemunculan

penyakit

dan

keaktifan

penyakit

tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah
ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu
negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan
tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita
SLE.

ANA

dapat

meliputi

anti-Smith

(anti-Sm),

anti-RNP

(anti-

ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana,
2002).
3. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan,Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
2.9 Tinjauan Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas
hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,
menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien
tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena
banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang
dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi
(Herfindal et al., 2000).
1.

Terapi nonfarmakologi
Page
12

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu
berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam
tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu
terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente,
2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung
vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin
proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi
anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk
mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan
beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2.

Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan

mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat


keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada
setiap pasien.
3.

NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk

salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek
antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan
menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif
COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi
termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factorsedangkan COX-1
merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari
ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet,
dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID
Page
13

adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas
seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan
perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien
terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian
terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi
efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek
samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu.
Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah
meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan.
Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti
kortikosteroid atau antimalaria

tergantung dari manifestasi yang muncul

(Herfindal et al., 2000).


4.

Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang

(demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organorgan penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi
membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat
DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin
dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor
necrosing factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama.
Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50%
selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan
dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria
dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3
tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
Page
14

5.

Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan

respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan
terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada
kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid
topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai
antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid
menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi
seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta
menghambat

melekatnya

sel

pada

endotelial

terjadinya

inflamasi

dan

meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi


ke

tempat

terjadinya

inflamasi.

Sedangkan

efek

imunomodulator

dari

kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel
limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga
mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan
aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada
SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,
memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki
manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid
dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon
terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada
pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon
dalam bentuk intravena (1030 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti
dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan

kortikosteroid

secara

intravena

pada

75%

pasien

menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya
marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen)
memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian
glukokortikoid Kadar komplemen

dan
Page
15

antibodi

DNA

dalam

serum

menurun

dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis,

serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan


respon dalam 5 sampai 19 hari.Oral prednison lebih sering digunakan daripada
deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan
diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk
terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan
penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2
minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah
asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis
menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian.
Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison
20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya
berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat
menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).Pada penyebaran
penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau
serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan
penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organorgan besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan
untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif
untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes
melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah
dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat
mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE.
Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena
kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan
ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang
kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering
dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
Page
16

6.

Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat

sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi


sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat
pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang
berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan
secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi
inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang
meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu
dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count.
Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian,
durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum
kreatinin dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi
lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis
tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan
progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah,
diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara
pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma
(Herfindal et al., 2000).
7.

Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang

diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini
kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun,
dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA
yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang
ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut
(Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme
Page
17

menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang
dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian
mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee,
2001).
8.

Anti infeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat

menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang


adalah

virus herpes

zoster, Salmonella,

danCandida (Isenberg and Horsfall,

1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir
atau

vidarabin

secara

oral

800

mg

lima

kali

sehari

selama

57

hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin,


kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin
dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif
sehingga dapat memperparahrash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya
infeksi dariCandida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol,
dan itrakonazol (Katzung, 2002).

2.10 Komplikasi SLE


1. Serangan pada Ginjal
1.
2.
3.

Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)


Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin) .

2. Serangan pada Jantung dan Paru


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pleuritis
Pericarditis
Efusi pleura
Efusi pericard
Radang otot jantung atau Miocarditis
Gagal jantung
Perdarahan paru (batuk darah) .

3. Serangan Sistem Saraf


a. Sistem saraf pusat
1. Cognitive dysfunction
Page
18

2.
3.
4.
5.

Sakit kepala pada lupus


Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia .

b. Sistem saraf tepi


Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak,
dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya
permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom (7).
4. Serangan pada Kulit
a. Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi diskoid
b. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir
70-an :
i. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat
sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult
subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka
ii.

psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.


Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat

mencakup area yang luas di bagian tubuh


c. Lesi non spesifik
i. Rambut rontok (alopecia)
ii. Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan
kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki
yang dapat menjadi borok .
iii.
Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari
dan kadang di sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
a. Radang sendi pada lupus
b. Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
a. Anemia
b. Trombositopenia
Page
19

c. Gangguan pembekuan
d. Limfositopenia
8. Serangan pada Hati

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.

Page
20

7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.

Page
21

3.2 Masalah Keperawatan


1. Nyeri
2. Keletihan
3. Gangguan integritas kulit
4. Kerusakan mobilitas fisik
5. Gangguan citra tubuh
3.3 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1.

Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

2.

Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit,

rasa nyeri, depresi.


3.

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang

gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya
tahan fisik.
4.

Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan

ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.


5.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi

barier kulit, penumpukan kompleks imun.


Evaluasi Diagnostic
Diagnosis dibuat berdasarkan pada riwayat komplet dan analisis pemeriksaan
darah ; tidak ada satu pun pemeriksaan laboratorium yang menguatkan SLE .

3.4 Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a) Melakukan pemantauan TTV
b) Mengkaji skala nyeri pasien
Page
22

c) Mengkaji Nyeri ( P,Q,R,S,T )


d) Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres
panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal
penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
e) Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
f) Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
g) Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta
sifat kronik penyakitnya.
h) Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari
bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum
terbukti manfaatnya.
i) Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien
untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
j) Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa
nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup seharihari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
a. Melakukan pemantauan TTV
b. Beri penjelasan tentang keletihan : hubungan antara aktivitas
penyakit dan keletihan
c. menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara
melaksanakannya
d. mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur
(mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
e. menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik,
artikuler dan emosional
f. menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat
tenaga
Page
23

g. kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan


h.
i.
j.
k.

kelelahan.
Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
Rujuk dan dorong program kondisioning.
Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan
suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,


kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan
fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
1. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
2. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
3. Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
4. Meningkatkan pemakaian alat bantu
5. Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
6. Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
7. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
8. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
9. Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
10. Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
11. Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
4.

Gangguan

citra

tubuh

berhubungqan

dengan

perubahan

dan

ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.


Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta
psikologik yang ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala
b.
c.
d.
e.

penyakit dan penanganannya.


Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

Page
24

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier


kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan
kompres hangat yang terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial
yang melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor
lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan
aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody
polispesifik.
Page
25

Selain

itu,

pada

banyak

penderita

SLE

gambaran

klinisnya

membingungkan. Tampaknya semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas


asalnya, temuan urine yang abnormal atau penyakit sendi yang menyamar sebagai
arthritis rematoid atau demam rheumatic.
4.2 Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita
terkena penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan
dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan
kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita
akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih
awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.

Page
26

DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. buku Kedokteran.
2. Gibson J.M, MD.1996. Mikrologi dan patologi Modern untuk perawat.
Buku Kedoktreran.
3. Golmeri S.K, levena G.M. 1993 . Tes diagnosa bergambar. Buku
Kedokteran.
4. Robins dan kumar. 1995. Buku ajar patologi (eds.4). buku Kedokteran
5. Robins, DKK. 1996). Buku saku Robins Dasar Patologi Penyakit (eds.5).
buku Kedokteran.
6. Underwodd J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik (eds2). Buku
Kedokteran.
7. Baughman Diane C. Dan JoAnn C. Hackley . 2000 . Keperawatan
Medikal Bedah Buku saku dari Brunner & Suddarth . Buku Kedokteran

Page
27

Anda mungkin juga menyukai