08 - 195infertilitas Pria Akibat Kerja
08 - 195infertilitas Pria Akibat Kerja
ABSTRAK
Berbagai kelainan mulai dari gangguan hormonal, masalah fisik hingga masalah psikologis diketahui bisa menyebabkan infertilitas pada pria.
Meskipun banyak pilihan pengobatan namun banyak kasus tidak dapat diatasi. Kebanyakan kasus infertilitas pria disebabkan oleh kerusakan
testis yang berujung pada ketidakmampuan testis untuk memproduksi sperma. Pajanan fisik, kimia, dan psikologis di tempat kerja dapat berujung pada infertilitas pria akibat kerja dengan menyebabkan kelainan pada kualitas dan/atau jumlah sperma. Diagnosis sulit ditegakkan karena
dapat baru disadari berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian antara lain karena status pekerja belum menikah sehingga sulit
menilai status kesuburannya. Dalam penatalaksanaan, kemajuan teknologi dapat mengatasi keadaan yang dulu dianggap sudah tidak mungkin diatasi, misalnya pada azoospermia non-obstruktif. Kendati demikian masih ada beberapa keadaan yang memang ireversibel. Pencegahan
primer lebih penting. Juga perlu regulasi yang dapat berupa sanksi atas pelanggaran pola kerja atau jika tidak menggunakan APD karena
alasan-alasan klasik, seperti tidak nyaman, tidak terbiasa, atau menjadi kurang lincah dalam bekerja.
Kata kunci: infertilitas, pria, pajanan, sperma, APD
ABSTRACT
Various disorders, ranging from hormonal disorders, physical problems, psychological problems, are known to cause infertility in men. Exposure to physical, chemical, and psychological hazard in the workplace can lead to male occupational infertility by causing abnormalities in the
quality and/or the number of sperm. Diagnosis of occupational infertility can be difficult. In terms of management, technological progress can
overcome the situation which was once considered impossible. Nevertheless, there are still some circumstances that are irreversible. Primary
prevention is more important. It also needs regulations that may include sanctions for violations of work patterns or if not using PPE for classic
reasons, such as discomfort, not familiar or not mobile at work. Sugih Firman. Male Occupational Infertility.
Key words: infertility, male, exposure, sperm, PPE
DEFINISI
Infertilitas dapat dimengerti sebagai ketidakmampuan sepasang suami istri untuk mendapatkan keturunan setelah satu tahun menikah
dengan hubungan seks normal tanpa menggunakan metode kontrasepsi apapun atau
setelah enam bulan menikah bila usia istri
di atas 35 tahun.1 Infertilitas pria akibat kerja
dapat diartikan sebagai infertilitas bersumber
dari suami yang didapat karena adanya pajanan suatu bahan di lingkungan kerja.
Ada dua tipe infertilitas. Tipe pertama (tipe
primer) adalah jika sepasang suami istri belum
pernah memiliki satu anak pun dari pernikahannya, sementara tipe lain (tipe sekunder)
adalah jika pasangan tersebut sulit memiliki
keturunan, namun salah satu pasangannya
pernah memiliki anak.2
ETIOLOGI
Berbagai kelainan mulai dari gangguan hormonal, masalah fisik hingga masalah psikolo-
508
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 508
7/8/2012 12:17:28 PM
TINJAUAN PUSTAKA
som diobservasi dari sel induk yang bertahan
setelah radiasi.
PAJANAN
Panas
Radiasi Pengion
Radiasi Non Pengion
Microwave
Medan Elektromagnetik
Logam
Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Cadmium
(Cd), Boron(Bo)
Estrogen
Sintetis (Diethylstilbestrol)
Dietary (lignans, mycoestrogens,
phytoestrogens)
Pestisida
Dibromochlorpropane, Ethylene
dibromide, Chlordecone
Pelarut
Karbon disulfide, Glycol
Tabel 2 Tabel Pajanan di Tempat Kerja dan Efek yang Mungkin Ditimbulkan
Dosis (cGy)
15 20
20 50
50 100
100 200
> 200
PATOFISIOLOGI
Toksin mungkin menyebabkan kematian sel,
kerusakan sel subletal atau perubahan genetis. Kematian sel epitelium dapat terjadi
karena nekrosis atau apoptosis. Bukti terakhir
menunjukkan bahwa apoptosis adalah mekanisme utama kerja toksin. Kerusakan sel induk
non letal akan menyebabkan dua kemungkinan: diperbaiki atau dibiarkan memiliki efek
permanen pada struktur atau fungsi spermatozoa, termasuk kemungkinan memiliki defek
genetis.
Reversibilitas
6 8 bulan
8 14 bulan
12 24 bulan
>24 bulan
Meskipun mutasi menetap DNA sel induk dapat menyebabkan perubahan genetis sperma
yang persisten, beberapa kerusakan kromosom tidak ditranslasi menjadi malformasi
kongenital yang parah atau karsinogen. Obat
adrenolytic seperti guanethidine atau methoxamine bisa mengakibatkan stasis sperma di
dalam epididimis. Gossipol mempengaruhi
epitelium epididimis dan bercampur dengan
ekskresi getah epididimis. Gossipol mempengaruhi struktur mitokondria spermatozoa di
dalam testis dan struktur lainnya ketika spermatozoa bermigrasi ke dalam epididimis atau
selama pematangan di dalam epididimis ini.7
DIAGNOSIS
Diagnosis infertilitas akibat kerja ditegakkan
dengan tujuh langkah diagnosis8:
1. Diagnosis klinis9
Ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan khusus. Anamnesis mencakup pertanyaan tentang riwayat penyakit sekarang dan
dahulu, riwayat pekerjaan sekarang dan dulu.
Usia pasangan, lamanya pernikahan tanpa
kontrasepsi dan kehamilan serta pengobatan sebelumnya harus diperhatikan. Harus
ditanyakan frekuensi dan saat hubungan
suami-istri dan juga siklus menstruasi istri.
Mengingat sperma dapat hidup 48 jam di
dalam organ reproduksi wanita, waktu optimal untuk melakukan aktivitas seksual adalah
setiap hari atau dua hari sekali selama masa
subur. Disfungsi seksual harus dicari dan diobati. Disfungsi ereksi dan disfungsi ejakulasi
dapat menjadi tanda adanya penyakit yang
mendasari, seperti penyakit vaskular atau diabetes melitus. Evaluasi lebih lanjut keadaan ini
dikerjakan sesuai indikasi.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari
penyakit yang mendasari. Derajat virilisasi
dan penyebaran bulu badan dapat mencerminkan adanya kelainan endokrin, seperti
defisiensi androgen. Pemeriksaan kepala dan
leher, jantung dan paru penting dilakukan.
Jaringan parut bekas operasi abdomen atau
inguinal merupakan petunjuk penting untuk
membantu menilai keadaan umum pasien.
Fokus utama pemeriksaan infertilitas adalah
pemeriksaan sistem genitourinaria.10 Ukuran
dan letak meatus uretra penting diperhatikan
karena hipospadia berat dapat mempengaruhi ejakulasi yang menyulitkan sperma
masuk ke vagina. Besar dan konsistensi testis
juga perlu dianalisis. Testis normal setidaknya
berukuran 20 ml. Ukuran yang sangat kecil
atau sangat lembut menandakan adanya
atrofi testis.
Pemeriksaan varicocele sebaiknya dikerjakan
pada posisi berdiri. Tali sperma harus diperiksa apakah teraba atau terlihat membesar.
Varicocele dibagi dalam beberapa tingkat berdasarkan distensinya: tingkat 1 (teraba hanya
509
7/8/2012 12:17:28 PM
TINJAUAN PUSTAKA
dengan Valsalva maneuver), tingkat 2 (teraba
tanpa Valsalva maneuver) dan tingkat 3 (terlihat dari kulit).11,12
Keberadaan vas deferens juga perlu dikonfirmasi. Jika tidak ditemukan baik satu apalagi
keduanya, perlu pemeriksaan lebih lanjut. Abnormalitas epididimis seperti adanya indurasi
atau terasa penuh dapat memberikan petunjuk penting adanya obstruksi yang mengancam. Kelainan prostat perlu dievaluasi dengan
transrectal ultrasound (TRUS) dan biopsi untuk
menyingkirkan adanya kanker prostat. Pembesaran vesika seminalis dapat dipalpasi pada
pemeriksaan rektal.
Pemeriksaan paling penting pada infertilitas pria adalah analisis semen. Satu atau dua
spesimen harus dikumpulkan di tempat nonspermatoksik melalui cara masturbasi setelah
2 sampai 3 hari tidak melakukan hubungan
seks dan segera dianalisis paling lama satu
jam setelah terkumpul. Analisis semen bukanlah pemeriksaan kesuburan namun lebih ke
arah pemeriksaan potensi kesuburan. Pemeriksaan lengkap direkomendasikan jika dari
pemeriksaan awal terungkap adanya riwayat
reproduksi atau analisis semen abnormal.
Parameter yang biasa diperiksa meliputi volume semen, pH semen, konsentrasi, motilitas
dan morfologi. Pemeriksaan tambahan bisa
meliputi viabilitas dan assay untuk leukosit
dan antisperm antibody. Hasil analisis normal
tidak identik dengan fertil (subur) dan abnormal tidak identik dengan infertil (tidak subur).
Jika seseorang memiliki sperma yang motil
dalam semennya, maka ia potensial subur.
Secara umum, kesempatan hamil berkorelasi
dengan jumlah total sperma yang motil.13
Jika ditemukan azoospermia, langkah berikutnya adalah sentrifugasi dan resuspensi sediaan
diikuti pemeriksaan mikroskopik berturutturut. Jika melalui tes sederhana ini ditemukan
sperma, obstruksi total ductus dapat disingkirkan. Jika ditemukan azoospermia dan volume
semennya kurang dari 1 mL, sampel urin pasca
ejakulasi perlu diperiksa. Jika ditemukan sperma, seharusnya juga dapat ditemukan sperma
pada sampel ejakulat antegrade-nya.
Leukositospermia, adanya leukosit di dalam
semen, masih kontroversial. Sel bulat, dapat
leukosit atau sperma yang belum matang,
dapat ditemukan dalam analisis semen.14
510
CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 510
Pewarnaan khusus seperti myeloperoksidase atau Endtz dibutuhkan untuk membedakannya. Jika ditemukan lebih dari satu
juta leukosit per mililiter, diperlukan pengobatan infeksi sistem genital menggunakan doksisiklin (100 mg bid) atau kuinolon
selama dua minggu; selain itu, lebih sering
berejakulasi akan membantu mengurangi
leukositospermia.15,16 Alasan rasional pengobatan adalah karena leukosit dapat menghasilkan reactive oxygen species (ROS) yang
dapat memperburuk fungsi sperma; banyak
dokter lebih memilih melakukan inseminasi
bila menemukan leukosit. Sebaliknya, adanya leukosit dapat kebetulan dan jumlahnya
mungkin masih dalam batas normal dan
memang dibutuhkan dalam fungsi sperma.
Harus diingat ada pria leukositospermia yang
asimtomatik, tidak mengidap infeksi sistem
genital dan dapat sembuh sendiri.
Analisis semen hanya menilai sebagian fungsi
sperma. Hasil dan interpretasi dapat berlainan
antar laboratorium tergantung expertise dengan cara pemeriksaan berbeda. Indikasi pemeriksaan fungsi sperma bervariasi namun
termasuk di dalamnya infertilitas dengan analisis semen normal atau untuk memprediksi
fertilisasi in vitro.
Beberapa pemeriksaan fungsi sperma yang
umum meliputi mannose-binding test, hemizona assay, sperm penetration assay dan acrosome
reaction test.17 Tujuan utama mannose-binding
assay adalah menilai pola pengikatan manosa
oleh sperma. Manosa penting untuk dapat
mengenali zona pelusida oosit. Sperma dicuci
dengan fluorescein isothiocyanate-conjugated
mannosylated bovine serum albumin untuk
menilai pola ikatan manosanya. Hasilnya ditampilkan dengan persentase dan dibandingkan
dengan donor yang sudah diketahui subur.
Dalam hemizona assay, sperma pasien dan
donor diinkubasi terpisah dengan bisected
human oocytes. Hemizona index didapat dengan membagi jumlah bound sperma pasien
dengan jumlah kontrol sperm bound x 100.
Sperma Penetration Assay dilakukan dengan
menginkubasi sperma dengan oosit hamster
yang zonafree. Persentase oosit yang dipenetrasi dihitung. Secara teori, lebih banyak
oosit akan dipenetrasi oleh sperma atau lebih
banyak sperma akan mempenetrasi tiap oosit
pada keadaan normal dibandingkan keadaan
infertil. Acrosome test merupakan pewarnaan
khusus.
7/8/2012 12:17:29 PM
TINJAUAN PUSTAKA
sindrom Klinefelter nonmosaik. Dua teknik inovasi yang dapat memperbaiki keberhasilan
perbaikan sperma adalah microdissection dan
fine-needle mapping.18,19
PEMBAHASAN
Berbagai pajanan di tempat kerja berpotensi
menyebabkan infertilitas. Namun diagnosis
sulit ditegakkan karena dapat baru disadari
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
kemudian antara lain karena status pekerja
belum menikah sehingga sulit menilai status
kesuburannya. Pola pikir masyarakat yang
DAFTAR PUSTAKA
1.
Gnoth C, Godehardt E, Frank-Herrmann P, Friol1 K, Tigges J, Freundl G. Definition and prevalence of subfertility and infertility. Hum. Reprod. Mar 2005; Vol 20(5):1144-7.
2.
3.
Irvine DS. Epidemiology and aetiology of male infertility. Hum. Reprod. 1998;Vol 13(1):33-44.
4.
Sharpe RM. Lifestyle and environmental contribution to male infertility. Br Med Bull. 2000;56 (3):630-42.
5.
Sinclair S. Male infertility: nutritional and environmental considerations. Altern Med Rev. 2000 Feb;5(1):28-38.
6.
Cherry N, Moore H, McNamee R, Pacey A, Burgess G, Clyma JA, et al. Occupation and male infertility: glycol ethers and other exposures. Occup Environ Med. 2008;65:708-14.
7.
Zhi-ping GU, Shu-Dong Z, chin-chuan C. Morphological changes in testes and epididymides of rats after gossypol. Acta Pharmacol Sin. 1983 Mar;4(1):40-5.
8.
Balai K3 Bandung. Langkah diagnosis penyakit akibat kerja (PAK). Kesehatan Kerja. Available from: http://hiperkes.wordpress.com/2008/04/04/langkah-diagnosis-penyakit-akibat-kerja/
9.
Infertility diagnosis. [internet]. NHS. [cited 2012 Apr 25]. Available from: http://www.nhs.uk/Conditions/Infertility/Pages/Diagnosis.aspx
10. Kobayashi H, Nagao K, Nakajima K. Focus Issue on Male Infertility. Adv Urol. Vol. 2012; 2012. p.1-6.
11. The influence of varicocele on parameters of fertility in a large group of men presenting to infertility clinics. World Health Organization. Fertil Steril. 1992 Jun;57(6):1289-93.
12. Zucchi A, Mearini L, Mearini E, Fioretti F, Bini V, Porena M. Varicocele and fertility: relationship between testicular volume and seminal parameters before and after treatment. J Androl. 2006
Jul-Aug;27(4):548-51.
13. Semen analysis. WebMD. Available from: http://www.webmd.com/infertility-and-reproduction/guide/semen-analysis
14. Rodin DM, Larone D, Goldstein M. Relationship between semen cultures, leukospermia, and semen analysis in men undergoing fertility evaluation. Fertil Steril. 2003 Jun;79 Suppl
3:1555-8.
15. Flint M. Relationship between semen viscosity and male genital tract infections. Department of Obstetrics and Gynecology Faculty of Health Sciences. 2012 March.
16. Hungerhuber E, Stief CG, Siebels M Urogenital infections in the male and their implications on fertility. J Reprod Contracept. 2004.15(4):193-200.
17. Silverberg KM, Turner T. [internet]. Evaluation of sperm. [cited 2012 May 03]. Available from: http://txfertility.com/forms/12%20Chapter%20Gardner-Ch-04%20Elavuation%20of%20Sperm.
pdf
18. Schlegel PN. Testicular sperm extraction: microdissection improves sperm yield with minimal tissue excision. Hum Reprod. 1999 Jan;14(1):131-5.
19. Van Steirteghem AC, Nagy Z, Joris H, Liu J, Staessen C, Smitz J, et al. High fertilization and implantation rates after intracytoplasmic sperm injection. Hum Reprod. 1993 Jul;8(7):1061-6.
20. Hawkins JL. Separating fact from fiction: mandated insurance coverage of infertility treatments. Journal of Law and Policy. 2007;Vol 23:203-27.
21. Tournaye H, Camus M, Goossens A, Liu J, Nagy P, Silber S, et al. Recent concepts in the management of infertility because of non-obstructive azoospermia. Hum Reprod. 1995 Oct;10 Suppl
1:115-9.
511
7/8/2012 12:17:45 PM