Anda di halaman 1dari 48

1

ASUHAN KEPERAWATAN PERUBAHAN POLA URIN

MAKALAH

Oleh
Kelompok 5

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014

ASUHAN KEPERAWATAN PERUBAHAN POLA URIN

MAKALAH

Oleh
Siti Zumrotul M

122310101005

Putri Mareta H

122310101014

Alifia Rizqi

122310101025

Umamul Faqih

122310101044

Aprilita R

122310101053

Fakhrun Nisa F

122310101064

Indra Sarosa

122310101073

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah


Kelangsungan hidup dan berfungsinya sel secara normal bergantung pada

pemeliharaan kosentrasi garam, asam, dan elektrolit lain di lingkungan cairan


internal. Kelangsungan hidup sel juga bergantung pada pengeluaran secara terus
menerus zat-zat sisa metabolisme.
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem terjdinya proses penyaringan
darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh
dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air
kemih). Sistem ini termasuk salah satu dari sistem utama yang penting untuk
mempertahankan homeostatis (Sloane, 2003).
Haluaran urin adalah suatu keadaan dimana cairan (urin) keluar dari
tubuh.Macam- macam dari haluaran urin meliputi inkontenensia urin, retensi urin,
kandung kemih neurogenic dan kandung kemih flaccid dan spastic.
Prevalensi haluaran urin berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat
dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia
urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka disusunlah makalah ini sebagai
referensi dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan haluaran
urin sehingga perawat mengetahui dan mampu untuk menerapkannya dalam
praktek layanan asuhan keperawatan.

1.2

Rumusan Masalah

1.

Bagaimana inkotenensia urin

2.

Bagaimana retensi urn

3.

Bagaimana kandung kemih neurogenic

4.

Bagaimana kandung kemih flaccid dan spastic

5.

Bagaimana pathway perubahan pola urin

6.

Bagaimana asuhan keperawatan pada dengan perubahan pola urin.

1.2

Tujuan
1. untuk mengetahui inkotenensia urin
2. untuk mengetahui retensi urin
3. untuk mengetahui kandung kemih neurogenic
4. untuk mengetahui kemih flaccid dan spastic
5. untuk mengetahui pathway perubahan pola urin
6. untuk mengetahui asuhan keperawatan pada dengan perubahan pola
urin.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum haluaran (Effluent) adalah cairan yang mengalir keluar dari
pasien.(Marelli, 2008) jadi haluaran urin adalah suatu keadaan dimana cairan
(urin) keluar dari tubuh.Adapun macam-macam perubahan haluaran urin adalah
sebagai berikut. Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang
yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu
tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra
dengan tujuan mengeluarkan urine.

2.1

Inkontinensia urin

2.1.1 Definisi
Adapun definisi dari inkontinensia urin adalah sebagai berikut.
a.

adalah suatu keadaan hilangnya kontrol urine involunte yang secara bjektif
dapat terlihat jelas dan cukup berat hingga menjadi mesalah sosial atau
masalah hygiene (Hamilton, 2009);

b.

adalah suatu keadaan dimana urin keluar secara involunter (Borley, 2006).

2.1.2 Etiologi
Adapun etiologinya menurut Hamilton (2009) adalah sebagai berikut:
a.

Relaksasi dasar anggul (disfungsi)

b.

Infeksi

c.

Atrofi

d.

Obat-obatan

e.

Keluaran rin berlebih

f.

Imoilitas

g.

Disfungsi usus

Adapun menurut Graber (2006) etiologi inkontinensia unrin adalah infeksi,


ureteritis atau vaginitis atrofik, serta obat-obatan antara lain sedative, hipnotik,
diuretic, opiate, penghambat saluran kalisum, antikolinergik (antidepresan,
antihistamin), dekongestan, dan lainnya. Penyebab lainnya yang lebih sering
adalah depresi, pembentukan urin berlebihan (diabetes), mobilitas yang terbatas,
serta impaksi tinja.Selain itu juga bisa disebabkan oleh keadaan pasien yang tidak
mampu pergi ke kamar mandi.

2.1.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Hariati (2000) yaitu:
a.

Ketidaknyamanan daerah pubis

b.

Distensi vesika urinaria

c.

Ketidak sanggupan untuk berkemih

d.

Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)

e.

Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya

f.

Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih

g.

Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

2.1.4 Faktor Predisposisi


Menurut Asmadi (2008) faktor predisposisi inkontinensia urin adalah
sebagai berikut.
a.

Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi

juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan
dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko

mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol
otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia.
b.

Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya

jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi


karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak
dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat
saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine
juga dapat menjadi bau jengkol.Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan
tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses
maupun urine.Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh
terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ
perkemihan.
c.

Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal

untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih
pekat.
d.

Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot.Tonus

otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat
penting bagi miksi.
e.

Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan

mengalami diare ataupun beser.


f.

Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan

tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh


akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan
pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi
nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan.
g.

Nyeri

Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman.Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine.
h.

Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di

masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu


yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang digunakan
secara bersama-sama (Potter & Perry,2005).
i.

Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam

keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan


produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat
glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2005).
j.

Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan

hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan
individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi.Misalnya diabetes melitus
dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah
fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan
parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter &
Perry,2005).
k.

Prosedur bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum

menjali pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi,
yang

memperburuk

berkurangnya

keluaran

urine.

Respons

stres

juga

meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam


upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2005).
l.

Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik

(atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta


adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2005).

2.1.5 Epidemiologi
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia
lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.

2.1.6 Klasifikasi
Adapun klasifikasi inkonintesia urin menurut Hamilton (2009) adalah
sebagai berikut.
a.

Inkontinensia urgensi
Kontraksi otot detrusor yang tidak terkontrol menyebabkan kebocoran urine,
kandug kemih yang hiperaktif, atau ketidakstabilan detrusor.

b.

1.

Disfungsi neurologis

2.

Sistisis

3.

Obstruksi pintu kandung kemih

Inkontinensia stress
Adalah keluarnya urin tanpa kontraksi detrusor.

c.

1.

Tonus otot pangul yang buruk

2.

Defisiensi sfingter uretra, konginetal atau didapat

3.

Kelebihan berat badan

Inkotinensia kombinasi
Adalah suatu kombinasi inkontinensia ombinasi gejala inkontinensia urgens
dan inkontinensia stress.

d.

Inkontinensia overflow
Adalah menetes saat kandung kemih penuh.
1.

Disfungsi neurologis

2.

Penyakit endokrin

3.

Penurunan kelenturan dinding kandung kemih

4.

Obstruksi pintu keluar kandung kemih.

10

2.1.7 Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat
di pusat berkemih disacrum.Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih
melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung
kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul.
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis
yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung
kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan
merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini
dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia
urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi
kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung
kemih akan menimbulkan inkontinensia.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut Borley
(2006) adalah sebagai berikut.
a.

Kultur urin

: untuk menyingkirkan infeksi.

b.

IVU

: untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi

atau fistula.
c.

Urodinamik
1. Uroflowmetri

: mengukur kecepatan aliran

2. Sistrometri

: menggambarkan kontraktur detrusor

3. Sistometri video : menunjukkan kebocoran urin saat mengedan pada


pasien dengan inkontinensia stress dan flowmetri tekanan uretra:

11

mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat istirahat dan selama
berkemih.
d.

Sistokopi

: jika dicurigai terdapat batu atau neoplasma

kandung kemih
e.

Pemeriksaan speculum vagina dan sistogram jika dicurigai terdapat fistula


vesikovagina.

2.1.9 Penatalaksanaan
Adapun penatalksanaan yang dapat dilakukan oleh perawat menurut Borley
(2006) adalah sebagia berikut.
a.

Inkontinensia urgensi
1.

Terapai medikamentosa: modifikasi asupan cairan, hindari kafein, obati


setiap hari penyebab (infeksi, tunor, batu); latihan berkemih,
antikolinergik/relaksan otot polos (oksibutinin, tolterdin).

2.

Terapi pembedahan sistokopi dan distensi kandung kemih, sistoplasti


augmentasi.

b.

Inkontinensia stress
1.

Terapi medikamentosa: latihan ototdasar panggul esterogen untuk


vaginitis atrofik.

2.

Terapi pembedahan: uretropeksi retropubik atau endoskopik, perbaikan


vagina, sfingter buatan.

c.

Inkontinensia overflow
1.

Jika terdapat obstruksi: obati penyebab obstruksi, misalnya TURP.

2.

Jika tidak terdapat obstruksi: drainase jangka pendek dengan kateter


untuk memungkinkan otot detrusor pulih dari peregangan berlebihan,
kemudian

penggunaan

stimulant

otot

detrusor

jangja

pendek

(berhenekol, distigmin). Jika semua gagal katerisasi intermiten yang


dilakukan sendiri (inkontinensia overflow neurogenik)
d.

Fistula urinarius
Selalu membutuhkan terapi pembedahan.

12

2.2

Retensi Urin

2.2.1 Definisi
Adapun defisi retensi urin adalah sebagai berikut.
1.

Retensi urin adalah pengumpulan urin di dalam kandung kemih dan


ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkannya sehingga terjadi
distensi (Hidayat, 2008).

2.

Retensi urin adalah merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih


akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung
kemih. Hal ini menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan kedaan
ketika seseoarang mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak
lengkap (Kozier, 2009).

3.

Retensi urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika
urinaria (Masjoer, 2000).

4.

Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun


terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner &
Suddarth).
Jadi, retensi urin adalah suatu keadaan dimana orang tidak dapat membuang

urin dikarenakan adanya penumpukan di kandung kemih.

2.2.2 Etiologi
Adapun penyebab dari penyakit retensi urine adalah sebagai berikut:
a.

Supra Vesikal (kerusakan pada pusat miksi di medulla spinallis S2 S4


setinggi T12 L1)
Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun
seluruhnya, misalnya pada keadaan pasca operasi, kelainan medulla spinalis
yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.

b.

Vesikal (kelemahan otot detrusor karena lama mengalami peregangan)

c.

Intravesikal berupa pembesaran prostate, kekakuan leher vesika, striktur,


batu kecil, tumor pada leher vesika, atau fimosis.

13

d.

Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran porstat, kelainan patologi


urethra (infeksi, tumor, kalkulus), trauma, disfungsi neurogenik kandung
kemih.

e.

Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik (atropine),


preparat antidepressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat antihistamin
Pseudoefedrin hidroklorida (Sudafed), preparat penyekat adrenergic
(Propanolol), preparat antihipertensi (hidralasin).

f.

Penyebab tersering retensi urin adalah hipertrofi prostat jinak pada pria.
Penyebab lainnya diantaranya adalah ISK. Penyakit neurologis atau
keganasan prostat (Glendle, 2007).

2.2.3 Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut.
1.

Ketidaknyamanan daerah pubis

2.

Distensi vesika urinaria

3.

Ketidaksanggupan untuk berkemih

4.

Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (25-50) ml

5.

Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya

6.

Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih

7.

Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih (Hidayat,


2006).

2.2.4 Etiologi
Adapun etiologi retensi urin adalah sebagai berikut..
1.

Operasi pada daerah abdomen bawah, pelvis vesika urinaria

2.

Traumasumsum tulang belakang

3.

Tekanan uretra yang tinggi karena otot detrusor yang lemah

4.

Spingter yang kuat

5.

Sumbatan (striktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat) (Hidayat,2006).

14

2.2.5 Patofisiologi
Pada retensi urine penderita tidak dapat miksi, kandung kemih berisi penuh
disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang
hebat disertai mengejan.Retensi urine dapat terjadi akibat faktor obat dan faktor
lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan pusat
miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis
sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang
mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal,
vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa
hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil
menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi
bladder kemudian distensi abdomen. Faktor obat dapat mempengaruhi proses
BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga
menyebabkan produksi urine menurun. Factor lain berupa kecemasan, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot
perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik. Dari
semua faktor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian terjadi poliuria
karena pengosongan kandung kemih tidak terjadi secara baik.Selanjutnya terjadi
distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah
satunya berupa kateterisasi urethra.

2.2.6 Pemeriksaan penunjang


Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine
adalah sebagai berikut.
Pemeriksaan specimen urine.
a.

Pengambilan: steril, random, midstream.

b.

Pengambilan umum: mengetahui pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb,


Keton, Nitrit.

c.

Sistoskopy, IVP.

d.

Ureum dan elektrolit: mengetahui fumgsi ginjal

15

e.

Kultur

dan sensitivitas MSU: berhubungan dengan infeksi, termasuk

sistologi jika dicurigai terdapat tumor


f.

Urodinamik: memberikan identifikasi dan penilaian masalah neurologis,


penilaian BPH (Borley, 2006).

2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah sebagai
berikut:
a.

Kateterisasi urethra.

b.

Dilatasi urethra dengan boudy.

c.

Drainage suprapubik (Borley, 2006).

2.3

Kandung Kemih Neurogenik

2.3.1 Definisi
Kandung Kemih Neurogenik (Neurogenic Bladder) adalah hilangnya fungsi
kandung kemih yang normal akibat kerusakan pada sebagian sistem
sarafnya (Isselbacher, ____).

2.3.2 Etiologi
Neurogenic bladder bisa terjadi akibat:
a.

Penyakit seperti, diabetes miletus, uremia, hipotiroidisme, sindrom Guillain


Barre, neuropatik toksik.

b.

Cedera

c.

Cacat bawaan pada otak, medula spinalis atau saraf yang menuju ke
kandung kemih, saraf yang keluar dari kandung kemih maupun keduanya.
Suatu kandung kemih neurogenik bisa kurang aktif, dimana kandung kemih

tidak mampu berkontraksi dan tidak mampu menjalankan pengosongan kandung


kemih dengan baik atau menjadi terlalu aktif (spastik) dan melakukan
pengosongan berdasarkan refleks yang tak terkendali.Kandung kemih yang
kurang aktif biasanya terjadi akibat gangguan pada saraf lokal yang mempersarafi
kandung kemih.

16

Penyebab tersering adalah cacat bawaan pada medula spinalis (misalnya


spina bifida atau mielomeningokel).Suatu kandung kemih yang terlalu aktif
biasanya terjadi akibat adanya gangguan pada pengendalian kandung kemih yang
normal oleh medula spinalis dan otak.Penyebabnya adalah cedera atau suatu
penyakit, misalnya sklerosis multipel pada medula spinalis yang juga
menyebabkan kelumpuhan tungkai (paraplegia) atau kelumpuhan tungkai dan
lengan (kuadripelegia).Cedera ini seringkali pada awalnya menyebabkan kandung
kemih menjadi kaku selama beberapa hari, minggu atau bulan (fase
syok).Selanjutnya kandung kemih menjadi overaktif dan melakukan pengosongan
yang tak terkendali (Engram, 1998).

2.3.3 Patofisiologi
Jika masalah datang dari sistem saraf pusat, maka beberapa siklus akan
terpengaruhi. Beberapa bagian sistem saraf yang mungkin terlibat diantaranya
otak, pons, medula spinalis dan saraf perifer.Sebuah kondisi disfungsi
menghasilkan gejala yang berbeda, berkisar antara retensi urin akut hingga
overaktivitas kandung kemih atau kombinasi keduanya.Ketidaklancaran urinaria
berasal dari disfungsi kandung kemih, spinkter atau keduanya.Overaktivitas
kandung kemih (spastic bladder) berhubungan dengan gejala ketidak lancaran
yang mendesak, sedangkan spincter underaktivitas (decreased resistance)
menghasilkan gejala stress incontinence.
a.

Lesi otak
Lesi otak diatas pons merusak pusat kontrol, menyebabkan hilangnya
kontrol ekskresi secara keseluruhan.Refleks ekskresi traktus urinarius
bagian bawah refleks ekskresi primitiftetap utuh.Beberapa individu
mengeluhkan ketidakmampuan mengendalikan ekskresi yang parah, atau
spastic kandung kemih.Pengosongan kandung kemih yang terlalu cepat atu
terlalu sering, dengan kuantitas yang rendah, dan pengisian urin di kandung
kemih menjadi sulit.Biasanya, orang dengan masalah ini berlari cepat ke
kamar mandi namun urin keluar sebelum mereka mencapai tujuan.Mereka
mungkin sering terbangun di malam hari untuk berkemih.Contoh lesi

17

otaknya strok, tumor otak, parkinson. Hidrosepalus, cerebral palsy, dan ShyDrager syndrome juga dapat menyebabkan hal tersebut.
b.

Lesi medula spinalis


Penyakit atau cidera medula spinalis diantara pons dan sakral menghasilkan
spastic bladder atau overactive bladder.Orang dengan paraplegic atau
quadriplegic memiliki lower extremity spasticity.Awalnya, setelah trauma
medula spinalis, individu masuk kedalam fase shock spinal dimana sistem
saraf berhenti.Setelah 6-12 minggu, sistem saraf aktif kembali.Ketika sistem
saraf aktif kembali, menyebabkan hiperstimulasi organ yang terlibat.

c.

Cedera sacral
Cedera pada medula sakrum dan akar saraf yang keluar dari sakrum
mungkin mencegah terjadinya pengosongan kandung kemih. Jika terjadi
sensory neurogenik bladder, pasien tidak akan tau kapan kandung kemihnya
penuh. Pada kasus motor neuriogenik bladder , inidividu mngkin merasakan
kandung kemih penuh, namun otot detrusor tidak bereaksi, hal ini disebut
detrusor arefleksia.

d.

Cidera saraf perifer


Diabetes mellitus dan AIDS adalah 2 kondisi penyebab periferal neuropaty
yang menyebabkan rentensio urin.Penyakit ini merusak saraf kandung
kemih, distensi tidak nyeri dari kandung kemih.Pasien dengan diabetes
kronis kehilangan sensasi dari kandung kemih, sebelum kandung kemih
melakukan dekompensata. Serupa dengan cedera pada sakrum, pasien akan
sulit untuk berkemih, mereka mungkin mempunyai hypocontractile bladder.

2.3.4 Tanda dan Gejala


1.

Nyeri
Gejalanya bervariasi berdasarkan apakah kandung kemih menjadi kurang
aktif atau overaktif.Suatu kandung kemih yang kurang aktif biasanya tidak
kosong dan meregang sampai menjadi sangat besar.Pembesaran ini biasanya
tidak menimbulkan nyeri karena peregangan terjadi secara perlahan dan

18

karena kandung kemih memiliki sedikit saraf atau tidak memiliki saraf
lokal.
2.

Pada beberapa kasus, kandung kemih tetap besar tetapi secara terus menerus
menyebabkan kebocoran sejumlah air kemih.

3.

Infeksi
Sering terjadi infeksi kandung kemih karena sisa air kemih di dalam
kandung kemih memungkinkan pertumbuhan bakteri.Bisa terbentuk batu
kandung kemih, terutama pada penderita yang mengalami infeksi kandung
kemih menahun yang memerlukan bantuan kateter terus menerus.Gejala
dari infeksi kandung kemih bervariasi, tergantung kepada jumlah saraf yang
masih berfungsi.

4.

Suatu kandung kemih yang overaktif bisa melakukan pengisian dan


pengosongan tanpa kendali karena berkontraksi dan mengendur tanpa
disadari. Pada kandung kemih yang kurang aktif dan yang overaktif, tekanan
dan arus balik air kemih dari kandung kemih ke ureter bisa menyebabkan
kerusakan ginjal. Pada penderita yang mengalami cedera medula spinalis,
kontraksi dan pengenduran kandung kemih tidak terkoordinasi, sehingga
tekanan di dalam kandung kemih tetap tinggi dan ginjal tidak dapat
mengalirkan air kemih.

2.3.5 Pengobatan
Adapun pengbatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
a.

Kateterisasi

b.

Meningkatkan intake cairan

c.

Pembedahan merupakan cara terakhir


Pada kandung kemih yang kurang aktif, jika penyebabnya adalah cedera

saraf, maka dipasang kateter melalui uretra untuk mengosongkan kandung kemih,
baik secara berkesinambungan maupun untuk sementara waktu.Kateter dipasang
sesegera mungkin agar otot kandung kemih tidak mengalami kerusakan karena
peregangan yang berlebihan dan untuk mencegah infeksi kandung kemih.

19

Pemasangan kateter secara permanen lebih sedikit menimbulkan masalah


pada wanita dibandingkan dengan pria.Pada pria, kateter bisa menyebabkan
peradangan uretra dan jaringan di sekitarnya.Pada kandung kemih overaktif, jika
kejang pada saluran keluar kandung kemih menyebabkan pengosongan yang tidak
sempurna, maka bisa dipasang kateter. Pada pria lumpuh yang tidak dapat
memasang kateternya sendiri, dilakukan pemotongan sfingter (otot seperti cincin
yang melingkari lubang) di saluran keluar kandung kemih sehingga proses
pengosongan bisa terus berlangsung dan dipasang penampung air kemih. Bisa
diberikan rangsangan listrik pada kandung kemih, saraf yang mengendalikan
kandung kemih atau medula spinalis; supaya kandung kemih berkontraksi.Tetapi
hal ini masih dalam taraf percobaan.
Pemberian obat-obatan bisa memperbaiki fungsi penampungan air kemih
oleh kandung kemih.Pengendalian kandung kemih overaktif biasanya bisa
diperbaiki dengan obat yang mengendurkan kandung kemih, seperti obat
anticholinergik.Tetapi obat ini bisa menimbulkan efek samping berupa mulut
kering dan sembelit.Kadang dilakukan pembedahan untuk mengalirkan air kemih
ke suatu lubang eksternal (ostomi) yang dibuat di dinding perut atau untuk
menambah ukuran kandung kemih.Air kemih dari ginjal dialirkan ke permukaan
tubuh dengan mengambil sebagian kecil usus halus, yang dihubungkan dengan
ureter dan disambungkan ke ostomi; air kemih dikumpulkan dalam suatu
kantung.Prosedur ini disebut ileal loop.
Penambahan ukuran kandung kemih dilakukan dengan menggunakan
sebagian usus dalam suatu prosedur yang disebut sistoplasti augmentasi disertai
pemasangan kateter oleh penderita sendiri.Sebagai contoh, sautau hubungan
dibuat diantara kandung kemih dan lubang di kulit (verikostomi) sebagai tindakan
sementara sampai anak cukup dewasa untuk menjalani pembedahan definitif.
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya
batu ginjal.Dilakukan pengawasan ketat terhadap fungsi ginjal.Jika terjadi infeksi,
segera diberikan antibiotik.Dianjurkan untuk minum air putih sebanyak 6-8
gelas/hari.

20

2.4

Kandung Kemih Flaccid dan Spastic

2.4.1 DefinisiKandung Kemih Flaksid dan Spastik


Adapun menurut Muttaqin (2008) adalah sebagai berikut.
a. Kandung Kemih Flaksid
Adalah suatu keadaan dimana kandung kemih mengalami kelayuan
sehingga tidak mampumenyimpan urin.
b. Kandung Kemih Spastik
Adalah suatu keadaan dimana kandung kemih mengalami kekakuan
sehingga tidak mampu mengosongkan kandung kemih.

2.4.2 Perbedaan Kandung Kemih Spastik dan Flaksid


No

Spastik

Flaksid

Kaku

Layuh

Reflek fisiologis

Reflex fisiologis

Reflex patologis (+)

Reflex patologis (-)

Tidak

ditemukan

kecuali

sudah

atrofi, Atrofi cepat terjadi

berlangsung

lama
5

Tonus otot meningkat

Tonus normal atau menurun

Sumber: Heldayana 2010

2.4.3 Etiologi
Secara umum, etiologi paralisis menurut Heldayana (2010) disebabkan oleh:
a.

Perubahan pada tonus otot

b.

Guillain-Barre syndrome (GBS)

c.

Myasthenia gravis

d.

poliomyelitis paralitik dan myelitis transversal

e.

etiologi yang jarang terjadi berupa neuritis traumatis, ensefalitis, meningitis


dan tumor

21

f.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus West Nile juga dapat


menyebabkan paralisis flaksid.

2.4.4 Manifestasi klinis sindrom paralisis


Adapun manifestasi klinis menurut Heldayana (2010) adalah sebagai
berikut.
a.

Spastic
1.

Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus

2.

Peningkatan tonus spastik

3.

Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai oleh


klonus

4.

Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif (refleks


abdominal, refleks plantar, dan refleks kremaster).

5.

Refleks patologis (refleks Babinski, Oppenheim, Gordon, dan


Mendel-Bekhterev, serta diinhibisi respons hindar (flight), dan

6.
b.

Pada awalnya massa otot tetap baik.

Flaksid
1.

Penurunan kekuatan kasar

2.

Hipotonia atau atonia otot

3.

Hiporefleksia atau arefleksia

4.

Atrofi otot

4.2.1 Penatalaksanaan
1.

Pengggunaan kateter sangat efektif untuk mengatasi gangguan kandung


kemih (Muttaqin, 2008 )

2.

Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih, dapat diberika asam


askorbat unttuk mengasamkan urin, sehingga kemungkinan bakteri
untuk tumbuh sangat kecil.

3.

Selain itu pemberian antibiotic juga dibutuhkan.

22

BAB 3. PATHWAY
Faktor Penyebab Perubahan Pola Urin
Cidera medulla spinalis
(paraplegia, hemiplegia) atau
cidera kepala yang berat

Faktor degeneratif
Tekanan tingkat
abdomen tinggi

Defisiensi sfingter
uretra intrinsik
Perubahan degenerative
pada otot-otot pelvik

Lesi pada saraf

Keterbatasan
neuromukular

Penurunan
control miksi

Kelemahan otot pelvik

Gangguan citra
tubuh

Inkontinensia urin stress

Resiko Infeksi

Irigasi konstan oleh urin

Resiko kerusakan integritas


kulit

Malu karena
mengompol

Resiko isolasi
sosial

Kurangnya informasi
penyebab
inkontinensia

Resiko
ketidakefektifan
penatalaksaan
program terapeutik

21

BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian
a. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada
lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak
menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya. Adapun datadata yang perlu diketahui dari identitas pasien adalah sebagai berikut.
Nama
Tempat/Tanggal Lahir

Jenis kelamin

Status Perkawinan
Pendidikan
Pekerjaan
Suku/Bangsa
Tanggal Masuk RS
No. RM
Ruang
Diagnosa Medis

:
:

:
:
:
:
:
:

b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan
saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan,
usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan
waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum
terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
2. Riwayat kesehatan klien

22

Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa


sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan
apakah dirawat dirumah sakit.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan,
penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia
Pemeriksaan Sistem :
a. B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b. B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah.
c. B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh.
d. B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta
disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra
pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar
di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e. B5 (bowel)

23

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan


abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada
ginjal.
f. B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.

d. Data penunjang
a. Urinalisis
Hematuria.
Poliuria.
Bakteriuria.
b. Pemeriksaan Radiografi
IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi
VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR
(Post Voiding Residual).
c. Kultur Urine
Steril.
Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
Organisme.

4.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut :
1. Inkonteninsia Urine: stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan
struktur dasar penyokongnya.
2. Gangguan konsep diri berhubungan dengan penurunan kontrol miksi.
3. Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
4. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.

24

5. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat


mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.
6. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang berhubungan
dengan

ketidakcukupan

pengetahuan

tenttang

penyebab

inkontinen,

penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala


komplikasi, serta sumbe komonitas.

25

4.3 Intervensi Keperawatan


No.
1.

Tujuan dan Kriteria


Hasil

Diagnosa Keperawatan
Inkonteninsia Urine: stress
berhubungan dengan
kelemahan otot pelvis dan
struktur dasar
penyokongnya.

Tujuan :

Intervensi Keperawatan
a. Kaji

Klien

akan

melaporkan

bisa
suatu

pengurangan/penghilangan
inkonteninsia.

kebiasaan

Rasional

pola a. Untuk mengetahui pola

berkemih dan dan gunakan

berkemih pasien.

catatan berkemih sehari.


b. Lakukan latihan otot dasar b. Memperkuat
panggul.
pubotogsigeal

Klien dapat menjelaskan

kontraksi

penyebab

berulang.

inkonteninsia

dan

rasional

penatalaksanaan.

dengan
volunteer

c. Lakukan

perawatan c. untuk
meningkatkan
inkontinensia urin.
kontinensia urin dan
untuk

Kriteria Hasil:
Kontinensia urin.
Mempertahankan
frekuensi berkemih lebih
dari 2 jam.

otot

mempertahankan

intregitas kulit perineal.


d. Identifikasi

penyebab d. Untuk

inkontinensia

penyebab

multifactorial.

urin.

mengetahui
inkontinensia

e. Kolaborasi dengan dokter e. untuk mengetahui efek

26

dalam

mengkaji

medikasi

dan

efek

tentukan

kemungkinan

perubahan

obat,

dosis

pemberian

dan

perencanaan pengobatan
lanjutan.

jadwal

obat

menurunkan

medikasi

untuk

frekuensi

inkonteninsia.
2.

Gangguan

konsep

diri Tujuan:

a. Kaji pola interaksi antara a. Untuk mengetahui pola

berhubungan

dengan Menunjukkan
penurunan kontrol miksi.
penampilan peran

b. Kaji

pengetahuan

tentang

Menunjukkan
keterlibatan sosial

Keterampilan

klien

penyakit

penggunaan

klien

untuk

perilaku interaksi sosial


yang efektif.
Keterlibatansosial:intera

dalam lingkunganya.
d. Dorong

klien

informasi

tentang penyakitnya.

penyakit

untuk

yang

sedang

dialaminya.
c. Untuk

menyatakan perasaan.
e. Beri

orang lain.

pengetahuan klien tentang

beraktivits dan berinteraksi


interaksi

interaksi pasien dengan

yang b. Untuk mengetahui tingkat

dialaminya.
c. Dorong

Kriteria Hasil:

sosial:

pasien dengan orang lain.

meningkatkan

interaksi pasien dengan


orang lain.

klien d. Untuk menjadi pendengar


yang baik dalam rangka

27

ksi sosial individu yang

membantu klien dalam

sering dengan orang lain,

mengurangi

kelompok

sedih klien.

atau

organisasi.

e. Untuk

perasaan

menamah

pengetahuan klien terkait


penyakit klien.
3.

Resiko infeksi b.d


inkontinensia, imobilitas
dalam waktu yang lama.

Tujuan :
Berkemih dengan urine
jernih tanpa
ketidaknyamanan,
urinalisis dalam batas
normal, kultur urine
menunjukkan tidak adanya
bakteri.
KriteriaHasil:
Tidak mengalami tanda
infeksi.

a. Berikan perawatan perineal a. Untuk


dengan air sabun setiap
shift.

Jika

daerah

perineal sesegera mungkin.


di

pasang

indwelling,

kontaminasi uretra.

pasien b. Kateter memberikan jalan

inkontinensia,cuci

b. Jika

mencegah

pada

bakteri

memasuki

kandung

kateter

kemih dan naik ke saluran

berikan

perkemihan.

perawatan kateter 2x sehari c. Untuk


(merupakan

untuk

bagian

dari

mencegah

kontaminasi silang.

waktu mandi pagi dan pada d. Untuk mencegah stasis


waktu

akan

tidur)

dan

setelah buang air besar.


c. Ikuti kewaspadaan umum

urine.
e. Asam urine menghalangi
tumbuhnya

kuman.

28

(cuci tangan sebelum dan

Karena jumlah sari buah

sesudah kontak langsung,

berri

pemakaian sarung tangan),

mencapai dan memelihara

bila kontak dengan cairan

keasaman

tubuh atau darah yang

Peningkatan

terjadi

cairan sari buah dapat

(memberikan

diperlukan

untuk

urine.
masukan

perawatan

perianal,

berpengaruh

dalam

pengososngan

kantung

pengobatan

infeksi

drainse

urine,

penampungan

spesimen

urine). Pertahankan teknik


asepsis

bila

melakukan

kateterisasi,

bila

mengambil contoh urine


dari kateter indwelling.
d. Kecualidikontraindikasikan
, ubah posisi pasien setiap
2jam
masukan

dan

anjurkan
sekurang-

saluran kemih.

29

kurangnya 2400 ml / hari.


Bantu melakukan ambulasi
sesuai dengan kebutuhan.
e. Lakukan tindakan untuk
memelihara asam urine.

Tingkatkan

masukan

sari buah berri.

Berikan
untuk

obat-obat,
meningkatkan

asam urine.
4.

Resiko Kerusakan Integitas Tujuan :


kulit

yang

berhubungan

dengan irigasi konstan oleh


urine.

Jumlah

a. Pantau penampilan kulit


bakteri< periostomal setiap 8jam.

a. Untuk
mengidentifikasi

100.000 / ml.

kemajuan

atau

Kulit periostomal tetap

penyimpangan

dari

utuh.

hasil yang diharapkan.

Suhu 37 C.

Urine jernih dengan setiap minggu atau bila bocor


terdeteksi. Yakinkan kulit
sedimen minimal.

b.

Ganti

wafer

stomehesif

bersih dan kering sebelum

b. Peningkatan

berat

urine dapat merusak


segel

periostomal,

memungkinkan

30

KriteriaHasil:

Integritaskulit

memasang wafer yang baru.

kebocoran

urine.

yang Potong lubang wafer kira-kira

Pemajanan

menetap

baikbisadipertahankan
(sensasi,

elastisitas, diameter

temperatur,

hidrasi, menjamin
kantung

pigmentasi).

5.

Resiko

Isolasi

setengah inci lebih besar dari


stoma

untuk

ketepatan

ukuran

kulit

periostomal.

peningkatan

Mampumelindungikuli

Kosongkan kantung urostomi

tdanmempertahankank

bila telah seperempat sampai

elembabankulit.

setengah penuh.

Klien

akibat mengompol di depan


orang lain atau takut bau
urine.

menyebabkan

kerusakan kulit dan

dengan
keadaan yang memalukan

dapat

benar-benar

Tidakadalukapadakulit. menutupi

berhubungan

terhadap asam urine

yang

Sosial Tujuan:

pada kulit periostomal

a. Yakinkan

resiko

infeksi.

apakah a. Memberikan

informasi

dapat

konseling dilakukan dan

tentang

dengan

atau perlu diversi urinaria,

pengetahuan pasien/orang

orang lain.

diskusikan

terdekat tentang situasi

Klien dapat membina

pertama.

berinteraksi

hubungan
percaya.

KriteriaHasil:

saling

pada

saat

individu

tingkat

dan

Pasien

menerimanya(contoh;
inkontinensia tak sembuh,
infeksi).

31

Identifikasisistempend

b. Dorong

pasien/orang b. Memberikan kesempatan

ukung yang stabil.

terdekat untuk mengatakan

menerima

Menggunakansumberd

perasaan. Akui kenormalan

konsep.

ayauntukbantuan yang

perasaan marah, depresi,

pasien/orang

sesuai.

dan

menyadari

Mengungkapkanpening

kehilangan.

katan rasa hargadiri.

peningkatan

kedudukan

karena

Diskusikan

perasaan

isu/salah
Membantu
terdekat
bahwa
yang

dialami

dan

tidak biasa dan bahwa

penurunan tiap hari yang

perasaan bersalah pada

dapat

mereka

terjadi

setelah

pulang.

tidak

perlu/membantu.

Pasien

perlu mengenali perasaan


sebelum

mereka

menerimanya

dapat
secara

efektif.
c. Perhatikan

perilaku c. Dugaan

masalah

pada

menarik diri, peningkatan

penyesuaian

yang

ketergantungan, manipulasi

memerlukan

evaluasi

atau tidak terlibat pada

lanjut dan terapi lebih

asuhan.

efektif.

Dapat

32

menunjukkan

respon

kedukaan

terhadap

kehilangan bagian/fungsi
tubuh

dan

terhadap

kawatir
penerimaan

orang lain, juga rasa takut


akan

ketidakmampuan

yang datang/ kehilangan


selanjutnya pada hidup
karena kanker.
d. Berikan kesempatan untuk d. Meskipun integrasi stoma
pasien/orang
untuk

terdekat

memandang

dan

ke

dalam

citra

memerlukan

tubuh
waktu

menyentuh stoma, gunakan

berbulan-bulan/tahunan,

kesempatan

melihat

untuk

stoma

dan

memberikan tanda positif

mendengar

komentar

penyembuhan, penampilan,

(dibuat

dengan

cara

normal, dsb.

normal,

nyata)

dapat

membantu pasien dalam

33

penerimaan

ini.

Menyentuh

stoma

meyakinkan
terdekat

klien/orang

bahwa

stoma

tidak rapuh dan sedikit


gerakan

stoma

nyata

secara

menunjukkan

peristaltic normal.
e. Berikan kesempatan pada e. Kemandirian
klien

untuk

keadaannya

menerima

perawatan

melalui

harga diri.

partisipasi

dalam
memperbaiki

dalam

perawatan diri.
f. Pertahankan
positif,

pendekatan

selama

perawatan,
ekspresi

aktivitas

menghindari

menghina

atau

reaksi mendadak. Jangan


menerima

ekspresi

f. Membantu
terdekat

pasien/orang
menerima

perubahan

tubuh

dan

menerima

akan

diri

sendiri.

Marah

paling

34

kemarahan pasien secara

sering ditunjukkan pada

pribadi.

situasi dan kurang kontrol


terhadap apa yang terjadi
(tidak

g. Rencanakan/jadwalkan
aktivitas

terduga),

bukan

pada pemberi asuhan.

asuhan dengan g. Meningkatkan

orang lain.

rasa

kontrol dan memberikan


pesan bahwa pasien dapat
mengatasinya,

h. Diskusikan fungsi seksual

meningkatkan harga diri.

dan implan penis, bila ada h. Pasien


dan

alternatif

pemuasan seksual.

cara

mengalami

ansietas diantisipasi, takut


gagal

dalam hubungan

seksual

setelah

pembedahan,

biasanya

karena

pengabaian,

kurang

pengetahuan.

Pembedahan

yang

mengangkat

kandung

35

kemih

dan

prostat

(diangkat
kandung

dengan
kemih)

dapat

mengganggu

syaraf

parasimpatis

yang

mengontrol ereksi pria,


meskipun teknik terbaru
ada yang digunakan pada
kasus

individu

untuk

mempertahankan

syaraf

ini.
6.

Resiko

ketidakefektifan Tujuan :

penatalaksaan
terapeutik
berhubungan

program
yang
dengan

ketidakcukupan
pengetahuan
penyebab
penatalaksaan,

a. Berikan kesempatan kepada a. Kemapuan


klien dan orang terdekat untuk

Mengungkapkan
pemahaman

tentang mengekspresikan perasaan dan

pemeriksaan harapannya. Perbaiki konsep

kondisi,

diagnostik, dan macam yang salah.


tenttang

b. Berikan informasi tentang:

terapeutik.

inkontinen,

Keluhan

progam

tentang

berkurang
cemas

atau

pemecahan

masalah

pasien

ditingkatkan

bila

lingkungan nyaman dan


mendukung diberikan.
b. Pengetahuan

apa

yang

Sifat penyakit.

akan dirasakan membantu

Deskripsi singkat tentang

mengurangi

ansietas,

36

latihan pemulihan kandung

gugup.

kemih, tanda dan gejala

Ekspresi wajah rileks.

komplikasi,
komonitas.

serta

tidur.

sumbe KriteriaHasil:

nyeri

Pemeriksaan

setelah

perawatan.

Klienmengungkapkana

Bila informasi harus diberikan

nsietasberkurangtentan

selama

gketakutankarenaketid

pertahankan

intruksi

dan

aktahuan,

penjelasan

singkat

dan

episode

nyeri,

kehilangankontrolatauk sederhana. Berikan informasi


lebih

esaahanpersepsi.

menggambarkan proses terkontrol.


penyakit,
penyebabdanfaktorpen
unjangpadagejaladanat
uranuntukpenyakitatau
kontrolgejala.

detail

Mengungkapkan
maksud/tujuan
melakukan

untuk
perilaku

bila

nyeri

mempengaruhi

prose belajar.

37

kesehatan

yang

diperlukan

dan

keinginan untuk pulih


dari

penyakit

dan

pencegahan
kekambuhan
komplikasi.

atau

38

4.4 Implementasi Keperawatan


No.

Diagnosa

Implementasi

1.

Inkonteninsia Urine: stress


berhubungan dengan
kelemahan otot pelvis dan
struktur dasar penyokongnya.

a. Mengkaji kebiasaan pola berkemih


dan dan gunakan catatan berkemih
sehari.
b. Melakukan

latihan

otot

dasar

panggul.
c. Melakukan perawatan inkontinensia
urin.
d. Mengidentifikasi

penyebab

inkontinensia multifactorial.
e. Mengkolaborasi dengan dokter dalam
mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan

perubahan

obat,

dosis/jadwal pemberian obat untuk


menurunkan frekuensi inkonteninsia.
2.

Gangguan
berhubungan

konsep

diri a. Mengkaji pola interaksi antara pasien


dengan

penurunan kontrol miksi.

dengan orang lain.


b. Mengkaji pengetahuan klien tentang
penyakit yang dialaminya.
c. mendorong klien untuk beraktivits
dan berinteraksi dalam lingkunganya.
d. Mendorong klien untuk menyatakan
perasaan.
e. Memberi informasi klien tentang
penyakitnya.

3.

Resiko infeksi b.d


inkontinensia, imobilitas
dalam waktu yang lama.

a. Memberikan

perawatan

perineal

dengan air sabun setiap shift. Jika


pasien

inkontinensia,cuci

daerah

39

perineal sesegera mungkin.


b. Memberikan perawatan kateter 2x
sehari (merupakan bagian dari waktu
mandi pagi dan pada waktu akan
tidur) dan setelah buang air besarjika
di pasang kateter indwelling.
c. Mengikuti kewaspadaan umum (cuci
tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan),
bila kontak dengan cairan tubuh atau
darah

yang

perawatan

terjadi

(memberikan

perianal,

pengososngan

kantung drainse urine, penampungan


spesimen urine). Pertahankan teknik
asepsis bila melakukan kateterisasi,
bila mengambil contoh urine dari
kateter indwelling.
d. mengubah posisi pasien setiap 2jam
dan anjurkan masukan sekurangkurangnya

2400ml/hari

kecualidikontraindikasikan,.

Bantu

melakukan ambulasi sesuai dengan


kebutuhan.
e. melakukan

tindakan

untuk

memelihara asam urine.

Meningkatkan masukan sari buah


berri.

Memberikan

obat-obat,

untuk

meningkatkan asam urine.


4.

Resiko Kerusakan Integitas a. Memantau

penampilan

kulit

40

kulit

yang

berhubungan

periostomal setiap 8jam.

dengan irigasi konstan oleh b. Mengganti wafer stomehesif setiap


urine.

minggu atau bila bocor terdeteksi.


Yakinkan kulit bersih dan kering
sebelum memasang wafer yang baru.
Potong

lubang

setengah

inci

diameter

stoma

wafer
lebih

kira-kira

besar

untuk

dari

menjamin

ketepatan ukuran kantung yang benarbenar menutupi kulit periostomal.


Kosongkan kantung urostomi bila
telah seperempat sampai setengah
penuh.
5.

Resiko

Isolasi

Sosial a. Meyakinkan

apakah

konseling

berhubungan dengan keadaan

dilakukan dan atau perlu diversi

yang

akibat

urinaria,

mengompol di depan orang

pertama.

memalukan

lain atau takut bau urine.

diskusikan

b. Mendorong

pada

pasien/orang

saat

terdekat

untuk mengatakan perasaan. Akui


kenormalan perasaan marah, depresi,
dan kedudukan karena kehilangan.
Diskusikan

peningkatan

dan

penurunan tiap hari yang dapat


terjadi setelah pulang.
c. Meemperhatikan perilaku menarik
diri,

peningkatan

ketergantungan,

manipulasi atau tidak terlibat pada


asuhan.
d. Memberikan
pasien/orang

kesempatan

untuk

terdekat

untuk

memandang dan menyentuh stoma,

41

gunakan

kesempatan

memberikan

untuk

tanda

positif

penyembuhan, penampilan, normal,


dsb.
e. Memberikan kesempatan pada klien
untuk menerima keadaannya melalui
partisipasi dalam perawatan diri.
f. Mempertahankan pendekatan positif,
selama

aktivitas

perawatan,

menghindari ekspresi menghina atau


reaksi mendadak. Jangan menerima
ekspresi kemarahan pasien secara
pribadi.
g. Merencanakan/jadwalkan

aktivitas

asuhan dengan orang lain.


h. Mendiskusikan fungsi seksual dan
implan penis, bila ada dan alternatif
cara pemuasan seksual.
6.

Resiko

ketidakefektifan a. Memberikan

penatalaksaan

program

klien

dan

kesempatan
orang

kepada

terdekat

untuk

perasaan

dan

terapeutik yang berhubungan

mengekspresikan

dengan

harapannya. Perbaiki konsep yang

ketidakcukupan

pengetahuan
penyebab

tenttang

salah.

inkontinen, b. Memberikan informasi tentang:

Sifat penyakit.
Deskripsi singkat tentang tidur.
latihan pemulihan kandung
Pemeriksaan setelah perawatan.
kemih, tanda dan gejala Bila informasi harus diberikan selama
komplikasi, serta sumbe episode nyeri, pertahankan intruksi dan
penjelasan singkat dan sederhana.
komonitas.
Berikan informasi lebih detail bila nyeri
terkontrol.
penatalaksaan,

progam

42

4.5 Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan untuk mengevaluasi apakah tindakan
keperawatan yang teah diberikan mencapai tujuan atau kriteria hasil yang telah
ditetapkan. Berikut salah satu evaluasi dari diagnosa pertama.
Hari/tanggal

Senin, 15
November
2013

Waktu

10.00
Wib

No.
Dx

Evaluasi

S: Ibu klien mengatakan bahwa anaknya sudah


tidak kencingsecaraterusmenerus.
O: Kontinensia urin.Frekuensiurinlebihdari 2
jam.
A: masalah teratasi
P: intervensi dihentikan

Senin, 12
November
2013

10.00
Wib

S: Ibu klien mengatakan bahwa anaknya sudah


mauberinteraksidengan orang lain.
O:klienmenunjukkan perilaku interaksi sosial
yang
efektifdenganperawatdankeluarga.Klienterlihat
sering berbicaradengan orang lain.
A: masalah teratasi
P: intervensi dihentikan

43

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Haluaran urin adalah suatu keadaan dimana cairan (urin) keluar dari tubuh.
Macam- macam dari haluaran urin meliputi inkontenensia urin, retensi urin,
kandung kemih neurogenic dan kandung kemih flaccid dan spastic.
1. Inkotenensia urin adalah suatu keadaan hilangnya kontrol urine involunte
yang secara objektif dapat terlihat jelas dan cukup berat hingga menjadi
mesalah sosial atau masalah hygiene.
2. Retensi urin adalah merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung
kemih. Hal ini menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan
kedaan ketika seseoarang mengalami pengosongan kandung kemih yang
tidak lengkap.
3. Kandung kemih neurogenik (Neurogenic Bladder) adalah hilangnya
fungsi kandung kemih yang normal akibat kerusakan pada sebagian
sistem sarafnya.
4. Kandung kemih flaksid adalah suatu keadaan dimana kandung kemih
mengalami kelayuan sehingga tidak mampu menyimpan urin. Kandung
kemih spastik adalah suatu keadaan dimana kandung kemih mengalami
kekakuan sehingga tidak mampu mengosongkan kandung kemih.
5.2 Saran
a.

Pada mahasiswa
Diharapkan kepada mahasiswa khususnya mahasiswa keperawatan agar dapat

mengerti, memahami dan dapat menjelaskan tentang perubahan pola urine baik
mengenai

pengertian,

patofisiologi,

etiologi,

manifestasi

pencegahan serta penerapan asuhan keperawatannya.

klinis

maupun

44

b.

Pada Dosen

Dosen diharapkan dapat memfasilitasi mahasiswa apabila terdapat mahasiswa


yang kurang paham tentang perubahan pola urine dan memberikan tambahan
materi atau penjelaskan apabila materi yang diberikan kurang lengkap atau kurang
jelas.

45

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta :


Salemba Medika.
Borley, N. R. et all. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Brunner & Suddarth. (2002). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Doengoes, Marilynn E. 2000.Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Glendle, Jonathan. 2007. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: EGC.
Graber, M. A. at all. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga. Jakarta: EGC.
Hamilton, C. at all. 2009. Obsteri dan Ginekologi: panduan praktik. Jakarta:
EGC.
Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses
pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi
=lokal pada tanggal 15 Mei 2021.

Heldayana, G. 2010. Paralisis: Etiologi, Klasifikasi, Patofisiologi, dan


Tata Laksana. http://makhlukerdil.wordpress.com/2010/12/28/paralisisetiologi-klasifikasi-patofisiologi-dan-tata-laksana/ diakses tanggal 17
November 2013 pukul 11.36 WIB.

46

Hidayat, Alimul Aziz. 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan.


Jakarta: EGC.
Isselbacer, at all. (tanpa tahun). Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: ECG.
Kozier & Erb at all. 2009. Buku Ajar Praktik keperawatan Klinis. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. ( 2000 ). Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta : media.
Aesculapius.
Marelli, T.M., 2008. Buku Saku Dokumentsi Keperawatan. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: EGC.
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai