Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Penurunan suatu fungsi tubuh akan terjadi secara alamiah sesuai dengan
bertambahnya usia. Penurunan fungsi fisik serta organ tercermin pada
manifestasi klinis berupa penurunan fungsional, disability, frailty pada golongan
lanjut usia.1 Census Bureau di Amerika Serikat meprediksikan akan adanya
peningkatan secara cepat pada jumlah individu yang berusia lebih dari 65 tahun.
Keadaan ini akan memiliki dampak adanya peningkatan kebutuhan lansia
terutama dalam bidang kesehatan.2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lansia memiliki arti sudah
berumur atau tua,3 Rockwood dan Hubbard menulis jurnal yang dikutip oleh
Lang, Michele dan Zekry bahwa perbatasan antara umur dan kelemahan fisik
atau moral tampak tidak begitu jelas, yang secara luas seharusnya pada usia
tertentu, semua orang akan menjadi rapuh.4
Menurut World Health Organization (WHO) adanya peningkatan
sebanyak dua kali lipat pada populasi penduduk lansia di dunia antara tahun
2000 sampai 2050, dari 11% menjadi 22%, yaitu dari 605 juta menjadi 2 milyar.5
Di Indonesia pada tahun 2006 jumlah penduduk lansia kurang lebih 19 juta jiwa
dengan angka harapan hidup sebesar 66.2 tahun. Dari hasil penghitungan tahun
2006, perkiraan jumlah lansia pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi
23.9 juta dengan angka harapan hidup menjadi 67.4 tahun dan pada tahun 2020
diperkirakan menjadi 28.8juta dan angka harapan hidup mencapai 71.1 tahun.6
Frailty adalah suatu kumpulan gejala multi-dimensional pada lansia yang
dapat ditemukan seiring dengan bertambahnya usia.2,4,7 Blaum mendefinisikan
frailty sebagai sebuah sindrom kerentanan fisik yang ditandai dengan adanya
kerusakan fungsi pada berbagai sistem dalam tubuh dan berkurangnya kapasitas
fisiologis.7

Jumlah prevalensi frailty pada 5.317 komunitas lansia yang berpatisipasi


dalam American Cardiovascular Health Study, baik pria maupun wanita dengan
usia 65 tahun atau lebih, sebesar 6,9% dengan angka kejadian setelah 4 tahun
sebesar 7,2%.7 Pada studi lainnya seperti Women's Health and Aging Study,
prevalensi frailty dalam 749 komunitas yang respondennya adalah wanita berusia
65 tahun dan yang lebih tua mempunyai risiko tinggi sebesar 25%, dan dalam
studi tersebut terdapat kaitan yang erat antara penderita frailty dengan kualitas
hidupnya karena kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. 8 Studi
Ottenbacher yang juga mempelajari frailty pada 621 ras Meksiko Amerika,
dengan rata-rata usianya 78 tahun, dimana 22% wanita dan 17% pria dapat
diklasifikasikan dalam kelompok frailty dan mereka memiliki skor buruk pada
kekuatan kedua ekstremitas atas, disabilitas, dan status mentalnya.7,9
Menurut Cooper, osteoporosis didefinisikan sebagai gangguan sistemik
pada tulang yang ditandai dengan adanya penurunan massa dan kerusakan
jaringan tulang, yang dapat meningkatkan kerapuhan serta kerentanan terjadinya
fraktur pada tulang. Observasi dilakukan terhadap patah tulang paha yang
menghasilkan kemungkinan adanya hubungan antara umur dengan penurunan
massa dan kualitas tulang.10,11
Banyak studi yang telah dilakukan untuk mengetahui besarnya angka
kejadian osteoporosis. Diperkirakan terdapat 200 juta penderita osteoporosis di
dunia, dimana satu dari tiga wanita dan satu dari lima pria beresiko terkena
osteopenia atau osteoporosis. Penderita osteoporosis di Amerika Serikat dan di
Eropa sebanyak 75 juta penduduk, selain itu di Jepang dan China terdapat 84 juta
penduduk. Di Indonesia pada tahun 2006 terdapat 2.2 juta penduduk yang
mengalami kelainan tulang dimana 19.7% osteoporosis dan 41,7% osteopenia.12
Osteoporosis belum menjadi suatu masalah kesehatan utama yang
diperhatikan dalam suatu Negara, akan tetapi osteoporosis merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi perekonomian suatu Negara berkembang. Pada tahun
2005, di Amerika Serikat sebesar 19 milyar dolar telah dikeluarkan untuk fraktur
osteoporosis dan diperkirakan tahun 2025 akan membutuhkan biaya sampai 25.3
milyar dolar. Di Indonesia sendiri pada tahun 2000 telah menghabiskan 2.7

milyar dolar untuk 227.850 kasus fraktur osteoporosis, dan diperkirakan tahun
2020 akan mencapai 3.8 milyar dolar untuk 426.300 kasus.12
Pada orang dewasa yang telah melewati usia 30 tahun akan terjadi
penurunan massa tulang, baik pada pria maupun wanita. Osteoporosis disebut
sebagai penyakit silent epidemic, yang bilamana tanpa penanganan tepat akan
membuat tulang semakin rapuh secara terus menerus tanpa adanya gejala
penyerta.13 Komplikasi yang dapat terjadi adalah meningkatnya risiko fraktur
pada tulang. Kerusakan ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan
lebih cepat terjadi pada wanita. Terjadinya komplikasi pada lansia ini dapat
menimbulkan masalah seperti penurunan kualitas dan fungsi hidup, sosial
ekonomi karena pengobatan yang mahal.14 Fraktur tulang merupakan salah satu
pertanda maupun faktor risiko terjadinya frailty pada usia lanjut.
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
Bagaimanakah hubungan antara osteoporosis dengan frailty?

1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Mengetahui gambaran dari frailty dan hubungannya dengan osteoporosis.
1.3.2.

Tujuan Khusus
1.3.2.1.

Mengetahui karakteristik (usia, jenis kelamin dan


pendidikan lansia di 4 panti werdha di Jakarta Utara.

1.3.2.2.

Mengetahui prevalensi osteoporosis dan frailty.

1.3.2.3.

Mengetahui hubungan antara osteoporosis dengan


frailty.

1.4.

Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi peneliti
1.4.1.1. Dengan melakukan penelitian ini, peneliti dapat memperoleh
pengalaman baru dan pengetahuan mengenai topik penelitian ini.
1.4.2. Bagi perkembangan studi penyakit osteoporosis pada lansia
1.4.2.1. Dengan melakukan penelitian ini dapat diketahui jumlah angka
kejadian osteoporosis dan dampaknya sehingga dapat menjadi dasar
untuk penelitian berikutnya.
1.4.3. Bagi lansia di Panti Werdha yang diteliti
1.4.3.1. Para lansia di panti-panti yang diteliti akan mengetahui berapa
nilai densitas mineral tulang masing-masing dan dapat melakukan
usaha-usaha untuk memperbaikinya.
1.4.4. Bagi masyarakat umum
1.4.4.1. Masyarakat umum mendapatkan informasi mengenai penyakit
osteoporosis dan frailty sehingga dapat melakukan pengobatan dan
pencegahan dengan tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Frailty
Frailty adalah sekumpulan gejala akibat menurunnya kemampuan dan
ketahanan seseorang untuk menghadapi stresor akibat dari pertambahan usia.

Frailty sering menjadi masalah pada lansia karena dapat mengakibatkan


meningkatnya resiko hospitalisasi hingga mortalitas.15 Keadaan ini biasanya
ditandai dengan adanya penurunan fungsi fisiologis tubuh, penurunan fungsi
tulang maupun otot skelet, adanya disregulasi multi-sistem, perubahan yang
mencakup perubahan komposisi tubuh dan degenerasi saraf. 16 Adapun
manifestasi lain adalah penurunan berat badan, menurunnya kekuatan
genggaman tangan, aktivitas yang terhambat, gangguan fungsional sampai cara
berjalan.
Tidak semua lansia yang mengalami frailty memiliki manifestasi klinis
yang disebutkan diatas karena fungsi kompensasi pada tubuh masih dapat
bekerja, akan tetapi ketika fungsi kompensasi ini tidak lagi dapat memberi
pertahanan, maka akan timbul manifestasi klinis pada lansia tersebut. Penyebab
dari frailty sangat kompleks dan merupakan interaksi dari berbagai faktor yang
saling mempengaruhi seperti faktor genetik, fisik, psikologis, sosial, gaya hidup
dan fungsi kognitif.4

2.1.2

Epidemiologi Frailty
Frailty biasanya meningkat seiring dengan bertambahnya usia, oleh sebab

itu lansia dengan usia lebih dari 65 tahun memiliki resiko lebih tinggi pada
terjadinya frailty. Prevalensi terjadinya frailty pada wanita lebih tingi yaitu
sekitar 9,6% sedangkan pada pria sebesar 5,2%. 1,17 Penelitian yang dilakukan di
Canada memperoleh data bahwa pada lansia dengan golongan usia 65 sampai 74
tahun, ada 70 dari 1000 orang yang mengalami frailty, golongan usia 75 sampai
84 tahun, ada 175 dari 1000 orang mengalami frailty, sedangkan lansia berusia di
atas 85 tahun, ada 366 dari 1000 orang mengalami frailty.18

2.1.3

Faktor Risiko Frailty


Seiring dengan bertambahnya usia, tubuh akan mengalami degenerasi

yang bila tidak dikompensasi maka lama-kelamaan lansia tersebut dapat

mengalami frailty. Ras juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya frailty.
Ras Eropa Selatan dan Amerika memiliki resiko frailty yang lebih tinggi
daripada ras lainnya. Pada lansia yang berasal dari ras Caucasian ini terdapat
gaya hidup yang buruk, riwayat kesehatan yang buruk dan memiliki
komorbiditas penyakit kronis.19 Adapun faktor lain yang dapat menjadi faktor
risiko untuk frailty adalah keadaan-keadaan seperti riwayat fraktur, osteoporosis,
sarkopenia, kurangnya olahraga, aterosklerosis, diabetes, depresi dan gangguan
kognitif. Faktor sosial dan ekonomi seperti rendahnya tingkat pendidikan dan
penghasilan, permasalahan hidup lainnya dan kurangnya dukungan dari keluarga
juga memiliki kontribusi sebagai faktor risiko dari frailty.20

2.1.4

Patofisiologi Frailty
Patofisiologi frailty sampai saat ini belum diketahui secara pasti dan masih

diteliti oleh para ahli, namun terdapat 4 mekanisme yang berperan dalam proses
penuaan yang dapat dikaitkan dengan terjadinya frailty, 1. Perubahan komposisi
tubuh, 2. Keseimbangan anttara ketersediaan dan pemakaian energi dalam tubuh,
3. Kontrol sinyal dalam mempertahankan proses homeostasis, dan 4.
Neurodegenerasi.21
1. Perubahan komposisi tubuh
Seiring dengan bertambahnya usia seseorang akan terjadi perubahanperubahan yang tidak dapat dihindari seperti halnya perubahan komposisi tubuh.
Penambahan berat badan akan terjadi mulai dari masa kanak-kanak hingga
dewasa dan akan mengalami penurunan saat usia lanjut, namun lain halnya
dengan ukuran lingkar pinggang. Ukuran lingkar pinggang akan terus meningkat
akibat adanya akumulasi lemak visceral. Pada beberapa orang terdapat juga
lemak yang berada di dalam otot sehingga mempengaruhi kualitas dan fungsi
otot tersebut. Pada usia lanjut, akan terjadi juga perubahan pada tulang yaitu
terjadi demineralisasi dan modifikasi dari struktur tulang yang mengakibatkan
penurunan kekuatan tulang. Penurunan kekuatan dan kualitas tulang inilah yang

akan menyebabkan tingginya resiko fraktur dan dapat berdampak terhadap


frailty.21
2. Keseimbangan antara ketersediaan dan pemakaian energi
Tubuh manusia menghasilkan sumber energi sendiri dalam bentuk ATP
yang digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup sel-sel dalam tubuh. ATP
dibentuk melalui proses glikolisis anaerob, akan tetapi pemakaian energi dalam
tubuh kebanyakan melalui proses aerob. Menurut sebuah penelitian, seiring
bertambahnya usia minimum ventilation oksigen per menit (MVO2) atau
kemampuan paru-paru untuk menghirup oksegen per menit akan menurun secara
progresif, selain itu pada orang yang menderita penyakit kronik nilai MVO 2 peak
juga akan menurun akibat orang tersebut membutuhkan energi yang lebih untuk
mengkompensasi proses homeostasis yang tidak stabil dalam tubuhnya.
Perubahan-perubahan ini akan berdampak pada penurunan aktivitas sehari-hari
seperti mudah kelelahan, terutama pada lansia.21
3. Kontrol sinyal dalam mempertahankan proses homeostasis
Dalam mengontrol proses homeostasis tubuh melibatkan mediator
inflamasi, antioksidan serta hormon, dimana ketiga faktor tersebut sangat
berhubungan dengan pertambahan usia. Proses penuaan yang terjadi pada
seseorang dapat meningkatkan kerusakan stress oksidatif, menurunkan hormon
yang dihasilkan oleh tubuh dan juga memungkinkan terjadinya peningkatan kecil
pada mediator inflamasi. Ketiga faktor ini berperan dalam menjaga kestabilan
proses homeostasis, sehingga bila terdapat ketidakseimbangan maka proses
homeostasis dalam tubuh tidak dapat berjalan dengan baik.21
4. Neurodegenerasi
Setelah masa anak-anak sel neuron akan berhenti berdiferensiasi dan
jumlahnya akan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Terhentinya proses
diferensiasi sel neuron secara kumulatif ini akan berdampak pada menurunnya
fungsi kognitif dan motorik seseorang ketika menginjak usia di atas 60 tahun.

Pada lansia tersebut akan ditemukan adanya gangguan fungsi kognitif eksekusi
seperti pemecahan masalah atau pengambilan keputusan.21

2.2 Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu gangguan tulang sistemik yang ditandai
dengan rendahnya massa tulang, yang diakibatkan berkurangnya matriks dan
mineral dengan disertai adanya kerusakan mikro arsitektur jaringan tulang,
sehingga terjadi peningkatan kerapuhan tulang.14,24

Gambar 1. Tulang Kortikal dan Tulang Trabekular


(sumber: Netter, Frank H. (1987), Sistem Muskuloskletal: anatomi, fisiologi dan kelainan
metabolic. Summit, New Jersey: Ciba-Geigy Corporation ISBN 0-914168-88-6)

Tulang pada tubuh manusia dewasa baik laki-laki maupun perempuan


dibagi menjadi dua macam, yaitu tulang kortikal dan tulang trabekula. Tulang
kortikal bersifat kompak dan padat dan ditemukan hampir di seluruh tubuh, dan
contoh nyata dari tulang ini terlihat pada diafisis tulang panjang, misalnya tulang
femur. Jenis tulang yang kedua adalah tulang trabekula. Tulang ini digambarkan
sebagai suatu rangka berpori yang menyangga tulang secara horizontal maupun
vertikal dan berfungsi untuk menahan beban tekanan. Tulang trabekula ini
merupakan salah satu tulang penyusun tubuh.25
Tulang kortikal dan tulang trabekula memiliki perbedaan dalam
metabolismenya. Hal ini yang menjadikan kedua tulang ini memiliki sifat yang

berbeda satu sama lain. Tulang kortikal yang kompak dan padat mendapatkan
nutrisi dari pembuluh yang relatif lebih sedikit jumlahnya. Hal ini menjelaskan
bahwa tulang trabekula memiliki perdarahan yang lebih banyak sehingga
menghasilkan respons yang lebih cepat terhadap perubahan metabolisme. Teori
ini menjelaskan bahwa tulang trabekula lebih rentan terhadap peningkatan
resorbsi tulang yang dapat mengakibatkan osteoporosis.25
Meskipun tulang kortikal dan tulang trabekula memiliki struktur yang
sangat berbeda, namun kedua jenis tulang ini memiliki kemiripan pada level
molekul dan biokimia. Setiap tulang terdiri dari sel dan matriks ekstraselular.
Selsel

tulang

berfungsi

untuk

mengontrol

proses

pembentukan

dan

penghancuran tulang. Berbeda dengan sel tulang, matriks ekstraselular memiliki


dua komponen, termineralisasi dan tidak termineralisasi. Komponen matriks
ekstraselular yang tidak termineralisasi disebut sebagai osteoid, yang dihasilkan
oleh osteoblast. Komponen yang termineralisasi contohnya adalah kalsium dan
ion fosfat.26
Massa tulang optimal tercapai saat seseorang berusia 25-30 tahun, setelah
itu akan terjadi penurunan secara perlahan. Penurunan massa tulang ini
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor genetik, asupan vitamin dan
kalsium serta riwayat aktivitas. Ada beberapa orang yang tidak dapat mencapai
massa

tulang

yang

optimal

dikarenakan

adanya

defisiensi

mineral,

ketidakseimbangan hormonal, defisiensi estrogen, aktivitas yang rendah,


pubertas yang tertunda juga menopause yang terjadi lebih awal.27

2.2.1

Prevalensi Osteoporosis
Lansia mempunyai resiko paling tinggi terkena osteoporosis.

Prevalensi osteoporosis lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan


laki-laki karena perempuan memiliki massa tulang yang lebih rendah, memiliki
usia kehidupan yang lebih panjang, dan adanya perubahan kadar hormon

10

estrogen pada saat menopause.14 Kadar hormon estrogen dalam tubuh memiliki
peran penting dalam mempertahankan massa tulang. Prevalensi osteoporosis
pada perempuan usia 80 tahun di Amerika Serikat diprediksikan dapat mencapai
angka 70%.5 Penelitian yang dilakukan di Semarang oleh Darmawan menyatakan
prevalensi osteoporosis pada wanita sebesar 14,7%.22 Data lain yang didapat dari
penelitian yang dilakukan oleh Faridin menyatakan prevalensi osteoporosis
sebesar 23,3% pada laki laki dan 32% pada wanita. 23 Penelitian lain yang
dilakukan Roeshadi mengungkapkan prevalensi osteoporosis pada wanita sebesar
26% dengan kejadian terbanyak pada kelompok usia 45 65 tahun.28

2.2.2

Klasifikasi Osteoporosis
Berdasarkan etiologinya, osteoporosis dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
2.2.2.1

Osteoporosis Primer

Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang diakibatkan terjadinya proses


penuaan pada seseorang.29
Klasifikasi osteoporosis primer adalah sebagai berikut:
1. Osteoporosis primer tipe I
Osteoporosis yang terjadi akibat penurunan kadar hormon estrogen dalam
darah sehingga proses pembentukan tulang menjadi tidak seimbang.
2. Osteoporosis primer tipe II atau Osteoporosis Senilis
Osteoporosis yang terjadi akibat kekurangan kalsium dan biasanya terjadi
pada usia di atas 50 tahun.
3. Osteoporosis primer tipe III atau Osteoporosis Idiopatik
Osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya secara pasti dan biasanya
terjadi pada laki-laki atau perempuan di usia yang relatif muda.30
2.2.2.2 Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder merupakan osteoporosis yang diakibatkan adanya
penyakit lain serta dipengaruhi oleh gaya hidup yang tidak sehat,
contohnya :

11

1. Penyakit keganasan seperti kanker


2. Penyakit endokrin seperti tiroid, hyperparatiroid, hypogonadisme.
3. Penyakit saluran pencernaan yang mengganggu absorbsi zat gizi
sehingga terjadi kekurangan kalsium, vitamin D, fosfor dan
lainnya
4. Konsumsi obat-obatan seperti kortikosteroid
5. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, minum alkohol,
kurangnya aktivitas, konsumsi junk food yang berlebih dan
lainnya.30,31
Berdasarkan nilai Densitas Mineral Tulang pada dewasa muda,
osteoporosis diklasifikasikan menjadi:
Tabel 2.1: Klasifikasi Osteoporosis menurut WHO
Definisi
Normal

Densitas tulang pada rata-rata dewasa muda berada diantara +1 atau -1

Osteopenia

Densitas tulang pada rata-rata dewasa muda berada diantara -1 atau -2,5

Osteoporosis

Densitas tulang pada rata-rata dewasa muda bernilai > -2,5

Severe Osteoporosis

Densitas tulang dewasa muda bernilai > -2,5 dengan disertai satu atau
lebih fraktur osteoporosis.

Sumber: Cyrus Cooper SG, Robert Lindsay, 2005.24


2.2.3

Faktor Risiko Osteoporosis


Faktor risiko osteoporosis dikelompokan menjadi dua yaitu faktor risiko yang
dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.
2.2.3.1

Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi

1. Merokok
Merokok dapat mempengaruhi rendahnya kadar estrogen pada seorang
perempuan, sehingga perempuan yang merokok akan memiliki
kemungkinan untuk memasuki masa menopause lebih awal dibandingkan

12

dengan perempuan yang tidak merorokok. Asap dari rokok dapat


berdampak pada kerja ovarium dalam memproduksi hormon estrogen.
Zat Nikotin yang terdapat di dalam rokok dapat mempengaruhi
kemampuan tubuh dalam penyerapan dan penggunaan kalsium untuk
membentuk tulang.29,32
2. Alkohol
Penelitian yang dilakukan di Negara Eropa, Amerika dan Australia
ditemukan adanya peningkatan risiko osteoporosis pada laki-laki atau
perempuan yang mengkonsumsi alkohol lebih dari dua gelas per hari.
Kandungan yang terdapat di dalam alkohol dapat mempengaruhi sel
osteoblast sehingga dapat menurunkan massa tulang seseorang.33,34
3. Kurang Aktivitas Fisik
Aktivitas yang dilakukan oleh seseorang baik yang muda maupun yang
sudah tua sangat mempengaruhi kekuatan tulang dan ototnya. Mulai dari
aktivitas ringan seperti berjalan, berlari, melompat sampai aktivitas berat
seperti olah raga yang dilakukan atlet dapat mengurangi risiko fraktur.
Orang yang melakukan olah raga lebih dari dua kali dalam seminggu
memiliki index massa tulang yang lebih baik daripada yang kurang dari
dua kali dalam seminggu.10 Selain itu aktivitas fisik yang teratur dapat
meminimalisasi penurunan massa tulang setelah menopause dan
mengurangi risiko jatuh pada lansia.35
4. Asupan Kalsium dan Vitamin D
Kalsium memiliki peran yang penting dalam pembentukan tulang dan
deposisi mineral tulang. Kadar kalsium yang rendah dapat menyebabkan
peningkatan resorpsi tulang untuk menjaga keseimbangan kalsium dalam
plasma. Sementara itu, vitamin D berfungsi untuk meregulasi absorpsi
kalsium dalam usus dan menstimulasi resorpsi tulang sehingga terjadi
keseimbangan kalsium dalam tubuh. Kurangnya vitamin D dalam tubuh

13

dapat meningkatkan produksi osteoklas yang dapat meningkatkan proses


resorpsi tulang.36
5. Hormon
Hormon

estrogen

memiliki

peran

yang

cukup

penting

dalam

pembentukan tulang. Pada saat menopause akan terjadi penurunan


hormon estrogen sehingga wanita yang berusia diatas 45 tahun lebih
berisiko terkena osteoporosis.32,37 Adapun riwayat penggunaan hormon
kortikosteroid dapat menjadi faktor risiko terjadinya osteoporosis.38
6. Penyakit Komorbid
Pada orang yang memiliki riwayat penyakit diabetes atau serebrovaskular
memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami osteoporosis. 38 Sementara
itu belum ditemukan penyakit lain yang memiliki dampak yang signifikan
dalam menimbulkan osteoporosis.

2.2.3.2 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi


1. Usia
Tubuh kita memiliki kemampuan untuk melakukan remodeling tulang,
namun seiring dengan bertambahnya usia kemampuan tersebut akan
menurun akibat menurunnya daya absorpsi kalsium. Dalam Pedoman
Pengendalian Osteoporosis yang dikeluarkan oleh Depkes RI dinyatakan
bahwa usia berpengaruh dalam terjadinya osteoporosis. 32 Selain itu
bertambahnya usia seseorang dapat menurunkan massa tulang serta
meningkatnya risiko fraktur.24
2.

Jenis Kelamin

Seorang wanita diperkirakan akan kehilangan massa tulangnya sekitar


30-50% sedangkan pria hanya 20-30%. Kehilangan massa tulang ini
dipengaruhi oleh hormon, terutama hormon estrogen, sehingga pada

14

wanita yang telah menopause risiko terjadinya osteoporosis menjadi lebih


tinggi.32,37
3. Riwayat Jatuh
Riwayat jatuh atau fraktur pada seseorang dapat menjadi faktor resiko
terjadinya osteoporosis. Drake menyatakan dalam jurnalnya bahwa
riwayat jatuh dan fraktur pada seorang lansia serta riwayat fraktur yang
dialaminya dapat meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis pada lansia
yang bersangkutan.38

2.2.4

Diagnosis Osteoporosis

2.2.4.1 Anamnesis
Pada pemeriksaan anamnesis perempuan yang osteoporosis sangat
penting ditanyakan masalah riwayat penggunaan obat, usia menarche,
riwayat menstruasi, keteraturan haid, riwayat kehamilan dan juga usia
menopause.22 Pada umumnya keluhan utama pasien osteoporosis yang
datang adalah fraktur, oleh sebab itu saat melakukan anamnesis perlu
ditanyakan beberapa faktor resiko lainnya, seperti asupan nutrisi yang
buruk, merokok, alkohol, aktivitas sehari-hari dan lainlain.31

2.2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Pada umumnya pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada penderita
osteoporosis sangat terbatas. Hal yang dilakukan biasanya adalah
pengukuran tinggi badan untuk mengetahui ada tidaknya penurunan
tinggi badan.20 Namun terkadang hal ini sulit dijadikan patokan dalam
menentukan diagnosis osteoporosis karena pemeriksa tidak mengetahui
dengan pasti berapa tinggi pasien sebelumnya, sehingga tidak mudah
mengetahui penurunan tinggi badan yang sesungguhnya.22
2.2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

15

Pemeriksaan BMD (Bone Mass Density)


Pemeriksaan BMD adalah pemeriksaan yang biasa digunakan dalam
menegakkan diagnosis osteoporosis yang dilakukan dengan cara
mengukur kadar mineral pada tulang di area tertentu. Pemeriksaan ini
digunakan untuk:
Mendeteksi densitas tulang seseorang sebelum mengalami fraktur
Memprediksi kemungkinan seseorang mengalami fraktur di

kemudian hari
Menegakkan diagnosis osteoporosis saat seseorang sudah

mengalami patah tulang


Menentukan apakah densitas tulang seseorang meningkat,

menurun atau stabil


Memonitor respon pasien terhadap pengobatan yang diberikan.31
Beberapa tes untuk mengukur BMD, adalah :
1

Absorptiometri Xray Energi Tunggal atau Ganda (Single or Dual


Energy Xray Absorptiometry)
Single Energy Xray Absorptiometry (SXA) dan Dual Energy Xray
Absorptiometry (DXA) yaitu suatu metode untuk mengukur kadar
mineral tulang secara spesifik ataupun menyeluruh di dalam tubuh
seseorang. Pada SXA, kadar mineral diukur di tumit atau pergelangan
tangan. Sedangkan pengukuran kadar mineral dengan menggunakan
DXA, dilakukan pada pinggang atau tulang belakang. Dari semua
teknik pengukuran BMD, kedua teknik ini merupakan gold standard
dalam menentukan BMD tulang. Selain itu, SXA dan DXA juga
paling sering digunakan untuk menentukan diagnosis dan prognosis
osteoporosis.39

Quantitative Ultrasound (QUS)


Perbedaan

QUS

dengan

pemeriksaan

lainnya

adalah

tidak

dilibatkannya zatzat radioaktif dalam penggunaannya. QUS paling


baik dilakukan di daerah calcaneus. Pemeriksaan ini tidak dianggap
sebagai gold standard dalam pengukuran BMD, namun karena
biayanya yang murah dan sifatnya yang portable membuat QUS

16

lebih sering digunakan untuk pemeriksaan BMD dibandingkan


dengan absorptiometri Xray.39
3

Tomografi

Komputasi

Kuantitatif

(Quantitative

Computed

Tomography)
Quantitative Computed Tomography (QCT) merupakan cara terbaik
untuk mendeteksi densitas tulang trabekula, bahkan lebih baik
daripada DXA. Namun, biaya yang mahal dan radiasi yang tinggi
menjadi alasan mengapa teknik ini sangat jarang digunakan.39
4

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI dianggap kurang sesuai untuk pemeriksaan tulang, karena
menghasilkan gambaran yang kurang jelas. Akan tetapi, MRI
ternyata dapat memberikan gambaran struktur internal dari tulang
trabekula. Sampai saat ini penggunaan MRI terhadap tulang masih
dalam tahap penelitian karena sifatnya yang kompleks dan biayanya
yang mahal.39

2.2.4.4 Pemeriksaan Laboratorium


1

Alkaline Phosphatase
Alkaline Phosphatase adalah enzim yang dihasilkan oleh sel
osteoblast dan dapat digunakan sebagai marker untuk penyakit
tulang. Aktivitas enzim ini biasanya akan meningkat pada penderita
osteoporosis.22

Kolagen
Kolagen merupakan protein utama dalam tulang dan kulit.
Penguraian kolagen akan menyebabkan keluarnya protein utama
tubuh, yaitu hydroxyproline. Pada pasien osteoporosis, sejalan
dengan meningkatnya proses resorpsi tulang, kadar hydroxyproline
yang keluar juga akan meningkat.22

Osteocalcin

17

Osteocalcin merupakan nama lain dari tulang yang dibentuk oleh sel
osteoblast. Unsur ini kemudian akan dilepaskan ke dalam sirkulasi
darah dan dapat digunakan untuk mengukur tingkat formasi tulang.22

2.3

Hubungan Osteoporosis dan Frailty


Pada orang dewasa yang telah melewati usia 30 tahun akan terjadi
penurunan massa tulang, baik pada pria maupun wanita. Penurunan
massa tulang ini dipengaruhi oleh banyak faktor.27 Adanya beban yang
berlebihan juga dapat meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis. Hal
ini disebabkan adanya pergeseran cairan pada lakuna dan kanalikuli yang
menyebabkan turunnya kemampuan tulang dalam menopang tubuh dan
memperbaiki kerusakannya sehingga tulang menjadi lebih mudah
mengalami keretakan. Keretakan kecil yang terjadi ini lama kelamaan
bisa menjadi besar dan bila tubuh gagal untuk memperbaiki akan
menyebabkan terjadi fraktur. Kerusakan ini meningkat seiring dengan
bertambahnya usia dan lebih cepat terjadi pada wanita. 40 Fraktur tulang
merupakan salah satu pertanda maupun faktor risiko terjadinya frailty
pada usia lanjut.

BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori
Karakteristik Lansia
1. Usia
< 60 th
60 th
2. Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
3. Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah
Aktivitas
SD
fisik
SLTA
Universitas

18

Penuaan
Riwayat
jatuh

Obesitas

Densitas Mineral Tulang ( DMT)

Normal
Osteopenia
Osteoporosis

Diabetes
Melitus
Frailty:

Sarcopenia

Tidak frailty
Pre frailty
Frailty

Penyakit
Komorbid

Depresi

3.2 Kerangka Konsep

Karakteristik Lansia:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Pendidikan

Densitas Mineral Tulang ( DMT)

Frailty:

Tidak frailty
Pre frailty
Frailty

Normal
Osteopenia
Osteoporosis

Variabel Independen
3.3 Definisi Operasional

Variabel Dependen

19

No

Variabel

Definisi
Operasional

Alat dan
Cara Ukur

Skala dan Hasil Ukur

Acuan

Alat Ukur :
Kuesioner dan
Handgrip

Skala: Nominal

Cara Ukur :
Wawancara

[1] Tidak frailty


[2] Pre-frailty
[3] Frailty

Sydall et al.
Prevalence
and correlates
of frailty
among
communitydwelling older
men and
women.

Variabel Dependen
1

Frailty

Sekumpulan
gejala yang
terjadi akibat
menurunnya
kemampuan
dan ketahanan
seseorang
untuk
menghadapi
stresor akibat
dari
pertambahan
usia.

Hasil Ukur:

Evidence for
a phenotype.
The Journals
of
Gerontology

Variabel Independen
1

Osteoporosis

Gangguan
Alat Ukur:
tulang sistemik
Quantitative
yang ditandai
Ultrasound
dengan
rendahnya
Cara Ukur :
massa tulang,
Mengukur
adanya
kadar mineral
kerusakan
tulang
mikroarsitektur
responden
jaringan tulang,
dengan
dan disertai
meletakan alat
dengan
QUS pada
meningkatnya
calcaneus.
kerapuhan
tulang.

WHO
Skala Ukur:
Scientific
T-score =
Group on
PatientBMD - ReferenceBMD
Prevention
Standard Deviation

Hasil Ukur :
[1] = Normal :
1 SD (+1 atau -1)
[2] = Osteopenia :
-1 sampai -2.5 SD
[3] = Osteoporosis :
>-2.5 SD

and
Management
of
Osteoporosis.

20

Usia

Jenis
Kelamin

Perhitungan
waktu biasa
dalam tahun
yang dimulai
dari kelahiran
seseorang
sampai dengan
waktu
perhitungan
usia

Status gender

Alat Ukur:
Kuisioner
Cara Ukur:
Wawancara

Alat Ukur:
Kuisioner
Cara Ukur
Wawancara

Pendidikan

Tingkat
pengetahuan
lansia yang
diukur melalui
jenjang
pendidikan
formal yang
diakui, yaitu
lulus SD atau
dalam
tingkatan yang
lebih rendah,
lulus SMP dan
lulus SMA atau
dalam
tingkatan yang
lebih tinggi

Alat Ukur:
Kuisioner
Cara Ukur:
Wawancara

BAB IV

Skala: Nominal
Hasil Ukur
[1] = 60 - 64tahun
[2] = 65 tahun

Skala Ukur: Nominal


Hasil Ukur:
[1] = laki-laki
[2] = perempuan

Skala Ukur: Nominal


Hasil Ukur:
[1] = Tidak sekolah
[2] = Tidak lulus SD
[3] = Tamat SD
[4] = Tamat SMP
[5] = Tamat
SMA/Akademi/S1

Kamus Besar
Bahasa
Indonesia
(KBBI)

Kamus Besar
Bahasa
Indonesia
(KBBI)

Kamus Besar
Bahasa
Indonesia
(KBBI)

21

METODOLOGI PENELITIAN

1.1 Desain Penelitian


Pengumpulan data dilakukan satu kali dalam satu waktu untuk masing-masing
individu. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah analitik
dengan desain cross-sectional. Variabel independen dalam penelitian ini adalah
densitas mineral tulang (DMT), dengan variable dependennya adalah frailty.
1.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada 4 panti werdha yang berada di wilayah Jakarta. Panti
werdha tersebut antara lain Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2 di Jalan
Cendrawasih X nomor 8, Cengkareng, Jakarta Barat; Panti Werdha Wisma Mulia di
Jalan Hadiah nomor 14-16, Kelurahan Jelambar, Jakarta Barat; Panti Werdha Santa
Anna di Jalan Teluk Gong Gang Mazda nomor 41, Pejagalan, Jakarta Utara; dan
Panti Sosial Tresna Werdha Usada Mulia 5 di Jalan Cendrawasih VI, Cengkareng,
Jakarta Barat.
1.3 Populasi
1.3.1. Populasi target :
Populasi target dari penilitian ini adalah lansia yang berusia di atas 60 tahun
dan bertempat tinggal di panti werdha di Jakarta.
1.3.2. Populasi terjangkau :
Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah lansia-lansia yang berusia di
atas 60 tahun yang bertempat tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulia 2, Panti Werdha Wisma Mulia, Panti Werdha Santa Anna dan Panti
Sosial Tresna Werdha Usada Mulia 5.
1.3.3. Sampel :
Semua populasi terjangkau yang sesuai kriteria inklusi.
1.4.

Jumlah Sampel

22

Pengambilan sampel untuk penelitian dilakukan secara random.


Dengan menggunakan rumus sampel cross sectional :

Z 2x p x q
n=
d

di mana :
n
Z

: besar sampel
: derivat baku alpha, yang ditetapkan oleh peneliti. Dalam kasus ini

peneliti
menetapkan = 5% sehingga dapat ditemukan Z = 1.96
: proporsi frailty = 0.069
: presisi, yang ditetapkan oleh peneliti. Peneliti menetapkan d = 5%

p
d

n = 1.962 x 0.069 x 0.931 = 98,7 = 99


0,052

Menentukan besar sampel minimal valid


p x n > 5 VALID
p x n = 0,069 x 99 = 6,831 > 5 VALID

Untuk mengantisipasi terjadinya drop out responden, maka untuk


penelitian ini ditambah 10% dari responden yang ada, yaitu :
99 + (10% + 99) = 108,9 = 109 orang

Untuk

lebih

memudahkan

dalam

penghitungan,

menambahkan jumlah responden menjadi 110 orang.

1.5.

Kriteria Responden

1.5.1. Kriteria Inklusi

maka

peneliti

23

Semua lansia yang ada di panti werda di lokasi penelitian dan bersedia untuk
diwawancarai.
1.5.2. Kriteria Eksklusi
Responden yang menolak ikut serta dalam penelitian dengan alasan
gangguan pendengaran atau berbicara, dan memiliki gangguan kejiwaan.
1.6.

Pengumpulan Data dan Teknik Pelaksanaan

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, timbangan dan


pengukur tinggi badan.
Teknik pelaksanaan :
1.6.1. Alokasi Subjek
Subjek yang diteliti adalah lansia yang memenuhi kriteria inklusi.
1.6.2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara serta mengukur
densitas mineral tulang dengan menggunakan quantitative ultrasound.
4.6.3

Teknik Pelaksanaan
4.6.3.1 Mempersiapkan kuesioner dan memperbanyak kuesioner
4.6.3.2 Mengunjungi dan mengobservasi tempat penelitian, memberikan
penjelasan, dan meminta ijin
4.6.3.3 Mewawancarai responden dengan kuesioner dan melakukan
pengukuran dengan alat-alat
4.6.3.4 Memasukkan data, mengolah data, menganalisa data, dan
membuat kesimpulan
4.6.3.5 Menyusun laporan penelitian.

1.7.

Rencana Pengolahan Data

24

Pengolahan data dilakukan dengan komputerisasi menggunakan program pengolah


data SPSS Statistic versi 22.0 dengan langkah langkah sebagai berikut :
1. Editing
Memeriksa adanya kesalahan atau kekurang lengkapan data yang ada
dalam kuesioner.
2. Coding
Memindahkan data dari kuesioner ke dalam bentuk kode agar lebih
mudah dianalisis.
3. Entry data
Memasukkan data ke dalam komputer.

1.8.

Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian dengan
melakukan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih sederhana,
mudah dibaca, dan menggunakan program analisis statistik. Data tersebut
kemudian diolah dan dianalisis. Batas kemaknaan yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah sebesar 95% dan besar penyimpangan yang digunakan
adalah 5%.
Analisis data yang menggunakan program IBM SPSS Statistics versi 22.0.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chi Square dengan tujuan
menganalisis data kategorik dan menilai secara keseluruhan tentang osteoporosis
dan frailty.

BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1

Analisis Univariat

25

5.1.1

Distribusi Responden Menurut Karakteristik


Dari tabel dibawah ini dapat dilihat beberapa karakteristik

responden yang dibahas pada penelitian ini, yaitu: usia, jenis kelamin,
dan pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden
berusia diatas 65 tahun (78,6%), selanjutnya berdasarkan distribusi jenis
kelamin, lebih banyak responden perempuan (50,5%), dan sebagian besar
dari responden tidak menempuh pendidikan formal (38.8%).
Tabel 5.1. Distribusi Responden Menurut Karakteristik
Karakteristik
Usia

Jenis Kelamin

Pendidikan

<65 tahun

22

21.4

65 tahun

81

78.6

Laki-laki

51

49.5

Perempuan

52

50.5

Tidak Sekolah

40

38.8

SD

36

35.0

Sekolah menengah atau lebih

27

26.2

103

100

Total

5.1.2

Distribusi Responden Menurut Densitas Mineral Tulang


Data yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa dari semua

responden yang diteliti terdapat 61.2% responden telah mengalami osteoporosis.


Tabel 5.2. Distribusi Responden Menurut Densitas Mineral Tulang
T-Score

26

Normal

3.9

Osteopenia

36

35.0

Osteoporosis

63

61.2

Total

103

100

5.1.3

Distribusi Responden Menurut Frailty


Data yang diperoleh dari penelitian ini menunujukkan bahwa dari semua

responden yang diteliti terdapat 55 orang lansia (53.4%) yang menderita frailty.
Tabel 5.3. Distribusi Responden Menurut Frailty

5.2

Frailty

Frailty

55

53.4

Pre-frailty

32

31.1

Tidak Frailty

16

15.5

Total

103

100

Analisis Bivariat
5.2.2

Hubungan Karakteristik Responden terhadap Frailty


5.2.1.1 Hubungan Usia terhadap Frailty
Tabel 5.4. Distribusi Usia Menurut Frailty

27

Pre-frailty dan Frailty

Tidak Frailty

Total

<65 tahun

20

22.9

12.5

22

65 tahun

67

77.1

14

87.5

81

Total

87

100

16

100

103

X2 = 0.885

P = 0.347

OR = 0.479

Berdasarkan analisis usia responden dengan frailty, pada responden yang berusia
dibawah 65 tahun, terdapat 22.9% yang mengalami frailty, sementara pada kelompok
responden yang berusia 65 tahun keatas terdapat 77.1% responden yang mengalami
frailty. Hasil tersebut menggambarkan frailty lebih banyak dialami oleh responden yang
berusia 65 tahun keatas.

5.2.1.2 Hubungan Jenis Kelamin terhadap Frailty


Tabel 5.5. Distribusi Jenis Kelamin Menurut Frailty
Pre-frailty dan
Frailty

Tidak Frailty

Laki-laki

39

44.9

12

75

51

Perempuan

48

55.1

25

52

Total

87

100

16

100

103

P = 0.027

X2 = 4.922

Total

OR = 3.7

Berdasarkan analisis jenis kelamin responden dengan frailty, responden laki-laki


yang mengalami frailty didapatkan sebanyak 44.9%, sementara itu, responden
perempuan yang mengalami frailty adalah sebesar 55.1%. Hasil pengolahan data ini
menggambarkan frailty lebih banyak dialami oleh perempuan, selain itu berdasarkan
nilai OR juga dapat dilihat bahwa perempuan lebih berisiko mengalami frailty 3.7 kali
lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.

28

5.2.1.3 Hubungan Tingkat Pendidikan terhadap Frailty


Tabel 5.6. Distribusi Tingkat Pendidikan Menurut Frailty
Pre-frailty dan
Frailty

Tidak Frailty

Total

Tidak Sekolah

36

41.4

25.0

40

SD

29

33.3

43.7

36

Sekolah menengah atau lebih

22

25.3

31.3

27

Total

87

100

16

100

103

X2 = 1.536

P = 0.464

Berdasarkan analisis tingkat pendidikan responden dengan frailty, 41.4%


responden yang tidak sekolah mengalami frailty, lalu responden yang

menempuh

pendidikan hingga sekolah dasar sebesar 33.3%, sementara responden yang menempuh
hingga sekolah menengah atau lebih sebesar 25.3%. Hal ini menggambarkan frailty
lebih banyak dialami oleh kelompok responden yang tingkat pendidikannya rendah.

5.2.1.4 Hubungan Densitas Mineral Tulang terhadap Frailty


Tabel 5.7 Distribusi Densitas Mineral Tulang Menurut Frailty
Normal - Osteopenia

Tidak Frailty

Osteoporosis

Total

15

10

15.9

16

29

Pre-frailty

12

30

20

31.7

32

Frailty

22

55

33

52.4

55

Total

40

100

63

100

103

P = 0.967

X2 = 0.067

Dari analisis densitas mineral tulang terhadap frailty, terdapat 52.4%


responden yang mengalami osteoporosis juga mengalami frailty, diikuti dengan
31.7% responden yang mengalami osteoporosis menunjukkan gejala pre-frailty,
sedangkan 15.9% responden yang mengalami osteoporosis lainnya tidak
mengalami frailty. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden
yang mengalami osteoporosis memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami
frailty.

30

BAB VI
PEMBAHASAN

Pada penelitian yang seharusnya dilakukan terhadap 110 orang responden


pada akhirnya hanya dilakukan terhadap 103 orang responden karena masalah
biaya dan tempat penelitian. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah
jumlah yang hampir sama antara perempuan dan laki-laki, dengan jumlah
responden perempuan 50.5%. Sebagian besar responden (78.6%) berusia di atas
65 tahun. Mayoritas dari responden tidak menempuh pendidikan formal (38.8%).
6.1.

Hubungan antara Karakteristik Responden terhadap Frailty


6.1.1. Usia
Hasil yang didapatkan pada penelitian terhadap 103 lansia di panti lokasi
penelitian adalah mayoritas lansia berusia di atas 65 tahun ke atas yaitu sebanyak
78.6%. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa usia tidak memiliki
hubungan terhadap frailty dengan nilai p = 0.347 (p > ) dengan nilai OR =
0.479. Hasil dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rockwood dan Mitnitski pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa frailty
memiliki hubungan dengan perubahan karakteristik yang terjadi pada seseorang
dan dipengaruhi oleh pertambahan usia.41 Penelitian lain yang dilakukan oleh
Boggins dkk menyatakan adanya peningkatan nilai frailty yang berhubungan
dengan usia terutama lansia di atas 80 tahun. 42 Hasil yang didapatkan dari
penelitian ini tidak sesuai dengan beberapa penelitian di atas, hal ini mungkin
disebabkan karena usia bukan faktor utama penyebab frailty. Hal ini dapat dilihat
dari hasil penelitian bahwa terdapat beberapa responden telah menunjukkan
tanda-tanda frailty walaupun usia mereka masih kurang dari 65 tahun.
Frailty dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ras, gaya hidup,
riwayat fraktur, osteoporosis, sarkopenia, ateroslerosis, diabetes, depresi dan
gangguan kognitif, serta faktor sosial- ekonomi dan pendidikan.19,20 Dari tabel

31

hasil juga dapat terlihat bahwa penyebaran usia responden di panti-panti werdha
yang diteliti kurang merata.
6.1.2. Jenis Kelamin
Hasil dari data penelitian tentang karakteristik responden berdasarkan
jenis kelamin terdapat 49.5% laki-laki (51 orang) dan 50.5% perempuan (52
orang). Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa jenis kelamin
memiliki hubungan yang bermakna terhadap frailty dengan nilai P = 0.027 (P
< ) dan OR = 3.7, yang artinya responden dengan jenis kelamin perempuan
memiliki risiko mengalami frailty 3.692 kali lebih banyak dibandingkan dengan
responden laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Boggins dkk yang menyatakan bahwa perempuan memiliki risiko yang lebih
tinggi terkena frailty dibandingkan laki-laki terutama pada kelompok usia
lansia.42
Penelitian lain juga dilakukan oleh Ensurd dkk menyatakan bahwa wanita
yang telah lanjut usia dan wanita lanjut usia dengan obesitas memiliki risiko
yang cukup tinggi terkena frailty.43 Hasil penelitian Ensurd dkk tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang memperoleh hasil bahwa
dari 23 responden obesitas, 15 responden diantaranya berjenis kelamin
perempuan dan 20 dari responden tersebut menunjukkan gejala frailty. Salah satu
penilaian dari frailty adalah dengan menilai aktivitas dari responden dan dapat
dilihat bahwa perempuan lebih sedikit beraktivitas dibandingkan laki-laki.
Penelitian Morley dkk menyatakan hal yang mendasari frailty lebih
banyak dialami oleh jenis kelamin perempuan adalah karena laki-laki memiliki
kepadatan tulang dan massa otot yang lebih tinggi dibandingkan perempuan,
serta pada laki-laki yang memasuki proses penuaan, penurunan dari massa otot
terjadi lebih lambat dibandingkan dengan perempuan.44 Hal ini mungkin
disebabkan karena perempuan lanjut usia akan mengalami menopause, yang
mengakibatkan perempuan lebih berisiko terkena osteoporosis akibat kekurangan
hormon estrogen yang digunakan untuk pembentukkan tulang.32,37

32

6.1.3

Tingkat Pendidikan

Hasil

distribusi

responden

yang

mengalami

frailty

berdasarkan

karakteristik tingkat pendidikan adalah 41.4% responden yang tidak sekolah,


responden yang menempuh pendidikan hingga sekolah dasar sebesar 33.3%,
sementara responden yang menempuh hingga sekolah menengah atau lebih
sebesar 25.3%. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang
diteliti memiliki tingkat pendidikan yang rendah tidak memiliki hubungan
dengan frailty dengan nilai p = 0.464 (p > ). Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Eggimann dkk yang menunjukkan bahwa
adanya prevalensi frailty yang tinggi di negara-negara yang memiliki tingkat
sosial-ekonomi dan edukasi yang rendah.45 Penelitian Leigh dan Fries pada tahun
2002 juga mengatakan bahwa seseorang yang menempuh pendidikan kurang dari
7 tahun memiliki risiko frailty yang lebih tinggi.45 Ketidaksesuaian hasil
penelitian ini mungkin disebabkan oleh jumlah dan variasi sampel yang kurang.
6.2.

Hubungan Antara Densitas Mineral Tulang dengan Frailty


Analisis densitas mineral tulang terhadap frailty ditemukan responden
dengan osteoporosis yang mengalami frailty sebesar 52.4%, diikuti dengan
31.7% menunjukkan gejala pre-frailty, dan 15.9% tidak mengalami frailty. Hal
ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden yang mengalami
osteoporosis memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami frailty. Namun
berdasarkan penghitungan didapatkan hasil yang kurang bermakna terhadap
frailty dengan nilai p = 0.967 (p > ).
Hasil dari penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan penelitian
menurut Sambrook dkk yang menyatakan bahwa kerapuhan tulang dan jatuh
merupakan faktor determinan terjadinya fraktur sebagai salah satu manifestasi
klinis frailty.47 Selain itu penelitian lain yang dilakukan oleh Villareal dkk juga
menyatakan bahwa risiko tertinggi terjadinya fraktur osteoporosis adalah pada
perempuan lansia, dimana densitas mineral tulang merupakan faktor risiko

33

terberat yang akan terus menurun seiring dengan bertambahnya usia, dan
memberikan penurunan yang progresif dalam frailty yang akhirnya akan
mengganggu kemampuan fungsional tubuh.48 Sternberg dkk melakukan
penelitian dengan memeriksa nilai frailty menggunakan Vulnerable Elders
Survey

(VES-13)

dan

nilai

osteoporosis

menggunakan

Dual

Photon

Absorptiometry dan hasilnya adalah penurunan densitas mineral tulang


didefinisikan sebagai faktor penurunan status frailty.49
Hasil penelitian ini kurang sesuai dengan penelitian-penelitian yang
dilakukan sebelumnya, hal ini mungkin disebabkan karena penilaian frailty juga
dilakukan dengan menilai aktivitas dari lansia yang menjadi responden penelitian
dan hasilnya menunjukkan bahwa lansia di panti tersebut memiliki aktivitas fisik
yang rendah akibat kurangnya fasilitas dan niat untuk beraktivitas. Selain itu
adanya kemungkinan sensitivitas alat yang digunakan dalam penelitian ini
kurang baik dalam menentukkan nilai densitas mineral tulang.

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis hasil penelitian, dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Prevalensi frailty pada responden yang diteliti adalah sebanyak 53.4%.
2. Berdasarkan karakteristik responden yang diteliti, sebagian besar lansia
(78.6%) berumur 65 tahun, perempuan (50.5%), dan tidak menempuh
pendidikan formal (38.8%).
3. Prevalensi nilai densitas mineral tulang pada reponden yang diteliti adalah
osteoporosis (61.2%)

34

4. Dari hubungan frailty dengan variabel-variabel yang diteliti, didapatkan


bahwa:

Jenis kelamin memiliki hubungan dengan frailty secara bermakna


dengan nilai P = 0.027 (P < ) dan OR = 3.7, yang artinya perempuan
memiliki risiko untuk mengalami frailty sebanyak 3.7 kali lebih besar
dibandingkan laki-laki.

Densitas mineral tulang tidak memiliki hubungan dengan frailty


secara bermakna dengan nilai P = 0.967 (P > ), hasil ini tidak
sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya, akan tetapi dari
analisis data tetap dapat terlihat bahwa responden yang mengalami
osteoporosis lebih berisiko mengalami frailty (52.4%).

7.2. Saran
Untuk penelitian-penelitian berikutnya, peneliti mengusulkan beberapa saran,
sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme yang
mendasari hubungan sebab akibat antara: karakteristik (usia, jenis kelamin
dan tingkat pendidikan) dan nilai densitas mineral tulang pada lansia
terhadap frailty dengan responden yang lebih besar dan alat yang lebih
sensitif.
2. Penelitian selanjutnya dilakukan di panti-panti werdha di wilayah lain dengan
populasi yang lebih heterogen.

35

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1.

Topinkova E. Aging, disability and frailty. Ann Nutr Metab. Karger Publishers;
2008;52(Suppl. 1):611.

2.

Pal SK, Katheria V, Hurria A. Evaluating the older patient with cancer:
Understanding frailty and the geriatric assessment. CA Cancer J Clin. Wiley
Online Library; 2010;60(2):12032.

3.

Pembinaan P, (Indonesia) PB, Pendidikan ID, Pustaka B, PN., Bahasa P. Kamus


besar bahasa Indonesia. Balai Pustaka; 1991.

4.

Lang P-O, Michel J-P, Zekry D. Frailty syndrome: a transitional state in a


dynamic process. Gerontology. Karger Publishers; 2009;55(5):53949.

5.

Organization WH. Prevention and management of osteoporosis: report of a WHO


scientific group. World Health Organization; 2003.

6.

Statistik BP. Data Statistik Indonesia: Jumlah Penduduk menurut Kelompok


Umur, Jenis Kelamin, Provinsi, dan Kabupaten/Kota tahun 2005. 2010.

7.

Blaum CS, Xue QL, Michelon E, Semba RD, Fried LP. The association between
obesity and the frailty syndrome in older women: the Womens Health and Aging
Studies. J Am Geriatr Soc. Wiley Online Library; 2005;53(6):92734.

8.

Syddall H, Roberts HC, Evandrou M, Cooper C, Bergman H, Sayer AA.


Prevalence and correlates of frailty among community-dwelling older men and
women: findings from the Hertfordshire Cohort Study. Age Ageing. Br Geriatrics
Soc; 2010;39(2):197203.

9.

Romero-Ortuno R, Walsh CD, Lawlor BA, Kenny RA. A frailty instrument for
primary care: findings from the Survey of Health, Ageing and Retirement in
Europe (SHARE). BMC Geriatr. BioMed Central Ltd; 2010;10(1):57.

10.

Cooper C. Epidemiology of osteoporosis. Osteoporos Int. Springer; 1999;9(8):S2


S8.

11.

Nelson ME. Strong women, strong bones: everything you need to know to
prevent, treat, and beat osteoporosis. Penguin; 2006.

36

12.

Zaviera F, Ghelman B. Osteoporosis: Deteksi Dini, Penanganan dan Terapi


Praktis. Yogyakarta, Kata Hati. 2007;

13.

Burge R, DawsonHughes B, Solomon DH, Wong JB, King A, Tosteson A.


Incidence and Economic Burden of OsteoporosisRelated Fractures in the United
States, 20052025. J bone Miner Res. Wiley Online Library; 2007;22(3):46575.

14.

Kai MC, Anderson M, Lau E. Exercise interventions: defusing the worlds


osteoporosis time bomb. Bull World Health Organ. SciELO Public Health;
2003;81(11):82730.

15.

Kleerekoper M. Osteoporosis prevention and therapy: preserving and building


strength through bone quality. Osteoporos Int. Springer; 2006;17(12):170715.

16.

Bono CM, Einhorn TA. Overview of osteoporosis: pathophysiology and


determinants of bone strength. The Aging Spine. Springer; 2005. p. 814.

17.

Fulop T, Larbi A, Witkowski JM, McElhaney J, Loeb M, Mitnitski A, dkk. Aging,


frailty and age-related diseases. Biogerontology. Springer; 2010;11(5):54763.

18.

Fried LP, Tangen CM, Walston J, Newman AB, Hirsch C, Gottdiener J, dkk.
Frailty in older adults evidence for a phenotype. Journals Gerontol Ser A Biol Sci
Med Sci. Oxford University Press; 2001;56(3):M146M157.

19.

Rockwood K, Howlett SE, MacKnight C, Beattie BL, Bergman H, Hbert R, dkk.


Prevalence, attributes, and outcomes of fitness and frailty in community-dwelling
older adults: report from the Canadian study of health and aging. Journals
Gerontol Ser A Biol Sci Med Sci. Oxford University Press; 2004;59(12):13107.

20.

Ottenbacher KJ, Graham JE, Al Snih S, Raji M, Samper-Ternent R, Ostir G V,


dkk. Mexican Americans and frailty: findings from the Hispanic established
populations epidemiologic studies of the elderly. Am J Public Health. American
Public Health Association; 2009;99(4):6739.

21.

Bird TD, Miller BL. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL, dkk. eds. Harrisons Principles of Internal Medicine Vol I.
United States of America, USA: The McGraw-Hill Companies; 2008.

22.

Darmawan J., Miscellaneous Condition: Osteoporosis. In Rheumatic Condition in


The Northern Part of Central Java. An Epidemiological Survey. Semarang. 1989.
Thesis: 173-8.

37

23.

Roeshadi, D., Osteoporosis ditinjau dari segi ativitas seluler, dalam Naskah
Lengkap Simposium Osteoporosis Up-Date. Denpasar, Bali. 7 Nopember 1994, 113.

24.

Lane NE. Epidemiology, etiology, and diagnosis of osteoporosis. Am J Obstet


Gynecol. Elsevier; 2006;194(2):S3S11.

25.

Duchman RL, Berg KE. The implications of genetics and physical activity on the
incidence of osteoporosis in pre-and postmenopausal women: A review. Strength
Cond J. LWW; 2006;28(2):2632.

26.

Davis MP, Srivastava M. Demographics, assessment and management of pain in


the elderly. Drugs Aging. Springer; 2003;20(1):2357.

27.

Kasturi GC, Cifu DX, Adler RA. A review of osteoporosis: Part I. Impact,
pathophysiology, diagnosis and unique role of the physiatrist. PM&R. Elsevier;
2009;1(3):25460.

28.

Faridin. Prevalensi dan beberapa faktor risiko osteoporosis di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Makassar. 2001. Thesis: 1-3.

29.

Sennang AN, Mutmainnah P. Hardjoeno, 2006. Analisis Kadar Osteokalsin


Serum Osteopenia dan Osteoporosis. Indones J Clin Pathol Med Lab. 4952.

30.

Wirakusumah ES. Mencegah Osteoporosis. Niaga Swadaya; 2007.

31.

Sinnathamby H. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Terhadap


Osteoporosis Dan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause Di Kecamatan
Medan Selayang II. 2010;

32.

Pemerintah PUPA, Provinsi PD, Daerah P, Tugas F, Organisasi S, Kerja T.


Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1142/Menkes/SK/XII/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Osteoporosis Menteri
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2008

33.

New SA, Bolton-Smith C, Grubb DA, Reid DM. Nutritional influences on bone
mineral density: a cross-sectional study in premenopausal women. Am J Clin
Nutr. Am Soc Nutrition; 1997;65(6):18319.

34.

Berg KM, Kunins H V, Jackson JL, Nahvi S, Chaudhry A, Harris Jr KA, dkk.
Association between alcohol consumption and both osteoporotic fracture and
bone density. Am J Med. Elsevier; 2008;121(5):40618.

38

35.

Wee J, Sng BYJ, Shen L, Lim CT, Singh G, De S Das. The relationship between
body mass index and physical activity levels in relation to bone mineral density in
premenopausal and postmenopausal women. Arch Osteoporos. Springer;
2013;8(1-2):18.

36.

Sunyecz JA. The use of calcium and vitamin D in the management of


osteoporosis. Ther Clin Risk Manag. Dove Press; 2008;4(4):827.

37.

Hazzard WR, Brerman EL, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB. Principles of
geriatric medicine and gerontology. McGraw-Hill New York; 1994.

38.

Drake MT, Murad MH, Mauck KF, Lane MA, Undavalli C, Elraiyah T, dkk. Risk
factors for low bone mass-related fractures in men: a systematic review and metaanalysis. J Clin Endocrinol Metab. Endocrine Society Chevy Chase, MD;
2012;97(6):186170.

39.

Kamienski M, Tate D, Vega CPTM. The silent thief: Diagnosis and management
of osteoporosis. Orthop Nurs. LWW; 2011;30(3):16271.

40.

Armas LAG, Recker RR. Pathophysiology of osteoporosis: new mechanistic


insights. Endocrinol Metab Clin North Am. Elsevier; 2012;41(3):47586.

41.

Rockwood K, Mitnitski A. Frailty in relation to the accumulation of deficits.


Journals Gerontol Ser A Biol Sci Med Sci. Oxford University Press;
2007;62(7):7227.

42.

Goggins WB, Woo J, Sham A, Ho SC. Frailty index as a measure of biological


age in a Chinese population. Journals Gerontol Ser A Biol Sci Med Sci. Oxford
University Press; 2005;60(8):104651.

43.

Ensrud KE, Ewing SK, Taylor BC, Fink HA, Stone KL, Cauley JA, dkk. Frailty
and risk of falls, fracture, and mortality in older women: the study of osteoporotic
fractures. Journals Gerontol Ser A Biol Sci Med Sci. Oxford University Press;
2007;62(7):74451.

44.

Morley JE, Kim MJ, Haren MT, Kevorkian R, Banks WA. Frailty and the aging
male. Aging Male. Informa UK Ltd UK; 2005;8(3-4):13540.

45.

Santos-Eggimann B, Cunoud P, Spagnoli J, Junod J. Prevalence of frailty in


middle-aged and older community-dwelling Europeans living in 10 countries.
Journals Gerontol Ser A Biol Sci Med Sci. Oxford University Press;
2009;64(6):67581.

39

46.

Leigh JP, Fries JF. Frailty and education in the hispanic health and nutrition
examination survey. J Health Care Poor Underserved. The Johns Hopkins
University Press; 2002;13(1):11227.

47.

Sambrook PN, Cameron ID, Chen JS, Cumming RG, Lord SR, March LM, dkk.
Influence of fall related factors and bone strength on fracture risk in the frail
elderly. Osteoporos Int. Springer; 2007;18(5):60310.

48.

Villareal DT, Binder EF, Williams DB, Schechtman KB, Yarasheski KE, Kohrt
WM. Bone mineral density response to estrogen replacement in frail elderly
women: a randomized controlled trial. Jama. American Medical Association;
2001;286(7):81520.

49.

Sternberg SA, Levin R, Dkaidek S, Edelman S, Resnick T, Menczel J. Frailty and


osteoporosis in older womena prospective study. Osteoporos Int. Springer;

Anda mungkin juga menyukai