Maklah Disolusi
Maklah Disolusi
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar
kimia
senantiasa
merancang
sediaan
obat
supaya
mampu
farmasis
kita
ditekankan
yaitu
pada
preformulasi.
menyusun
konsep
baru
yang
nantinya
harusmampu
mengetahui
Apa yang disebut dengan Disolusi?
Apa saja yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi?
Bagaimana metode penentuan kecepatan disolusi?
Bagaiman perhitungan dalam menentukan kecepatan disolusi?
Bagaimana aplikasi pengaruh disolusi zat erhadap obat ?
Cs C
dt
h
dM.dt-1
kecepatan disolusi
koefisien difusi
Cs
dt
h
D = 6 r
Keterangan :
D
koefisien difusi
jari-jari molekul
konstanta Boltzman
viskosita pelarut
suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu
zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga
menurunkan
viskositas
dan
memperbesar
kecepatan
disolusi
(Astuti,2008).
3. pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat
asam atau basa lemah.
Untuk asam lemah
dc
Ka
K .C.Cs 1
dt
H
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.
Untuk basa lemah
dc
H
K .C.Cs 1
dt
Ka
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian, kecepatan disolusi juga meningkat (Astuti,2008).
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika
pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat
berkurang (Astuti,2008).
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi
besar sehingga kecepatan disolusi meningkat (Astuti,2008).
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang
berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada
bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar (Astuti,2008).
7. Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat
hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan
antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah
terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah (Astuti,2008).
solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat
berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat
berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu
polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda
meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal
secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil
daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih
mudah terdisolusi daripada bentuk kristal.
2. Faktor alat dan kondisi lingkungan.
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan
menyebabkan
perbedaan
kecepatan
pelarutan
obat.
Kecepatan
60 detik
12,67 mg/detik = k x 0,28 x 15 mg/cm3
K
Dalam contoh diatas 0,760 g lart dalam 500 ml air selama 1 menit
atau
760/500 = 1,5 mg/ cm. harga ini satu persepuluh dalam dalam
kelarutan
(15) tanpa
10
Jika dosis tertinggi yang direkomendasi WHO (jika terdapat dalam Daftar Obat
Esensial WHO) atau kekuatan dosis tertinggi (yang ada di pasar) dari produk obat
larut dalam < 250 ml media air pada kisaran pH 1.2 s/d 6.8 pada suhu 37 + 1o C.
Penentuan kelarutan pada setiap pH harus dilakukan minimal triplo.
Kelarutan dalam usus tinggi (dari zat aktif) : Jika absorpsi pada manusia > 85 %
dibandingkan
dosis intravena dari pembandingnya.
** Karakteristik disolusi (dari produk obat lepas cepat) :
-disolusi sangat cepat :
Jika > 85% dari jumlah zat aktif yang tertera di label melarut dalam waktu < 15 menit
dengan menggunakan alat basket pada 100 rpm atau alat paddle pada 50 rpm (atau 75
rpm
jika terjadi coning) dalam volume < 900 ml masing-masing media berikut : (i) larutan
HCl pH 1.2; (ii) bufer asetat pH 4.5; dan (iii) buffer fosfat pH 6.8.
- disolusi cepat :
sama dengan diatas tapi dalam waktu 30 menit
*** Profil disolusi (dari produk obat)
- Uji disolusi terbanding dilakukan dengan menggunakan metode basket pada 100
rpm atau metode paddle pada 50 rpm dalam media pH 1.2 (larutan HCL), pH 4.5
(bufer sitrat) dan pH
6.8 (bufer fosfat);
- Waktu waktu pengambilan sampel untuk produk obat lepas cepat : 10, 15, 30, 45,
dan 60 menit;
- Digunakan produk obat minimal 12 unit dosis;
- Profil disolusi dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan f2 yang
dihitung dengan
persamaan berikut :
Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk
pembanding (R = reference)
14
Tt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk uji
(T = test)
- Nilai f2 50 atau lebih besar (50100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi ke 2
kurva, yang berarti kemiripan profil disolusi ke- 2 produk;
- Jika produk copy dan produk pembanding memiliki disolusi yang sangat cepat (>
85% melarut dalam waktu < 15 menit dalam ke-3 media dengan metode uji yang
dianjurkan), perbandingan profil disolusi tidak diperlukan. Disamping itu harus
ditunjukkan bahwa eksipien dalam komposisi produk obat sudah dikenal, bahwa
tidak ada efek terhadap motilitas saluran cerna atau proses lain yang mempengaruhi
absorpsi, juga diperkirakan tidak ada interaksi antara eksipien dan zat aktif yang
dapat mengubah farmakokinetik zat aktif. Jika digunakan eksipien baru atau eksipien
yang biasa digunakan tapi dalam jumlah yang luar biasa besar, diperlukan
tambahan
informasi
yang
menunjukkan
tidak
adanya
dampak
terhadap
Kesimpulan
1. Lepasnya suatu obat dari system pemberian meliputi Disolusi dan
Difusi
2. Pelepasan suatu obat dipengaruhi oleh laju disolusi
3. Factor yang dapat mempengaruhi laju disolusi yaitu Suhu
,Viskositas, pH pelarut,
Pengadukan,
Ukuran partikel,
Saran
1. Dalam menentukan preformulasi Hendaklah memperhatikan
disolusi suatu zat
15
DAFTAR PUSTAKA
Ansel , Howard c. 1989. Pengantar Sediaan Farmas edisi ke empati. Jakarta : UI pres
Martin, Alfred dkk. 2008. Dasar-dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik.
Jakarta : UI PRESS
Sulistia G. dkk. Farmakologi dari Terapi Edisi IV Farmakologi FK UI.
Jakarta, 1995
Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI, 1995
16