TUNA NETRA
ARFIANA PRASETYA
D0109009
D0109005
D0109069
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak
berfungsinya indera penglihatan. Di Indonesia, kaum tunanetra secara stereotip digambarkan
sebagai seseorang yang tidak berdaya, tidak mandiri, dan menyedihkan. Sehingga terbentuk
pandangan dikalangan
membutuhkan perlindungan dan bantuan. Selama ini sikap dan pandangan masyarakat yang
negatif itu menyebabkan para penyandang tunanetra kurang percaya diri, menjadi rendah diri,
minder dan merasa tidak berguna. Hal ini akan berakibat pada aktualisasi dan pengembangan
potensi kepribadian menjadi terhambat, sehingga penyandang tunanetra menjadi pesimis dalam
menghadapi tantangan, takut dan khawatir dalam menyampaikan gagasan, ragu-ragu dalam
menentukan pilihan dan memiliki sedikit keinginan untuk bersaing dengan orang lain.
Seorang tunanetra, dalam kondisinya yang khusus atau luar biasa dengan berbagai
kesulitannya,
sering
menghadapi
berbagai
masalah
karena
hambatan
dalam
fungsi
penglihatannya.
Menurut Sukini Pradopo (1976) terdapat beberapa gambaran sifat penyandang tunanetra
diantaranya ialah ragu-ragu, rendah diri, dan curiga pada orang lain. Sedangkan Sommer (dalam
Somantri, 2005) mengatakan bahwa penyandang tunanetra cenderung memiliki sifat-sifat takut
yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain,
serta tidak mengakui kecacatannya.
Hasil penelitian El-Gilany dan kawan-kawan (2002) terhadap 113 orang dengan
gangguan penglihatan di Mesir menunjukkan bahwa meskipun 90,3% sampel mempersepsikan
masyarakat sebagai suportif dan memuaskan, namun mayoritas dari sampel memandang diri
mereka sebagai tidak mampu/disable (71,7%), meragukan kemampuan diri sendiri (78,8%), dan
tidak puas dengan kehidupan (88,5%).
Sedangkan penelitian Rosa (1993) menunjukkan bahwa usia terjadinya kebutaan atau
gangguan penglihatan memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan afektif
individu. Berdasarkan pengamatannya, seseorang yang buta sejak lahir tetap merasa bahagia
dengan ketunanetraannya karena mereka tidak merasa kehilangan apapun seperti halnya mereka
pun tidak punya harapan tentang apa yang bisa diperoleh dengan melihat. Seseorang yang buta
sejak lahir, hampir secara otomatis menerima keadaan mereka. Sebaliknya dengan orang yang
mengalami kebutaan setelah pernah mampu melihat.
BAB II
PEMBAHASAN
Kegiatan yang setiap hari saya lakukan ya kaya gini mbak, pagi hari saya berjualan
sampai sore hari terkadang, kemudian setelah selesai saya berjualan kegiatan yang saya
lakukan membuka pijat refleksi. Atau terkadang saya memenuhi undangan untuk
melakukan kegiatan orkes keroncong
Contoh lain dari penyandang tuna netra adalah Bayu. Bayu merupakan siswa dari
SLB/A-YKAB, dengan keterbatasannya, dia tetap semangat untuk melakukan kegiatan
seperti siswa normal lainnya. Kegiatan yang dilakukannya adalah belajar di sekolah,
kemudian setelah pulang dari sekolah dia mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang ada di
sekolahnya tersebut. Kegiatan tersebut dialakukannya setiap hari. Tanpa rasa minder pun
dia juga tetap bergaul di dalam masyarakat normal pada umumnya. Ini menunjukkan
bahwa dengan keterbatasan yang dimilikinya tidak membatasi ruang geraknya untuk
beraktifitas layaknya orang normal.
Kegiatan yang saya lakukan sehari-hari bersekolah seperti anak-anak normal lainnya.
Terkadang setelah pulang sekolah saya sering bantu-bantu membersihkan sekolah.
Disamping itu saya juga mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang ada di dalam yayasan
ini, misal catur
(wawancara, 19 April 2012)
Selain itu, ada pula penyandang tuna netra bernama mas Ari, dia adalah penyandang tuna
netra yang merupakan santri dari pondok pesantren Al-Ihsan. Kegiatan yang
dilakukannya sehari-hari sama dengan kegiatan yang dilakukan orang normal pada
umumnya, hanya yang membedakan adalah keterbatasannya dalam melihat. Dia mampu
membaca Al-Quran namun menggunakan huruf Braile. Disamping itu dia mampu dalam
hal teknologi, yaitu mengoperasikan computer menggunakan audio visual khusus untuk
penyandang tuna netra. Dalam kehidupan masyarakat, dia dapat bersosialisasi dengan
baik dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya meskipun dia memiliki keterbatasan.
Dari tiga contoh penyandang tuna netra tersebut, kesemuaan dari mereka tetap melakukan
kegiatan sehari-hari seperti yang dilakukan oleh orang normal pada umumnya, yang
membedakan mereka hanyalah kemampuan melihat yang terbatas. Dalam pergaulan di
lingkungan masyarakat pun mereka dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan
masyarakat yang ada. Dalam hal ini, tersirat tanggungjawab pemerintah terhadap para
penyandang tuna netra dewasa maupun anak-anak yaitu mengenai daya tanggap tentang
kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan serta pengakuan hak mereka.
Setiap hari kegiatan saya tidak menentu, terkadang saya membuka praktek pijat,
kegiatan yang lain ya bantu-bantu saja di yayasan ini. Yang jelas setiap akhir minggu saya
mengajar di TPA, untuk mengajar penyandang tuna netra juga membaca Al-Quran
menggunakan Al-Quran Braille.
(wawancara, 25 April 2012)
B. Daya Tanggap Pemerintah
Daya tanggap pemerintah terhadap kesejahteraan, kebahagiaan, dan pemenuhan kebutuha
mereka sudah cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan pemberian bantuan-bantuan khusus
untuk kesejahteran para penyandang tuna netra, bantuan tersebut meliputi bantuan bahan
makanan pokok, seperti beras, kemudian alat-alat bantu penunjang pendidikan dan
pelatihan bagi mereka.
Menurut penyandang tuna netra itu sendiri, daya tanggap pemerintah dirasa masih
kurang, seperti pernyataan Pak Widodo berikut :
Sebenarnya menurut saya pemerintah telah memberikan program-program khusus untuk
kita (penyandang tuna netra) namun realisasi dari program tersebut yang masih belum
menyentuh kita sepenuhnya
(wawancara, 17 April 2012)
C. Responsibilitas Pemerintah
D. Akuntabilitas Pemerintah
Akuntabilitas pemerintah dalam rangka berusaha untuk mendudukkan hak-hak
mereka setara dengan kelompok lain dinilai cukup berhasil dengan kenyataannya bahwa
para kaum difable, khususnya tuna netra juga diberikan kesempatan bekerja dan
menjalankan aktivitas layaknya masyarakat normal yang lain. Tidak sedikit tuna netra
yang bekerja menjadi PNS, selain itu, sekarang ini pemerintah melalui Dinas Sosial telah
bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan milik Negara maupun milik Swasta agar
mempekerjakan para kaum difable sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Pemerintah mengharuskan perusahaan memiliki beberapa persen karyawan dari kaum
difable yang terdapat di dalam Perda Nomor 2 Tahun 2008.
Hal ini dikatakan oleh perwakilan bagian kesejahteraan umum Dinas Sosial, Pak
Triman :
Di dalam perda No.2 tahun 2008, dijelaskan bahwa disetiap perusahaan yang berdiri
dikota Surakarta diharuskan untuk memiliki minimal 1 orang pegawai tuna netra. Mereka
(penyandang tuna netra) diberikan kesempatan bekerja dan menjalankan aktivitas
layaknya masyarakat normal yang lain. Tidak sedikit tuna netra yang bekerja menjadi
PNS, selain itu saat ini pemerintah melalui Dinsos telah bekerjasama dengan perusahaanperusahaan swasta dengan sistem CSR
Sedangkan pernyataan yang diungkapkan salah seorang tuna netra terkait dengan
Kualitas Pelayanan ini :
Pemerintah memang telah memberikan bantuan,mas tapi bantuan itu belum seluruhnya
menyentuh kita (penyandang tuna netra). Misal dalam bidang kesehatan, ada program
jamkesmas, namun itu pun tidak seluruhnya saya gunakan karena ketika saya akan
menggunakan program kesehatan tersebut seperti dinomor duakan oleh orang normal
lainnya. Itu disebabkan karena prosesnya yang berbelit
(wawancara, 2 Mei 2012)
F. Diskresi Pemerintah
Diskresi pemerintah terhadap kaum tuna netra sama saja seperti kaum normal.
Pemerintah dan hukum tidak membedakan mereka karena kekurangan mereka. Apabila
para kaum tuna netra melakukan tindakan criminal, maka pemerintah melalui badan
hukum akan memprosesnya dengan semua aturan hukum yang telah berlaku. Hal yang
sama akan dilakukan juga dengan orang normal lainnya. Selain itu, apabila mereka
membutuhkan bantuan pemerintah dalam hal dana maupun pemberdayaan keterampilan,
maka pemerintah akan mengupayakan dan memberikan pelayanan untuk memenuhi
kebutuhan mereka melalui panti-panti yang dikelola oleh Dinas sosial tentunya dengan
prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan. Kemudian pemerintah juga telah bersikap adil,
bentuk sikap adil tersebut adalah dengan membebaskan penyandang tuna netra tersebut
untuk melakukan kegiatan yang sifatnya sama dengan yang dilakukan orang normal pada
umumnya.
Tidak ada pembedaan antara penyandang tuna netra dengan orang normal biasa dalam
memperoleh kesejahteraan untuk hidup.
(Wawancara Dinsos, 10 Mei 2012)
Sedangkan pernyataan berbeda diungkapkan oleh salah seorang penyandang tuna
netra, yaitu Pak Widodo, menguraikan bahwa :
Saya merasakan masih ada perbedaan antara kita (penyandang tuna netra) dengan orang
normal lainnya. Dalam hal ini yang saya rasakan adalah tentang layanan kesehatannya.
Dalam program layanan kesehatan diperuntukkan untuk seluruh masyarakat yang ada,
namun bagi kita pelayanan untuk penyandang tuna netra cenderung berbelit, padahal
meraka mengetahui tentang adanya keterbatasan kita. Berbelit nya itu seperti kita tidak
penunjang
pendidikan dan pelatihan bagi mereka. Pemerintah juga memberikan bantuan khusus
kepada kaum tunanetra. Bantuan khusus tersebut merupakan bantuan berupa santunan
uang bagi tunanetra yang masih bersekolah berupa beasiswa khusus bagi kaum tunanetra,
dan bantuan berupa uang tunai apabila ada kebijakan tertentu dari pemerintah yang
besarnya dan kurun waktunya tidak tentu.
Bagian kesejahteraan umum dinas sosial, mengatakan :
Kita memberikan bantuan secara maksimal kepada penyandang tuna netra untuk dapat
hidup layak seperti orang normal lainnya.
(wawancara, 10 Mei 2012)
Pemerintah telah berkerjasama dengan pihak swasta untuk memberdayakan kaum
tunanetra dengan cara memberikan kebijakan yang mengikat perusahaan swasta untuk
mempekerjakan kaum tuna netra. Jadi, dalam perusahaan tersebut harus ada kaum
tunanetra yang bekerja sesuai dengan ketrampilan mereka. Pemerintah juga berperan
dalam membekali keterampilan untuk mereka agar dapat mampu berpenghasilan dan
mandiri.
Selain itu
menyatakan bahwa :
Kami selaku pihak pemerintah telah melakukan kerjasama dengan pihak swasta melalui
program CSR. Jadi didalam suatu perusahaan, saat ini terdapat minimal 1 penyandang
tuna netra untuk bekerja pada perusahaan tersebut.
(wawancara, 10 Mei 2012)
Maka dari itu, untuk menghindari segala bentuk pandangan masyarakat yang masih
menganggap sebelah mata para kaum tuna netra, Pemerintah kota Surakarta, dalam hal ini Dinas
Sosial dan tenaga Kerja, dengan segala upayanya berusaha untuk menyetarakan hak dan
kewajiban para kaum difabel, khususnya kaum tuna netra. Mulai dari membuat Peraturan Daerah
Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 mengenai kesetaraan difabel dan melaksanakan Hal-hal
yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan Sosial. Di
dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tersebut, dijelaskan salah satunya bahwa di setiap
perusahaan yang berdiri di Kota Surakarta, diharuskan untuk memiliki minimal satu orang
pegawai difabel. Seperti contoh, Dinas Sosial telah bekerja sama dengan pihak Mall Paragon
yang memperkerjakan tuna rungu bicara. Selain itu, Dinas Sosial juga memberikan bantuan
kepada salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) yang digabungkan dengan yayasan tuna netra
berupa barang-barang sembako untuk keperluan siswa yang menginap di asramanya. Hal
tersebut merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan Pemerintah dalam menangani salah
satu permasalahan publik walaupun secara kertas, implementasi yang dilakukan masih terbilang
kurang. Diperlukan juga peranan masyarakat untuk meningkatkan kesetaraan sosial dalam
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran
penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang normal. Mereka
memiliki keterbatasan untuk melakukan berbagai aktivitas yang membutuhkan bantuan
penglihatan seperti menonton televisi, membaca huruf atau tanda visual, serta hal lainnya
yang berkenaan dengan penglihatan. Akibat dari ketunanetraan, secara kognitif pengenalan
atau pengertian terhadap dunia luar penyandang tuna netra tidak dapat diperoleh secara
penyandang tuna netra dewasa dan tidak membedakan pelayanan yang diperoleh dari
pemerintah dengan orang normal pada umumnya.
B. SARAN
Sangatlah penting bahwa orang tunanetra sendiri memahami, bukan hanya secara
intelektual, tetapi juga secara emosional, bahwa dia benar-benar dapat mandiri dan
swasembada. Tidaklah sulit bagi seorang penyandang tunanetra untuk memahami kebenaran
ini secara intelektual. Sering kali diperlukan keahlian seorang pembimbing untuk membantu
seorang tunanetra memahami secara emosional bahwa dia dapat mandiri dan swasembada.
Diperlukan rehabilitasi yang secara efektif melaksanakan program pendidikan/latihan, ini
sangat penting, pertama-tama mereka sendiri harus memahami bahwa sikap masyarakat yang
tidak tepat terhadap ketunanetraan, bukan ketunanetraannya itu sendiri, yang merupakan
penyebab permasalahan yang sesungguhnya, yang harus diatasi melalui pendidikan/latihan
yang tepat. Program pendidikan/latihan yang baik harus merupakan sebuah "pabrik pencetak
sikap". Penyandang tuna netra itu perlu dibimbing ke arah pemikiran dan perasaan yang lebih
sehat dan lebih konstruktif serta menanamkan konsep bahwa penyandang tunanetra pun
dapat memberikan atau melakukan sesuatu untuk membantu orang lain. Dia dapat lebih
memacu kemajuan dirinya dengan merasakan kepuasan diri karena dapat berbuat sesuatu
yang bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, membiasakan penyandang tuna netra melibatkan
diri dalam kegiatan sosial di tempat-tempat umum, misalnya berbelanja, menonton teater
atau pementasan musik, mengunjungi pameran, mengikuti turnamen catur yang
diselenggarakan bagi umum, dll. Tujuan dari semua kegiatan semacam ini adalah untuk
membantu penyandang tuna netra untuk memahami bahwa dia adalah bagian yang integral
dari masyarakat luas, yang memiliki hak yang sama seperti anggota masyarakat lainnya.