PUBERTAS PREKOKS
Pubertas prekoks adalah kondisi munculnya tanda fisik dan hormonal perkembangan seksual
sekunder sebelum usia 8 tahun pada anak perempuan dan 9 tahun pada anak lelaki. Pubertas
prekoks dapat diklasifikasikan menjadi varian “normal” (dianggap nonpatologis) dan patologis.
Pubertas prekoks patologis dibedakan menjadi dua, yaitu tipe tergantung GnRH (Gonadotropin-
Releasing Hormone) atau tipe sentral, dan tidak tergantung GnRH atau tipe perifer
(pseudopubertas).
EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi pubertas prekoks sangat terbatas. Prevalensi pubertas prekoks diperkirakan
1:5000 hingga 1:10.000, dengan kecenderungan wanita lebih banyak daripada lelaki. Beberapa
studi di luar negeri menyatakan kejadian pubertas prekoks bervariasi antara 5-23 per 10.000 anak
perempuan dan 5-6 per 10.000 anak laki-laki.
Global
Studi epidemiologi di Denmark menunjukkan 0,2% anak perempuan mengalami pubertas
prekoks dengan berbagai varian. Pubertas prekoks pada laki-laki Denmark lebih kecil, yaitu
0,05%.
Studi di SPanyol menyebutkan kejadian pubertas prekoks sentral sekitar 0,02-1,07 kasus per
100.000 orang. Di Korea, kejadian pubertas prekoks sekitar 15,3 per 100.000 anak perempuan
dan 0,6 per 100.000 anak laki-laki.
Indonesia
Belum tersedia data epidemiologi nasional mengenai pubertas prekoks di Indonesia.
Mortalitas
Pubertas prekoks tidak menyebabkan kematian, tapi sering kali pubertas prekoks menimbulkan
dampak buruk baik fisik maupun psikis anak, serta tekanan psikis bagi keluarganya.
ETIOLOGI
Etiologi pubertas prekoks sebagian besar idiopatik. terjadi secara sporadik pada sebagian besar
kasus. Sebagian kecil kasus disebabkan oleh adanya lesi serebral.
Hamartoma hipotalamik
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pubertas prekoks dapat dibedakan berdasarkan tipenya. Terdapat dua jenis pubertas
prekoks, yaitu tipe tergantung GnRH (Gonadotropin-Releasing Hormone) atau tipe sentral, dan
tidak tergantung GnRH atau tipe perifer (pseudopubertas).
Pubertas Normal
Pubertas terjadi karena neuron di hipotalamus memproduksi GnRH, suatu decapeptide yang
berjalan melalui sistem vena porta ke kelenjar pituitari anterior. Di kelenjar ini GnRH
menginduksi pengeluaran pulsatil dari 2 jenis gonadotropin yaitu luteinizing hormone (LH)
dan follicle-stimulating hormone (FSH). Setelah ditransport ke gonad, gonadotropin mengikat
reseptor membran yang kemudian membentuk kompleks protein-G dalam sel target.
Pada perempuan, LH meningkatkan produksi androgen oleh sel theca dan
produksi progesteron oleh sel granulosa. Pada laki-laki, LH menstimulasi sel Leydig
memproduksi testosteron dan FSH menstimulasi sel sertoli untuk perkembangan sel germinal
(spermatogenesis).
Aksis hipotalamik-pituitari-gonadal (HPG) ini sudah aktif sejak usia gestasi 20 minggu. Pada
laki-laki, aktivitas aksis HPG menurun saat usia 3-6 bulan. Pada perempuan, sekresi FSH bisa
sampai usia 18 bulan. Setelah usia tersebut, sekresi gonadotropin minimal.
Pubertas Prekoks
Onset normal pubertas ditentukan oleh berbagai proses intraserebral yang belum diketahui secara
lengkap. Pubertas terjadi karena adanya ketidakseimbangan gamma-aminobutyric acid (GABA)
yang merupakan neurotransmiter inhibitori utama yang menekan sekresi GnRH
dengan glutameric neurotransmission yang menstimulasi produksi GnRH. Belum diketahui
apakah neurotransmisi yang diperantarai GABA menurun saat onset pubertas sehingga
meningkatkan sinyal glutamatergik atau sebaliknya.[3,5]
Pubertas prekoks terjadi karena abnormalitas kadar steroid seks yang dapat disebabkan oleh
faktor endogen (adrenal atau gonad) atau eksogen. Pubertas prekoks yang tergantung GnRH
(pubertas prekoks sentral) dapat terjadi karena disregulasi sentral yang menyebabkan
overproduksi LH dan FSH atau produksi hormon ektopik (biasanya neoplasma yang
memproduksi hCG). Penyebab tersering pubertas prekoks adalah disregulasi sentral. Pubertas
prekoks perifer disebabkan oleh produksi steroid seks dari sumber endogen atau eksogen, seperti
hiperplasia adrenal kongenital, tumor gonad, atau tumor adrenal.
DIAGNOSIS
Diagnosis pubertas prekoks didapat melalui anamnesis dan riwayat keluarga, pemeriksaan fisik
terkait tanda perkembangan seksual sekunder, evaluasi laju pertumbuhan, dan pemeriksaan kadar
hormon gonadotropin.
Anamnesis
Pada anamnesis, tanyakan keluhan, riwayat pertumbuhan dan perkembangan. serta riwayat
keluarga.
Keluhan utama pasien biasanya adalah adanya tanda perkembangan pubertas yang terlalu awal,
seperti perkembangan payudara pada wanita dan meningkatnya volume testis pada laki-laki.
Keluhan lain dapat berupa peningkatan tinggi badan, jerawat, perubahan otot, bau badan, dan
perkembangan rambut pubis dan aksila.
Selain dari itu, lakukan pula anamnesis mengenai kemungkinan disfungsi sistem saraf pusat
seperti nyeri kepala, lingkat kepala membesar, gangguan penglihatan, kejang, trauma, dan infeksi
untuk mencari etiologi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital, antropometri, dan pemeriksaan tanda seks
sekunder. Pada pubertas prekoks sentral, laju pertumbuhan akan meningkat, dengan kenaikan
tinggi badan bisa melebihi 6 cm per tahun. Perkembangan pubertal laki-laki dapat ditandai
dengan meningkatnya volume testis menjadi lebih dari 4 ml. Pemeriksaan perkembangan
payudara dengan staging Tanner dapat dilakukan pada anak perempuan.
Pada pemeriksaan fisik, lihat juga adakah akantosis nigrikan, macula café au lait, atau
neurofibroma yang dapat mengarah ke neurofibromatosis tipe 1 dan sindrom McCune-Albright.
Diagnosis Banding
Pada pasien yang dicurigai mengalami pubertas prekoks, varian normal perlu dipikirkan. Varian
normal (nonpatologis) dapat meliputi telarke dan pubarke atau adenarke dini. Meskipun
dianggap sebagai varian normal, kedua kondisi tersebut memerlukan pemantauan berkala untuk
memastikan tidak berkembang menjadi pubertas prekoks yang patologis.
Telarke Dini
Telarke dini adalah pembesaran kelenjar payudara pada anak perempuan tanpa disertai tanda
perkembangan seks sekunder yang lain, termasuk tanpa peningkatan laju pertumbuhan sebelum
masuk usia pubertas.
Pubarke atau adrenarke dini adalah tumbuhnya rambut pubis sebelum usia pubertas, yaitu 8
tahun pada perempuan dan 9 tahun pada laki-laki. Adrenarke dini mencerminkan adanya
maturasi dini zona retikularis adrenal yang berfungsi untuk mensekresi DHEA
(dehydroepiandrosterone).
Tanda-tanda lain yang bisa didapatkan adalah pertumbuhan rambut aksila, perubahan bau badan
dan jerawat, tanpa disertai peningkatan laju pertumbuhan meskipun terkadang bisa disertai
dengan peningkatan usia tulang.
Pemeriksaan Penunjang
Skrining awal meliputi pemeriksaan usia tulang, kadar luteinizing hormone (LH), follicle-
stimulating hormone (FSH), testosteron, dehydroepiandrosteron sulphate (DHEA-S),
progesteron, dan tes fungsi tiroid.
Usia Tulang
Bila usia tulang ≥ 2 tahun atau ≥ 2 standar deviasi dari usia kronologis, tes lebih lanjut harus
dilakukan.
Profil Hormon
Pemeriksaan kadar hormon dapat membedakan penyebab perifer dan sentral. Kadar baseline LH
prepubertal yang lebih dari 0,3 IU/L mengarah ke pubertas prekoks sentral. Kadar di bawah 0,3
mengindikasikan penyebab perifer atau varian jinak.
Bila kecurigaan ke arah penyebab sentral tinggi, tes stimulasi GnRH (Gonadotropin-Releasing
Hormone) harus dilakukan. Bila tes ini tidak tersedia, maka alternatifnya adalah pemeriksaan
agonis GnRH.
Kadar estradiol yang sangat tinggi pada perempuan atau testosteron pada laki-laki berhubungan
dengan tersupresinya LH dan FSH, mengindikasikan pubertas prekoks perifer. Pemeriksaan
DHEA-S dapat membantu membedakan sumber androgen dari testikular atau adrenal.
Pencitraan
USG pelvis dapat dilakukan untuk melihat kista atau tumor ovarium, rasio fundus uteri dengan
serviks uteri, dan perubahan volume uterus.
USG testis dapat dilakukan untuk melihat apakah ada tumor atau kista testis.
Jika dicurigai penyebab neurologis, dapat dilakukan MRI kepala, terutama pada anak lelaki atau
anak perempuan usia < 6 tahun dengan perkembangan klinis progresif dan kadar estradiol tinggi
(> 45 pmol/L).
TATALAKSANA
Tujuan utama penatalaksanaan pubertas prekoks adalah anak dapat mencapai tinggi badan
optimal sesuai potensi tinggi genetiknya dan mencegah stres psikologis dan diskonkruensi antara
maturasi seksual dengan maturasi kognisi.
Apabila dirasa perlu, pasien maupun keluarga juga dapat dirujuk ke psikolog atau psikiater.
Medikamentosa
Sediaan agonis GnRH yang tersedia di Indonesia saat ini adalah leuprolide dan triptorelin
pamoate. Pengobatan diberikan sampai usia pubertas fisiologis, yaitu sekitar usia 10-11 untuk
anak perempuan, dan usia 12-13 tahun pada anak laki-laki. Perkembangan pubertas akan terjadi
kembali sekitar satu tahun setelah penghentian pengobatan.
Leuprolide
Untuk anak dengan BB ≥ 20 kg, leuprolide depot 1 bulan (3,75 mg) diberikan tiap 4 minggu
secara intramuskular. Bila menggunakan leuprolide depot 3 bulan (11,25 mg) maka diberikan
setiap 12 bulan.
Untuk anak dengan BB < 20kg diberikan leuprolide 60-75 mcg/kgBB/4minggu intramuskular.
Triptorelin Pamoat
Triptorelin pamoat diberikan 11,25mg tiap 12 minggu secara intramuskular untuk anak dengan
BB ≥ 20 kg.
Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan bila pubertas prekoks disebabkan oleh penyakit yang dapat
diterapi dengan pembedahan, misalnya tumor.
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
Prognosis pubertas prekoks akan makin baik bila diterapi lebih dini. Perlu diketahui bahwa
peningkatan libido dapat menyebabkan perilaku seks yang tidak sesuai usia. Prognosis pubertas
prekoks karena sebab neurologis sangat bergantung pada etiologi dan lokasi lesi.
Komplikasi
Peningkatan laju pertumbuhan pada anak dengan pubertas prekoks menyebabkan anak lebih
tinggi dibanding teman sebayanya akibat adanya percepatan maturasi usia tulang dan penutupan
cakram pertumbuhan yang lebih cepat. Pada akhirnya, anak akan memiliki perawakan pendek di
masa dewasa. Makin dini pubertas prekoks terjadi, makin berpengaruh pada tinggi akhir.
Komplikasi pubertas prekoks sentral neurologis bergantung pada dari jenis dan lokasi lesi.
Pasien bisa mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
Pubertas prekoks juga bisa memberi tekanan psikologis pada pasien dan keluarganya. Pada kasus
yang berat, bisa terjadi gangguan cemas, depresi, bahkan bunuh diri.
Prognosis
Prognosis pubertas prekoks makin baik bila diterapi lebih dini. Tinggi badan akhir akan lebih
baik pada anak dengan pubertas prekoks yang diobati sejak dini dibandingkan yang diterapi
menjelang usia pubertas normal.
ADHD
EPIDEMIOLOGI
Indonesia
Prevalensi Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) secara nasional di Indonesia belum
diketahui. Berdasarkan data dari RSUP Sanglah Denpasar, selama periode 2005-2006 terdapat
111 dari 162 pasien yang datang ke Klinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah Denpasar yang
terdiagnosis ADHD. Pasien terdiri dari 81,1% laki-laki dan 18,9% perempuan.
Mortalitas
Mortalitas ADHD berhubungan dengan perilaku berbahaya, termasuk penyalahgunaan zat.
Kecelakaan merupakan penyebab kematian paling sering pada individu dengan ADHD. Angka
mortalitas dilaporkan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki.
ETIOLOGI
Faktor Neurologi
Sementara itu, faktor neurologi yang tidak diturunkan yang telah dihubungkan dengan ADHD
mencakup adanya gangguan selama kehamilan dan kelahiran. Paparan alkohol dan merokok
selama kehamilan serta berat badan lahir rendah telah dihubungkan dengan peningkatan risiko
ADHD.
Konsumsi alkohol selama kehamilan, terutama pada masa menjelang kelahiran, diduga
menyebabkan mutasi pada sel germinal yang akan meningkatkan risiko ADHD. Paparan nikotin
selama kehamilan dapat berpengaruh pada sistem serotonin dan dopaminergik, pertumbuhan sel
otak, dan sintesis DNA dan RNA pada otak fetus.
Kondisi prenatal lain yang diidentifikasi meningkatkan faktor risiko ADHD adalah lahir
prematur, lahir secara sectio caesarea, preeklampsia, persalinan yang diinduksi, dan skor
APGAR yang rendah di lima menit pertama. Selain itu, cedera otak hipoksik-anoksik, epilepsi,
dan cedera otak traumatik juga merupakan hal-hal yang dihubungkan dengan timbulnya ADHD.
Faktor Lingkungan
Paparan terhadap toksin lingkungan seperti timbal, organofosfat, dan pestisida telah dihubungkan
dengan timbulnya ADHD.
PATOFISIOLOGI
Gangguan Struktur Otak
Daerah otak yang dicurigai terlibat pada patofisiologi ADHD adalah regio frontal, prefrontal,
parietal, korteks cingulatum, ganglia basalis, dan serebelum. Beberapa studi menemukan adanya
gangguan aktivasi pada area otak tersebut ketika anak dengan ADHD melakukan kegiatan
tertentu.
DIAGNOSIS
Awitan gejala ADHD dapat terjadi hingga usia 12 tahun. Pada anamnesis, perlu digali juga
riwayat kehamilan dan persalinan, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat kondisi serupa pada
keluarga, dan riwayat tumbuh kembang anak.
Inatensi atau kesulitan untuk memusatkan perhatian pada ADHD umumnya bermanifestasi
sebagai kesulitan menyelesaikan tugas, kurangnya persistensi, kesulitan untuk tetap fokus, dan
tidak terorganisir.
Hiperaktivitas
Hiperaktivitas bermanifestasi sebagai aktivitas motorik yang berlebihan dan tidak pada
tempatnya, kegelisahan yang berlebihan, mengetuk-ngetukan kaki atau tangan, atau bicara terus
menerus.
Impulsivitas
Perilaku impulsif ditunjukan dengan gerakan yang tanpa pikir panjang dan dapat
membahayakan, misalnya berlari ke jalan tanpa menyadari ada bahaya. Impulsivitas juga bisa
ditunjukan sebagai keinginan mendapat sesuatu tanpa ditunda, misalnya suka menyela
pembicaraan orang lain secara berlebihan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) tidak khas. Pasien
dengan ADHD dapat memiliki hasil pemeriksaan fisik dan neurologi dalam batas normal atau
hanya tampak gelisah dan hiperaktif.
Pemeriksaan Status Mental
Pemeriksaan status mental perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami Attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD). Pemeriksaan sekaligus dapat menyingkirkan diagnosis
banding dan mendeteksi adanya komorbiditas lain. Pasien dengan ADHD dapat memiliki
gangguan mental lain seperti gangguan kepribadian antisosial, penyalahgunaan zat, dan
juga gangguan bipolar
Penampilan
Anak-anak dengan ADHD dapat tampak gelisah, impulsif, tidak dapat duduk diam, atau
berlarian di sekitar ruang periksa. Orang dewasa dengan ADHD bisanya mudah terganggu,
gelisah, dan pelupa.
Suasana Hati
Pasien dengan ADHD biasanya eutimik, tapi dapat juga distimik. Terkadang terdapat iritabilitas.
Bila pasien berbicara, kecepatan bicara dapat normal atau lebih keras volumenya. Proses berpikir
mengarah pada tujuan, tapi terdapat kesulitan untuk tetap berada pada topik atau tugas yang
diberikan.
Kognisi
Konsentrasi dan daya ingat jangka pendek umumnya terganggu. Pasien dengan ADHD memiliki
kesulitan berhitung dan kemampuan mengingat jangka pendek. Orientasi, memori jangka
panjang atau abstraksi umumnya normal.
Kriteria Diagnosis
Menurut DSM-5, kriteria diagnosis ADHD adalah:
1. Pola inatensi dan atau hiperaktivitas-impusivitas yang persisten dan mengganggu fungsi
atau perkembangan dengan 6 atau lebih gejala menetap selama sedikitnya 6 bulan hingga
menyebabkan gangguan perkembangan dan memiliki efek negatif langsung terhadap
aktivitas sosial dan akademik
5. Gejala tidak timbul selama episode schizophrenia atau gangguan psikotik lain dan tidak
memenuhi kriteria gangguan mental lainnya
Gejala terkait inatensi antara lain:
Sering gagal memperhatikan detil atau sering membuat kecerobohan di kegiatan sekolah,
pekerjaan, atau aktivitas lain
Sering tidak mengikuti instruksi dan menyelesaikan tugas sekolah, rumah, atau pekerjaan
Menggeliat saat duduk atau bermain-main dengan kaki atau tangan seperti mengetuk-
ngetukkan jemari dan terus bergerak
Sering meninggalkan tempat duduk pada kondisi dimana anak diharapkan tetap duduk
diam, misalnya saat belajar di sekolah
Sering tidak mampu untuk bermain atau beraktivitas yang membutuhkan ketenangan
Sering terlihat seperti dikendalikan oleh mesin atau seperti tidak mudah merasa lelah
Banyak bicara
Klasifikasi
Dalam mendiagnosis ADHD, dokter juga perlu membedakan tipe yang dialami pasien menjadi:
Tipe kombinasi: pasien memenuhi kriteria baik gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktif-impulsif dalam 6 bulan terakhir
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang harus dipikirkan apabila menemukan pasien dengan Attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD) antara lain oppositional defiant disorder, gangguan belajar,
gangguan cemas, dan gangguan bipolar.
Oppositional Defiant Disorder
Pasien dengan oppositional defiant disorder akan menolak mengerjakan tugas sekolah atau
pekerjaan karena tidak mau menuruti perintah orang lain. Perilaku pasien ditandai dengan
negativitas, hostilitas, dan membangkang.
Gangguan Belajar
Anak dengan gangguan belajar akan terlihat seperti kurang memperhatikan kelas, kesulitan
menangkap materi yang diajarkan, atau anak terlalu bosan karena materi kelas sudah dikuasai.
Hal tersebut hanya terjadi pada saat belajar dan tidak terjadi pada aspek hidup lainnya.
Gangguan Cemas
ADHD memiliki kemiripan gejala dengan gangguan cemas. Pada ADHD, inatensi terjadi karena
ketertarikan terhadap stimulus eksternal, aktivitas baru, atau preokupasi dengan aktivitas
menyenangkan. Hal ini perlu dibedakan dengan inatensi akibat kekhawatiran pada gangguan
cemas.
Gangguan Bipolar
Pasien gangguan bipolar dapat menunjukan peningkatan aktivitas, kesulitan konsentrasi, dan
impulsivitas. Namun gejala ini bersifat periodik pada beberapa hari saja setiap kali episode.
Gejala biasanya diikuti dengan peningkatan mood, waham kebesaran, dan fitur bipolar lainnya.
Pemeriksaan Penunjang
Hingga kini belum ada penanda biologis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis ADHD.
Anak dengan ADHD bisa menunjukan peningkatan pada slow wave electroencephalogram,
penurunan volume otak pada MRI, dan hambatan maturasi korteks posterior hingga anterior
dibandingkan anak sebayanya. Namun, temuan ini tidak bersifat diagnostik.
TATALAKSANA
Stimulan
Psikostimulan masih menjadi pilihan terapi ADHD. Golongan ini dilaporkan efektif pada sekitar
70% pasien dengan number needed to treat adalah 2. Efek samping yang bisa timbul mencakup
gangguan tekanan darah, penurunan nafsu makan, gangguan tidur, dan ketergantungan.
Nonstimulan
Obat nonstimulan untuk ADHD dapat dibagi menjadi antidepresan dan agonis alfa. Antidepresan
yang paling banyak digunakan adalah atomoxetine yang bekerja sebagai selective
norepinephrine reuptake inhibitor. Obat ini sering digunakan pada anak yang tidak mampu
mentoleransi obat stimulan atau memiliki gangguan cemas. Antidepresan lain yang dapat
digunakan adalah bupropion dan antidepresan trisiklik.
Alfa agonis, seperti clonidine dan guanfacine, adalah pilihan terapi ADHD lainnya. Namun,
golongan ini telah dikaitkan dengan efek samping kardiovaskular, sedasi, peningkatan berat
badan, dan pusing.
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
Autism spectrum disorder (ASD), dikenal juga sebagai gangguan spektrum autisme, adalah
istilah bagi sekumpulan kelainan tumbuh kembang yang ditandai oleh defisit komunikasi dan
interaksi sosial yang persisten, serta pola perilaku repetitif dan minat yang terbatas. Pola
perilaku yang mencolok pada ASD biasanya muncul sebelum seorang anak berusia 3 tahun
namun dapat pula baru mulai terlihat nyata ketika seorang anak memasuki usia sekolah bahkan
remaja. Permasalahan tumbuh kembang, gejala, dan tanda ASD dapat bervariasi tingkat
keparahannya antar individu serta dapat diiringi dengan berbagai masalah medis dan gangguan
mental lainnya
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan studi yang dilakukan pada tahun 2010, estimasi global jumlah kasus autism
spectrum disorder mencapai 52 juta atau mencapai prevalensi sebesar 7,6 per 1000 jiwa. Angka
ini tidak jauh berbeda dengan estimasi serupa pada tahun 1990 yang menunjukkan prevalensi
ASD sebanyak 7,5 kasus per 1000 jiwa. Walaupun angka ini merupakan estimasi prevalensi
global ASD, mayoritas data yang digunakan untuk membangun asumsi tersebut berasal dari
negara maju sedangkan estimasi ASD di sejumlah wilayah seperti Amerika Selatan, Amerika
Tengah, dan Eropa Timur belum dapat diketahui. Prevalensi ASD global pada pria mencapai 4
kali lipat lebih tinggi daripada prevalensi ASD global pada wanita (8,2 vs 2,0 per 1000 jiwa).
Indonesia
Data tentang prevalensi autism spectrum disorder masih sangat terbatas. Pada tahun 1992,
Wignyosumarto et al melaporkan bahwa prevalensi autisme di Yogyakarta mencapai 1,2 kasus
per 1000 jiwa. Estimasi ini didapat dengan melakukan penelitian terhadap 5120 anak
menggunakan metode skrining skala Bryson. Sejak saat itu, belum ada penelitian lanjutan yang
mengungkap prevalensi ASD di wilayah lain di Indonesia.
Mortalitas
Walaupun gangguan spektrum autisme tidak secara langsung menyebabkan kematian, individu
dengan ASD memiliki kemungkinan kematian hingga 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
populasi umum. Pada sebuah penelitian di Denmark, jumlah kematian pada individu dengan
ASD 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan jumlah ekspektasi kematian pada populasi tersebut.
Pada populasi Denmark tersebut, sebanyak 30% kematian pada individu dengan ASD berkaitan
dengan epilepsi.
Hasil serupa juga diamati oleh Hirvikoski, et al. yang mengevaluasi penyebab kematian total dan
spesifik pada populasi pasien ASD di Swedia. Antara tahun 1987-2009, terdapat 0,91%
penduduk di populasi umum dan 2,6% penduduk dengan ASD yang mengalami kematian di
Swedia. Dengan kata lain, individu dengan ASD memiliki kemungkinan kematian mencapai 2,6
kali lipat lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Analisis lanjutan yang dilakukan Hirvikoski
mengungkapkan bahwa laju kematian lebih tinggi dialami pasien dengan ASD pada hampir
seluruh domain penyebab kematian (gangguan neurologis, pernapasan, pencernaan, jantung, dan
gangguan mental-perilaku) dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu, epilepsi merupakan
penyebab kematian tersering pada pasien ASD yang memiliki keterbatasan intelektual
sedangkan bunuh diri menjadi penyebab kematian yang paling tinggi pada individu dengan
kemampuan intelektual mendekati normal atau tinggi.
ETIOLOGI
Hingga kini belum ditemukan suatu etiologi spesifik terhadap autism spectrum disorder (ASD),
disebut juga sebagai gangguan spektrum autisme. Namun, studi menemukan adanya hubungan
faktor genetik dan neurobiologis berupa 15 gen yang berkaitan dengan ASD.
Peran faktor genetik sebagai penyebab ASD didukung oleh adanya bukti bahwa ASD bersifat
herediter pada 80% kasus meskipun tidak dapat dipastikan secara tegas apakah pola turunannya
bersifat autosomal dominan atau resesif. Pada sekitar 10-15% kasus, ASD berkaitan dengan
sejumlah sindrom yang melibatkan satu gen seperti sindrom Phelan-McDermid, sindrom Rett,
sindrom X rapuh, dan sklerosis tuberosa.
Pada mayoritas kasus ASD, perubahan genetik biasanya bersifat poligenik dan melibatkan
polimorfisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism/SNP). Selain itu, pola
perubahan genetik yang mungkin didapati pada kasus ASD meliputi mutasi fungsional
monogenik, varian jumlah salinan (misalnya, mikrodelesi atau mikroduplikasi) yang melibatkan
lebih dari satu gen. Titik-titik pada kromosom yang terlibat dalam kejadian ASD antara lain
delesi SHANK3, 1q21, 3q29, 7q11.23, 15q12, 15q13, 16p11, 17q12, dan Xq.
Faktor Risiko
Sejumlah faktor risiko prenatal, perinatal, dan neonatal dianggap berkaitan dengan autism
spectrum disorder dan perlu dikaji saat mengevaluasi pasien yang dicurigai dengan ASD. Faktor
risiko tersebut antara lain :
Riwayat prematuritas
Kejadian hipoksia perinatal
Obesitas maternal
Faktor genetik turut diduga berperan pada kecenderungan ASD untuk lebih sering terjadi pada
anak laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini mungkin berkaitan dengan sejumlah mekanisme
epigenetik seperti pengaruh gen Y, inaktivasi gen X, serta keberadaan gen alel dari orang tua
asal. Interaksi antara perbedaan jenis kelamin terhadap faktor hormonal dan faktor lingkungan
seperti pola makan, stres, dan infeksi berpotensi menginisiasi perjalanan penyakit ASD sejak
usia dini.
Kaitan klinis antara makrosefali pada ASD dengan fenotip penyakit ASD masih belum diketahui
dengan pasti. Beberapa penelitian menemukan bahwa makrosefali dapat berkaitan dengan
peningkatan fungsi kognitif pada individu dengan ASD dibandingkan kelompok kontrol. Namun,
pengaruh peningkatan lingkar kepala pada pasien dengan ASD terhadap kemampuan khusus
pada populasi ini masih belum dapat dipastikan dengan tegas.
Beragam penelitian juga menemukan bahwa defek migrasi neuron juga terjadi pada pasien
dengan ASD. Defek tersebut meliputi perubahan densitas neuron, ukuran soma, kolom sel yang
ireguler, serta gangguan lokalisasi neuron. [19,20] Pada level molekuler, gangguan migrasi
neuron ini diketahui berkaitan dengan sejumlah gen yang mengatur produksi reelin (glikoprotein
regulator pada migrasi neuron), mutasi pada gen Auts2, dan CNTNAP2.
Perubahan Pola Pertumbuhan Neurit dan Taju Dendritik pada Gangguan Spektrum
Autisme
Perubahan pola pertumbuhan neurit dan taju dendritik dalam perjalanan penyakit autism
spectrum disorder telah banyak dipelajari. Peran neuron sebagai suatu sel yang menjalankan
fungsi spesifik tak dapat dilepaskan dari integritas fungsi soma yang mengandung nukleus,
prosesus aksonal yang menyalurkan informasi, dan kompleks punjung dendritik yang menerima
informasi dari akson dari neuron di sekitarnya. Gangguan konektivitas neuron merupakan salah
satu defek utama yang ditemukan pada pasien dengan ASD dan dapat dipengaruhi oleh
perubahan pada perkembangan dendritik, morfologi taju dendritik, dan fungsi sinaps.
Gangguan perkembangan dendritik, khususnya arborisasi dendrit yang berlebihan dan
berkurangnya pemendekan dendrit, diduga berperan pada kejadian makrosefali. Pada perjalanan
penyakit ASD tahap neurogenesis, peningkatan neuron intrauterin mungkin berkaitan dengan
peningkatan potensi makrosefali. Namun, pada mayoritas pasien dengan ASD, volume otak saat
usia bayi umumnya masih normal yang menandakan bahwa terdapat mekanisme lain yang
berperan terhadap kejadian makrosefali. Pertumbuhan volume otak pasca kelahiran, sebagaimana
terjadi pada ASD, diduga lebih disebabkan oleh pertumbuhan dendritik aberans seiring dengan
peningkatan arborisasi dendritik dan penambahan hubungan sinaptik yang baru di otak. Hal ini
dapat berlangsung hingga seseorang berusia 5 tahun.
Di sisi lain, perubahan pada taju dendritik juga diketahui berpengaruh terhadap kejadian ASD.
Pada individu dengan ASD, analisis postmortem menunjukkan adanya peningkatan densitas taju
dendritik dibandingkan individu normal . Berbagai gen seperti MECP2, FMR1, PTEN, dan
CYFIP1 sangat penting perannya dalam pertumbuhan dendritik dan formasi taju dendritik serta
maturasi sinaps sehingga dianggap sebagai gen-gen yang berisiko tinggi terhadap autisme
apabila mengalami mutasi.
DIAGNOSIS
Sampai saat ini, diagnosis penderita autism spectrum disorder (ASD), atau disebut sebagai
gangguan spektrum autism, masih mengandalkan evaluasi klinis. Belum ada pemeriksaan
laboratorium yang menunjang diagnosis ASD.
Anamnesis
Pada prinsipnya, anamnesis sangat mengandalkan informasi dari orang tua penderita ASD,
terutama mencakup kemampuan bicara atau bahasa, interaksi sosial, dan kemampuan bermain.
Namun demikian, informasi mengenai adanya penyakit penyerta (termasuk kelainan genetik),
riwayat tumbuh kembang, riwayat saat kehamilan hingga persalinan, serta riwayat keluhan
serupa dalam keluarga juga perlu digali untuk mencari faktor risiko yang berhubungan dengan
ASD.
Aloanamnesis pada Anak Berusia 18-24 Bulan
Anak dengan ASD biasanya mulai bergejala ketika berusia 18-24 bulan, yakni usia ketika anak
dihadapkan pada situasi sosial yang menguji keterbatasan mereka dalam menunjukkan pola
komunikasi sosial yang wajar. Bentuk kekhawatiran orang tua pada tahap usia ini amat bervariasi
dan bergantung pada usia anak ketika mereka menyadari adanya ketidakwajaran. Anak-anak
biasanya dibawa ke dokter umum atau spesialis anak dengan masalah keterlambatan atau regresi
perkembangan dan bicara, maupun perilaku dan pola permainan yang tak sesuai dengan usianya.
Pada usia lebih lanjut, anak-anak biasanya memiliki masalah akademik, kecanggungan sosial dan
gangguan perilaku yang cukup serius serta mengganggu hubungan dalam keluarga. Anak-anak
yang baru dicurigai mengalami ASD pada usia lebih dewasa biasanya telah menunjukkan
indikator gejala sejak usia 2 tahun namun cenderung dianggap sebagai bagian dari pola
perkembangan normal. Hal ini mungkin berhubungan dengan anggapan orang tua atau pengasuh
anak bahwa kemandirian yang tinggi, kemampuan memahami gerak mekanik, dan ketajaman
pengamatan pada usia dini tersebut merupakan indikator pertumbuhan normal tanpa terlalu
memperhatikan apakah pencapaian motorik tersebut turut diimbangi dengan pola perilaku dan
kemampuan sosial yang sesuai usianya. Oleh sebab itu, pada anak yang berusia lebih dari 2
tahun, pertanyaan anamnesis perlu diarahkan secara retrospektif terhadap pencapaian
perkembangan motorik, bahasa, kemampuan sosial dan perilaku ketika ia berusia 18-24 bulan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak dengan kecurigaan autism spectrum disorder serupa dengan
pemeriksaan fisik anak pada umumnya, antara lain pemeriksaan antropometri dan evaluasi
tumbuh kembang. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi pada kemampuan bicara atau bahasa,
interaksi sosial, dan kemampuan bermain.
Penilaian Domain Interaksi Sosial
Gangguan interaksi sosial merupakan salah satu tanda ASD yang muncul paling dini namun
sering terlewatkan. Karakteristik gangguan komunikasi sosial yang sangat berkaitan dengan
ASD antara lain ketidakmampuan anak dalam menunjukkan minat, membagi perhatian, dan
mengikuti pandangan mata lawan bicaranya. Ketika namanya dipanggil, anak sangat mungkin
tidak berespons dan sering disalahartikan sebagai suatu bentuk gangguan pendengaran. Ekspresi
wajah yang terbatas, khususnya tersenyum dan gestur tertentu yang jarang ditunjukkan seperti
mengangguk, menggeleng, melambaikan tangan, tepuk tangan, juga patut dicurigai sebagai
bentuk keterbatasan interaksi sosial pada ASD. Anak-anak dengan ASD biasanya jarang
menunjukkan ketertarikan terhadap lingkungan di sekitarnya maupun berbagi kebahagiaan
dengan orang tuanya, misalnya tidak pernah menunjuk mainan yang ia sukai atau tidak pernah
menunjuk hal baru yang menarik di dekatnya).
Gangguan berbahasa yang berkaitan dengan ASD cukup luas dan perlu dibedakan dari bentuk
gangguan bahasa spesifik. Anak dengan ASD biasanya tidak mampu menunjukkan kompensasi
keterbatasan berbahasa seperti menggunakan gerak tubuh atau mimik untuk menyampaikan
keinginannya. Bentuk bahasa verbal yang diungkapkan anak dengan ASD biasanya berupa
jargon yang tak berarti, neologisme, ekolalia, prosody, dan keterbatasan dalam memulai
percakapan. Segala keterbatasan tersebut menyebabkan anak dengan ASD tidak mampu
berinteraksi dua arah dengan leluasa.
Observasi Perilaku Repetitif dan Persisten
Aktivitas yang dilakukan individu dengan ASD biasanya bersifat repetitif dan terbatas. Perilaku
motorik yang repetitif tersebut dapat bermanifestasi sebagai ayunan tangan yang tak bertujuan,
jentikan jari, benturan kepala kepada suatu benda padat, dan gerakan memutar tubuh. Perilaku
repetitif juga dapat ditunjukkan sebagai minat yang terbatas pada mainan jenis tertentu dan
menyusun mainan dalam pola tertentu secara berulang-ulang. Hal ini juga dapat disertai ekolalia
susulan, yakni duplikasi bahasa verbal dari lingkungan sekitar (misalnya, orang dewasa lain
maupun suara dari radio atau televisi) yang kemudian diucapkan terus-menerus tak lama setelah
sumber suara asli muncul. Selain itu, individu dengan ASD biasanya sangat persisten dengan
pola lingkungan atau aktivitas yang sama dan apabila hal tersebut diubah akan menimbulkan rasa
tidak nyaman atau bahkan distres serius yang bermanifestasi sebagai temper tantrum.
Pemeriksaan Pada ASD dengan Pola Regresi
Pada 20-30% kasus ASD, pasien dapat berada dalam fase regresi atau stasis. Hal ini ditandai
oleh penurunan kemampuan perkembangan yang sebelumnya telah dicapai dan biasanya
mempengaruhi kemampuan berbahasa pada usia 18-24 bulan. Kemampuan motorik biasanya
tidak terpengaruh namun orang tua dapat melaporkan adanya perubahan pola makan dan tidur,
munculnya perilaku repetitif, dan penurunan kemampuan interaksi sosial. Adanya pola regresi
kemampuan sosial pada anak berusia di bawah 3 tahun sangat berkaitan dengan diagnosis ASD
walaupun penyebabnya belum diketahui. Apabila regresi autistik terjadi pada anak berusia di
atas 3 tahun atau disertai regresi fungsi motorik, evaluasi lanjutan perlu dilakukan untuk menguji
apakah terdapat kemungkinan suatu penyakit neurodegeneratif seperti sindrom Rett atau Landau
Kleffner yang juga berkaitan dengan ASD.
Berikut adalah daftar respons gagal dari tiap pertanyaan M-CHAT. Huruf yang dicetak tebal
adalah item kritis.
1. Tidak 5. Tidak 9. Tidak 13. Tidak 17. Tidak 21. Tidak
2. Tidak 6. Tidak 10. Tidak 14. Tidak 18. Ya 22. Ya
3. Tidak 7.Tidak 11. Ya 15. Tidak 19. Tidak 23. Tidak
4. Tidak 8. Tidak 12. Tidak 16. Tidak 20. Ya
Hasil dianggap gagal bila terdapat 2 atau lebih item kritis gagal atau bila gagal 3 atau lebih pada
item apa saja. Anak dengan hasil gagal harus dievaluasi lebih dalam dan dirujuk ke spesialis
untuk evaluasi perkembangan lebih lanjut. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua anak yang
gagal ketika skrining akan didiagnosis dengan autism spectrum disorder.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan pada saat mengevaluasi pasien yang dicurigai
dengan autism spectrum disorder terdiri atas berbagai penyakit perkembangan saraf dan
gangguan mental-perilaku. Diagnosis banding penyakit perkembangan saraf dapat berupa
gangguan bahasa spesifik, keterbatasan intelektual dan keterlambatan perkembangan umum.
Sementara itu, diagnosis banding yang tergolong dalam gangguan mental-perilaku memiliki
karakteristik keterbatasan interaksi sosial dan kekakuan perilaku yang mirip dengan ASD seperti
yang dapat ditemukan pada gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, gangguan
menentang oposisional, gangguan perilaku, dan gangguan kelekatan.
Gangguan Bahasa Spesifik
Gangguan bahasa spesifik biasanya didiagnosis dengan melihat adanya defisit produksi dan
interpretasi bahasa yang menghalangi kemampuan seorang anak dalam menerima dan
mengekspresikan bentuk bahasa yang bermakna. Kemiripan kondisi ini dengan ASD adalah
adanya dampak kedua kondisi tersebut pada keterbatasan imajinasi anak dan pola permainan
serta komunikasi sosial. Namun, pembeda antara gangguan bahasa spesifik dari ASD adalah
derajat defisit motivasi sosialnya. Anak dengan gangguan bahasa spesifik umumnya mampu
mengkompensasi kekurangan kemampuan bahasa verbal dengan mengutamakan kemampuan
bahasa non verbal, seperti gerakan menunjuk atau gerak tubuh untuk mengungkapkan
keinginannya sehingga orang di sekitarnya masih mampu membentuk pola interaksi yang
mendekati normal dengannya. Pada anak dengan ASD, terdapat kekurangan interaksi sosial yang
bermakna, tidak terkompensasi dengan bentuk bahasa non verbal, dan disertai kurangnya empati
atau minat terhadap interaksi dengan orang lain.
Keterbatasan intelektual merupakan suatu diagnosis luas yang diberikan pada individu dengan
defisit perkembangan mental umum. Kondisi ini ditandai oleh suatu onset gangguan
perkembangan intelektual dan kemampuan adaptasi yang meliputi keterbatasan penalaran,
pemecahan masalah, berpikir abstrak, dan belajar, serta gangguan berpartisipasi dan berfungsi
sosial sesuai usianya. Tantangan diagnosis keterbatasan intelektual terletak pada anak yang
masih sangat muda yang tidak mungkin menjalani pemeriksaan intelektual klasik, sehingga anak
semacam ini biasanya dievaluasi dan dianggap mengalami ASD. Selain itu, keterbatasan
intelektual dapat terjadi bersamaan dengan ASD dan perlu dibedakan ketika anak berusia lebih
dewasa. Anak dengan keterbatasan intelektual disertai ASD masih mungkin menunjukkan
kemampuan yang baik pada area selain kemampuan bahasa dan pemahaman sosial. Sementara
itu, anak dengan keterbatasan intelektual murni tanpa ASD biasanya masih menunjukkan
motivasi sosial dan ketertarikan pada teman sebaya yang lebih baik dibandingkan anak dengan
ASD.
Attention Deficit Hyperactivity Disorder
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau dikenal juga sebagai gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas ditandai oleh gangguan fungsi dan perkembangan akibat kurangnya
perhatian yang persisten, sikap impulsif, dan hiperaktivitas yang patut ada untuk menegakkan
diagnosis.
Sejumlah karakteristik ASD dapat bersinggungan dengan ADHD sehingga menyulitkan
diagnosis, misalnya :
Anak dengan ADHD tanpa ASD biasanya memiliki kemampuan sosial yang buruk disertai
perilaku sosial yang intrusif namun masih menunjukkan pemahaman terhadap normal sosial.
Selain itu, anak dengan ADHD masih mungkin memberikan interaksi sosial dua arah dan
kemampuan komunikasi nonverbal. Kendati kedua kondisi ini dapat menyebabkan anak terlibat
dalam perilaku berbahaya, anak dengan ADHD umumnya masih dapat membedakan potensi
bahaya dari tindakannya dibandingkan anak dengan ASD yng cenderung tidak memahami
konsep perilaku yang membahayakan.
Diagnosis gangguan menentang oposisional (GMO) umumnya ditegakkan ketika anak berusia
prasekolah dan ditandai oleh sikap negatif persisten, penolakan, dan ketidakpatuhan terhadap
otoritas. Walaupun anak dengan ASD juga mungkin memiliki karakteristik oposisi, GMO murni
masih dapat dibedakan dari ASD dengan fitur gejala oposisi. Sikap oposisi pada anak dengan
ASD biasanya muncul secara tidak sengaja sebagai respons terhadap stimulus lingkungan yang
mengganggu aktivitas dan minatnya yang bersifat repetitif. Sementara itu, anak dengan GMO
umumnya menyadari perilaku oposisi yang ia miliki dan dapat memicu sikap oposisi tersebut
tanpa ada stimulus dari luar (oposisi yang disengaja). Anak dengan GMO juga biasanya tidak
memiliki fitur kekakuan interaksi sosial dan perilaku repetitif sebagaimana ditemukan pada anak
dengan ASD.
Gangguan Perilaku
Gangguan perilaku ditandai oleh hambatan sosial bermakna yang muncul sebagai akibat perilaku
yang melanggar hak orang lain serta bertentangan dengan norma dan standar sosial. Hal ini dapat
bermanifestasi sebagai perilaku yang menyakiti orang dan hewan, perusakan properti,
pengambilan barang milik orang lain, serta bentuk perilaku menentang lainnya seperti kabur dari
rumah atau bolos dari sekolah secara sengaja. Oleh sebab itu, anak dengan perilaku antisosial
yang disengaja perlu dicurigai mengalami gangguan perilaku dan bukan ASD. Perbedaan lain
antara gangguan perilaku dan ASD terletak pada pola komunikasi sosial di usia dini yang normal
pada anak dengan gangguan perilaku.
Gangguan Kelekatan
Gangguan kelekatan memiliki dua macam bentuk yang perlu dibedakan dari ASD, yakni
gangguan kelekatan sosial tak terinhibisi dan gangguan kelekatan reaktif. Pada kedua bentuk
gangguan kelekatan tersebut, riwayat kesalahan pengasuhan, keteledoran fisik dan emosional
merupakan kunci dalam penegakan diagnosis. Anak dengan ASD atau gangguan kelekatan
memiliki kesamaan dalam perilaku abnormal saat dipisahkan dari dan didekatkan dengan
pengasuhnya serta tidak terlalu berespons terhadap bentuk distres lainnya. Namun, pada anak
dengan gangguan kelekatan reaktif, komunikasi sosial masih cukup baik walau anak bersikap
menghindar. Sementara itu, pada gangguan kelekatan sosial tak terinhibisi, perilaku intrusif
biasanya ditunjukkan oleh anak dan bertujuan untuk mencari perhatian orang lain selain
pengasuhnya. Hal ini dapat bermanifestasi, sebagai contoh, berupa sikap anak yang secara tiba-
tiba duduk di pangkuan orang dewasa sebagai upaya mencari perlindungan dan kenyamanan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang rutin tidak disarankan sebagai bagian dari evaluasi diagnostik pasien
yang dicurigai dengan autism spectrum disorder. Pemeriksaan radiologi, biomarker darah, dan
tes urine tidak disarankan untuk dilakukan secara rutin dalam menunjang diagnosis ASD.
Pemeriksaan genetik sesuai ketersediaan fasilitas kesehatan dapat dipertimbangkan apabila
terdapat tampilan dismorfik, kelainan kongenital, dan keterbatasan intelektual pada saat
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu, pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) boleh
dipertimbangkan apabila pasien dicurigai memiliki komorbiditas berupa epilepsi.
Pemeriksaan Genetik
Pemeriksaan genetik pada pasien yang dicurigai dengan ASD bertujuan untuk membantu
mengidentifikasi kondisi genetik lain yang mendasari ASD. Namun, keterbatasan bukti ilmiah
tentang efektivitas biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan genetik pada ASD menyebabkan
pemeriksaan ini tidak disarankan secara rutin. Hal tersebut juga berdampak pada variabilitas
jenis pemeriksaan genetik yang ditawarkan menurut beberapa panduan klinis terhadap pasien
yang dicurigai dengan ASD.
American College of Medical Genetics mengusulkan agar seluruh pasien dengan ASD menjalani
evaluasi genetik. Pemeriksaan genetik awal yang disarankan adalah chromosal
microarray (CMA). CMA menganalisis secara submikroskopik regio pada kromosom untuk
mencari apakah terdapat duplikasi atau delesi materi genetik pada regio tersebut. Pemeriksaan
CMA telah menggeser peran pemeriksaan kariotip sebagai pemeriksaan genetik awal.
Pemeriksaan kariotip bertujuan untuk menilai jumlah kromosom di bawah mikroskop serta
menganalisis apakah terdapat abnormalitas jumlah, bentuk, dan ukuran kromosom. Pemeriksaan
kariotip mungkin masih berguna apabila terdapat tampilan klinis yang mengarah pada sindrom
lain seperti sindrom Down atau Turner. Selain CMA, pemeriksaan genetik untuk
mendeteksi fragile x syndrome disarankan bagi seluruh pasien dengan keterbatasan intelektual
ringan hingga sedang.
Walau disarankan dilakukan pada seluruh pasien oleh American College of Medical Genetics,
penerapan rekomendasi ini di Indonesia harus mempertimbangkan ketersediaan pemeriksaan
tersebut dan juga harga pemeriksaan. Sebaiknya pemeriksaan genetik hanya dilakukan bila
terdapat tampilan dismorfik, kelainan kongenital, keterbatasan intelektual dan atau
sebagian genetic counselling.
Elektroensefalografi (EEG)
Mengingat anak dengan ASD memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami epilepsi
dibandingkan populasi umum, EEG pada evaluasi diagnosis ASD dapat dipertimbangkan pada
situasi klinis tertentu. Sebanyak 30% individu dengan ASD dapat menunjukkan hasil EEG yang
disertai dengan gelombang epileptiform namun tidak memerlukan terapi khusus kecuali terdapat
manifestasi epilepsi yang jelas. [53] Atas pertimbangan tersebut, EEG hanya diperlukan jika
pasien dengan ASD dicurigai memiliki komorbiditas berupa epilepsi.
Kondisi lain yang mungkin memerlukan peran EEG sebagai pemeriksaan penunjang pilihan
adalah sindrom Landau-Kleffner. Sindrom ini patut dicurigai apabila pasien berusia di atas 3
tahun datang dengan manifestasi ensefalopati epileptik yang bervariasi mulai dari ataksia, regresi
kognitif dan bahasa. Sindrom Landau-Kleffner sangat langka, yakni hanya 3 dari 1000 kasus
terdiagnosis pada anak dengan ASD dan hasil EEG abnormal. Namun, kurangnya penelitian
yang cukup mapan untuk mengarahkan diagnosis sindrom Landau-Kleffner memaksa perlunya
pemeriksaan EEG apabila pasien datang dengan manifestasi autisme regresif pada usia di atas 3
tahun, khususnya yang disertai regresi motorik dan bahasa.
TATALAKSANA
Langkah yang perlu dilakukan dokter umum berupa pengumpulan informasi dari pengasuh
utama atau orang tua diikuti dengan pemeriksaan fisik tumbuh kembang anak. Informasi yang
perlu dikumpulkan dari pengasuh utama atau orang tua adalah sebagai berikut :
Riwayat persalinan
Jika terdapat kecurigaan anak mengalami ASD, dokter dapat menggunakan instrumen skrining
seperti Modified-Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) yang diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia. M-CHAT merupakan instrumen skrining yang valid dalam mengenali tanda dan
gejala autisme pada anak berusia 18-24 bulan.
Merujuk Pasien Autistic Spectrum Disorder
Hasil pengumpulan informasi dari orang tua dan pemantauan tumbuh kembang serta hasil
skrining ASD menjadi dasar pembuatan surat rujukan pasien untuk penilaian lanjutan dari tim
penanganan ASD. Surat rujukan sebaiknya juga didampingi dengan surat persetujuan dari orang
tua atau wali yang menyatakan memberikan izin agar dilakukan evaluasi lanjutan terhadap
kemungkinan adanya ASD serta pengumpulan informasi pada situasi lain, misalnya saat anak
berinteraksi dengan teman atau guru di sekolah, guna memperoleh gambaran klinis yang lebih
lengkap.
Peran Tim Multidisipliner pada Tata Laksana Jangka Panjang
Walaupun diagnosis ASD dapat ditegakkan oleh seorang dokter spesialis anak yang kompeten
dalam menangani pasien dengan ASD, pendekatan multidisipliner dengan melibatkan
profesional di bidang lain tetap merupakan pilihan yang ideal. Sebuah tim multidisipliner yang
menangani pasien dengan ASD dapat memberikan profil lengkap yang memetakan kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki individu dengan ASD sehingga perencanaan tata laksana jangka
panjang dapat dilakukan.
Komposisi tenaga ahli yang terlibat dalam tim penanganan ASD dapat bervariasi dan bergantung
pada ketersediaan sumber daya manusia di rumah sakit. Dokter spesialis anak yang mendapat
pelatihan khusus dalam penanganan pasien ASD dapat melakukan penilaian medis umum dan
mengidentifikasi adanya komorbiditas lain yang menyertai ASD. Seorang audiolog dapat
membantu mengevaluasi fungsi pendengaran yang dapat berkontribusi terhadap manifestasi
keterlambatan perkembangan.Ahli terapi okupasi berperan dalam menilai kemampuan motorik
halus dan kasar serta proses sensorik. Seorang psikolog dapat merencanakan evaluasi
perkembangan dan kognitif yang sesuai serta membantu perencanaan terapi perilaku. Ahli
gangguan bicara dan bahasa dapat mengevaluasi adanya masalah bahasa ekspresif dan reseptif
serta mempersiapkan rencana tata laksana yang sesuai.
Intervensi dini yang diperantarai orang tua atau pengasuh biasanya tidak terlalu mengganggu
aktivitas sehari-hari anak dan orang tua. Intervensi tersebut juga umumnya terjangkau dari segi
biaya, dapat dilakukan di klinik dan rumah, baik secara individu maupun berkelompok. Bentuk
intervensi yang tergolong dalam kategori ini antara lain Developmental Individual-Difference
Relationship-Based Model (DIR), Early Social Interaction (ESI), Early Start Denver
Model (ESDM), Joint Attention Symbolic Play Engagement and Regulation (JASPER),
dan Preschool Autism Communication Trial (PACT).
Di sisi lain, dampak strategi intervensi dini yang dilakukan orang tua mungkin tidak selalu
terlihat. Sejauh ini belum ada penelitian yang membandingkan perbedaan intensitas intervensi
maupun jenis intervensi terhadap luaran keparahan ASD. Hal lain yang juga turut berpengaruh
pada respons anak terhadap intervensi yang diberikan adalah derajat keparahan ASD pada
kondisi awal terdiagnosis serta usia pasien yang terlalu besar saat terdiagnosis.
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi seperti obat antipsikotik, antidepresan, dan antikonvulsan tidak boleh
digunakan secara rutin untuk mengatasi ASD. Terapi farmakologi dapat dipertimbangkan apabila
terdapat gangguan psikiatri lain yang menyertai ASD.
Risperidone dan aripiprazole dapat membantu memperbaiki gejala iritabilitas dan agitasi pada
anak-anak dan remaja dengan ASD. Kedua obat ini tergolong dalam antipsikosis atipikal yang
dapat mengurangi gejala agresi, menyakiti diri, dan gangguan disruptif pada sebagian besar
pasien ASD. Namun, risperidone dan aripiprazole juga dapat menimbulkan efek samping yang
patut diwaspadai seperti efek sedasi dan penambahan berat badan.
Anak dengan ASD yang disertai epilepsi maupun kelainan neurologis lainnya perlu mendapat
penanganan yang serupa untuk penyakit penyerta tersebut seperti halnya anak tanpa ASD.
Hingga kini belum ada uji klinis yang mengevaluasi strategi pemberian terapi farmakologi pada
anak dengan ASD yang disertai epilepsi, gangguan cemas, dan gangguan mood. Oleh sebab itu,
pendekatan yang mungkin dilakukan pada subgrup pasien ASD semacam ini adalah dengan
menerapkan strategi pengobatan untuk epilepsi, gangguan cemas, dan gangguan mood
sebagaimana yang berlaku bagi anak tanpa ASD berupa pemberian antikonvulsan
seperti carbamazepine atau phenytoin.
Pada prinsipnya, evaluasi klinis untuk mengenali berbagai komplikasi yang mungkin terjadi pada
ASD dapat semakin memperpanjang waktu yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis sejak
rujukan ke dokter spesialis dilakukan. Pemeriksaan klinis tambahan, termasuk rujukan ke unit
lain, untuk menegakkan diagnosis komplikasi ASD dapat dibenarkan apabila terdapat manfaat
kesehatan yang diperoleh dari deteksi dini berbagai kondisi tersebut. Namun, hingga kini belum
ada studi efektivitas biaya yang mendukung atau menyangkal perlunya identifikasi dini penyakit
penyerta ASD. Di sisi lain, semua komplikasi yang menyertai ASD tersebut memiliki terapi
spesifik yang secara klinis terbukti bermanfaat bagi penderitanya. Dengan demikian, evaluasi
berbagai komplikasi ASD boleh dilakukan apabila terdapat penilaian klinis yang mendukung
perlunya hal tersebut agar pasien segera mendapatkan penanganan yang tepat.
Prognosis
Karakteristik yang dianggap menentukan prognosis jangka panjang individu dengan autism
spectrum disorder antara lain kemandirian hidup, status pekerjaan, hubungan pertemanan, dan
kemampuan untuk menikah.
Dampak Autism Spectrum Disorder terhadap Kemandirian
Di masa lampau, hampir separuh anak-anak yang terdiagnosis ASD mengalami perawatan secara
intensif sehingga dahulu kondisi ini sering dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Namun, bukti
terbaru menunjukkan bahwa sekitar 12% individu dengan ASD dan tingkat kecerdasan > 70
mampu hidup secara mandiri.
Sementara itu, sekitar 60% individu dengan ASD tidak mampu menyelesaikan pendidikan
formal. Dari 40% pasien ASD yang menyelesaikan pendidikan hingga pendidikan tinggi, tingkat
pengangguran masih cukup tinggi dan mencapai 76% yang juga ditandai dengan tingkat
perpindahan pekerjaan yang cukup tinggi pada populasi ini. Di sisi lain, sebagian besar aktivitas
yang bertujuan untuk meningkatkan integrasi sosial individu dengan ASD biasanya diinisiasi
oleh keluarga atau pekerja sosial. Walaupun demikian, sekitar 5-10% individu dengan ASD
mampu mencari pasangan dan menikah serta memiliki hubungan yang baik dengan pasangan
dalam jangka waktu yang lama.
Dibandingkan dengan populasi umum, individu dengan ASD memiliki angka harapan hidup
yang lebih rendah. Perbedaan angka harapan hidup ini mungkin berkaitan dengan tingkat
keparahan disabilitas dan adanya penyakit penyerta seperti epilepsi maupun kejadian kecelakaan
yang menimpa individu dengan ASD. Di sisi lain, hambatan interaksi sosial yang dimiliki
individu dengan ASD membantu menghindari populasi ini dari kebiasaan buruk yang dapat
dipengaruhi oleh lingkungan pertemanan, misalnya penyalahgunaan substansi
seperti alcohol use disorder, merokok, dan penggunaan narkoba, zat psikoaktif, atau zat adiktif
lainnya (NAPZA).
CEREBRAL PALSY
Cerebral palsy adalah kumpulan gejala yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
bergerak, mempertahankan keseimbangan, dan tonus otot. Cerebral palsy adalah gangguan
motorik yang paling sering terjadi pada masa kanak-kanak, dan disabilitas yang timbul akan
berlangsung seumur hidup.
EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi cerebral palsy menunjukkan bahwa penyakit ini adalah penyebab disabilitas
tertinggi pada anak.
Global
Secara global, prevalensi cerebral palsy berkisar antara 1,5–4 kasus per 1000 kelahiran hidup.
Cerebral palsy lebih umum terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Tipe cerebral palsy
yang paling banyak ditemukan adalah tipe spastik (77,4%). Di Amerika Serikat, sebanyak 41%
anak dengan cerebral palsy juga memiliki komorbiditas epilepsi, dan 6,9% memiliki autism
spectrum disorder (ASD).
Indonesia
Data epidemiologi cerebral palsy di Indonesia masih terbatas. Data Riset Kesehatan Dasar
Republik Indonesia tahun 2010 mencatat persentase anak usia 24-59 bulan yang mengalami
cerebral palsy sebesar 0,09%.
Mortalitas
Angka harapan hidup pasien dengan cerebral palsy sangat bergantung pada beratnya disabilitas
yang dialami. Pada pasien dengan disabilitas yang ringan, angka kesintasan mirip dengan
populasi umum. Mortalitas meningkat seiring dengan peningkatan variasi dan tingkat disabilitas.
Pada penelitian di Australia, penyebab mortalitas utama adalah gangguan respirasi (58,6%),
terutama pneumonia (82%). Mortalitas pada pasien dengan disabilitas yang berat adalah 20%
pada usia 4 tahun.
ETIOLOGI
Etiologi cerebral palsy adalah perkembangan abnormal atau kerusakan pada otak infant atau
fetus. Cedera pada jaringan otak cerebral palsy bersifat nonprogresif dan dapat timbul pada masa
prenatal, perinatal, atau post natal.
Prematuritas
Intrauterine growth restriction
Ibu yang merokok, mengonsumsi alkohol dalam jumlah besar, atau mengonsumsi obat-
obatan seperti kokain
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi cerebral palsy, secara garis besar, diduga melibatkan gangguan suplai oksigen pada
fetus atau asfiksia otak. Hal ini menyebabkan kematian sel dan kehilangan proses sel sebagai
respon terhadap sitokin proinflamasi, stres oksidatif, dan pelepasan glutamat yang berlebihan,
kemudian memicu kaskade eksitotoksik.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi timbulnya gangguan suplai oksigen fetus, yaitu.
Faktor intrauteri: intrauterine growth restriction (IUGR), gangguan vaskuler plasenta,
infeksi intrauteri, dan kelainan kongenital
Kejadian peripartum: abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan asfiksia
Kejadian pada periode neonatal: perdarahan intraventrikuler, leukomalasia
periventrikel, sepsis, stroke neonatal
Kelainan kongenital lebih jarang teridentifikasi menyebabkan cerebral palsy. Pada kebanyakan
kasus, cerebral palsy melibatkan faktor lingkungan dan kerentanan genetik, dan dapat sangat
berat hingga menyebabkan cedera destruktif yang mampu diidentifikasi pada pemeriksaan
pencitraan (misalnya MRI dan USG kepala). Kelainan umumnya ditemukan pada white
matter pada infant preterm; serta di grey matter atau nuclei batang otak pada infant aterm.
Gangguan yang terjadi pada otak yang masih sangat imatur, akan menghambat perkembangan
selanjutnya.
DIAGNOSIS
Diagnosis cerebral palsy ditegakkan utamanya dari penggalian riwayat pasien dan temuan
pemeriksaan fisik.
Anamnesis
Anamnesis perlu difokuskan pada identifikasi faktor risiko dan kemungkinan etiologi.
Anamnesis perlu mencakup detil riwayat prenatal, persalinan, serta riwayat pertumbuhan dan
perkembangan. Riwayat perkembangan yang ditanyakan terutama adalah perkembangan
motorik, dimana pada cerebral palsy akan didapat keterlambatan.
Spastisitas
Dystonia
Kelemahan otot
Inkoordinasi
Hiperrefleks
Tanda spesifik paling jelas terlihat pada usia 3-5 tahun, namun beberapa tanda dapat terlihat
sejak bayi. Tanda yang dapat dikenali sejak dini antara lain:
Tanda neurobehavioral: iritabilitas yang berlebihan, letargi, sulit tidur, sering muntah,
sulit digendong, dan gangguan atensi visual
Refleks primitif: refleks primitif akan persisten, yang menunjukkan lesi pada upper
motor neuron. Dapat ditemukan postur opistothonus pada anak dan ekstensi tungkai
bawah yang persisten
Postur dan tonus otot: tonus dapat menurun, normal, atau meningkat. Kontrol otot kepala
buruk, mengepalkan tangan berulang kali, dan grimacing dapat terjadi akibat tonus otot
yang abnormal pada ekstremitas
Tabel 2. Tanda Awal Cerebral Palsy
Bayi 3-6 bulan:
Kepala sering terjatuh apabila diangkat dalam posisi terlentang
Kaku
Meraih barang hanya dengan satu tangan dan tangan lain menggenggam
Bayi usia >10 bulan:
Saat merangkak, hanya salah satu tangan dan kaki yang bergerak, menciptakan gerakan
merangkak yang berputar
Sindrom cerebral palsy dapat dibagi menjadi 4 yaitu predominan spastik, predominan dyskinesia,
predominan ataxia, atau kombinasi. Cerebral palsy predominan spastik merupakan kelainan yang
paling sering terjadi. Tipe spastik dibagi lagi menjadi spastik diplegia, kuadriplegia, dan
hemiplegia.
Spastik Diplegia:
Spastik diplegia merupakan kelainan cerebral palsy yang paling sering terjadi (35%). Tipe ini
disebabkan oleh leukomalasia periventrikuler dan periventricular hemorrhagic infarction.
Terjadi gangguan pada traktus kortikospinal dan thalamokortikal yang menyebabkan gangguan
motorik pada ekstremitas bawah. Hal pertama yang dapat diamati pada spastik diplegia adalah
anak cenderung merangkak dengan menyeret kedua kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan spastisitas dengan peningkatan refleks, klonus, dan tanda Babinski positif. Gangguan
pada white matter dapat menyebabkan masalah visual pada anak. Perkembangan intelektualitas
cenderung tidak mengalami gangguan.
Spastik Kuadriplegia:
Spastik kuadriplegia mencakup 20% dari tipe cerebral palsy yang terjadi. Tipe ini merupakan
yang paling berat dan berhubungan dengan gangguan motorik pada seluruh ekstremitas,
disabilitas intelektual, gangguan bahasa, kesulitan makan, serta kejang. Spastik kuadriplegia
disebabkan oleh leukomalasia periventrikuler berat dan ensefalomalasia multikistik. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tonus otot dan spastisitas pada seluruh ekstremitas dan
penurunan gerakan spontan. Pada akhir masa kanak-kanak dapat terjadi kontraktur pada lutut dan
siku. Tipe ini memiliki prognosis yang buruk untuk dapat melakukan aktivitas secara mandiri.
Spastik Hemiplegia:
Spastik hemiplegia terjadi pada 25% kasus cerebral palsy. Umumnya disebabkan oleh stroke in
utero atau perinatal. Terjadi penurunan gerakan spontan pada sisi yang mengalami gangguan,
terutama pada lengan. Spastisitas pada pergelangan kaki menyebabkan deformitas ekuinovarus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan reflex tendon dalam, klonus, tanda Babinski
positif, dan kelemahan pada tangan dan dorsofleksor kaki. Kebanyakan anak dengan spastik
hemiplegia memiliki kemampuan kognitif yang baik dan dapat hidup mandiri.
Ekstrapiramidal:
Cerebral palsy tipe ini dikenal juga dengan tipe athetoid atau diskinetik. Tipe ekstrapiramidal
mencakup 15-20% pasien cerebral palsy dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi tipe
koreo-athetoid dan distonik. Tipe koreo-athetoid memiliki karakteristik gerakan abnormal
involunter yang cepat pada wajah, otot bulbar, ekstremitas proksimal, dan jari. Sedangkan, pada
tipe dystonia terjadi kontraksi otot agonis dan antagonis yang bersamaan.
Pada pasien yang lahir dengan spinal muscular atrophy, akan terlihat floppy dan mengalami
kelemahan yang progresif tanpa disertai spastisitas, namun dapat terjadi kontraktur. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan analisis DNA, electromyography (EMG), dan biopsi otot.
Dystonia Familial
Pada dystonia familial, terjadi deformitas otot setelah beberapa tahun perkembangan yang
normal. Pasien dengan penyakit ini mengalami kontraksi otot yang bertahan selama beberapa
saat dan dystonia tanpa kontraktur. Dapat terlihat gerakan yang cepat dan mendadak. Dystonia
familial bersifat diturunkan dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan genetik molekuler.
Defisiensi Arginase
Pada pasien dengan kondisi ini, terjadi spastik displegia yang progresif dan dementia pada masa
mendatang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serum asam amino arginine
yang meningkat drastis dan peningkatan kadar ammonia.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada anak dengan cerebral palsy meliputi magnetic
resonance imaging (MRI) otak, ultrasonografi (USG) kranial, elektroensefalografi (EEG), dan
EMG. Pemeriksaan laboratorium tidak secara definitif mendiagnosis cerebral palsy, namun
membantu menyingkirkan diagnosis banding.
MRI
Sekitar 85% anak dengan cerebral palsy akan menunjukan kelainan dalam pemeriksaan MRI.
Pemeriksaan MRI memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CT scan dalam
mengidentifikasi kelainan otak. Kelainan dalam MRI yang prediktif terhadap cerebral palsy
adalah cedera pada white matter baik akibat leukomalasia atau infark periventrikuler, lesi pada
kortikal dan gray matter, serta kelainan perkembangan otak (schizencephaly, dysplasia kortikal,
polimikrogria, lissencephaly, atau pachygyria).
CT Scan
Pemeriksaan USG dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan neurologis terkait maturasi otak.
Penemuan ventrikulomegali dan echolucency pada USG prediktif terhadap cerebral palsy.
Cedera pada white matter, seperti periventrikuler leukomalasia dan perdarahan intraventrikuler
juga dapat ditemukan dengan USG.
USG memiliki beberapa keterbatasan, seperti sensitivitas yang rendah terhadap kelainan whiter
matter difus yang dapat terdeteksi dengan MRI, ketidakmampuan memvisualisasikan struktur
kortikal dan cerebellum dengan baik, serta ketergantungan terhadap fontanel yang paten untuk
menilai white matter periventrikel.
Elektroensefalografi (EEG)
EEG wajib dilakukan pada anak dengan riwayat kejang atau apabila anak tidak mencapai
perkembangan sesuai dengan standar yang berlaku. Tujuan utama EEG adalah mendeteksi
adanya epilepsi serta membantu menentukan jenis dan penyebabnya.
Elektromiografi (EMG)
EMG dan tes konduksi saraf dilakukan untuk membantu menemukan gangguan otot atau
persarafan.
Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan fungsi tiroid: gangguan tiroid dapat menyebabkan gangguan tonus otot
Kadar ammonia: Peningkatan ammonia berkaitan dengan gangguan hati atau gangguan
siklus urea
Pemeriksaan genetik: dilakukan pada pasien dengan klinis dismorfik, malformasi otak,
riwayat keluarga dengan cerebral palsy, atau riwayat konsanguinitas
Pungsi lumbal: dilakukan pada pasien dengan kejang refrakter yang belum diketahui
penyebabnya untuk menemukan gangguan neurotransmitter atau defisiensi transporter
glukosa. Selain itu, kadar protein serebrospinal dapat membantu menentukan asfiksia
pada neonatus. Pada bayi asfiksia, didapatkan kadar protein dan rasio laktat-piruvat yang
meningkat
Klasifikasi Fungsional Cerebral Palsy
Terdapat 4 sistem klasifikasi fungsional yang digunakan untuk menilai terapi yang diperlukan
pasien:
Hand-arm intensive bimanual training: Latihan bimanual diberikan pada pasien dengan
spastik hemiplegia. Pada terapi ini, anak dilatih untuk menggunakan kedua tangan secara
repetitif
Constraint induced movement therapy: Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki fungsi
tangan dengan cara melatih sisi yang terpengaruh dan menggunakan pengekang pada sisi
yang dominan. Latihan ini efektif dilakukan untuk semua usia
Context focused therapy: Terapi ini memberikan fokus pada penyesuaian lingkungan dan
target fungsional kepada kemampuan anak. Dengan mengubah faktor lingkungan dan
penyesuaian tugas, diharapkan pasien mampu melakukan aktivitas yang tidak dapat
dilakukan sebelumnya
Goal directed therapy: Terapi ini dilakukan dengan pendekatan pembelajaran motorik
berdasarkan target aktivitas yang ditetapkan pasien
Tata laksana Spastisitas
Tata laksana spastisitas penting dilakukan untuk mencegah dan memperbaiki tulang dan
deformasi sendi, mengurangi nyeri, serta memperbaiki status fungsional pasien. Pilihan terapi
yang dapat diberikan adalah terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Intervensi nonfarmakologi
meliputi fisioterapi, terapi okupasional, penggunaan peralatan adaptif dan ortosis, intervensi
ortopedi, dan selective dorsal rhizotomy.
Fisioterapi
Fisioterapi merupakan salah satu terapi yang paling utama pada anak dengan disabilitas motorik.
Tujuan utama fisioterapi adalah meningkatkan kekuatan motorik sesuai prioritas pasien dan
keluarga. Untuk memberikan latihan motorik yang maksimal, pasien harus secara aktif berperan
dalam terapi. Terapi yang dilakukan sebaiknya memberikan intensitas yang sesuai dan
menantang.
SDR bertujuan untuk mengurangi spastisitas dengan cara memisahkan bagian dari akar
lumbosakral dorsalis. SDR dilakukan pada pasien cerebral palsy dengan Gross Motor Function
Classification System (GMFCS) II dan III, berusia 4-7 tahun, memiliki kemampuan kognitif,
berkeinginan untuk berjalan, serta memiliki kekuatan dan kontrol motorik ekstremitas bawah dan
dystonia minimal. Tindakan ini secara signifikan mengurangi kebutuhan injeksi toksin botulinum
dan operasi ortopedi, namun mampu menyebabkan beberapa efek samping seperti gangguan
proprioseptif, disfungsi pencernaan dan saluran kemih, hipotonia, nyeri punggung persisten, atau
deformitas.
Intervensi Ortopedi
Kelainan muskuloskeletal progresif yang dapat terjadi pada pasien dengan cerebral palsy
membutuhkan intervensi ortopedi. Tindakan intervensi ini bertujuan untuk memperbaiki
deformitas yang disebabkan oleh aktivitas otot yang berlebihan. Pada kondisi spasme ekstremitas
bawah atau dislokasi panggul, dapat dipertimbangkan tindakan yang mengurangi spasme otot
seperti tenotomi adduktor, atau transfer psoas. Tenotomi tendon Achilles dilakukan pada pasien
spastik hemiplegia dengan tight heel cord.
Penggunaan Orthosis Dan Alat Bantu
Orthosis dan alat bantu adaptif bertujuan untuk meningkatkan kemampuan beraktivitas dan
fungsional pasien. Alat bantu yang diberikan misalnya kursi roda, alat bantu dengar, orthosis,
dan tungkai artifisial. Orthosis akan membantu meningkatkan kekuatan ekstremitas bawah pada
kasus deformitas equinus dan membantu pasien berjalan.
Tata Laksana Kontraktur
Kontraktur pada pasien dengan cerebral palsy terjadi akibat hipertonia otot. Otot dan tendon
tidak mampu memanjang dan menyesuaikan dengan pertumbuhan tulang. Otot yang melewati 2
sendi lebih rentan terhadap kontraktur, sehingga beberapa prosedur bedah membuat otot dengan
2 sendi berfungsi seperti otot dengan 1 sendi.
Dislokasi sendi panggul dapat dihindari tanpa melakukan tindakan bedah. Perlu dilakukan
pemeriksaan berkala dan pemeriksaan radiologi untuk mengidentifikasi masalah sejak dini.
Demikian pula dengan skoliosis, karena skoliosis dapat berkembang dengan cepat sejak usia
muda pada pasien dengan spastisitas bilateral yang berat. Tindakan bedah untuk memperbaiki
skoliosis adalah dengan fusi T2-pelvis Tindakan total hip arthroplasty dapat memperbaiki
integritas dan fungsi dari sendi dan mengurangi nyeri akibat gangguan sendi
Terapi Farmakologi
Beberapa obat dapat diberikan untuk mengatasi spastisitas, namun terdapat risiko efek samping
seperti sedasi dan penurunan ambang kejang.
Injeksi toksin botulinum dapat diberikan pada kelompok otot yang mengalami spastisitas
dan kelenjar saliva untuk mengurangi drooling. Dosis yang biasanya diberikan adalah 4-
16 U/kg
Prognosis cerebral palsy bergantung tingkat disabilitas yang terjadi, seperti perkembangan
kemampuan motorik, tipe spastisitas, dan kemampuan kognitif.
Komplikasi
Cerebral palsy dapat menimbulkan komplikasi yang cukup banyak. Komplikasi yang
ditimbulkan harus ditangani bersamaan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Sebanyak 25-29% pasien dewasa dengan cerebral palsy mengalami gangguan penglihatan dan 8-
18% mengalami gangguan pendengaran. Gangguan penglihatan yang umum adalah strabismus,
nystagmus, dan atrofi optik. Skrining penglihatan dapat dilakukan pada 48 jam pertama setelah
lahir pada bayi cukup bulan. Skrining pendengaran dilakukan saat bayi lahir dan setiap 6 bulan
hingga usia 3 tahun.
Epilepsi
Epilepsi merupakan gejala gangguan fungsi otak yang sering ditemukan dan dapat menyebabkan
kerusakan otak apabila berlangsung lebih dari 30 menit. Epilepsi dapat terjadi pada 40-50%
pasien cerebral palsy.
Pasien yang rentan mengalami epilepsi adalah pasien dengan profil klinis asfiksia, usia gestasi
kurang bulan, proses persalinan dengan tindakan, berat lahir rendah, riwayat infeksi susunan
saraf pusat, kejang neonatal, kejang pertama pada usia ≤1 tahun, riwayat epilepsi dalam
keluarga, kelainan lingkar kepala, kelainan CT scan kepala, dan kelainan EEG.
Gangguan Kesehatan Mental
Selain defisit kognitif, pasien dengan cerebral palsy juga dapat memiliki komorbid psikiatrik
seperti masalah emosional dan perilaku, gangguan cemas, depresi, atau gangguan tidur. Masalah
kesehatan mental tidak hanya dialami oleh pasien, tetapi juga oleh orang tua.
Identifikasi gangguan perilaku dan emosi negatif penting dilakukan dalam konseling dan terapi.
Gangguan tidur yang dialami pasien diintervensi sebelum menyebabkan masalah akademik dan
perilaku. Edukasi mengenai gangguan tidur meliputi sleep hygiene dan penanganan terhadap
spastisitas.
Nyeri
Nyeri terjadi pada 50-75% pasien dengan cerebral palsy dan 25% di antaranya mengalami nyeri
yang membatasi aktivitas. Nyeri menurunkan kualitas hidup pasien dan menurunkan partisipasi
pasien dalam kehidupan sosial. Beberapa penyebab nyeri antara lain dystonia, subluksasi sendi
panggul, konstipasi, atau refluks gastroesofageal.
Gangguan Komunikasi
Defisit kognitif yang dialami pasien dapat menghambat komunikasi. Kemampuan berkomunikasi
dapat ditingkatkan dengan terapi wicara, penggunaan simbol Bliss, atau bantuan teknologi
seperti penggunaan kecerdasan buatan dan alat penghasil suara.
Gangguan Berkemih
Mobilisasi yang terbatas membuat pasien dengan cerebral palsy rentan mengalami ulkus
dekubitus. Terapi pada pasien bertujuan untuk mengurangi tekanan pada daerah yang mengalami
cedera dengan dilakukan perubahan posisi berkala, pemberian dressing profilaksis, atau alas
yang dapat mengurangi tekanan.
Osteoporosis
Asupan nutrisi yang buruk, penurunan kekuatan otot, paparan sinar matahari yang kurang, dan
pemberian antikonvulsan berperan dalam menimbulkan osteoporosis. Diperkirakan 80-90%
pasien memiliki densitas tulang yang rendah dan berisiko menyebabkan fraktur patologis,
terutama pada femur. Pemeriksaan dual energy x-ray absorptiometry dapat dilakukan untuk
memastikan diagnosis pada pasien dengan risiko tinggi. Beberapa suplemen yang dapat
diberikan adalah kalsium, vitamin D, dan bifosfonat.
Gangguan Gastrointestinal
Gangguan pada sistem gastrointestinal dapat terjadi akibat gangguan motilitas saluran cerna,
imobilisasi, dan asupan nutrisi yang kurang, sehingga menyebabkan muntah, konstipasi, refluks
gastroesofageal, dan obstruksi saluran cerna. Pemberian obat pencahar dapat dilakukan. Selain
itu, dilakukan pembersihan saluran cerna dan peningkatan asupan cairan dan serat.
Drooling
Kemampuan makan harus dinilai setiap bulan selama 3-4 bulan, termasuk status gizi pasien.
Apabila terdapat gangguan, perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti pemberian teknik dan
latihan menelan, pemberian makanan yang lunak atau cairan, dan pemberian nutrisi secara
alternatif dengan pemasangan pipa nasogastrik atau operasi gastrostomi pada kasus yang berat.
Prognosis
Cerebral palsy merupakan kondisi seumur hidup. Anak yang mendapatkan intervensi dini dan
penanganan medis yang baik akan tumbuh dewasa dengan angka kesintasan 90% hingga usia 20
tahun. Sebanyak 2 dari 3 anak dengan cerebral palsy dapat mandiri dengan atau tanpa bantuan, 3
dari 4 anak dapat berbicara, dan 1 dari 2 anak memiliki kemampuan kognitif yang normal.