Melalui tulisan Pak Rasjidi-lah ia mengenal Serat Centhini dan mempelajarinya selama
bertahun-tahun, kemudian menyadur, menafsir, meringkas, dan menerbitkannya sebagai
CENTHINI, Kekasih yang Tersembunyi. Dengan latarbelakang itu, Elizabeth berharap buku
Mohammad Rasyidi tersebut bisa diterbitkan dalam bahasa Indonesia, karena isinya sangat
bagus.
Elizabeth menjelaskan, buku Serat Centhini itu menghimpun segala macam ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Jawa, sehingga ada yang menyebutnya sebagai Ensiklopedi Kebudayaan
Jawa paling lengkap. Menurut Elizabeth, dalam Serat Centhini juga banyak terkandung nilai
filsafat, kemanusiaan, rokhani dan ajaran hidup yang sangat bermanfaat hingga sekarang.
Malu Dengan Orang Perancis Ketika pertanyaan tertuju kepada Bupati Sragen, Agus Fatchur
Rahman, mengapa ia punya gagasan mengadakan kegiatan apresiasi Serat Centhini dan harus
menghadirkan Elizabeth? Dengan lugas Agus menjawab, awalnya ia merasa malu dengan orang
yang bernama Elizabeth itu.
Agus bercerita, ketika membaca buku karya Elizabeth D. Inandiak berjudul empat puluh malam
satunya hujan yang merupakan salah satu saduran dari Serat Centhini, dirinya kagum sekaligus
malu. Saya kagum dan malu, karena ada orang Perancis mampu menyadur karya sastra Jawa
klasik kedalam bahasa yang enak dibaca, sehingga kita mudah memahaminya, ungkap Agus.
Setelah membaca buku itu, Agus mengajak teman-teman di DKDS dan Serambi Sukowati untuk
menyelenggarakan acara Apresiasi Sastra Serat Centhini, sekaligus bisa menghadirkan
Elizabeth.
Menurutnya, generasi kita sekarang perlu membaca karya sastra peninggalan nenek moyang
itu. Ada nilai-nilai luhur dan spiritual yang luar biasa dalam Serat Centhini, yang secara
substansial bisa kita ambil hikmahnya untuk masa kini, katanya.
Jangan sampai, katanya, kalau bicara budaya Jawa, kita hanya mengenal soal tatacara manten,
busana dan gelar saja. Makanya nilai-nilai luhur budaya Jawa yang hilang itu harus kita gali dan
temukan, diantaranya melalui apresiasi sastra seperti ini, ujar Agus.
Acara Apresiasi Serat Centhini diselingi dengan pertunjukan seni kolaborasi Suprapto
Suryodarmo (Mbah Prapto) dari Padepokan Lemah Putih Solo, dan Misbach Daeng Bilok (Napas
Angin, Kelompok Al-Here Makasar), yang menampilkan para cewek Bule dari berbagai Negara,
menari dengan amat luwesnya.
Sebelum sesi dialog, Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman, membacakan naskah tembang
puluhan halaman, berisi beberapa episode kisah dalam buku Empat puluh malam, satunya
hujan. Penampilan, ekspresi dan gaya Agus memukau para pengunjung.
Dengan bertelanjang dada, berikat kepala, dan memakai sarung, Agus yang terlihat layaknya
seorang pengembara itu membaca bait demi bait syair dalam Serat Centhini dengan penuh
penghayatan. Salah satu penggalan bait itu adalah :
Jangan risau, biarkan rasa mengikuti kesedihan hatimu. Ingat, kamu adalah keturunan Kyai
yang hebat. Biarkan kobaran api yang sulit dipadamkan terus menyala. Nanti, ketika mati
sendiri, segala kotorannya akan lenyap. Itulah sebabnya biarkan hidup keindahan emas ini!.
Jangan Berhenti Disini
Banyak saran dan kritik mengemuka. Suparjo, pakar sastra Jawa dari UNS misalnya,
memberikan catatan kritis tentang Serat Centhini dan penyelenggaraan acara malam itu. Ada
juga, orang salah seorang kerabat Kerator Surakarta yang mengupas Serat Centhini dari simbolsimbol budaya Jawa. Sementara para guru bahasa dan seni di Sragen mengharapkan acara
seperti ini bisa diadakan lagi.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, acara Apresiasi Sastra Serat Centhini di Pendapa
Serambi Sukowati itu patut diacungi jempol, karena mampu membuka mata kita untuk
menengok kembali maha karya sastra Jawa klasik awal abad 19 yang dilupakan orang Jawa
sendiri. catatan : Suparto / BPTPM Sragen -