Bedah Iskandar Japardi38
Bedah Iskandar Japardi38
Dr ISKANDAR JAPARDI
Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara
I.
PENDAHULUAN
II.
INSIDENSI
III.
ETIOLOGI
IV.
Patogenesa
Sejumlah patogenesa penyakit alzheimer yaitu:
1. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini
diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis
pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita
demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal
Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial
early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal
log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus
pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome
mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun
2.
3.
4.
5.
6. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer
mempunyai peranan yang sangat penting seperti:
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik
neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak
pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil
transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan
biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik
kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis
superior, nukleus basalis, hipokampus.
Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu
ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer,
dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan
cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin
pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya
daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai
patogenesa penyakit alzheimer
b. Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun
pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian
dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama
noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal
noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak
penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada
presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988),
melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan
ante-mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas
neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan
perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih
kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi
regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5
hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer.
Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert.
Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi,
pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada
posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.
Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya
neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine.
Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk
deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin,
sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita
alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan
frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal
danmenurun pada nukleus basalis dari meynert.
V.
GEJALA KLNIK
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahanlahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan
penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit
alzheimer yaitu:
o
VI.
and
frontal
KRITERIA DIAGNOSA
VII.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi
neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering
kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks
motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937)
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen
abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini
VIII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena
penyebab dan patofisiologis masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan
suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dankeluarga.
Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang
menguntungkan.
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk
pengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer
didapatkan penurunan kadar asetilkolin.
Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki
memori danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti
menatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk
penampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer.
2. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan
penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate
(75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada
nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari
selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi
kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
3. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki
fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian
4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang
bermakna.
4. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan
kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang
merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2
mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan
untuk memperbaiki fungsi kognitif
5. Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi,
halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4
minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer
menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline
25-100 mg/hari)
6. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria
dengan bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa
ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan,
disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas
kerusakan fungsi kognitif.
IX.
PROGNOSA
X.
KESIMPULAN
Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berasarkan gejalagejala klinik tanpa dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti neuropatologi,
neuropsikologis, MRI, SPECT, PET. Sampai saat ini penyebab yang pasti belum
diketahui, tetapi faktor genetik sangat menentukan (riwayat keluarga),
sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus ekspresi genetik.
Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan, hanya
dilakukan secara empiris, simptomatik dan suportif untuk menyenagkan
penderita atau keluarganya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Blass J et al. Thiamin and alzheimer disease. Arch. Neurol. 1988(45): 833-835
BR Reed. Alzheimer disease: age antibodi onset and SPECT pattern of reginal
cerebral blood flow, Archieves of Neurology, 1990(47):628-633
Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2nd ed. Butter worth: 43-93
DL Spark. Aging and alzheimer disease: alteredd cortical serotogenic binding. Arch.
Neurology, 1989(46): 138-145.
E.Mohr. Clonidine treatment of alzheimer disease. Archive of Neurology, 1989(46):
376-378
Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other dementia in
population survey. Arc.Neurol. 1992(49):927-932
J.C. Morries. The consortium to establish a registry for alzheimer disease (CERALD)
part I: clinical and neuropsycologycal assessment of ADALAH.
Neurology, 1989 (39):1159-1105
Kathleen A. Neuropsycological assessment of alzheimer disease. Neurology 1997
(49): S11-S13
Katzman RMD. Principle of geriatric neurology. Philadelphia : FA Davis, 1992:207243
McKhan Guy et al. Clinical diagnosis of alzheimer disease. Report of the NINCDSADRDA Work group neurology, Neurology 1984(34):939-943
Michael Gold. Plasma and red blood a cell thiamin defisiency in patiens with
dementia of type alzheimer disease. Arc Neurol. 1995(52):10811086
Morh Gautier. Guide to clinical neurology 1st ed. New York: Churchill, 1995:765-771
Susanne S. Neuropatologic assessment of alzheimer disease. Neurology,
1977(49)S14-S16
Thomson and McDonald. Alzheimer disease, in diseaseof nervous system clinical
neurobiology. Vol.II. Philadelphia : WB Sounders, 1992:795-801
William J. Their use in diagnosis dementia. Gerlatrica 1991, 49(2): 28-35
11