Anda di halaman 1dari 34

MONITORING DAN EVALUASI KETAHANAN PANGAN

Nuhfil Hanani AR

Menurut FAO (2000) kebanyakan sistim monitoring ketahanan pangan


yang diterapkan terdiri dari empat pilar utama yaitu :
1. Agricultural Production Monitoring (APM), umumnya dikombinasikan dengan
monitoring terhadap produk peternakan.
2. The Market Information System (MIS) biasanya digunakan untuk memonitor
perdagangan domestik dan terkadang untuk perdagangan internasional
(impor/ekspor)
3. The Social Monitoring of Vulnerable Group (MVG) atau pemantauan terhadap
kelompok masyarakat rawan pangan (kronis, siklus, dan transien)
4. Food and Nutrition Surveillance System (NFSS) atau yang dikenal dengan
Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
Pada tahun 2000, FAO memperkirakan ada sekitar 840 juta orang yang
menderita kelaparan dan kurang gizi, diantaranya 799 juta berada di negara
berkembang, 30 juta di negara transisi (dari berkembang ke maju) dan 11 juta
negara industri. Antara tahun 1990-92 dan tahun 1998-2000 jumlah penderita
kelaparan dan kurang gizi hanya berkurang 2,5 juta setiap tahunnya dari 22 juta
yang ditargetkan. Bahkan di negara berkembang tertentu jumlah tersebut tidak
berkurang tetapi bertambah. Kelaparan dan kurang gizi banyak membunuh anak
dan orang dewasa. Setiap harinya diperkirakan 24 jiwa ribu meninggal dunia,
diantaranya pada setiap tujuh detik meninggal satu orang anak (FAO, 2003).
Berdasarkan hal tersebut diatas, FAO kembali menyelenggarakan World

Food Summit: five years later

(WFS:fyl) pada tahun 2002 untuk mengkaji

berbagai hambatan dalam mencapai sasaran untuk mengurangi kelaparan yang


menghasilkan deklarasi tentang International Alliance Againts Hunger yang
mempertegas kembali komitment untuk: a) mencapai ketahanan pangan bagi
setiap orang, b) hak setiap orang untuk memiliki akses pangan yang aman dan
bergizi dan c) dukungan internasional dalam penanggulangan kemiskinan
sebagai penyebab utama kelaparan.
FAO (2002) memakai empat jenis kondisi yang hampir sama untuk
menilai ketidaktahanan pangan atau kelaparan baik pada tingkat rumah tangga
maupun individu yaitu: a) ketersediaan pangan (Dietary Energy Supply), b)

konsumsi energi, c) status gizi secara anthropometri dan 4) persen pengeluaran


untuk makanan (% expenditure).
Soekirman (2002) melaporkan bahwa dalam International Scientific

Symposium on Measurement and Assessment of Food Deprivation and UnderNutrition , FAO-Rome tanggal 26-28 Juni 2002 membahas tentang pengukuran
food insecurity yang diarahkan untuk dapat digunakan dalam memonitor
kemajuan pencapaian WFS Goal 2002 yaitu menurunkan jumlah kelaparan
menjadi 400 juta jiwa (menjadi separo) dalam kurun waktu sampai 2015. Ada
lima metodologi yang dibahas dalam pertemuan tersebut yakni:
1. FAO Method on Dietary Energy Supply (DES) dari analisa Food Balance Sheet
didukung dengan analisa koofisien variasi (Cooficient Variation = CV) data
konsumsi energi hasil survei konsumsi RT yang dikorelasikan dengan income
atau pengeluaran RT. Rasio DES/CV FAO ini dianggap cukup memadai untuk
memperkirakan kelaparan global dan dalam kurun waktu lama. Seperti
halnya metodologi lain yang menggunakan perkiraan konsumsi energi,
DES/CV mempunyai kelemahan dalam akurasi perkiraan rata-rata intake
energi dan sulit dikaitkan dengan kebutuhan. Jangka waktu estimasi jangka
panjang (lebih dari 1 tahun), sehingga tidak dapat menggambarkan keadaan
transient.
2. Household Income and Expenditure Survey (HIES). Pengukuran konsumsi
dengan estimasi pengeluaran RT untuk makanan. Dianggap lebih akurat
daripada DES/CV. Kelemahannya, jangka pendek kurang dari satu tahun dan
tetap sulit untuk dikaitkan dengan kebutuhan gizi.
3. Food Consumption Survey yang mengukur konsumsi makanan anggota
rumah tangga. Apabila dilakukan oleh tenaga professional, hasil perkiraan
konsumsi dianggap cukup akurat. Meskipun demikian upaya mengaitkan
dengan kebutuhan masih diperdebatkan. Survei ini mahal, karena itu hanya
sesuai untuk riset skala kecil.
4. Qualitative Measures of Food Insecurity and Hunger. Suatu metodologi relatif
baru dipraktekkan di USA tahun 1995, terutama untuk evaluasi program

social safety net (JPS). Mengukur Food Insecurity di luar perhitungan


energi/kalori. Lebih menyerupai survei KAP (Knowledge, Attitiude and

Practice) mengenai lapar dan kelaparan menggunakan kuesioner food


security module yang berisi pertanyaan tentang: a) kekhawatiran tentang

persediaan pangan di rumah dengan uang yang tersisa, b) persepsi cukup


tidaknya makanan baik jumlah maupun mutu, c) berkurangnya makanan
orang dewasa dan d) berkurangnya makanan anak. Dengan menggunakan
cara scaling tertentu, jawaban pertanyaan diberi nilai dari nol sampai 10,
berdasar jawaban yang benar. Metode ini dianggap cukup memadai
mengukur kelaparan dari sikap dan perilaku.
5. Antropometri. Mengukur status gizi anak yang erat korelasinya dengan food
insecurity RT, factor kesehatan dan pola pengasuhan anak di rumah. Namun
data antropometri tidak mengukur ketahanan pangan dan juga bukan
proksinya. Perubahan indicator antropometri anak factor penyebabnya tidak
spesifik dan asimetri. Bila pertumbuhan anak normal, maka status ketahanan
pangan RT juga normal, tetapi tidak sebaliknya. Pertumbuhan anak yang
tidak normal dapat disebabkan oleh banyak factor, bukan hanya karena
ketahanan pangan.
Menurut FAO (2000) bahwa data yang menggambarkan masalah gizi
pada tingkat rumah tangga secara umum dibagi ke dalam dua kategori yaitu: 1)
indicator kausal dan 2) indicator status. Indikator kausal merefleksikan tingkat
kerawanan pangan yang dibagi ke dalam dua kategori : a) indicator yang
refleksikan kuantitas dan variasi pangan yang tersedia di rumah tangga, b)
indicator yang merefleksikan akses terhadap pangan seringkali dikaitkan dengan
kemiskinan dan coping strategies RT seperti dalam Monitoring Vulnerable Groups
(MWGs).
Indicator

status

menggunakan

pengukuran

antropometerik

untuk

menaksir pertumbuhan anak-anak dan mengevaluasi status gizi (berat/umur,


tinggi/umur, berat badan lahir rendah) seperti halnya tingkat kelahiran dan
kematian. Data ini mengalami perubahan dengan lambat dan menguntungkan
dalam menggambarkan situasi makanan masyarakat pada masa lampau.
Indicator pencegahan dan peringatan hendaklah bersifat sederhana,
diperoleh secara cepat, fleksibel dam tidak mahal untuk mengumpulkannya serta
dipercaya yang menggambarkan perubahan situasi gizi masyarakat. Sehingga
mudah untuk dioperasionalkan.
Konsep ketahanan pangan selanjutnya dioperasionalkan pengukurannya
dalam bentuk indikator-indikator yang relevan dan metode pengukurannya terus
berkembang

dengan

melihat

sisi

tingkat

kerawanan

pangan

wilayah

bersangkutan. Salah satu instrumen yang selama ini digunakan dalam memotret

situasi pangan suatu wilayah adalah Food and Nutrition Surveillance

System

(FNSS) atau di Indonesia dikenal sebagai Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi
(SKPG) mulai diadopsi dan diterapkan di negara-negara berkembang pada tahun
1976. Sementara di

Indonesia SKPG dilaksanakan sejak 1979 yg dimulai di

Lombok Tengah, NTB dan Boyolali, Jawa Tengah, kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Dit. BGM-DepKes ke Propinsi- Propinsi lainnya (Depkes, 2004).
Sesuai dengan fungsi dan kegunaannya indikator SKPG dikategorikan
dalam 3 (tiga) kelompok utama yaitu:
1. indikator untuk pemetaan situasi pangan dan gizi 1 tahun di kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi maupun nasional dengan menggunakan 3 indikator
yang digabungkan secara komposit yaitu: a) indikator pertanian, dengan
memperhatikan bahwa potensi pertanian pangan antar wilayah sangat
beragam maka akan didekati dengan beberapa alternatif yang mungkin dan
cocok diterapkan pada suatu wilayah pengamatan, b) indikator kesehatan
yaitu Prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP) dan c) indikator sosial yaitu
persentase keluarga miskin.
2. Indikator untuk peramalan produksi secara periodik (bulanan, triwulan,
musiman atau tahunan) khusus untuk kondisi produksi pertanian yaitu: luas
tanam, luas kerusakan, luas panen dan produktivitas
3. Indikator untuk pengamatan gejala kerawanan pangan dan gizi yaitu:
kejadian-kejadian yang spesifik lokal (indikator lokal) yang dapat dipakai
untuk mengamati ada/tidaknya gejala rawan pangan dan gizi.
Handewi P.S. Rachman (2003) mengemukakan bahwa dari pengertian
SKPG di atas, terdapat setidaknya tiga kata kunci yang terkait dengan kinerja
dalam pelaksanaan SKPG tersebut. Ketiga kata kunci tersebut adalah (1) data
dan informasi tentang situasi pangan dan gizi secara berkesinambungan
(berkala) di suatu wilayah, 2) pengambilan keputusan dan tindakan secara cepat
dan tepat

untuk penanggulangan masalah pangan dan gizi di wilayah yang

bersangkutan dan 3) bahan perencanaan, pengelolaan dan evaluasi program


pangan dan gizi. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa dari ketiga kata kunci
tersebut amatlah penting untuk memahami berbagai faktor penentu kinerja SKPG
di suatu wilayah yang antara lain mencakup : 1) lembaga formal dan informal
yang terlibat dalam kegiatan, 2) mekanisme dan aturan main dari lembaga

yang terlibat dan 3) wewenang dan tanggung jawab masing-masing pelaku


dalam kegiatan SKPG.

Tabel 1. Indikator Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)

Kelompok

Aspek
Pertanian

Aspek Sosial
Ekonomi
Aspek
Kesehatan

Indikator

Frekuensi
pengumpulan
data untuk
pemetaan

- Produksi padi (alternatif 1)


: luas tanam
luas panen
luas kerusakan
prosentase produktivitas
- Produksi setara beras
(PSB) (alternatif 2)
- Jumlah KK miskin per
kecamatan data dari
BKKBN
- Prevalensi Kekurangan
Energi Protein (KEP) dari
Dinas Kesehatan

Frekuensi
pengumpulan
data untuk
peramalan
1 bulan 1 x
1 bulan 1 x
1 bulan 1 x
1 bulan 1 x
1 tahun 1 x

1 tahun 1 x

tahun 1 x

Tabel 1. Lanjutan

Kelompok

Aspek Lokal
(spesifik)

Indikator

Frekuensi
pengumpulan
data untuk
pemetaan

Frekuensi
pengumpulan
data untuk
peramalan

- Meningkatnya
kejahatan
(pencurian)
- Beralihnya pola konsumsi 1 tahun 1 x
pangan dari pangan pokok
ke pangan alternatif.
- Banyaknya lahan pertanian
yang diberakan karena
keterbatasan
biaya
produksi
- Banyaknya
pengiriman
tenaga kerja di daerah
lahan marginal.
- Meningkatnya prosentase
penjualan tabungan ternak.

Sumber : Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan, 2005.


Peta Kerawanan Pangan
Instrumen lain yang digunakan untuk memotret situasi ketahanan pangan suatu
wilayah adalah Peta Kerawanan Pangan atau Food Insecurity Atlas (FIA).
Peta Kerawanan Pangan dapat disusun berdasarkan data yang diperoleh dari
lapangan dengan menggunakan beberapa indikator yang telah ditetapkan
sebelumnya yaitu seperti terlihat pada tabel berikut.
Indikator tersebut

dikelompokkan ke dalam empat aspek kerawanan

pangan yaitu 1) ketersediaan pangan (food availability), 2) akses pangan (food

and livelihoods acsess), 3) kesehatan dan gizi (health and nutrition), 4)


kerawanan pangan sementara (transient food insecurity).
Tujuan

pembuatan

peta

kerawanan

pangan

FIA

adalah:

1) menyoroti titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan


indikator terpilih, 2) mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di kabupaten,
3) menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat
untuk kerawanan pangan kronis.
Kegiatan pemetaan dengan pendekatan FIA digunakan 14 indikator,
terbagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu indikator kronis dan transien. Pemetaan di

tingkat nasional hanya menggunakan 10 indikator yang meliputi aspek


ketersediaan, aspek akses pangan dan mata pencaharian dan aspek kesehatan
dan gizi. Sedangkan untuk tingkat provinsi menggunakan ke 14 indikator
tersebut dimana terdiri dari 10 indikator untuk pemetaan pada wilayah rawan
pangan kronis dan 4 indikator (aspek kerentanan) untuk pemetaan rawan
pangan transien.
Peta kerawanan pangan komposit dibuat dengan menghitung indeks
komposit kerawanan pangan dengan cara menggabung seluruh indikator dan
memberikan bobot pada indikator dengan menggunakan metode Principal

Component Analysis. Peta komposit menunjukkan daerah yang rawan pangan


berdasarkan

kombinasi

berbagai

dimensi

kerawanan

pangan.

Penyebab

terjadinya kerawanan pangan di daerah dapat diketahui dengan mempelajari


seluruh peta indikator individu.
Tabel 2. Indikator Peta Kerawanan Pangan Indonesia (FIA)
Kategori

Indicator

Ketersediaa 1. konsumsi
n Pangan
normative
per kapita
terhadap
rasio
ketersdiaan
bersih padi
+jagung
+ubi
kayu+ubi
jalar

Definisi dan perhitungan


- data rata-rata bersih tiga tahun
padi, jagung, ubi kayu dan ubi
jalar pada tingkat kabupaten
dihitung dengan menggunakan
factor konversi standar.
- data bersih serealia dari
perdagangan dan impor tidak
diperhitungkan karena data
tidak tersedia di kabupaten
- Ketersediaan per kapita adalah
data rata-rata bersih tiga tahun
dibagi dengan jumlah populasi
suatu wilayah
- konsumsi normative
serealia/hari/kapita adalah 300
gram/orang/hari
- kemudian dihitung rasio
konsumsi normative perkapita
terhadap ketersediaan bersih
serealia perkapita. Rasio lebih
besar dari 1 menunjukkan
daerah defisit pangan dan
daerah dengan rasio lebih kecil
dari 1 adalah surplus untuk
produksi serealia.

Sumber
data
Badan
Ketahanan
Pangan
Provinsi
dan
Kabupaten

Tabel 2. Lanjutan
Kategori

Indicator

Akses
2. persentasi
Pangan dan
penduduk hidup
Mata
di bawah garis
Pencaharia
kemiskinan
n

3. persentase desa
yang tidak
memiliki akses
penghubung
yang memadai
4. persentase
penduduk tanpa
akses listrik

Kesehatan
dan Gizi

5. Angka harapan
hidup pada saat
lahir

6. Berat badan
balita di bawah
standar

7. Perempuan buta
huruf

8. Angka kematian
bayi

9. penduduk tanpa
akses ke air
bersih

Definisi dan perhitungan

Sumber
data

Nilai rupiah pengeluaran per


kapita setiap bulan untuk
memenuhi standar minimum
kebutuhan-kebutuhan
konsumsi pangan dan non
pangan yang dibutuhkan
oleh seorang individu untuk
hidup secara layak

Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS

Lalu lintas antar desa yang


tidak bisa dilalui oleh
kendaraan roda empat

PODES,
BPS

Persentase rumah tangga


yang tidak mempunyai
akses thdp listrik PLN
dan/atau non PLN misalnya
generator dan diesel

Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS

Perkiraan lama hidup ratarata penduduk dengan


asumsi tidak ada perubahan
pola mortalitas menurut
umur

Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS

Anak di bawah lima tahun


yang berat badannya kurang
dari 2 Standard Deviasi (-2
SD) dari berat badan normal
pada usia dan jenis kelamin
tertentu (standard WHONCHS)
Persentase perempuan di
atas 15 tahun yang tidak
dapat membaca atau
menulis
Jumlah bayi yang meninggal
sebelum mencapai usia 12
bulan per 1000 kelahiran
hidup pada tahun tertentu
Persentase rumah tangga
yang tidak menggunakan air

Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS

Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS
BPS dan
UNDP

Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS

minum yang berasal dari air


mineral,air leding/PAM,
pompa air, sumur atau mata
air terlindung
10. persentase
penduduk yang
tinggal lebih dari
5 km dari
puskesmas

Persentase rumah tangga


yang tinggal pada jarak
lebih dari 5 km dari fasilitas
kesehatan (rumah sakit,
klinik,puskesmas, dokter,
juru rawat, bidan yang
terlatih, paramedic , dsb)

Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS

Tabel 2. Lanjutan
Kategori

Indicator

Definisi dan perhitungan

Kerawana 11. persentase


n Pangan
daerah berhutan
sementara
(transien) 12. persentasi
daerah puso
13. Daerah rawan
longsor dan
banjir
14. penyimpangan
curah hujan

Persentase dari daerah


geografis yang tidak
memiliki hutan
Persentasi dari daerah
ditanami padi yang rusak
akibat kekeringan, banjir
dan serangan hama
Daerah rawan banjir
Data rata-rata curah hujan
Selisih persentase antara
10th dan 30 th kemudian
dihitung
Nilai negatif menunjukkan
akumulasi curah hujan yg
lbh sdkt selama 10 thn

Sumber
data
Dinas
Kehutanan
BKP
Provinsi
Departeme
n PU
Badan
Meteorologi
Geofisika

Sumber : Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan, 2005

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam hal mitigasi kerawanan pangan


memang telah dilakukan dengan lingkup analisis yang berbeda-beda. FIA (Food

Insecurity Atlas) melakukan mitigasi kerawanan pangan dengan menggunakan


14 indikator kerawanan pangan dan unit analisisnya adalah kabupaten.
Sedangkan

SKPG

(Sistem

Kewaspadaan

Pangan

dan

Gizi)

yang

telah

dikembangkan oleh Departemen Kesehatan dengan 3 indikator yang digunakan,


memetakan kerawanan pangan dan gizi sampai pada tingkat kecamatan.

Aspek yang diamati berkenaan dengan analisis kerawanan pangan


ditingkat desa adalah :
1. Ketersediaan Pangan
2. Akses Pangan dan Mata pencaharian
3. Kesehatan dan Gizi
4. Kerentanan Pangan

Aspek Ketersediaan Pangan


Aspek ini melihat kemampuan suatu daerah untuk menghasilkan
pangannya sendiri.

Potensi sumberdaya yang dimiliki setiap daerah berbeda-

beda. Ada yang menjadi sentra tanaman pangan sementara daerah yang lain
menjadi sentra tanaman hortikultura, perkebunan dan lain-lain.

Perbedaan

potensi produksi pertanian ini tentunya sangat terkait dengan kondisi iklim dan
cuaca serta kondisi tanah yang sangat spesifik pada masingh-masing daerah.
Aspek ketersediaan pangan diukur dari rasio antara konsumsi pangan
normatif dengan ketersediaan pangan yang dihasilkan suatu daerah. Konsumsi
pangan normatif di peroleh dengan mengasumsikan konsumsi per kapita per hari
adalah 300 gram per orang per hari. Rasio antara konsumsi pangan normatif
dengan ketersediaan ini sekaligus merupakan ukuran yang menunjukkan proporsi
dari ketersediaan yang digunakan untuk konsumsi. Secara rinci indikator yang
dipertimbangkan adalah sebagai berikut.
Tabel 6. Indikator Daerah Rawan Pangan: Aspek Ketersediaan
Indikator

Uraian

1. Konsumsi normative
per kapita

Pengukuran
 Komoditas yang dipertinmbangkan adalah Padi, jagung,
ubi kayu dan ubi jalar yang diproduksi di daerah
tersebut
 Ketersediaan pangan dalam satuan kalori
 Kebutuhan normatif dihitung dalam satuan 300
gram/kap/hari atau 1100 kkal/kapita/hari
 Rumusan indikator 1 adalah :
X1 = konsumsi pangan normatif / ketersediaan

domestik

2. Rasio pangan
normatif terhdap
penyediaan pangan
dari toko klontong/
pracangan

Penilaian :
1. > 1.50
 Sangat Rawan
2. > 1.25 - 1. 50
 Rawan
3. > 1.00 - 1.25
 Agak Rawan
4. > 0.75 1.00
 Cukup Tahan
5. > 0.50 - 0.75
 Tahan
6. < = 0.5
 Sangat Tahan
Justifikasi :
Ketika masyarakat mampu menyediakan bahan pangan,
minimal
untuk
memenuhi
kebutuhan
pangan
keseluruhan masyarakat secara lokal, tidak tergantung
pada daerah lain maka daerah tersebut relatif rendah
rawan pangannya dan dapat dikategorikan tahan
pangan.
Pengukuran :
 Asumsi : Kebutuhan pangan normatif adalah 300 gram/
orang/ hari
 Penduduk yang dilayani per toko (standart) : 100 kk per
toko
 Rumusan indikator 2 adalah : X2 = penduduk per toko/
100
Penilaian :
1.
> 1.50
 Sangat Rawan
2. > 1.25 1.50
 Rawan
3. > 1.00 1.25
 Agak Rawan
4. > 0.75 1.00
 Cukup Tahan
5. > 0.50 0.75
 Tahan
6.
< = 0.50
 Sangat Tahan
Justifikasi :
Penggunaan indikator ini adalah upaya untuk
menangkap ketersediaan pangan dari kegiatan
perdagangan pangan di suatu wilayah. Karena sangat
mungkin pada daerah tertentu yang bukan sentra
pangan namun ketersediaan pangan relatif baik dengan

adanya toko-toko klontong/ pracangan.

Aspek Akses Pangan dan Mata Pencaharian


Suatu kegiatan ekonomi yang tinggi cenderung akan diikuti oleh peluang
kerja yang tinggi pula, ini berarti pula bahwa kesempatan kerja dan peluang
untuk mendapatkan income yang lebih baik. Dengan income yang lebih baik
maka akan terdapat daya beli yang lebih baik.
Kegiatan ekonomi yang tinggi perlu dukungan faktor atau input, salah
satu input produksi yang memberikan peluang bagi peningkatan produktifitas
yang sangat potensial adalah tenaga listrik, sarana dan prasarana perhubungan
serta infrastruktur pedesaan.
Wilayah dengan akses listrik tinggi dan tersebar diseluruh wilayah akan
meningkatkan dinamisasi kegiatan ekonominya.

Implikasi dari hal tersebut

adalah berkurangnya angka kemiskinan di suatu wilayah.

Demikian pula

kaitannya dengan sarana perhubungan dan infrastruktur desa diperlukan sebagai


syarat untuk memperlancar kegiatan ekonomi. Selebihnya secara rinci indikator
akses dan mata pencaharian yang dipertimbangkan untuk diseleksi ditabelkan
sebagai berikut.
Tabel 7. Indikator Penentuan Daerah Rawan Pangan: Aspek Akses Pangan
dan mata pencaharian
Indikator
3. % KK di bawah
garis kemiskinan

Uraian
Pengukuran
 Jika : jumlah KK miskin (m1), jumlah KK (n1)
 Maka persentase penduduk miskin :
X3 = (m1/ n1)
* 100%
Penilaian
1. > 30
 Sangat Rawan
2. > 25 - 30
 Rawan
3. > 20 - 25
 Agak Rawan
4. > 15 20
 Cukup Tahan
5. > 10 - 15
 Tahan
6. < = 10
 Sangat Tahan

Tabel 7. Lanjutan
Indikator

Uraian
Justifikasi
 Indikator ini menunjukkan ketidakmampuan dalam
mengakses pangan (sebagai kebutuhan dasar manusia)
secara baik karena rendahnya daya beli. Kemiskinan
sebenarnya secara teoritis merupakan indikator kunci
yang berperan besar dalam menentukan tingkat
ketahanan pangan suatu wilayah.
 Dengan tingginya kemiskinan maka akses terhadap
pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya menjadi rendah
dan itu akan menyebabkan rendahnya income
masyarakat. Rendahnya income menyebabkan daya
beli masyarakat menjadi rendah. Dan rendahnya daya
beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu
kebutuhan akan pangan yang memenuhi pola pangan
harapan sebagai syarat asupan gizi yang cukup juga
berpeluang besar tidak dapat dipenuhi.
 Namun demikian data ini masih memerlukan penguatan
dengan
adanya
indikator
lain
yang
harus
dipertimbangkan dalam penentuan tingkat ketahanan
pangan suatu wilayah.

4. % Jalan tanah

Pengukuran
 Panjang jalan tanah (km)  m1
 Panjang jalan total di wilayah tersebut (km)  n1
 Rumusan indikator 4 : X4 = (m1/ n1) * 100 %
Penilaian
1. > 90
 Sangat Rawan
2. > 80 - 90
 Rawan
3. > 70 - 80
 Agak Rawan
4. > 60 70
 Cukup Tahan
5. > 50 - 60
 Tahan
6. < = 50
 Sangat Tahan
Justifikasi
 Jalan merupakan infrastruktur wilayah yang sangat
mempengaruhi kinerja kegiatan ekonomi.
Dalam
perdagangan/ pemasaran produk pertanian ada fungsi
pertukaran dan fungsi fisik. Proses pengangkutan dan
handling product diperlancar infrastruktur jalan yang
baik.
 Kondisi jalan tanah relatif kurang tahan dalam
memfasilitasi
sarana
transportasi
seperti
truk
pengangkut
hasil
pertanian
maupun
dalam

mendistribusikan hasil pangan dari luar daerah ke


daerah tersebut. Sehingga indikator ini dipilih sebagai
indikator yang memperlancar akses pangan

Tabel 6. Lanjutan
Indikator
5. % RT yang tidak
mempunyai akses
listrik

6. % Buruh (tani +
swasta)

Uraian
Pengukuran
 Rumah tangga yang menggunakan listrik, baik dari PLN
maupun dari cara lain seperti diesel, kincir air, dll 
m1
 Jumlah RT yang terdapat di wilayah tersebut  n1
 Rumusan indikator 5 :
X4 = (1 - (m1/ n1)) * 100 %
Penilaian
1. > 50
 Sangat Rawan
2. > 40 - 50
 Rawan
3. > 30 - 40
 Agak Rawan
4. > 20 30
 Cukup Tahan
5. > 10 - 20
 Tahan
6. < = 10
 Sangat Tahan
Justifikasi
 Listrik merupakan faktor yang mendukung kegiatan
ekonomi di suatu wilayah. Dinamika ekonomi akan
semakin tinggi dengan adanya listrik yang dapat
diakses masyarakat disuatu wilayah.
 Tersedianya fasilitas listrik di suatu wilayah akan
membuka peluang yang lebih besar untuk
meningkatkan volume pekerjaan yang telah dijalankan
atau menambah peluang kerja baru yang lebih baik.
Indikator ini merupakan indikasi tingkat kesejahteraan
masyarakat di wilayah tersebut.
Pengukuran
 Jumlah buruh tani  m1 Jumlah buruh swasta  m2
 Jumlah Penduduk  n1
 Rumusan indikator 6 :
X6 = ((m1+ m2) / n1) * 100 %
Penilaian
1. > 40
 Sangat Rawan
2. > 30 - 40
 Rawan
3. > 20 - 30
 Agak Rawan
4. > 10 20
 Cukup Tahan
5. > 05 - 10
 Tahan
6. < = 05
 Sangat Tahan
Justifikasi
Jenis pekerjaan merupakan cerminan dari oppourtunity
cost seseorang. Sehingga dengan kualitas SDM di
pedsaaan yang lebih baik maka pekerjaan di pedesaaan

tentuya akan lebih baik dan terdiversifikasi .


Namun demikian jika ternyata banyak terdapat buruh
maka menjadi indikasi bahwa kualitas SDM dalam akses
ekonomi sangat bergantung pada orang lain. Hal ini
tentunya dapat berimplikasi pada kemampuan masyarakat
dalam mencukupi kebutuhan pokoknya.

Tabel 7. Lanjutan
Indikator
7. % KK yang
rumahnya dari
bambu

8. % penduduk tidak
tamat SD

Uraian
Pengukuran
 Jumlah KK yang rumah dari bambu
 m1
 Jumlah KK
 n1
 Rumusan indikator 7 :
X7 = (m1 / n1) * 100 %
Penilaian
1. > 30
 Sangat Rawan
2. > 25 - 30
 Rawan
3. > 20 - 25
 Agak Rawan
4. > 15 20
 Cukup Tahan
5. > 10 - 15
 Tahan
6. < = 10
 Sangat Tahan
Justifikasi
 Indikator ini adalah berkenaan dengan kepemilikan aset
keluarga. Dan juga sinergis dengan indikator atas aspek
kemiskinan.
Pengukuran
 Penduduk tidak tamat SD
 m2
 Jumlah Penduduk umur>15 th
 n1
 Rumusan indikator 8 :
X8 = ((m2)/ n1) * 100 %
Penilaian
1. > 50
 Sangat Rawan
2. > 40 - 50
 Rawan
3. > 30 - 40
 Agak Rawan
4. > 20 30
 Cukup Tahan
5. > 10 - 20
 Tahan
6. < = 10
 Sangat Tahan
Justifikasi
 Indikator
pendidikan

ini

adalah
rata-rata

berkenaan
yang

dengan

dimiliki

tingkat

masyarakat.

Masyarakat yang tingkat pendidikan rendah maka


cenderung akan membentuk komunitas yang relatif sulit
terbuka untuk hal-hal yang lebih baik (inovasi) sehingga
hal ini akan bedampak pada semakin terbatasnya
pilihan pekerjaan yang dapat dipilih
 Implikasi dari hal di atas adalah semakin lemahnya

akses ekonomi masyarakat tersebut.

Tabel 7. Lanjutan
Indikator
9. Jumlah kendaraan
bermotor per KK

Uraian

Pengukuran
 Jumlah kendaraan bermotor (mobil, sepeda motor,
truk,dll)
 m1
 Jumlah KK
 n1
 Rumusan indikator 9 :
X9 = (1- (m1/ n1)) *100%
Penilaian
1. > 50
 Sangat Rawan
2. > 40 - 50
 Rawan
3. > 30 - 40
 Agak Rawan
4. > 20 30
 Cukup Tahan
5. > 10 - 20
 Tahan
6. < = 10
 Sangat Tahan
Justifikasi
 Indikator ini adalah berkenaan dengan kepemilikan aset
keluarga dan juga berkaitan dengan tingkat mobolisasi
masyarakat. Ketersediaan sarana transportasi yang
memadai dapat membuka peluang bagi akses pekerjaan
yang lebih luas dan tidak hanya bergantung pada
pekerjaan di daerahnya saja.
 Indikator ini memang keberadaannya perlu dicermati
lebih dalam karena terkait pula dengan kebiasaan dan
perilaku masyarakat. Jika kepemilikan kendaraan adalah
untuk keperluan non-produktif atau bahkan adanya
aspek gengsi/ pamer di masyarakat pedesaaan maka
indikator ini bisa bias bila digunakan.
10. % penduduk tidak Pengukuran
bekerja
 Jumlah penduduk angkatan kerja (15-55 th)
 m1
 Jumlah penduduk bekerja
 m2
 Rumusan indikator 10 :
X10 = (1- m2/m1) *
100%
Penilaian
1. > 30
 Sangat Rawan
2. > 25 - 30
 Rawan
3. > 20 - 25
 Agak Rawan
4. > 15 20
 Cukup Tahan
5. > 10 - 15
 Tahan
6. < = 10
 Sangat Tahan
Justifikasi
 Persentase tidak bekerja di pedesaan menjadi indikator
yang sangat penting karena sangat mempengaruhi

kemampuan akses pangan masyarakat. Persen


penduduk tidak bekerja yang tinggi tentunya berkorelasi
dengan kemiskinan. Indikator ini digunakan dengan
harapan tidak hanya akan muncul instrumen kebijakan
yang meningkatkan kinerja ekonomi dari jenis pekerjaan
yang telah ada tetapi juga dipikirkan pembukaan dan
atau pengembangan usaha baru yang menyerap tenaga
kerja lokal.
Aspek Kesehatan dan gizi
Penyerapan pangan sebenarnyalah indikator dampak dari ketersediaan
maupun akses pangan.

Akses pangan dan ketersediaan yang baik akan

memberikan peluang bagi penyerapan pangan secara lebih baik.

Dalam

menyusun indikator ini maka asepk-aspek yang kita perhatiakan berkenaan


dengan :
1. Falilitas dan Layanan Kesehatan
2. Sanitasi dan Ketersediaan air
3. Pengetahuan ibu RT
4. Outcome Nutrisi dan kesehatan
Aspek-aspek di atas sangat

strategis dalam memberikan gambaran

penyerapan pangan suatu wilayah. Penyerapan pangan secara implisit adalah


merupakan permasalahan asupan gizi di masyarakat.
Buta Huruf dijadikan indikator penting karena dengan kondisi seperti
tersebut maka sangat lemah sekali menangkap informasi untuk meningkatkan
kualitas gizi keluarga.

Demikian juga berkenaan dengan kemudahan dalam

mengakses fasilitas kesehatan.

Akses fasilitas kesehatan didekati dengan

jaraknya dengan fasilitas kesehatan pada masing-masing wilayah. Variabel ini


tentunya diharapkan akan sangat mempengaruhi semakin rendahnya persentase
balita kurang gizi dan IMR di suatu wilayah.
Air bersih adalah indikator ketiga yang menggambarkan tingkat
penyerapan pangannya. Variabel ini dipilih karena air merupakan bahan baku
yang sangat vital bagi ibu-ibu rumah tangga dalam memasak. Tingginya akses
air bersih tentunya menunjukkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik dan lebih
sehat, hal ini tentunya akan berimplikasi pada makin tingginya harapan hidup
rata-rata penduduk.

Tabel 8. Indikator Penentuan Daerah Rawan Pangan: Aspek Kesehatan dan


Gizi
Indikator
11. Rasio penduduk
per jumlah
penduduk dalam
skala pelayanan
tenaga kesehatan

12. Rasio penduduk


dan jml normatif
penduduk terlayani
fasilitas posyandu

Uraian
Pengukuran
 Jumlah dokter/ dokter gigi (1 per 10000)
 m1
 Jumlah perawat, bidan (1 per 5000)
 m2
 Jumlah penduduk
 n1
 Rumusan indikator 11 :
X11 = n1 / (m1+ 0.5*m2)*10000)
Penilaian
1. > 1.50
 Sangat Rawan
2. > 1.25 - 1. 50
 Rawan
3. > 1.00 - 1.25
 Agak Rawan
4. > 0.75 1.00
 Cukup Tahan
5. > 0.50 - 0.75
 Tahan
6. < = 0.5
 Sangat Tahan
Justifikasi
 Indikator ini mengukur bagaimana kesesuaian
ketersediaan tenaga medis dan jumlah masyarakat yang
dilayaninya. Semakin baik rasio dokter dan masyarakat
yang dilayani maka relatif akan semakin terjaga
kesehatan di masyarakat.
Pengukuran
 Asumsi Jumlah posyandu per penduduk (1 per 1200)
 Jumlah posyandu
 m1
 Jumlah penduduk
 n1
 Rumusan indikator 12 :
X12 = n1 / (m1 * 1200)
Penilaian
1. > 1.50
 Sangat Rawan
2. > 1.25 - 1. 50
 Rawan
3. > 1.00 - 1.25
 Agak Rawan
4. > 0.75 1.00
 Cukup Tahan
5. > 0.50 - 0.75
 Tahan
6. < = 0.5
 Sangat Tahan
Justifikasi
 Indikator ini mengukur bagaimana kesesuaian
ketersediaan tenaga medis dan jumlah masyarakat yang
dilayaninya. Semakin baik rasio dokter dan masyarakat
yang dilayani maka relatif akan semakin terjaga
kesehatan di masyarakat dan ini berarti pula sangat
dimungkinkan pula pengawasan secara tidak langsung

oleh tenaga kesehatan ini terhadap konsumsi dan pola


konsumsi masyarakat.

Tabel 8. Lanjutan
Indikator
13. % Balita Gizi
kurang

14. % Buta Huruf

Uraian
Pengukuran
 Jumlah balita
 m1
 Jumlah balita gizi kurang
 n1
 Rumusan indikator 13 :
X13 = (m1/ n1) * 100%
Penilaian
1. > 25
 Sangat Rawan
2. > 20 - 25
 Rawan
3. > 15 - 20
 Agak Rawan
4. > 10 15
 Cukup Tahan
5. > 05 10
 Tahan
6. < = 05
 Sangat Tahan
Justifikasi
Status gizi anak (biasanya usia di bawah 5 tahun)
merupakan indikator yang baik untuk mengetahui
penyerapan/ absorbsi pangan. Faktor yang mempengaruhi
status gizi seorang balita adalah situasi ketahanan
pangan. Kondisi ketahanan pangan yang tidak baik akan
meningkatkan resiko terjadinya balita dengan gizi kurang.
Pengukuran
 Jumlah penduduk usia > 15 tahun yang buta huruf
 m1
 Jumlah penduduk > 15 tahun
 n1
 Rumusan indikator 14 :
X14 = (m1/ n1) * 100%
Penilaian
1. > 30
 Sangat Rawan
2. > 25 - 30
 Rawan
3. > 20 - 25
 Agak Rawan
4. > 15 20
 Cukup Tahan
5. > 10 - 15
 Tahan
6. < = 10
 Sangat Tahan
Justifikasi
Indikator ini sebenarnya untuk mendekati indikator wanita
buta huruf.
Karena adanya keterbatasan data maka
selanjutnya data penduduk buta huruf dipertimbangkan
dalam proses seleksi indikator kerawanan pangan.

Tabel 8. Lanjutan
Indikator
15. Angka Kematian
Bayi (IMR)

16. % Penduduk tanpa


akses ke air bersih

Uraian
Pengukuran
 Jumlah kematian bayi
 m1
 Jumlah kelahiran
 n1
 Rumusan indikator 14 :
X14 = (m1/ n1) * 100%
Penilaian
1. > 55
 Sangat Rawan
2. > 50 - 55
 Rawan
3. > 45 - 50
 Agak Rawan
4. > 40 45
 Cukup Tahan
5. > 35 - 40
 Tahan
6. < = 35
 Sangat Tahan
Justifikasi
Tingkat kematian bayi menjadi indikator yang sangat baik
untuk mengukur kinerja kualitas pelayanan dan
penanganan kesehatan kelompok usia yang masih rentan
terserang penyakit yaitu bayi. IMR sangat terkait dengan
pola asuh, pengetahuan tentang gizi di masyarakat dan
juga kebiasaan di masyarakat dalam menjaga kesehatan.
Indikator ini merupakan indikator output dalam aspek
ketahanan pangan.
Pengukuran
 Jmlh RT
 n1
 Jml RT menggunakan sumur gali, PAM,
sumur pompa, hidrant umum, perpipaan air, mata air
 m1
 Rumusan indikator 16 :
X16 = (1- (m1/ n1)) * 100%
Penilaian
1. > 70
 Sangat Rawan
2. > 60 - 70
 Rawan
3. > 50 - 60
 Agak Rawan
4. > 40 50
 Cukup Tahan
5. > 30 - 40
 Tahan
6. < = 30
 Sangat Tahan
Justifikasi
Akses air bersih memgang peranan yang sangat penting
untuk pencapaian ketahanan pangan.

Air yang tidak

bersih akan meningkatkan resiko terjadinya sakit dan


kemampuan dalam menyerap makanan dan pada akhirnya
akan mempengaruhi status gizi seseorang.

Tabel 8. Lanjutan
Indikator
17. Keberadaan
prasarana kesehatan

Uraian
Pengukuran
 Indikator ini diukur dari keberadaan puskesmas,
puskesmas pembantu, polindes atau bahkan rumah sakit
 Rumusan indikator 17 (ada=1, tidak ada =0) :
X17 = (polindes*1+ puskesmas*5+ RS*10)
Penilaian
1.

< 01

 Agak Rawan

2. 01 <05

 Cukup Tahan

3. 05 - <10

 Tahan

4.

 Sangat Tahan

>= 10

Justifikasi
Prasarana
mendapatkan

kesehatan
gambaran

digunakan

dalam

upaya

kemampuan

wilayah

dalam

menyediakan fasilitas kesehatan. Fasilitas ini merupakan


wadah bagi masyarakat dalam melakukan tindakan kuratif
atas permaslahan kesehatan, sekaligus kelembagaan yang
terbangun merupakan sumberdaya bagi transfer informasi
kesehatan dan meningkatkan kinerja ketersediaan pangan
bagi terbentuknya kecukupan gizi masyarakat.

Aspek Kerentanan Pangan


Dimensi ini mencerminkan kondisi rawan pangan sementara (transient)
dan resiko yang disebabkan oleh faktor lingkungan yang mengancam
kelangsungan kondisi tahan pangan baik dalam jangka pendek maupoun jangka
panjang.

Indikator aspek kerentanan pangan diseleksi dari indikator-indikator

awal sebagai berikut.

Tabel 9. Indikator Penentuan Daerah Rawan Pangan: Aspek Kerentanan


Pangan
Indikator
18. % lahan puso
karena kekeringan,
banjir dan atau
hama penyakit

Uraian
Pengukuran
 Jumlah areal tanam
 n1
 Jumlah areal puso
 m1
 Rumusan indikator 18 :
X18 = (m1/ n1)* 100 %
Penilaian
1. > 70
 Sangat Rawan
2. > 50 70
 Rawan
3. > 30 50
 Agak Rawan
4. > 10 30
 Cukup Tahan
5. > 00 10
 Tahan
6.
=0
 Sangat Tahan
Justifikasi
Daerah puso dodefinisikan sebagai daerah yang mengalami
kerusakan produksi padi karena adanya kekeringan, banjir
ataupun serangan hama dan penyakit. Semakin luas
wilayah puso maka akan semakin berpotensi mengalami
kerawanan pangan.

19. Frekuensi
banjir/tanah longsor
(tiga tahun terakhir)

Pengukuran
 Pengukuran dilakukan dengan mendata frekuensi
kejadian banjir dan atau tanah longsor di 3 tahun
terakhir.
Penilaian
1.
Banjir >3x di 3 tahun terakhir
 Sangat
Rawan
2.
Banjir 1-3 x di 3 tahun terakhir
 Rawan
3.
Banjir sekali di 3 tahun terakhir
 Agak
Rawan
4.
Tidak pernah banjir 3 th terakhir
 Tahan

Justifikasi
Kondisi lingkungan geografis yang tidak menguntungkan
seperti seringnya terjadi banjir dan longsor merupakan
faktor yang sangat menghambat kinerja ketahanan
pangan.
Bencana banjir dan tanah longsor secara
langsung akan mengurangi kemampuan suplai makanan di
masyarakat dan juga akses kewilayahan. Terhambatnya 2

faktor ini tentunya sangat berpengaruh yaitu menjadikan


lebih rendah lagi
kemampuan masyarakat dalam
mengakses pangan , dan hal ini juga mengancam
kelangsungan ketahanan pangan suatu wilayah.

Tabel 9. Lanjutan
Indikator
20. Persen lahan tidak
beririgasi

Uraian
Pengukuran
 Luas lahan beririgasi
 m1
 Luas lahan pertanian
 n1
 Rumusan indikator 18 :
X18 = (1-(m1/ n1))* 100 %
Penilaian
1. > 70
2. > 60 70
3. > 50 60
4. > 40 50
5. > 30 40
6.
<= 30






 Sangat Rawan
Rawan
Agak Rawan
Cukup Tahan
 Tahan
Sangat Tahan

Justifikasi
Lahan, TK, modal dan manajemen merupakan unsur-unsur
usahatani yang dapat dikombinasikan dalam suatu
kegiatan produksi pertanian.
Sedangkan air dalam
kegiatan produksi pertanian konvensional merupakan
syarat utama yang harus dipenuhi keberadaannya.
Kelangsungan berproduksi akan lebih terjamin dan
produktifitas bisa optimalkan dengan ketersediaan air yang
cukup. Sehingga indikator ini digunakan sebagai indikator
dalam menjaga kelangsungan ketahanan pangan suatu
wilayah.

Indikator yang disusun di atas selanjutnya dianalisis dengan analisis


factor untuk dropping indicator yan tidak dapat terisi oleh semua sampel atau
memang dari sisi factor loading-nya yang kecil. Data yang telah dikumpulkan
digunakan untuk melakukan seleksi indikator.

Analisis ini menggunakan

pendekatan statistik yaitu analisis faktor dengan PCA (Principle Componen

Analysis). Analisis faktor adalah sebuah teknik yang digunakan untuk mereduksi
variabel dalam jumlah yang besar menjadi variabel yang sedikit.
Kegiatan ini melibatkan banyak variabel yang menjadi indikator dimana
perhitungannya sangat kompleks. Oleh karena itu digunakan software analisis
pendukung yaitu SPSS.

1.
Setelah

indicator

terpilih

selanjutnya

dilakukan

penilaian

tingkat

kerawanan pangan secara individual (per indicator) dan komposit. Mekanisme


penilaian indikator dan kompositnya dapat dilakukan, yaitu:
1. Pengklasifikasian tiap-tiap indikator ke dalam 6 (enam) tingkatan
kerawanan pangan. Pengklasifikasian ini dilakukan dengan menggunakan
interval penilaian pada masing-masing indikator.
2. Penilaian komposit atas indikator yang digunakan dengan metode sebagai
berikut :
a. Komposit adalah nilai tingkat kerawanan pangan yang diperoleh
dari rata-rata indeks (indikator diasumsikan memiliki bobot yang
sama).
b. Indeks

yang

disusun

per

indikator

memiliki

keseragaman

pengukuran sebagai berikut :


Sangat rawan  > = 0.80
Rawan

 > 0.64 0.80

Agak Rawan

 > 0.48 0.64

Cukup Tahan  > 0.32 0.48


Tahan

 > 0.16 0.32

Sangat Tahan 

<= 0.16

3. Penilaian indeks per indikator juga mendasarkan pada klasifikasi penilaian


komposit sebagai berikut :
i. Sangat rawan  > = 0.80
ii. Rawan

 > 0.64 0.80

iii. Agak Rawan

 > 0.48 0.64

iv. Cukup Tahan  > 0.32 0.48


v. Tahan
vi. Sangat Tahan 

 > 0.16 0.32


<= 0.16

4. Upaya membentuk keseragaman sebagaimana point 2, diperlukan adanya

koefisien konversi sehingga dapat masuk dalam klasifikasi di atas.


Pada penelitian pada Tahun II, serangkaian kegiatan di atas selanjutnya
menjadi input bagi penyusunan software analisis dan pemetaan kerawanan
pangan tingkat desa. Dalam konsep struktur layout software peta rawan pangan
tingkat desa pada dasarnya terdiri dari :

Identifikasi indikator bersesuaian


dengan Indikator Kerawanan
Pangan

Seleksi Indikator

Tidak
1. Penentuan jumlah kategori dan
penilaian kategori yang
menjadi dasar pengukuran
(References)
2. Penilaian indikator
3. Metode penilaian komposit
4. Pengklasifikasian komposit
dalam tingkatan kerawanan
pangan

Metode Analisis Seleksi


Indikator adalah analisis faktor
dengan pendekatan principle
komponen analysis

Apakah hasil seleksi


indikator baik?

TAHAP I

Sumber data: Potensi Desa,


Monografi Desa, Kecamatan
dalam angka, dll

Ya
Analisis Kerawanan Pangan
Indikator dan Komposit

Verifikasi Hasil Analisis Data

Apakah hasil penilaian indicator


dan komposit sesuai dengan hasil
verifikasi?

Tidak

Ya
Penggunaan metode analisis
dalam penyusunan software
rawan pangan
Sofware analisis dan pemetaan
kerawanan pangan tingkat Desa

Analisis dan pemetaan


rawan pangan di lokasi
penelitian (aplikasi
software)

Tinjauan lapang berkenaan


dengan indikator penyebab
kerawanan

Teridentfikasinya penyebab
kerawanan yang menguatkan
temuan analisis sebelumnya

Penyusunan Rekomendasi Penanganan


Kerawanan Pangan di Lokasi Penelitian

Gambar 2. Diagram alur desain penelitian : Pembangunan Sistem Informasi


Kerawanan Pangan Tingkat Desa

TAHAP I I

Output analisis dan peta rawan


pangan tingkat Desa

VI. DAFTAR PUSTAKA


Anderson, K dan M. Pangestu. 1995. Agricultural and Rural Development in
Indonesia Into the 21st Century. Centre for International Economic
Studies. University of Adelaide. Adelaide
Anonim, 2001.Rencana Strategis dan Program Kerja Pemantapan Ketahanan
Tahun 2001-2004. Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen
Pertanian Jakarta.
Anonim, 2003. Pedoman Umum Penanggulangan Pencegahan Masalah Pangan.
Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Jakarta.
Anonim, 2003. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Badan Bimas Ketahanan
Pangan Departemen Pertanian Jakarta.
Anonim, 2003.Studi Uji Coba Instrumen Pemantauan Kelaparan. Badan Bimas
Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Jakarta.
Ariani, M, H.P. Saliem, S.H. Suhartini, Wahida dan H. Supriadi. 2000. Analisis
Kebijaksanaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan
Rendah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Burniaux, J.M, J. P. Martin dan F. Delome. Economy-Wide Effects of Agricultural
Policy in OECD Countries. Dalam Goldin, I. Dan Knudsen. 1990.
Agricultur Trade Liberalization : Implications for Developing
Countries.
Organization foe Economic Co-operation and
Development. World Bank.
Corriston, S. and I.M Sheldon. 1991. Government Intervention in Inperfectly
Competitive Agricultural Input Markets. AJAE. Pp.621-632.
Crowder,L. Van. 1998. Learning For The Future: Human Resource Development

To Reduce Poverty And Achieve Food Security. Posted March 1998


Communication
for
Development
Extension,
Education
and
Communication Service (SDRE) FAO Research, Extension and Training
Division.
FAO, 2003. Proceedings. Measurement and Assessment of Food Devrivation and
Undernutrion. International Scientific Symposium. Rome, 26-28 Juni
2002.
Gorter, H. and Y Tsur. 1991, explaining Price Policy Bias in Agriculture : The
Calculus of Support-Maximizing Politicians. AJAE. Vol 73(4), pp. 12441245.
Hanafi, S.R. Djatimurti R., 2004. Efektifitas Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumah
Tangga Miskin Perdesaan Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Pangan.
Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang.

R. 2004. Identifikasi Wilayah Rawan Pangan


D.I.Yogyakartya. I
CASERD WORKING PAPER No. 36.

Handewi

di

Propinsi

Irawan, P.B. dan H. Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap


Kemiskinan dan Beberapa Imlplikasinya Untuk Strategi Pembangunan.
WKNPG. LIPI. Jakarta.
Joesron, T. Suharti, Fathorozzi, M. 2003. Teori Ekonomi Makro. Penerbit Salemba
Empat. Jakarta.
Kasryno, Faisal, 2000. Menempatkan Pertanian Sebagai Basis Ekonomi Indonesia
: Memantapkan Ketahanan Pangan dan Mengurangi Kemiskinan. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian. Prosiding
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII 2000. Jakarta.
Rachman, Handewi P.S., 2003. Sistim Jaringan Deteksi Dini Wilayah Rawan
Pangan Dalam Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian.
Bogor.
Saliem, H.P., E.M. Lokollo, M. Ariyani, T.B. Purwantini dan Y. Marisa. 2001.
Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Laporan
Penelitian Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
Sudaryanto,Tahlim., Rusastra I.Wayan., Simatupang, P dan Ariani, Mewa, 2000.
Reorientasi Kebijakan Pembangunan Tanaman Pangan Pasca Krisis
Ekonomi. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII 2000.
Jakarta.
Soetrisna, N. 1994. Perspektif Ekonomi Pangan Dalam Repelita VI. Pangan,
Volume V, No. 18 hal 40-47.
Sumedi dan Supadi. 2004. Kemiskinan di Indonesia : Suatu Fenomena Ekonomi.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Wibowo, R. 2000. Pertanian dan Pangan. Bunga Rampai Pemikiran Menuju
Ketahanan Pangan. Puslibang Sinar Harapan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai