Anda di halaman 1dari 14

TOTAL QUALITY MANAJEMEN

TUNA NETRA

ARFIANA PRASETYA

D0109009

AMALIA NUR FALAHIYATI

D0109005

NUR INTAN TIFANI

D0109069

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak
berfungsinya indera penglihatan. Di Indonesia, kaum tunanetra secara stereotip digambarkan
sebagai seseorang yang tidak berdaya, tidak mandiri, dan menyedihkan. Sehingga terbentuk
pandangan dikalangan

masyarakat bahwa para kaum tunanetra itu patut dikasihani, selalu

membutuhkan perlindungan dan bantuan. Selama ini sikap dan pandangan masyarakat yang
negatif itu menyebabkan para penyandang tunanetra kurang percaya diri, menjadi rendah diri,
minder dan merasa tidak berguna. Hal ini akan berakibat pada aktualisasi dan pengembangan
potensi kepribadian menjadi terhambat, sehingga penyandang tunanetra menjadi pesimis dalam
menghadapi tantangan, takut dan khawatir dalam menyampaikan gagasan, ragu-ragu dalam
menentukan pilihan dan memiliki sedikit keinginan untuk bersaing dengan orang lain.
Seorang tunanetra, dalam kondisinya yang khusus atau luar biasa dengan berbagai
kesulitannya,

sering

menghadapi

berbagai

masalah

karena

hambatan

dalam

fungsi

penglihatannya.
Menurut Sukini Pradopo (1976) terdapat beberapa gambaran sifat penyandang tunanetra
diantaranya ialah ragu-ragu, rendah diri, dan curiga pada orang lain. Sedangkan Sommer (dalam
Somantri, 2005) mengatakan bahwa penyandang tunanetra cenderung memiliki sifat-sifat takut
yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain,
serta tidak mengakui kecacatannya.
Hasil penelitian El-Gilany dan kawan-kawan (2002) terhadap 113 orang dengan
gangguan penglihatan di Mesir menunjukkan bahwa meskipun 90,3% sampel mempersepsikan
masyarakat sebagai suportif dan memuaskan, namun mayoritas dari sampel memandang diri
mereka sebagai tidak mampu/disable (71,7%), meragukan kemampuan diri sendiri (78,8%), dan
tidak puas dengan kehidupan (88,5%).

Sedangkan penelitian Rosa (1993) menunjukkan bahwa usia terjadinya kebutaan atau
gangguan penglihatan memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan afektif
individu. Berdasarkan pengamatannya, seseorang yang buta sejak lahir tetap merasa bahagia
dengan ketunanetraannya karena mereka tidak merasa kehilangan apapun seperti halnya mereka
pun tidak punya harapan tentang apa yang bisa diperoleh dengan melihat. Seseorang yang buta
sejak lahir, hampir secara otomatis menerima keadaan mereka. Sebaliknya dengan orang yang
mengalami kebutaan setelah pernah mampu melihat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kehidupan Kaum Tunanetra dalam Masyarakat


Keterampilan dalam kegiatan kehidupan sehari-hari merupakan kegiatan yang
tidak bisa lepas bagi setiap orang. Kegiatan ini dilakukan secara rutinitas dari bangun di
pagi hari sampai tidur lagi di malam hari. Bagi orang awas, kegiatan ini tidak sulit
dilakukan. Melalui penglihatannya orang awas dapat meniru/mencontoh gerakan-gerakan
orang di sekitarnya yang sedang melakukan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa
mengalami hambatan. Namun bagi penyandang cacat netra, hal ini merupakan kegiatan
yang tidak mudah dan seringkali mereka mengalami hambatan. Gangguan pada
penglihatannya menyebabkan mereka tidak dapat melihat secara jelas, detail, dan
langsung apa yang sedang dilakukan oleh orang yang berada di sekitarnya, sehingga
mereka tidak dapat menirukan atau mencontohnya. Namun hal ini tidak menjadi masalah
utama yang dihadapi oleh penyandang tuna netra yang kami temui. Didalam hal ini
misalnya Bapak Widodo, beliau adalah penyandang tuna netra yang dalam kegiatan
sehari-harinya beliau tetap bekerja seperti orang normal pada umumnya. Pekerjaan yang
beliau lakukan adalah berjualan sapu rumah tangga dan kemoceng selain itu kegiatan
yang sekaligus juga menjadi pekerjaan bagi beliau adalah menerima pijat untuk umum.
Bapak Widodo tersebut menjajajkan dagangannya keliling kampung, namun untuk jasa
pijat beliau melakukannya dirumah (lebih seringnya) tetapi ketika ada orang yang
menginginkannya untuk mendatangi rumah orang yang membutuhkan jasanya dia selalu
siap untuk datang. Dengan kecacatan yang dialaminya dia mampu berkarya sehingga
menghasilkan karya yang bermanfaat untuk dirinya sendiri, keluarganya dan orang lain
yang membutuhkannya.

Kegiatan yang setiap hari saya lakukan ya kaya gini mbak, pagi hari saya berjualan
sampai sore hari terkadang, kemudian setelah selesai saya berjualan kegiatan yang saya
lakukan membuka pijat refleksi. Atau terkadang saya memenuhi undangan untuk
melakukan kegiatan orkes keroncong

(wawancara, 17 april 2012)

Contoh lain dari penyandang tuna netra adalah Bayu. Bayu merupakan siswa dari
SLB/A-YKAB, dengan keterbatasannya, dia tetap semangat untuk melakukan kegiatan
seperti siswa normal lainnya. Kegiatan yang dilakukannya adalah belajar di sekolah,
kemudian setelah pulang dari sekolah dia mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang ada di
sekolahnya tersebut. Kegiatan tersebut dialakukannya setiap hari. Tanpa rasa minder pun
dia juga tetap bergaul di dalam masyarakat normal pada umumnya. Ini menunjukkan
bahwa dengan keterbatasan yang dimilikinya tidak membatasi ruang geraknya untuk
beraktifitas layaknya orang normal.
Kegiatan yang saya lakukan sehari-hari bersekolah seperti anak-anak normal lainnya.
Terkadang setelah pulang sekolah saya sering bantu-bantu membersihkan sekolah.
Disamping itu saya juga mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang ada di dalam yayasan
ini, misal catur
(wawancara, 19 April 2012)
Selain itu, ada pula penyandang tuna netra bernama mas Ari, dia adalah penyandang tuna
netra yang merupakan santri dari pondok pesantren Al-Ihsan. Kegiatan yang
dilakukannya sehari-hari sama dengan kegiatan yang dilakukan orang normal pada
umumnya, hanya yang membedakan adalah keterbatasannya dalam melihat. Dia mampu
membaca Al-Quran namun menggunakan huruf Braile. Disamping itu dia mampu dalam
hal teknologi, yaitu mengoperasikan computer menggunakan audio visual khusus untuk
penyandang tuna netra. Dalam kehidupan masyarakat, dia dapat bersosialisasi dengan
baik dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya meskipun dia memiliki keterbatasan.
Dari tiga contoh penyandang tuna netra tersebut, kesemuaan dari mereka tetap melakukan
kegiatan sehari-hari seperti yang dilakukan oleh orang normal pada umumnya, yang
membedakan mereka hanyalah kemampuan melihat yang terbatas. Dalam pergaulan di
lingkungan masyarakat pun mereka dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan
masyarakat yang ada. Dalam hal ini, tersirat tanggungjawab pemerintah terhadap para
penyandang tuna netra dewasa maupun anak-anak yaitu mengenai daya tanggap tentang
kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan serta pengakuan hak mereka.

Setiap hari kegiatan saya tidak menentu, terkadang saya membuka praktek pijat,
kegiatan yang lain ya bantu-bantu saja di yayasan ini. Yang jelas setiap akhir minggu saya
mengajar di TPA, untuk mengajar penyandang tuna netra juga membaca Al-Quran
menggunakan Al-Quran Braille.
(wawancara, 25 April 2012)
B. Daya Tanggap Pemerintah
Daya tanggap pemerintah terhadap kesejahteraan, kebahagiaan, dan pemenuhan kebutuha
mereka sudah cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan pemberian bantuan-bantuan khusus
untuk kesejahteran para penyandang tuna netra, bantuan tersebut meliputi bantuan bahan
makanan pokok, seperti beras, kemudian alat-alat bantu penunjang pendidikan dan
pelatihan bagi mereka.
Menurut penyandang tuna netra itu sendiri, daya tanggap pemerintah dirasa masih
kurang, seperti pernyataan Pak Widodo berikut :
Sebenarnya menurut saya pemerintah telah memberikan program-program khusus untuk
kita (penyandang tuna netra) namun realisasi dari program tersebut yang masih belum
menyentuh kita sepenuhnya
(wawancara, 17 April 2012)

Sedangkan pernyataan yang diungkapkan dari perwakilan pihak pemerintah itu


sendiri, Pak Triman (kepala bagian kesejahteraan sosial) menuturkan :
Kita sudah memberikan bantuan-bantuan khusus yang diperlukan untuk para
penyandang tuna netra. Bantuan khusus itu berupa bahan makanan pokok, program
kesehatan, dan prigram pendidikan. Semua tersalurkan dengan baik.
(wawancara, 10 Mei 2012)

C. Responsibilitas Pemerintah

Responsibilitas pemerintah terhadap kelompok tuna netra ditunjukan dengan


dikeluarkannya UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Lembaran
Daerah Kota Surakarta Tahun 2008 Nomor 2, selain itu Pemerintah Kota Surakarta juga
mengeluarkan Perda kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan difable
yang berupaya untuk melindungi keberadaan mereka di masyarakat.
Pemerintah telah memberikan bantuan, mas tapi bantuan itu dirasa masih sangat kurang
untuk memenuhi kebutuhan kami. Misal bantuan dalam bidang kesehatan pemerintah
memberikan program Jamkesmas, namun saya belum bisa mengakses program tersebut
dengan baik alsannya mungkin masih terkendala dengan keadaan fisik saya yang tidak
seperti orang normal lainnya. Orang-orang seperti saya ini justru terkadang disingkarkan
karena orang normal pada umumnya lebih diutamakan.
(wawancara, 17 April 2012)

D. Akuntabilitas Pemerintah
Akuntabilitas pemerintah dalam rangka berusaha untuk mendudukkan hak-hak
mereka setara dengan kelompok lain dinilai cukup berhasil dengan kenyataannya bahwa
para kaum difable, khususnya tuna netra juga diberikan kesempatan bekerja dan
menjalankan aktivitas layaknya masyarakat normal yang lain. Tidak sedikit tuna netra
yang bekerja menjadi PNS, selain itu, sekarang ini pemerintah melalui Dinas Sosial telah
bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan milik Negara maupun milik Swasta agar
mempekerjakan para kaum difable sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Pemerintah mengharuskan perusahaan memiliki beberapa persen karyawan dari kaum
difable yang terdapat di dalam Perda Nomor 2 Tahun 2008.
Hal ini dikatakan oleh perwakilan bagian kesejahteraan umum Dinas Sosial, Pak
Triman :

Di dalam perda No.2 tahun 2008, dijelaskan bahwa disetiap perusahaan yang berdiri
dikota Surakarta diharuskan untuk memiliki minimal 1 orang pegawai tuna netra. Mereka
(penyandang tuna netra) diberikan kesempatan bekerja dan menjalankan aktivitas
layaknya masyarakat normal yang lain. Tidak sedikit tuna netra yang bekerja menjadi
PNS, selain itu saat ini pemerintah melalui Dinsos telah bekerjasama dengan perusahaanperusahaan swasta dengan sistem CSR

(wawancara, 10 Mei 2012)


Sedangkan pernyataan berbeda diungkapkan oleh penyandang tuna netra, yaitu
Mas Ari :
Saya tidak merasakan memperoleh hak-hak yang setara dengan orang normal lainnya.
Karena dari pengalaman saya sendiri, saya pernah melamar di suatu perusahaan swasta
yang memang menyebutkan adanya penerimaan diffable (khusunya penyandang tuna
netra) dalam perusahaan tersebut, namun pada kenyataannya perusahaan tersebut belum
dapat menerima kaum diffable (termasuk penyandang tuna netra).
(wawancara, 25 Mei 2012)
E. Kualitas Pelayanan Pemerintah terhadap Tunanetra
Kualitas pelayanan pemerintah dalam melayani kaum tuna netra sama seperti
mereka melayani masyarakat normal. Pemerintah sama sekali tidak membedakan
pelayanan mereka. Misalnya dalam hal kesehatan, para penyandang tuna netra juga
berhak mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah sama seperti orang normal.
Mereka juga berhak mendapatkan dan mengikuti PKMS bagi warga kota Surakarta.
Selain itu, mereka mendapat jaminan kesehatan khusus yang diberikan bagi kaum
difable.
Pemerintah telah berusaha memberikan pelayanan yang maksimal kepada penyandang
tuna netra ini, pelayanan maksimal itu berupa bantuan dalam bidang kesehatan,
pendidikan, dan pangan. Dalam bidang kesehatan pemerintah memberikan bantuan
berupa program kesehatan JAMKESMAS dan PKMS untuk penyandang tuna netra ini,
mereka dapat menggunakan program ini untuk layanan kesehatan mereka. Kemudian
dalam bidang pendidikan, pemerintah memberikan program bantuan melalui yayasan
anak berkebutuhan khusus (dalam hal ini, tuna netra) memberikan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan yang sama dengan anak normal lainnya.
(wawancara Dinsos, 10 Mei 2012)

Sedangkan pernyataan yang diungkapkan salah seorang tuna netra terkait dengan
Kualitas Pelayanan ini :
Pemerintah memang telah memberikan bantuan,mas tapi bantuan itu belum seluruhnya
menyentuh kita (penyandang tuna netra). Misal dalam bidang kesehatan, ada program
jamkesmas, namun itu pun tidak seluruhnya saya gunakan karena ketika saya akan
menggunakan program kesehatan tersebut seperti dinomor duakan oleh orang normal
lainnya. Itu disebabkan karena prosesnya yang berbelit
(wawancara, 2 Mei 2012)
F. Diskresi Pemerintah
Diskresi pemerintah terhadap kaum tuna netra sama saja seperti kaum normal.
Pemerintah dan hukum tidak membedakan mereka karena kekurangan mereka. Apabila
para kaum tuna netra melakukan tindakan criminal, maka pemerintah melalui badan
hukum akan memprosesnya dengan semua aturan hukum yang telah berlaku. Hal yang
sama akan dilakukan juga dengan orang normal lainnya. Selain itu, apabila mereka
membutuhkan bantuan pemerintah dalam hal dana maupun pemberdayaan keterampilan,
maka pemerintah akan mengupayakan dan memberikan pelayanan untuk memenuhi
kebutuhan mereka melalui panti-panti yang dikelola oleh Dinas sosial tentunya dengan
prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan. Kemudian pemerintah juga telah bersikap adil,
bentuk sikap adil tersebut adalah dengan membebaskan penyandang tuna netra tersebut
untuk melakukan kegiatan yang sifatnya sama dengan yang dilakukan orang normal pada
umumnya.
Tidak ada pembedaan antara penyandang tuna netra dengan orang normal biasa dalam
memperoleh kesejahteraan untuk hidup.
(Wawancara Dinsos, 10 Mei 2012)
Sedangkan pernyataan berbeda diungkapkan oleh salah seorang penyandang tuna
netra, yaitu Pak Widodo, menguraikan bahwa :
Saya merasakan masih ada perbedaan antara kita (penyandang tuna netra) dengan orang
normal lainnya. Dalam hal ini yang saya rasakan adalah tentang layanan kesehatannya.
Dalam program layanan kesehatan diperuntukkan untuk seluruh masyarakat yang ada,
namun bagi kita pelayanan untuk penyandang tuna netra cenderung berbelit, padahal
meraka mengetahui tentang adanya keterbatasan kita. Berbelit nya itu seperti kita tidak

langsung memperoleh layanan kesehatan di tempat-tempat kesehatan yang ditujukan,


namun harus melengkapi keterangan dari RT atau kelurahan setempat.
(wawancara 17 April 2012)
G. Bantuan dari Pemerintah dan Pihak Swasta
Bantuan pemerintah terhadap kesejahteran, kebahagiaan, dan pemenuhan
kebutuhan mereka sudah cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan pemberian bantuanbantuan untuk kesejahteran para penyandang tuna netra, bantuan tersebut meliputi
bantuan bahan makanan pokok, seperti beras, kemudian alat-alat bantu

penunjang

pendidikan dan pelatihan bagi mereka. Pemerintah juga memberikan bantuan khusus
kepada kaum tunanetra. Bantuan khusus tersebut merupakan bantuan berupa santunan
uang bagi tunanetra yang masih bersekolah berupa beasiswa khusus bagi kaum tunanetra,
dan bantuan berupa uang tunai apabila ada kebijakan tertentu dari pemerintah yang
besarnya dan kurun waktunya tidak tentu.
Bagian kesejahteraan umum dinas sosial, mengatakan :
Kita memberikan bantuan secara maksimal kepada penyandang tuna netra untuk dapat
hidup layak seperti orang normal lainnya.
(wawancara, 10 Mei 2012)
Pemerintah telah berkerjasama dengan pihak swasta untuk memberdayakan kaum
tunanetra dengan cara memberikan kebijakan yang mengikat perusahaan swasta untuk
mempekerjakan kaum tuna netra. Jadi, dalam perusahaan tersebut harus ada kaum
tunanetra yang bekerja sesuai dengan ketrampilan mereka. Pemerintah juga berperan
dalam membekali keterampilan untuk mereka agar dapat mampu berpenghasilan dan
mandiri.
Selain itu

Bapak Triman, selaku kepala bagian umum kesejahteraan juga

menyatakan bahwa :
Kami selaku pihak pemerintah telah melakukan kerjasama dengan pihak swasta melalui
program CSR. Jadi didalam suatu perusahaan, saat ini terdapat minimal 1 penyandang
tuna netra untuk bekerja pada perusahaan tersebut.
(wawancara, 10 Mei 2012)

H. Kendala yang Dihadapi Pemerintah


Pemerintah dalam menyikapi permasalahan dalam menangani permasalahan
sosial, termasuk permasalahan tuna netra, seharusnya ditangani secara bersih. Maksudnya
adalah setiap bantuan yang sudah dianggarkan harus sesuai target yang sudah direncanakan
sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh pihak Pemerintah. Namun, pada faktanya, tidak semua yayasan-yayasan
maupun para tuna netra itu sendiri tercakup oleh Pemerintah. Bantuan Langsung Tunai yang
dicanangkan oleh pemerintah dengan target masyarakat miskin pun ternyata tidak merata,
bahkan untuk kaum difabel yang tergolong tidak mampu. Selain itu, diperlukan juga
kesetaraan pelayanan publik terhadap kelompok tuna netra. Mulai dari tingkat pendidikan,
kesehatan, hingga menjurus ke ranah hukum. Karena memang sulit untuk merubah
paradigma masyarakat yang terkadang masih menganggap sebelah mata, kaum difabel,
terutama kelompok tuna netra.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh bagian kesejahteraan umum Dinas Sosial :
Penanganan yang kita berikan kepada penyandang tuna netra ini sudah maksimal namun
yang menjadi kendala adalah, sulitnya mengubah mindset dan paradigm darri masyarakat
untuk dapat menerima mereka kaum difabel (khususnya, pemyandang tuna netra) untuk
bergabung di dalam kehidupan masyarakat normal pada umumnya
(wawancara, 10 Mei 2012)

Maka dari itu, untuk menghindari segala bentuk pandangan masyarakat yang masih
menganggap sebelah mata para kaum tuna netra, Pemerintah kota Surakarta, dalam hal ini Dinas
Sosial dan tenaga Kerja, dengan segala upayanya berusaha untuk menyetarakan hak dan
kewajiban para kaum difabel, khususnya kaum tuna netra. Mulai dari membuat Peraturan Daerah
Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 mengenai kesetaraan difabel dan melaksanakan Hal-hal
yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan Sosial. Di
dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tersebut, dijelaskan salah satunya bahwa di setiap
perusahaan yang berdiri di Kota Surakarta, diharuskan untuk memiliki minimal satu orang
pegawai difabel. Seperti contoh, Dinas Sosial telah bekerja sama dengan pihak Mall Paragon

yang memperkerjakan tuna rungu bicara. Selain itu, Dinas Sosial juga memberikan bantuan
kepada salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) yang digabungkan dengan yayasan tuna netra
berupa barang-barang sembako untuk keperluan siswa yang menginap di asramanya. Hal
tersebut merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan Pemerintah dalam menangani salah
satu permasalahan publik walaupun secara kertas, implementasi yang dilakukan masih terbilang
kurang. Diperlukan juga peranan masyarakat untuk meningkatkan kesetaraan sosial dalam
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran
penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang normal. Mereka
memiliki keterbatasan untuk melakukan berbagai aktivitas yang membutuhkan bantuan
penglihatan seperti menonton televisi, membaca huruf atau tanda visual, serta hal lainnya
yang berkenaan dengan penglihatan. Akibat dari ketunanetraan, secara kognitif pengenalan
atau pengertian terhadap dunia luar penyandang tuna netra tidak dapat diperoleh secara

lengkap dan utuh. Sehingga perkembangan kognitif penyandang tunanetra cenderung


terhambat dibandingkan orang normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan
kognitif tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau kemampuan inteligensinya, tetapi
juga dengan kemampuan indera penglihatannya. Dari segi motorik, pada penyandang
tunanetra mungkin fungsi sistem neuromuskularnya tidak bermasalah tetapi fungsi psikisnya
kurang mendukung sehingga menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya.
Secara fisik, penyandang tunanetra mempunyai ciri tersendiri, diantaranya yaitu: berjalan
dengan posisi tegak, kaku, lamban, dan penuh kehati-hatian dimana tangan mereka selalu
berada di depan dan sedikit tersendat pada saat berjalan. Dari segi perkembangan emosi,
penyandang tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan orang yang
normal. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra
dalam proses belajar. Penyandang tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar untuk
mencoba menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak
dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola
emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
diri sendiri maupun lingkungannya. Dari segi perkembangan emosi, penyandang tunanetra
akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan orang-orang yang normal.
Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penyandang tunanetra
dalam proses belajar. Hal tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan
sosial yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap masyarakat
yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, sikap tak acuh,
ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya kesempatan bagi penyandang tuan netra
untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima merupakan kecenderungan
penyandang tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi
terhambat. Jadi, perkembangan sosial

penyandang tunanetra sangat tergantung pada

bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap


penyandang tuna netra itu sendiri. Departemen Sosial yang merupakan lembaga pemerintah
yang fungsi utamanya menjalankan pembangunan kesejahteraan sosial telah berperan aktif
dalam pelayanan sosial untuk penyandang tuna netra dengan memberikan bantuan khusus
berupa alat-alat pendidikan bagi anak-anak penyandang tuna netra dan alat pelatihan bagi

penyandang tuna netra dewasa dan tidak membedakan pelayanan yang diperoleh dari
pemerintah dengan orang normal pada umumnya.
B. SARAN
Sangatlah penting bahwa orang tunanetra sendiri memahami, bukan hanya secara
intelektual, tetapi juga secara emosional, bahwa dia benar-benar dapat mandiri dan
swasembada. Tidaklah sulit bagi seorang penyandang tunanetra untuk memahami kebenaran
ini secara intelektual. Sering kali diperlukan keahlian seorang pembimbing untuk membantu
seorang tunanetra memahami secara emosional bahwa dia dapat mandiri dan swasembada.
Diperlukan rehabilitasi yang secara efektif melaksanakan program pendidikan/latihan, ini
sangat penting, pertama-tama mereka sendiri harus memahami bahwa sikap masyarakat yang
tidak tepat terhadap ketunanetraan, bukan ketunanetraannya itu sendiri, yang merupakan
penyebab permasalahan yang sesungguhnya, yang harus diatasi melalui pendidikan/latihan
yang tepat. Program pendidikan/latihan yang baik harus merupakan sebuah "pabrik pencetak
sikap". Penyandang tuna netra itu perlu dibimbing ke arah pemikiran dan perasaan yang lebih
sehat dan lebih konstruktif serta menanamkan konsep bahwa penyandang tunanetra pun
dapat memberikan atau melakukan sesuatu untuk membantu orang lain. Dia dapat lebih
memacu kemajuan dirinya dengan merasakan kepuasan diri karena dapat berbuat sesuatu
yang bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, membiasakan penyandang tuna netra melibatkan
diri dalam kegiatan sosial di tempat-tempat umum, misalnya berbelanja, menonton teater
atau pementasan musik, mengunjungi pameran, mengikuti turnamen catur yang
diselenggarakan bagi umum, dll. Tujuan dari semua kegiatan semacam ini adalah untuk
membantu penyandang tuna netra untuk memahami bahwa dia adalah bagian yang integral
dari masyarakat luas, yang memiliki hak yang sama seperti anggota masyarakat lainnya.

Anda mungkin juga menyukai