Pemetaan Rawan Pangan
Pemetaan Rawan Pangan
Nuhfil Hanani AR
Symposium on Measurement and Assessment of Food Deprivation and UnderNutrition , FAO-Rome tanggal 26-28 Juni 2002 membahas tentang pengukuran
food insecurity yang diarahkan untuk dapat digunakan dalam memonitor
kemajuan pencapaian WFS Goal 2002 yaitu menurunkan jumlah kelaparan
menjadi 400 juta jiwa (menjadi separo) dalam kurun waktu sampai 2015. Ada
lima metodologi yang dibahas dalam pertemuan tersebut yakni:
1. FAO Method on Dietary Energy Supply (DES) dari analisa Food Balance Sheet
didukung dengan analisa koofisien variasi (Cooficient Variation = CV) data
konsumsi energi hasil survei konsumsi RT yang dikorelasikan dengan income
atau pengeluaran RT. Rasio DES/CV FAO ini dianggap cukup memadai untuk
memperkirakan kelaparan global dan dalam kurun waktu lama. Seperti
halnya metodologi lain yang menggunakan perkiraan konsumsi energi,
DES/CV mempunyai kelemahan dalam akurasi perkiraan rata-rata intake
energi dan sulit dikaitkan dengan kebutuhan. Jangka waktu estimasi jangka
panjang (lebih dari 1 tahun), sehingga tidak dapat menggambarkan keadaan
transient.
2. Household Income and Expenditure Survey (HIES). Pengukuran konsumsi
dengan estimasi pengeluaran RT untuk makanan. Dianggap lebih akurat
daripada DES/CV. Kelemahannya, jangka pendek kurang dari satu tahun dan
tetap sulit untuk dikaitkan dengan kebutuhan gizi.
3. Food Consumption Survey yang mengukur konsumsi makanan anggota
rumah tangga. Apabila dilakukan oleh tenaga professional, hasil perkiraan
konsumsi dianggap cukup akurat. Meskipun demikian upaya mengaitkan
dengan kebutuhan masih diperdebatkan. Survei ini mahal, karena itu hanya
sesuai untuk riset skala kecil.
4. Qualitative Measures of Food Insecurity and Hunger. Suatu metodologi relatif
baru dipraktekkan di USA tahun 1995, terutama untuk evaluasi program
status
menggunakan
pengukuran
antropometerik
untuk
dengan
melihat
sisi
tingkat
kerawanan
pangan
wilayah
bersangkutan. Salah satu instrumen yang selama ini digunakan dalam memotret
System
(FNSS) atau di Indonesia dikenal sebagai Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi
(SKPG) mulai diadopsi dan diterapkan di negara-negara berkembang pada tahun
1976. Sementara di
Lombok Tengah, NTB dan Boyolali, Jawa Tengah, kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Dit. BGM-DepKes ke Propinsi- Propinsi lainnya (Depkes, 2004).
Sesuai dengan fungsi dan kegunaannya indikator SKPG dikategorikan
dalam 3 (tiga) kelompok utama yaitu:
1. indikator untuk pemetaan situasi pangan dan gizi 1 tahun di kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi maupun nasional dengan menggunakan 3 indikator
yang digabungkan secara komposit yaitu: a) indikator pertanian, dengan
memperhatikan bahwa potensi pertanian pangan antar wilayah sangat
beragam maka akan didekati dengan beberapa alternatif yang mungkin dan
cocok diterapkan pada suatu wilayah pengamatan, b) indikator kesehatan
yaitu Prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP) dan c) indikator sosial yaitu
persentase keluarga miskin.
2. Indikator untuk peramalan produksi secara periodik (bulanan, triwulan,
musiman atau tahunan) khusus untuk kondisi produksi pertanian yaitu: luas
tanam, luas kerusakan, luas panen dan produktivitas
3. Indikator untuk pengamatan gejala kerawanan pangan dan gizi yaitu:
kejadian-kejadian yang spesifik lokal (indikator lokal) yang dapat dipakai
untuk mengamati ada/tidaknya gejala rawan pangan dan gizi.
Handewi P.S. Rachman (2003) mengemukakan bahwa dari pengertian
SKPG di atas, terdapat setidaknya tiga kata kunci yang terkait dengan kinerja
dalam pelaksanaan SKPG tersebut. Ketiga kata kunci tersebut adalah (1) data
dan informasi tentang situasi pangan dan gizi secara berkesinambungan
(berkala) di suatu wilayah, 2) pengambilan keputusan dan tindakan secara cepat
dan tepat
Kelompok
Aspek
Pertanian
Aspek Sosial
Ekonomi
Aspek
Kesehatan
Indikator
Frekuensi
pengumpulan
data untuk
pemetaan
Frekuensi
pengumpulan
data untuk
peramalan
1 bulan 1 x
1 bulan 1 x
1 bulan 1 x
1 bulan 1 x
1 tahun 1 x
1 tahun 1 x
tahun 1 x
Tabel 1. Lanjutan
Kelompok
Aspek Lokal
(spesifik)
Indikator
Frekuensi
pengumpulan
data untuk
pemetaan
Frekuensi
pengumpulan
data untuk
peramalan
- Meningkatnya
kejahatan
(pencurian)
- Beralihnya pola konsumsi 1 tahun 1 x
pangan dari pangan pokok
ke pangan alternatif.
- Banyaknya lahan pertanian
yang diberakan karena
keterbatasan
biaya
produksi
- Banyaknya
pengiriman
tenaga kerja di daerah
lahan marginal.
- Meningkatnya prosentase
penjualan tabungan ternak.
pembuatan
peta
kerawanan
pangan
FIA
adalah:
kombinasi
berbagai
dimensi
kerawanan
pangan.
Penyebab
Indicator
Ketersediaa 1. konsumsi
n Pangan
normative
per kapita
terhadap
rasio
ketersdiaan
bersih padi
+jagung
+ubi
kayu+ubi
jalar
Sumber
data
Badan
Ketahanan
Pangan
Provinsi
dan
Kabupaten
Tabel 2. Lanjutan
Kategori
Indicator
Akses
2. persentasi
Pangan dan
penduduk hidup
Mata
di bawah garis
Pencaharia
kemiskinan
n
3. persentase desa
yang tidak
memiliki akses
penghubung
yang memadai
4. persentase
penduduk tanpa
akses listrik
Kesehatan
dan Gizi
5. Angka harapan
hidup pada saat
lahir
6. Berat badan
balita di bawah
standar
7. Perempuan buta
huruf
8. Angka kematian
bayi
9. penduduk tanpa
akses ke air
bersih
Sumber
data
Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS
PODES,
BPS
Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS
Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS
Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS
Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS
BPS dan
UNDP
Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS
Data dan
informasi
Kemiskinan
, BPS
Tabel 2. Lanjutan
Kategori
Indicator
Sumber
data
Dinas
Kehutanan
BKP
Provinsi
Departeme
n PU
Badan
Meteorologi
Geofisika
SKPG
(Sistem
Kewaspadaan
Pangan
dan
Gizi)
yang
telah
beda. Ada yang menjadi sentra tanaman pangan sementara daerah yang lain
menjadi sentra tanaman hortikultura, perkebunan dan lain-lain.
Perbedaan
potensi produksi pertanian ini tentunya sangat terkait dengan kondisi iklim dan
cuaca serta kondisi tanah yang sangat spesifik pada masingh-masing daerah.
Aspek ketersediaan pangan diukur dari rasio antara konsumsi pangan
normatif dengan ketersediaan pangan yang dihasilkan suatu daerah. Konsumsi
pangan normatif di peroleh dengan mengasumsikan konsumsi per kapita per hari
adalah 300 gram per orang per hari. Rasio antara konsumsi pangan normatif
dengan ketersediaan ini sekaligus merupakan ukuran yang menunjukkan proporsi
dari ketersediaan yang digunakan untuk konsumsi. Secara rinci indikator yang
dipertimbangkan adalah sebagai berikut.
Tabel 6. Indikator Daerah Rawan Pangan: Aspek Ketersediaan
Indikator
Uraian
1. Konsumsi normative
per kapita
Pengukuran
Komoditas yang dipertinmbangkan adalah Padi, jagung,
ubi kayu dan ubi jalar yang diproduksi di daerah
tersebut
Ketersediaan pangan dalam satuan kalori
Kebutuhan normatif dihitung dalam satuan 300
gram/kap/hari atau 1100 kkal/kapita/hari
Rumusan indikator 1 adalah :
X1 = konsumsi pangan normatif / ketersediaan
domestik
2. Rasio pangan
normatif terhdap
penyediaan pangan
dari toko klontong/
pracangan
Penilaian :
1. > 1.50
Sangat Rawan
2. > 1.25 - 1. 50
Rawan
3. > 1.00 - 1.25
Agak Rawan
4. > 0.75 1.00
Cukup Tahan
5. > 0.50 - 0.75
Tahan
6. < = 0.5
Sangat Tahan
Justifikasi :
Ketika masyarakat mampu menyediakan bahan pangan,
minimal
untuk
memenuhi
kebutuhan
pangan
keseluruhan masyarakat secara lokal, tidak tergantung
pada daerah lain maka daerah tersebut relatif rendah
rawan pangannya dan dapat dikategorikan tahan
pangan.
Pengukuran :
Asumsi : Kebutuhan pangan normatif adalah 300 gram/
orang/ hari
Penduduk yang dilayani per toko (standart) : 100 kk per
toko
Rumusan indikator 2 adalah : X2 = penduduk per toko/
100
Penilaian :
1.
> 1.50
Sangat Rawan
2. > 1.25 1.50
Rawan
3. > 1.00 1.25
Agak Rawan
4. > 0.75 1.00
Cukup Tahan
5. > 0.50 0.75
Tahan
6.
< = 0.50
Sangat Tahan
Justifikasi :
Penggunaan indikator ini adalah upaya untuk
menangkap ketersediaan pangan dari kegiatan
perdagangan pangan di suatu wilayah. Karena sangat
mungkin pada daerah tertentu yang bukan sentra
pangan namun ketersediaan pangan relatif baik dengan
Demikian pula
Uraian
Pengukuran
Jika : jumlah KK miskin (m1), jumlah KK (n1)
Maka persentase penduduk miskin :
X3 = (m1/ n1)
* 100%
Penilaian
1. > 30
Sangat Rawan
2. > 25 - 30
Rawan
3. > 20 - 25
Agak Rawan
4. > 15 20
Cukup Tahan
5. > 10 - 15
Tahan
6. < = 10
Sangat Tahan
Tabel 7. Lanjutan
Indikator
Uraian
Justifikasi
Indikator ini menunjukkan ketidakmampuan dalam
mengakses pangan (sebagai kebutuhan dasar manusia)
secara baik karena rendahnya daya beli. Kemiskinan
sebenarnya secara teoritis merupakan indikator kunci
yang berperan besar dalam menentukan tingkat
ketahanan pangan suatu wilayah.
Dengan tingginya kemiskinan maka akses terhadap
pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya menjadi rendah
dan itu akan menyebabkan rendahnya income
masyarakat. Rendahnya income menyebabkan daya
beli masyarakat menjadi rendah. Dan rendahnya daya
beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu
kebutuhan akan pangan yang memenuhi pola pangan
harapan sebagai syarat asupan gizi yang cukup juga
berpeluang besar tidak dapat dipenuhi.
Namun demikian data ini masih memerlukan penguatan
dengan
adanya
indikator
lain
yang
harus
dipertimbangkan dalam penentuan tingkat ketahanan
pangan suatu wilayah.
4. % Jalan tanah
Pengukuran
Panjang jalan tanah (km) m1
Panjang jalan total di wilayah tersebut (km) n1
Rumusan indikator 4 : X4 = (m1/ n1) * 100 %
Penilaian
1. > 90
Sangat Rawan
2. > 80 - 90
Rawan
3. > 70 - 80
Agak Rawan
4. > 60 70
Cukup Tahan
5. > 50 - 60
Tahan
6. < = 50
Sangat Tahan
Justifikasi
Jalan merupakan infrastruktur wilayah yang sangat
mempengaruhi kinerja kegiatan ekonomi.
Dalam
perdagangan/ pemasaran produk pertanian ada fungsi
pertukaran dan fungsi fisik. Proses pengangkutan dan
handling product diperlancar infrastruktur jalan yang
baik.
Kondisi jalan tanah relatif kurang tahan dalam
memfasilitasi
sarana
transportasi
seperti
truk
pengangkut
hasil
pertanian
maupun
dalam
Tabel 6. Lanjutan
Indikator
5. % RT yang tidak
mempunyai akses
listrik
6. % Buruh (tani +
swasta)
Uraian
Pengukuran
Rumah tangga yang menggunakan listrik, baik dari PLN
maupun dari cara lain seperti diesel, kincir air, dll
m1
Jumlah RT yang terdapat di wilayah tersebut n1
Rumusan indikator 5 :
X4 = (1 - (m1/ n1)) * 100 %
Penilaian
1. > 50
Sangat Rawan
2. > 40 - 50
Rawan
3. > 30 - 40
Agak Rawan
4. > 20 30
Cukup Tahan
5. > 10 - 20
Tahan
6. < = 10
Sangat Tahan
Justifikasi
Listrik merupakan faktor yang mendukung kegiatan
ekonomi di suatu wilayah. Dinamika ekonomi akan
semakin tinggi dengan adanya listrik yang dapat
diakses masyarakat disuatu wilayah.
Tersedianya fasilitas listrik di suatu wilayah akan
membuka peluang yang lebih besar untuk
meningkatkan volume pekerjaan yang telah dijalankan
atau menambah peluang kerja baru yang lebih baik.
Indikator ini merupakan indikasi tingkat kesejahteraan
masyarakat di wilayah tersebut.
Pengukuran
Jumlah buruh tani m1 Jumlah buruh swasta m2
Jumlah Penduduk n1
Rumusan indikator 6 :
X6 = ((m1+ m2) / n1) * 100 %
Penilaian
1. > 40
Sangat Rawan
2. > 30 - 40
Rawan
3. > 20 - 30
Agak Rawan
4. > 10 20
Cukup Tahan
5. > 05 - 10
Tahan
6. < = 05
Sangat Tahan
Justifikasi
Jenis pekerjaan merupakan cerminan dari oppourtunity
cost seseorang. Sehingga dengan kualitas SDM di
pedsaaan yang lebih baik maka pekerjaan di pedesaaan
Tabel 7. Lanjutan
Indikator
7. % KK yang
rumahnya dari
bambu
8. % penduduk tidak
tamat SD
Uraian
Pengukuran
Jumlah KK yang rumah dari bambu
m1
Jumlah KK
n1
Rumusan indikator 7 :
X7 = (m1 / n1) * 100 %
Penilaian
1. > 30
Sangat Rawan
2. > 25 - 30
Rawan
3. > 20 - 25
Agak Rawan
4. > 15 20
Cukup Tahan
5. > 10 - 15
Tahan
6. < = 10
Sangat Tahan
Justifikasi
Indikator ini adalah berkenaan dengan kepemilikan aset
keluarga. Dan juga sinergis dengan indikator atas aspek
kemiskinan.
Pengukuran
Penduduk tidak tamat SD
m2
Jumlah Penduduk umur>15 th
n1
Rumusan indikator 8 :
X8 = ((m2)/ n1) * 100 %
Penilaian
1. > 50
Sangat Rawan
2. > 40 - 50
Rawan
3. > 30 - 40
Agak Rawan
4. > 20 30
Cukup Tahan
5. > 10 - 20
Tahan
6. < = 10
Sangat Tahan
Justifikasi
Indikator
pendidikan
ini
adalah
rata-rata
berkenaan
yang
dengan
dimiliki
tingkat
masyarakat.
Tabel 7. Lanjutan
Indikator
9. Jumlah kendaraan
bermotor per KK
Uraian
Pengukuran
Jumlah kendaraan bermotor (mobil, sepeda motor,
truk,dll)
m1
Jumlah KK
n1
Rumusan indikator 9 :
X9 = (1- (m1/ n1)) *100%
Penilaian
1. > 50
Sangat Rawan
2. > 40 - 50
Rawan
3. > 30 - 40
Agak Rawan
4. > 20 30
Cukup Tahan
5. > 10 - 20
Tahan
6. < = 10
Sangat Tahan
Justifikasi
Indikator ini adalah berkenaan dengan kepemilikan aset
keluarga dan juga berkaitan dengan tingkat mobolisasi
masyarakat. Ketersediaan sarana transportasi yang
memadai dapat membuka peluang bagi akses pekerjaan
yang lebih luas dan tidak hanya bergantung pada
pekerjaan di daerahnya saja.
Indikator ini memang keberadaannya perlu dicermati
lebih dalam karena terkait pula dengan kebiasaan dan
perilaku masyarakat. Jika kepemilikan kendaraan adalah
untuk keperluan non-produktif atau bahkan adanya
aspek gengsi/ pamer di masyarakat pedesaaan maka
indikator ini bisa bias bila digunakan.
10. % penduduk tidak Pengukuran
bekerja
Jumlah penduduk angkatan kerja (15-55 th)
m1
Jumlah penduduk bekerja
m2
Rumusan indikator 10 :
X10 = (1- m2/m1) *
100%
Penilaian
1. > 30
Sangat Rawan
2. > 25 - 30
Rawan
3. > 20 - 25
Agak Rawan
4. > 15 20
Cukup Tahan
5. > 10 - 15
Tahan
6. < = 10
Sangat Tahan
Justifikasi
Persentase tidak bekerja di pedesaan menjadi indikator
yang sangat penting karena sangat mempengaruhi
Dalam
Uraian
Pengukuran
Jumlah dokter/ dokter gigi (1 per 10000)
m1
Jumlah perawat, bidan (1 per 5000)
m2
Jumlah penduduk
n1
Rumusan indikator 11 :
X11 = n1 / (m1+ 0.5*m2)*10000)
Penilaian
1. > 1.50
Sangat Rawan
2. > 1.25 - 1. 50
Rawan
3. > 1.00 - 1.25
Agak Rawan
4. > 0.75 1.00
Cukup Tahan
5. > 0.50 - 0.75
Tahan
6. < = 0.5
Sangat Tahan
Justifikasi
Indikator ini mengukur bagaimana kesesuaian
ketersediaan tenaga medis dan jumlah masyarakat yang
dilayaninya. Semakin baik rasio dokter dan masyarakat
yang dilayani maka relatif akan semakin terjaga
kesehatan di masyarakat.
Pengukuran
Asumsi Jumlah posyandu per penduduk (1 per 1200)
Jumlah posyandu
m1
Jumlah penduduk
n1
Rumusan indikator 12 :
X12 = n1 / (m1 * 1200)
Penilaian
1. > 1.50
Sangat Rawan
2. > 1.25 - 1. 50
Rawan
3. > 1.00 - 1.25
Agak Rawan
4. > 0.75 1.00
Cukup Tahan
5. > 0.50 - 0.75
Tahan
6. < = 0.5
Sangat Tahan
Justifikasi
Indikator ini mengukur bagaimana kesesuaian
ketersediaan tenaga medis dan jumlah masyarakat yang
dilayaninya. Semakin baik rasio dokter dan masyarakat
yang dilayani maka relatif akan semakin terjaga
kesehatan di masyarakat dan ini berarti pula sangat
dimungkinkan pula pengawasan secara tidak langsung
Tabel 8. Lanjutan
Indikator
13. % Balita Gizi
kurang
Uraian
Pengukuran
Jumlah balita
m1
Jumlah balita gizi kurang
n1
Rumusan indikator 13 :
X13 = (m1/ n1) * 100%
Penilaian
1. > 25
Sangat Rawan
2. > 20 - 25
Rawan
3. > 15 - 20
Agak Rawan
4. > 10 15
Cukup Tahan
5. > 05 10
Tahan
6. < = 05
Sangat Tahan
Justifikasi
Status gizi anak (biasanya usia di bawah 5 tahun)
merupakan indikator yang baik untuk mengetahui
penyerapan/ absorbsi pangan. Faktor yang mempengaruhi
status gizi seorang balita adalah situasi ketahanan
pangan. Kondisi ketahanan pangan yang tidak baik akan
meningkatkan resiko terjadinya balita dengan gizi kurang.
Pengukuran
Jumlah penduduk usia > 15 tahun yang buta huruf
m1
Jumlah penduduk > 15 tahun
n1
Rumusan indikator 14 :
X14 = (m1/ n1) * 100%
Penilaian
1. > 30
Sangat Rawan
2. > 25 - 30
Rawan
3. > 20 - 25
Agak Rawan
4. > 15 20
Cukup Tahan
5. > 10 - 15
Tahan
6. < = 10
Sangat Tahan
Justifikasi
Indikator ini sebenarnya untuk mendekati indikator wanita
buta huruf.
Karena adanya keterbatasan data maka
selanjutnya data penduduk buta huruf dipertimbangkan
dalam proses seleksi indikator kerawanan pangan.
Tabel 8. Lanjutan
Indikator
15. Angka Kematian
Bayi (IMR)
Uraian
Pengukuran
Jumlah kematian bayi
m1
Jumlah kelahiran
n1
Rumusan indikator 14 :
X14 = (m1/ n1) * 100%
Penilaian
1. > 55
Sangat Rawan
2. > 50 - 55
Rawan
3. > 45 - 50
Agak Rawan
4. > 40 45
Cukup Tahan
5. > 35 - 40
Tahan
6. < = 35
Sangat Tahan
Justifikasi
Tingkat kematian bayi menjadi indikator yang sangat baik
untuk mengukur kinerja kualitas pelayanan dan
penanganan kesehatan kelompok usia yang masih rentan
terserang penyakit yaitu bayi. IMR sangat terkait dengan
pola asuh, pengetahuan tentang gizi di masyarakat dan
juga kebiasaan di masyarakat dalam menjaga kesehatan.
Indikator ini merupakan indikator output dalam aspek
ketahanan pangan.
Pengukuran
Jmlh RT
n1
Jml RT menggunakan sumur gali, PAM,
sumur pompa, hidrant umum, perpipaan air, mata air
m1
Rumusan indikator 16 :
X16 = (1- (m1/ n1)) * 100%
Penilaian
1. > 70
Sangat Rawan
2. > 60 - 70
Rawan
3. > 50 - 60
Agak Rawan
4. > 40 50
Cukup Tahan
5. > 30 - 40
Tahan
6. < = 30
Sangat Tahan
Justifikasi
Akses air bersih memgang peranan yang sangat penting
untuk pencapaian ketahanan pangan.
Tabel 8. Lanjutan
Indikator
17. Keberadaan
prasarana kesehatan
Uraian
Pengukuran
Indikator ini diukur dari keberadaan puskesmas,
puskesmas pembantu, polindes atau bahkan rumah sakit
Rumusan indikator 17 (ada=1, tidak ada =0) :
X17 = (polindes*1+ puskesmas*5+ RS*10)
Penilaian
1.
< 01
Agak Rawan
2. 01 <05
Cukup Tahan
3. 05 - <10
Tahan
4.
Sangat Tahan
>= 10
Justifikasi
Prasarana
mendapatkan
kesehatan
gambaran
digunakan
dalam
upaya
kemampuan
wilayah
dalam
Uraian
Pengukuran
Jumlah areal tanam
n1
Jumlah areal puso
m1
Rumusan indikator 18 :
X18 = (m1/ n1)* 100 %
Penilaian
1. > 70
Sangat Rawan
2. > 50 70
Rawan
3. > 30 50
Agak Rawan
4. > 10 30
Cukup Tahan
5. > 00 10
Tahan
6.
=0
Sangat Tahan
Justifikasi
Daerah puso dodefinisikan sebagai daerah yang mengalami
kerusakan produksi padi karena adanya kekeringan, banjir
ataupun serangan hama dan penyakit. Semakin luas
wilayah puso maka akan semakin berpotensi mengalami
kerawanan pangan.
19. Frekuensi
banjir/tanah longsor
(tiga tahun terakhir)
Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan mendata frekuensi
kejadian banjir dan atau tanah longsor di 3 tahun
terakhir.
Penilaian
1.
Banjir >3x di 3 tahun terakhir
Sangat
Rawan
2.
Banjir 1-3 x di 3 tahun terakhir
Rawan
3.
Banjir sekali di 3 tahun terakhir
Agak
Rawan
4.
Tidak pernah banjir 3 th terakhir
Tahan
Justifikasi
Kondisi lingkungan geografis yang tidak menguntungkan
seperti seringnya terjadi banjir dan longsor merupakan
faktor yang sangat menghambat kinerja ketahanan
pangan.
Bencana banjir dan tanah longsor secara
langsung akan mengurangi kemampuan suplai makanan di
masyarakat dan juga akses kewilayahan. Terhambatnya 2
Tabel 9. Lanjutan
Indikator
20. Persen lahan tidak
beririgasi
Uraian
Pengukuran
Luas lahan beririgasi
m1
Luas lahan pertanian
n1
Rumusan indikator 18 :
X18 = (1-(m1/ n1))* 100 %
Penilaian
1. > 70
2. > 60 70
3. > 50 60
4. > 40 50
5. > 30 40
6.
<= 30
Sangat Rawan
Rawan
Agak Rawan
Cukup Tahan
Tahan
Sangat Tahan
Justifikasi
Lahan, TK, modal dan manajemen merupakan unsur-unsur
usahatani yang dapat dikombinasikan dalam suatu
kegiatan produksi pertanian.
Sedangkan air dalam
kegiatan produksi pertanian konvensional merupakan
syarat utama yang harus dipenuhi keberadaannya.
Kelangsungan berproduksi akan lebih terjamin dan
produktifitas bisa optimalkan dengan ketersediaan air yang
cukup. Sehingga indikator ini digunakan sebagai indikator
dalam menjaga kelangsungan ketahanan pangan suatu
wilayah.
Analysis). Analisis faktor adalah sebuah teknik yang digunakan untuk mereduksi
variabel dalam jumlah yang besar menjadi variabel yang sedikit.
Kegiatan ini melibatkan banyak variabel yang menjadi indikator dimana
perhitungannya sangat kompleks. Oleh karena itu digunakan software analisis
pendukung yaitu SPSS.
1.
Setelah
indicator
terpilih
selanjutnya
dilakukan
penilaian
tingkat
yang
disusun
per
indikator
memiliki
keseragaman
Agak Rawan
Sangat Tahan
<= 0.16
Seleksi Indikator
Tidak
1. Penentuan jumlah kategori dan
penilaian kategori yang
menjadi dasar pengukuran
(References)
2. Penilaian indikator
3. Metode penilaian komposit
4. Pengklasifikasian komposit
dalam tingkatan kerawanan
pangan
TAHAP I
Ya
Analisis Kerawanan Pangan
Indikator dan Komposit
Tidak
Ya
Penggunaan metode analisis
dalam penyusunan software
rawan pangan
Sofware analisis dan pemetaan
kerawanan pangan tingkat Desa
Teridentfikasinya penyebab
kerawanan yang menguatkan
temuan analisis sebelumnya
TAHAP I I
Handewi
di
Propinsi