Makalah SLE
Makalah SLE
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Lupus dalam bahasa latin berarti Anjing Hutan. Istilah ini mulai dikenal
sekitar satu abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES) alias Lupus Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik
bermakna menyebar luas ke berbagai organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya
menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di
dalam tubuh. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema
berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah
malar)
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik
(LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya
diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk
penyakit collagen-vascular yaitu suatukelompok penyakit yang melibatkan sistem
muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa
penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat
sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh
berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda,
misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia
berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).Perkembangan
penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga
Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung
sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal
Page
1
ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga
berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan,
dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang
timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya
tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.
Manifestasi
klinis
dari
SLE
bermacam-macam
meliputi
sistemik,
Page
2
Mahasiswa
dapat
menambah
wawasan
baru
mengenai
penyakit
Page
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem
pertahanan tubuh (sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami
kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun,
yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun
sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin
akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertaioleh
terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita
lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,
oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan
keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna
kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain.
Oleh karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena mengenai hampir
seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ
lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak
terlalu berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Gejala-gejala SLE adalah seperti ruam di wajah, kepala dan anggotaanggota badan, ruam ini tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan
meninggalkan parut, ulser di dalam mulut, keguguran rambut, demam
berkepanjangan, dan penderita akan sensitif terhadap pancaran sinar matahari.
2.2 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan
10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat.
Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 1564 tahun.
Page
4
Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan
usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbedabeda untuk
tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per
2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi
di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand,
terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per
100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000
populasi (Bartels, 2006).
2.3 Etiologi
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
a)
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 9 kali lebih sering dari pada
pria dewasa
b)
c)
Erythematosus atau DILE). Jeni sobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat
adalah :
a)
b)
c)
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
3.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, Systemic Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
A.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut
di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
B.
sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003)
melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
C.
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
3.5 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan
produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibody
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Page
7
ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu
periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,
bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami
kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian
obat yang dapat memicu ANAsebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas,
datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari,
menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah;
a)
anemia hemolitik,
b)
c)
Limfosit<1500/mm,
d)
Trombosit <100.000/mm
b)
Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal
dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal
Pleuritis,
b)
Perikarditis
Konvulsi / kejang,
b)
Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
Page
8
Sel LE+
b)
c)
d)
Muskuloskleletal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam selsel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal
yangmenetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita
perlumenjalanidialis a atau pencangkokkan ginjal.
D.Sistem Neuron
Kelainan
saraf
ditemukan
pada
25%
penderita
lupus.
Yang
paling
di
dalam
vena
maupun
arteri,
yang
bisa
lupus
bisa
terjadi
pleuritis (peradangan
selaput
paru)
dan efusi
Page
10
Anti ds-DNA
: < 70 IU/mL
: > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada
penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus
(ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang doublestranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerangsingle-stranded DNA (anti ssDNA).
Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif
ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang
tinggi
berkaitan
dengan
kemunculan
penyakit
dan
keaktifan
penyakit
tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah
ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu
negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan
tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita
SLE.
ANA
dapat
meliputi
anti-Smith
(anti-Sm),
anti-RNP
(anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana,
2002).
3. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan,Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
2.9 Tinjauan Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas
hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,
menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien
tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena
banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang
dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi
(Herfindal et al., 2000).
1.
Terapi nonfarmakologi
Page
12
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu
berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam
tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu
terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente,
2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung
vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin
proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi
anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk
mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan
beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2.
Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk
salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek
antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan
menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif
COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi
termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factorsedangkan COX-1
merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari
ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet,
dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID
Page
13
adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas
seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan
perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien
terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian
terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi
efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek
samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu.
Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah
meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan.
Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti
kortikosteroid atau antimalaria
Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang
(demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organorgan penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi
membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat
DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin
dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor
necrosing factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama.
Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50%
selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan
dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria
dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3
tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
Page
14
5.
Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan
respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan
terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada
kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid
topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai
antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid
menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi
seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta
menghambat
melekatnya
sel
pada
endotelial
terjadinya
inflamasi
dan
tempat
terjadinya
inflamasi.
Sedangkan
efek
imunomodulator
dari
kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel
limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga
mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan
aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada
SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,
memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki
manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid
dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon
terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada
pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon
dalam bentuk intravena (1030 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti
dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan
kortikosteroid
secara
intravena
pada
75%
pasien
menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya
marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen)
memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian
glukokortikoid Kadar komplemen
dan
Page
15
antibodi
DNA
dalam
serum
menurun
6.
Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat
Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang
diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini
kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun,
dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA
yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang
ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut
(Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme
Page
17
menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang
dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian
mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee,
2001).
8.
Anti infeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat
virus herpes
zoster, Salmonella,
1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir
atau
vidarabin
secara
oral
800
mg
lima
kali
sehari
selama
57
Pleuritis
Pericarditis
Efusi pleura
Efusi pericard
Radang otot jantung atau Miocarditis
Gagal jantung
Perdarahan paru (batuk darah) .
2.
3.
4.
5.
c. Gangguan pembekuan
d. Limfositopenia
8. Serangan pada Hati
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
Page
20
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
Page
21
2.
gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya
tahan fisik.
4.
3.4 Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a) Melakukan pemantauan TTV
b) Mengkaji skala nyeri pasien
Page
22
kelelahan.
Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
Rujuk dan dorong program kondisioning.
Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan
suplemen.
Gangguan
citra
tubuh
berhubungqan
dengan
perubahan
dan
Page
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial
yang melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor
lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan
aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody
polispesifik.
Page
25
Selain
itu,
pada
banyak
penderita
SLE
gambaran
klinisnya
Page
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. buku Kedokteran.
2. Gibson J.M, MD.1996. Mikrologi dan patologi Modern untuk perawat.
Buku Kedoktreran.
3. Golmeri S.K, levena G.M. 1993 . Tes diagnosa bergambar. Buku
Kedokteran.
4. Robins dan kumar. 1995. Buku ajar patologi (eds.4). buku Kedokteran
5. Robins, DKK. 1996). Buku saku Robins Dasar Patologi Penyakit (eds.5).
buku Kedokteran.
6. Underwodd J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik (eds2). Buku
Kedokteran.
7. Baughman Diane C. Dan JoAnn C. Hackley . 2000 . Keperawatan
Medikal Bedah Buku saku dari Brunner & Suddarth . Buku Kedokteran
Page
27