Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

RINITIS ALERGI

DOKTER PEMBIMBING :
dr. Sondang BRS, Sp. THT, MARS

OLEH :
Jessie Widyasari
(2005730037)

BAGIAN THT RSUD CIANJUR


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus
yang berjudul Rinitis Alergi.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. Sondang BRS,
Sp.THT, MARS, selaku konsultan dibagian THT di RSUD Cianjur dan rekanrekan yang telah membantu penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih
banyak terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan
makalah selanjutnya.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi
para pembaca.

Cianjur, Juli
2010

Penulis,

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

Nama

: DA

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 18 tahun

Alamat

: Pajangan

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

Tanggal berobat

: 14/08/2014

2.2 Anamnesis
Keluhan utama
Bersin-bersin dan hidung meler sejak 1 tahun ini
Keluhan tambahan
Pusing, mata berair
Riwayat penyakit sekarang
Seorang laki-laki (18 tahun) datang ke RS, dengan keluhan sering bersin
dan hidung meler sejak 1 tahun ini terutama pada saat pagi atau cuaca dingin.
Pasien sering mengalami kejadian ini berulang-ulang kali. Hidung kadang terasa
sakit, bersin-bersin, kepala pusing dan mata menjadi berair.
Riwayat penyakit dahulu
Sesak nafas jika terlalu capai.
Riwayat keluarga
Ayah pasien menderita asma.
Riwayat pengobatan

Pasien berobat ke dokter umum, minum obat namun tidak sembuh juga.

2.3 Pemeriksaan Fisik

KU

: Sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda Vital
- Nadi

: 84 x/menit

- Pernapasan

: 20 x/menit

- Suhu

: afebris

- TD

: 110 / 70 mmHg

Status Generalis

Kepala

Leher

Toraks

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik .

Hidung

: status lokalis

Telinga

: status lokalis

Mulut

: status lokalis
: status lokalis

Pulmo : Vesikuler + / +, ronkhi -/- , wheezing -/COR

: S1 - S2 murni reguler, murmur -, Gallop -

Abdomen

Inspeksi

Palpasi

: Supel

Hepar

: Tidak teraba

Splen

: Tidak teraba

Ballotement

:-/-

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: BU (+) N

Ekstremitas
Atas : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/Bawah : hangat +/+, udema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-

Status Lokalis THT


Auricula Dextra Sinistra :

CAE

: Tenang, Sekret -/-, Benda asing-/-, Serumen

MT

: Intak +/+, hiperemis -/-

Nyeri tekan tragus

: Negatif

Mukosa

: Hiperemis, sekret +/+

Konkha

: hipertropi +/+

Septum Nasi

: Lurus

Pasase Udara

:+/+

Massa

:-/-

Kavum Nasi

Nasofaring / Orofaring

Mukosa

: tenang, granul (-), post nasal drip (-)

Tonsil

:TITI

Gigi

: dalam batas normal

Maksilo Fasial : Simetris, tidak terdapat parese N. kranialis


Leher

Pembesaran KGB submental -/-, submandibula -/-, rantai juguler -/-,


supraklavikula -/-

Usulan pemeriksaan penujang:

Transiluminasi

Hitung eusinofil

Prick test

Diagnosa Kerja

Rhinitis alergi

Penatalaksanaan
Non farmakologis

Hindari alergen

Olah raga

Mandi dengan air hangat

Menggunakan masker

Farmakologis

Antibiotik

Antihistamin

Denkongestan

Kortikosteroid

Imunomodulator

Prognosis
Quo Ad Vitam

: bonam

Quo Ad Functionam

: bonam

Quo Ad Sanantionam

: bonam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Gangguan alergi yang melibatkan hidung ternyata lebih sering daripada
perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu menyerang 10 % dari populasi
umum. Hidung, sebagai salah satu organ yang menonjol pada penyakit alergi,
terganggu oleh manifestasi alergi primer, rhinitis kronik dan sinusitis yang
menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis relative
ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut karena gangguan alergenik kronik,
seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh
kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rhinitis alergi, baik langsung ataupun
tidak langsung.
Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh
perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa
saluran hidung dan sinus yang disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu,
asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya
yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang
menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan
semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi
kronis.

BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI, DAN FISIOLOGI HIDUNG

2.1 Anatomi dan Embriologi Hidung


Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan
hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung
bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta
persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat
di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi,
5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung
(os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal,
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior
kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior

dan

lubang

belakang

disebut

nares

posterior

(koana)

yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.


Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os

palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal
dari a.karotis interna.

2.2 Perdarahan Hidung


Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada

bagian

depan

septum

terdapat

anastomosis

dari

cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang

10

disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah


cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada
anak.
Vena-vena hidung me
mpunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.
2.3 Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

2.4 Histologi Hidung


Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius).

11

Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan


permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut
lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh
kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul
dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan
obat-obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada
anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman
kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi
oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini
mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah
mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom.

12

Mukosa sinus paranasal berhubungan dengan mukosa rongga hidung di


daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih
tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga
lebih sedikit dan terutama ditemukan dekat ostium. Palut lendir di dalam sinus
dibersihkan oleh silia dengan gerakan menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa
penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseusostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga
macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

2.5 Fisiologi Hidung


Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara,
turut membantu proses bicara dan refleks nasal.
a. SEBAGAI JALAN NAPAS
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi.
Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares

13

anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan


bergabung dengan aliran dari nasofaring.
b. PENGATUR KONDISI UDARA
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara
mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous
blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan
sebelumnya.
Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.
c. SEBAGAI PENYARING DAN PELINDUNG
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta
palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim
yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.

d. INDRA PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

14

e. RESONANSI SUARA
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
f. PROSES BICARA
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.
g. REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.6 Pemeriksaan Hidung


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan hidung yaitu
dengan cara pemeriksaan hidung luar; rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior
serta nasoendoskopi.
Pemeriksaan hidung luar dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi.
Kelainan-kelainan yang mungkin didapati adalah kelainan kongenital, misalnya
agenesis hidung, hidung bifida, atresia nares anterior, kista dermoid, meningokel
dan meningo-ensefalokel; radang, misalnya selulitis; kelainan hidung misalnya
saddle nose; kelainan akibat trauma serta tumor.
Rinoskopi anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan
memakai spekulum hidung. Di belakang vestibulum dapat dilihat bagian dalam
hidung. Saluran udara harus bebas dan kurang lebih sama pada kedua sisi. Pada
kedua dinding lateral dapat dilihat konka inferior. Hal-hal yang harus diperhatikan
adalh :

15

1. Mukosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda. Pada


radang berwarna merah, sedangkan pada alergi akan tampak pucat atau
kebiru-biruan (livid).
2. Septum. Biasanya terletak ditengah dan lurus. Diperhatikan apakah
terdapat deviasi, krista, spina, perforasi, hematoma, abses dan lain-lain.
3. Konka. Diperhatikan apakah konka besarnya normal (eutrofi), hipertrofi,
hipotrofi atau atrofi.
4. Sekret. Bila ditemukan sekret di dalam rongga hidung, harus diperhatikan
banyaknya, sifatnya (serus, mukoid, mukopurulen, purulen atau bercampur
darah) dan lokasinya (meatus inferior, medius atau superior). Lokasi sekret
ini penting artinya, sehubungan dengan letak ostium sinus-sinus paranasal
dan dengan demikian dapat menunjukkan dari mana sekret tersebut
berasal. Krusta yang banyak ditemukan pada rinitis atrofi.
5. Massa. Massa yang sering ditemukan di dalam rongga hidung adalah polip
dan tumor. Pada anak dapat ditemukan benda asing.
Rinoskopi posterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari belakang,
dengan menggunakan kaca nasofaring. Dengan mengubah-ubah posisi kaca, kita
dapat melihat koana, ujung posterior septum, ujung poeterior konka, sekret yang
mengalir dari hidung ke nasofaring (post nasal drip), torus tubarius, ostium tuba
dan fosa rosenmuller.
Akhir-akhir ini dikembangkan cara pemeriksaan dengan endoskop yang
disebut nasoendoskopi. Dengan cara ini bagian-bagian rongga hidung yang
tersembunyi yang sulit dilihat dengan rinoskopi anterior maupun posterior akan
tampak lebih jelas.

BAB III
PEMBAHASAN

Definisi

16

Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau
menyertai campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti pertusi.
Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Rinitis
alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa digolongkan dalam
rhinitis kronik. Rinitis kronik dapat berlanjut menjadi sinusitis. Salah satu
bentuk rhinitis kronis adalah rhinitis atropi yang diduga disebabkan oleh
kuman Kliebsiella ozaena atau akibat sinusits kronis, defisiensi vitamin A.
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut.
Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung
setelah mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung
tersumbat.

Etiologi

Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor:


1. Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala
rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan
alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia,
sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang
penting.
2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis.
Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar

17

termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida.
Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih
jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag


atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida
18

MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian


dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan

19

penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3,
IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi
terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.

20

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta
jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.

3.5 Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :

21

Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak
ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu
terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua
golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa
muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun,
tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada
penyakit ini sangat berperan.

Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)


Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,
tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada
orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan
dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet,
dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya
terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D.
farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (anijng,
kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten
maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi


dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

22

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau


kurang dari 4 munggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari
4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.

3.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai
oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan Fisik

23

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat


atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala
persisten,

mukosa

inferior

tampak

hipertrofi.

Pemeriksaan

nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik


lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak
anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung
tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut
sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengjung langitlangit

yang

tinggi,

sehingga

akan

menyebabkan

gangguan

pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring


tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding
lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue)..
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian

pula

pemeriksaan

IgE

total

(prist-paper

radio

imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali


bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap.

Ditemukannya

eosinofil

dalam

jumlah

banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)

24

mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel


PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi
dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi
dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.

3.7 Diagnosis banding


Rhinitis non alergi, rhinitis infeksi, dan common cold

Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung


yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Kelainan ini
merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor
mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk
dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus
yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi yang pasti
25

belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi


vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan
vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,
seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan
jasmani dansebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak
dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
Tabel. Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.

Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan


dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. Beberapa faktor yang
mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor
topikal.
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

26

3.8 Penatalaksanaan
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal
antara lain:
1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun
demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan
dengan adanya efek samping sistemik.
Jenis obat yang sering digunakan (untuk Anak):
1. Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4
kali/hari
2. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
3. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
4. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30
mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4
kali/hari.
5. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan
2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.

27

6. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15


mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60
mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
7. Kortikosteroid intranasal
Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih
parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.

Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4


tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11


tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis,
1 kali/hari.

Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6


tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai
bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik.

8. Leukotrien antagonis

Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

Terapi imun spesifik (TIAS) atau allergen specific immunotherapy, masih


diperdebatkan rasional tidaknya. Dari berbagai penelitian ternyata TIAS efektif
apabila diberikan pada pasien rintis alergi yang IgE mediated dan sensitif terhadap
satu atau sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini telah direkomendasi oleh
JTFPP (Joint Task Force on Practice Parameters) yang mewakili the AAAAI, the
ACAAI, dan JCAAI) yang merupakan 3 perhimpunan Alergi Immunologi
terkemuka di dunia. JTFPP mengakui bahwa TIAS merupakan satu-satunya
pengobatan antigen-specific immuno-modulatory pada penggunaan rutin, dan

28

diakui memiliki manfaat jangka panjang dalam menurunkan gejala rinitis alergi
dan kualitas hidup pasien sampai 2-5 tahun setelah dihentikan.
Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2 dalam lebih
meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga meningkatkan
kadar IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja IgE in vitro. TIAS
menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10 dan TGFmemiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan eosinofil. Kedua sitokin
tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk IgG4. dan IgA.
Sesuai dengan anjuran ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, derajat mildpersistent atau moderate-severe persistent, terhadap alergen debu rumah dan atau
tungau Dpt, maupun serbuk - serbuk bunga, yang mengalami kegagalan oleh
pengobatan medikamentosa dan telah bergejala lebih dari setahun, perlu
dianjurkan untuk menjalani TIAS. TIAS harus dikerjakan oleh tenaga kesehatan
yang kompeten.
Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3
macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok
pada pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus,
gastrointestinal, otot polos, dan otak.

29

Gambar. Target-target terapi rhinitis alergika.


Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi
pertama dan kedua. AH1 generasi kedua sudah mulai menggeser kepamoran
generasi pertama karena memiliki banyak kelebihan. Perbedaan menonjol di
antara keduanya terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan
selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik sehingga kurang
mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan penurunan
efek sedasi. Di samping itu, generasi kedua lebih selektif sehingga tidak
mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti muskarinik dan adrenergik
alfa.
Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek antialergi dan
antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat menghambat pelepasan histamin,
prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan antiinflamasi dikarenakan dapat
mengurangi ekspresi ICAM-1 pada epitel konjungtiva.
Kortikosteroid
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal
dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita
rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap), karena

30

mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif


mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat.
Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan
lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil,
mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan
migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GMCSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di
mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis
dan apoptosis eosinofil 1.
Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British
Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik
digunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi
keamanan dan cost-effective-nya.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada
penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.
Dekongestan
Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan
cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja
dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah
rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Yang
terakhir jarang terjadi. Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis medikamentosa)
dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang.
Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6
jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah

31

tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing
melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.
Penstabil Sel Mast
Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif
mengontrol gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya, efek
terapi tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini bekerja
dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion
kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Kelemahan lain adalah
frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga mempengaruhi
kepatuhan pasien.
Immunoterapi
Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis adalah dengan
cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam
peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab
merupakan antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE
dalam darah.
Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE
bebas dan memperbaiki gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis
omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.
Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan,
immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4+.
Dengan demikian, produksi IgE pun akan berkurang.

32

Fototerapi
Alternatif terbaru yang ditawarkan bagi penderita rinitis yang tidak
mendapat respon perbaikan dengan terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu
dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti dikutip dalam Journal of Allergy and
Clinical Immunology 2005.
Ide ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada
beberapa penyakit kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis
limfosit T. Penelitian ini membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan
cahaya tampak intensitas rendah (low-intensity visible light) dalam mengurangi
gejala rinitis. Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3
minggu. Dosis inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2
setiap 3 kali pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan
sebesar 0,06 J/cm2.
Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah
eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar
ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah.
Menghindari Alergen
Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan
menghindari alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit diterapkan. Ada 3 tipe
pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier.
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal
yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan
maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan makanan
padat sehingga pemberian ASI lebih lama. Pencegahan sekunder adalah mencegah

33

gejala timbul dengan cara menghindari alergen dan terapi medikamentosa.


Sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi
atau berlanjutnya penyakit.
Banyak penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara rinitis
alergi dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Bahkan, bila dihitung secara
kasar, negara pun ikut merugi. Sebagai contoh, International Congress of Allergy
and Clinical Immunology (ICACI) tahun 1997 di Mexico mengemukakan, rinitis
alergi menyebabkan hilangnya 3,5 juta hari kerja dan 2 juta hari sekolah setiap
tahun dan menghabiskan dana 3,8 milyar US$ sebagai akibat kehilangan
produktivitas kerja dan terapi dengan antihistamin di Amerika Serikat. Oleh
karena itu, pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh dilupakan.
Pasien perlu dimotivasi dan diberi pemahaman bahwa antihistamin dan
kortikosteroid topikal perlu digunakan secara teratur dan tidak hanya saat
diperlukan. Tujuannya adalah mengurangi terjadinya minimal persistant
inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi.
Penderita juga diberitahu mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa
yang harus dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat
terjadi pada rinitis alergi. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang
optimal.
Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

34

3.9 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah :
-

Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan
salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan
kekambuhan polip hidung.

Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

Sinusitis paranasal.

Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis
alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
2. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan.
McGrawl-Hill. 2003.
4. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi ke
dua. Thieme. New York:1994.
5. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck SurgeryOtolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins.
Philadelphia. 273-9. 2000.
6. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis, Clinical
Aspecst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
7. Krouse, John H. Chadwick, Stephen J. Gordon, Bruce R. Derebery, M. Jennifer.
Allergy

and

Immunology,

An

Otolaryngic

Approach.

Lippincott

Williams&Wilkins. USA. 209-219. 2002.


8. Sumarman, Iwin. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis
Alergis, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17. 2000.
9. Mansjoer, Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001.
10. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma
Initiative).

36

Anda mungkin juga menyukai