Anda di halaman 1dari 58

MINGGU 3 BLOK 3.

PUBERTAS PREKOKS

Pubertas prekoks adalah kondisi munculnya tanda fisik dan hormonal perkembangan seksual
sekunder sebelum usia 8 tahun pada anak perempuan dan 9 tahun pada anak lelaki. Pubertas
prekoks dapat diklasifikasikan menjadi varian “normal” (dianggap nonpatologis) dan patologis.
Pubertas prekoks patologis dibedakan menjadi dua, yaitu tipe tergantung GnRH (Gonadotropin-
Releasing Hormone) atau tipe sentral, dan tidak tergantung GnRH atau tipe perifer
(pseudopubertas).

EPIDEMIOLOGI

Data epidemiologi pubertas prekoks sangat terbatas. Prevalensi pubertas prekoks diperkirakan
1:5000 hingga 1:10.000, dengan kecenderungan wanita lebih banyak daripada lelaki. Beberapa
studi di luar negeri menyatakan kejadian pubertas prekoks bervariasi antara 5-23 per 10.000 anak
perempuan dan 5-6 per 10.000 anak laki-laki.

Global
Studi epidemiologi di Denmark menunjukkan 0,2% anak perempuan mengalami pubertas
prekoks dengan berbagai varian. Pubertas prekoks pada laki-laki Denmark lebih kecil, yaitu
0,05%.

Studi di SPanyol menyebutkan kejadian pubertas prekoks sentral sekitar 0,02-1,07 kasus per
100.000 orang. Di Korea, kejadian pubertas prekoks sekitar 15,3 per 100.000 anak perempuan
dan 0,6 per 100.000 anak laki-laki.

Indonesia
Belum tersedia data epidemiologi nasional mengenai pubertas prekoks di Indonesia.

Mortalitas
Pubertas prekoks tidak menyebabkan kematian, tapi sering kali pubertas prekoks menimbulkan
dampak buruk baik fisik maupun psikis anak, serta tekanan psikis bagi keluarganya.
ETIOLOGI

Etiologi pubertas prekoks sebagian besar idiopatik. terjadi secara sporadik pada sebagian besar
kasus. Sebagian kecil kasus disebabkan oleh adanya lesi serebral.

Pubertas Prekoks Sentral


Etiologi pubertas prekoks sentral antara lain:

 Hamartoma hipotalamik

 Tumor: astrositoma, kraniofaringioma, ependimoma, glioma optikal atau


hipotalamik, luteinizing hormone-secretion adenoma, pinealoma, neurofibroma,
disgerminoma
 Malformasi kongenital: kista arachnoid, kista suprasellar, hidrosefalus, spina bifida,
displasia septum optikal, mielomeningokel, neurohipofisis ektopik, malformasi vaskular

 Kelainan atau lesi dapatan: meningitis, ensefalitis, tuberkulosis, granuloma sarkoidosis,


abses
 Diinduksi oleh prosedur medik atau trauma: radiasi kranial, kemoterapi, trauma kepala,
asfiksia perinatal, bedah susunan saraf pusat

Pubertas Prekoks Perifer


Etiologi pubertas prekoks perifer adalah karena produksi steroid seks dari sumber endogen atau
eksogen seperti congenital adrenal hyperplasia (CAH), tumor gonad, tumor adrenal, McCune-
Albright syndrome, Familial male-limited precocious puberty (testotoxicosis), dan Van Wyk and
Grumbach syndrome.
Faktor Risiko
Faktor risiko pubertas prekoks antara lain:

 Kecil masa kehamilan (KMK)

 Penyakit pada ibu selama kehamilan

 Menarche ibu yang terjadi lebih awal

 Riwayat pubertas awal pada keluarga di generasi yang sama.


Sebuah penelitian di Cina menyatakan bahwa beban studi yang berat atau stres juga dapat
menjadi faktor risiko terjadinya pubertas prekoks pada anak perempuan.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi pubertas prekoks dapat dibedakan berdasarkan tipenya. Terdapat dua jenis pubertas
prekoks, yaitu tipe tergantung GnRH (Gonadotropin-Releasing Hormone) atau tipe sentral, dan
tidak tergantung GnRH atau tipe perifer (pseudopubertas).
Pubertas Normal
Pubertas terjadi karena neuron di hipotalamus memproduksi GnRH, suatu decapeptide yang
berjalan melalui sistem vena porta ke kelenjar pituitari anterior. Di kelenjar ini GnRH
menginduksi pengeluaran pulsatil dari 2 jenis gonadotropin yaitu luteinizing hormone (LH)
dan follicle-stimulating hormone (FSH). Setelah ditransport ke gonad, gonadotropin mengikat
reseptor membran yang kemudian membentuk kompleks protein-G dalam sel target.
Pada perempuan, LH meningkatkan produksi androgen oleh sel theca dan
produksi progesteron oleh sel granulosa. Pada laki-laki, LH menstimulasi sel Leydig
memproduksi testosteron dan FSH menstimulasi sel sertoli untuk perkembangan sel germinal
(spermatogenesis).
Aksis hipotalamik-pituitari-gonadal (HPG) ini sudah aktif sejak usia gestasi 20 minggu. Pada
laki-laki, aktivitas aksis HPG menurun saat usia 3-6 bulan. Pada perempuan, sekresi FSH bisa
sampai usia 18 bulan. Setelah usia tersebut, sekresi gonadotropin minimal.

Pubertas Prekoks
Onset normal pubertas ditentukan oleh berbagai proses intraserebral yang belum diketahui secara
lengkap. Pubertas terjadi karena adanya ketidakseimbangan gamma-aminobutyric acid (GABA)
yang merupakan neurotransmiter inhibitori utama yang menekan sekresi GnRH
dengan glutameric neurotransmission yang menstimulasi produksi GnRH. Belum diketahui
apakah neurotransmisi yang diperantarai GABA menurun saat onset pubertas sehingga
meningkatkan sinyal glutamatergik atau sebaliknya.[3,5]
Pubertas prekoks terjadi karena abnormalitas kadar steroid seks yang dapat disebabkan oleh
faktor endogen (adrenal atau gonad) atau eksogen. Pubertas prekoks yang tergantung GnRH
(pubertas prekoks sentral) dapat terjadi karena disregulasi sentral yang menyebabkan
overproduksi LH dan FSH atau produksi hormon ektopik (biasanya neoplasma yang
memproduksi hCG). Penyebab tersering pubertas prekoks adalah disregulasi sentral. Pubertas
prekoks perifer disebabkan oleh produksi steroid seks dari sumber endogen atau eksogen, seperti
hiperplasia adrenal kongenital, tumor gonad, atau tumor adrenal.

DIAGNOSIS

Diagnosis pubertas prekoks didapat melalui anamnesis dan riwayat keluarga, pemeriksaan fisik
terkait tanda perkembangan seksual sekunder, evaluasi laju pertumbuhan, dan pemeriksaan kadar
hormon gonadotropin.

Anamnesis
Pada anamnesis, tanyakan keluhan, riwayat pertumbuhan dan perkembangan. serta riwayat
keluarga.

Keluhan utama pasien biasanya adalah adanya tanda perkembangan pubertas yang terlalu awal,
seperti perkembangan payudara pada wanita dan meningkatnya volume testis pada laki-laki.
Keluhan lain dapat berupa peningkatan tinggi badan, jerawat, perubahan otot, bau badan, dan
perkembangan rambut pubis dan aksila.

Selain dari itu, lakukan pula anamnesis mengenai kemungkinan disfungsi sistem saraf pusat
seperti nyeri kepala, lingkat kepala membesar, gangguan penglihatan, kejang, trauma, dan infeksi
untuk mencari etiologi.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital, antropometri, dan pemeriksaan tanda seks
sekunder. Pada pubertas prekoks sentral, laju pertumbuhan akan meningkat, dengan kenaikan
tinggi badan bisa melebihi 6 cm per tahun. Perkembangan pubertal laki-laki dapat ditandai
dengan meningkatnya volume testis menjadi lebih dari 4 ml. Pemeriksaan perkembangan
payudara dengan staging Tanner dapat dilakukan pada anak perempuan.
Pada pemeriksaan fisik, lihat juga adakah akantosis nigrikan, macula café au lait, atau
neurofibroma yang dapat mengarah ke neurofibromatosis tipe 1 dan sindrom McCune-Albright.
Diagnosis Banding
Pada pasien yang dicurigai mengalami pubertas prekoks, varian normal perlu dipikirkan. Varian
normal (nonpatologis) dapat meliputi telarke dan pubarke atau adenarke dini. Meskipun
dianggap sebagai varian normal, kedua kondisi tersebut memerlukan pemantauan berkala untuk
memastikan tidak berkembang menjadi pubertas prekoks yang patologis.

Telarke Dini

Telarke dini adalah pembesaran kelenjar payudara pada anak perempuan tanpa disertai tanda
perkembangan seks sekunder yang lain, termasuk tanpa peningkatan laju pertumbuhan sebelum
masuk usia pubertas.

Pubarke atau Adrenarke Dini

Pubarke atau adrenarke dini adalah tumbuhnya rambut pubis sebelum usia pubertas, yaitu 8
tahun pada perempuan dan 9 tahun pada laki-laki. Adrenarke dini mencerminkan adanya
maturasi dini zona retikularis adrenal yang berfungsi untuk mensekresi DHEA
(dehydroepiandrosterone).

Tanda-tanda lain yang bisa didapatkan adalah pertumbuhan rambut aksila, perubahan bau badan
dan jerawat, tanpa disertai peningkatan laju pertumbuhan meskipun terkadang bisa disertai
dengan peningkatan usia tulang.

Pemeriksaan Penunjang
Skrining awal meliputi pemeriksaan usia tulang, kadar luteinizing hormone (LH), follicle-
stimulating hormone (FSH), testosteron, dehydroepiandrosteron sulphate (DHEA-S),
progesteron, dan tes fungsi tiroid.
Usia Tulang

Bila usia tulang ≥ 2 tahun atau ≥ 2 standar deviasi dari usia kronologis, tes lebih lanjut harus
dilakukan.
Profil Hormon

Pemeriksaan kadar hormon dapat membedakan penyebab perifer dan sentral. Kadar baseline LH
prepubertal yang lebih dari 0,3 IU/L mengarah ke pubertas prekoks sentral. Kadar di bawah 0,3
mengindikasikan penyebab perifer atau varian jinak.
Bila kecurigaan ke arah penyebab sentral tinggi, tes stimulasi GnRH (Gonadotropin-Releasing
Hormone) harus dilakukan. Bila tes ini tidak tersedia, maka alternatifnya adalah pemeriksaan
agonis GnRH.
Kadar estradiol yang sangat tinggi pada perempuan atau testosteron pada laki-laki berhubungan
dengan tersupresinya LH dan FSH, mengindikasikan pubertas prekoks perifer. Pemeriksaan
DHEA-S dapat membantu membedakan sumber androgen dari testikular atau adrenal.

Pencitraan

USG pelvis dapat dilakukan untuk melihat kista atau tumor ovarium, rasio fundus uteri dengan
serviks uteri, dan perubahan volume uterus.

USG testis dapat dilakukan untuk melihat apakah ada tumor atau kista testis.

USG adrenal dilakukan untuk melihat ada tidaknya tumor adrenal.

Jika dicurigai penyebab neurologis, dapat dilakukan MRI kepala, terutama pada anak lelaki atau
anak perempuan usia < 6 tahun dengan perkembangan klinis progresif dan kadar estradiol tinggi
(> 45 pmol/L).

TATALAKSANA

Tujuan utama penatalaksanaan pubertas prekoks adalah anak dapat mencapai tinggi badan
optimal sesuai potensi tinggi genetiknya dan mencegah stres psikologis dan diskonkruensi antara
maturasi seksual dengan maturasi kognisi.

Prinsip Tata Laksana


Manajemen utama pubertas prekoks sentral adalah menghentikan laju perkembangan pubertas
dengan memberikan agonis GnRH (Gonadotropin-Releasing Hormone). Agonis GnRH akan
mensupresi jaras hipotalamus-hipofisis-gonad dengan cara memberikan stimulasi konstan kepada
sel-sel gonadotropik hipofisis. Stimulasi konstan ini akan mengakibatkan terjadinya desensitisasi
sel-sel gonadotropik dan mensupresi produksi LH dan FSH, yang pada akhirnya akan
mengurangi produksi hormon seks dari gonad (ovarium atau testis).
Persiapan Rujukan
Pasien dengan kecurigaan pubertas prekoks dirujuk ke dokter spesialis anak konsultan
endokrinologi. Pubertas prekoks dengan etiologi penyakit sistem saraf pusat memerlukan
rujukan ke dokter anak konsultan neurologi anak dan dokter bedah saraf bila memerlukan
tindakan bedah.

Apabila dirasa perlu, pasien maupun keluarga juga dapat dirujuk ke psikolog atau psikiater.

Medikamentosa
Sediaan agonis GnRH yang tersedia di Indonesia saat ini adalah leuprolide dan triptorelin
pamoate. Pengobatan diberikan sampai usia pubertas fisiologis, yaitu sekitar usia 10-11 untuk
anak perempuan, dan usia 12-13 tahun pada anak laki-laki. Perkembangan pubertas akan terjadi
kembali sekitar satu tahun setelah penghentian pengobatan.

Leuprolide

Untuk anak dengan BB ≥ 20 kg, leuprolide depot 1 bulan (3,75 mg) diberikan tiap 4 minggu
secara intramuskular. Bila menggunakan leuprolide depot 3 bulan (11,25 mg) maka diberikan
setiap 12 bulan.
Untuk anak dengan BB < 20kg diberikan leuprolide 60-75 mcg/kgBB/4minggu intramuskular.

Triptorelin Pamoat

Triptorelin pamoat diberikan 11,25mg tiap 12 minggu secara intramuskular untuk anak dengan
BB ≥ 20 kg.

Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan bila pubertas prekoks disebabkan oleh penyakit yang dapat
diterapi dengan pembedahan, misalnya tumor.
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Prognosis pubertas prekoks akan makin baik bila diterapi lebih dini. Perlu diketahui bahwa
peningkatan libido dapat menyebabkan perilaku seks yang tidak sesuai usia. Prognosis pubertas
prekoks karena sebab neurologis sangat bergantung pada etiologi dan lokasi lesi.

Komplikasi
Peningkatan laju pertumbuhan pada anak dengan pubertas prekoks menyebabkan anak lebih
tinggi dibanding teman sebayanya akibat adanya percepatan maturasi usia tulang dan penutupan
cakram pertumbuhan yang lebih cepat. Pada akhirnya, anak akan memiliki perawakan pendek di
masa dewasa. Makin dini pubertas prekoks terjadi, makin berpengaruh pada tinggi akhir.

Komplikasi pubertas prekoks sentral neurologis bergantung pada dari jenis dan lokasi lesi.
Pasien bisa mengalami kejang dan penurunan kesadaran.

Pubertas prekoks juga bisa memberi tekanan psikologis pada pasien dan keluarganya. Pada kasus
yang berat, bisa terjadi gangguan cemas, depresi, bahkan bunuh diri.
Prognosis
Prognosis pubertas prekoks makin baik bila diterapi lebih dini. Tinggi badan akhir akan lebih
baik pada anak dengan pubertas prekoks yang diobati sejak dini dibandingkan yang diterapi
menjelang usia pubertas normal.
ADHD

Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian dan


hiperaktivitas adalah gangguan perkembangan saraf yang mengakibatkan seseorang mengalami
kesulitan dalam pemusatan perhatian, hiperaktif, dan impulsif. Hal ini dapat berdampak secara
negatif pada fungsi sosial dan akademik atau pekerjaan. Terdapat tiga tipe ADHD yaitu dominan
kurangnya memusatkan perhatian, tipe hiperaktif-impulsif, dan tipe kombinasi

EPIDEMIOLOGI

Data epidemiologi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) menunjukan bahwa kondisi


ini merupakan penyakit mental tersering ketiga setelah depresi dan gangguan cemas. Pada tahun
2015, ADHD diperkirakan terjadi pada 3,4% anak-anak dan dewasa muda di seluruh dunia.
Global
Secara global, kejadian Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) tersebar di seluruh
dunia dengan angka yang bervariasi. Data epidemiologi yang tersedia mengindikasikan bahwa
ADHD mempengaruhi 3,4% populasi anak dan dewasa muda seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, terdapat peningkatan kejadian ADHD dalam dua dekade terakhir, dari 6,1%
pada tahun 1997-1998 menjadi 10,2% pada tahun 2015-2016. Rasio pria dibanding wanita yaitu
2:1. Karakteristik gejala hiperaktif atau impulsif lebih banyak ditemukan pada pria, sementara
pada wanita lebih banyak ditemukan manifestasi gangguan pemusatan perhatian.

Indonesia
Prevalensi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) secara nasional di Indonesia belum
diketahui. Berdasarkan data dari RSUP Sanglah Denpasar, selama periode 2005-2006 terdapat
111 dari 162 pasien yang datang ke Klinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah Denpasar yang
terdiagnosis ADHD. Pasien terdiri dari 81,1% laki-laki dan 18,9% perempuan.
Mortalitas
Mortalitas ADHD berhubungan dengan perilaku berbahaya, termasuk penyalahgunaan zat.
Kecelakaan merupakan penyebab kematian paling sering pada individu dengan ADHD. Angka
mortalitas dilaporkan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki.
ETIOLOGI

Etiologi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)  diduga merupakan kombinasi dari


faktor genetik, neurologi, dan lingkungan. Etiologi genetik berhubungan dengan sistem transmisi
dopaminergik. Selain itu, faktor lingkungan saat prenatal dan perinatal seperti paparan timbal
dan paparan rokok meningkatkan risiko ADHD.
Genetik
Bukti ilmiah mengindikasikan bahwa ADHD bersifat herediter dan poligenik. Gen-gen yang
dihubungkan dengan ADHD diketahui berperan penting dalam perkembangan otak, migrasi sel,
dan mengkode reseptor katekolamin dan gen transporter.

Faktor Neurologi
Sementara itu, faktor neurologi yang tidak diturunkan yang telah dihubungkan dengan ADHD
mencakup adanya gangguan selama kehamilan dan kelahiran. Paparan alkohol dan merokok
selama kehamilan serta berat badan lahir rendah telah dihubungkan dengan peningkatan risiko
ADHD.
Konsumsi alkohol selama kehamilan, terutama pada masa menjelang kelahiran, diduga
menyebabkan mutasi pada sel germinal yang akan meningkatkan risiko ADHD. Paparan nikotin
selama kehamilan dapat berpengaruh pada sistem serotonin dan dopaminergik, pertumbuhan sel
otak, dan sintesis DNA dan RNA pada otak fetus.

Kondisi prenatal lain yang diidentifikasi meningkatkan faktor risiko ADHD adalah lahir
prematur, lahir secara sectio caesarea, preeklampsia, persalinan yang diinduksi, dan skor
APGAR yang rendah di lima menit pertama. Selain itu, cedera otak hipoksik-anoksik, epilepsi,
dan cedera otak traumatik juga merupakan hal-hal yang dihubungkan dengan timbulnya ADHD.
Faktor Lingkungan
Paparan terhadap toksin lingkungan seperti timbal, organofosfat, dan pestisida telah dihubungkan
dengan timbulnya ADHD.
PATOFISIOLOGI

Patofisiologi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) masih belum diketahui pasti.


Namun, beberapa faktor telah dikaitkan dengan terjadinya ADHD, termasuk gangguan pada
neurotransmiter, struktur otak, dan fungsi kognitif.
Peran Neurotransmiter
Karena efikasi dari penggunaan psikostimulan dan trisiklik noradrenergik pada tata laksana
ADHD, dopamin dan noradrenalin telah dikaitkan dengan patofisiologi penyakit ini. Penurunan
aktivitas dopamin telah dikaitkan dengan patofisiologi ADHD dan telah dilaporkan ditemukan
pada pasien yang mengalami penyakit ini.

Gangguan Struktur Otak
Daerah otak yang dicurigai terlibat pada patofisiologi ADHD adalah regio frontal, prefrontal,
parietal, korteks cingulatum, ganglia basalis, dan serebelum. Beberapa studi menemukan adanya
gangguan aktivasi pada area otak tersebut ketika anak dengan ADHD melakukan kegiatan
tertentu.

Gangguan Fungsi Kognitif


Selain itu, ADHD juga telah dihubungkan dengan defisit neurofisiologi dan abnormalitas fungsi
kognitif. Kontrol eksekutif kognitif telah diketahui berhubungan dengan memori, fleksibilitas
kognitif, dan inhibisi, sehingga gangguan pada fungsi ini diduga berhubungan dengan gejala
ADHD.

DIAGNOSIS

Diagnosis Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dapat ditegakkan berdasarkan


kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5 (DSM-5). Pemeriksaan
penunjang umumnya tidak diperlukan untuk penegakan diagnosis.
Anamnesis
Pada Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) pasien umumnya dibawa orangtua ke
dokter dengan keluhan utama terdapat perilaku atau kebiasaan anak yang membuatnya terganggu
secara sosial atau akademik. Kebiasaan ini tidak hanya terjadi di sekolah, namun juga di rumah.
Orang tua biasanya mengeluhkan beberapa kebiasaan anak seperti cepat bosan, mudah
teralihkan, berkelahi dengan teman satu kelas, berkata kasar terhadap guru, tidak dapat duduk
tenang ketika makan, dan tidak rukun dengan saudaranya yang lain. Orang tua juga biasanya
mengeluhkan minimal satu dari dua domain yaitu gangguan pemusatan perhatian atau perilaku
hiperaktif dan impulsif.

Awitan gejala ADHD dapat terjadi hingga usia 12 tahun. Pada anamnesis, perlu digali juga
riwayat kehamilan dan persalinan, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat kondisi serupa pada
keluarga, dan riwayat tumbuh kembang anak.

Gangguan Pemusatan Perhatian

Inatensi atau kesulitan untuk memusatkan perhatian pada ADHD umumnya bermanifestasi
sebagai kesulitan menyelesaikan tugas, kurangnya persistensi, kesulitan untuk tetap fokus, dan
tidak terorganisir.

Hiperaktivitas

Hiperaktivitas bermanifestasi sebagai aktivitas motorik yang berlebihan dan tidak pada
tempatnya, kegelisahan yang berlebihan, mengetuk-ngetukan kaki atau tangan, atau bicara terus
menerus.

Impulsivitas

Perilaku impulsif ditunjukan dengan gerakan yang tanpa pikir panjang dan dapat
membahayakan, misalnya berlari ke jalan tanpa menyadari ada bahaya. Impulsivitas juga bisa
ditunjukan sebagai keinginan mendapat sesuatu tanpa ditunda, misalnya suka menyela
pembicaraan orang lain secara berlebihan.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) tidak khas. Pasien
dengan ADHD dapat memiliki hasil pemeriksaan fisik dan neurologi dalam batas normal atau
hanya tampak gelisah dan hiperaktif.
Pemeriksaan Status Mental
Pemeriksaan status mental perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami Attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD). Pemeriksaan sekaligus dapat menyingkirkan diagnosis
banding dan mendeteksi adanya komorbiditas lain. Pasien dengan ADHD dapat memiliki
gangguan mental lain seperti gangguan kepribadian antisosial, penyalahgunaan zat, dan
juga gangguan bipolar 
Penampilan

Anak-anak dengan ADHD dapat tampak gelisah, impulsif, tidak dapat duduk diam, atau
berlarian di sekitar ruang periksa. Orang dewasa dengan ADHD bisanya mudah terganggu,
gelisah, dan pelupa.

Suasana Hati

Pasien dengan ADHD biasanya eutimik, tapi dapat juga distimik. Terkadang terdapat iritabilitas.

Cara Bicara atau Berpikir

Bila pasien berbicara, kecepatan bicara dapat normal atau lebih keras volumenya. Proses berpikir
mengarah pada tujuan, tapi terdapat kesulitan untuk tetap berada pada topik atau tugas yang
diberikan.

Kognisi

Konsentrasi dan daya ingat jangka pendek umumnya terganggu. Pasien dengan ADHD memiliki
kesulitan berhitung dan kemampuan mengingat jangka pendek. Orientasi, memori jangka
panjang atau abstraksi umumnya normal.

Kriteria Diagnosis
Menurut DSM-5, kriteria diagnosis ADHD adalah:

1. Pola inatensi dan atau hiperaktivitas-impusivitas yang persisten dan mengganggu fungsi
atau perkembangan dengan 6 atau lebih gejala menetap selama sedikitnya 6 bulan hingga
menyebabkan gangguan perkembangan dan memiliki efek negatif langsung terhadap
aktivitas sosial dan akademik

2. Beberapa gejala inatensi atau hiperaktivitas-impusivitas ada sebelum usia 12 tahun

3. Beberapa gejala inatensi atau hiperaktivitas-impusivitas ditemukan pada setidaknya


2 setting, seperti rumah, sekolah, pekerjaan, dengan teman, keluarga, atau aktivitas lain
4. Terdapat bukti nyata bahwa gejala mengganggu atau menurunkan kualitas kehidupan
sosial, akademik, dan pekerjaan

5. Gejala tidak timbul selama episode schizophrenia atau gangguan psikotik lain dan tidak
memenuhi kriteria gangguan mental lainnya
Gejala terkait inatensi antara lain:

 Sering gagal memperhatikan detil atau sering membuat kecerobohan di kegiatan sekolah,
pekerjaan, atau aktivitas lain

 Sering kesulitan memusatkan perhatian pada tugas atau aktivitas bermain

 Sering terlihat tidak mendengarkan ketika diajak bicara

 Sering tidak mengikuti instruksi dan menyelesaikan tugas sekolah, rumah, atau pekerjaan

 Sering kesulitan mengorganisir tugas dan aktivitas

 Sering menghindari, tidak menyukai, atau malas melakukan pekerjaan yang


membutuhkan usaha mental, misalnya menyusun laporan atau esai

 Sering kehilangan benda-benda yang penting untuk tugas atau aktivitas

 Sering mudah terdistraksi oleh stimulus eksternal

 Sering pelupa pada aktivitas harian

Gejala terkait hiperaktivitas-impulsivitas antara lain:

 Menggeliat saat duduk atau bermain-main dengan kaki atau tangan seperti mengetuk-
ngetukkan jemari dan terus bergerak
 Sering meninggalkan tempat duduk pada kondisi dimana anak diharapkan tetap duduk
diam, misalnya saat belajar di sekolah

 Sering berlalu atau memanjat pada situasi yang tidak tepat

 Sering tidak mampu untuk bermain atau beraktivitas yang membutuhkan ketenangan

 Sering terlihat seperti dikendalikan oleh mesin atau seperti tidak mudah merasa lelah

 Banyak bicara

 Menjawab sebelum pertanyaan selesai

 Sulit menunggu giliran

 Menyela atau mengganggu percakapan dan aktivitas orang lain

Klasifikasi

Dalam mendiagnosis ADHD, dokter juga perlu membedakan tipe yang dialami pasien menjadi:

 Tipe kombinasi: pasien memenuhi kriteria baik gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktif-impulsif dalam 6 bulan terakhir

 Tipe predominan gangguan pemusatan perhatian: pasien memenuhi kriteria gangguan


pemusatan perhatian, namun tidak memenuhi kriteria hiperaktif-impulsif dalam 6 bulan
terakhir

 Tipe predominan hiperaktif-impulsif: pasien memenuhi kriteria hiperaktif-impulsif,


namun tidak memenuhi kriteria gangguan pemusatan perhatian dalam 6 bulan terakhir.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang harus dipikirkan apabila menemukan pasien dengan Attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD) antara lain oppositional defiant disorder, gangguan belajar,
gangguan cemas, dan gangguan bipolar.
Oppositional Defiant Disorder
Pasien dengan oppositional defiant disorder akan menolak mengerjakan tugas sekolah atau
pekerjaan karena tidak mau menuruti perintah orang lain. Perilaku pasien ditandai dengan
negativitas, hostilitas, dan membangkang.
Gangguan Belajar

Anak dengan gangguan belajar akan terlihat seperti kurang memperhatikan kelas, kesulitan
menangkap materi yang diajarkan, atau anak terlalu bosan karena materi kelas sudah dikuasai.
Hal tersebut hanya terjadi pada saat belajar dan tidak terjadi pada aspek hidup lainnya.

Gangguan Cemas

ADHD memiliki kemiripan gejala dengan gangguan cemas. Pada ADHD, inatensi terjadi karena
ketertarikan terhadap stimulus eksternal, aktivitas baru, atau preokupasi dengan aktivitas
menyenangkan. Hal ini perlu dibedakan dengan inatensi akibat kekhawatiran pada gangguan
cemas.
Gangguan Bipolar

Pasien gangguan bipolar dapat menunjukan peningkatan aktivitas, kesulitan konsentrasi, dan
impulsivitas. Namun gejala ini bersifat periodik pada beberapa hari saja setiap kali episode.
Gejala biasanya diikuti dengan peningkatan mood, waham kebesaran, dan fitur bipolar lainnya.

Pemeriksaan Penunjang
Hingga kini belum ada penanda biologis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis ADHD.
Anak dengan ADHD bisa menunjukan peningkatan pada slow wave electroencephalogram,
penurunan volume otak pada MRI, dan hambatan maturasi korteks posterior hingga anterior
dibandingkan anak sebayanya. Namun, temuan ini tidak bersifat diagnostik.

TATALAKSANA

Penatalaksanaan Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dilakukan dengan pendekatan


multimodal yang menggabungkan manajemen perilaku dan intervensi farmakologis. Terapi
farmakologi dapat dibagi menjadi stimulan dan nonstimulan. Stimulan dapat dibagi lebih lanjut
menjadi amfetamin dan metilfenidat.
Terapi Nonfarmakologi
Terapi psikososial sering digunakan untuk anak dengan Attention deficit hyperactivity
disorder (ADHD). Terapi dapat mencakup psikoedukasi bagi keluarga dan pasien, serta program
pelatihan perilaku kognitif. Telah terdapat studi yang menunjukan bahwa program terapi ini
memiliki efikasi yang baik bila digunakan bersama dengan terapi farmakologi.
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi lini pertama untuk Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) adalah
stimulan seperti metilfenidat, amfetamin, atau dextroamfetamin. Obat nonstimulan seperti
atomoxetine dan guanfacine dapat diberikan sebagai lini kedua apabila obat stimulan lini
pertama dikontraindikasikan.
Dosis obat sangat bergantung pada individu dan disesuaikan berdasarkan respon pasien. Titrasi
harus dilakukan secara hati-hati hingga ditemukan dosis terendah yang efektif, bukan
berdasarkan derajat keparahan klinis ataupun awitan.

Stimulan

Psikostimulan masih menjadi pilihan terapi ADHD. Golongan ini dilaporkan efektif pada sekitar
70% pasien dengan number needed to treat adalah 2. Efek samping yang bisa timbul mencakup
gangguan tekanan darah, penurunan nafsu makan, gangguan tidur, dan ketergantungan.
Nonstimulan

Obat nonstimulan untuk ADHD dapat dibagi menjadi antidepresan dan agonis alfa. Antidepresan
yang paling banyak digunakan adalah atomoxetine yang bekerja sebagai selective
norepinephrine reuptake inhibitor.  Obat ini sering digunakan pada anak yang tidak mampu
mentoleransi obat stimulan atau memiliki gangguan cemas. Antidepresan lain yang dapat
digunakan adalah bupropion dan antidepresan trisiklik.
Alfa agonis, seperti clonidine dan guanfacine, adalah pilihan terapi ADHD lainnya. Namun,
golongan ini telah dikaitkan dengan efek samping kardiovaskular, sedasi, peningkatan berat
badan, dan pusing.
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Prognosis Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) bergantung pada usia pasien saat


awitan, terdiagnosis, dan mendapat terapi. Komplikasi dapat berupa gangguan aktivitas sosial
dan akademik, hingga timbulnya gangguan mental lain.
Komplikasi
Komplikasi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) meliputi gangguan tumbuh
kembang, kesulitan dalam kehidupan sosial dan akademik, serta adanya perilaku berbahaya
seperti penyalahgunaan zat atau kecelakaan kendaraan bermotor. ADHD juga dapat diikuti
gangguan lain, seperti gangguan belajar, oppositional defiant disorder, hingga timbulnya
gangguan psikotik seperti schizophrenia.
Prognosis
Prognosis Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)  bergantung pada awitan, kapan
terdiagnosis, dan kapan mendapat terapi. Gejala ADHD bisa menetap hingga remaja dan
menyebabkan gangguan sosial dan akademik, namun ada pula pasien yang mengalami perbaikan
gejala seiring beranjak dewasa. Sekitar dua perlima pasien terus mengalami gejala hingga
dewasa dan seperempatnya mengalami gangguan antisosial.
AUTISME

Autism spectrum disorder (ASD), dikenal juga sebagai gangguan spektrum autisme, adalah
istilah bagi sekumpulan kelainan tumbuh kembang yang ditandai oleh defisit komunikasi dan
interaksi sosial yang persisten, serta pola perilaku repetitif dan minat yang terbatas. Pola
perilaku yang mencolok pada ASD biasanya muncul sebelum seorang anak berusia 3 tahun
namun dapat pula baru mulai terlihat nyata ketika seorang anak memasuki usia sekolah bahkan
remaja. Permasalahan tumbuh kembang, gejala, dan tanda ASD dapat bervariasi tingkat
keparahannya antar individu serta dapat diiringi dengan berbagai masalah medis dan gangguan
mental lainnya

EPIDEMIOLOGI

Data epidemiologi autism spectrum disorder (ASD), di Indonesia dikenal sebagai gangguan


spektrum autism, diestimasi secara global mencapai 7,6 per 1000 jiwa dengan prevalensi laki-
laki 4x lipat lebih tinggi dibandingkan wanita.
Global
Data epidemiologi ASD masih didominasi hasil penelitian yang dilakukan di negara maju
sedangkan informasi epidemiologi dari Afrika, Amerika Selatan dan Tengah, serta Eropa Timur
sangat terbatas.

Berdasarkan studi yang dilakukan pada tahun 2010, estimasi global jumlah kasus autism
spectrum disorder mencapai 52 juta atau mencapai prevalensi sebesar 7,6 per 1000 jiwa. Angka
ini tidak jauh berbeda dengan estimasi serupa pada tahun 1990 yang menunjukkan prevalensi
ASD sebanyak 7,5 kasus per 1000 jiwa. Walaupun angka ini merupakan estimasi prevalensi
global ASD, mayoritas data yang digunakan untuk membangun asumsi tersebut berasal dari
negara maju sedangkan estimasi ASD di sejumlah wilayah seperti Amerika Selatan, Amerika
Tengah, dan Eropa Timur belum dapat diketahui. Prevalensi ASD global pada pria mencapai 4
kali lipat lebih tinggi daripada prevalensi ASD global pada wanita (8,2 vs 2,0 per 1000 jiwa).
Indonesia
Data tentang prevalensi autism spectrum disorder masih sangat terbatas. Pada tahun 1992,
Wignyosumarto et al melaporkan bahwa prevalensi autisme di Yogyakarta mencapai 1,2 kasus
per 1000 jiwa. Estimasi ini didapat dengan melakukan penelitian terhadap 5120 anak
menggunakan metode skrining skala Bryson. Sejak saat itu, belum ada penelitian lanjutan yang
mengungkap prevalensi ASD di wilayah lain di Indonesia.
Mortalitas
Walaupun gangguan spektrum autisme tidak secara langsung menyebabkan kematian, individu
dengan ASD memiliki kemungkinan kematian hingga 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
populasi umum. Pada sebuah penelitian di Denmark, jumlah kematian pada individu dengan
ASD 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan jumlah ekspektasi kematian pada populasi tersebut.
Pada populasi Denmark tersebut, sebanyak 30% kematian pada individu dengan ASD berkaitan
dengan epilepsi.
Hasil serupa juga diamati oleh Hirvikoski, et al. yang mengevaluasi penyebab kematian total dan
spesifik pada populasi pasien ASD di Swedia. Antara tahun 1987-2009, terdapat 0,91%
penduduk di populasi umum dan 2,6% penduduk dengan ASD yang mengalami kematian di
Swedia. Dengan kata lain, individu dengan ASD memiliki kemungkinan kematian mencapai 2,6
kali lipat lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Analisis lanjutan yang dilakukan Hirvikoski
mengungkapkan bahwa laju kematian lebih tinggi dialami pasien dengan ASD pada hampir
seluruh domain penyebab kematian (gangguan neurologis, pernapasan, pencernaan, jantung, dan
gangguan mental-perilaku) dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu, epilepsi merupakan
penyebab kematian tersering pada pasien ASD yang memiliki keterbatasan intelektual
sedangkan bunuh diri menjadi penyebab kematian yang paling tinggi pada individu dengan
kemampuan intelektual mendekati normal atau tinggi.

ETIOLOGI

Hingga kini belum ditemukan suatu etiologi spesifik terhadap autism spectrum disorder (ASD),
disebut juga sebagai gangguan spektrum autisme. Namun, studi menemukan adanya hubungan
faktor genetik dan neurobiologis berupa 15 gen yang berkaitan dengan ASD.
Peran faktor genetik sebagai penyebab ASD didukung oleh adanya bukti bahwa ASD bersifat
herediter pada 80% kasus meskipun tidak dapat dipastikan secara tegas apakah pola turunannya
bersifat autosomal dominan atau resesif. Pada sekitar 10-15% kasus, ASD berkaitan dengan
sejumlah sindrom yang melibatkan satu gen seperti sindrom Phelan-McDermid, sindrom Rett,
sindrom X rapuh, dan sklerosis tuberosa.
Pada mayoritas kasus ASD, perubahan genetik biasanya bersifat poligenik dan melibatkan
polimorfisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism/SNP). Selain itu, pola
perubahan genetik yang mungkin didapati pada kasus ASD meliputi mutasi fungsional
monogenik, varian jumlah salinan (misalnya, mikrodelesi atau mikroduplikasi) yang melibatkan
lebih dari satu gen. Titik-titik pada kromosom yang terlibat dalam kejadian ASD antara lain
delesi SHANK3, 1q21, 3q29, 7q11.23, 15q12, 15q13, 16p11, 17q12, dan Xq.
Faktor Risiko
Sejumlah faktor risiko prenatal, perinatal, dan neonatal dianggap berkaitan dengan autism
spectrum disorder dan perlu dikaji saat mengevaluasi pasien yang dicurigai dengan ASD. Faktor
risiko tersebut antara lain :
 Riwayat prematuritas
 Kejadian hipoksia perinatal

 Infeksi maternal prenatal maupun perinatal (toxoplasma, rubella, cytomegalovirus, dan infeksi


lainnya / TORCH)
 Hipertensi dalam kehamilan
 Defisiensi vitamin D maternal
 Paparan logam berat (misalnya merkuri dan timbal)

 Paparan valproat pada masa kehamilan

 Obesitas maternal

 Memiliki riwayat berat lahir sangat rendah (<1500 gram)


Riwayat penggunaan antidepresan golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor)
seperti fluoxetine sebelum maupun selama kehamilan telah diteliti pada beberapa studi namun
hubungan kausalitas dengan ASD masih belum dapat dipastikan.
Saat ini terdapat kekhawatiran di masyarakat mengenai peningkatan risiko ASD akibat vaksinasi.
Namun, hal ini hanya merupakan mitos vaksinasi dan tidak terbukti benar oleh studi ilmiah.
PATOFISIOLOGI

Patofisiologi autism spectrum disorder (ASD), di Indonesia dikenal sebagai gangguan spektrum


autistik, sangat dipengaruhi oleh faktor genetik yang terlibat dalam berbagai proses mulai dari
neurogenesis hingga maturasi sinaps dan perkembangan dendritik.
Pengaruh Faktor Genetik
Mekanisme pengaruh faktor genetik terhadap kejadian autism spectrum disorder masih belum
diketahui dengan pasti walaupun kedua hal tersebut telah lama dipelajari dan diketahui saling
berkaitan. Anak-anak dengan saudara kandung yang mengalami autisme memiliki risiko autisme
yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Kendati ASD memiliki spektrum fenotip
penyakit yang luas, pasien ASD dengan karakteristik genetik yang homogen biasanya memiliki
fenotip yang lebih mirip. Selain itu, terdapat sejumlah mutasi genetik baru yang menyebabkan
kelainan alel pada individu dengan ASD atau orang tuanya yang mempengaruhi neuroanatomi
dan karakteristik perilaku.
Mutasi gen tersebut diduga mempengaruhi fungsi sinaps melalui berbagai cara. Hal ini
mencakup gangguan pada penggabungan asam amino menjadi protein dan perubahan struktur
protein transmembran yang penting bagi sinaptogenesis serta kelainan genetik pada transduksi
sinyal yang terlibat dalam pembentukan sinaps.

Faktor genetik turut diduga berperan pada kecenderungan ASD untuk lebih sering terjadi pada
anak laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini mungkin berkaitan dengan sejumlah mekanisme
epigenetik seperti pengaruh gen Y, inaktivasi gen X, serta keberadaan gen alel dari orang tua
asal. Interaksi antara perbedaan jenis kelamin terhadap faktor hormonal dan faktor lingkungan
seperti pola makan, stres, dan infeksi berpotensi menginisiasi perjalanan penyakit ASD sejak
usia dini.

Gangguan Neurogenesis dan Migrasi Neuron pada Gangguan Spektrum Autisme


Telah banyak bukti yang mendukung adanya peran gangguan neurogenesis dan migrasi neuron
pada autism spectrum disorder. Pada pasien ASD, ukuran serebrum mungkin saja normal saat
lahir namun seiring perjalanan waktu terjadi pertumbuhan abnormal neuron yang dilanjutkan
dengan periode penurunan pertumbuhan dibandingkan individu normal. Peningkatan jumlah
neuron terutama di korteks prefrontal mengisyaratkan bahwa neurogenesis berlebihan mungkin
berperan terhadap peningkatan ukuran serebrum dan makrosefali pada ASD.  Hipertensi dalam
kehamilan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya ASD pada anak. Kurangnya suplai oksigen
ke fetus semasa kehamilan dapat mengakibatkan gangguan pada perkembangan neuron.
Korteks prefrontal bukan satu-satunya regio di otak yang terpengaruh akibat gangguan
neurogenesis pada ASD. Displasia serebrum dapat menjangkiti berbagai area di otak yang
mengisyaratkan adanya disregulasi neurogenesis dan maturasi atau migrasi neuronal. Secara
khusus, disregulasi neurogenesis ini biasanya melibatkan peningkatan populasi neuron proyeksi
kortikal tanpa disertai gangguan bermakna pada sel glia. Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian
lain yang menemukan bahwa pada substansia alba di serebrum individu dengan ASD tidak
terdapat peningkatan bermakna walaupun telah terjadi makrosefali.

Kaitan klinis antara makrosefali pada ASD dengan fenotip penyakit ASD masih belum diketahui
dengan pasti. Beberapa penelitian menemukan bahwa makrosefali dapat berkaitan dengan
peningkatan fungsi kognitif pada individu dengan ASD dibandingkan kelompok kontrol. Namun,
pengaruh peningkatan lingkar kepala pada pasien dengan ASD terhadap kemampuan khusus
pada populasi ini masih belum dapat dipastikan dengan tegas.

Beragam penelitian juga menemukan bahwa defek migrasi neuron juga terjadi pada pasien
dengan ASD. Defek tersebut meliputi perubahan densitas neuron, ukuran soma, kolom sel yang
ireguler, serta gangguan lokalisasi neuron. [19,20] Pada level molekuler, gangguan migrasi
neuron ini diketahui berkaitan dengan sejumlah gen yang mengatur produksi reelin (glikoprotein
regulator pada migrasi neuron), mutasi pada gen Auts2, dan CNTNAP2.

Perubahan Pola Pertumbuhan Neurit dan Taju Dendritik pada Gangguan Spektrum
Autisme
Perubahan pola pertumbuhan neurit dan taju dendritik dalam perjalanan penyakit autism
spectrum disorder telah banyak dipelajari. Peran neuron sebagai suatu sel yang menjalankan
fungsi spesifik tak dapat dilepaskan dari integritas fungsi soma yang mengandung nukleus,
prosesus aksonal yang menyalurkan informasi, dan kompleks punjung dendritik yang menerima
informasi dari akson dari neuron di sekitarnya. Gangguan konektivitas neuron merupakan salah
satu defek utama yang ditemukan pada pasien dengan ASD dan dapat dipengaruhi oleh
perubahan pada perkembangan dendritik, morfologi taju dendritik, dan fungsi sinaps.
Gangguan perkembangan dendritik, khususnya arborisasi dendrit yang berlebihan dan
berkurangnya pemendekan dendrit, diduga berperan pada kejadian makrosefali. Pada perjalanan
penyakit ASD tahap neurogenesis, peningkatan neuron intrauterin mungkin berkaitan dengan
peningkatan potensi makrosefali. Namun, pada mayoritas pasien dengan ASD, volume otak saat
usia bayi umumnya masih normal yang menandakan bahwa terdapat mekanisme lain yang
berperan terhadap kejadian makrosefali. Pertumbuhan volume otak pasca kelahiran, sebagaimana
terjadi pada ASD, diduga lebih disebabkan oleh pertumbuhan dendritik aberans seiring dengan
peningkatan arborisasi dendritik dan penambahan hubungan sinaptik yang baru di otak. Hal ini
dapat berlangsung hingga seseorang berusia 5 tahun.

Di sisi lain, perubahan pada taju dendritik juga diketahui berpengaruh terhadap kejadian ASD.
Pada individu dengan ASD, analisis postmortem menunjukkan adanya peningkatan densitas taju
dendritik dibandingkan individu normal . Berbagai gen seperti MECP2, FMR1, PTEN, dan
CYFIP1 sangat penting perannya dalam pertumbuhan dendritik dan formasi taju dendritik serta
maturasi sinaps sehingga dianggap sebagai gen-gen yang berisiko tinggi terhadap autisme
apabila mengalami mutasi.

DIAGNOSIS

Sampai saat ini, diagnosis penderita autism spectrum disorder (ASD), atau disebut sebagai
gangguan spektrum autism, masih mengandalkan evaluasi klinis. Belum ada pemeriksaan
laboratorium yang menunjang diagnosis ASD.
Anamnesis
Pada prinsipnya, anamnesis sangat mengandalkan informasi dari orang tua penderita ASD,
terutama mencakup kemampuan bicara atau bahasa, interaksi sosial, dan kemampuan bermain.
Namun demikian, informasi mengenai adanya penyakit penyerta (termasuk kelainan genetik),
riwayat tumbuh kembang, riwayat saat kehamilan hingga persalinan, serta riwayat keluhan
serupa dalam keluarga juga perlu digali untuk mencari faktor risiko yang berhubungan dengan
ASD.
Aloanamnesis pada Anak Berusia 18-24 Bulan

Anak dengan ASD biasanya mulai bergejala ketika berusia 18-24 bulan, yakni usia ketika anak
dihadapkan pada situasi sosial yang menguji keterbatasan mereka dalam menunjukkan pola
komunikasi sosial yang wajar. Bentuk kekhawatiran orang tua pada tahap usia ini amat bervariasi
dan bergantung pada usia anak ketika mereka menyadari adanya ketidakwajaran. Anak-anak
biasanya dibawa ke dokter umum atau spesialis anak dengan masalah keterlambatan atau regresi
perkembangan dan bicara, maupun perilaku dan pola permainan yang tak sesuai dengan usianya.

Aloanamnesis pada Anak Berusia di Atas 24 Bulan

Pada usia lebih lanjut, anak-anak biasanya memiliki masalah akademik, kecanggungan sosial dan
gangguan perilaku yang cukup serius serta mengganggu hubungan dalam keluarga. Anak-anak
yang baru dicurigai mengalami ASD pada usia lebih dewasa biasanya telah menunjukkan
indikator gejala sejak usia 2 tahun namun cenderung dianggap sebagai bagian dari pola
perkembangan normal. Hal ini mungkin berhubungan dengan anggapan orang tua atau pengasuh
anak bahwa kemandirian yang tinggi, kemampuan memahami gerak mekanik, dan ketajaman
pengamatan pada usia dini tersebut merupakan indikator pertumbuhan normal tanpa terlalu
memperhatikan apakah pencapaian motorik tersebut turut diimbangi dengan pola perilaku dan
kemampuan sosial yang sesuai usianya. Oleh sebab itu, pada anak yang berusia lebih dari 2
tahun, pertanyaan anamnesis perlu diarahkan secara retrospektif terhadap pencapaian
perkembangan motorik, bahasa, kemampuan sosial dan perilaku ketika ia berusia 18-24 bulan.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak dengan kecurigaan autism spectrum disorder serupa dengan
pemeriksaan fisik anak pada umumnya, antara lain pemeriksaan antropometri dan evaluasi
tumbuh kembang. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi pada kemampuan bicara atau bahasa,
interaksi sosial, dan kemampuan bermain.
Penilaian Domain Interaksi Sosial

Gangguan interaksi sosial merupakan salah satu tanda ASD yang muncul paling dini namun
sering terlewatkan. Karakteristik gangguan komunikasi sosial yang sangat berkaitan dengan
ASD antara lain ketidakmampuan anak dalam menunjukkan minat, membagi perhatian, dan
mengikuti pandangan mata lawan bicaranya. Ketika namanya dipanggil, anak sangat mungkin
tidak berespons dan sering disalahartikan sebagai suatu bentuk gangguan pendengaran. Ekspresi
wajah yang terbatas, khususnya tersenyum dan gestur tertentu yang jarang ditunjukkan seperti
mengangguk, menggeleng, melambaikan tangan, tepuk tangan, juga patut dicurigai sebagai
bentuk keterbatasan interaksi sosial pada ASD. Anak-anak dengan ASD biasanya jarang
menunjukkan ketertarikan terhadap lingkungan di sekitarnya maupun berbagi kebahagiaan
dengan orang tuanya, misalnya tidak pernah menunjuk mainan yang ia sukai atau tidak pernah
menunjuk hal baru yang menarik di dekatnya). 

Identifikasi Bentuk Gangguan Berbahasa

Gangguan berbahasa yang berkaitan dengan ASD cukup luas dan perlu dibedakan dari bentuk
gangguan bahasa spesifik. Anak dengan ASD biasanya tidak mampu menunjukkan kompensasi
keterbatasan berbahasa seperti menggunakan gerak tubuh atau mimik untuk menyampaikan
keinginannya. Bentuk bahasa verbal yang diungkapkan anak dengan ASD biasanya berupa
jargon yang tak berarti, neologisme, ekolalia, prosody, dan keterbatasan dalam memulai
percakapan. Segala keterbatasan tersebut menyebabkan anak dengan ASD tidak mampu
berinteraksi dua arah dengan leluasa.
Observasi Perilaku Repetitif dan Persisten

Aktivitas yang dilakukan individu dengan ASD biasanya bersifat repetitif dan terbatas. Perilaku
motorik yang repetitif tersebut dapat bermanifestasi sebagai ayunan tangan yang tak bertujuan,
jentikan jari, benturan kepala kepada suatu benda padat, dan gerakan memutar tubuh. Perilaku
repetitif juga dapat ditunjukkan sebagai minat yang terbatas pada mainan jenis tertentu dan
menyusun mainan dalam pola tertentu secara berulang-ulang. Hal ini juga dapat disertai ekolalia
susulan, yakni duplikasi bahasa verbal dari lingkungan sekitar (misalnya, orang dewasa lain
maupun suara dari radio atau televisi) yang kemudian diucapkan terus-menerus tak lama setelah
sumber suara asli muncul. Selain itu, individu dengan ASD biasanya sangat persisten dengan
pola lingkungan atau aktivitas yang sama dan apabila hal tersebut diubah akan menimbulkan rasa
tidak nyaman atau bahkan distres serius yang bermanifestasi sebagai temper tantrum. 
Pemeriksaan Pada ASD dengan Pola Regresi
Pada 20-30% kasus ASD, pasien dapat berada dalam fase regresi atau stasis. Hal ini ditandai
oleh penurunan kemampuan perkembangan yang sebelumnya telah dicapai dan biasanya
mempengaruhi kemampuan berbahasa pada usia 18-24 bulan. Kemampuan motorik biasanya
tidak terpengaruh namun orang tua dapat melaporkan adanya perubahan pola makan dan tidur,
munculnya perilaku repetitif, dan penurunan kemampuan interaksi sosial. Adanya pola regresi
kemampuan sosial pada anak berusia di bawah 3 tahun sangat berkaitan dengan diagnosis ASD
walaupun penyebabnya belum diketahui. Apabila regresi autistik terjadi pada anak berusia di
atas 3 tahun atau disertai regresi fungsi motorik, evaluasi lanjutan perlu dilakukan untuk menguji
apakah terdapat kemungkinan suatu penyakit neurodegeneratif seperti sindrom Rett atau Landau
Kleffner yang juga berkaitan dengan ASD.

Skrining Autism Spectrum Disorder


Skrining terhadap autism spectrum disorder dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen
skrining seperti Modified-Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) yang diadaptasi ke dalam
bahasa Indonesia. M-CHAT merupakan instrumen skrining yang valid dalam mengenali tanda
dan gejala autisme pada anak berusia 18-24 bulan.
M-CHAT merupakan instrumen skrining dua tahap untuk menilai risiko ASD. Hasil skrining
positif atau kekhawatiran orang tua tentang kemungkinan adanya ASD pada anak
mengisyaratkan bahwa pasien mungkin memerlukan rujukan untuk evaluasi formal lanjutan.

Tabel 1. Kuesioner M-CHAT Adaptasi Bahasa Indonesia


Isi kuesioner sesuai dengan perilaku yang selalu dilakukan anak sehari-hari. Jika perilaku
tersebut jarang (misalnya Anda hanya melihatnya satu atau dua kali) pilihlah jawaban Tidak.

1. Apakah anak Anda senang (menikmati) bila diayun-ayun, diguncang-guncang Ya Tidak


di atas kedua lutut Anda?
2. Apakah anak Anda tertarik untuk bermain dengan anak lain? Ya Tidak
3. Apakah anak Anda suka memanjat benda-benda, misalnya tangga? Ya Tidak
4. Apakah anak Anda senang bila diajak bermain cilukba atau petak umpet? Ya Tidak
5. Apakah anak Anda pernah bermain pura-pura, misalnya berbicara Ya Tidak
menggunakan telepon atau merawat boneka-bonekanya atau bermain pura-
pura lainnya?
6. Apakah anak Anda pernah menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk, Ya Tidak
untuk meminta sesuatu?
7. Apakah anak Anda pernah menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk, Ya Tidak
untuk menyatakan bahwa dia tertarik pada sesuatu?
8. Apakah anak Anda mampu bermain dengan menggunakan alat permainan Ya Tidak
kecil (seperti mobil-mobilan atau balok-balok), tidak sekedar dimasukkan ke
dalam mulut, dimainkan tanpa tujuan atau dibuang-buang?
9. Apakah anak Anda pernah membawa benda-benda kepada Anda (orang tua) Ya Tidak
untuk menunjukkan sesuatu?
10. Apakah anak Anda pernah menatap mata Anda selama satu detik atau lebih? Ya Tidak
11. Apakah anak Anda pernah tampak sangat sensitif terhadap suara, misalnya Ya Tidak
dengan cara menutup telinga, menangis, atau berteriak?
12. Apakah anak Anda tersenyum sebagai respon terhadap wajah Anda atau Ya Tidak
senyuman Anda?
13. Apakah anak Anda meniru Anda? Misalnya Anda membuka mulut pada saat Ya Tidak
Anda menyuapi makan anak Anda, apakah anak Anda menirukan?
14. Apakah anak Anda memberikan respons jika namanya dipanggil? Ya Tidak
15. Jika Anda menunjuk ke suatu benda atau alat permainan, apakah anak Anda Ya Tidak
melihat ke arah benda yang Anda tunjuk tersebut?
16. Apakah anak Anda bisa berjalan? Ya Tidak
17. Apakah anak Anda ikut melihat benda yang sedang Anda lihat? Ya Tidak
18. Apakah anak Anda menggerakkan jari-jari tangannya dengan cara yang tidak Ya Tidak
biasa di dekat wajahnya?
19. Apakah anak Anda mencoba untuk menarik perhatian Anda terhadap kegiatan Ya Tidak
yang sedang dilakukannya?
20. Pernahkah Anda berpikir bahwa anak Anda tuli? Ya Tidak
21. Apakah anak Anda memahami apa yang dikatakan orang? Ya Tidak
22. Apakah anak Anda kadang-kadang menatap dengan tatapan kosong atau Ya Tidak
melihat sekitar ruangan (matanya mengembara) tanpa tujuan?
23. Apakah anak Anda melihat wajah Anda untuk mengetahui reaksi Anda pada Ya Tidak
saat dia sedang menghadapi sesuatu yang tidak biasa?
Sumber: Robins D, Fein D, Barton M. 1999. Diterjemahkan oleh Soetjiningsih atas ijin dari
Diana Robins, 2009. Diunduh dari https://mchatscreen.com/wp-content/uploads/2015/05/M-
CHAT Indonesian.pdf
Interpretasi dan Skoring Hasil Skrining M-CHAT

Berikut adalah daftar respons gagal dari tiap pertanyaan M-CHAT. Huruf yang dicetak tebal
adalah item kritis.
1. Tidak 5. Tidak 9. Tidak 13. Tidak 17. Tidak 21. Tidak
2. Tidak 6. Tidak 10. Tidak 14. Tidak 18. Ya 22. Ya
3. Tidak 7.Tidak 11. Ya 15. Tidak 19. Tidak 23. Tidak
4. Tidak 8. Tidak 12. Tidak 16. Tidak 20. Ya
Hasil dianggap gagal bila terdapat 2 atau lebih item kritis gagal atau bila gagal 3 atau lebih pada
item apa saja. Anak dengan hasil gagal harus dievaluasi lebih dalam dan dirujuk ke spesialis
untuk evaluasi perkembangan lebih lanjut. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua anak yang
gagal ketika skrining akan didiagnosis dengan autism spectrum disorder.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan pada saat mengevaluasi pasien yang dicurigai
dengan autism spectrum disorder terdiri atas berbagai penyakit perkembangan saraf dan
gangguan mental-perilaku. Diagnosis banding penyakit perkembangan saraf dapat berupa
gangguan bahasa spesifik, keterbatasan intelektual dan keterlambatan perkembangan umum.
Sementara itu, diagnosis banding yang tergolong dalam gangguan mental-perilaku memiliki
karakteristik keterbatasan interaksi sosial dan kekakuan perilaku yang mirip dengan ASD seperti
yang dapat ditemukan pada gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, gangguan
menentang oposisional, gangguan perilaku, dan gangguan kelekatan.
Gangguan Bahasa Spesifik

Gangguan bahasa spesifik biasanya didiagnosis dengan melihat adanya defisit produksi dan
interpretasi bahasa yang menghalangi kemampuan seorang anak dalam menerima dan
mengekspresikan bentuk bahasa yang bermakna. Kemiripan kondisi ini dengan ASD adalah
adanya dampak kedua kondisi tersebut pada keterbatasan imajinasi anak dan pola permainan
serta komunikasi sosial. Namun, pembeda antara gangguan bahasa spesifik dari ASD adalah
derajat defisit motivasi sosialnya. Anak dengan gangguan bahasa spesifik umumnya mampu
mengkompensasi kekurangan kemampuan bahasa verbal dengan mengutamakan kemampuan
bahasa non verbal, seperti gerakan menunjuk atau gerak tubuh untuk mengungkapkan
keinginannya sehingga orang di sekitarnya masih mampu membentuk pola interaksi yang
mendekati normal dengannya. Pada anak dengan ASD, terdapat kekurangan interaksi sosial yang
bermakna, tidak terkompensasi dengan bentuk bahasa non verbal, dan disertai kurangnya empati
atau minat terhadap interaksi dengan orang lain.

Keterbatasan Intelektual dan Keterlambatan Perkembangan Umum

Keterbatasan intelektual merupakan suatu diagnosis luas yang diberikan pada individu dengan
defisit perkembangan mental umum. Kondisi ini ditandai oleh suatu onset gangguan
perkembangan intelektual dan kemampuan adaptasi yang meliputi keterbatasan penalaran,
pemecahan masalah, berpikir abstrak, dan belajar, serta gangguan berpartisipasi dan berfungsi
sosial sesuai usianya. Tantangan diagnosis keterbatasan intelektual terletak pada anak yang
masih sangat muda yang tidak mungkin menjalani pemeriksaan intelektual klasik, sehingga anak
semacam ini biasanya dievaluasi dan dianggap mengalami ASD. Selain itu, keterbatasan
intelektual dapat terjadi bersamaan dengan ASD dan perlu dibedakan ketika anak berusia lebih
dewasa. Anak dengan keterbatasan intelektual disertai ASD masih mungkin menunjukkan
kemampuan yang baik pada area selain kemampuan bahasa dan pemahaman sosial. Sementara
itu, anak dengan keterbatasan intelektual murni tanpa ASD biasanya masih menunjukkan
motivasi sosial dan ketertarikan pada teman sebaya yang lebih baik dibandingkan anak dengan
ASD.
Attention Deficit Hyperactivity Disorder

Attention deficit hyperactivity disorder  (ADHD) atau dikenal juga sebagai gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas ditandai oleh gangguan fungsi dan perkembangan akibat kurangnya
perhatian yang persisten, sikap impulsif, dan hiperaktivitas yang patut ada untuk menegakkan
diagnosis.
Sejumlah karakteristik ASD dapat bersinggungan dengan ADHD sehingga menyulitkan
diagnosis, misalnya :

 Anak tidak mendengar saat diajak berbicara

 Anak tidak mampu mengikuti instruksi yang diberikan

 Anak sering menyela pembicaraan dan menginterupsi orang lain

Anak dengan ADHD tanpa ASD biasanya memiliki kemampuan sosial yang buruk disertai
perilaku sosial yang intrusif namun masih menunjukkan pemahaman terhadap normal sosial.
Selain itu, anak dengan ADHD masih mungkin memberikan interaksi sosial dua arah dan
kemampuan komunikasi nonverbal. Kendati kedua kondisi ini dapat menyebabkan anak terlibat
dalam perilaku berbahaya, anak dengan ADHD umumnya masih dapat membedakan potensi
bahaya dari tindakannya dibandingkan anak dengan ASD yng cenderung tidak memahami
konsep perilaku yang membahayakan.

Gangguan Menentang Oposisional

Diagnosis gangguan menentang oposisional (GMO) umumnya ditegakkan ketika anak berusia
prasekolah dan ditandai oleh sikap negatif persisten, penolakan, dan ketidakpatuhan terhadap
otoritas. Walaupun anak dengan ASD juga mungkin memiliki karakteristik oposisi, GMO murni
masih dapat dibedakan dari ASD dengan fitur gejala oposisi. Sikap oposisi pada anak dengan
ASD biasanya muncul secara tidak sengaja sebagai respons terhadap stimulus lingkungan yang
mengganggu aktivitas dan minatnya yang bersifat repetitif. Sementara itu, anak dengan GMO
umumnya menyadari perilaku oposisi yang ia miliki dan dapat memicu sikap oposisi tersebut
tanpa ada stimulus dari luar (oposisi yang disengaja). Anak dengan GMO juga biasanya tidak
memiliki fitur kekakuan interaksi sosial dan perilaku repetitif sebagaimana ditemukan pada anak
dengan ASD.

Gangguan Perilaku

Gangguan perilaku ditandai oleh hambatan sosial bermakna yang muncul sebagai akibat perilaku
yang melanggar hak orang lain serta bertentangan dengan norma dan standar sosial. Hal ini dapat
bermanifestasi sebagai perilaku yang menyakiti orang dan hewan, perusakan properti,
pengambilan barang milik orang lain, serta bentuk perilaku menentang lainnya seperti kabur dari
rumah atau bolos dari sekolah secara sengaja. Oleh sebab itu, anak dengan perilaku antisosial
yang disengaja perlu dicurigai mengalami gangguan perilaku dan bukan ASD. Perbedaan lain
antara gangguan perilaku dan ASD terletak pada pola komunikasi sosial di usia dini yang normal
pada anak dengan gangguan perilaku.

Gangguan Kelekatan

Gangguan kelekatan memiliki dua macam bentuk yang perlu dibedakan dari ASD, yakni
gangguan kelekatan sosial tak terinhibisi dan gangguan kelekatan reaktif. Pada kedua bentuk
gangguan kelekatan tersebut, riwayat kesalahan pengasuhan, keteledoran fisik dan emosional
merupakan kunci dalam penegakan diagnosis. Anak dengan ASD atau gangguan kelekatan
memiliki kesamaan dalam perilaku abnormal saat dipisahkan dari dan didekatkan dengan
pengasuhnya serta tidak terlalu berespons terhadap bentuk distres lainnya. Namun, pada anak
dengan gangguan kelekatan reaktif, komunikasi sosial masih cukup baik walau anak bersikap
menghindar. Sementara itu, pada gangguan kelekatan sosial tak terinhibisi, perilaku intrusif
biasanya ditunjukkan oleh anak dan bertujuan untuk mencari perhatian orang lain selain
pengasuhnya. Hal ini dapat bermanifestasi, sebagai contoh, berupa sikap anak yang secara tiba-
tiba duduk di pangkuan orang dewasa sebagai upaya mencari perlindungan dan kenyamanan.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang rutin tidak disarankan sebagai bagian dari evaluasi diagnostik pasien
yang dicurigai dengan autism spectrum disorder. Pemeriksaan radiologi, biomarker darah, dan
tes urine tidak disarankan untuk dilakukan secara rutin dalam menunjang diagnosis ASD.
Pemeriksaan genetik sesuai ketersediaan fasilitas kesehatan dapat dipertimbangkan apabila
terdapat tampilan dismorfik, kelainan kongenital, dan keterbatasan intelektual pada saat
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu, pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) boleh
dipertimbangkan apabila pasien dicurigai memiliki komorbiditas berupa epilepsi.
Pemeriksaan Genetik

Pemeriksaan genetik pada pasien yang dicurigai dengan ASD bertujuan untuk membantu
mengidentifikasi kondisi genetik lain yang mendasari ASD. Namun, keterbatasan bukti ilmiah
tentang efektivitas biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan genetik pada ASD menyebabkan
pemeriksaan ini tidak disarankan secara rutin. Hal tersebut juga berdampak pada variabilitas
jenis pemeriksaan genetik yang ditawarkan menurut beberapa panduan klinis terhadap pasien
yang dicurigai dengan ASD.

American College of Medical Genetics mengusulkan agar seluruh pasien dengan ASD menjalani
evaluasi genetik. Pemeriksaan genetik awal yang disarankan adalah chromosal
microarray (CMA). CMA menganalisis secara submikroskopik regio pada kromosom untuk
mencari apakah terdapat duplikasi atau delesi materi genetik pada regio tersebut. Pemeriksaan
CMA telah menggeser peran pemeriksaan kariotip sebagai pemeriksaan genetik awal.
Pemeriksaan kariotip bertujuan untuk menilai jumlah kromosom di bawah mikroskop serta
menganalisis apakah terdapat abnormalitas jumlah, bentuk, dan ukuran kromosom. Pemeriksaan
kariotip mungkin masih berguna apabila terdapat tampilan klinis yang mengarah pada sindrom
lain seperti sindrom Down atau Turner. Selain CMA, pemeriksaan genetik untuk
mendeteksi fragile x syndrome disarankan bagi seluruh pasien dengan keterbatasan intelektual
ringan hingga sedang.
Walau disarankan dilakukan pada seluruh pasien oleh American College of Medical Genetics,
penerapan rekomendasi ini di Indonesia harus mempertimbangkan ketersediaan pemeriksaan
tersebut dan juga harga pemeriksaan. Sebaiknya pemeriksaan genetik hanya dilakukan bila
terdapat tampilan dismorfik, kelainan kongenital, keterbatasan intelektual dan atau
sebagian genetic counselling.
Elektroensefalografi (EEG)
Mengingat anak dengan ASD memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami epilepsi
dibandingkan populasi umum, EEG pada evaluasi diagnosis ASD dapat dipertimbangkan pada
situasi klinis tertentu. Sebanyak 30% individu dengan ASD dapat menunjukkan hasil EEG yang
disertai dengan gelombang epileptiform namun tidak memerlukan terapi khusus kecuali terdapat
manifestasi epilepsi yang jelas. [53] Atas pertimbangan tersebut, EEG hanya diperlukan jika
pasien dengan ASD dicurigai memiliki komorbiditas berupa epilepsi.

Kondisi lain yang mungkin memerlukan peran EEG sebagai pemeriksaan penunjang pilihan
adalah sindrom Landau-Kleffner. Sindrom ini patut dicurigai apabila pasien berusia di atas 3
tahun datang dengan manifestasi ensefalopati epileptik yang bervariasi mulai dari ataksia, regresi
kognitif dan bahasa. Sindrom Landau-Kleffner sangat langka, yakni hanya 3 dari 1000 kasus
terdiagnosis pada anak dengan ASD dan hasil EEG abnormal. Namun, kurangnya penelitian
yang cukup mapan untuk mengarahkan diagnosis sindrom Landau-Kleffner memaksa perlunya
pemeriksaan EEG apabila pasien datang dengan manifestasi autisme regresif pada usia di atas 3
tahun, khususnya yang disertai regresi motorik dan bahasa.

TATALAKSANA

Penatalaksanaan autism spectrum disorder (ASD), disebut juga sebagai gangguan spektrum


autisme, yang baik diawali dengan prosedur rujukan yang tepat dan dilanjutkan dengan
penerapan intervensi dini berbasis orang tua serta intervensi perilaku yang dipandu oleh tim
multidisiplin. Terapi farmakologi tidak disarankan kecuali terdapat komorbid seperti gangguan
psikiatri atau gangguan neurologi lain.
Cara Melakukan Rujukan Kasus Gangguan Spektrum Autisme
Penentuan cara melakukan rujukan spesialis yang tepat untuk penatalaksanaan kasus autism
spectrum disorder perlu dilakukan pada level nasional untuk berbagai tingkat layanan kesehatan.
Hal ini bertujuan untuk optimalisasi layanan dan sumber daya kesehatan serta menghindari
rujukan yang tidak tepat yang dapat memperpanjang durasi antrian rujukan.
Di Indonesia, hingga kini belum terdapat suatu pedoman nasional yang mengarahkan sistem
rujukan diagnosis dan penatalaksanaan ASD secara efektif. Untuk menutupi kekurangan
tersebut, dokter umum yang menghadapi pasien dengan karakteristik ASD dapat melakukan
langkah persiapan rujukan agar mampu melakukan penilaian prarujukan secara tepat dan
mempersiapkan rujukan yang mendekati pedoman yang berlaku secara internasional.

Langkah Persiapan Rujukan

Langkah yang perlu dilakukan dokter umum berupa pengumpulan informasi dari pengasuh
utama atau orang tua diikuti dengan pemeriksaan fisik tumbuh kembang anak. Informasi yang
perlu dikumpulkan dari pengasuh utama atau orang tua adalah sebagai berikut :

 Riwayat kesehatan ibu

 Riwayat penyakit selama periode prenatal dan perinatal

 Riwayat persalinan

 Riwayat tumbuh kembang

 Adanya perbedaan perilaku dan pencapaian perkembangan anak

 Tanda dini autisme pada anak

 Riwayat ASD keluarga

Jika terdapat kecurigaan anak mengalami ASD, dokter dapat menggunakan instrumen skrining
seperti Modified-Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) yang diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia. M-CHAT merupakan instrumen skrining yang valid dalam mengenali tanda dan
gejala autisme pada anak berusia 18-24 bulan.
Merujuk Pasien Autistic Spectrum Disorder

Hasil pengumpulan informasi dari orang tua dan pemantauan tumbuh kembang serta hasil
skrining ASD menjadi dasar pembuatan surat rujukan pasien untuk penilaian lanjutan dari tim
penanganan ASD. Surat rujukan sebaiknya juga didampingi dengan surat persetujuan dari orang
tua atau wali yang menyatakan memberikan izin agar dilakukan evaluasi lanjutan terhadap
kemungkinan adanya ASD serta pengumpulan informasi pada situasi lain, misalnya saat anak
berinteraksi dengan teman atau guru di sekolah, guna memperoleh gambaran klinis yang lebih
lengkap.
Peran Tim Multidisipliner pada Tata Laksana Jangka Panjang
Walaupun diagnosis ASD dapat ditegakkan oleh seorang dokter spesialis anak yang kompeten
dalam menangani pasien dengan ASD, pendekatan multidisipliner dengan melibatkan
profesional di bidang lain tetap merupakan pilihan yang ideal. Sebuah tim multidisipliner yang
menangani pasien dengan ASD dapat memberikan profil lengkap yang memetakan kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki individu dengan ASD sehingga perencanaan tata laksana jangka
panjang dapat dilakukan.

Komposisi tenaga ahli yang terlibat dalam tim penanganan ASD dapat bervariasi dan bergantung
pada ketersediaan sumber daya manusia di rumah sakit. Dokter spesialis anak yang mendapat
pelatihan khusus dalam penanganan pasien ASD dapat melakukan penilaian medis umum dan
mengidentifikasi adanya komorbiditas lain yang menyertai ASD. Seorang audiolog dapat
membantu mengevaluasi fungsi pendengaran yang dapat berkontribusi terhadap manifestasi
keterlambatan perkembangan.Ahli terapi okupasi berperan dalam menilai kemampuan motorik
halus dan kasar serta proses sensorik. Seorang psikolog dapat merencanakan evaluasi
perkembangan dan kognitif yang sesuai serta membantu perencanaan terapi perilaku. Ahli
gangguan bicara dan bahasa dapat mengevaluasi adanya masalah bahasa ekspresif dan reseptif
serta mempersiapkan rencana tata laksana yang sesuai.

Intervensi Dini yang Diperantarai Orang Tua


Sejumlah uji klinis acak telah menunjukkan manfaat dari intervensi dini yang melatih orang tua
mengenai cara berinteraksi dengan anak yang mengalami ASD. Berbagai intervensi tersebut
dapat menunjukkan efek yang cepat terhadap perilaku dan pola komunikasi anak. Model terapi
semacam ini menekankan pada pembentukan kemampuan orang tua dan pengasuh dalam
membangun keterikatan bersama anak, mencegah pola sosial yang terlalu mengarahkan, serta
mengembangkan cara berbagi perhatian dengan bermain bersama sehingga anak memiliki
inisiatif yang lebih baik. Terapi ini juga bermanfaat bagi orang tua dan pengasuh untuk
mengurangi distres yang mereka alami selama merawat anak dengan ASD.

Intervensi dini yang diperantarai orang tua atau pengasuh biasanya tidak terlalu mengganggu
aktivitas sehari-hari anak dan orang tua. Intervensi tersebut juga umumnya terjangkau dari segi
biaya, dapat dilakukan di klinik dan rumah, baik secara individu maupun berkelompok. Bentuk
intervensi yang tergolong dalam kategori ini antara lain Developmental Individual-Difference
Relationship-Based Model (DIR), Early Social Interaction (ESI), Early Start Denver
Model (ESDM), Joint Attention Symbolic Play Engagement and Regulation (JASPER),
dan Preschool Autism Communication Trial (PACT).
Di sisi lain, dampak strategi intervensi dini yang dilakukan orang tua mungkin tidak selalu
terlihat. Sejauh ini belum ada penelitian yang membandingkan perbedaan intensitas intervensi
maupun jenis intervensi terhadap luaran keparahan ASD. Hal lain yang juga turut berpengaruh
pada respons anak terhadap intervensi yang diberikan adalah derajat keparahan ASD pada
kondisi awal terdiagnosis serta usia pasien yang terlalu besar saat terdiagnosis.

Intervensi Perkembangan Perilaku Alamiah


Intervensi perkembangan perilaku alamiah merupakan sekelompok terapi yang bersandar pada
analisis perilaku terapan yang mengikuti urutan perkembangan tipikal dan menekankan pada
permainan, interaksi sosial, dan inisiasi komunikasi. Intervensi ini memiliki banyak bentuk
seperti Pivotal Response Treatment (PRT), ESDM, ESI, dan JASPER. Intervensi perkembangan
perilaku alamiah dilakukan oleh seorang guru berpengalaman atau terapis yang bertatap muka
dengan anak melalui penerapan prinsip pembelajaran guna mengajarkan kemampuan
perkembangan seperti berbahasa, meniru, dan tugas kognitif sederhana seperti mengelompokkan
atau memasangkan berbagai benda. Intervensi perkembangan perilaku alamiah memerlukan
komitmen serius dari orang tua sebab dapat memakan waktu hingga 15-20 jam sesi per minggu.
Meta analisis berbagai penelitian yang mempelajari efek intervensi perilaku pada penanganan
ASD mengungkap bahwa besaran efek intervensi perilaku cukup baik untuk domain kemampuan
adaptif, kecerdasan, dan kemampuan berbahasa setelah periode pemantauan selama 2 tahun.
Namun, kesimpulan tersebut didasarkan pada penelitian yang membandingkan intervensi
perilaku terhadap kelompok kontrol dan didominasi oleh penelitian yang tidak menerapkan
prinsip pengacakan partisipan.

Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi seperti obat antipsikotik, antidepresan, dan antikonvulsan tidak boleh
digunakan secara rutin untuk mengatasi ASD. Terapi farmakologi dapat dipertimbangkan apabila
terdapat gangguan psikiatri lain yang menyertai ASD.
Risperidone dan aripiprazole dapat membantu memperbaiki gejala iritabilitas dan agitasi pada
anak-anak dan remaja dengan ASD. Kedua obat ini tergolong dalam antipsikosis atipikal yang
dapat mengurangi gejala agresi, menyakiti diri, dan gangguan disruptif pada sebagian besar
pasien ASD. Namun, risperidone dan aripiprazole juga dapat menimbulkan efek samping yang
patut diwaspadai seperti efek sedasi dan penambahan berat badan.
Anak dengan ASD yang disertai epilepsi maupun kelainan neurologis lainnya perlu mendapat
penanganan yang serupa untuk penyakit penyerta tersebut seperti halnya anak tanpa ASD.
Hingga kini belum ada uji klinis yang mengevaluasi strategi pemberian terapi farmakologi pada
anak dengan ASD yang disertai epilepsi, gangguan cemas, dan gangguan mood. Oleh sebab itu,
pendekatan yang mungkin dilakukan pada subgrup pasien ASD semacam ini adalah dengan
menerapkan strategi pengobatan untuk epilepsi, gangguan cemas, dan gangguan mood
sebagaimana yang berlaku bagi anak tanpa ASD berupa pemberian antikonvulsan
seperti carbamazepine atau phenytoin.

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Autism Spectrum Disorder dapat menimbulkan komplikasi seperti gangguan perilaku dan


mental, keterbatasan intelektual, dan berbagai spektrum kelainan neurologis dan medis.
Gangguan perilaku dan mental yang dapat menyertai ASD antara lain attention deficit
hyperactivity disorder, gangguan cemas, gangguan menentang oposisional, sindrom Tourette,
dan depresi. Prevalensi gangguan perilaku dan mental tersebut bervariasi antara 9-45% dengan
depresi sebagai gangguan terjarang dan attention deficit hyperactivity disorder sebagai gangguan
tersering.
Sementara itu, hampir 65% pasien dengan ASD turut mengalami manifestasi keterbatasan
intelektual. Komplikasi neurologis dan medis lainnya seperti gangguan tidur, gangguan
motorik, epilepsi, palsi serebral, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan serta pendengaran
turut berperan dalam mempersulit tata laksana pasien dengan ASD.
Evaluasi Komplikasi Autism Spectrum Disorder

Pada prinsipnya, evaluasi klinis untuk mengenali berbagai komplikasi yang mungkin terjadi pada
ASD dapat semakin memperpanjang waktu yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis sejak
rujukan ke dokter spesialis dilakukan. Pemeriksaan klinis tambahan, termasuk rujukan ke unit
lain, untuk menegakkan diagnosis komplikasi ASD dapat dibenarkan apabila terdapat manfaat
kesehatan yang diperoleh dari deteksi dini berbagai kondisi tersebut. Namun, hingga kini belum
ada studi efektivitas biaya yang mendukung atau menyangkal perlunya identifikasi dini penyakit
penyerta ASD. Di sisi lain, semua komplikasi yang menyertai ASD tersebut memiliki terapi
spesifik yang secara klinis terbukti bermanfaat bagi penderitanya. Dengan demikian, evaluasi
berbagai komplikasi ASD boleh dilakukan apabila terdapat penilaian klinis yang mendukung
perlunya hal tersebut agar pasien segera mendapatkan penanganan yang tepat.

Prognosis
Karakteristik yang dianggap menentukan prognosis jangka panjang individu dengan autism
spectrum disorder antara lain kemandirian hidup, status pekerjaan, hubungan pertemanan, dan
kemampuan untuk menikah.
Dampak Autism Spectrum Disorder terhadap Kemandirian

Di masa lampau, hampir separuh anak-anak yang terdiagnosis ASD mengalami perawatan secara
intensif sehingga dahulu kondisi ini sering dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Namun, bukti
terbaru menunjukkan bahwa sekitar 12% individu dengan ASD dan tingkat kecerdasan > 70
mampu hidup secara mandiri.

Sementara itu, sekitar 60% individu dengan ASD tidak mampu menyelesaikan pendidikan
formal. Dari 40% pasien ASD yang menyelesaikan pendidikan hingga pendidikan tinggi, tingkat
pengangguran masih cukup tinggi dan mencapai 76% yang juga ditandai dengan tingkat
perpindahan pekerjaan yang cukup tinggi pada populasi ini. Di sisi lain, sebagian besar aktivitas
yang bertujuan untuk meningkatkan integrasi sosial individu dengan ASD biasanya diinisiasi
oleh keluarga atau pekerja sosial. Walaupun demikian, sekitar 5-10% individu dengan ASD
mampu mencari pasangan dan menikah serta memiliki hubungan yang baik dengan pasangan
dalam jangka waktu yang lama.

Dampak Autism Spectrum Disorder terhadap Angka Harapan Hidup

Dibandingkan dengan populasi umum, individu dengan ASD memiliki angka harapan hidup
yang lebih rendah. Perbedaan angka harapan hidup ini mungkin berkaitan dengan tingkat
keparahan disabilitas dan adanya penyakit penyerta seperti epilepsi maupun kejadian kecelakaan
yang menimpa individu dengan ASD. Di sisi lain, hambatan interaksi sosial yang dimiliki
individu dengan ASD membantu menghindari populasi ini dari kebiasaan buruk yang dapat
dipengaruhi oleh lingkungan pertemanan, misalnya penyalahgunaan substansi
seperti alcohol use disorder, merokok, dan penggunaan narkoba, zat psikoaktif, atau zat adiktif
lainnya (NAPZA).
CEREBRAL PALSY

Cerebral palsy adalah kumpulan gejala yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
bergerak, mempertahankan keseimbangan, dan tonus otot. Cerebral palsy adalah gangguan
motorik yang paling sering terjadi pada masa kanak-kanak, dan disabilitas yang timbul akan
berlangsung seumur hidup.

EPIDEMIOLOGI

Data epidemiologi cerebral palsy menunjukkan bahwa penyakit ini adalah penyebab disabilitas
tertinggi pada anak.

Global
Secara global, prevalensi cerebral palsy berkisar antara 1,5–4 kasus per 1000 kelahiran hidup.
Cerebral palsy lebih umum terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Tipe cerebral palsy
yang paling banyak ditemukan adalah tipe spastik (77,4%). Di Amerika Serikat, sebanyak 41%
anak dengan cerebral palsy juga memiliki komorbiditas epilepsi, dan 6,9% memiliki autism
spectrum disorder (ASD).
Indonesia
Data epidemiologi cerebral palsy di Indonesia masih terbatas. Data Riset Kesehatan Dasar
Republik Indonesia tahun 2010 mencatat persentase anak usia 24-59 bulan yang mengalami
cerebral palsy sebesar 0,09%.

Mortalitas
Angka harapan hidup pasien dengan cerebral palsy sangat bergantung pada beratnya disabilitas
yang dialami. Pada pasien dengan disabilitas yang ringan, angka kesintasan mirip dengan
populasi umum. Mortalitas meningkat seiring dengan peningkatan variasi dan tingkat disabilitas.
Pada penelitian di Australia, penyebab mortalitas utama adalah gangguan respirasi (58,6%),
terutama pneumonia (82%). Mortalitas pada pasien dengan disabilitas yang berat adalah 20%
pada usia 4 tahun.
ETIOLOGI

Etiologi cerebral palsy adalah perkembangan abnormal atau kerusakan pada otak infant atau
fetus. Cedera pada jaringan otak cerebral palsy bersifat nonprogresif dan dapat timbul pada masa
prenatal, perinatal, atau post natal.

 Etiologi prenatal: malformasi otak kongenital, infeksi intrauteri, stroke intrauteri,


abnormalitas kromosom
 Etiologi perinatal: cedera hipoksik-iskemik, infeksi sistem saraf seperti tetanus, stroke,
kernikterus
 Etiologi post natal: trauma, infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, cedera anoksik
Faktor Risiko
Faktor risiko cerebral palsy antara lain:

 Prematuritas
 Intrauterine growth restriction
 Ibu yang merokok, mengonsumsi alkohol dalam jumlah besar, atau mengonsumsi obat-
obatan seperti kokain

 Terapi assisted reproductive technology (ART)


 Kondisi medis ibu, seperti hipotiroid, disabilitas intelektual, dan kejang
 Komplikasi dalam kehamilan, seperti abrupsio plasenta, dan ruptur uteri

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi cerebral palsy, secara garis besar, diduga melibatkan gangguan suplai oksigen pada
fetus atau asfiksia otak. Hal ini menyebabkan kematian sel dan kehilangan proses sel sebagai
respon terhadap sitokin proinflamasi, stres oksidatif, dan pelepasan glutamat yang berlebihan,
kemudian memicu kaskade eksitotoksik.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi timbulnya gangguan suplai oksigen fetus, yaitu.
 Faktor intrauteri: intrauterine growth restriction (IUGR), gangguan vaskuler plasenta,
infeksi intrauteri, dan kelainan kongenital
 Kejadian peripartum: abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan asfiksia
 Kejadian pada periode neonatal: perdarahan intraventrikuler, leukomalasia
periventrikel, sepsis, stroke neonatal
Kelainan kongenital lebih jarang teridentifikasi menyebabkan cerebral palsy. Pada kebanyakan
kasus, cerebral palsy melibatkan faktor lingkungan dan kerentanan genetik, dan dapat sangat
berat hingga menyebabkan cedera destruktif yang mampu diidentifikasi pada pemeriksaan
pencitraan (misalnya MRI dan USG kepala). Kelainan umumnya ditemukan pada white
matter pada infant preterm; serta di grey matter atau nuclei batang otak pada infant aterm.
Gangguan yang terjadi pada otak yang masih sangat imatur, akan menghambat perkembangan
selanjutnya.

DIAGNOSIS

Diagnosis cerebral palsy ditegakkan utamanya dari penggalian riwayat pasien dan temuan
pemeriksaan fisik.

Anamnesis
Anamnesis perlu difokuskan pada identifikasi faktor risiko dan kemungkinan etiologi.
Anamnesis perlu mencakup detil riwayat prenatal, persalinan, serta riwayat pertumbuhan dan
perkembangan. Riwayat perkembangan yang ditanyakan terutama adalah perkembangan
motorik, dimana pada cerebral palsy akan didapat keterlambatan.

Anamnesis juga perlu mencakup komorbiditas, seperti epilepsi, abnormalitas muskuloskeletal,


gangguan pendengaran atau penglihatan, gangguan makan, gangguan komunikasi, dan gangguan
perilaku.
Tabel 1. Beberapa Komorbiditas Cerebral Palsy
Komorbiditas Kelainan
Disabilitas intelektual  Terjadi pada 50% pasien

 Paling berat terjadi pada pasien dengan


spastik kuadriplegia
Gangguan neurodevelopmental  Terjadi pada hampir 25% pasien

 Umumnya terdapat masalah emosional


dan perilaku seperti emosi labil, atensi
dan kewaspadaan yang buruk, dan ciri
obsesif kompulsif
Epilepsi  Terjadi pada 25-45% kasus

 Umumnya pada pasien dengan spastik


kuadriplegia dan hemiplegia
Gangguan visual  Terjadi pada hampir 30% kasus

 Umumnya pada pasien cerebral palsy


akibat prematuritas
Gangguan pendengaran dan wicara  Terjadi pada 30-40% kasus

 Dapat terjadi afasia, disartria, atau


mutisme
Gangguan perkembangan Umumnya terkait nutrisi yang berhubungan
dengan asupan yang buruk atau kelainan pada
saluran cerna
Gangguan saluran cerna Hampir 90% pasien mengalami konstipasi,
refluks gastrointestinal, muntah, gangguan
dalam menelan, atau nyeri abdomen
Gangguan pernapasan Aspirasi, skoliosis, dan inkoordinasi otot
pernapasan dapat menyebabkan penyakit paru
kronis
Gangguan ortopedi Dapat terjadi subluksasi, dislokasi, dysplasia
progresif dari panggul, deformitas kaki, dan
skoliosis
Gangguan saluran kemih 30-40% pasien memiliki gangguan berkemih
disfungsional, termasuk enuresis, frekuensi,
urgensi, dan inkontinensia
Nyeri  Nyeri terjadi pada 50-75% kasus, dan
terdapat 25% kasus nyeri yang
menghambat aktivitas

 Nyeri dapat terjadi akibat dystonia,


subluksasi panggul, atau konstipasi
Gangguan tidur Umumnya terjadi sleep-wake transition
disorder, dan excessive daytime sleepiness
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai cerebral palsy berfokus pada tanda-tanda klinis dan
menentukan tipe cerebral palsy. Evaluasi yang harus dilakukan meliputi lingkar kepala, status
mental, tonus dan kekuatan otot, postur tubuh, refleks, serta pemeriksaan gait.
Tanda klinis yang dapat terlihat pada pasien meliputi:

 Mikro- atau makrosefali

 Iritabilitas berlebihan atau interaksi berkurang

 Hiper- atau hipotonia

 Spastisitas

 Dystonia

 Kelemahan otot

 Refleks primitif meningkat

 Refleks postural abnormal atau hilang

 Inkoordinasi

 Hiperrefleks

Tanda spesifik paling jelas terlihat pada usia 3-5 tahun, namun beberapa tanda dapat terlihat
sejak bayi. Tanda yang dapat dikenali sejak dini antara lain:

 Tanda neurobehavioral: iritabilitas yang berlebihan, letargi, sulit tidur, sering muntah,
sulit digendong, dan gangguan atensi visual
 Refleks primitif: refleks primitif akan persisten, yang menunjukkan lesi pada upper
motor neuron. Dapat ditemukan postur opistothonus pada anak dan ekstensi tungkai
bawah yang persisten
 Postur dan tonus otot: tonus dapat menurun, normal, atau meningkat. Kontrol otot kepala
buruk, mengepalkan tangan berulang kali, dan grimacing dapat terjadi akibat tonus otot
yang abnormal pada ekstremitas
Tabel 2. Tanda Awal Cerebral Palsy
Bayi 3-6 bulan:
 Kepala sering terjatuh apabila diangkat dalam posisi terlentang

 Kaku

 Postur opsitothonus (ekstensi berlebihan pada punggung dan leher)

 Tungkai bawah kaku dan cenderung menyilang ketika diangkat


Bayi 6-10 bulan:
 Tidak mampu berguling

 Tidak mampu menyatukan kedua tangan

 Kesulitan dalam menyentuh mulut

 Meraih barang hanya dengan satu tangan dan tangan lain menggenggam
Bayi usia >10 bulan:
 Saat merangkak, hanya salah satu tangan dan kaki yang bergerak, menciptakan gerakan
merangkak yang berputar

 Tidak mampu bergerak dengan cepat menggunakan keempat ekstremitas


Tipe Kelainan Motorik Cerebral Palsy

Sindrom cerebral palsy dapat dibagi menjadi 4 yaitu predominan spastik, predominan dyskinesia,
predominan ataxia, atau kombinasi. Cerebral palsy predominan spastik merupakan kelainan yang
paling sering terjadi. Tipe spastik dibagi lagi menjadi spastik diplegia, kuadriplegia, dan
hemiplegia.

Spastik Diplegia:
Spastik diplegia merupakan kelainan cerebral palsy yang paling sering terjadi (35%). Tipe ini
disebabkan oleh leukomalasia periventrikuler dan periventricular hemorrhagic infarction.
Terjadi gangguan pada traktus kortikospinal dan thalamokortikal yang menyebabkan gangguan
motorik pada ekstremitas bawah. Hal pertama yang dapat diamati pada spastik diplegia adalah
anak cenderung merangkak dengan menyeret kedua kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan spastisitas dengan peningkatan refleks, klonus, dan tanda Babinski positif. Gangguan
pada white matter dapat menyebabkan masalah visual pada anak. Perkembangan intelektualitas
cenderung tidak mengalami gangguan.
Spastik Kuadriplegia:

Spastik kuadriplegia mencakup 20% dari tipe cerebral palsy yang terjadi. Tipe ini merupakan
yang paling berat dan berhubungan dengan gangguan motorik pada seluruh ekstremitas,
disabilitas intelektual, gangguan bahasa, kesulitan makan, serta kejang. Spastik kuadriplegia
disebabkan oleh leukomalasia periventrikuler berat dan ensefalomalasia multikistik. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tonus otot dan spastisitas pada seluruh ekstremitas dan
penurunan gerakan spontan. Pada akhir masa kanak-kanak dapat terjadi kontraktur pada lutut dan
siku. Tipe ini memiliki prognosis yang buruk untuk dapat melakukan aktivitas secara mandiri.

Spastik Hemiplegia:

Spastik hemiplegia terjadi pada 25% kasus cerebral palsy. Umumnya disebabkan oleh stroke in
utero atau perinatal. Terjadi penurunan gerakan spontan pada sisi yang mengalami gangguan,
terutama pada lengan. Spastisitas pada pergelangan kaki menyebabkan deformitas ekuinovarus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan reflex tendon dalam, klonus, tanda Babinski
positif, dan kelemahan pada tangan dan dorsofleksor kaki. Kebanyakan anak dengan spastik
hemiplegia memiliki kemampuan kognitif yang baik dan dapat hidup mandiri.
Ekstrapiramidal:

Cerebral palsy tipe ini dikenal juga dengan tipe athetoid atau diskinetik. Tipe ekstrapiramidal
mencakup 15-20% pasien cerebral palsy dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi tipe
koreo-athetoid dan distonik. Tipe koreo-athetoid memiliki karakteristik gerakan abnormal
involunter yang cepat pada wajah, otot bulbar, ekstremitas proksimal, dan jari. Sedangkan, pada
tipe dystonia terjadi kontraksi otot agonis dan antagonis yang bersamaan.

Cerebral palsy tipe ekstrapiramidal disebabkan oleh hypoxic-ischemic encephalopathy,


kernikterus, dan kelainan genetik. Secara umum, ekstremitas atas lebih terpengaruh
dibandingkan dengan ekstremitas bawah. Pada pasien dengan kondisi ini, dapat ditemukan
hipotonia dengan kontrol kepala yang buruk dan kepala yang cenderung tertinggal ketika
diangkat. Seiring dengan waktu, terjadi peningkatan tonus otot yang menyebabkan dystonia dan
kontraksi involunter pada fleksor dan ekstensor.  Pasien dengan spastik ekstrapiramidal dapat
mengalami kesulitan makan, bicara, dan gangguan perilaku. Umumnya tidak terjadi kejang dan
jarang ditemukan defisit intelektual.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan saat melakukan evaluasi pasien yang dicurigai
cerebral palsy adalah spinal muscular atrophy, distonia familial, dan defisiensi arginase.
Spinal Muscular Atrophy

Pada pasien yang lahir dengan spinal muscular atrophy, akan terlihat floppy dan mengalami
kelemahan yang progresif tanpa disertai spastisitas, namun dapat terjadi kontraktur. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan analisis DNA, electromyography (EMG), dan biopsi otot.
Dystonia Familial

Pada dystonia familial, terjadi deformitas otot setelah beberapa tahun perkembangan yang
normal. Pasien dengan penyakit ini mengalami kontraksi otot yang bertahan selama beberapa
saat dan dystonia tanpa kontraktur. Dapat terlihat gerakan yang cepat dan mendadak. Dystonia
familial bersifat diturunkan dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan genetik molekuler.

Defisiensi Arginase

Pada pasien dengan kondisi ini, terjadi spastik displegia yang progresif dan dementia pada masa
mendatang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serum asam amino arginine
yang meningkat drastis dan peningkatan kadar ammonia.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada anak dengan cerebral palsy meliputi magnetic
resonance imaging (MRI) otak, ultrasonografi (USG) kranial, elektroensefalografi (EEG), dan
EMG. Pemeriksaan laboratorium tidak secara definitif mendiagnosis cerebral palsy, namun
membantu menyingkirkan diagnosis banding.
MRI

Sekitar 85% anak dengan cerebral palsy akan menunjukan kelainan dalam pemeriksaan MRI.
Pemeriksaan MRI memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CT scan dalam
mengidentifikasi kelainan otak. Kelainan dalam MRI yang prediktif terhadap cerebral palsy
adalah cedera pada white matter baik akibat leukomalasia atau infark periventrikuler, lesi pada
kortikal dan gray matter, serta kelainan perkembangan otak (schizencephaly, dysplasia kortikal,
polimikrogria, lissencephaly, atau pachygyria).
CT Scan

CT scan kepala dapat membantu menemukan kelainan kongenital, perdarahan intrakranial, dan


leukomalasia periventrikel lebih baik dibandingkan dengan USG.
USG kranial

Pemeriksaan USG dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan neurologis terkait maturasi otak.
Penemuan ventrikulomegali dan echolucency pada USG prediktif terhadap cerebral palsy.
Cedera pada white matter, seperti periventrikuler leukomalasia dan perdarahan intraventrikuler
juga dapat ditemukan dengan USG.
USG memiliki beberapa keterbatasan, seperti sensitivitas yang rendah terhadap kelainan whiter
matter difus yang dapat terdeteksi dengan MRI, ketidakmampuan memvisualisasikan struktur
kortikal dan cerebellum dengan baik, serta ketergantungan terhadap fontanel yang paten untuk
menilai white matter periventrikel.
Elektroensefalografi (EEG)

EEG wajib dilakukan pada anak dengan riwayat kejang atau apabila anak tidak mencapai
perkembangan sesuai dengan standar yang berlaku. Tujuan utama EEG adalah mendeteksi
adanya epilepsi serta membantu menentukan jenis dan penyebabnya.

Elektromiografi (EMG)
EMG dan tes konduksi saraf dilakukan untuk membantu menemukan gangguan otot atau
persarafan.

Pemeriksaan Lab

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain:

 Pemeriksaan fungsi tiroid: gangguan tiroid dapat menyebabkan gangguan tonus otot

 Kadar ammonia: Peningkatan ammonia berkaitan dengan gangguan hati atau gangguan
siklus urea

 Pemeriksaan metabolik: pemeriksaan kuantitatif asam amino dapat menunjukkan


gangguan metabolik bawaan

 Pemeriksaan genetik: dilakukan pada pasien dengan klinis dismorfik, malformasi otak,
riwayat keluarga dengan cerebral palsy, atau riwayat konsanguinitas

 Pungsi lumbal: dilakukan pada pasien dengan kejang refrakter yang belum diketahui
penyebabnya untuk menemukan gangguan neurotransmitter atau defisiensi transporter
glukosa. Selain itu, kadar protein serebrospinal dapat membantu menentukan asfiksia
pada neonatus. Pada bayi asfiksia, didapatkan kadar protein dan rasio laktat-piruvat yang
meningkat
Klasifikasi Fungsional Cerebral Palsy

Terdapat 4 sistem klasifikasi fungsional yang digunakan untuk menilai terapi yang diperlukan
pasien:

 Gross Motor Function Classification System (GMFCS) digunakan untuk menilai


keterampilan motorik kasar dan kemampuan berjalan pada anak usia 2-18 tahun
 Manual Ability Classification System (MACS) digunakan untuk menilai penggunaan
tangan dan ekstremitas atas pada anak usia 4-18 tahun
 Communication Function Classification System (CFCS) digunakan untuk menilai
kemampuan komunikasi sehari-hari
 Eating and Drinking Ability Classification System (EDACS) menilai kemampuan makan
dan minum pada anak usia 3 tahun ke atas
Tabel 3. Klasifikasi Fungsional Cerebral Palsy
Level GMFCS MACS CFCS EDACS
1 Berjalan tanpa hambatan Mengambil objek Memberi dan Makan dan
dengan mudah menerima secara minum baik dan
efektif efisien
2 Berjalan dengan hambatan Mengambil Memberi dan Makan dan
kebanyakan menerima secara minum dengan
objek dengan efektif namun baik, namun
kecepatan yang melambat efisiensi
berkurang berkurang
3 Berjalan dengan memegang Kesulitan Menerima dan Makan dan
alat bantu mengambil memberi dengan minum kurang
objek, membantu efektif tetapi baik, dapat
mempersiapkan pada rekan yang ditemukan
atau familiar hambatan
memodifikasi efisiensi
aktivitas
4 Mobilitas diri terhambat Mengambil objek Menerima dan Makan dan
secara terbatas memberi secara minum dengan
dalam situasi inkonsisten pada hambatan
adaptif rekan yang signifikan
familiar
5 Diperlukan kursi roda Tidak dapat Jarang menerima Tidak dapat
mengambil objek dan memberi makan dan
secara efektif minum dengan
dengan rekan baik, perlu
yang familiar dipertimbangkan
alat bantu
makan[4]
TATALAKSANA

Penatalaksanaan cerebral palsy dilakukan secara multidisipliner. Terapi yang dilakukan


bertujuan untuk meningkatkan perkembangan anak agar dapat mencapai kemandirian yang
semaksimal mungkin dan menangani komorbiditas yang menyertai. Target terapi ditetapkan
bersama antara orang tua, pasien, dan tim profesional yang menangani secara realistis dan
dievaluasi secara berkala.

Tata Laksana Gangguan Motorik


Terapi fisik dan terapi okupasional bertujuan untuk memperbaiki gerakan dan keseimbangan
pasien dengan cerebral palsy, sehingga pasien dapat beraktivitas sehari-hari. Fungsi motorik
yang ditargetkan terutama fungsi ekstremitas atas. Terdapat beberapa terapi fisik dan terapi
okupasional yang dapat diberikan.

 Hand-arm intensive bimanual training: Latihan bimanual diberikan pada pasien dengan
spastik hemiplegia. Pada terapi ini, anak dilatih untuk menggunakan kedua tangan secara
repetitif
 Constraint induced movement therapy: Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki fungsi
tangan dengan cara melatih sisi yang terpengaruh dan menggunakan pengekang pada sisi
yang dominan. Latihan ini efektif dilakukan untuk semua usia
 Context focused therapy: Terapi ini memberikan fokus pada penyesuaian lingkungan dan
target fungsional kepada kemampuan anak. Dengan mengubah faktor lingkungan dan
penyesuaian tugas, diharapkan pasien mampu melakukan aktivitas yang tidak dapat
dilakukan sebelumnya
 Goal directed therapy: Terapi ini dilakukan dengan pendekatan pembelajaran motorik
berdasarkan target aktivitas yang ditetapkan pasien
Tata laksana Spastisitas
Tata laksana spastisitas penting dilakukan untuk mencegah dan memperbaiki tulang dan
deformasi sendi, mengurangi nyeri, serta memperbaiki status fungsional pasien. Pilihan terapi
yang dapat diberikan adalah terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Intervensi nonfarmakologi
meliputi fisioterapi, terapi okupasional, penggunaan peralatan adaptif dan ortosis, intervensi
ortopedi, dan selective dorsal rhizotomy.
Fisioterapi

Fisioterapi merupakan salah satu terapi yang paling utama pada anak dengan disabilitas motorik.
Tujuan utama fisioterapi adalah meningkatkan kekuatan motorik sesuai prioritas pasien dan
keluarga. Untuk memberikan latihan motorik yang maksimal, pasien harus secara aktif berperan
dalam terapi. Terapi yang dilakukan sebaiknya memberikan intensitas yang sesuai dan
menantang.

Selective Dorsal Rhizotomy (SDR)

SDR bertujuan untuk mengurangi spastisitas dengan cara memisahkan bagian dari akar
lumbosakral dorsalis. SDR dilakukan pada pasien cerebral palsy dengan Gross Motor Function
Classification System (GMFCS) II dan III, berusia 4-7 tahun, memiliki kemampuan kognitif,
berkeinginan untuk berjalan, serta memiliki kekuatan dan kontrol motorik ekstremitas bawah dan
dystonia minimal. Tindakan ini secara signifikan mengurangi kebutuhan injeksi toksin botulinum
dan operasi ortopedi, namun mampu menyebabkan beberapa efek samping seperti gangguan
proprioseptif, disfungsi pencernaan dan saluran kemih, hipotonia, nyeri punggung persisten, atau
deformitas.
Intervensi Ortopedi

Kelainan muskuloskeletal progresif yang dapat terjadi pada pasien dengan cerebral palsy
membutuhkan intervensi ortopedi. Tindakan intervensi ini bertujuan untuk memperbaiki
deformitas yang disebabkan oleh aktivitas otot yang berlebihan. Pada kondisi spasme ekstremitas
bawah atau dislokasi panggul, dapat dipertimbangkan tindakan yang mengurangi spasme otot
seperti tenotomi adduktor, atau transfer psoas. Tenotomi tendon Achilles dilakukan pada pasien
spastik hemiplegia dengan tight heel cord.
Penggunaan Orthosis Dan Alat Bantu

Orthosis dan alat bantu adaptif bertujuan untuk meningkatkan kemampuan beraktivitas dan
fungsional pasien. Alat bantu yang diberikan misalnya kursi roda, alat bantu dengar, orthosis,
dan tungkai artifisial. Orthosis akan membantu meningkatkan kekuatan ekstremitas bawah pada
kasus deformitas equinus dan membantu pasien berjalan.
Tata Laksana Kontraktur
Kontraktur pada pasien dengan cerebral palsy terjadi akibat hipertonia otot. Otot dan tendon
tidak mampu memanjang dan menyesuaikan dengan pertumbuhan tulang. Otot yang melewati 2
sendi lebih rentan terhadap kontraktur, sehingga beberapa prosedur bedah membuat otot dengan
2 sendi berfungsi seperti otot dengan 1 sendi.

Kontraktur spastik dapat diperbaiki dengan relaksasi dan tindakan nonbedah


seperti splinting atau injeksi toksin botulinum. Sementara itu, kontraktur yang menetap
diperbaiki dengan memanjangkan kelompok otot dan tendon. Terdapat beberapa cara untuk
mencegah terjadinya kontraktur menetap, misalnya penggunaan orthosis, splinting, dan night
braces.
Tata Laksana Kelainan Sendi Panggul
Diperkirakan 36% anak dengan cerebral palsy mengalami gangguan pada sendi panggul. Insiden
ini bertambah seiring dengan peningkatan kelas GMFCS, hingga 90% pada GMFCS V.

Dislokasi sendi panggul dapat dihindari tanpa melakukan tindakan bedah. Perlu dilakukan
pemeriksaan berkala dan pemeriksaan radiologi untuk mengidentifikasi masalah sejak dini.
Demikian pula dengan skoliosis, karena skoliosis dapat berkembang dengan cepat sejak usia
muda pada pasien dengan spastisitas bilateral yang berat. Tindakan bedah untuk memperbaiki
skoliosis adalah dengan fusi T2-pelvis Tindakan total hip arthroplasty dapat memperbaiki
integritas dan fungsi dari sendi dan mengurangi nyeri akibat gangguan sendi
Terapi Farmakologi
Beberapa obat dapat diberikan untuk mengatasi spastisitas, namun terdapat risiko efek samping
seperti sedasi dan penurunan ambang kejang.

 Diazepam 0,01-0,3 mg/kg/hari dibagi dua atau tiga dosis


 Baclofen 0,2-2 mg/kg/hari dibagi dua atau tiga dosis. Baclofen dapat diberikan secara
intrathecal pada kasus spastisitas berat
 Dantrolene 0,5-10 mg/kg/hari dibagi dua dosis

 Levodopa 0,5-2 mg/kg/hari dan triheksilfenidil 0,25 mg/kg/hari dapat diberikan untuk


mengatasi dystonia
 Reserpine 0,01-0,02 mg/kg/hari dibagi dua dosis maksimal 0,25 mg sehari dan
tetrabenazine 12,5-25 mg dibagi dua atau tiga dosis diberikan untuk gangguan gerakan
hiperkinetik termasuk athetosis atau chorea

 Injeksi toksin botulinum dapat diberikan pada kelompok otot yang mengalami spastisitas
dan kelenjar saliva untuk mengurangi drooling. Dosis yang biasanya diberikan adalah 4-
16 U/kg

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Prognosis cerebral palsy bergantung tingkat disabilitas yang terjadi, seperti perkembangan
kemampuan motorik, tipe spastisitas, dan kemampuan kognitif.

Komplikasi
Cerebral palsy dapat menimbulkan komplikasi yang cukup banyak. Komplikasi yang
ditimbulkan harus ditangani bersamaan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Gangguan Penglihatan dan Pendengaran

Sebanyak 25-29% pasien dewasa dengan cerebral palsy mengalami gangguan penglihatan dan 8-
18% mengalami gangguan pendengaran. Gangguan penglihatan yang umum adalah strabismus,
nystagmus, dan atrofi optik. Skrining penglihatan dapat dilakukan pada 48 jam pertama setelah
lahir pada bayi cukup bulan. Skrining pendengaran dilakukan saat bayi lahir dan setiap 6 bulan
hingga usia 3 tahun.
Epilepsi

Epilepsi merupakan gejala gangguan fungsi otak yang sering ditemukan dan dapat menyebabkan
kerusakan otak apabila berlangsung lebih dari 30 menit. Epilepsi dapat terjadi pada 40-50%
pasien cerebral palsy.
Pasien yang rentan mengalami epilepsi adalah pasien dengan profil klinis asfiksia, usia gestasi
kurang bulan, proses persalinan dengan tindakan, berat lahir rendah, riwayat infeksi susunan
saraf pusat, kejang neonatal, kejang pertama pada usia ≤1 tahun, riwayat epilepsi dalam
keluarga, kelainan lingkar kepala, kelainan CT scan kepala, dan kelainan EEG.
Gangguan Kesehatan Mental

Selain defisit kognitif, pasien dengan cerebral palsy juga dapat memiliki komorbid psikiatrik
seperti masalah emosional dan perilaku, gangguan cemas, depresi, atau gangguan tidur. Masalah
kesehatan mental tidak hanya dialami oleh pasien, tetapi juga oleh orang tua.
Identifikasi gangguan perilaku dan emosi negatif penting dilakukan dalam konseling dan terapi.
Gangguan tidur yang dialami pasien diintervensi sebelum menyebabkan masalah akademik dan
perilaku. Edukasi mengenai gangguan tidur meliputi sleep hygiene dan penanganan terhadap
spastisitas.
Nyeri

Nyeri terjadi pada 50-75% pasien dengan cerebral palsy dan 25% di antaranya mengalami nyeri
yang membatasi aktivitas. Nyeri menurunkan kualitas hidup pasien dan menurunkan partisipasi
pasien dalam kehidupan sosial. Beberapa penyebab nyeri antara lain dystonia, subluksasi sendi
panggul, konstipasi, atau refluks gastroesofageal.
Gangguan Komunikasi

Defisit kognitif yang dialami pasien dapat menghambat komunikasi. Kemampuan berkomunikasi
dapat ditingkatkan dengan terapi wicara, penggunaan simbol Bliss, atau bantuan teknologi
seperti penggunaan kecerdasan buatan dan alat penghasil suara.
Gangguan Berkemih

Gangguan anatomi dan gangguan kontrol otot berkemih menimbulkan inkontinensia


urine dan infeksi saluran kemih. Terapi yang dilakukan antara lain terapi fisik, biofeedback,
pemberian obat, atau tindakan operatif.
Ulkus

Mobilisasi yang terbatas membuat pasien dengan cerebral palsy rentan mengalami ulkus
dekubitus. Terapi pada pasien bertujuan untuk mengurangi tekanan pada daerah yang mengalami
cedera dengan dilakukan perubahan posisi berkala, pemberian dressing profilaksis, atau alas
yang dapat mengurangi tekanan.
Osteoporosis

Asupan nutrisi yang buruk, penurunan kekuatan otot, paparan sinar matahari yang kurang, dan
pemberian antikonvulsan berperan dalam menimbulkan osteoporosis. Diperkirakan 80-90%
pasien memiliki densitas tulang yang rendah dan berisiko menyebabkan fraktur patologis,
terutama pada femur. Pemeriksaan dual energy x-ray absorptiometry dapat dilakukan untuk
memastikan diagnosis pada pasien dengan risiko tinggi. Beberapa suplemen yang dapat
diberikan adalah kalsium, vitamin D, dan bifosfonat.
Gangguan Gastrointestinal

Gangguan pada sistem gastrointestinal dapat terjadi akibat gangguan motilitas saluran cerna,
imobilisasi, dan asupan nutrisi yang kurang, sehingga menyebabkan muntah, konstipasi, refluks
gastroesofageal, dan obstruksi saluran cerna. Pemberian obat pencahar dapat dilakukan. Selain
itu, dilakukan pembersihan saluran cerna dan peningkatan asupan cairan dan serat.

Drooling

Drooling disebabkan oleh disfungsi oromotor. Drooling dapat menyebabkan hambatan dalam


bersosialisasi pada pasien dengan cerebral palsy.
Gangguan Makan dan Nutrisi
Pasien dengan cerebral palsy sering mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menelan, yang
mengakibatkan waktu makan teramat panjang. Masalah lain yang juga sering muncul adalah
tersedak dan muntah. Gangguan menelan dapat berakibat buruk karena risiko tersedak atau
infeksi paru-paru akibat aspirasi secara tidak sengaja. Dalam jangka panjang, gangguan menelan
dapat menimbulkan malnutrisi dan menyebabkan komplikasi pada anak, seperti osteoporosis.

Kemampuan makan harus dinilai setiap bulan selama 3-4 bulan, termasuk status gizi pasien.
Apabila terdapat gangguan, perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti pemberian teknik dan
latihan menelan, pemberian makanan yang lunak atau cairan, dan pemberian nutrisi secara
alternatif dengan pemasangan pipa nasogastrik atau operasi gastrostomi pada kasus yang berat.

Prognosis
Cerebral palsy merupakan kondisi seumur hidup. Anak yang mendapatkan intervensi dini dan
penanganan medis yang baik akan tumbuh dewasa dengan angka kesintasan 90% hingga usia 20
tahun. Sebanyak 2 dari 3 anak dengan cerebral palsy dapat mandiri dengan atau tanpa bantuan, 3
dari 4 anak dapat berbicara, dan 1 dari 2 anak memiliki kemampuan kognitif yang normal.

Anda mungkin juga menyukai