Anda di halaman 1dari 11

TUGAS DIAGNOSIS PENYAKIT TUMBUHAN

Diagnosis Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV) pada Tanaman Tebu

Effi Alfiani Sidik


14/373931/PPN/3930

PROGRAM STUDI FITOPATOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

DIAGNOSIS Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV) PADA TANAMAN TEBU


Penyakit virus daun kuning/yellow leaf (YL) pada tanaman tebu disebabkan oleh
Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV). Pertama kali dilaporkan terjadi di Hawaii pada tahun
1980an (Schenck, 1990 dalam Chinnaraja et al., 2012) dan di India tahun 1999
(Viswanathan, 2002 dalam Chinnaraja et al., 2012). Penyakit virus daun kuning yang
disebabkan oleh Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV) telah menjadi kendala serius bagi
produksi tebu di berbagai negara. Di seluruh dunia telah dilaporkan terdapat tujuh genotipe
(Chinnaraja et al., 2012). SCYLV termasuk ke dalam genus Polerovirus dan famili
Luteoviridae (Viswanathan, et al., 2009). Family Luteoviridae menginfeksi sampai ke
jaringan floem dan tidak bisa ditranmisikan/ditularkan secara mekanik. SCYLV dapat
ditransmisikan lewat benih dan merupakan virus persisten yang menyebarannya dibantu oleh
vektor aphid yaitu Melanaphis sacchari, Ropalosiphum maidis, R. rufiabdominalis, dan
Ceratovacuna lanigera (Rassaby et al., 2004 dalam Chinnaraja et al., 2012).

Gambar 1. Melanaphis sacchari


(sumber: http://www.plantwise.org/KnowledgeBank/Datasheet.aspx?dsid=33256).
SCYLV mempunyai genom positif sense ssRNA terdiri dari ~5.8 kb nukleotida
(Moonan, F., dan Mirkov, T. E., 2002). Menurut Abu Ahmad, et al. (2006), SCYLV
merupakan monopartit, positif sense ssRNA, panjang genom 5,895-5,898 nukleotida.
Menurut Wahyuni (2005), bila virus bertindak sebagai positive-sense, berarti sekuensi RNA
langsung bertindak sebagai mRNA untuk menyandi pembentukan protein. Menurut Abu
Ahmad, et al. (2006), SCYLV memiliki 6 ORF (open reading frame) yaitu ORF 0-5. ORF0

berfungsi untuk mengekspresikan gejala dan sebagai supresor RNA silensing, ORF 1 dan 2
bersama-sama mengkode multifungsi peptida dan RNA-dependent RNA polimerase (RdRp),
ORF 3 untuk mensisntesis protein mantel, ORF 4 sebagai movement protein (MP), dan ORF
5 berfungsi untuk translasi protein.

Gambar 2. Organisasi genom dari SCYLV dan lokasi fragmen yang diamplifikasi
menggunakan RT-PCR (sumber: Abu Ahmad, et al., 2006).
UTR: untranslated region, ORF: open reading frame.
Pada tanaman tebu yang telah terinfeksi Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV) sulit
dikendalikan sehingga perlu dilakukan pencegahan sedini mungkin, dan jika terlajur
terinfeksi maka harus tau kapan gejala awal penyakit tersebut muncul. Sehingga perlu
dilakukan diagnosis infeksi Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV) pada tanaman tebu. Selain
itu diagnosis merupakan langkah penting untuk menentukan jenis virus penyebab penyakit
pada tanaman tebu. Ketepatan mendiagnosis sangat penting, hal ini berkaitan dengan
ketepatan dalam upaya pengendaliannya. Diagnosis menggambarkan tentang rangkaian
kegiatan deteksi dan identifikasi patogen penyebab penyakit, sehingga dapat ditentukan
spesies virus penyebab penyakit tersebut.
Berikut adalah cara-cara untuk mendiagnosis penyakit virus daun kuning pada
tanaman tebu yang disebabkan oleh Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV): diagnosis
berdasarkan gejala visual di lapang, serologi, dan molekuler.
A. Diagnosis Berdasarkan Gejala Visual di Lapang
Diagnosis awal di lakukan di lapang yaitu dengan melihat secara visual gejala yang
timbul. Menurut Viswanathan, et al., 2009, virus kuning daun pada tebu menunjukkan gejala
menguning pada pelepah daun dari ujung daun ke arah dasar daun sepanjang tulang daun.

Sedangkan menurut Basisdata Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina gejala tampak


pada tanaman dewasa awalnya berupa penguningan pada tulang daun terutama tampak jelas
pada permukaan bawah daun. Kadang-kadang warna merah kemerahjambuan tampak di
permukaan atas daun.

Gambar 3. Gejala penyakit virus kuning daun pada tanaman tebu


(sumber: Cirad, 2011).
Diagnosis awal di lakukan dengan melihat secara visual gejala yang timbul di lapang
belum tentu akurat karena kemungkinan gejala yang timbul akibat faktor-faktor lain. Menurut
Wahyuni (2005), pengamatan gejala secara visual saja tidak cukup digunakan untuk
mendiagnosis atau mendidentifikasi penyakit karena beberapa virus memberikan gejala yang
sama pada satu jenis inang, bahkan satu jenis virus dapat memberikan gejala yang berbeda
pada satu jenis inang pada musim yang berbeda. Menurut Viswanathan, et al., 2009,
perubahan warna merah atau kadang seperti merah muda pada permukaan daun dapat terjadi.
Namun, hal ini juga telah dilaporkan bahwa sebagian gejala yang timbul dipengaruhi oleh
faktor-faktor biotik dan abiotik lainnya. Diduga ekspresi gejala yang ditimbulkan oleh elisitor
berupa asimilat dalam batang dan fluktuasinya dipengaruhi oleh ekspresi gejala seiring
pertumbuhan batang tebu menjadi tua (Aljanabi et al., 2001 dalam Viswanathan, et al.,
2009). Sehingga perlu dilakukan diagnosis lagi menggunakan terknik-teknik yang lebih
akurat.

B. Deteksi secara Serologi

Deteksi secara serologi terhadap virus kuning daun pada tanaman tebu menggunakan
ISEM dan DAS-ELISA.

Menggunakan Immunosorbent Electron Microscopy (ISEM)


Scagliusi dan Lockhart, 2000 dalam Viswanathan dan Balamuralikrishnan (2004),

menggungkapkan konsistensi SCYLV pada jaringan tanaman dapat dilihat dengan teknik
mikroskop elektron menggunakan antibodi spesifik (ISEM). Menurut Wahyuni (2005), teknik
mikroskop elektron (ISEM) digunakan untuk mengidentifikasi suatu virus dengan
menggunakan antibodi terhadap virus yang sudah diketahui karakternya. Sap virus dari daun
atau virus murni (yang telah dipurifikasi) yang akandiidentifikasi akan tertangkap dan terikat
oleh antibodi.

Menggunakan DAS-ELISA
Teknik ELISA relatif lebih murah, khususnya apabila antiserum dapat diproduksi

secara lokal, dan juga cukup memadai untuk diagnosis virus. Namun, metode deteksi serologi
mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya rendahnya titer dari antigen, adanya reaksi
silang antibodi dengan antigen heterolog, dan adanya pengaruh pengaturan produksi antibodi
oleh lingkungan dan tahap perkembangan tanaman. Oleh karena itu, diperlukan metode
deteksi virus lain yang lebih cepat dan akurat (Santoso, 2013).
Viswanathan dan Balamuralikrishnan (2004) menyatakan bahwa walaupun deteksi
secar molekuler lebih sensitif, tetapi jika penggunaanya dalam skla yang bersar dan dilakukan
secra rutin maka akan memakan biaya yang lebih besar. DAS-ELISA dapat digunakan untuk
mendeteksi SCYLV pada tanaman tebu yang belum menunjukkan gejala. Tahapan deteksi
dengan DAS-ELISA adalah preparasi sampel, sampel yang digunakan adalah bagian dau dan
tangkai tanaman tebu. Sampel dihaluskan dalam mortar, ditambahkan nitrogen cair dan bufer
fosfat ph 6 yang menggandung 1% Na2So3 dan 0.05% Tween 20 (1:50 dilution). Setelah itu
disentrifus. Hasil ekstraksi daun dapat disimpan pada suhu -20C.
Protokol yang disarankan oleh Dr. B.E.L. Lockhart untuk mendeteksi SCYLV pada
daun tebu adalah menggunaka DAS-ELISA. Disiapkan 1 g/ml SCYLV-IgG, diencerkan
menggunakan karbonat koting bufer (ph 9.6) dan diinkubasi 24 jam pada suhu 4C. Setelah
dilakukan 3 kali pencucian dengan interval 5 menit menggunakan fospat bufer saline (PBS)Tween-20 (PBST), diberi antigen. Setelah diinkubasi selama 4 jam pada suhu 28-30C, dicuci
menggunakan konjugat SCYLV-ALP yang telah diencerka pada tris bufer salin. Selanjutnya
dicuci dan diinkubasi dengan subtrat p-nitrophenyl phosphat pada diethanolamine buffer pah
9.8 yang mengandung 1 mM MgCl2 1 mg/1ml. Plate diinkubasi selama 2-4jam di suhu ruang.

Kemudian dilakukan pewarnaan yang tercatat pada 405 nm di ELISA reader. Cara
membacanya adalah sampel dianggap positif jika nilainya setidaknya dua kali nilai kontrol
(Viswanathan dan Balamuralikrishnan, 2004).

Menggunakan TBIA (tissue-blot immunoasay)


Viswanathan dan Balamuralikrishnan (2004), menyatakan bahwa SCYLV dapat

dideteksi menggunakan TBIA (tissue-blot immunoasay). TBIA menguji sensifitasnya pada


sampel tanaman tebu menggunakan antiserum melalui pengenceran. Menurut Widias (2002),
deteksi menggunakan TBIA menunjukkan semakin tinggi pengenceran antiserum,, waktu
yang dibutuhkan semakin lama pada reaksi pewarnaan. Jika dibandingkan dengan I-ELISA,
maka TBIA lebih cepat, murah, dan mudah. Kecepatan diagnosis TBIA jauh lebih singkat
yaitu 3 jam, saat pengujian di lapang lebih mudah.
C. Deteksi secara Molekuler
Ekspresi gejala penyakit virus daun kuning umumnya muncul pada 6-8 bulan di lahan
tebu. Sehingga dibutuhkan suatu teknik untuk mendiagnosis penyakit tersebut sebelum
munculnya gejala (Viswanathan, et al., 2009). Jika ada teknik yang dapat mendiagnosis
gejala infeksi virus daun kuning sedini mungkin dan belum muncul gejala, maka akan dapat
cepat dilakukan upaya pengendalian awal sehingga mengurangi kerugian yang ditimbulkan.
Menurut Robertson et al, 1991 dalam Chinnaraja et al. (2012), sebelumnya metode serologi
biasa digunakan untuk mendiagnosa SCYLV yaitu DAS-ELISA, namun dalam beberapa
tahun terahir digunakan metode molekular dengan teknik RT-PCR karena kekurangan
tertentu metode serologi seperti ketersediaan antisera terbatas dan kurangnya sensifitas.
Viswanathan, et al. (2009) telah memiliki teknik RT-PCR yang telah terstandar dengan satu
set/pasang primer untuk mendeteksi SCYLV pada tanaman tebu pada tahap sebelum
munculnya gejala (pre-symptomatic).
Sampel yang diambil adalah jaringan tanaman tebu pada tahap sebelum munculnya
gejala (pre-symptomatic) atau setelah muncul gejala. Jika sampel belum langsung disunakan
dapat disimpan pada suhu -80C (Viswanathan, et al., 2009). Metode pelaksanaannya deteksi
secara molekuler ada 4 tahapan yaitu ekstraksi RNA jaringan tanaman, RT-PCR, amplifikasi
RNA virus menggunakan teknik PCR, dan visualisasi menggunakan elektroforesis dilakukan
dengan gel agaros. Menurut Viswanathan, et al., 2009, ekstraksi RNA total dari jaringan
tanaman tebu menggunakan TRI Reagent dari Sigma-Aldrich (Sigma, USA). Ekstraksi RNA
dari jaringan tanaman tebu sebanyak 50-100 mg dan dilakukan sesuai protokol.

Sampel ekstraksi RNA perlu diubah dalam bentuk cDNA yaitu melalui proses RTPCR. Menurut Wahyuni (2005), pada proses RT-PCR RNA akan ditranskripsi balik (reverse
transkription) menjadi DNA.

Menurut Viswanathan, et al. (2009), proses RT-PCR

menggunakan Revert Aid H Minus First Strand cDNA Synthesis Kit. Menurut protokol
komposisi untuk proses RT-PCR adalah 4 l 5X Reaction Buffer, 1 l Primer oligodT, 2 l
dNTP, 1 l Ribolock (Ribonuclease Inhibitor), 1 l Revent Aid, 11 l DEPC-treated water,
dan 1 l RNA. Volume ahir yang didapat 20 l.
Amplifikasi RNA hasil RT-PCR dianalisis dengan teknik PCR menggunakan sepasang
primer SCYLV 613F dan SCYLV 613R dan dilakukan dengan menggunakan Bangalore
Genei, Bangalore, India dengan komposisi eluted RNA, 10X buffer, 10mM dNTP mix,
primer SCYLV 613F dan SCYLV 613R, taq polymerase, dan sterile water (Viswanathan, et
al., 2009). Menurut Wahyuni (2005), hasil RT-PCR dapat digunakan sebagai DNA template
(cDNA, complementary DNA-probe) untuk mengidentifikasi dan mendeteksi virus tumbuhan
dengan hasil yang terpercaya.
Kemajuan di bidang biologi molekuler telah menghadirkan beberapa teknik yang
dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus, salah satunya ialah
polymerase chain reaction (PCR) . Teknik ini sangat sensitif dan spesifik untuk mendeteksi
dan mengidentifikasi virus yang menginfeksi tanaman. Spesifisitas PCR didasarkan pada
penggunaan primer-primer oligonukleotida yang komplementer dengan daerah yang
mengapit sekuen DNA yang diamplifikasi (Santoso, 2013).
Tabel 1. Tahapan siklus PCR (Viswanathan, et al., 2009).
Tahap
Predenaturasi
Denaturasi
Annealing
Extention
Final Extention

Primer SCYLV 613F dan SCYLV 613R


Suhu
Waktu
siklus
94C
2 menit
94C
1 menit
60C
1 menit
40 siklus
72C
1 menit
72C
10 menit

Selanjutnya dilakukan visualisasi hasil amplifikasi menggunakan elektroforesis dilakukan


dengan 1,5% gel agaros yang ditambahkan TBE, dan gel agaros dimasukkan ke dalam ETBR
(ethidium bromide). Hasil visualisasi akan menunjukkan hasil positif terinfeksi akan terjadi
proses amplifikasi dan menghasilkan pita DNA dengan ukuran sekitar 613 bp (Viswanathan,
et al., 2009).

Gambar 4. Diagram representif dari RT-PCR. Masing-masing siklus terdiri dari denaturation,
anneling, dan extension (sumber: Naidu, R. A., dan Hughes, J. DA., 2010).
Rtse: reverse ranscriptase, ss-cDNA dan ds-cDNA: single-stranded cDNA, double-stranded
cDNA, dNTPs: deoxynucleotide triphosphates.
Metode deteksi virus dengan PCR mempunyai keuntungan antara lain membutuhkan
sampel DNA dalam jumlah sedikit, yang dapat diperoleh dari jaringan tanaman segar,
jaringan yang telah disimpan dalam lemari es, atau jaringan yang telah kering. Selain itu
deteksinya tidak dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan. Teknik ini

sangat bermanfaat untuk mengatasi kesulitan yang ditemukan dalam metode deteksi serologi,
seperti rendahnya jumlah antigen, reaksi silang dari antibodi dengan antigen-entigen
heterolog, dan regulasi produksi antigen yang dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman
dan lingkungan (Santoso, 2013).
Satu metode yang digunakan dalam mendiagnosis virus belum dapat memberikan
informasi yang memadai tentang keberadaan dan identitas virus tersebut, sehingga
dilakukanlah kombinasi berbagai metode deteksi agar hasilnya akurat. Banyak metode yang
telah dikembangkan untuk deteksi dan identifikasi virus tanaman. Diagnosis yang diharapkan
adalah merupakan metode untuk mendeteksi secara spesifik, sensitif, dan dapat diselesaikan
dalam waktu yang relatif singkat dan tidak mahal. Teknik ataupun metode yang digunakan
untuk mendiagnosis virus yang digunakan ahirnya tergantung dari sumber daya, fasilitas,
memanfaatkan kemampuan reagen, tingkat spesifitas, sensitivitas yang diperlukan, keahlian,
sampel yang akan diuji, dan informasi yang tersedia pada virus yang terdeteksi (Naidu, R. A.,
dan Hughes, J. DA., 2010).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmad, Y., et al. 2006. Yellow Leaf of Sugarcane Incaused by at Least Three Different
Genotypes of Sugarcane yellow leaf virus, One of wich Predominates on the Island of
Reunion. Arch virol. 151:1355-1372.
Basisdata Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina. Sugarcane yellow leaf virus
(SCYLV). http://www.karantina.deptan.go.id/optk/detail.php?id=511. Diakses tanggal
16 Januari 2015.
Chinnaraja, C., et al. 2012. Complete Genome Characterization of Sugarcane yellow leaf
virus from India: Evidence for RNA Recombination. Eur J. Plant Pathol. 135:335349.
Cirad. 2011. Sugarcane yellow leaf in the caribbean. http://www.cirad.fr/en/researchoperations/research-results/2011/sugarcane-yellow-leaf-in-the-caribbean.

Diakses

tanggal 16 Januari 2015.


Knowledge

Bank.

Yellow

http://www.plantwise.org

Sugarcane

Aphid

(Melanaphis

sacchari).

/KnowledgeBank/Datasheet.aspx?dsid=33256.

Diakses

tanggal 16 Januari 2015.


Moonan, F., dan Mirkov, T. E. 2002. Analyses of Genotypic Diversity among North, South,
and Central American Isolates of Sugarcane yellow leaf virus: Evidence for
Colombian Origins and for Intraspecific Spatial Phylogenetic Variation. Journal of
Virology. 76:1339-1348.
Naidu, R. A., dan Hughes, J. DA. 2010. Methods for the detection of plant virus Diseases.
Plant Virology in sub-Saharan Africa. 233-260.
Protokol

Revert

Aid

Minus

First

Strand

cDNA

Synthesis

Kit.

http://search.cosmobio.co.jp/cosmo_search_p/search_gate2/docs/FER_/K1632.20060
615.pdf. Diakses tanggal 16 Januari 2015.
Santoso, T. J. 2013. Aplikasi Teknik Molekuler untuk Analisis Genetik Tomato leaf curl virus.
J. Litbang Pert. 32(4): 141-149.
Viswanathan, R., et al. 2009. Diagnosis of Sugarcane yellow leaf virus in Asymptomatic
Sugarcane by RT-PCR. Sugar Tech. 11(4): 368:372.
Viswanathan, R. dan Balamuralikrishnan, M. 2004. Detection of Sugarcane yellow leaf virus,
the Causal Agent of Yellow Leaf Syndrome in Sugarcane by DAS-ELISA. Archives of
Phytopathology and Plant Protection. 37:169-176.
Wahyuni, S. W. 2005. Dasar-dasar Virologi Tumbuhan. Gadjah Mada university press.
Yogyakarta.

Widias, A. M. 2012. Deteksi Serologi Bean common mosaic virus (BCMV) dari Benih
Kacang

Panjang

(Vigna

sinensis

L.)

Komersial

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/54054.

dan

Petani.

Abtrak.

Anda mungkin juga menyukai