Anda di halaman 1dari 8

Isu Etik Untuk Difabel

Difabel dan keluarganya prihatin tentang masalah etika dan hukum kontemporer yang
sama yang menyangkut orang tidak di fabel. Namun, beberapa isu terkait membawa kepentingan
tertentu bagi difabel dan keluarga mereka, termasuk pertanyaan dan masalah definisi
kepribadian, menghormati manusia sekitarnya, dan hak-hak difabel.
Isu terkait memilih antara aborsi dan melanjutkan kehamilan ketika screening prenatal
menunjukkan adanya gangguan dan masalah kesehatan dan menentukan pelayanan medis yang
tepat untuk bayi, anak-anak, dan orang dewasa difabel. Karena tenaga profesional perawatan
kesehatan dapat menyampaikan sikap negatifnya tengtang kehidupan difabel, informasi yang
akurat dan seimbang harus disediakan, perspektif spiritual masyarakat memainkan peran penting
dalam penygambilan keputusan ketika ada perubahan status keehatan atau penyakit yang
mengancam jiwa. Orang-orang yang membangun harapan dan makna dalam hidup mereka dapat
memilih untuk secara positif membingkai ulang kesulitan yang berhubungan dengankeerbatasan
fungsional yang lain mungkin tertahankan. Pelaku rawat pemberian perawatan holistik
membutuhkan perawat untuk menilai dan meningkatkan kesehatan spiritual bersama dengan
fisik dan kesejahteraan psikologis.
Data angka yang menunjukkan jumlah kaum difabel dari dulu hingga sekarang tidak
pernah ada hitungan pasti (underrepresentative). Referensi dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) mengatakan ada 15 persen dari total penduduk dunia adalah penyandang cacat.
Sedangkan di Indonesia, terdapat informasi terbaru dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang
menyatakan ada 4,45 persen penyandang cacat dari total penduduk di Indonesia. Mereka, kaum
difabel memiliki gangguan fisik, sensorik, intelektual, ataupun mental dengan berbagai kondisi
berbeda. Populasi dunia yang semakin tua sangat berdampak pada meningkatnya persentase
penyandang disabilitas beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, masyarakat perlu menyadari
tentang pentingnya peningkatan taraf hidup dan peran serta penyandang disabilitas dalam
kehidupan bermasyarakat demi tercapainya persamaan hak setiap manusia, penciptaan
lingkungan yang lebih baik dan inklusif.
Pada faktanya, penyandang disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar
dibandingkan masyarakat normal pada umumnya, dikarenakan mereka memiliki hambatan dalam
mengakses layanan umum. Penyandang disabilitas seringkali tidak memiliki akses untuk
pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, dan kegiatan perekonomian. Kurangnya akses
dalam transportasi, bangunan fisik, pendidikan, dan pekerjaan merupakan beberapa contoh yang
menjadi penghambat dalam kehidupan merkea sehari-hari.
Sekalipun Indonesia sudah mempunyai UndangUndang (UU) No. 4 tahun 1997 yang
mengusung 6 isu utama, diantaranya kesamaan kesempatan, pendidikan, tenaga kerja,
aksebilitas, dan kesehatan, tetapi untuk pemenuhannya kurang terimplementasikan dengan baik.
Pengelolaan-nyapun masih terkesan karikatif. Maksud karikatif disini adalah ketika membuat
kebijakan-kebijakan terkait penyandang cacat tidak benar-benar di konsep untuk membangun si
kaum difabel sepenuhnya, tetapi cenderung hanya diberikan beberapa manfaat saja. Konsep
pemerintah dalam membangun kaum difabel disamakan dengan konsep pemeliharaan orang
tidak mampu (orang miskin), yang biasanya hanya menggantungkan hidupnya dari si pemberi
bantuan. Begitu bantuannya di tiadakan maka yang terjadi hidupnya semakin terpuruk.
Bahkan penanganan difabel telah mengarah kepada eksklusivisme dan proteksi.
Contohnya keberadaan SLB (Sekolah Luar Biasa) yang eksklusif, yaitu penyandang difabel
hanya bergaul dan dikumpulkan dengan sesama penyandang difabel saja. Akibatnya yang terjadi
adalah bukan mendapatkan kemandirian, tetapi malah menjadikan barriers bagi difabel untuk
bisa hidup bersama di masyarakat. Kesannya penyandang difabel dikhususkan secara eksklusif
karena tidak mempunyai kemampuan. Dan hampir semua orang percaya bahwa mereka tidak
bisa berpartisipasi dalam pembangunan untuk menjadi sesuatu, termasuk menjadi guru, dosen,
pengacara, hakim ataupun profesi lain.
Disability Awareness merupakan hal yang sangat penting kita perhatikan sebagai salah
satu wujud investasi masa depan mengingat bahwa kita akan menjadi tua dan lambat laun akan
menjadi difabel. Dalam bab ini akan diulas secara umum tentang etika membantu dan
berkomunikasi dengan difabel sebagaimana dijelaskan berikut ini.
Etika Membantu Difabel Secara Umum :
1. Ketahui terlebih dahulu jenis disabilitasnya
2. Tanyakan apakah ia membutuhkan bantuan
3. Perhatikan dengan seksama kontak fisik
4. Berfikirlah sebelum bicara
5. Jangan mengira-ngira kondisi atau kesulitan mereka
6. Bersikaplah positif terhadap permintaan mereka
7. Selalu ingat bahwa tujuan membantu mereka adalah untuk mengurangi hambatan yang
dihadapi, meningkatkan peran serta mereka, & pemenuhan hak mereka, bukan karena
kemampuan mereka lebih rendah
A. Etika Membantu Tunanetra
1. Etika Menawarkan Bantuan Kepada Tunanetra :
 Yang Sebaiknya Anda Lakukan :
a. Perkenalkan diri sebelum melakukan kontak fisik seperti menyentuh, menggandeng,
dan sebagainya.
b. Sapalah dia terlebih dahulu. Caranya, sentuhlah lengan atau bahunya, agar ia tahu
bahwa anda sedang berbicara dengannya. Akan lebih baik jika Anda menyebutkan
atau memperkenalkan siapa Anda. Misalnya, dengan menyebut nama Anda.
c. Tanyakan “Apa ada yang bisa dibantu?” atau, “Mau ke mana, bisa saya bantu?”.
 Yang Tidak Boleh Anda Lakukan:
a. Membantunya tanpa meminta ijin terlebih dahulu
b. Memaksa untuk membantunya
c. Tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu
2. Etika Mengantar atau Memandu Tunanetra ke Suatu Tempat
 Yang Sebaiknya Anda Lakukan :
a. Jika mereka memerlukan panduan berjalan maka berikanlah tangan BUKAN
mengambil tangan mereka. Berjalanlah disampingnya dan jelaskan secara lisan
mengenai keadaan sekitar selama berjalan.
b. Izinkan ia memegang lengan Anda. Bisa lengan kanan atau lengan kiri. Caranya, bisa
dengan mengatakan “Silakan pegang lengan saya”.
c. Berjalanlah bersamanya menuju tempat yang ia inginkan, dengan posisi Anda berada
satu langkah di depan si tunanetra. Dengan posisi seperti ini, si tunanetra akan dapat
merasakan gerak-gerik tubuh Anda jika naik atau turun tangga, berbelok ke kanan
atau ke kiri.
d. Tetaplah berkomunikasi dengannya, termasuk menginformasikan jika ada halangan
atau rintangan yang akan dilewati.
 Yang Tidak boleh Anda Lakukan : Memandu tunanetra dengan memegang tongkatnya.
Atau, Andalah yang memegang tangan tunanetra. Cara ini sebenarnya tidak aman atau
membahayakan tunanetra. Dengan memegang tongkatnya atau dengan Anda memegang
tangan tunanetra, ia tidak akan dapat merasakan gerak-gerik tubuh Anda. Hal ini
berpotensi membuatnya menabrak atau bahkan jatuh.
3. Etika Membantu Tunanetra Duduk :
 Yang Sebaiknya Anda Lakukan : Untuk membantu tunanetra duduk yang harus anda
lakukan adalah pandulah tunanetra ke tempat duduk yang ada. Untuk membantu duduk,
cukup dengan menyentuhkan tangan tunanetra ke tempat duduk kursi atau sandaran
kursi. Selanjutnya biarkan tunanetra duduk sendiri.
 Yang tidak Boleh Anda Lakukan : Membantu tunanetra duduk dengan mendudukkan
badannya ke kursi. Hal ini membuat tunanetra merasa tidak nyaman.
B. Etika Berkomunikasi dengan Orang dengan Kelayuan Otak (Cerebral Palsy)
 Yang Harus Anda Lakukan :
1. Bicaralah dengan jelas.
2. Jangan ragu ragu untuk meminta mengulangi perkataanya jika memang tidak paham
3. Ada dari mereka yang membuat gerakan gerakan diluar kesadaran maka perhatikanlah
apa yang sudah disampaikan
 Yang Tidak Boleh Anda Lakukan :
1. Memotong pembicaraannya
2. Memaksanya untuk berbiccara dengan cepat
C. Etika Berkomunikasi dengan Orang dengan Autisme
 Yang Sebaiknya Anda Lakukan :
1. Gunakanlah kata-kata yang sederhana dan kalimat yang pendek
2. Jika ada konsep kata atau kalimat yang tidak mereka fahami, gunakanlah media visual
seperti gambar atau video
3. Jangan berbicara dengan suara terlalu keras atau bising
 Yang Tidak Boleh Anda Lakukan :
1. Menggunakan kata-kata yang kompleks dan kalimat yang panjang, hal ini dapat
membingungkan orang dengan autism
2. Sebagian orang dengan autisme akan terganggu oleh gangguan visual dan cahaya yang
menyilaukan.
3. Melarangnya untuk melakukan kegiatan yang dapat membuatnya rileks, seperti
memutar pulpen atau meremasremas kertas pada saat berbicara
D. Etika Berkomunikasi dengan Orang Slow Learner
 Yang Sebaiknya Anda Lakukan
1. Menggunakan bahasa yang sederhana, dengan kata-kata yang mudah difahami, dan
kalimat yang pendek.
2. Tanyakan apakah ia memahami maksud perkataan anda. Jika belum maka ulangi lagi
dan berikan contohnya.
 Yang Tidak Boleh anda Lakukan
1. Menggunakan bahasa yang kekanak-kanakan
2. Memaksa seorang slow learner untuk memahami maksud perkataan Anda
E. Etika Berkomunikasi dengan Tunarungu Wicara
 Yang Sebaiknya Anda Lakukan :
1. Gunakanlah Bahasa Isyarat sesuai dengan kebutuhan tunarungu (SIBI atau BISINDO)
2. Gunakanlah metode komunikasi yang paling mudah (Bahasa Isayarat, Oral/Membaca
Bibir, atau Tulisan)
3. Jika tidak paham apa yang dikatannya sebaiknya minta kepadanya untuk mengulangi
4. Bila tidak yakin dengan pemahaman bisa mengulang perkataanya untuk mendapatkan
kepastian tentang yang dikatakannya
5. Berilah perhatian penuh ketika mereka berbicara (fokus pada lawan bicara dan
pembicaraan yang sedang berlangsung)
 Yang Tidak Boleh Anda Lakukan :
1. Jangan tertawa atau tersenyum ketika mereka berbicara. Hal ini dapat membuat mereka
tidak nyaman.
2. Janganlah memotong pembicaraan
Paling tidak ada enam hal-hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam pergaulan sehari-
hari dengan penyandang cacat yaitu :
1. bertanyalah dulu sebelum membantu. Apabila sebuah lingkungan aksesibel, mereka biasanya
mampu melakukan segala sesuatu dengan baik. Seorang penyandang cacat dewasa
mengharapkan dirinya diperlakukan sebagai pribadi mandiri. Karenanya, jangan pernah
beranggapan bahwa seseorang itu membutuhkan pertolongan hanya karena ia cacat. Tawarkan
bantuan kita hanya ketika melihat mereka saat embutuhkannya. Lalu, bertanyalah kepadanya
bagaimana kita dapat membantunya sebelum melakukannya.
2. peka terhadap kontak fisik. Beberapa di antaranya tergantung pada kedua tangan mereka
untuk menjaga keseimbangan. Memegang kedua tangannya-walaupun kita bermaksud
membantunya-justru dapat membuatnya kehilangan keseimbangan. Hindarilah menepuk
kepala seseorang atau memegani kursi rodanya, skuter, atau tongkatnya. Penyandang cacat
menganggap alat bantu mereka sebagai bagian dari hak privasinya.
3. pertimbangkanlah sebelum berbicara. Sebaiknya kita langsung kepada mereka, bukan
pendamping penerjemah bahasa isyaratnya. Ngobrol santai dengan mereka merupakan hal
yang baik. Berbicaralah kepadanya sebagaimana yang kita lakukan juga kepada orang lain.
Sebagian mereka akan merasa kita memprlakukannya mereka bukan sebagai manusia apabila
bertanya tentang kecacatannya.
4. jangan berasumsi. Mereka adalah pengambil keputusan terbaik mengenai apa yang tidak dapat
mereka lakukan. Janganlah mengambil keputusan untuk mereka mengenai bagaimana mereka
terlibat dalam aktivitas tertentu. Mengabaikan seseorang karena berasumsi tentang
keterbatasannya dapat menjadi pelanggaran terhadap hak mereka.
5. menanggapi permintaan dengan ramah. Ketika seorang penyandang cacat menanyakan suatu
pelayanan di perusahaan/kantor kita, itu bukanlah sebuah keluhan. Itu justru menunjukkan
bahwa ia merasa cukup nyaman berada di kantor kita untuk menyatakan apa yang ia
butuhkan. Apabila ia mendapatkan tanggapan positif, mungkin ia akan kembali lagi dan
menceritakan kepada teman-temannya tentang pelayanan bagus yang ia terima.
6. bahasa atau istilah. Ucapan dan tulisan kita mampu meningkatkan martabat mereka atau
malah sebaliknya. Beberapa kata dan frasa tidak mengenal cakupan yang luas mengenai
kemampuan mereka. Mereka tidak butuh atau tidak ingin dikasihani, dianggap "istimewa"
atau "berani" apabila berhasil menyelesaikan kegiatan\/pekerjaan sehari-hari.
Mari gunakan istilah "Penca" daripada orang cacat atau orang pincang, tunanetra daripada
orang buta. Namun perlu disadari, mereka tidak menyukai istilah-istilah eufimisme
(memperhalus) seperti "terhalang secara fisik" atau "kemampuan berbeda" dan seterusnya.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat menyatakan bahwa Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang
cacat fisik dan mental. Pandangan yang melekat terhadap kaum difabel dimata masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari, masih menganggap mereka merupakan aib bagi keluarga, orang yang
harus dikasihani dan dihormati, sebuah takdir Tuhan yang tak mungkin dilawan. Disisi lain,
masyarakat perlu diberi pengetahuan lebih jauh bahwa difabel bukan sebatas mendapatkan
bantuan dari Dinas Sosial, mendapat layanan dasar dipusat rehabiltasi dari rumah sakit umum
milik Pemerintah Daerah
Ketentuan pada Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas), pada intinya difabel yang berhadapan dengan hukum diberikan
perlindungan secara khusus yang dikarenakan perbedaan secara fisik mental dan/atau keduanya.
Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
penyandang cacat merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan
dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kekurangan difabel baik secara fisik,
mental dan/keduanya rentan menjadi korban tindak pidana. Kenyataan yang terjadi dalam
praktek, khususnya dalam proses hukum masih jauh dari harapan, apalagi mendapatkan
perlindungan yang lebih karena kekhususannya. Difabel yang behadapan dengan hukum masih
ada diskriminasi khususnya difabel yang menjadi korban tindak pidana. Perempuan dan anak
adalah yang paling sering menjadi korban tindak pidana. Faktanya banyak kasus kekerasan
seksual bahkan pemerkosaan yang tidak diproses secara hukum, dengan alasan lemahnya bukti,
minimnya aksesibilitas hukum bagi difabel bahkan difabel dianggap tidak mampu memberikan
kesaksian dalam proses peradilan
Daftar isi
m.detik.com/news/etika bergaul dengan penyandang cacat
Wijayanto ari puguh. Jurnal Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Kaum Difabel Sebagai
Korban Tindak Pidana . Universitas Atma Jaya Yogjakarta. 2013
Ningsih rahayu ekawati. Jurnal Penelitian MainstreaMing isu Disabilitas Di Masyarakat DalaM
kegiatan Penelitian MauPun PengabDian PaDa Masyarakat Di stain kuDu. Vol. 8, No. 1,
STAIN Kudus, Jawa Tengah, Indonesia .Februari 2014

Anda mungkin juga menyukai