Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sanitasi Tempat-Tempat Umum (STTU) merupakan usaha untuk
mengawasi kegiatan yang berlangsung di tempat -tempat umum terutama
yang erat hubungannya dengan timbulnya atau menularnya suatu penyakit,
sehingga kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut dapat dicegah.
Tempat-tempat umum merupakan tempat kegiatan bagi umum yang
mempunyai tempat, sarana dan kegiatan tetap diselenggarakan oleh badan
pemerintah, swasta, dan atau perorangan yang dipergunakan langsung oleh
masyarakat (Adiyani, 2005).
Setiap aktifitas yang dilakukan oleh manusia sangat erat interaksinya
dengan tempat-tempat umum, baik untuk bekerja, melakukan interaksi sosial,
belajar maupun melakukan aktifitas lainnya. Menurut Chandra (2007),
tempat-tempat umum memiliki potensi sebagai tempat terjadinya penularan
penyakit, pencemaran lingkungan ataupun gangguan kesehatan lainnya.
Kondisi lingkungan tempat-tempat umum yang tidak terpelihara akan
menambah

besarnya

resiko

penyebaran

penyakit

serta

pencemaran

lingkungan sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dengan menerapkan


sanitasi lingkungan yang baik.
Berkaitan dengan pengelolaan sanitasi yang baik, WHO menyatakan
bahwa tahun 2015 diperkirakan 2 milyar orang di dunia membutuhkan
sanitasi yang baik. Upaya yang dilakukan dengan perbaikan sanitasi
lingkungan dan penyediaan air minum, pemenuhan sanitasi dasar dan
menurunkan angka kematian karena serangan inspeksi sebagai akibat
buruknya sanitasi dan penyediaan air minum yang tidak memadai (Chandra,
2007).
Kegiatan STTU secara lengkap harus ditinjau melalui tiga aspek
pendekatan yaitu aspek teknis yang meliputi persyaratan dan peraturan
mengenai Tempat Umum tersebut dan keterkaitan Tempat Umum tersebut
dengan fasilitas sanitasi dasar, aspek sosial diantaranya adalah ekonomi dan
sosial budaya, dan aspek administrasi dan manajemen diantaranya adalah

pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dengan baik. Tetapi kendala yang


dialami sangatlah kompleks sehingga antara teori dan praktek dalam kegiatan
STTU ini sulit untuk dapat berjalan dan berfungsi secara optimal (Adiyani,
2005).
Berdasarkan Water and Sanitation Program East Asia and the Pacic
(2008) penyakit yang berhubungan dengan sanitasi dan higiene yang buruk
memberikan dampak kerugian finansial dan ekonomi termasuk biaya
perawatan kesehatan, produktivitas dan

kematian usia dini. Kerugian

ekonomi di Indonesia mencapai Rp.56 triliun/tahun dan 53% kerugian adalah


dampak kesehatan, adapun kerugian waktu senilai Rp.10,7 triliun/tahun dan
kehilangan hari kerja berkisar 210 hari. Kerugian akibat kematian
diperkirakan Rp.25 triliun/tahun dan 95% kematian terjadi pada anak usia 0
4 tahun. Prevalensi penyakit akibat sanitasi buruk di Indonesia adalah
penyakit diare sebesar 72%, kecacingan 0,85%, scabies 23%, trakhoma
0,14%, hepatitis A 0,57%, hepatitis E 0,02% dan malnutrisi 2,5%, sedangkan
kasus kematian akibat sanitasi buruk adalah diare sebesar 46%, kecacingan
0,1%, scabies 1,1%, hepatitis A 1,4% dan hepatitis E 0,04%.
Pengelolaan sanitasi lingkungan tempat ibadah merupakan kegiatan
untuk

menciptakan lingkungan di wilayah tempat ibadah sesuai standar,

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kegiatan sanitasi lingkungan


adalah upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia yang
mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi
perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia (Widyati,
2002).
Geraja adalah suatu tempat termasuk fasilitasnya, dimana umum pada
waktuwaktu tertentu dapat melakukan ibadah keagamaan Kristen. Dasar
pelaksanaan

Penyehatan

Lingkungan

Gereja

adalah

Kep.

Menkes

288/Menkes/SK/III/2003 tentang Pedoman Penyehatan Sarana dan Bangunan


Umum. Komponen inspeksi sanitasi kondisi bangunan, fasilitas sanitasi,
pengawasan serangga dan vektor, pengaturan barang- barang, fasilitas P3K,
dan kebersihan perlengkapan sembahyang .

Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan pada rumah ibadah Umat


(Kristen) Protestan sebesar 25 buah dan rumah ibadah Katolik sebanyak 3
buah, sementara Umat Hindu mengalami tambahan rumah ibadah sebanyak 9
buah dan mendapatkan peningkatan sebanyak 12 buah. Namun jika dilihat
dari presentasinya Provinsi Bengkulu merupakan daerah yang memiliki
tingkat pertumbuhan rumah ibadah Islam paling tinggi yaitu rata-rata 22,39%,
dimana rumah ibadah Islam yang hanya berjumlah 1,344 buah pada tahun
1989/1990, sekarang mancapai jumlah 2.548 buah sehingga pertambahannya
mencapai 1204 buah (Mubarok, 1995).

B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui sanitasi tempat ibadah Gereja Kristen Indonesia
Martadireja Kabupaten Banyumas tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a) Untuk mengetahui sanitasi di lingkungan tempat ibadah Gereja Kristen
Indonesia Martadereja Kabupaten Banyumas yang meliputi kondisi
bangunan, fasilitas sanitasi, pengawasan serangga dan vektor,
pengaturan barang-barang, fasilitas P3K, dan kebersihan perlengkapan
sembahyang.
b) Untuk mengetahui keadaan fisik yang meliputi pengukuran kelembaban
udara, suhu, intensitas cahaya dan kebisingan suara di lingkungan
Gereja Kristen Indonesia Martadireja Kabupaten Banyumas tahun
2014.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Sanitasi
Sanitasi adalah suatu cara untuk mencegah berjangkitnya suatu
penyakit menular dengan jalan memutuskan mata rantai dari sumber. Sanitasi
merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada
penguasaan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat
kesehatan (Arifin, 2009).
Sedangkan menurut Chandra (2007) bahwa sanitasi adalah bagian dari
ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau
masyarakat untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal
yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan
hidup manusia.
B. Pengertian Tempat-Tempat Umum
Tempat-tempat umum merupakan tempat kegiatan bagi umum yang
mempunyai tempat, sarana dan kegiatan tetap yang diselenggarakan oleh
badan pemerintah, swasta, dan atau perorangan yang dipergunakan langsung
oleh masyarakat (Adriyani, 2005).
Setiap aktifitas yang dilakukan oleh manusia sangat erat interaksinya
dengan tempat-tempat umum, baik untuk bekerja, melakukan interaksi sosial,
belajar maupun melakukan aktifitas lainnya. Menurut Chandra (2007),
tempat-tempat umum memiliki potensi sebagai tempat terjadinya penularan
penyakit, pencemaran lingkungan ataupun gangguan kesehatan lainnya.
Kondisi lingkungan tempat-tempat umum yang tidak terpelihara akan
menambah

besarnya

resiko

penyebaran

penyakit

serta

pencemaran

lingkungan sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dengan menerapkan


sanitasi lingkungan yang baik.
Menurut Suparlan (1988) kriteria suatu tempat umum adalah
terpenuhinya beberapa syarat sebagai berikut:
1. Diperuntukkan bagi masyarakat umum.
2. Harus ada gedung/tempat yang permanen.

3. Harus ada aktivitas (pengusaha, pegawai, dan pengunjung).


4. Harus ada fasilitas (saluran air bersih, WC, urinoir, tempat sampah,
danlain-lain)
C. Pengertian Sanitasi Tempat Umum
Sanitasi tempat-tempat umum merupakan usaha untuk mengawasi
kegiatan yang berlangsung di tempat-tempat umum terutama yang erat
hubungannya dengan timbulnya atau menularnya suatu penyakit, sehingga
kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut dapat dicegah. Sanitasi
tempat-tempat umum menurut Mukono (2006), merupakan problem
kesehatan masyarakat yang cukup mendesak, karena tempat umum
merupakan tempat bertemunya segala macam masyarakat dengan segala
penyakit yang dipunyai oleh masyarakat. Oleh sebab itu tempat umum
merupakan tempat menyebarnya segala penyakit terutama penyakit yang
medianya makanan, minuman, udara dan air. Dengan demikian sanitasi
tempat-tempat umum harus memenuhi persyaratan kesehatan dalam arti
melindungi, memelihara, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Menurut Febrianti (2011) tempat-tempat umum harus mempunyai kriteria
sebagai berikut :
1. Diperuntukkan bagi masyarakat umum, artinya masyarakat umum boleh
keluar masuk ruangan tempat umum dengan membayar atau tanpa
membayar.
2. Harus ada gedung/ tempat peranan, artinya harus ada tempat tertentu
dimana masyarakat melakukan aktivitas tertentu.
3. Harus ada aktivitas, artinya pengelolaan dan aktivitas dari pengunjung
tempat-tempat umum tersebut.
4. Harus ada fasilitas, artinya tempat-tempat umum tersebut harus sesuai
dengan ramainya, harus mempunyai fasilitas tertentu yang mutlak
diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di tempat-tempat umum.
Tempat atau sarana layanan umum yang wajib menyelenggarakan sanitasi
lingkungan antara lain, tempat umum atau sarana umum yang dikelola
secara komersial, tempat yang memfasilitasi terjadinya penularan
penyakit, atau tempat layanan umum yang intensitas jumlah dan waktu

kunjungannya tinggi. Tempat umum semacam itu meliputi hotel, terminal


angkutan umum, pasar tradisional atau swalayan pertokoan, bioskop, salon
kecantikan atau tempat pangkas rambut, panti pijat, taman hiburan, gedung
pertemuan, pondok pesantren, tempat ibadah, objek wisata, dan lain-lain
D. Pengertian Gereja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gereja berarti:
1. Gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen.
2. Badan (organisasi) umat Kristen yang sama kepercayaan, ajaran dan tata
caranya (Katolik, Protestan, dan lain-lain).
Jadi, gereja adalah rumah, tempat ibadah/persekutuan atau tempat
berdoa dan tempat untuk melakukan upacara yang sama kepercayaan, ajaran
dan tata caranya (Katolik, Protestan, dan lain-lain). Pengertian lain gereja
menurut pengamatan gereja-gereja di Yogyakarta adalah tempat atau sarana
dan prasana untuk melakukan ibadah, persekutan orang-orang yang percaya
kepada Yesus Kristus serta tempat melakukan pelayanan kepada jemaat
gereja (belajar doa, katekisasi, belajar menyanyi dan lain-lain) dan pelayanan
kepada masyarakat di sekitar gereja (Badudu, 2004).
E. Persyataran kesehatan bangunan gereja
1. Kondisi Bangunan
a. Ventilasi
Menurut Notoatmodjo (2007) fungsi ventilasi ini sendiri yaitu untuk
menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut dan tetap segar, dan
untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri. Ada dua
macam ventilasi yaitu:
1) Ventilasi alamiah, dimana aliran udara dalam ruangan tersebut
terjadi secara alamiah seperti jendela, pintu, dan lubang-lubang
pintu.
2) Ventilasi buatan, yaitu dengan alat-alat khusus untuk mengalirkan
udara tersebut, misalnya kipas angin,dan mesin pengisap udara.

b. Lantai
Lantai dibuat dari bahan yang mudah dibersihkan, kuat dan tidak
meresap air. Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada
musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan (Notoatmodjo,
2003).
c. Pencahayaan
Menurut

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor

29/PRT/M/2006, persyaratan sistem pencahayaan pada bangunan


gedung meliputi:
1) Setiap bangunan gedung untuk memenuhi persyaratan sistem
pencahayaan harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau
pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan
fungsinya.
2) Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan,
dan bangunan pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk
pencahayaan alami.
3) Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi
bangunan gedung dan fungsi masing-masing ruang di dalam
bangunan gedung.
4) Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat
iluminasi yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan
gedung dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi
yang digunakan, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau
atau pantulan.
5) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat
harus dipasang pada bangunan gedung dengan fungsi tertentu, serta
dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan
yang cukup untuk evakuasi yang aman.
6) Semua sistem pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk
pencahayaan darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual,

dan/atau otomatis, serta ditempatkan pada tempat yang mudah


dicapai/dibaca oleh pengguna ruang.
7) Pencahayaan alami dan buatan diterapkan pada ruangan baik di
dalam bangunan maupun di luar bangunan gedung.
d. Dinding
Menurut Notoatmodjo (2007) dinding disesuaikan seperti di daerah
tropis lebih baik menggunakan dinding atau papan. Dinding dibuat dari
bahan yang kuat dan tidak meresap air serta tidak mudah terbakar.
2. Fasilitas Sanitasi
a. Penyediaan air bersih
Air bersih hendaknya diusahakan agar tidak menyebabkan penyakit,
maka air tersebut hendaknya diusahakan memenuhi persyaratanpersyaratan kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2007) air yang sehat
harus mempunyai persyaratan sebagai berikut.
1) Syarat fisik: bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu dibawah
suhu udara diluarnya.
2) Syarat bakteriologis: air untuk keperluan minum yang sehat harus
bebas dari bakteri, terutama bakteri patogen. Cara mengetahui
apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri patogen, dengan
memeriksakan sampel tersebut. Bila hasil pemeriksaan 100 cc air
kurang dari 4 bakteri E. Coli maka air tersebut telah memenuhi
syarat kesehatan.
3) Syarat kimia: air minum yang sehat harus mengandung zat-zat
tertentu dalam jumlah yang tertentu pula, tidak boleh kurang atau
lebih.
b. Jamban
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang
dan mengumpulkan kotoran manusia dalam suatu tempat tertentu,
sehingga kotoran tersebut tidak menjadi penyebab penyakit dan
mengotori lingkungan pemukiman. Jamban hendaknya selalu dijaga
dan dipelihara dengan baik. Adapun cara pemeliharaan yang baik
menurut Depkes RI (2004) adalah sebagai berikut:

1) Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering.


2) Di sekeliling jamban tidak ada genangan air.
3) Tidak ada sampah berserakan.
4) Rumah jamban dalam keadaan baik.
5) Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat.
6) Lalat, tikus dan kecoa tidak ada.
7) Tersedia alat pembersih.
8) Bila ada yang rusak segera diperbaiki.
9) Air selalu tersedia di dalam bak atau ember.
10) Sehabis digunakan lantai dan lubang jongkok harus disiram bersih
agar tidak bau dan mengundang lalat, lantai jamban diusahakan
selalu bersih dan tidak licin, sehingga tidak membahayakan
pemakai.
c. SPAL
Sistem pengelolaan air limbah yang diterapkan harus memenuhi
persyaratan berikut (Chandra, 2007):
1) Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber-sumber air
minum.
2) Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan.
3) Tidak menimbulkan pencemaran pada flora dan fauna yang hidup di
air dalam penggunaannya sehari-hari.
4) Tidak dihinggapi oleh vektor atau serangga yang menyebabkan
penyakit.
5) Tidak terbuka dan harus tertutup.
6) Tidak menimbulkan bau atau aroma tidak sedap.
d. Pembuangan air hujan
Persyaratan penyaluran air hujan menurut Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 adalah:
1) Sistem penyaluran air hujan harus direncanakan dan dipasang
dengan mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah,
permeabilitas
lingkungan/kota.

tanah,

dan

ketersediaan

jaringan

drainase

10

2) Setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus dilengkapi


dengan sistem penyaluran air hujan.
3) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diresapkan ke dalam
tanah pekarangan dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum
dialirkan ke jaringan drainase lingkungan/kota sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
4) Pemanfaatan air hujan diperbolehkan dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku.
e. Tempat pembuangan sampah
Persyaratan tempat pembuangan sampah menurut Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 adalah:
1) Setiap bangunan gedung negara harus menyediakan tempat sampah
dan penampungan sampah sementara yang besarnya disesuaikan
dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya, sesuai
dengan ketentuan, produk sampah minimum 3,0 lt/orang/hari;
2) Tempat penampungan sampah sementara harus dibuat dari bahan
kedap air, mempunyai tutup, dan dapat dijangkau secara mudah oleh
petugas pembuangan sampah dari Dinas Kebersihan setempat;
3) Gedung negara dengan fungsi tertentu (seperti: rumah sakit, gedung
percetakan uang negara) harus dilengkapi incenerator sampah
sendiri;
4) Ketentuan lebih lanjut mengikuti SNI yang dipersyaratkan.
3. Pengendalian vektor
Pengendalian vektor menurut PERMENKES No. 374 adalah semua
kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor
serendah mungkin sehingga keberadaanya tidak lagi berisiko untuk
terjadinya penularan penyakit tular vektro di suatu wilayah atau
menghindari kontak masyarakt dengan vektor sehingga penularan penyakit
tular vektor dapat dicegah.

11

4. Fasilitas P3K
Tersedia kotak P3K minimal 1 buah yang berisi obat-obatan
lengkap untuk P3K. Tersedia ruang/pos pelayanan kesehatan dan
Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) yang mudah dijangkau
(Chandra, 2007). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Republik IndonesiaNomor : Per.15/Men/Viii/2008 fasilitas
P3K sebagaimana dimaksud meliputi :
1) Ruang P3K;
2) Kotak P3K dan isi;
3) Alat evakuasi dan alat transportasi; dan
4) Fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan
khusus di tempat kerja yang memiliki potensi bahaya yang bersifat
khusus.

BAB III
HASIL
A. Data Umum
1. Nama Lokasi

: GKI Martadireja

2. Alamat

: Jln. Martadireja I No 784


Purwokerto

3. Tahun Berdiri

: 2008

4. Pengunjung rata-rata per minggu

: 400 jemaat

5. Jumlah Kapasitas gereja

: 1500 jemaat

6. Jumlah rata-rata jamaah


a. Untuk anak-anak

: 100 jemaat

b. Untuk dewasa

: 800 jemaat

B. Data Khusus
1. Kondisi Lingkungan
a. Apakah bila musim hujan halaman Masjid/Gereja digenangi air (becek)?
Tidak
b. Jenis air bersih apa yang digunakan oleh Masjid/Gereja tersebut?
Sumur & PDAM
c. Bagaimana kualitas air bersih yang tersedia?
Tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna
d. Berapa kali alas seperti karpet, tikar dan plester dibersihkan?
Setiap ada event (sebelum dan sesudah)
e. Apakah pada Masjid/Gereja tersebut terdapat fasilitas tempat cuci tangan,
kamar mandi dan WC?
Ada
f. Apakah jumlah tersebut mencukupi kebutuhan pengunjung?
Mencukupi
g. Jenis pencahayaan apa yang digunakan di dalam Masjid/Gereja?
Lampu
h. Apakah pada Masjid/Gereja terdapat tempat sampah? Jika Ya, apakah
jumlahnya sudah mencukupi untuk menampung volume sampah yang
dihasilkan?
Ya, memenuhi
12

13

i. Apakah pada Masjid/Gereja terdapat saluran pembuangan air limbah dan


air hujan?
Ya
j. Apakah ventilasi dalam ruangan Masjid/Gereja sudah cukup?
Tidak mencukupi
k. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Gereja?
Kebaktian, sekolah minggu, latihan paduan suara, latihan persiapan singer
dan pemusik, worship and healing ministry, senam kesehatan, kuliah
agama Kristen dan bimbingan belajar
l. Berapa jumlah kamar mandi, toilet dan urinoir?
11 toilet dan 6 urinoir

2. Pengukuran Lingkungan Fisik


a. Kebisingan Ruangan
Pengukuran kebisingan ruangan diukur dengan menggunakan alat
Sound Level Meter. Pengukuran dilakukan 20 kali dengan interval waktu
masing-masing 5 detik dengan hasil (dalam DB) yang diperoleh sebagai
berikut:

77,8

58,2

55,0

54,9

53,5

52,2

68,3

65,5

62,0

64,1

54,9

55,7

57,7

56,5

54,6

54,8

54,0

81,7

55,1

81,5

Maka diperoleh hasil rata-rata yaitu : 60,9 DB


b. Pengukuran Pencahayaan
1) Pencahayaan dalam ruangan
Pengukuran pencahayaan dalam ruangan diukur dengan
menggunakan alat lux meter. Pengukuran dilakukan di 9 titik ruangan
dengan diperoleh hasil sebagai berikut :
1,9

14,7

25,5

9,8

18,5

5,8

Maka diperoleh hasil rata-rata yaitu : 8,16 fc

5,7

6,9

7,8

14

2) Pencahayaan dalam toilet


Pengukuran pencahayaan dalam toilet diukur dengan menggunakan
alat lux meter dengan diperoleh hasil: 4,7 fc
c. Pengukuran kelembaban
Dry : 30
Wet : 29
Dry Wet = 30-29
= 1 92 %
3. Checklis Inspeksi sanitasi Gereja
Nama Gereja

: Martadireja

Alamat

: Jln. Martadireja I No 784 Purwokerto

Tanggal pemeriksaan

: 27 November 2014

Kecamatan/kabupaten

: Purwokerto Barat Kabupaten Banyumas

Tabel 3.1 Checklis Inspeksi sanitasi Gereja Martadireja


No
I

Materi
Kondisi bangunan
1. Kebersihan Lantai
a. Kualitas

b. Perawatan

2. Kebersihan Dinding/Langit
a. Kualitas

b. Perawatan

Bobot
100
30
15
5

Nilai

5
15

Keterangan

Kuat
Mudah
dibersihkan
Tidak licin

10

Tidak terdapat
debu dan
kotoran

Mengkilap

5
5
5

Permanent
Kedap air
Tidak lembab

30
15
5
5
5
15

Catatan

Masih ada
debu di
sudut
ruangan

15

3. Pencahayaan
Kualitas

Warna terang

Tidak berdebu

10

Minimal 10 fc
atau masih
dapat untuk
dapat
membaca
dengan jelas
pada tempat
tergelap

10

Bila luas
penghawaan
minimal 20%
dari luas
bangunan

100

100

Bila jumlah air


yang tersedia
melebihi
kebutuhan
wudlu jamaah
walaupun
dimusim
kemarau

100
25
25
25

25
25
25

25

25

20

20

4. Penghawaan
Kualitas

20

20

II

Fasilitas sanitasi
1. Penyediaan Air Bersih
a. Kuantitas

b. Kualitas

2. Jamban
a. Kuantitas

520
200

Tidak berbau
Tak berasa
Jernih
Suhu = suhu
udara

90

30

b.Kualitas

Warna
dinding
kurang
terang
debu
nempel di
pengedap
suara

30

30

Bila jamban
yang tersedia
mencukupi
yaitu 1 jamban
untuk 200
jemaah

8,16 fc

16

c. Perawatan

3. Peturasan

10

10

10

10
30

10

6
6
6

6
6
6

45

4. Saluran Pembuangan Air


Limbah
Kualitas

Masih
Bebas
terdapat
serangga/kecoa
semut
Bersih
Tidak ada
ceceran
tinja/kotoran
Tersedia air
penggelontot
dalam jumlah
cukup
Tidak berbau
Tidak licin
Tersedia sabun

90

a. Kuantitas

b. Kualitas

Leher angsa

45

Bila jumlah
peturasan yang
tersedia
melebihi
kebutuhan
jemaah

45
9

Ada saluran
khusus
keresapan
Tidak berbau
Tersedia cukup
air untuk
menggelontor
Lantai tidak
licin
Tidak ada
kotoran

60
60
12

12

12

Tersedia
saluran
permanent dan
kedap air
Tersedia bak
kontrol

Tidak
tersedia
bak

17

kontrol

5. Pembuangan air hujan


Kualitas

6.Tempat Pembuangan
Sampah

12

12

12

12

12

12

Tidak
mencemari
sumber air
Aliran air
mengalir
dengan lancar
Saluran
pembawa
dalam keadaan
bersih

30
30
15

15

15

15

Bila tersedia
saluran khusus
ke saluran
umum kota
Air mengalir
sehingga tidak
menggenang

50

a.Kualitas
25

Tertutup

Mudah
dibersihkan

Kedap air

25

Bila volume
tong sampah
mencukupi
volume
sampah

b.Kuantitas
25

III

Pengawasan Serangga dan


Vektor

80
20

20

20

20

Bila bebas
jentik
Bebas lalat

18

20
20

20
20

Bebas kecoa
Bebas tikus

IV. Pengaturan Barang- Barang


Penempatan

VI

Fasilitas P3K

30

15

Teratur di
tempat yang
sesuai dengan
fungsinya

15
20
10
5

15

Tidak kotor

10
5

Ada
Isi Lengkap
Berfungsi
dengan baik

Penempata
n kurang
teratur
sehingga
barang
terlihat
berserakan

Kebersihan Perlengkapan
Sembahyang
80
Kualitas

20
20
20
20

20
20
20
20

Tidak berbau
Tidak kotor
Tidak berdebu
Utuh
Tidak ada
fasilias
wudlu
karena
merupaka
n
bangunan
Geraja

VII Fasilitas Wudlu

80

a. Kuantitas
20

b. Kualitas

Jumlah kran
berbanding
kapasitas
jemaah masjid
1: 50 jemaah

20
10
10

c. Penempatan

20
10

Menggunakan
kran
Bak air
tertutup
Terpisah

19

dengan masjid
tidak tercemar
bau

10
20

d. Perawatan

Bak air lantai


dan dinding
tidak
Tidak ada
endapan

10
10
VIII Karyawan/Petugas/Pengurus
Gereja
a. Kebersihan Perorangan

80
40
20

20

20

20

Tidak sedang
sakit
mata/kulit
Penampilan
bersih

b. Pemeriksaan Kesehatan

JUMLAH
Kriteria penilaian

40

1000

822

Dalam penilaian ada tiga kriteria hasil penilitian :


a. Baik
b. Cukup
c. Kurang
Dikatakan baik bila jumlah nilai

: 700-1000

Dikatakan cukup bila jumlah nilai

: 500-699

Dikatakan kurang bila jumlah nilai

: 5-499

Pemeriksaan
dilakukan
berkala tiap 6
bulan 1X

Setiap
sakit
langsung
ke balai
pengobata
n

BAB IV
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum dan Profil Gereja
1. Gambaran Umum
Praktikum sanitasi tempat ibadah dilakukan di GKI Martadireja yang
berlokasi di Jln. Martadireja I No. 784 Purwokerto Kecamatan Purwokerto
Timur Kabupaten Banyumas. Praktikum ini dilaksanakan pada hari kamis
tanggal 27 November 2014. GKI Martadireja berdiri pada tahun 2008. GKI
Martadireja memiliki kapasitas untuk menampung jemaat GKI sekitar 1500
jemaat dengan rata-rata per minggu GKI Martadireja dikunjungi sebanyak
400 jemaat. Jemaat GKI Martadireja yang terdaftar sebagai anggota tetap ada
900 jemaat, yang terbagi menjadi 100 jemaat anak-anak dan 800 jemaat
dewasa. Memiliki bangunan kokoh yang permanen yang terdiri dari 3
lantai. Lantai pertama digunakan sebagai ruang utama untuk beribadah, selain
itu juga terdapat ruang tunggu, ruang kantor administrasi, balai pengobatan,
gudang, toilet. Pada lantai kedua terdapat 2 kamar tamu, dapur, dan ruang
kendali. Pada lantai yang ketiga terdapat ruang pengaturan lampu. Pada
bagian luar bangunan terdapat halaman parkir yang luas dan pos penjagaan.
Jenis kegiatan yang dilakukan di GKI Martadireja meliputi kebaktian, sekolah
minggu, latihan paduan suara, latihan persiapan singer dan pemusik, worship
and healing ministry, senam kesehatan, kuliah agama Kristen dan bimbingan
belajar.
2. Profil tempat
a. Nama gereja

: Gereja Kristen Indonesia (GKI) Martadireja


Purwokerto

b. Alamat

: Jalan Martadireja I No. 784 Purwokerto Kode Pos


53113

c. Visi, Misi dan Motto


1) Visi
Menabur dengan cerdik, menuai dengan tulus.
2) Misi
Jumlah kebaktian tahun 2016 mencapai 2000 orang.

20

21

3) Motto
Menabur dengan cerdik, menuai dengan tulus.
d. Sejarah
1) Dari Gereja Induk GKI Gatot Subroto, sesuai Rapat MJ 22 Januari
1975 maka :diputuskan bahwa Hari Pentakosta 18 Mei 1975, lahir
Pos PI Tanah Garing. Kebaktian dilaksanakan dengan meminjam
garasi Roda Mas dilayani oleh Sdr. Agus Susanto.
2) Pembangunan rumah Tuhan
Peletakan batu pertama tanggal 30 Oktober 1977 di atas tanah 532
m2 yang kemudian diresmikan tanggal 28 Juni 1978 oleh Ibu
Danrem 071 Ny. Sarwono.
3) Menjadi bakal jemaat
Terhitung sejak tanggal 19 Agustus 1987 ditingkatkan statusnya
menjadi Bakal Jemaat Dr. Suparno.
4) Menjadi dewasa
Dalam Persidangan IX Klasis Purwokerto disetujui rencana
pendewasaan Bajem Dr. Suparno yang terlaksana pada tanggal 3
September 1991 dengan nama GKI Dr. Suparno Purwokerto dan
sejak saat itu pula terjadi penggatian nama GKI Purwokerto
menjadi GKI Gatot Subroto Purwokerto.
5) Melangkah maju
Pada tanggal 1 Nopember 1994 hadir calon pendeta Stefanus Liem
Tjhiauw Soen yang sebelumnya melayani di GKI Salatiga dan
kemudian ditahbiskan pada tanggal 31 Januari 1995. Pada tanggal 3
September 2008 (bertepatan dengan HUT GKI Dr. Suparno ke-17)
gedung gereja di Jl. Martadireja I diresmikan penggunaannya dan
sejak saat itu nama GKI Dr. Suparno berubah menjadi GKI
Martadireja yang berdiri diatas tanah:
a) Desa Arcawinangun

: 154,00 Ha

b) Desa Mersi

: 130,00 Ha

22

e. Data statistik Jemaah


Tabel 1. Jumlah Anggota Induk
No.
1.
2.
3.
4.
5.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Total Anggota
511
533
571
650
663
699
734
776
831
871
897
900

Pertumbuhan
22
38
79
13
36
35
42
55
40
26
43

B. Komponen Penilaian
1. Kondisi Bangunan
a. Kebersihan Lantai
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006
bahwa persyaratan lantai tempat ibadah:
1) Lantai harus kuat dan rata, tidak berongga.
2) Bahan penutup lantai dapat terdiri dari bahan tidak berpori, seperti
vinyl yang rata atau keramik dengan nat yang rapat sehingga debu
dari kotoran-kotoran tidak mengumpul, mudah dibersihkan, tidak
mudah terbakar.
3) Pertemuan dinding dengan lantai disarankan melengkung (hospital
plint), agar memudahkan pembersihan dan tidak menjadi tempat
sarang debu dan kotoran.
Berdasarkan tabel 3.1 kondisi bangunan lantai di GKI
Martadireja dilihat dari aspek kualitas diberikan nilai 15 karena
memiliki ciri-ciri kuat, mudah dibersihkan dan tidak licin. Sedangkan
dilihat dari aspek perawatan diberikan nilai 13 karena kondisi lantai
mengkilap tetapi masih terdapat debu di sudut ruangan. Dengan
kualitas lantai yang sangat baik maka GKI Martadireja sudah
memenuhi persyaratan pembangunan tempat ibadah. Lantai di Gereja

23

Kristen Indonesia mengkilap karena Gereja Kristen Indonesia setiap


hari dibersihkan dengan petugas kebersihan gereja. Tetapi, petugas
kebersihan gereja masih belum teliti dalam membersihkan gereja
karena masih terdapat debu di sudut ruangan gereja.
b. Kebersihan Dinding/Langit
Menurut

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor

29/PRT/M/2006 persyaratan di dinding atau langit langit yaitu langitlangit harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak menghasilkan
debu/kotoran. Berdasarkan tabel 3.1 kebersihan dinding/langit GKI
Martadireja dilihat dari aspek kualitas diberikan nilai 15 karena
memiliki ciri-ciri yaitu permanent, kedap air dan tidak lembab. Dengan
kualitas dinding/langit yang sangat baik maka GKI Martadireja sudah
memenuhi persyaratan pembangunan tempat ibadah. Sedangkan dilihat
dari aspek perawatan GKI Martadireja diberikan nilai 11 karena
memiliki ciri-ciri yaitu memiliki warna yang gelap dan masih terdapat
debu karena GKI Martadireja menggunakan pengedap suara agar suara
yang ditimbulkan tidak pecah dan berbenturan. Sehingga dalam aspek
perawatan dinding/langit GKI Martadireja masih kurang baik.
c. Pencahayaan
Menurut

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor

29/PRT/M/2006 persyaratan sistem pencahayaan di tempat ibadah,


yaitu:
1) Bangunan tempat ibadah harus mempunyai pencahayaan alami
dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai
dengan fungsinya.
2) Bangunan tempat ibadah harus mempunyai bukaan untuk
pencahayaan alami.
3) Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi
bangunan tempat ibadah dan fungsi masing-masing ruang di dalam
bangunan tempat ibadah.
4) Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat
iluminasi yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan

24

tempat ibadah dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan


energi, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau
pantulan.
5) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat
harus dipasang pada bangunan tempat ibadah dengan fungsi
tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai
tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.
6) Pencahayaan umum disediakan dengan lampu yang dipasang di
langit-langit.
7) Disarankan menggunakan lampu-lampu yang dipasang dibenamkan
pada plafon (recessed) karena tidak mengumpulkan debu.
8) Pencahayaan harus didistribusikan rata dalam ruangan.
Berdasarkan tabel 3.1 hasil pengukuran intensitas cahaya
menggunakan lux meter dalam pengukuran 9 titik sudut ruangan
diberikan nilai 10 karena diperoleh hasil rata-rata yaitu 8,16 fc yang
berarti pencahayaan di GKI Martadireja kurang baik karena menurut
Mubarak dan Chayatin (2009) intensitas pencahayaan setiap ruangan
harus cukup terang agar dapat melakukan kegiatan dengan jelas
minimal 100 lux (9,29 fc), dimana pencahayaan atau penerangan tidak
menyilaukan dan tersebar merata sehingga tidak menimbulkan
bayangan yang nyata.
d. Penghawaan
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006
sistem persyaratan ventilasi, yaitu:
1) untuk memenuhi persyaratan sistem ventilasi, bangunan tempat
ibadah harus mempunyai ventilasi alami dan/ventilasi
mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya.
2) Bangunan tempat ibadah harus mempunyai bukaan permanen, kisikisi pada pintu dan jendela/ bukaan permanen yang dapat dibuka
untuk kepentingan ventilasi alami.

25

3) Ventilasi mekanik/buatan harus disediakan jika ventilasi alami


tidak dapat memenuhi syarat.
4) Penerapan sistem ventilasi harus dilakukan dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam
bangunan tempat ibadah.
Berdasarkan tabel 3.1 penghawaan di GKI Martadireja dilihat
dari aspek kualitas diberikan nilai 10 karena ventilasi alami yang ada
jumlahnya kurang memadai sehingga penghawaan di dalam ruangan
sangat panas dan pengap. Apabila di ruangan tempat ibadah tidak
dinyalakan AC nya maka ruangan tempat ibadah sangat panas.
Seharusnya penghawaan yang baik itu ventilasi bisa dibuka/ditutup
apabila AC tidak nyala harus dibuka ventilasinya agar terjadinya
pertukaran udara terus menerus.
2. Fasilitas Sanitasi
a. Penyediaan air bersih
Memurut Ketentuan Umum Permenkes No.416/Menkes/PER/IX/1990
air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan akan
menjadi air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai batasannya,
air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan
air minum. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan dari
segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik, kimia, biologi dan radiologis,
sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek samping.
Menurut Notoatmodjo (2007) agar air minum tidak menyebabkan
penyakit, maka air tersebut hendaknya diusahakan memenuhi persyaratanpersyaratan kesehatan. Air yang sehat harus mempunyai persyaratan
sebagai berikut.
1) Syarat fisik: bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu dibawah suhu
udara diluarnya.
2) Syarat bakteriologis: air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas
dari bakteri, terutama bakteri patogen. Cara mengetahui apakah air
minum terkontaminasi oleh bakteri patogen, dengan memeriksakan

26

sampel tersebut. Bila hasil pemeriksaan 100 cc air kurang dari 4 bakteri
E. Coli maka air tersebut telah memenuhi syarat kesehatan.
3) Syarat kimia: air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu
dalam jumlah yang tertentu pula, tidak boleh kurang atau lebih.
Berdasarkan tabel 3.1 penyediaan air bersih di Gereja Martadireja
dilihat dari aspek kuantitas diberikan nilai 100 karena jumlah air bersih
dapat dipastikan sudah mencukupi untuk kebutuhan jemaat dan dilihat dari
aspek kualitas diberikan nilai 100 karena memiliki ciri-ciri yaitu tidak
berbau, tidak berasa, jernih dan memiliki suhu yang sama dengan suhu
udara. Hal ini berarti penyediaan air di Gereja Martadireja sudah
memenuhi persyaratan.
b. Jamban
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran manusia dalam suatu tempat tertentu, sehingga
kotoran tersebut tidak menjadi penyebab penyakit dan mengotori
lingkungan pemukiman. Jamban hendaknya selalu dijaga dan dipelihara
dengan baik. Adapun cara pemeliharaan yang baik menurut Depkes RI
(2004) adalah sebagai berikut:
1) Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering.
2) Di sekeliling jamban tidak ada genangan air.
3) Tidak ada sampah berserakan.
4) Rumah jamban dalam keadaan baik.
5) Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat.
6) Lalat, tikus dan kecoa tidak ada.
7) Tersedia alat pembersih.
8) Bila ada yang rusak segera diperbaiki.
9) Air selalu tersedia di dalam bak atau ember.
10) Sehabis digunakan lantai dan lubang jongkok harus disiram bersih
agar tidak bau dan mengundang lalat, lantai jamban diusahakan selalu
bersih dan tidak licin, sehingga tidak membahayakan pemakai.
Berdasarkan tabel 3.1 kondisi jamban di Gereja Martadireja dilihat
dari aspek kuantitas diberikan nilai 30 karena jumlah jamban dapat

27

dipastikan sudah mencukupi untuk kebutuhan jemaat dan dilihat dari aspek
kualitas diberikan nilai 28 karena memiliki ciri-ciri yaitu berupa jamban
leher angsa akan tetapi masih terdapat serangga semut serta dilihat dari
aspek perawatan diberikan nilai 30 karena memiliki ciri-ciri keadaan
bersih, tidak ada ceceran tinja/kotoran, tersedia air penggelontoran dalam
jumlah cukup, tidak berbau, tidak licin, dan tersedia sabun. Hal ini berarti
kondisi jamban di Gereja Martadireja sudah cukup bagus dan memenuhi
persyaratan.
c. Peturasan
Peturasan menurut Alwi (2007) peturasan adalah tempat buang air
kecil untuk laki-laki. Ditinjau dari kontruksinya, peturasan dapat dibagi
seperti kloset, dimanayang paling banyak digunakan adalah tipe washdown. Untuk tempat-tempatumum, sering dipasang peturasan berbentuk
mirip talang terbuat dari porselen, plastik, atau baja tahan karat, dan
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Dalamnya talang 15 cm atau lebih.
2) Pipa pembuangan ukuran 40 mm atau lebih dan dilengkapi dengan
saringan.
3) Pipa penggelontor harus diberi lubang-lubang untuk menyiram bidang
belakang talang dengan lapisan air.
4) Laju aliran air penggelontor dapat ditentukan dengan menganggap
setiap 45 cm panjang talang ekivalen dengan satu peturasan biasa.
Berdasarkan tabel 3.1 peturasan di GKI Martadireja dari segi
kuantitas dipastikan sudah mencukupi kebutuhan jemaat. Menurut SNI 036481-2000 setiap bangunan wajib memiliki sebuah peturasan untuk setiap
50 orang penghuni laki-laki. setiap penambahan 50 orang harus ditambah
1 peturasan. GKI Martadireja memiliki peturasan sebanyak 6 peturasan.
Hal ini sudah mencukupi jumlah pengunjung laki- laki yang data ke GKI
Martadireja yang bisa bisa menampung hingga 300 pengunjung laki- laki
GKI Martadireja, sehingga untuk penilaian aspek kuantitas peturasan kami
nilai sebesar 45. Dilihat dari segi kualitas kondisi GKI Martadireja sudah
memenuhi syarat kesehatan yaitu dengan kondisi peturasan yang bersih,

28

tidak berbau, lantai dan dinding yang kedap air, dan dilengkapi dengan
pancuran air dan tersedia cukup air untuk menggelontorkan kotoran. Hal
ini sesuai dengan persyaratan SNI 03-6481-2000 yang menyatakan jenis
peturasan yang dilarang

adalah jenis peturasan palung yang tidak

memenuhi persyaratan pengglontoran. Jenis peturasan yang harus dipakai


adalah jenis peturasan yang dilengkapi dengan pancuran air dan tersedia
cukup air untuk menggelontorkan kotoran ,kondisi lantai dan dinding
kedap air, tidak berbau, dan bersih. Sehingga untuk penilaian kualitas
peturasan kami nilai total sebesar 45.
d. SPAL
Sistem pengelolaan air limbah yang diterapkan harus memenuhi
persyaratan berikut (Chandra, 2007):
1) Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber-sumber air minum.
2) Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan.
3) Tidak menimbulkan pencemaran pada flora dan fauna yang hidup di air
dalam penggunaannya sehari-hari.
4) Tidak dihinggapi oleh vektor atau serangga yang menyebabkan
penyakit.
5) Tidak terbuka dan harus tertutup.
6) Tidak menimbulkan bau atau aroma tidak sedap.
Berdasarkan tabel 3.1 kondisi jamban di SPAL Martadireja dilihat
dari aspek kualitas diberikan nilai 48 karena memiliki ciri-ciri yaitu
tersedia saluran permanent dan kedap air, tersedia saluran permanent dan
kedap air, tidak mencemari sumber air, aliran air mengalir dengan lancar,
saluran pembawa dalam keadaan bersih. Hal ini berarti kondisi SPAL di
Gereja Martadireja sudah cukup bagus dan memenuhi persyaratan.
e. Pembuangan air hujan
Berdasarkan

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor:

29/PRT/M/2006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung


menyebutkan bahwa Penyaluran air hujan (strorm sewage) harus dapat
mencapai ke tempat pembuangan akhir (sungai alami), sesuai prinsipprinsip penyaluran atau pembuangannya. Aliran air yang tidak

29

berbahaya/air hujan disalurkan terpisah dengan

aliran air

yang

berbahaya/air limbah. Sistem tersebut disebut Sistem Terpisah.


Berdasarkan tabel 3.1 pembuangan air hujan di Gereja Kristen Indonesia
Martadireja dilihat dari aspek kualitas diberikan nilai 30 karena
pengolahan air limbah sudah menggunakan Sistem Terpisah yang
ditunjukkan dengan saluran pembuangan air hujan terpisah dengan sistem
pembuangan air limbah untuk kamar mandi.
f. Tempat Pembuangan Sampah
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 29/PRT/M/2006
Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung menyebutkan
bahwa tempat sampah merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam
pembangunan di tempat umum. Selain itu dijelaskan pula persyaratan
fasilitasi sanitasi dalam bangunan gedung (saluran pembuangan air kotor,
tempat sampah, penampungan sampah, dan/atau pengolahan sampah) yang
meliputi:
i.

Sistem pembuangan sampah padat direncanakan dan dipasang dengan


mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya.

ii.

Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk


penyediaan tempat penampungan kotoran dan sampah pada masingmasing bangunan gedung, yang diperhitungkan berdasarkan fungsi
bangunan, jumlah penghuni, dan volume kotoran dan sampah.
Berdasarkan tabel 3.1 tempat pembuangan sampah di GKI Martadireja

dilihat dari aspek kualitas diberikan nilai 25 karena memiliki ciri tempat
pembuangan sampah tertutup, mudah dibersihkan dan kedap air.
Sedangkan dilihat dari aspek kuantitas diberikan nilai 25 karena terdapat
beberapa tempat sampah yang dapat memenuhi kebutuhan jamaah.
3. Pengawasan Serangga dan Vektor
Berdasarkan tabel 3.1 pengawasan serangga dan vektor di
lingkungan GKI Martadireja diberikan nilai 80 karena tidak ditemukan
vector baik jentik nyamuk, lalat, kecoa ataupun tikus. Hal ini telah sesuai
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Nomor
10 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Hygiene Dan

30

Sanitasi pasal 6 menyebutkan bahwa Tempat- tempat umum harus bebas


dari vector penular penyakit, seperti serangga dan binatang pengganggu.
4. Pengaturan Barang- Barang
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tahun 2006 bangunan
untuk kegiatan ibadah harus memenuhi persyaratan teknis konstruksi
bangunan yang berlaku, konstruksi selain kuat juga selalu dalam keadaan
bersih secara fisik dan bebas dari barangbarang sisa atau bekas yang
ditempatkan sembarangan/tidak terdapat tumukan barang-barang yang
dapat menjadi sarang tikus. Berdasarkan tabel 3.1 pengaturan barangbarang di GKI Martadireja diberikan nilai 7 karena masih terdapat barangbarang yang ditempatkan tidak sesuai dengan tempatnya sehingga dapat
berpotensi sebagai sarang tikus dan mengganggu aktivitas.
5. Fasilitas P3k
Menurut Permenaker (2008) fasilitas P3K sebagaimana dimaksud
meliputi :
a. Ruang P3K;
b. Kotak P3K dan isi;
c. Alat evakuasi dan alat transportasi; dan
d. Fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan
khusus di tempat kerja yang memiliki potensi bahaya yang bersifat
khusus.
Berdasarkan tabel 3.1 fasilitas P3K di GKI Martadireja diberikan nilai
20 karena memiliki peralatan P3K yang lengkap dan berfungsi dengan
baik serta memiliki tenaga kesehatan yang selalu ada karena di sebelah
gereja terdapat Balai Pengobatan.
6. Fasilitas Wudhu
Berdasarkan tabel 3.1 fasilitas wudlu di GKI Martadireja diberikan
nilai 0 karena tidak memiliki fasilitas wudhu dan tidak ada kegiatan yang
memerlukan fasilitas ini.
7. Karyawan/petugas/pengurus gereja
Personal higiene atau kebersihan diri adalah upaya seseorang
dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperoleh
kesejahteraan fisik dan psikologis. (Wahid Iqbal, 2007). Berdasarkan tabel

31

3.1 dilihat dari aspek kebersihan perorangan karyawan di GKI Martadireja


diberikan nilai 40 karena memiliki ciri-ciri yaitu tidak sedang sakit
mata/kulit dan berpenampilan bersih.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. Per 02/MEN/1980 dalam Pungky (2002) Pemeriksaan kesehatan
berkala adalah pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu terhadap
tenaga kerja yang dilakukan oleh dokter. Pemeriksaan Kesehatan Berkala
dimaksudkan untuk mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerja
sesudah berada dalam pekerjaannya, serta menilai kemungkinan adanya
pengaruh-pengaruh

dari

pekerjaan

seawal

mungkin

yang

perlu

dikendalikan dengan usaha-usaha pencegahan. Berdasarkan tabel 3.1 para


pengurus / pekerja Gereja Kristen Indonesia Martadireja dilihat dari aspek
pemeriksaan kesehatan diberikan nilai 0 sebab pengurus tidak melakukan
pemeriksaan kesehatan secara berkala karena kesadaran karyawan di GKI
Martadireja masih kurang.
8. Kondisi Lingkungan Gereja
Kriteria penilaian GKI Martadireja berdasarkan tabel 3.1
mendapatkan

kriteria penilaian baik karena jumlah penilaian sanitasi

tempat ibadah GKI Martadireja diperoleh jumlah 822. Jumlah penilaian


GKI Martadireja masih berada interval 700-1000 sehingga kondisi
lingkungan GKI Martadireja dapat dikatakan sudah cukup baik.
Hal ini dapat diliat dari kondisi halaman GKI Martadireja yang
tidak ada genangan air (becek) apabila musim hujan tiba. Tidak adanya
genangan air pada gereja ini karena sudah cukup baiknya sistem drainasi
yang ada. GKI Martadireja menggunakan air bersih yang bersumber dari
sumur dan PDAM dengan kualitas air bersih yang sudah sesuai dengan
standar air bersih yaitu tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna.
Untuk kebersihan ruangan, petugas gereja akan mengganti alas seperti
karpet, tikar, dan membersihkan lantai pada saat sebelum dan sesudah
adanya kegiatan. GKI Martadireja juga dilengkapi dengan fasilitas tempat
cuci tangan, kamar mandi, WC dan urinoir dengan jumlah yang sudah
mencukupi kebutuhan pengunjung. Jenis pencahayaan yang digunakan

32

oleh GKI Martadireja adalah lampu yang tersebar di setiap sudut ruangan
gereja dan luar ruangan gereja. GKI Martadireja memiliki tempat sampah
yang jumlahnya mencukupi untuk menampung volume sampah yang
dihasilkan. Selain tempat sampah gereja ini juga memiliki saluran
pembuangan air limbah dan pembuangan air hujan. Keadaan ventilasi di
dalam ruang gereja masih belum mencukupi karena, jumlah ventilasi udara
yang masih sedikit, sehingga membuat ruangan menjadi cukup panas.
9. Pengukuran Lingkungan Fisik
a. Kebisingan Ruangan
Menurut KEPMENKES nomor 1405 kebisingan adalah terjadinya
bunyi

yang

tidak

dikehendaki

sehingga

mengganggu

atau

membahayakan kesehatan. Agar kebisingan tidak mengganggu


kesehatan atau membahayakan perlu diambil tindakan sebagai berikut :
1) Pengaturan tata letak ruang harus sedemikian rupa agar tidak
menimbulkan kebisingan.
2) Sumber bising dapat dikendalikan dengan cara antara lain :
meredam, menyekat, pemindahan, pemeliharaan, penanaman pohon,
membuat bukit buatan, dan lain-lain.
Pada praktikum sanitasi tempat tempat umum ini dilakukan
pengukuran

kebisingan.

Pengukuran

dilakukan

menggunakan

alat

soundlevel meter dengan hasil pengukuran rata- rata kebisingan dalam


ruangan sebesar 60,9 dB. Batas maksimal kebisingan ruangan menurut
KEPMENKES nomor 1405 adalah 85dB sedangkan hasil pengukuran
kebisingan ruangan gereja adalah 60,9 atau lebih kecil dari batas maksimal
yang ditetapkan KEPMENKES. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kebisingan dalam ruangan tersebut masih dalam batas toleransi kebisingan.
b. Pengukuran pencahayaan
Pencahayaan menurut KEPMENKES No. 1405
penyinaran pada suatu bidang kerja yang

adalah jumlah

diperlukan untuk

melaksanakan kegiatan secara efektif. Agar pencahayaan memenuhi


persyaratan kesehatan perlu dilakukan tindakan sebagai berikut :

33

1) Pencahayaan

alam

maupun

buatan

diupayakan

agar

tidak

menimbulkan kesilauan dan memilki intensitas sesuai dengan


peruntukannya.
2) Penempatan bola lampu dapat menghasilkan penyinaran yang
optimum dan bola lampu sering dibersihkan.
3) Bola lampu yang mulai tidak berfungsi dengan baik segera diganti.
Dalam pengukuran pencahayaan menggunakan alat luxmeter di
dalam ruangan gereja dan juga toilet gereja diperoleh hasil masingmasing pencahayaan adalah 8,16 fc untuk pencahayaan dalam ruangan
gereja, dan 4,7 fc untuk pencahayaan pada toilet. Mubarak (2009)
menyatakan bahwa persyaratan pencahayaan minimal adalah 100 lux
9.29 fc, sehingga pencahayaan dalam toilet ruangan dan juga masih
belum memenuhi syarat karena masih dibawah prasyarat minimal
pencahayaan dalam ruangan . Hal ini dikarenakan di dalam gereja dan
toilet tidak ada faktor yang menunjang pencahayaan seperti atap yang
terang, kaca, jendela dan dinding agar terciptanya tingkat pencahayaan
yang dibutuhkan.
c. Pengukuran Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Alat
untuk mengukur suhu udara atau derajat panas disebut thermometer.
Biasanya pengukur dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur
(R), dan Fahrenheit (F). Suhu udara tertinggi dimuka bumi adalah
didaerah tropis (sekitar ekuator) dan makin ke kutub semakin dingin
(Benyamin, 2002).
Kelembaban merupakan salah satu faktor lingkungan abiotik
yang berpengaruh terhadap aktifitas organisme di alam. Kelembaban
merupakan jumlah uap air di udara, sedangkan kelembaban mutlak
adalah sejumlah uap air dalam udara yang dinyatakan sebagai berat
per satuan udara (misalnya gram per kilogram udara). Kelembaban
merupakan salah satu faktor ekologis yang mempengaruhi aktifitas

34

organisme seperti penyebaran, keragaman harian, keragaman vertical


dan horizontal. (Umar, 2010).
Pengukuran suhu dan kelembaban ruangan gereja menggunakan
alat higrometer yang diletakkan pada bagian tengah ruangan selama
15 menit. Dari Hasil pengukuran diperoleh hasil suhu 30o C dan
kelembaban 92%. Persyaratan kesehatan menurut KEPMENKES No
1077 suhu ruangan yang memenuhi standar kesehatan adalah 18-30o
C dan kelembaban ruangan adalah 40-60 %. Berdasarkan
persyaratan tersebut suhu ruangan gereja sudah memenuhi kesehatan
sedangkan untuk kelembaban ruangan melebihi standar yang
ditetapkan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya suhu,
tekanan udara, pergerakan angin, kualitas dan kuantitas penyinaran.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Keadaan sanitasi di lingkungan tempat ibadah Gereja Martadereja
Kabupaten Banyumas tahun 2014 dimasukkan ke dalam kategori
baik dengan jumlah nilai keseluruan penilaian kuesioner dan check
list sebesar 822 poin.
2. Keadaan fisik di lingkungan tempat ibadah Gereja Martadireja
meliputi pengukuran kelembapan udara, suhu, intensitas cahaya
dan kebisingan suara dengan keterangan sebagai berikut :
a. kelembaban udara : 92 %
b. suhu

: 30o C

c. intensitas cahaya

: 8,16 fc

d. kebisingan suara

: 60, 9 dB

B. Saran
1. Untuk Gereja Kristen Indonesia Martadireja
a. Agar lebih diperhatikan pada kondisi bangunan yaitu
kebersihan lantai di bagian sudut-sudut ruangan karena masih
terdapat debu yang dapat menimbulkan berbagai gangguan
kesehatan.
b. Pada bagian dinding dan langit langit agar permukaannya
diberi warna yang agak terang serta perawatan secara pada
dinding karena masih terdapat debu yang menempel.
c. Pada bagian fasilitas sanitasi berupa jamban agar diperhatikan
perawatannya karena masih terdapat semut walau hanya
sedikit.
d. Pada bagian fasilitas sanitasi berupa saluran pembuangan
limbah agar sebisa mungkin diberikan fasilitas tambahan
berupa bak control.

35

36

e. Pada bagian karyawan/petugas yaitu agar lebih diperhatikan


kesehatan pekerja yaitu dengan melakukan pemeriksaan
berkala setiap enam bulan sekali.
2. Untuk Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal
Soedirman
Agar terus mengadakan kegiatan inspeksi ini secara berkala pada
tempat-tempat umum lainnya.
3. Untuk Pemerintah
a. Agar membuat peraturan yang memberikan pedoman mengenai
standar pembangunan tempat ibadah khususnya gereja.
b. Agara membuat peraturan perundangan-undangan mengenai
kriteria sanitasi tempat ibadah khususnya gereja.

Anda mungkin juga menyukai