Anda di halaman 1dari 3

Emha Ainun Nadjib

Khusus untuk bencana Aceh saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu
mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya? Apakah
ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?

Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salah satu sudut bibirnya
hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab
barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang
jiwanya luluh lantak terkeping-keping, akan kubunuh.
Jakarta jauh lebih pantas mendapatkan bencana itu dibanding Aceh!, langsung aku
menyerbu.
Kamu juga tak kalah pantas untuk memperoleh kehancuran, Sudrun menyambut dengan
kata-kata yang, seperti biasanya, menyakitkan hati.
Jadi kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?
Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkah dengan
sorga
Orang Acehlah yang selama bertahun-tahun terakhir ini sangat dan paling menderita
dibanding kita semua senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan kesengsaraan sedalam
itu?
Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya, sehingga derajat
orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan
Termasuk Kiai....
Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala.
Kuusap dengan kesabaran.
Kalau itu hukuman, Kiai, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kepada tidak kepada
para gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang
melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini di tengah perang politik dan militer yang
tak berkesudahan?
Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku.
Badannya sampai terguncang-guncang.
Kamu ini mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan
ketidakadilan Tuhan?, katanya.
Aku menjawab tegas: Ya.
Kalau Tuhan diam saja abagaimana?
Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia juga akan terus
mempertanyakan
Sampai kapan?
Sampai kapanpun!
Sampai mati?
Ya!
Kapan kamu mati?
Gila!
Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa ilmumu
sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu
katakan sendiri lima menit yang akan datang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu.
Dan kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya
saja. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya,
pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!
Aku ini, Kiai!, teriakku, datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang bisa
menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter...
Sudrun malah melompat-lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya
melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.
Kamu jahat, katanya, karena ingin menghindar dari kewajiban
Kewajiban apa?
Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk
mengakuinya, menemukan logikanya, kemudian belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh
kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhanlah satu-satunya yang ada yang berhak untuk bersikap
diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke tempat sampah. Tuhan tidak berkewajiban apa-apa karena ia tidak
berhutang kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapapun. Tuhan

tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus
patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun,
apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini... ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok
Kupinjamkan dinding ini kepadamu...
Apa maksud Kiai?, aku tidak paham.
Pakailah sesukamu
Emang untuk apa?
Misalnya untuk membenturkan kepalamu...
Sinting!
Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik untuk cara
berpikir yang kau tempuh
Ia membawaku duduk kembali.
Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut
pertimbanganmu?, ia pegang bagian atas bajuku.
Kamu tahu Muhammad?, ia meneruskan, Tahu? Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi
wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah
makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia
menjahit bajunya sendiri dan menambal sendalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62
cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tapi oleh Tuhan orang
kampung Thaif diizinkan melemparinya batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan
oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama
diizinkan Tuhan mati diracun oleh istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan
dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer, sehingga
ada dua kuburannya. Muhammad dijamin sorganya tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga
menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh
kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, yang perhatian kalian kepada Tuhan setengahsetengah menginginkan nasib yang lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa
bencana, Tuhan yang kalian salahkan?
Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang.
Kiai, kata saya agak pelan, Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon utama
eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...
Sangat benar demikian, jawabnya, Apa yang membuatmu tidak yakin?
Ya Aceh itu, Kiai, Aceh... Untuk Acehlah aku bersedia Kiai ludahi
Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah bahwa
kamu pantas diludahi
Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu....
Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta lubuk
hati. Kenapa?
Aceh, Kiai, Aceh
Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim menghisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang
mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan Malaikat
mengangkut mereka langsung ke sorga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada
saudara-saudara mereka yang ditinggalkan, pora poranda kampung dan kota mereka adalah medan
pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong
mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian itu dibikin
sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka
selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan
mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan segera lahir
keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua belah pihak.
Tapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar dibayangkan akan
mampu tertanggungkan
Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak mati
adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buanglah dulu Tuhan dan akhirat
dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna dan nyawa tidak
melayang itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah keburukan berhentilah memprotes
Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti
ketika kamu mati.
Tapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa sementara
membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat sejahtera?
Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak tidak
terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan kebodohannya. Bukankah cukup
banyak tokoh-tokoh negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya, sementara

yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang
umurnya?
Gusti Gung Binathoro!, saya mengeluh, Kami semua dan saya sendiri, Kiai, tidaklah
memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang disuguhkan oleh perilaku
Tuhan
Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau
hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan,
ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri
maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati
yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh itu bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah
pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil Malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi
yang masih dibiarkan hidup.
Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...
Alangkah dungunya kamu!, Sudrun membentak, Sedangkan ayam menjadi riang hatinya
dan bersyukur kalau ia disembelih untuk menikmatan makan manusia, meskipun ayam tidak
memiliki kesadaran untuk mengetahui bahwa ia sedang riang dan bersyukur.
Jadi para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?
Sampai siang hari ini, ya. Sesungguhnya Tuhan masih sayang kepada mereka, sehingga
selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa bencana alam,
teknologi dan manusia, dengan frekwensi yang jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Tapi karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin saja itu menjadikan Tuhan mengambil
keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk yang lebih dahsyat. Dan kalau kedahsyatan
Aceh ini belum juga mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada
kemungkinan...
Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!, aku memotong, karena ngeri membayangkan
lanjutan kalimat Sudrun.
Bilang sendiri sana sama gunung!, ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor meninggalkan
saya.
Kiai!, aku meloncat mendekatinya, Tolonglah katakan kepada Tuhan agar beristirahat
sebentar dari mentakdirkan bencana-bencana alam...
Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau
pakai istilah bencana Tuhan?
Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.*****

Anda mungkin juga menyukai