Anda di halaman 1dari 2

ANSWER BOOKLET

Indonesian A: language and literature – Standard/Higher level – Paper 1

October 2020
SL – 1 hour 15 minutes
HL – 2 hours 15 minutes

Candidate session number: Candidate name:

- Caecilia Sonia Cordi

Seberapa kenalkah kita dengan budaya kita sendiri, dan apa yang telah kita perbuat untuk
melestarikannya? Pada tahun 2015, Hevi Abu Fauzan menerbitkan “Menjatuhkan Cinta di Saung
Udjo”, sebuah teks travel yang menceritakan pengalamannya saat ia mengunjungi Saung Udjo di
Bandung. Melalui teks tersebut, penulis mendiskusi isu tentang ketidakpedulian masyarakat
Indonesia tentang budaya mereka sendiri, teks ini khususnya membahas budaya Sunda. Berbeda
dengan teks travel yang biasanya, teks ini kaya dalam penggunaan alat linguistik. Oleh karena itu,
saya akan menganalisis aspek formal, gaya bahasa, dan fitur stilistika, dan mengidentifikasi
bagaimana hal tersebut mengefek cara penulis menyampaikan tujuannya kepada sasaran
pembacanya.

Teks demikian adalah teks travel. Oleh sebab itu, wajar bila sasaran pembacanya adalah
orang-orang yang sedang mencari tempat wisata. Dengan melihat judulnya sendiri, “Menjatuhkan
Cinta di Saung Udjo”, kita bisa membuat sasaran pembacanya lebih spesifik lagi, yaitu orang-
orang Sunda yang sedang mencari tempat wisata. Dalam paragraf pertama, tertulis “Sebagai
orang Bandung asli, penulis merasa berdosa karena baru kali ini bisa menjejakkan kaki untuk
menonton pertunjukan seni di Saung Udjo”. Penulis menggunakan majas hiperbola, dengan
mengatakan bahwa ketidakberpengalamannya dengan berpartisipasi acara budaya di Bandung
sebagai orang Bandung dirinya sendiri adalah kesalahan yang cukup besar untuk memanggilnya
dosa. Ini adalah cara penulis mengkritik dirinya sendiri, dan sekaligus menyindir penduduk
Bandung lainnya yang belum pernah mengalami hal tersebut. Kutipan tersebut membuat
pembacanya merasa bersalah, dan bahkan merasa berdosa karena mereka tidak mengenal
budayanya sendiri, dan mendorong mereka untuk mengenal budayanya lebih baik.

Sudah sangat jelas dari awal bahwa penulis ingin membujuk pembacanya untuk mulai
mengenal dan melestarikan budaya mereka sendiri. Dalam kutipan ini “Pada awalnya, penulis
merasa biasa saja dengan pagelaran seni yang dibuka dengan pagelaran wayang golek yang
menonjolkan si Cepot itu. Suasana hati berganti kala pertunjukan tari dimulai.”, penulis
menggunakan antitesis untuk menunjukkan reaksinya kepada acaranya di Saung Udjo. Ini bisa
menunjukkan pesan penulis bahwa budaya kita mungkin terlihat membosankan bila kita tidak
terlalu memperdulikannya di awal-awal. Akan tetapi, bila jiwa penasaran kita keluar, kita bisa
melihat bahwa sesungguhnya, budaya itu indah dan akan sayang sekali bila itu punah karena kita
telah mengabaikannya. Tak hanya itu, tetapi beberapa kali penulis menggunakan ethos untuk
menekankan betapa indahnya budaya itu sesungguhnya. Seperti yang bisa dilihat di kutipan ini “Di
SD misalnya, penulis pernah menjadi juara menggambar.”, penulis menyebut bahwa ia adalah
pecinta seni, dan oleh sebab itu bila ia kagum dengan apa yang ia lihat di Saung Udjo,
pembacanya juga akan kagum. Penggunaan gaya bahasa di sini membuat pembacanya
penasaran dengan hal apa yang telah mereka lewatkan seumur hidup mereka.
Penggunaan bahasa di teks travel ini adalah apa yang membuat teks ini unik dari teks
travel lainnya. Pertama, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, dan mengacu pada
dirinya sendiri sebagai “penulis”, menunjukkan bahwa teks ini formal. Selain itu, ia juga
menggunakan banyak bahasa emotif dan sangat deskriptif dalam penyampaiannya seperti yang
bisa dilihat berikut “Di bawah alunan nada, dia menggerakan tubuh, tangan, dan kakinya dengan
gemulai. Sorot matanya terkadang sayu untuk meresapi setiap nada dan gerakan tarian yang dia
lakukan. Dan sorot mata itu, sorot mata itu membuat penulis merasa sepi, hening, sendiri untuk
sesaat, di tengah keramaian, di antara riuh rendah suara penonton saat itu.” Ini adalah sebuah
teknik emotional appeal yang melibatkan pembacanya dalam suasana yang sama penulis alami
sehingga mereka bisa merasa apa yang penulisnya rasakan. Penulis menggunakan teknik
integrasi dalam kutipan “Lihatlah bagaimana penari-penari cilik itu berlatih bersama di bawah
pohon taman di dalam komplek.”, menandakan lagi bahwa penulis menikmati pertunjukannya dan
ingin pembacanya untuk merasakan hal yang sama.

Dalam paragraf-paragraf terakhir, penulis menggali lebih dalam lagi tentang konteks.
“Saung Udjo menjadi ujung tombak kelestarian angklung, yang kini menjadi salah satu benda
yang diakui UNESCO sebagai alat musik dunia yang berasal dari Indonesia. Namun,
perkembangan zaman mengubah wajah dunia dan isinya, sekaligus menggerus beberapa hasil
budaya manusia jaman dahulu. Banyak daerah yang terlepas dari kebudayaannya karena
pengaruh budaya dominan lainnya.” Kutipan ini menjelaskan betapa berharganya budaya Sunda
itu, tetapi bahwa semakin kedepan, semakin sedikit orang-orang yang peduli akan hal tersebut
sehingga UNESCO sendiri harus berbuat aksi. Penulis menggunakan logos untuk membukti
kepada pembacanya bahwa kita harus cepat bergerak dalam pelestarian budaya kita.

Penulis menggunakan bahasa figuratif atau fitur stilistika untuk memberi efek secara emotif
kepada pembacanya. Ini bisa dilihat di deskripsinya tentang pertunjukkan tari yang telah ia tonton.
Kontrasnya, penulis menggunak aspek formal untuk memberi bukti kepada pembaca urgensi dari
isu yang diangkat tentang kepunahannya budaya Sunda. Penulis dapat menstruktur teksnya
dengan baik, memulai dengan pembukaan tentang ke mana ia pergi dan isu yang ingin dia bahas,
kemudian ia bahas tentang pengalamannya di Saung Udjo, serta ditutup dengan mendorong kita
lebih jauh lagi untuk melestarikan budaya kita. Oleh sebab itu, pemilihan gaya bahasa dan aspek
formal yang tepat sangat penting dalam penyampaian pesan seorang penulis kepada sasaran
pembacanya.

Anda mungkin juga menyukai