Anda di halaman 1dari 33

Mutasi Gen GNRH Receptor (GNRHR) Terhadap Kegagalan

Spermatogenesis Pada Infertilitas Pria

MAKALAH INFERTILITAS

Siti Umairoh, S.Si.


(Sains Reproduksi)

Dosen Pengampu
Dr. dr. Silvi W. Lestari, M.Biomed

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Infertilitas merupakan suatu masalah secara psikis yang memengaruhi sekitar


15% dari semua pasangan. Kedua pasangan khususnya pria harus dievaluasi
bersamaan, karena faktor pria adalah penyebab utama atau berkontribusi sekitar
40% hingga 60% pada kasus infertilitas. Selain mendeteksi kelainan yang dapat
diobati, evaluasi pria dengan infertil sangat penting untuk menegakkan diagnosis
yang mengancam jiwa terkait dengan gejala infertilitasnya, serta kondisi genetik
yang terkait dengan infertilitas pria yang dapat diwariskan ke keturunan dengan
reproduksi yang dibantu alat. Tes diagnostik dan teknik bedah baru telah
dikembangkan dan disempurnakan, menghasilkan hasil pengobatan pada pasien
yang lebih baik.1

Masalah infertilitas yang banyak ditemukan adalah dikarenakan kuantitas dan


kualitas sperma yang tidak cukup baik untuk membuahi sel telur. Hal ini didasarkan
dengan adanya masalah dari spermatogenesis atau proses pembentukan sperma
yang mengalami kegagalan sehingga menghasilkan sperma yang tidak motil bahkan
dalam jumlah yang sedikit. Keberhasilan spermatogenesis merupakan proses
terpenting bagi seorang pria yang fertil untuk mempunyai fungsi reproduksi yang
baik. Pada prosesnya spermatogenesis dikendalikan oleh hypothalamus-pituitary-
gonad axis. Pada hipotalamus terdapat GnRh yang merupakan elemen terpenting
dalam pengaturan system endokrin, dalam hal ini mengenai sistem endokrin
reproduksi pria. Hipotalamus akan mensekresikan pulsatil dari GnRH dengan ketat
mengontrol reproduksi dengan mengaktifkan reseptor membran sel spesifik
(GnRHR) pada permukaan gonadotrof hipofisis untuk merangsang hormon
luteinizing (LH) dan sekresi hormon perangsang folikel (FSH) yang natinya akan
meregulasi fungsi testis dalam melakukan pembetukan sperma.2

GnRH maupun GnRH reseptor (GnRHR) dikendalikan oleh gen-gen yang


membentuk keduanya. Adanya mutasi pada gen GnRH ataupun gen GnRH reseptor
akan mempengaruhi fungsi reproduksi ataupun masalah fertilitas khususnya pada
pria. Selama 10 tahun terakhir sudah diidentifikasi bahwa pada pasien yang
mengalami mutasi pada GnRHR akan mengalami disfungsi dengan hipogonadisme
hipogonadotropik. Meskipun kebanyakan pasien dengan hipogonadisme
hipogonadotropik dapat diobati dengan pengiriman GnRH pulsatil eksogen, namun
pada beberapa kasus pasien mutasi GnRHR gagal merespon secara efisien terhadap
pengobatan GnRH. Makalah ini bertujuan untuk membahas dan mempelajari
dampak dari setiap mutasi pada fungsi GnRHR terhadap kegagalan spermatogenesis
yang mengindikasikan infertilitas pada pria dengan melihat tingkatan mutasi pada
GnRHR maka dapat ditinjau lebih jauh mengenai pendekatan terapeutik pada pria
infertil.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Infertilitas

Infertilitas adalah ketidakmampuan pasangan yang aktif secara seksual tanpa


kontrasepsi untuk mendapatkan kehamilan dalam satu tahun (World Health
Organization [WHO]). Sekitar 15% pasangan tidak dapat mencapai kehamilan
dalam 1 tahun dan mencari pengobatan untuk menangani infertilitas. Infertilitas
mempengaruhi baik pria maupun wanita. Pada 50% pasangan yang tidak memiliki
anak, faktor infertilitas pria ditemukan bersama dengan kelainan pemeriksaan
cairan semen. Pasangan yang fertil dapat mengkompensasi masalah fertilitas pria
sehingga masalah infertilitas biasanya timbul akibat kedua pasangan memiliki
gangguan pada fertilitas.1

Fertilitas pada pria dapat menurun sebagai akibat dari:

a. Kelainan urogenital kongenital atau didapat

b. Keganasan

c. Infeksi saluran urogenital

d. Suhu skrotum yang meningkat (contohnya akibat dari varikokel)

e. Kelainan endokrin

f. Kelainan genetik

g. Faktor imunologi

Pada 30-40% kasus, tidak ditemukan kelainan penyebab dari infertilitas pria
(infertilitas pria idiopatik). Pria dengan infertilitas ini tidak memiliki riwayat
penyakit yang mempengaruhi fertilitas, tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan laboratorium endokrin, genetik, dan biokimia.
Infertilitas pria idiopatik dianggap terjadi akibat beberapa faktor, seperti gangguan
endokrin akibat polusi lingkungan, reactive oxygen species, atau gangguan genetik
dan epigenetik.4

2.2 Subfertilitas Pria

Klasifikasi subfertilitas pada pria dibagi menjadi 3, yaitu: pretestikular, testikular,


pascatestikular.5

a. Pretestikular

Penyebab infertilitas pretestikular termasuk penyakit bawaan atau didapat dari


hipotalamus, hipofisis, atau organ perifer yang mengubah axis hipotalamus-
hipofisis-testis. Gangguan seperti itu termasuk hipogonadisme idiopatik
hipogonadotropik, prolaktinoma, defisiensi gonadotropin, dan sindrom Cushing.5

b. Testikular

Faktor testis dapat bersifat genetik atau non-genetik. Sindrom Klinefelter adalah
penyebab kromosom paling umum dari infertilitas pria dan menyebabkan
kegagalan testis primer. Etiologi non-genetik termasuk obat-obatan, radiasi,
infeksi, trauma, dan varikokel.5 Penuaan juga mempengaruhi kesuburan pria.
Seiring bertambahnya usia pria, kadar testosteron menurun, kadar gonadotropin
meningkat, konsentrasi sperma dan perubahan volume semen, dan libido menurun.

c. Post-testikular

Faktor pascatestikular tidak memungkinkan pengangkutan sperma normal melalui


sistem duktus karena obstruksi duktus akibat terpapar obat dietilstilbestrol (DES)
in utero, tidak adanya vas deferens bilateral sejak lahir atau kongenital pada
penderita cystic fibrosis, infeksi, prosedur bedah, dan trauma lainnya.5

2.3 Penyebab Infertilitas Pria Pre-testikular

a. Hipogonadotropik hipogonadisme (HH):

Hipogonadotropik hipogonadisme (HH) merupakan sindrom klinis kegagalan


gonad karena adanya defisiensi gonadotrophin releasing hormone (GnRH) pada
hipotalamus atau gonadotropin pada pituitari. Membedakan HH menjadi kongenital
dan didapat memiliki implikasi klinis yang sangat penting. Penyebab kongenital
umumnya jarang terjadi tetapi cenderung memiliki dampak yang lebih signifikan
pada fungsi reproduksi karena adanya gangguan perkembangan gonad pada fase
awal. Penyebab yang didapat dapat bersifat permanen atau reversible dan
membutuhkan pendekatan manajemen yang sangat berbeda, sehingga memerlukan
penjelasan akurat tentang patologi yang mendasari.6 Pada pasien yang mengalami
HH, sekresi GnRH umumnya tidak terjadi atau tidak adekuat. Prevalensi bentuk
hipogonadisme ini diperkirakan berkisar antara 1: 10.000 hingga 1: 86.000 orang.7

HH dapat bersifat kongenital atau didapat. HH kongenital (CHH) dibagi dalam


dua kelompok utama tergantung pada adanya indra penciuman yaitu HH anosmik
(sindrom Kallmann) dan HH normosmik yang terisolasi secara kongenital (HH
idiopatik). Insiden HH kongenital sekitar 1-10: 100.000 kelahiran hidup, dengan
sekitar 2/3 dan 1/3 kasus timbul dari sindrom Kallmann (KS) dan HH idiopatik
(IHH).7

IHH ditandai oleh rendahnya tingkat gonadotropin dan hormon seks steroid
tanpa adanya kelainan anatomis atau fungsional dari poros hipotalamus-hipofisis-
gonad. Mekanisme patogenesis dari IHH melibatkan kegagalan neuron GnRH di
hipotalamus untuk berdiferensiasi atau berkembang yang menyebabkan kurangnya
sekresi GnRH atau GnRH pulsatile.7 Kegagalan perkembangan karakteristik
seksual sekunder oleh karena terlambatnya pubertas merupakan manifestasi klinis
utama pada HH remaja. Pada laki-laki, tanda pertama pubertas merupakan
pembesaran testis yang secara normal terjadi pada usia 9-14 tahun.

Keterlambatan pubertas sering dikaitkan dengan gangguan psikososial yang


cukup besar, seperti harga diri yang rendah, penarikan sosial, kinerja sekolah yang
buruk, dan bahkan tingkat yang lebih tinggi seperti menggunakan narkoba. Hal
tersebut merupakan problematika pasien HH karena mayoritas mulai menerima
perawatan adekuat pada akhir masa remaja yaitu pada usia rata-rata 18-19 tahun.
Pengalaman emosional terjadi karena pasien terjebak dalam keadaan pra-pubertas
dan di bawah maskulinisasi sementara rekan mereka mengalami pubertas.
Selanjutnya, keadaan genitalia eksternal yang belum matang dapat menghasilkan
dampak buruk yang merugikan pada kehidupan seksualitas dan kemampuan untuk
membentuk hubungan intim terutama bagi mereka yang memiliki riwayat
kriptorkismus atau penis mikro. Akibatnya, ditemukan prevalensi tinggi pria dengan
HH yang menderita gejala depresi kronis ketika dewasa sehingga sering
membutuhkan penggunaan antidepresan. Pada gambar dibawah inimerupakan
laporan kasus HH pada remaja pria 18 tahun mengingat manifestasi klinis baik fisik
maupun psikiologis yang ditimbulkan oleh HH. 6,8

Gambar 1. Penampilan genitalia eksterna pasien dimana menunjukkan panjang penis


sebesar 3 cm, lingkar penis sebesar 3 cm, volume testis < 2 cc, dan rambut pubis
ditemukan sedikit
b. Penyakit Hipofisis:

Defisiensi LH atau FSH Terisolasi

Defisiensi LH terisolasi (fertile eunuch syndrome) adalah kelainan langka yang


ditandai dengan sekresi FSH normal yang menstimulasi spermatogenesis tetapi
produksi testosteron tidak adekuat oleh sel Leydig testis yang menyebabkan
gangguan virilisasi.9 Defisiensi FSH terisolasi sangat jarang terjadi. Pasien biasanya
mengalami virilisasi normal diberi sumbu LH / testosteron.

Craniopharyngioma

Craniopharyngioma berasal dari sisa-sisa kantong Rathke dan biasanya tumbuh


perlahan. Ini adalah tumor jinak yang sering menyerang sella turcica yang
menyebabkan penekanan sekresi hormon hipofisis dan kompresi kiasma optik.
Pasien datang dengan sakit kepala disfungsi hormonal hipofisis, gangguan
penglihatan, gangguan spermatogenesis, dan impotensi.10

Tumor Hipofisis

Tumor penghasil prolaktin (prolaktinoma) adalah tumor kelenjar pituitari yang


paling umum. Sekresi gonadotropin terganggu oleh kompresi hipofisis dan pasien
sering datang dengan impotensi. Hormon pertumbuhan dan adrenokortikotropik
tumor yang mensekresi hormon muncul dengan gejala gigantisme atau akromegali
dan sindrom Cushing. Tumor penghasil FSH bermanifestasi dengan gangguan
penglihatan bertahap, oligospermia, dan impotensi. Tumor yang tidak
memproduksi prolaktin dapat menyebabkan peningkatan prolaktin yang sedang
karena gangguan jalur neurogenik yang menipis pelepasan dopamin ke dalam
sirkulasi portal dari kelenjar pituitari. Mereka juga ikut campur dengan sekresi LH
/ FSH karena kompresi sel gonadotropik.10
Penyakit Infiltratif

Ini termasuk histiositosis X, amiloidosis, sarkoidosis, dan penyakit


granulomatosa menular.11 Penyakit yang menyebabkan peningkatan kadar zat besi
dalam sirkulasi (anemia sel sabit, talasemia, dan hemochromatosis) juga dapat
muncul dengan HH karena pengendapan zat besi di kelenjar pituitari.

Traumatic Brain Injury

Trauma dasar tengkorak dapat menyebabkan penurunan sekresi hormon


hipofisis. Trauma kepala mungkin kecil dan telah terjadi selama beberapa dekade
sebelum diagnosis hipopituitarisme. Fakta ini menyebabkan dokter mengabaikan
atau meremehkan pentingnya trauma kepala dalam etiologi HH. Penurunan lebih
besar dari FSH versus Sekresi LH dilaporkan pada sebagian besar kasu
hipopituitarisme pasca trauma. Iskemia hipofisis (nekrosis) bisa menjadi
komplikasi jangka panjang tetapi bukan komplikasi permanen yang tidak dapat
disembuhkan dari trauma kepala10.

Penyakit Kritis dan Kronis

Penyakit kritis seperti luka bakar parah, infark miokard, dan kekebalan tubuh
sindrom defisiensi (AIDS) menekan sumbu hipotalamus-hipofisis. Hormonal
tingkat penekanan terkait dengan tingkat keparahan penyakit. Penyakit kronis
menekan sumbu tapi juga testis secara langsung. Bisa jadi obesitas, sindrom
metabolik, dan diabetes mellitus mempengaruhi produksi testosteron.12

c. Gangguan Coital

Disfungsi seksual termasuk gangguan ereksi dan ejakulasi jarang terjadiapat


menyebabkan infertilitas pria dikarenakan dapat mempengaruhi fungsi reproduksi
pada pria.
Gambar 2. Penyebab infertilitas pria pra-testis. IHH (isolated hypogonadotropic
hypogonadism), CHH (hipogonadisme hipogonadotropik kongenital), hormon luteinizing
(LH), hormon folliclestimulating (FSH).

2.4 Sinyal GnRH Embrionik dalam Maturasi Reproduksi Janin Laki-laki

Fisiologi reproduksi diatur secara terpusat melalui sumbu hipotalamus-


hipofisis-gonad dan bergantung pada hormon pelepas gonadotropin (GnRH).
Pensinyalan GnRH dipahami dengan baik pada penelitian yang menggunakan
hewan coba dewasa, selain itu juga telah terlibat dalam perkembangan sumbu
reproduksi. GnRH diproduksi oleh subset neuron dengan distribusi tersebar di
seluruh otak depan basal dan dilepaskan ke portal pembuluh darah hipofisis dari
terminal akson di median eminence. 13,14

GnRH mengikat reseptor GnRH (GnRHR), yang secara khusus diekspresikan


15
pada sel gonadotrop di kelenjar hipofisis anterior. Sinyal GnRH mengontrol
biosintesis dan pelepasan hormon luteinizing (LH) dan follicle-stimulating
hormone (FSH) yang ada di dalamnya. Selanjutnya mengatur perkembangan dan
aktivitas gonad (ovarium dan testis).16 Studi pada tikus menunjukkan bahwa
hipotalamus-hipofisis-gonad didapatkan sudah berfungsi selama perkembangan
embrio. Neuron GnRH telah bermigrasi dari tempat asalnya yaitu di nasal placodes
17
ke tujuan akhir yang berada di otak depan dan akson neurosecretory ke puncak
18,19
median pada embrio saat hari ke 16. Pada tahap ini, kelenjar pituitary janin
menjadi responsif terhadap GnRH.20

Selain itu, testis janin dapat mengeluarkan hormon steroid sebagai respons
terhadap LH pada hari ke 16, peningkatan awal sekresi LH diduga dipicu oleh
GnRH pada tahap perkembangan ini.21 Terdapat panelitian yang sudah dilakukan
untuk menyelidiki peran pensinyalan GnRH selama perkembangan janin dari
sumbu reproduksi yang menghasilkan tikus rekayasa genetika dan sel
pengekspresian GnRHR (GnRHR +) yang dihilangkan secara selektif oleh aksi
toksin difteri. Strategi genetik ini memungkinkan identifikasi tahap penting dalam
perkembangan gonadotrop, yang bergantung pada interaksi terkoordinasi dari
hipotalamus janin dan kelenjar pituitari. Eksperimen tersebut mengungkapkan hal
yang mengejutkan yaitu dengan dikotomi pada populasi gonadotrop dari hipofisis
anterior yang sedang berkembang.22

Pada sat janin berusia 16.75 hari, hanya gonadotrop yang mengekspresikan
LHβ, tetapi bukan gonadotrop yang mengekspresikan FSHβ,. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan sekresi LH embrio diperlukan untuk
mempromosikan perkembangan yang tepat dari gonadotrop pengekspresi FSHβ,
yang mungkin dimediasi melalui interaksi parakrin di dalam kelenjar pituitari janin.
Yang mengejutkan pada penelitian tersebut yaitu adanya ablasi geneti sel GnRHR
+ juga secara signifikan meningkatkan ukuran populasi GnRH neuronal di
hipotalamus anterior tikus, ini menunjukkan peran tak terduga dari pensinyalan
GnRH dalam pembentukan ukuran populasi neuronal GnRH. Eksperimen tersebut
menunjukkan bahwa pensinyalan GnRH embrionik diperlukan untuk pematangan
sumbu reproduksi pria.
2.5 Regulasi aksis Hipotalamus-Hipofisis-Testis

Proses Spermatogenesis tidak lepas dari pengaturan aksis Hipotalamus-


Hipofisis-Testis seperti tampak pada Gambar 3.23 Bagian utama pengaturan fungsi
reproduksi dimulai dari sekresi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) oleh
hipotalamus. Selanjutnya kelenjar hipofisis anterior mensekresikan gonadotropin,
yaitu Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH).24

Gambar 3. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Testis (Finlayson dan Sanders, 2007)23

Antara hipotalamus dan hipofisis terdapat sistem porta sebagai penghubung


berbagai senyawa yang berasal dari hipotalamus, seperti GnRH sehingga mampu
mengendalikan hipofisis anterior. Hubungan hipotalamus, hipofisis, dan testis
dalam fungsi reproduksi dan seksual disebut sebagai aksis hipotalamus-
hipofisistestis. Walaupun proses steroidogenesis dan spermatogenesis berhubungan
erat, tetapi aksis tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu aksis hipotalamus-
hipofisissel Leydig dan aksis hipotalamus-hipofisis-tubulus seminiferus. Antara
hipotalamus dan hipofisis terdapat satu aksis karena hanya ditemukan satu GnRH,
yaitu Luteinizing Releasing Hormone (LRH) yang merupakan hormon pelepas LH
dan FSH.24
2.6 Spermatogenesis Manusia

Spermatogenesis merupakan serangkaian perkembangan spermatogonium yang


diawali dari proliferasi sel epitel tubulus seminiferus dan diakhiri perubahan
menjadi spermatozoa yang matang seperti tampak pada Gambar 4 Proses tersebut
membutuhkan waktu 70±4 hari untuk satu siklus yang disebut kinetik
spermatogenesis.25 Spermatogenesis manusia dimulai pada usia sekitar 14 tahun
dan kemudian mengalami penurunan seiring dengan proses penuaan .26

Diawali spermatogonium induk yang membelah dua kali menjadi empat


spermatogonium. Satu diantaranya berfungsi kembali menjadi sel induk untuk
spermatogenesis berikutnya, sedangkan tiga sel lain membelah dan membentuk
enam spermatogonium intermediet, kemudian membelah lagi membentuk dua belas
spermatogonium, membelah sekali lagi membentuk spermatosit primer, dan
selanjutnya mengalami meiosis.24

Gambar 4. Spermatogenesis Manusia (Finlayson dan Sanders, 2007)23


Pembelahan reduksi spermatosit primer terjadi pada lapisan basal disekitar sel-
sel Sertoli. Setiap spermatogonium yang masuk ke dalam lapisan sel Sertoli
mengalami modifikasi dan perlahan membesar membentuk spermatosit primer
yang berukuran besar.24

Akhir hari ke-24, setiap spermatosit primer terbagi dua menjadi spermatosit
sekunder yang disebut pembelahan meiosis pertama. Semua DNA bereplikasipada
tahap awal dari pembelahan meiosis. Masing-masing 46 kromosom menjadi dua
kromatid yang tetap berikatan pada sentromer, kedua kromatid memiliki gengen
duplikat dari kromosom tersebut. Selanjutnya spermatosit primer terbagi menjadi
dua spermatosit sekunder yang setiap pasang kromosom terpisah menjadi 23
kromosom dan memiliki dua kromatid. Salah satu menjadi spermatosit sekunder
baru dan sisa lainnya juga membentuk spermatosit sekunder baru.24

Setelah 2-3 hari, pembelahan meiosis kedua terjadi dengan kedua kromatid dari
ke-23 kromosom berpisah pada sentromer membentuk dua pasang dari 23
kromosom, satu pasang menuju salah satu spermatid dan yang lain menuju
spermatid kedua. Kedua pembelahan meiosis menghasilkan spermatid yang hanya
membawa masing-masing 23 kromosom.24

Pasca proses meiosis, setiap spermatid dibentuk kembali secara fisik oleh sel
Sertoli pembungkusnya, mengubah spermatid secara perlahan menjadi sebuah
spermatozoa dengan tahapan:

1. Menghilangkan sitoplasma di beberapa sisi.

2. Mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid untuk membentuk

bagian kepala yang padat.

3. Mengumpulkan sisa sitoplasma dan membran sel pada salah satu ujung dari

sel dan membentuk ekor.

2.7 Ekspresi GnRH1 dan GnRH2 Pada Sel Spermatogenik

Hipotalamus Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) melalui GnRH


receptor (GnRHR) merupakan pemeran utama dalam pengendalian reproduksi,
karena menginduksi biosintesis dan pelepasan gonadotropin hipofisis, yang dapat
meningkatkan steroidogenesis dan gametogenesis. Pada manusia terdapat 2 bentuk
molekul GnRH yaitu GnRH1 dan GnRH2 dan dua GnRHR (GnRHR1 dan
GnRHR2). Fungsi ekstrabrain GnRH telah dijelaskan secara ekstensif dalam
beberapa dekade terakhir dan pada pria aktivitas GnRH lokal mendorong
perkembangan spermatogenesis dan fungsi sperma di beberapa tingkatan. Peran
utama GnRH1 adalah komunikasi antara hipotalamus basal dan kelenjar pituitari.
Lokalisasi kanonik mRNA GnRH1 dan GnRHR1 berada pada sel Sertoli dan
Leydig, tetapi ligan dan reseptornya masing masing juga diekspresikan dalam sel
germinal.

Berdasarkan hasil riset yang menggunakan testis tikus berusia (180 hari)
diperoleh hasil analisis dengan tingkat ekspresi GnRH1 dan GnRHR1 dengan
menggunakan waktu (qPCR) dan hibridisasi in situ diperoleh lokalisasi mRNA
GnRH1 dan GnRH1 dalam sel spermatogenik berbeda pada hewan dewasa. Data
riset tersebut mengkonfirmasi ekspresi GnRH1 dan GnRH2 pada testis dalam sel
somatik dan memberikan bukti bahwa ekspresi keduanya terbatas di kompartemen
germinal pada sel haploid. Selain itu, tidak hanya sel Sertoli yang terhubung dengan
spermatid pada tahap terakhir pematangan tetapi Leydig dan sel myoid peritubular
juga mengekspresikan GnRH1. Sebaliknya, pada GnRH2 selain mempunyai
aktivitas hipofisiotropik yang seharusnya, GnRH2 terutama diproduksi di otak
belakang dan menggunakan neurotransmitter dan berperan sebagai neuromodulator
dalam mengontrol asupan makanan, keseimbangan energi, perilaku seksual, dan
stres sebagai respons terhadap pengaruh lingkungan.27,28

Spermatogenesis adalah proses kompleks di mana mitosis, meiosis, dan


diferensiasi berjalan berdampingan untuk menghasilkan kualitas sperma yang baik
di bawah kendali lingkungan hormonal. Hasil data riset melaporkandengan
menggunakan model hewan mamalia dan non-mamalia telah memberikan bukti
bahwa biosintesis steroid dan gonosit serta proliferasi spermatogonia,
perkembangan spermatogenesis, apoptosis sel germinal, pelepasan sperma, dan
fertilisasi semua membutuhkan aktivitas lokal GnRH.27 Jadi, di dalam testis peran
GnRH dan GnRHR sangat terlibat dalam rute autokrin dan parakrin yang
memodulasi komunikasi antara somatik dan sel germinal, yang bekerja dengan
beberapa biomodulator local.29 Ekspresi GnRH1 dan GnRHR1 pada janin telah
dilaporkan selama ontogenesis gonad tikus dan di Testis tikus menghasilkan
aktivitas GnRH1 yang tinggi dan telah diamati dari tahap pubertas hingga dewasa,
dengan mengalami penurunan saat terjadi penuaan..

Sel Leydig adalah target utama aktivitas GnRH. GnRH1 telah terdeteksi di
cairan interstisial dari testis tikus [25] dan studi pengikatan kompetitif,
imunohistokimia, dan hibridisasi in situ telah menyarankan bahwa sel Sertoli dapat
mewakili sumber utama GnRH (untuk ditinjau lihat.30 Selain lokalisasi kanonik
dalam somatic sel, pada tikus dan manusia transkrip GNRH1 dan GNRHR1 juga
telah dilokalisasi di sel germinal. Di manusia, transkrip GNRHR2 diekspresikan
dalam sel postmeiotik haploid dan juga dalam sperma matang.31 Secara konsisten,
pada tikus telah dianalisis mengungkapkan adanya beberapa bentuk mRNA Gnrhr1
di sel germinal yang diisolasi. Secara khusus, pada tikus beberapa sel
spermatogenic pada tubulus seminiferus juga mengekspresikan GnRH1 dan
GnRHR1. Namun, saat ini, sedikit yang diketahui tentang pelokalan tersebut dari
GnRH1 dan reseptornya di sel spermatogenik yang berbeda.
Gambar 5. Bagian testis pada hewan coba yaitu pada R. norvegicus dewasa dianalisis
dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (a) serta hibridisasi in situ untuk GnRH1 (b) dan
GnRHR1 (c) diperlakukan dengan probe antisense ((b), (c)) dan sense ((b), (c) insets).
Lokalisasi GnRH1 dan GnRHR1 diamati di interstisial Sel Leydig (LC) dan di dalam
tubulus seminiferus. Skala: 20 𝜇m. Hasilnya mewakili salah satu dari tiga pengujian.

Gambar 6: Lokalisasi GnRH1 dan GnRHR1 dengan hibridisasi in situ pada testis tikus
selama tahap siklus spermatogenetik ((a) - (f)). pewarnaan biru menunjukkan sel positif;
beberapa di antaranya, mewakili jenis sel yang berbeda, ditunjukkan dengan panah putih,
SPT ((a) - (f)); panah hitam, sel myoid peritubular ((b), (c), (e), dan (f)); SC, sel Sertoli.
Sisipan ditampilkan dalam perbesaran 100x. Skala: 20 𝜇m. Hasilnya mewakili salah satu
dari tiga pengujian. Pada tikus, Gnrh1 dan Gnrhr1 dinyatakan dalam testis di sel somatik
dan dalam sel germinal haploid. Ekspresi Gnrh1/Gnrhr1 pada langkah-langkah spesifik
spermiogenesis dan Sel Sertoli yang terhubung ke spermatid pada akhir fase pematangan
menunjukkan keterlibatan mendalam dalam fungsi yang terkait produksi sperma
berkualitas tinggi.

2.7 Mutasi Genetik Pada Reseptor GnRH (GnRHR)

Reproduksi manusia dikendalikan oleh sumbu hipotaalamik–hipofisis–gonadal,


dengan setiap komponen mengeluarkan faktor endokrin yang mencapai regulasi
terkontrol dari produksi gamet. Di atas sumbu ini, decapeptide GnRH, dilepaskan
dalam pulsatile dengan populasi neuron diskrit di area preoptik hipotalamus dan
dikirimkan ke kelenjar hipofisis anterior melalui sirkulasi portal hipofisis. GnRH
mengikat reseptor membran tertentu yaitu reseptor GnRH (GnRHR) pada
permukaan sel gonadotrof. Kemudian terjadi aktivasi GnRHR memicu jalur sinyal
intraseluler, yang pada akhirnya mengarah untuk sintesis dan pelepasan
gonadotropins, hormon luteinizing (LH) dan hormone perangsang folikel (FSH).
Perubahan temporal dan perkembangan Frekuensi pulsatil GnRH memiliki efek
diferensial pada FSH (terkait dengan perekrutan dan pematangan folikel ovarium)
dan LH (bertanggung jawab atas ovulasi).

Secara in vivo dan in vitro, frekuensi pulsatil GnRH menjadi lebih lambat
mengarah untuk merangsang sintesis dan pelepasan FSH, sedangkan frekuensi yang
lebih tinggi merangsang produksi LH.32 Beberapa kemajuan telah dibuat dalam
memahami mekanisme yang bertanggung jawab untuk pengenalan frekuensi
pulsatil GnRH oleh gonadotrophs. Meskipun demikian, bukti menunjukkan bahwa
GnRHR melalui pengaturan jumlah reseptor yang ada di permukaan sel, merupakan
faktor kunci.33 Sebagai komponen sentral dari sumbu reproduksi, sehingga
diketahui bahwa cacat pada GnRH / GnRHR merupakan sebagai penyebab utama
kegagalan reproduksi.34

Mutasi genetik telah semakin diyakini sebagai penyebab gangguan reproduksi


seperti hipogonadontropik hipogonadisme idiopathic (IHH) dan Sindrom
Kallmann. Gangguan ini ditandai dengan perkembangan dan infertilitas pubertas
yang tidak ada atau tidak lengkap dikaitkan dengan tingkat sirkulasi gonadotropins
yang tidak tepat. Meskipun mutasi pada gen GNRH sendiri belum diidentifikasi
pada pasien, mutasi dalam beberapa gen yang penting untuk pengembangan,
migrasi, dan fungsi neuronal GnRH telah dijelaskan.35 Selain itu, mutasi pada
GNRHR telah dilaporkan menyebabkan IHH dengan mengganggu aktivitas
GnRH.36 Oleh karena itu, maka makalah ini akan mencoba meringkas fungsi
keseluruhan GnRHR manusia (dalam mengikat ligan, aktivasi, dan sinyal
transduksi), membahas dampak mutasi yang terjadi pada fungsi reseptor, dan
implikasi klinis dan terapeutik.
a. Hubungan Struktur dan Fungsi GnRH Pada Manusia
GnRHR adalah anggota keluarga seperti rhodopsin G protein–coupled receptors
(GPCR) yang ditandai dengan tujuh domain transmembran (TMD) yang
tersambung dengan enam loop intraseluler bergantian (ICL) dan loop ekstraseluler
(ECL), dengan amino-terminus pada sisi ekstraseluler dan carboxy-terminus di sisi
intraseluler.37 Meskipun banyak spesies vertebrata memiliki lebih dari satu jenis
reseptor GnRH, namun hanya satu bentuk telah diidentifikasi yang terdapat pada
manusia, mewakili 328– asam amino tipe I GnRHR, yang disebut sebagai GnRHR
(Gbr. 7).

Gambar 7. Representasi skematik dari reseptor hormon pelepasan gonadotropin manusia


(GnRHR) dengan mutasi yang terjadi secara alami.37
Tabel 1. Ringkasan Semua Mutasi yang Dilaporkan dalam GNRHR Manusia,

Keterangan: GnRHR, gonadotropin-releasing hormone receptor; N-terminus, amino


extracellular terminus; TMD, transmembrane domain; ECL, extracellular loop; ICL,
intracellular loop.

b. Ekspresi Gen
Gen pengkodean GnRHR telah diidentifikasi dan dicirikan dalam banyak
spesies vertebrata, semuanya terdiri dari tiga ekson dan dua intron. Meskipun
GnRHR mamalia memiliki tingkat homologi dalam daerah pengkodean, terdapat
perbedaan besar ditemukan dalam urutan intronik dan daerah yang tidak
diterjemahkan. Ekspresi GNRHR telah dilaporkan dalam banyak jaringan selain
gonadotrof hipofisis, termasuk otak, plasenta endometrium, myometrium, ovarium,
testis, prostat, hati, dan ginjal. Distribusi ekspresi yang luas ini menunjukkan bahwa
mungkin merupakan regulasi ekspresi khusus jaringan dengan gen promotor cis-
elemen yang unik. Dalam gonadotroph, gen GNRHR dirangsang oleh GnRH itu
sendiri, serta oleh activin dan gonadal steroid hormon, termasuk estrogen,
progesteron, androgen, dan glucocorticoids.38 Untuk promotor gen GNRHR pada
mamalia telah dicirikan pada manusia, tikus, dan domba, meskipun masing masing
promotor memiliki beberapa kesamaan di daerah proksima, urutan keseluruhan
homologi antara spesies hanya 42 hingga 63%. Meskipun demikian, beberapa
komponen kunci dari gen basal dan regulasi transkripsi telah diidentifikasi secara
umum di antara spesies.39

Transkrip GnRHR tambahan juga telah dilaporkan pada beberapa spesies


vertebrata, terutama splice varian yang dapat menyebabkan protein ditranslasikan.40
Meskipun signifikansi varian GnRHR tersebut adalah tidak jelas, tetapi bukti
eksperimental menunjukkan bahwa jika diterjemahkan atau ditranslasikan, GnRHR
yang terpotong ini dapat berpartisipasi dalam mengatur fungsi secara penuh pada
reseptor GnRH dengan mengubah altering trafficking dan untuk signaling.
Sebagaimana dibahas dalam bagian berikut, pelipatan protein dan lokalisasi seluler
tampaknya memainkan peran utama dalam mengendalikan fungsi reseptor. Dengan
demikian, alternatif splicing dan posttranslational efek negatif dominan dari varian
splice menarik mekanisme regulasi potensial.

Gambar 8. Masing-masing dari empat kompartemen, hipotalamus, hipofisis,


gonad, dan saluran keluar, ditampilkan, bersama dengan gen yang diketahui
menyebabkan infertilitas..
c. Mutasi GnRHR Pada Pasien IHH

Pengetahuan yang lebih dalam mengenai mutasi reseptor GnRH (GnRHR) telah
diidentifikasi pada pasien IHH (Idiopatic Hypogonadotropin Hypogonadism). Pada
tahun 1997, mutasi loss-of-function pertama kali diidentifikasi oleh De Roux dkk17
dalam proband laki-laki dan saudara perempuannya dengan IHH. Hingga saat ini,
19 mutasi tambahan telah diidentifikasi di seluruh GNRHR manusia (Tabel 1);
semua kecuali dua mutasi yang diketahui adalah mutasi missense yang mengarah
ke substitusi asam amino tunggal. Dalam kekeluargaan kasus pola warisan adalah
resesif autosomal; kebanyakan pasien adalah heterozygotes majemuk. Seluler dan
fenotipe molekul dari setiap mutasi telah dipelajari secara ekstensif secara in vitro,
dan mutasi dapat diklasifikasikan sebagai mutasi kerusakan fungsi parsial atau
lengkap (Tabel 1). Menariknya, meskipun substitusi asam amino telah diidentifikasi
di hampir setiap bagian reseptor (Gbr. 1), Gln2.69(106)Arg (dalam ECL1) dan
Arg6.30(262)Gln (dalam ICL3) adalah yang paling umum. Dalam studi screening skala
besar baru-baru ini, mutasi GnRHR ditemukan menyumbang 3,5 hingga 16% dari
normosmik IHH dan 11 hingga 40% dari normosmik kasus IHH keluarga resesif
autosomal.41

Tidak ada yang terjadi secara alami mutasi pada gen GNRHR yang
diidentifikasi pada pasien dengan IHH (Tabel 1) secara langsung melibatkan residu
dari pocket pengikatan ligan yang ditentukan. Namun, kurangnya binding diamati
untuk mutasi Cys Tyr dan mutasi Glu2, Lys kemungkinan karena gangguan ikatan
disufide dan hidrogen masing-masing. Demikian pula dengan Substitusi Ala4. 42

THR di TMD4 dapat mengganggu potensi ikatan hidrogen dengan Tyr3, sehingga
menstabilkan reseptor dalam konformasi yang tidak aktif. Dalam kasus Arg3, His
dan Arg3, Cys, mutasi ini terletak di tengah motif asam amino domain DRS untuk
aktivasi reseptor (lihat bagian Aktivasi dan Transduksi Sinyal). Mutasi ini terjadi
secara alami dengan demikian memberikan wawasan tambahan tentang fungsi
molekul domain GnRHR manusia. Telah ditunjukkan dengan jelas bahwa mutasi
buatan receptor ligand binding pocket dapat mengganggu interaksi intramolekuler
yang mengakibatkan perubahan afinitas untuk ligan tertentu.42 Demikian pula, tidak
dapat dikecualikan bahwa mutasi yang terjadi secara alami di seluruh reseptor dapat
mengubah konformasi protein GnRHR secara keseluruhan, sehingga mengganggu
proses pelipatan reseptor, , trafficking, dan stabilitas. Ini kemungkinan mengarah
pada pertimbangan bahwa banyak yang diamati apabila terdapat defect atau
kerusakan pengikatan dapat mengakibatkan tidak hanya dari hilangnya afinitas
ligan dalam mengikat tetapi juga dari penurunan yang signifikan dalam nomor
reseptor permukaan sel.

Sebelum trafficked ke membran sel, reseptor pertama kali dimodifikasi dan


dilipat di lokasi sintesis dalam retikulum endoplasma. Pada saat ini apabila terdapat
tingkat protein yang cacat, dan salah lipat dapat dialihkan ke jalur degradasi.43 Bukti
terbaru menunjukkan bahwa GnRHR manusia rentan terhadap kesalahan tersebut,
dan bahkan proporsi reseptor wild-type tidak pernah mencapai membran plasma
(untuk ditinjau, lihat Conn et al61). Kecenderungan menyesatkan ini tidak terjadi
untuk hewan pengerat GnRHRs, yang tidak memiliki Lys pada posisi 191 di ECL
kedua. Telah diusulkan bahwa penyisipan residu Lys ini dalam primata
menghasilkan pembentukan jembatan disuulir intramolekuler yang stabil antara
Cys14 dan Cys5.27(200), yang diperlukan untuk pelipatan GnRHR manusia.44

Misfolding atau salah pelipatan tidak dapat dihindari, mengingat bahwa sel
secara alami mengandalkan pendamping molekul untuk membantu dengan benar
mengatur protein.45 kondisi ini telah menyebabkan pengembangan apa yang disebut
farmakochaperones (senyawa farmakologis yang bertindak sebagai pendamping)
yang menarik yaitu sel nonpeptiik permean GnRHR antagonis yaitu IN3 telah
terbukti mengembalikan sebagian fungsi beberapa nonbinding alami reseptor
manusia mutan (Thr32Ile, Glu2.53(90)Lys, Cys5.27(200)Tyr, Leu6.34(266)Arg, dan
Cys6.47(279)Tyr) ketika ditambahkan ke sel yang ditransinfeksi.46 Mengingat bahwa
senyawa ini juga mampu meningkatkan ekspresi permukaan sel dari wild-type
reseptor manusia, diusulkan bahwa IN3 dapat mempromosikan atau
menyelamatkan lipatan GnRHR yang tepat.

Peranan IN3 telah terbukti dapat menyelamatkan transportasi intraseluler yang


rusak karena misfolding dan misrouting yang berkontribusi secara signifikan
terhadap hilangnya pengikatan dan disfungsi GnRHR (untuk ditinjau, lihat Conn et
al61). Baru-baru ini, perlakuan terhadap Arg3.50(139) Cys mutant dengan IN3 juga
menghasilkan 50% peningkatan ekspresi permukaan sel. Namun, dua mutan
GNRHR manusia (Ser4,54(168) Arg dan Ser5.44(217) Arg) tidak dapat diselamatkan.47

Dalam kasus Ser4.54(168)Arg, meskipun trafficking normal ke sel permukaan


diamati, hubungan ekstra dengan Tyr3.31(119) di TMD3 dapat dibentuk, sehingga
mengubah keseluruhan konformasi reseptor. Menariknya, fungsi mutasi yang
ditunjukkan untuk mempengaruhi konektor ke jalur sinyal intraseluler daripada
pengikatan ligan, seperti Arg6.30(262)Gln, masih bisa diselamatkan oleh IN3,
menunjukkan bahwa salah lipat mungkin juga mempengaruhi fungsi pengikatan
reseptor secara independen. Ini tidak terlalu mengejutkan mengingat bahwa IN3
bahkan mampu menyelamatkan reseptor wild - type dan kemungkinan
mencerminkan sel yang disempurnakan pada ekspresi permukaan. Oleh karena itu,
pengembangan pendamping farmakologis untuk mengatasi misrouting reseptor
memiliki potensi untuk mengarah pada pendekatan terapeutik baru untuk pasien
dengan IHH akibat mutasi GNRHR.

Gambar 9. Representasi skematis reseptor GnRH (GnRHR) manusia dalam konfigurasi


inaktif dan aktif.
2.8 Pemeriksaan kelainan GnRHR pada Hipogonadotropik Hipogonadisme

Hipogonadotropik Hipogonadisme adalah suatu kondisi yang bersifat heterogen


secara klinis dan seringkali sulit untuk didiagnosis dan dibedakan dengan
keterlambatan pertumbuhan selama masa remaja. Kehadiran anosmia dan/atau
hipoplasia olfaktorius yang divisualisasikan oleh MRI menunjukkan adanya
sindrom Kallmann. Strategi untuk mengenali gejala pada pasien HH di awal masa
kanak-kanak serta induksi pubertas tepat waktu pada masa remaja dapat secara
signifikan meningkatkan fungsi seksual dan reproduksi pasien HH secara jangka
panjang. Selain itu, induksi kesuburan melalui terapi hormonal sangat menjanjikan
dalam meningkatkan spermatogenesis untuk individu dengan HH.48

Pemeriksaan yang dianjurkan pertama kali dalam mendeteksi adanya kelainan


pada GnRHR biasanya mengindikasikan adanya bentuk tubuh atau fisik yang
mengalami keterlambatan perkembangan. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan fisik
terlebih dahulu dengan mengkonsultasikan keluhan serta dugaan pasien mengenai
kelainan-kelainan yang dirasakan seperti adanya ukuran penis yang kecil, testis
yang tidak berkembang, ukuran tubuh yang pendek, gangguan penciuman atau
adanya perubahan sexual. Pemeriksaaan fisik ini dapat dilakukan saat bayi baru
dilahirkan dan terdapat perbedaan organ reproduksi secara normal pada bayi yang
lainnya atau dilakukan saat pasien memasuki usia pubertas namum secara fisik tidak
terlihat perbedaan dari masa kanak-kanak. 48

Selain itu bisa juga melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan


laboratorium, ultrasonografi (USG), dan analisis kromosom. Studi genetik biasanya
merupakan langkah terakhir dalam investigasi HH dan manifestasi klinis lengkap
bisa sangat berguna dalam pemilihan gen yang akan diskrining. Tes genetik juga
dapat bersifat penting untuk mengeliminasi sindrom lainnya. Penilaian klinis yang
cermat sehubungan dengan evaluasi biokimia seperti darah lengkap, profil ginjal
dan hati, penanda inflamasi, fungsi tiroid, dan zat besi sangat penting untuk
menyingkirkan gangguan kronis yang mendasari gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Berbagai tes fisiologis dan stimulasi telah diajukan selama
bertahun-tahun dimana beberapa hasil yang menjanjikan muncul dari penelitian
terbaru tentang serum inhibin B, tetapi belum ada pemeriksaan baku emas dalam
mendiagnosis HH yang disebabkan oleh adanya mutasi GnRHR 48

2.9 Upaya Terapi Pada Mutasi GnRHR

Pengobatan pasien dengan mutasi GNRHR dengan penggantian hormon steroid


gonadal atau dengan gonadotropins untuk induksi kesuburan mirip dengan
pengobatan bentuk lain dari IHH. Sebaliknya, pengobatan GnRH pulsatile tidak
berhasil pada sebagian besar pasien karena ketahanan terhadap GnRH. Akhirnya,
kemampuan IN3 untuk menyelamatkan GnRHR manusia mutan dengan berfungsi
sebagai templatperlipatan atau folding, yang menghasilkan pemulihan mengikat
ligan dan produksi IP, menunjukkan bahwa farmakkochaperones dapat mengatasi
kerusakan reseptor dan dapat menawarkan pendekatan terapeutik baru pada mutasi
GNRHR dan penyebab lain dari IHH.49

Rencana dan tujuan terapi pada pasien remaja dengan hipogonad


hipogonadotropik adalah induksi pubertas sesuai dengan usia dan mengoptimalkan
pertumbuhan sehingga mampu dalam menghindari komplikasi psikososial. Tujuan
terapi lainnya adalah untuk memperbaiki body image sehingga tidak menyebabkan
rasa malu bagi pasien dan agar pasien memiliki fungsi seksual yang normal.48
Tingkat androgen yang normal dan perkembangan karakteristik seks sekunder dapat
dicapai dengan penggantian androgen secara tunggal. Namun, terapi GnRH atau
gonadotropin adalah pilihan terbaik bagi pria yang ingin memiliki anak karena
stimulasi produksi sperma memerlukan pengobatan human chorionic gonadotropin
(hCG) tunggal atau dikombinasikan dengan FSH rekombinan, FSH urin, atau
human menopausal gonadotropin (hMG).7 Rantai β LH dan hCG sangat mirip dan
menunjukkan sifat yang sama seperti afinitas untuk reseptor pada sel Leydig. Saat
ini gonadotropin urin menjalani proses purifikasi yang tinggi dan dapat disuntikkan
secara subkutan sehingga mampu menghindari induksi antibodi.7

Perawatan gonadotropik dimulai dengan pemberian 1.000 hingga 2.500 IU hCG


dua kali seminggu selama 8 hingga 12 minggu. Fase awal ini adalah fase induksi
yang sangat penting agar kadar testosteron meningkat. Dalam kasus-kasus tertentu,
hCG tunggal dapat menginduksi sperma. Pada individu yang tidak memiliki FSH
endogen yang cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian 75
hingga 150 IU hMG tiga kali seminggu hingga 18 bulan karena keberadaan FSH
sangat penting untuk merangsang spermatogenesis. FSH rekombinan dapat
digunakan sebagai pengganti hMG dimana pasien menerima 150 IU tiga kali per
minggu untuk periode waktu yang sama. Pengobatan kombinasi ini memberikan
pertumbuhan testis yang cukup besar pada sebagian besar pasien selain
spermatogenesis pada hingga 90% pasien. Perawatan ini menuntut disiplin dan
ketekunan karena durasi yang cukup lama. Dukungan finansial juga diperlukan
karena obat yang digunakan cukup mahal.7

Secara klasik, durasi perawatan gonadotropin untuk memulihkan


spermatogenesis lebih dari tiga bulan. Studi lain memperkirakan durasi
spermatogenesis (dari diferensiasi spermatogonia hingga ejakulasi spermatozoa
dewasa) membutuhkan waktu sekitar 64 hari. Dalam sebuah studi, pria yang
memiliki konsentrasi sperma normal diberikan perlakuan konsumsi air deuterisasi
berat (2H2 O) setiap hari dan memberikan sampel cairan sperma setiap dua minggu
selama 90 hari. Penggabungan label 2H2 O ke dalam DNA sperma dikuantifikasi
dengan kromatografi gas atau spektrometri massa yang memungkinkan persentase
sel baru untuk dihitung. Waktu keseluruhan rata-rata untuk pendeteksian sperma
pada ejakulasi adalah 64+8 hari (kisaran 42-76 hari). Pada pria normal, sperma yang
dilepaskan dari epitel seminiferus memasuki epididimis secara terkoordinasi
dengan sedikit pencampuran sperma lama dan baru sebelum ejakulasi berikutnya.7
BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

Kegagalan spermatogenesis pada pria dapat mengindikasikan infertilitas


pretestikuler yang disebabkan adanya mutasi gen yang terjadi pada reseptor GnRH
(GnRHR) sehingga menyebabkan Idiopatik Hipogonadotropik Hipogonadisme
(IHH). Mutasi GnRHR dapat terjadi pada proses transkripsi atau pembentukan
protein. Pada prosesnya terjadi misfolding dan misrouting yang mengakibatkan
translasi protein menjadi berubah. Adanya mutasi gen pada reseptor GnRHR ini
mempengaruhi ikatan antara GnRH dan GnRHR yang berperan penting dalam
pengaturan system reproduksi, yaitu pada sumbu hipotalamus-pituitari-gonad.
Terdapat beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kelainan infertilitas ini yaitu
dengan melakukan pemeriksaan fisik, kadar hormonal, pemeriksaan kromosom dan
sequencing genetik pada gen GnRHR. Perkembangan terapeutik sudah banyak
dikembangkan dalam menangani permasalahan infertilitas pada IHH.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. WHO Manual for the Standardised Investigation


and Diagnosis of the Infertile Couple. Cambridge: Cambridge University Press,
2012.
2. Levine JE, Ramirez VD. Luteinizing hormone-releasing hormone release
during the rat estrous cycle and after ovariectomy, as estimated with push-pull
cannulae. Endocrinology 2007;111:1439–1448
3. Santoro N, Filicori M, Spratt D, Crowley WF Jr. Gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) physiology in men and women. Acta Med Hung
2007;43:201–221
4. European Association of Urology (EAU). Guidelines on male infertility.
EAU;2015.
5. Puscheck EE. Infertility [internet]. [place unknown] : Medscape, 2020 jan 30
[cited 2020 Oktober 20]. Available from
: https://emedicine.medscape.com/article/274143-overview#a3
6. Swee DS, Quinton R.. Managing congenital hypogonadotrophic
hypogonadism: a contemporary approach directed at optimizing fertility and
long-term outcomes in males. Ther Adv Endocrinol Metab. 2019;10: 1–15.
7. Fraietta R, Daniel SZ, Sandro CE. Hypogonadotropic hypogonadism revisited.
Clinics 2013; 68(Suppl 1):81-88.
8. Tsang S. When size matters: a clinical review of pathological micropenis. J
Pediatr Health Care. 2010;24(4):231-240.
9. Ma X, Dong Y, Matzuk MM, Kumar TR. Targeted disruption of luteinizing
hormone beta-subunit leads to hypogonadism, defects in gonadal
steroidogenesis, and infertility. Proc Natl Acad Sci U S A.
2004;101(49):17294–9.
10. Sokol RZ. Endocrinology of male infertility: evaluation and treatment. Semin
Reprod Med. 2009;27(2):149–58.
11. Melmed S. Update in pituitary disease. J Clin Endocrinol Metab.
2008;93(2):331–8.
12. Ding EL, Song Y, Malik VS, Liu S. Sex differences of endogenous sex
hormones and risk of type 2 diabetes: a systematic review and meta-analysis.
JAMA. 2006;295(11):1288–99.
13. Gore AC (2002) GnRH: The Master Molecule of Reproduction (Kluwer,
Dordrecht, The Netherlands).
14. Herbison AE (2006) Physiology of the Gonadotropin-Releasing Hormone
Neuronal Network. Knobil and Neill’s Physiology of Reproduction, ed Neill JD
(Elsevier, Amsterdam), pp 1415–1482.
15. Childs GV (2006) Gonadotropes and Lactotropes. Knobil and Neill’s
Physiology of Reproduction, ed Neill JD (Elsevier, Amsterdam), pp 1483–
1579.
16. Jeong K-H, Kaiser UB (2006) Gonadotropin-releasing hormone regulation of
gonadotropin biosynthesis and secretion. Knobil and Neill’s Physiology of
Reproduction, ed Neill JD (Elsevier, Amsterdam), pp 1635–1726.
17. Tobet SA, Schwarting GA (2006) Minireview: Recent progress in
gonadotropinreleasing hormone neuronal migration. Endocrinology 147:1159–
1165.
18. Schwanzel-Fukuda M, Pfaff DW (1989) Origin of luteinizing hormone-
releasing hormone neurons. Nature 338:161–164
19. Wray S, Grant P, Gainer H (1989) Evidence that cells expressing luteinizing
hormonereleasing hormone mRNA in the mouse are derived from progenitor
cells in the olfactory placode. Proc Natl Acad Sci USA 86:8132–8136.
20. Pointis G, Mahoudeau JA (1979) [Study of Leydig cells and gonadotropin
activity in 14-18 days old fetal mouse (author’s transl)]. Ann Endocrinol (Paris)
40:431–432.
21. Pointis G, Mahoudeau JA (1976) Release of immuno-reactive and biologically
active LH from fetal mouse pituitary in response to synthetic gonadotropin
releasing factor (LRF). Experientia 32:1347–1348.
22. Pointis G, Mahoudeau JA (1976) Demonstration of a pituitary gonadotrophin
hormone activity in the male foetal mouse. Acta Endocrinol (Copenh) 83:158–
165.
23. Finlayson, A., Sanders, S. 2007. Crash Course: Endocrine and Reproductive
Systems. 3rd Edition. Philadelphia: Elsevier Limited. p. 109-118, 155-172.
24. Guyton, A.C., Hall, J.E. 2004. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. In: Setiawan,
I., editor. Edisi ke-10. Jakarta: EGC.
25. Glover, T.D. 2004. Male Fertility and Infertility. London: University of
Birmingham, Cambridge University Press.
26. McConnell, J.D. 2004. Diagnosis and Therapy of Male Infertility. United States
Of America: McGraw-Hill Published.
27. R. Pierantoni, G. Cobellis, R. Meccariello, and S. Fasano, “Evolutionary
aspects of cellular communication in the vertebrate hypothalamo-hypophysio-
gonadal axis,” International Review of Cytology, vol. 218, pp. 69–141, 2002.
28. O. Kah, C. Lethimonier, G. Somoza, L. G. Guilgur, C. Vaillant, and J. J.
Lareyre, “GnRH and GnRH receptors in metazoa: a historical, comparative, and
evolutive perspective,” General and Comparative Endocrinology, vol. 153, no.
1–3, pp. 346–364, 2007.
29. H. Y. Lee, M. I. Naseer, S. Y. Lee, and M. O. Kim, “Timedependent effect of
ethanol on GnRH and GnRH receptor mRNA expression in hypothalamus and
testis of adult and pubertal rats,” Neuroscience Letters, vol. 471, no. 1, pp. 25–
29, 2010
30. vN. Ramakrishnappa, R. Rajamahendran, Y. M. Lin, and P. C. K. Leung,
“GnRH in non-hypothalamic reproductive tissues,” Animal Reproduction
Science, vol. 88, no. 1-2, pp. 95–113, 2005.
31. W. van Biljon, S. Wykes, S. Scherer, S. A. Krawetz, and J. Hapgood, “Type II
gonadotropin-releasing hormone receptor transcripts in human sperm,” Biology
of Reproduction, vol. 67, no. 6, pp. 1741–1749, 2002.
32. Bedecarrats GY, Kaiser UB. Differential regulation of gonadotropin subunit
gene promoter activity by pulsatile gonadotropin-releasing hormone (GnRH) in
perifused L beta T2 cells: role of GnRH receptor concentration. Endocrinology
2003;144:1802–1811
33. Burger LL, Haisenleder DJ, Dalkin AC, Marshall JC. Regulation of
gonadotropin subunit gene transcription. J Mol Endocrinol 2004;33:559–584
34. Naor Z, Jabbour HN, Naidich M, et al. Reciprocal cross talk between
gonadotropin-releasing hormone (GnRH) and prostaglandin receptors regulates
GnRH receptor expression and differential gonadotropin secretion. Mol
Endocrinol 2007;21:524–537
35. De Roux N, Genin E, Carel J, Matsuda F, Chaussain J, Milgrom E.
Hypogonadotropic hypogonadism due to loss of function of the KiSS1-derived
peptide receptor GPR54. Proc Natl Acad Sci USA 2003;100:10972–10976
36. Layman LC. Genetic causes of human infertility. Endocrinol Metab Clin North
Am 2003;32:549–572
37. Millar RP, Lu ZL, Pawson AJ, Flanagan CA, Morgan K, Maudsley SR.
Gonadotropin-releasing hormone receptors. Endocr Rev 2004;25:235–275
38. Chang CK, Leung PC. Molecular biology of gonadotropinreleasing hormone
(GnRH)-I, GnRH-II, and their receptors in humans. Endocr Rev 2005;26:283–
306
39. Hapgood JP, Sadie H, van Biljon W, Ronacher K. Regulation of expression of
mammalian gonadotrophinreleasing hormone receptor genes. J
Neuroendocrinol 2005; 17:619–638
40. Shimizu M, Bedecarrats GY. Identification of a novel pituitary-specific chicken
gonadotropin-releasing hormone receptor and its splice variants. Biol Reprod
2006;75:800– 808
41. Cerrato F, Shagoury J, Kralickova M, et al. Coding sequence analysis of
GNRHR and GPR54 in patients with congenital and adult-onset forms of
hypogonadotropic hypogonadism. Eur J Endocrinol 2006;155(suppl 1):S3–S10
42. Lu ZL, Gallagher R, Sellar R, Coetsee M, Millar RP. Mutations remote from
the human gonadotropin-releasing hormone (GnRH) receptor-binding sites
specifically increase binding affinity for GnRH II but not GnRH I: evidence for
ligand-selective, receptor-active conformations. J Biol Chem 2005;280:29796–
29803
43. Thompson MD, Burnham WM, Cole DE. The G proteincoupled receptors:
pharmacogenetics and disease. Crit Rev Clin Lab Sci 2005;42:311–392
44. Janovick JA, Knollman PE, Brothers SP, Ayala-Yanez R, Aziz AS, Conn PM.
Regulation of G protein-coupled receptor trafficking by inefficient plasma
membrane expression: molecular basis of an evolved strategy. J Biol Chem
2006;281:8417–8425
45. Hartl FU, Hayer-Hartl M. Molecular chaperones in the cytosol: from nascent
chain to folded protein. Science 2002; 295:1852–1858
46. Ashton WT, Sisco RM, Yang YT, et al. Potent nonpeptide GnRH receptor
antagonists derived from substituted indole5-carboxamides and -acetamides
bearing a pyridine sidechain terminus. Bioorg Med Chem Lett 2001;11:1727–
1731
47. Janovick JA, Maya-Nunez G, Conn PM. Rescue of hypogonadotropic
hypogonadism-causing and manufactured GnRH receptor mutants by a specific
protein-folding template: misrouted proteins as a novel disease etiology and
therapeutic target. J Clin Endocrinol Metab 2002;87:3255– 3262
48. Hatipoğlu N, Kurtoğlu S. Micropenis: etiology, diagnosis and treatment
approaches. J Clin Res Pediatr Endocrinol. 2013;5(4):217-223.
49. Conn PM, Knollman PE, Brothers SP, Janovick JA. Protein folding as post-
translational regulation: Evolution of a mechanism for controlled plasma
membrane expression of a GPCR. Mol Endocrinol 2006;20:3035–3041

Anda mungkin juga menyukai