BAB I
PENDAHULUAN
1
Jack Donnely, Universal Human Rights in theory and practice, Cornell University Press, Ithaca
and London, 2003, hlm. 7-12. juga Maurice Cranston, What are Human Rights? Taplinger, New
York, 1973, hlm.70
2
Rhona K.M. Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2008. hlm 11.
2
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan karya tulis ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menelaah status perlindungan dan pemenuhan
HAM Orang Rimba dalam kaitannya dengan kebijakan taman nasional di
Provinsi Jambi.
2
1. 4 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari karya tulis ini adalah:
1.4.1 Secara teoritis meningkatkan pengetahuan dan pemahaman penulis
berkaitan dengan mata kuliah Hukum HAM
1.4.2. Secara praktis memberikan alternatif kebijakan bagi pihak terkait dalam
perlindungan dan pemenuhan HAM kelompok khusus pada umumnya,
Orang Rimba di provinsi jambi khususnya.
2
BAB II
TELAAH PUSTAKA
6
Rona K.M. Smith, op cit, hlm. 12
7
Ibid.
2
8
Scott Davidson, Hak Asasi Manusi : Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan
Internasional, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hlm 36.
2
9
Rona K.M. Smith, 2009, hlm. 37.
2
yakni pasal 28 dan pasal 28A sampai pasal 28 J. Selain pada bab khusus pada
undang – undang dasar 1945 juga terdapat pada Undang-undang Nomor.39 Tahun
1999 tentang HAM, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya serta Undang-undang Nomor 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Secara normatif jaminan hak hidup sebagai HAM di Indonesia berlaku
bagi seluruh warga negara indonesia tanpa terkecuali seperti yang disebutkan
dalam pasal 28A Undang Undang Dasar 1945 bahwa ”Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak me mpertahankan hidup dan Kehidupannya”. Perumusan
”setiap orang” dalam konstitusi tersebut mengindikasikan hak yang dimaksud
berlaku bagi seluruh warga negara komponen bangsa tanpa terkecuali termasuk di
dalamnya masyarakat adat. Hak kelompok khusus merujuk pada ketentuan Pasal
5 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999: “Setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Kemudian, dalam Pasal 6
ayat (1) disebutkan: “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan
dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hokum, masyarakat, dan Pemerintah”. Pasal 6 ayat (2) yaitu : “Identitas
budaya masyarakat huku adat”, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan zaman.
Seterusnya, kewajiban, dan tanggung jawab negara berdasarkan pada
Undang-undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:
Pasal 8 : Perlindungan, Pemajuan, Penegakan, dan Pemenuhan hak asasi manusia
terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.
10
Saafroedin Bahar, op cit, hlm. 9.
2
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian mengenai kebijakan pemerintah dalam pemerintah dalam
rangka pemenuhan HAM Orang Rimba merupakan penelitian yuridis normatif
(legal research) yang didukung peneltian empiris.Menurut Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji bahwa “Penelitian hukum normatif mencakup: (1) penelitian
terhadap asas-asas atau prinsip-prinsip hukum; (2) penelitian terhadap sistematika
hukum; (3) penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; (4) perbandingan
hukum; dan (5) sejarah hukum.” (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji:1985: 15)
Bertalian dengan penelitian normatif dilakukan dengan pendekatan
perUndang-undangan (Statute Approach), penelitian ini dilakukan dengan
menelaah kerangka normatif dari berbagai instrumen HAM berupa konstitusi,
peraturan perUndang-undangan, panduan pelaporan, concluding observation
tentang prinsip-prinsip dan standar-standar HAM terkait kebijakan pemenuhan
HAM HAM kelompok khsuss. Seterusnya, penelitian ini juga meliputi taraf
sinkronisasi yaitu bagaimana kesesuaian hukum antara peraturan yang mengatur
perlindungan dan pemenuhan HAM kelompok khusus Orang Rimba dengan
hukum yang mengatur mengenai kebijakan taman nasional di Provinsi Jambi.
Melalui pendekatan peraturan perUndang-undangan (Statute Approach)
akan ditelaah aspek sinkronisasi peraturan perUndang-undangan antara instrumen
hukum Undang-undang Nomor 05 Tahun 1999 tentang Sumber Daya Hayati dan
Ekosistem mengenai kebijakan taman nasional dengan instrumen Hukum HAM
yang diatur dalam Konstitusi, Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
HAM dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil, United Nations Declaration on the rights
2
kuesioner pada pemangku hak. Selanjutnya dalam penelitian ini, prinsip dan
standar HAM, pandangan-pandangan serta isi kaidah hukum HAM mengenai
pemenuhan HAM pendidikan diperoleh melalui dua referensi utama yaitu:bersifat
umum yaitu buku-buku yang membahas standar pemenuhan HAM pendidikan,
bersifat khusus, yaitu jurnal, laporan tahunan, hasil penelitian, terbitan berkala dan
lain-lain. Adapun studi dokumen sebagai sarana pengumpulan bahan hukum
ditujukan pada dokumen yang bersifat publik berkaitan dengan kebijakan
pemenuhan HAM pendidikan.
BAB IV
ANALISIS SINTESIS
Orang rimba atau sering disebut sebagai suku anak dalam atau suku kubu
telah menetap dan menjalani kehidupannya dalam kawasan hutan bukit dua belas
selama ratusan tahun yang lalu. Seperti diketahui, lokasi masyarakat zaman
dahulu adalah dilokasi-lokasi yang kaya akan sumber daya alam, mengingat
kehidupan mereka yang masih sangat tergantung pada anugerah alam. Lokasi-
lokasi tersebut diantarannya adalah kawasan pesisir dan hutan. Ada banyak
pendapat mengenai sejarah lahir dan terbentuknya orang rimba bukit dua belas.
Pendapat pertama menyatakan bahwa nenek moyang Orang Rimba adalah
seorang perantau asal Pagar Ruyung. Di dalam hutan perantau tersebut bertemu
dengan seorang putri yang berasal dari buah kelumpang. Singkat Cerita akhirnya
mereka menikah, dan keturunan mereka inilah yang sekarang disebut sebagai
Orang Rimba.11
Pendapat kedua menyatakan bahwa nenek moyang Orang Rimba adalah
sekelompok tentara Pagar Ruyung yang tidak berani lagi pulang ke tanah airnya
karena misinya gagal. Kelompok tentara ini pada akhirnya memutuskan untuk
tinggal di hutan dan menikah dengan perempuan desa di sekitar hutan. Keturunan
para tentara inilah yang sekarang disebut sebagai Orang Rimba. Kemudian
pendapat lain yang mengatakan nenek moyang Orang Rimba adalah sisa sisa
tentara Kesultanan Jambi dan tentara Kesultanan Palembang yang terlibat perang
di wilayah Air Hitam. Setelah menjalani perang yang berkepanjangan dan
melelahkan kedua pasukan itu sepakat untuk berdamai. Ternyata kedua pasukan
tersebut tidak mau kembali ke kesultanan masing masing, mereka memilih untuk
tinggal di sekitar hutan Air hitam dan menikah dengan perempuan perempuan
11
Komnas HAM, op cit, hlm. 8.
2
Desa Air Hitam. Keturunan para tentara inilah yang sekarang disebut sebagai
Orang Rimba.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa nenek moyang Orang Rimba adalah
kelompok masyarakat Desa Kubu Karambia kerajaan Pagar Ruyung yang
menolak untuk menerima ajaran Agama Islam dan melarikan diri kekawasan
hutan Bukit 12. Keturunan masyarakat inilah yang sekarang disebut sebagai
Orang Rimba. Selanjutnya ada Pendapat yang mengatakan bahwa nenek moyang
Orang Rimba adalah Imigran gelombang pertama yang datang ke Indonesia dari
wilayah utara. Mereka datang pada tahun 2000 SM. Mata pencaharian mereka
adalah bercocok tanam, berburu dan mengumpulkan hasil hutan. 1500 tahun
kemudian datang gelombang imigran kedua ke Indonesia. Imigran gelombang
kedua ini dalam segala hal jauh lebih unggul. Dengan mudah imigran gelombang
kedua ini menaklukan imigran gelombang pertama. Menurut beberapa sejarawan,
imigran gelombang pertama dijadikan budak oleh imigran gelombang kedua.
Tidak tahan di perbudak akhirnya imigran gelombang pertama ini memutuskan
untuk melarikan diri ke dalam hutan dan membentuk komunitas baru sebagai
orang rimba. Keturunan imigran pertama inilah yang sekarang disebut sebagai
Orang Rimba.
Dari pendapat-pendapat diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa nenek
moyang Orang Rimba pada awalnya tidak tinggal di hutan. Mereka dipaksa
tinggal di hutan oleh satu keadaan tertentu. Nenek moyang Orang Rimba
memutuskan untuk tinggal di hutan sebagai bagian dari mekanisme pertahanan
diri. Pada akhirnya hutan menjadi identitas diri bagi komunitas ini. Dari sini
muncullah sebutan suku kubu yang artinya pertahanan diri, untuk
membedakannya dengan Orang Terang yang tinggal di dusun. Salah satu tempat
hidup orang rimba adalah bukit duabelas, yang terletak dipropinsi Jambi. Tempat
2
lain dimana keberadaan orang rimba masih eksis adalah di hutan bukit tiga puluh
provinsi Riau dan Jambi.12
Orang rimba Bukit duabelas adalah masyarakat adat yang tinggal secara
semi nomaden dikawasan hutan bukit duabelas. Orang rimba disebut sebagai
komunitas semi nomaden karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya. Perpindahan orang rimba dari satu tempat ke tempat lainnya
disebabkan oleh beberapa hal seperti ;
1. Melangun, karena ada anggota keluarga yang meninggal.
2. Menghindari musuh, dan
3. Membuka ladang baru.
12
Ibid.
13
Kompas, Orang Rimba Terancam, Selasa 17 Maret 2009, hlm. 14.
2
sendiri mempunyai luas wilayah 65.300 hektar dan secara administratif berada di
tiga kabupaten, yaitu Batang Hari, Tebo, dan Sarolangun, Provinsi Jambi.
Taman nasional dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistim. Selain Taman
Nasional ada bentuk pengelolaan kawasan konservasi lainya yaitu Cagar alam dan
Suaka Marga satwa. Salah satu aturan dalam taman nasional adalah pembentukan
Zonasi, yaitu Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, dan zona lainnya yang
menyesuaikan kebutuhan setempat. Zona inti menurut aturannya adalah kawasan
yang tidak boleh dimasuki, diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat, termasuk
masyarakat adat. Demikian pula dengan zona rimba. Sedangkan zona lain dapat
dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya dengan tidak merubah fungsi pokok
kawasan. Ketentuan zonasi ini masuk dalam Rencana Pengelolaan Taman
Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD) yang disusun oleh BKSDA Jambi, yang
menimbulkan keresahan bagi Orang Rimba. Zonasi akan membatasi ruang hidup
Orang Rimba, baik untuk kegiatan ekonomi, sosial, maupun budaya.
Hak kelompok khusus, dimana diduaga belum ada perlakuan dan
perlandungan lebih terhadap Orang Rimba sebagai kelompok Khusus. Hak atas
Adat-istiadat, dimana diduga kebijakan Taman Nasional dan pemerintah secara
umum akan memnghambat, mengurangi, dan menghapus hak atas adat istiadat
Orang Rimba. Hak atas Tanah Ulayat, dimana diduga ada upaya dan/atau
tidndakan untuk tidak mengakui hak ulayat Orang Rimba. Hak untuk hidup secara
bermartabat, dimana diduga terjadi pembatasan, pengurangan, dan pelarangan
terhadap aktivitas kehidupan Orang Rimba di dalam Taman Nasional.
Masyarakat adat, termasuk Orang Rimba, adalah kelompok khusus yang
wajib mendapatkan perlakukan khusus dan perlindungan lebih dari negara. Hal ini
disebabkan posisi mereka yang sangat lemah secar sosial, ekonomi, politik, dan
pembangunan. Untuk itu mereka sangat rentan terhadap pelanggaran Hak asasi
manusia. Namun diduga previlege ini tidak dihormati, dilindungi, dan dipenuhi
2
oleh pemegang kebijakan sehingga terjadi perlakukan yang tidak semestinya atau
terjadi diskriminasi perlakuan dengan kelompok masyarakat lain. Pola
kepamilikan dan pemanfaatan tanah Orang Rimba secara komunal, dimana
pemimpin adat yang akan mengalokasikan tanah untuk dimanfaatkan, bukan
untuk dimiliki. Tanah ulayat Orang Rimba menyebar didalam kawasan yang saat
ini sudah ditunjuk sebagai Taman nasional, yang artinya dalam pengelolaan
nagara, dalam hal ini Departemn Kehutanan. Akibatnya akan terjadi overlapping
klaim kepemilikan anatara tanah ulayat dan kawasan taman nasional maupun
dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang berkembang cepat di kawasan
hidup Orang Rimba yang berpotensi terjadi pelanggaran hak atas tanah ulayat.
Menurut pengaduan awal dan temuan lapangan maupun bukti-bukti yang
disampaikan oleh pengadu, diduga telah terjadi pembatasan, pengurangan, dan
pelarangan terhadap aktivitas kehidupan Orang Rimba didalam taman nasional
oleh staf BKSDA. Hal ini menyebabkan terganggunya kehidupan Orang Rimba
karena beberapa dari mereka tidak dapat lagi berladang, memanfaatkan hasil
hutan, maupun aktifitas lain didalam kawasan taman nasional. Disamping
persoalan didalam taman nasional, ditemukan juga kasus dimana Orang Rimba
yang telah direlokasi didesa tidak mendapatkan jaminan hidup yang layak sebagai
syarat mendasar memenuhi kehidupannya. Padahal semula mereka dijanjikan
fasilitas dasar untuk memulai kehidupa diluar kawasan hutan.
Tuntutan global mendesak negara di berbagai belahan dunia untuk
melakukan pembangunan berbasis HAM (right-based development) sebagai suatu
standar internasional HAM yang diarahkan untuk mendukung dan melindungi
HAM. Pembangunan berbasis HAM itu sendiri pada hakikatnya memadukan
norma-norma dan standar-standar (perjanjian, konvensi dan deklarasi) serta
prinsip-prinsip (kesetaraan, keadilan, pemberdayaan, akuntabilitas dan partisipasi)
sistem internasional HAM ke dalam perencanaan, kebijakan dan proses-proses
pembangunan. Karena itu, strategi ini mengandung elemen-elemen: a)
2
14
Nicola Colbran, 2009, hlm. 6
2
hak sejarah masyarakat hukum adat tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusiai.15
Sesungguhnya, pengakuan secara eksplisit terhadap suatu kelompok atau
suku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat menimbulkan masalah jika
ditinjau dari perspektif hak asasi manusia serta dari faham nasionalisme, oleh
karena pengakuan eksplisit terhadap suatu suku atau kelompok bias ditafsirkan
sebagai suatu diskriminasi terhadap suku atau kelompok lainnya. Walaupun
demikian, pengakuan secara eksplisit terhadap Orang rimba atau Suku Kubu atau
Suku Anak Dalam ini juga bisa ditafsirkan secara positif sebagai affirmative
action, yaitu sebagai suatu kebijakan khusus untuk memperbaiki kesenjangan
yang selama ini berlangsung terhadap Orang Rimba tersebut.
Secara khusus, terdapat sikap ambivalen yang dianut oleh Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria terhadap hukum adat dan
masyarakat hukum adat. Pada suatu sisi, Undang-undang ini secara tegas menyatakan
bahwa hukum adat merupakan sumber dari hukum agraria nasional kita. Namun pada
sisi lain, eksistensi masyarakat hukum adat yang merupakan konteks sosio cultural
lahirnya hukum adat tersebut dibebani dengan beberapa kondisionalitas, yang cepat
atau lambat membuka peluang untuk dinafikannya masyarakat hukum adat tersebut.16
Sudah barang tentu, masyarakat hukum adat tidak berdiam diri terhadap
pengurangan, pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak tradisionalnya itu. Di
seluruh Nusantara telah terjadi kritik, protes, bahkan perlawanan terbuka, dari
warga masyarakat hukum adat, yang pada umumnya gagal untuk dalam
mempertahankan esksistensi dan hak-hak tradisionalnya itu. Seperti dapat diduga,
mereka tidak berada pada posisi yang dapat membela diri, karena tidak
mempunyai akses pada kekuasaan, baik pada cabang legislatif, eksekutif, ataupun
yudikatif.
15
Saafroedin Bahar, Mendorong Pengakuan, Penghormatan & Perlindungan
Hak Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah pada Workshop Hasil Penelitian Di Tiga
Wilayah , Lombok, 21 - 23 Oktober 2008, Pusham UII Yogyakarta, hlm. 7.
16
Ibid.
2
Sejak awal perlu disadari bahwa status hukum kawasan hidup Orang
Rimba di akui melalui status hukum Taman Nasional, akan menimbulkan
problema hukum yang berimplikasi luas terhadap pengelolaan kawasan.
Walaupun alasan keputusan SK Taman Nasional itu adalah perlindungan wilayah
kehidupan dan penghidupan Orang Rimba sebagaimana disebutkan dalam SK
Penetapannya. Karena itu pula sejak awal Keluarga Konservasi Indonesia Warsi
sebagai lembaga swadaya masyarakat yang selama ini menaruh kepedulian
terhadap keberadaan Orang Rimba tidak pernah mengusulkan kawasan ini dengan
status hukum sebagai Taman Nasional tetapi Warsi mengusulkan perluasan Cagar
Biosfir Bukti Duabelas. Status hukum Cagar Biosfir dinilai lebih sesuai untuk
mendukung kehidupan Orang Rimba. Akan tetapi menurut pandangan pemerintah
melalui Departemen Kehutanan, status Cagar Biosfir tidak memiliki landasan
hukum di Indonesia, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Karena itu
pemerintah secara sepihak memutuskannya menjadi Taman Nasional.
Lemahnya legitimasi hak hidup merka dalam kawasan Taman Nasional
yang hanya diatur lewat sebuah SK Menhutbun. Dalam Undang-undang Nomor
05 Tahun 1990 Bab VII pasal 31 disebutkan, ”Di dalam Taman Nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan
wisata alam.”
Pasal 33 ayat (1) ”setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional”.
Berdasarkan bunyi ketentuan pasal tersebut bahwa dalam kawasan Taman
Nasional di Indonesia tidak diperkenankan adanya aktivitas selain yang disebut
dalam pasal 31 tersebut. Selain itu dalam kawasan Taman nasional tidak
diperkenankan adanya aktivitas kegiatan (kehidupan) yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Sedang fakta dilapangan,
dalam beraktivitas orang rimba kebanyakan berada dalam kawasan zona inti
2
Taman Nasional yang sebenarnya dilarang. Penetapan mengenai zona inti sangat
membatasi hak Orang Rimba terhadap akses hutan karena hutan larangan yang
selama ini sangat dihormati Orang Rimba malah tidak dimasukkan dalam zona
inti, sedangkan dalam kawasan tersebut terdapat inumon yaitu kawasan berupa
sumber mata air di puncak-puncak bukit yang diyakini sebagai tempat tinggalnya
dewa-dewa.
Jika Undang-undang Nomor 05 Tahun 1990 tersebut diterapkan secara
konsekuen di seluruh Taman Nasional di Indonesia maka efek sosial yang terjadi
pada orang rimba ialah keharusan untuk meninggalkan kawasan yang selama
beratus tahun mereka gunakan sebagai tempat hidup dan mempertahankan
hidupnya. Kebijakan Pemerintah selanjutnya mengatur hak hidup orang rimba
SK Menhutbun No.258/KPTS-II/2000. Dalam SK tersebut
mengakui adanya kekhasan komunitas masyarakat asli di
dalamnya, yaitu Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD).
Dengan legitimasi hak hidup ”hanya” diatur dalam SK
menhutbun yang secara fakta bertentangan dengan undang–
undang maka dapat dikatakan bahwa kedudukan dan hak hidup
orang rimba rentan akan pelanggaran dan konflik jika ada
kepentingan pihak-pihak tertentu.
Berdasarkan paparan tersebut di atas maka perlu diambil langkah
menyusun suatu ketentuan berupa adanya perubahan dari Undang-undang nomor
05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem
dengan menambahkan ketentuan pengecualian. Pasal diskresi dalam tatanan
hukum sekarang merupakan suatu keniscayaan mengingat makin dinamis dan
berkembangnya masyarakat pada periode ini.
Penambahan pasal diskresi pada Undang-undang Nomor 05 Tahun 1990
dimungkinkan mengingat dalam pembentukan perUndang-undangan di indonesia
dikenal adanya affirmative action. Affirmative action adalah suatu tindakan
2
khusus untuk suatu kelompok tertentu yang bertujuan menjamin kemajuan dan
perlindungan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam kasus ini tentu orang
rimba di propinsi Jambi, pengaturan dari affirmative action di atur dalam pasal 1
ayat (4) dan pasal 2 ayat (2) konvensi internasional tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi rasial (1965).
Kalimat Pasal diskresi pada Undang-undang ini ditempatkan dalam pasal 33
ayat (3), dengan bunyi :
“ Pelarangan aktivitas kehidupan dalam zona inti kawasan Taman Nasional seperti
yang dimaksud pada ayat (1) di kecualikan terhadap masyarakat adat yang jika
dalam kawasan tersebut sebelum Undang-undang ini diberlakukan telah lama
berdiam dan melakukan aktivitas kehidupan dalam kawasan zona inti kawasan
taman nasional “.
Penambahan Pasal diskresi dapat dilakukan melalui mekanisme revisi
terhadap Undang-undang Nomor 05 tahun 1990. Revisi terhadap Undang-undang
ini juga penting mengingat Undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistem ini mengandung banyak kelemahan, antara lain:
1. Masih mengacu kepada Undang-undang 1945 yang belum diamandemen.
2. Mengacu pada Undang-undang Nomor. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sudah tidak berlaku
lagi.
3. Mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 tahun1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kehutanan yang sudah tidak berlaku lagi.
4. Tidak ada satu pasal pun yang mengatur masalah keberadaan Masyarakat
Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya.
5. Penerapan Undang-undang Nomor. 5 Tahun 1990 ini di banyak tempat
telah melahirkan penderitaan bagi masyarakat hukum adat yang tempat
tinggalnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi
2
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan.
Berdasarkan analisis sintesis pada karya tulis ini maka dapat di ambil kesimpulan
sebagai berikut:
a. Pemberlakuan kebijakan taman nasional di hutan tempat Orang Rimba
hidup telah melanggar hak hidup, hak tanah ulayat dan hak martabat
Orang Rimba yang merupakan kelompok khusus yang wajib mendapatkan
perlakukan dan perlindungan lebih dari pemerintah sesuai dengan
peraturan perUndang-undangan yang berlaku. Pemerintah secara umum
belum memberikan perlakuan dan perlindungan lebih terhadap Orang
Rimba sebagai kelompok khusus dalam kebijakan pembangunan melalui
penetapan kebijakan, program, dan anggaran yang berpihak pada HAM
Orang Rimba.
b. Alternatif kebijakan yang perlu ditempuh oleh pemerintah ke depan adalah
merumuskan penambahan pasal diskresi atau pengecualian pada ketentuan
Pasal 33 Undang-undang Nomor 05 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem mengenai jaminan dan
perlindungan masyarakat adat yang telah hidup sebelum adanya kebijakan
taman nasional tetap diakui dan dilindungi untuk hidup dan menetap di
taman nasional.
5.2 Saran
1. Ke depan dalam rangka pengakuan, penghormatan dan pemenuhan HAM
Orang Rimba perlu diadopsi kebijakan affirmatif bagi kelompok khusus ini
2
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Franz Magnis Suseno. 2008. Sepuluh Tahun HAM di Indonesua Pasca Reformasi:
Sebuah Refleksi (Butir-Butir Pokok Pembahasan), Makalah pada
peluncuran Buku Ajar Hukum HAM tanggal 19 April 2008, Pusham UII
Yogyakarta.
Nicola Colbran. 2008. Seminar Hasil Penelitian Hak Ekosob Status dan Kondisi
Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Tiga Wilayah (Aceh,
Yogyakarta dan Kalimantan Timur), Makalah pada Workshop Hak
Ekosob diselenggarakan oleh Pusham UII kerja sama dengan Norwegian
Centre for Human Rights, Yogyakarta 16-18 Desember 2008)
Rhona K.M. Smith et al. 2009. Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII,
Yogyakarta
Scott Davidson. 1994. Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori dan Praktik dalam
Pergaulan Internasional, Grafiti Press, Jakarta.
Makalah
Saafroedin Bahar, Kebijakan Negara Dalam Rangka Penghormatan,
Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat (Hukum) Adat di Indonesia,
Makalah pada Workshop Hasil Penelitian Di Tiga Wilayah “Mendorong
Pengakuan, Penghormatan & Perlindungan Hak Masyarakat Adat di
Indonesia” Lombok, 21 - 23 Oktober 2008, Pusham UII Yogyakarta.
Laporan
Komnas HAM, Laporan Akhir Pemantauan Pelanggaran Hak Masyarakat Adat
Orang Rimba, Jakarta, Maret 2007.
Surat Khabar
Kompas, Orang Rimba Terancam, 17 Maret 2009.
2
Peraturan PerUndang-undangan
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan................................................................................i
Kata Pengantar......................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................iii
Ringkasan..............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................6
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................8
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................8
BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia...................................................9
2.2 Hak Untuk Hidup............................................................................12
2.3 Hak Asasi Masyarakat Adat............................................................13
2.4 Sinkronisasi. ....................................................................................15
2.5 Undang – Undang............................................................................17
2.6 Surat Keputusan .............................................................................18
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian.....................................................................19
3.2 Teknik Pengumpulan dan Sumber Data..........................................20
BAB IV ANALISIS SINTESIS
4.1 Efek Hukum UNDANG-UNDANG Nomor 05 Tahun 1990 terhadap Orang
rimba
di Propinsi Jambi.............................................................................21
4.2 Taman Nasional Bukit Duabelas untuk Perlindungan
Hak hidup Orang Rimba................................................................22
4.3 Sinkronisasi UNDANG-UNDANG Nomor 05 tahun 1990 dengan SK
Menhutbun
2
LEMBAR PENGESAHAN
Disahkan oleh:
Kata Pengantar
Puji syukur atas segala nikmat dari Allah SWT, dengan perkenan dan
rahmatNYA maka akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah
dengan judul Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Rangka Pemenuhan
HAM Orang Rimba Di Propinsi Jambi, dalam kesempatan ini penulis
menghaturkan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak
membantu dalam proses penyusunan karya tulis ini, antara lain :
1. Bapak Khabib Nawawi, S.H, M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Jambi yang memberikan kesempatan kepada penulis
untuk terus berkarya.
2. Ibu Retno Kusniati, S.H, M.H selaku dosen pembimbing yang dengan
kesabaran dan perhatian membimbing penulis dalam pembuatan karya
tulis ini.
3. Keluarga Konservasi Indonesia-Warsi Jambi selaku LSM yang bergerak
dalam usaha penyelamatan Orang Rimba di Propinsi Jambi yang banyak
memberikan data dan informasi kepada kami dalam penyelesaian karya
tulis ini.
4. Kedua orang tua penulis yang senantiasa mendoakan penulis untuk
berprestasi.
5. Rekan-rekan dan semua pihak yang membantu dalam proses pembuatan
karya tulis ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan selalu mengharapkan keridhoan
Allah SWT semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi peningkatan
2
Penulis
2
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2
2009
Ringkasan
Karya tulis ilmiah ini dilatarbelakangi bahwa Orang rimba atau sering disebut
sebagai suku anak dalam atau suku kubu yang telah menetap dan menjalani
kehidupan dalam kawasan hutan selama ratusan tahun yang lalu, dilokasi-lokasi
yang kaya sumber daya alam. Lokasi-lokasi tersebut diantaranya adalah kawasan
pesisir dan hutan di Provinsi Jambi yang sekarang dikenal sebagai Taman
Nasional Bukit Dua Belas (TNBD). Namun, berdasarkan ketentuan Undang
Undang Nomor 05 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan
Konservasi ditentukan bahwa tidak boleh ada aktivitas kehidupan di TNBD.
Kebijakan taman nasional telah menimbulkan keresahan bagi Orang Rimba untuk
menjalani kehidupannya dan berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM). Di samping itu, Pemerintah secara secara umum dan
pemerintah daerah khususnya, belum memberikan perlakuan dan perlindungan
terhadap Orang Rimba sebagai kelompok khusus. Potensi pelanggaran HAM
antara lain adalah hak hidup dan hak ulayat Orang Rimba, berupa pembatasan,
pengurangan, dan pelarangan terhadap aktivitas kehidupan Orang Rimba sebagai
akibat kebijakan taman nasional bukit dua belas.
Rimba sebagai kelompok khusus dan sebagai masyarakat adat telah dijamin
perlindungan dan pemenuhan HAMnya melalui Konstitusi dan Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, namun perlindungan dan perlakuan lebih
kepada kelompok khusus ini dalam kenyataanya belum terlaksana terlebih dengan
adanya Undang Undang Nomor 05 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam
Hayati dan Konservasi. Sedangkan jaminan hak hidup bagi Orang Rimba yang
diatur melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No.258/KPTS-II/2000 sangat lemah. Oleh karena itu seharusnya
pengaturan mengenai kebijakan taman nasional memuat
ketentuan pengecualian dalam melalui perubahan Undang Undang
Nomor 05 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dengan
mengadopsi pasal mengenai hak hidup kelompok khusus yang
sejak dulu ada ini tetap dijamin dan dilindungi. Ke depan
pemerintah daerah yaitu penyelengara pemerintahan di kabupaten Batang hari,
Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, pemerintah Provinsi Jambi, Balai
konservasi sumber Daya alam Jambi dan Balai Taman Nasional Bukit Duabelas
perlu menjamin hak hidup Orang Rimba melalui penyusun Peraturan Daerah serta
mendorong revisi Undang-undang Nomor 05 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem dengan merumuskan ketentuan pengecualian
bagi masyarakat adat yang telah hidup di taman nasional tetap dijamin dan
dilindungi haknya.