Teori struktur modal ini penting karena : 1) setiap ada perubahan struktur modal akan
mempengaruhi biaya modal secara keseluruhan, hal ini disebabkan masing-masing jenis modal
mempunyai biaya modal sendiri-sendiri. 2). Besarnya biaya modal secara keseluruhan ini,
nantinya akan digunakan sebagai cut of rate pada pengambilan keputusan investasi, oleh karena
itu kebijakan struktur modal akan mempengaruhi keputusan investasi.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan struktur modal:
1. Suitability atau kesesuaian.
Suitability merupakan kesesuaian antara cara pemenuhan dana dengan jangka waktu
kebutuhannya. Jika yang dibutuhkan perusahaan dana jangka pendek, apabila didanai
dengan hutang jangka panjang atau dengan menambah modal sendiri berarti kurang sesuai.
Cara pemenuhan dana, sebaiknya disesuaikan dengan jangka waktu kebutuhannya artinya
jika kebutuhan dana berjangka pendek, maka sebaiknya dipenuhi dari sumber dana jangka
pendek dan jika kebutuhan dana berjangka panjang sebaiknya dipenuhi dari sumber dana
jangka panjang.
2. Control atau pengawasan.
Pengawasan atau pengendalian perusahaan ada di tangan para pemegang saham.
Manajemen perusahaan mengemban tugas untuk menjalankan hasil keputusan rapat para
pemegang saham. Suatu perusahaan biasanya dimiliki oleh beberapa pemegang saham
saja, sehingga jika diperlukan tambahan dana perlu dipertimbangkan apakah fungsi
pengawasan dari pemilik lama tidak akan terkurangi. Dengan pertimbangan tersebut para
pemilik lama lebih menginginkan menambah hutang atau mengeluarkan obligasi dibanding
dengan menambah saham atau modal sendiri.
3. Earning per share atau laba per lembar saham
Memilih sumber dana apakah dari pinjaman atau hutang maupun dari saham baru, secara
finansial harus yang bisa menghasilkan keuntungan bagi para pemegang saham atau
earning per share lebih besar.
4. Risknes atau Tingkat risiko
Modal pinjaman atau hutang merupakan sumber dana yang mempunyai risiko tinggi, sebab
bunga harus tetap dibayar pada saat perusahaan memperoleh laba maupun saat mengalami
kerugian. Jika laba yang diperoleh perusahaan besar, penggunaan hutang lebih baik sebab
akan menghasilkan EPS lebih besar, namun jika laba yang diperoleh kecil maka penggunaan
hutang sangat berisiko. Semakin besar penggunaan dana dari hutang mengindikasikan
perusahaan mempunyai tingkat risiko semakin besar.
Pemenuhan kebutuhan dana perusahaan dari sumber modal sendiri berasal dari modal
saham, laba ditahan dan cadangan. Jika dalam pendanaan yang berasal dari modal sendiri masih
mengalami kekurangan (defisif) maka perlu dipertimbangkan pendanaan yang berasal dari luar
perusahaan, yaitu dari hutang (debt financing). Namun dalam pemenuhan kebutuhan dana,
perusahaan harus mencari alternatif-alternatif pendanaan yang efisien. Pendanaan yang efisien
akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal
dapat diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan biaya penggunaan modal
keseluruhan atau biaya modal rata-rata (ko), sehingga akan memaksimalkan nilai perusahaan.
Struktur modal yang optimal terjadi pada leverage keuangan sebesar x, di mana ko (tingkat
kapitalisasi perusahaan atau biaya modal keseluruhan) minimal yang akan memberikan harga
saham tertinggi. Leverage keuangan merupakan penggunaan dana di mana dalam penggunaan
dana tersebut perusahaan harus mengeluarkan beban tetap (biaya bunga). Leverage keuangan ini
merupakan perimbangan penggunaan hutang dengan modal sendiri dalam suatu perusahaan.
Leverage Keuangan
dimana:
ki
= Return dari obligasi
I
= Bunga hutang obligasi
tahunan
B
= Nilai pasar obligasi yang
beredar
2. Rumus untuk menghitung return saham biasa:
ki =
dimana:
ke
= Return dari saham biasa
E
= Laba untuk pemegang saham biasa
S
= Nilai pasar saham biasa yang
beredar
ke =
dimana:
ko
= Return bersih perusahaan
(sebesar biaya modal rata-rata minimal)
O
= Laba operasi bersih Operasi
(EBIT)
V
= Total nilai perusahaan
ko =
dimana:
ko
= Biaya rata-rata tertimbang
(sebesar biaya modal rata-rata minimal)
O
= Laba operasi bersih Operasi
(EBIT)
V
= Total nilai perusahaan
ko =
Perlu diketahui bahwa nilai perusahaan sama dengan nilai pasar obligasi ditambah nilai
pasar saham atau V = B + S, dimana B = nilai pasar Obligasi atau Hutang, sedangkan S = nilai
pasar modal sendiri. ko merupakan tingkat kapitalisasi total perusahaan dan diartikan sebagai
rata- rata tertimbang biaya modal, sedangkan kd merupakan Biaya hutang atau tingkat bunga, oleh
karena itu ko dapat dirumuskan sebagai berikut:
ko = ki
+ ke
B S
B S
atau
ko = k i
+ kd
B S
B S
Apakah terjadi perubahan ki, ke, dan ko apabila leverage keuangan mengalami perubahan
dapat dianalisis dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan laba operasi bersih, pendekatan
tradisional dan pendekatan Modigliani - Miller yang akan dibahas pada bahasan berikutnya.
2.1. Pendekatan Laba Operasi Bersih (Net Operating Income Approach)
Pendekatan laba operasi bersih dikemukakan oleh David Durand Tahun 1952. Pendekatan
ini menggunakan asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan
hutang perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang bersifat
konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan. Dengan demikian, pertama,
diasumsikan bahwa biaya hutang konstan. Kedua, penggunaan hutang yang semakin besar oleh
pemilik modal sendiri dilihat sebagai peningkatan risiko perusahaan. Artinya apabila perusahaan
menggunakan hutang yang lebih besar, maka pemilik saham akan memperoleh bagian laba yang
semakin kecil, oleh karena itu tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik modal sendiri
akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan. Akibatnya biaya modal rata-rata
tertimbang akan berubah. Untuk melihat dampak atau pengaruh laba operasi bersih terhadap nilai
perusahaan, lihat contoh berikut::
Contoh 1.
Suatu perusahaan mempunyai hutang sebesar Rp. 8.000.000,- dengan tingkat bunga sebesar
15%. Laba operasi bersih Rp. 8.000.000,- dengan tingkat kapitalisasi total sebesar 20%, dan
saham yang beredar sejumlah 10.000 lembar. Maka dari data di atas nilai perusahaan adalah:
Keterangan
Laba operasi bersih
(O)
Nilai
(ko)
(V)
(B)
(S)
Rp. 8.000.000
20%
Rp. 40.000.000
Rp. 8.000.000
Rp. 32.000.000
= Rp. 8.000.000 (15% x 8.000.000) = Rp. 8.000.000 Rp. 1.200.000 = Rp. 6.800.000,Sahingga tingkat return modal sendiri yang disyaratkan, ke adalah:
E
6.800.000
ke =
=
= 21,25%
32.000.000
S
32.000.000
Harga saham per lembar =
= Rp. 3.200,10.000
Misalnya perusahaan mengganti sebagian modal sahamnya dengan modal hutang sebesar Rp.
16.000.000,-, sehingga diperlukan saham sebanyak = Rp. 16.000.000 / 3.200 5.000 lembar
saham untuk mendapatkan hutang tersebut. Dengan demikian jumlah saham beredar sekarang
berkurang menjadi 5.000 lembar (10.000 lbr 5.000 lbr), sehingga nilai perusahaan menjadi:
Keterangan
Laba operasi bersih
(O)
Nilai
(ko)
(V)
(B)
(S)
Rp. 8.000.000
20%
Rp. 40.000.000
Rp. 24.000.000
Rp. 16.000.000
=OI
linear dengan leverage keuangan (financial leverage) yang diukur dengan perimbangan antara
hutang (B) dengan saham (S). Sedangkan nilai total perusahaan (V) dan harga saham per lembar
tidak berubah walaupun leverage keuangannya berubah.
2.2. Pendekatan Tradisional (Traditional Approach)
Pada pendekatan tradisional diasumsikan terjadi perubahan struktur modal yang optimal
dan peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan financial leverage (hutang dibagi
modal sendiri atau B/S). Sebagai contoh dapat dijelaskan sebagai berikut:
Contoh .2.
Perusahaan ABC pada awal mula berdirinya menggunakan modal hutang obligasi sebesar
Rp. 45.000.000,- dengan bunga 5%, dan mendapat laba operasi bersih sebesar Rp. 15.000.000,per tahun. Keuntungan yang disyaratkan dari pemilik sebesar 11% per tahun. Jumlah saham yang
beredar 12.750 lembar. Dari data tersebut maka nilai perusahaan akan nampak sebagai berikut:
Keterangan
Laba operasi bersih
Bunga hutang 5%
Laba tersedia untuk pemegang saham
Keuntungan yang disyaratkan
Nilai pasar saham
Nilai pasar hutang
Nilai total perusahaan
* Pembulatan
(O)
(I)
(E)
(ke)
(S)
(B)
(V)
Nilai
Rp. 15.000.000
Rp. 2.250.000
Rp. 12.750.000
0,11
Rp. 115.909.090*
Rp. 45.000.000
Rp. 160.909.090
Tingkat kapitalisasi keseluruhan (ko) = 15.000.000 / 160.909.090 = 9,3% Harga per lembar saham
= Rp. 115.909.090/12.750 = Rp. 9.090,- (dibulatkan).
Misalnya perusahaan akan mengganti seluruh modal hutang obligasi dengan saham.
Karena nilai obligasi sebesar Rp. 45.000.000,- dengan harga saham per lembar sebesar Rp.
9.090,-, maka diperlukan sebanyak Rp. 45.000.000 / 9.090 = Rp. 4.950,- lembar saham.
Sekarang, seluruh modal perusahaan merupakan modal sendiri sehingga tingkat keuntungan yang
disyaratkan oleh investor (modal sendiri) menjadi lebih rendah, misalnya dari 11% menjadi sebesar
10%. Dengan demikian nilai perusahaan dan biaya modalnya sebagai berikut:
Keterangan
Laba operasi bersih
(O)
Nilai
Bunga hutang
Laba tersedia untuk pemegang saham
Keuntungan yang disyaratkan
Nilai pasar saham
Nilai pasar hutang
Nilai total perusahaan
(I)
(E)
(ke)
(S)
(B)
(V)
Rp. 15.000.000
0
Rp. 15.000.000
0,10
Rp. 150.000.000
0
Rp. 150.000.000
Tingkat kapitalisasi keseluruhan atau (ko) - 15.000.000 / 150.000.000 - 10%, sedangkan harga
saham menjadi 150.000.0007 (12.750 + 4.950) = Rp. 8.474,58 per lembar. Sehingga harga saham
berubah (turun) dari Rp. 9.090,- menjadi Rp. 8.474,58,- akibat perubahan struktur modal.
Misalkan sekarang ini perusahaan mengganti sahamnya dengan hutang sebesar
Rp. 45.000.000,- dari keadaan semula, sehingga jumlah hutang menjadi Rp. 45.000.000 + Rp.
45.000.000 = Rp. 90.000.000. Dengan demikian jumlah sahamnya akan berkurang sejumlah 4.950
lembar lagi. Jadi jumlah sahamnya tinggal 7.800 lembar (12.750 lembar -4.950 lembar). Karena
sekarang proporsi modal asing menjadi lebih besar (dengan kata lain risiko finansialnya menjadi
lebih besar), maka mungkin tingkat kapitalisasi modal sendiri menjadi lebih besar, katakanlah
menjadi 14%. Dengan kata lain para pemegang saham mensyaratkan tingkat keuntungan yang
lebih tinggi karena menganggap risiko perusahaan meningkat. Tetapi karena risiko yang makin
tinggi, maka hutang (obligasi) harus membayar bunga lebih besar, katakanlah menjadi 6%. Dari
data tersebut di atas, penilaian terhadap perusahaan akan menjadi:
Keterangan
Laba operasi bersih
Bunga hutang 6%
Laba tersedia untuk pemegang saham
Keuntungan yang disyaratkan
Nilai pasar saham
Nilai pasar hutang
Nilai total perusahaan
* Pembulatan
Nilai
(O)
(I)
(E)
(ke)
(S)
(B)
(V)
Rp. 15.000.000
Rp. 5.400.000
Rp. 9.600.000
0,14
Rp. 68.571.429*
Rp. 90.000.000
Rp. 158.571.429
Perusahaan A Perusahaan B
(Rp)
(Rp)
(0)
(I)
(E)
(ke)
(S)
(B)
(V)
80.000.000
0
80.000.000
0,15
533.333.333*
0
533.333.333
80.000.000
28.800.000
51.200.000
0,16
320.000.000
240.000.000
560.000.000
= Rp. 4.000.000
= Rp. 1.440.000
= Rp. 2.560.000
Keuntungan bersih sebesar Rp. 2.560.000, sama dengan keuntungan investasi pada
perusahaan B. Tetapi pengeluaran kas untuk investasi perusahaan A hanya sebesar Rp.
14.666.667 (dari Rp. 26.666.667 Rp. 12.000.000) dibandingkan pengeluaran kas untuk investasi
pada perusahaan B sebesar Rp. 16.000.000,-. Karena investor dapat memperoleh keuntungan
yang sama dengan menggunakan jumlah investasi yang lebih kecil dan risiko finansialnya juga
sama, maka investor akan melakukan langkah arbitrase tersebut. Dan apabila karena suatu
alasan kemudian harga saham perusahaan A lebih tinggi dari perusahaan B, maka proses abitrase
akan berlangsung juga, namun dalam arah yang sebalikya.
3. KETIDAKSEMPURNAAN PASAR DAN ISU INSENTIF
Dengan menggunakan asumsi bahwa pasar modal adalah sempurna, maka proses
penyeimbangan pasar akan menjamin kebenaran (validity) pendapat MM, yaitu bahwa biaya
modal dan penilaian keseluruhan perusahaan tidak tergantung pada struktur modalnya. Untuk
memperdebatkan hal ini haruslah digunakan dasar bahwa pasar modal sebenarnya adalah tidak
sempurna, yang menyebabkan proses penyeimbangan harga pasar tidak tergantung pada
keuntungan yang disyaratkan dan risiko sistematisnya. Dalam keadaan semacam ini leverage
mungkin mempunyai pengaruh atas nilai keseluruhan perusahaan dan biaya modalnya. Meskipun
demikian, ketidaksempurnaan ini tidak hanya harus cukup besar (materiil) tetapi juga harus
searah. Misalnya, biaya transaksi membatasi proses arbitrase yang telah dikemukakan di atas.
Jadi arbitrase hanya akan terjadi sampai dengan batas yang ditetapkan oleh biaya transaksi.
Walaupun demikian, pengaruh bersih dari ketidaksempurnaan ini tidaklah dapat diduga
sebagaimana arahnya. Berikut ini adalah argumen-argumen utama yang menentang proses
arbitrase Modigliani dan Miller.
1. Adanya Biaya Kebangkrutan
Apabila ada kemungkinan untuk bangkrut, dan apabila biaya kebangkrutan tersebut cukup
besar, maka perusahaan yang menggunakan hutang (leverage) mungkin menjadi kurang menarik
bagi para investor dibandingkan dengan perusahaan tanpa hutang. Dalam pasar yang sempurna
biaya kebangkrutan dianggap sama dengan nol. Apabila suatu perusahaan bangkrut, maka pada
hakekatnya aset perusahaan dianggap dapat dijual pada harga (nilai) ekonomisnya, dan tidak ada
biaya-biaya likuidasi. Kemudian penghasilan yang diperoleh dari penjualan kekayaan ini akan
dibagikan kepada para kreditur dan pemilik, sesuai dengan prioritas dan proporsinya. Jadi kreditur
menerima bagiannya dulu, baru pemegang saham preferen dan setelah itu sisanya untuk
pemegang saham biasa. Apabila ada biaya kebangkrutan, maka aktiva-aktiva tersebut mungkin
harus dijual pada harga yang lebih rendah (distress price) daripada nilai ekonomisnya.
Pengurangan ini merupakan kemungkinan para kreditur dan pemegang saham mendapatkan
claim mereka sepenuhnya.
Dalam kejadian kebangkrutan, para pemilik saham secara keseluruhan menerima bagian
kurang dari yang seharusnya apabila tidak ada biaya kebangkrutan. Karena perusahaan yang
memiliki hutang mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kebangkrutan
daripada perusahaan yang tidak memiliki hutang, maka perusahaan tersebut menjadi kurang
menarik, apabila hal-haknya sama. Kemungkinan kebangkrutan biasanya bukan merupakan fungsi
linear dari perbandingan hutang dengan modal sendiri (debt to equity ratio) tetapi akan meningkat
dengan tingkat yang semakin tinggi setelah mencapai tingkat leverage tertentu. Sebagai hasilnya,
biaya kebangkrutan yang diharapkan akan meningkat semakin tinggi dan mempunyai efek negatif
yang sama terhadap nilai perusahaan dan biaya modalnya. Dengan kata lain, biaya modal sendiri
meningkat dengan semakin cepat.
2. Adanya Biaya Agensi
Biaya agensi adalah biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk
meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian perusahaan dengan
kreditur dan pemegang saham. Biaya agensi memiliki hubungan cukup dekat dengan biaya
kebangkrutan yaitu berhubungan dengan pengaruh yang dimiliki atas struktur dan nilai modal.
Manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Untuk dapat
melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang
memadai. Pengawasan dapat dilakukan dengan cara pengikatan agen, pemeriksaaan laporan
keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil oleh manajemen. Kegiatan
pengawasan ini tentunya membutuhkan biaya.
Jensen dan Meckling telah mengembangkan suatu teori yang disebut agensi. Salah satu
pendapat dalam teori agensi adalah siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, maka biaya
yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. Apabila kita memegang obligasi
maka dalam mengantisipasi biaya pengawasan, maka kita akan membebankan bunga yang lebih
tinggi. Jumlah pengawas yang diminta oleh pemegang obligasi akan meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah obligasi yang beredar. Biaya pengawasan seperti halnya biaya
kebangkrutan, cenderung meningkat pada tingkat kecepatan yang meningkat dengan adanya
financial leverage.
3. Hutang dan Insentif Bagi Efisiensi Manajemen
Dengan adanya tingkat hutang yang tinggi, maka manajemen berada pada posisi yang
terdesak karena harus memastikan arus kas yang dihasilkan mencukupi pembayaran hutang.
Oleh karena itu, manajemen memiliki insentif untuk menggunakan dana yang ada bagi investasi
yang menguntungkan dan berusaha menghindari timbulnya beban yang akan menghabiskan
dana. Caranya adalah perusahaan yang menggunakan leverage akan lebih efisien karena
manajemen berusaha menghilangkan biaya-biaya yang tidak perlu. Sedangkan, perusahaan
dengan sedikit pinjaman memiliki kecenderungan untuk tidak terlalu mengawasi pemakaian biayabiaya yang sebenarnya dapat dikurangi. Kekhawatiran karena tidak mampu membayar hutang
merupakan insentif bagi manajemen dalam hal efisiensi.
4. Batasan-batasan Institusional
Batasan-batasan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga yang membeli saham sering
membatasi proses arbitrase. Misalnya lembaga dana pensiun, perusahaan asuransi dan lembaga
pendidikan, yang memiliki saham, tidaklah mudah untuk membuat hutang. Lembaga-lembaga
tersebut harus menjaga hutang dalam tingkatan yang tetap aman. Di samping itu mereka juga
tidak boleh begitu saja membeli saham perusahaan-perusahaan yang mempunyai tingkat leverage
yang tinggi. Dengan demikian perusahaan-perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan
kehilangan pembeli saham (lembaga-lembaga tersebut).
5. Biaya-biaya Transaksi
Biaya-biaya transaksi cenderung membatasi proses arbitrase. Arbitrase akan terjadi jika
biaya transaksi mencapai jumlah tertentu, di luar itu arbitrase tidak akan memberikan keuntungan
lagi. Akibatnya, perusahaan yang menggunakan leverage akan memiliki nilai total yang sedikit
lebih tinggi atau lebih rendah dari yang diperkirakan.
6. Pengaruh Pajak terhadap Perusahaan
Apabila dimasukkan unsur pajak, maka kita harus rnenilai kembali pendapat bahwa
perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena
pembayaran bunga atas hutang bisa dipakai untuk mengurangi pajak (tax deductible). Dengan
demikian hal ini akan menurunkan rata-rata tertimbang dari biaya modal setelah pajak, tidak
seperti yang dikemukan oleh MM. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini :
Perusahaan A dan B memiliki laba operasi bersih (net operating income) masingmasing sebesar Rp. 16.000.000,-. Perusahaan B memiliki hutang sebesar Rp. 40.000.000,dengan bunga 12%, sedangkan perusahaan A tidak memiliki hutang. Jika tarif pajak sebesar 40%,
maka diperoleh:
Perusahaan A Perusahaan B
(Rp)
(Rp)
Laba operasi bersih
16.000.000
16.000.000
Bunga hutang
0
4.800.000
Keuntungan sebelum pajak
16.000.000
11.200.000
Pajak 40%
6.400.000
4.480.000
Laba yang tersedia bagi pernegang saham
9.600.000
6.720.000
Total laba yang tersedia bagi pernegang
9.600.000
11.520.000
saham
Keterangan
Perbedaan keuntungan yang tersedia bagi pernegang saham antara perusahaan A dan
perusahaan B adalah = Rp. 11.520.000 Rp. 9.600.000) = Rp. 1.920.000,-. Hal ini bisa terjadi
karena investor pada perusahaan B (pemegang obligasi) akan menerima pembayaran bung;
sebelum dikurangi pajak, sedangkan investor pada perusahaan A (pemegang saham) aka
menerima dividen setelah digunakan untuk membayar pajak sehingga investor di perusahaa A
akan menerima laba yang lebih kecil.
4. SOAL DAN PENYELESAIANNYA
Soal 1.
Perusahaan A diperkirakan akan mendapatkan laba operasi bersih (net operating income) Rp.
75.000.000,-. Perusahaan mempunyai aktiva sebesar Rp. 750.000.000,- dengi dua alternatif
struktur modal sebagai berikut:
1. Hutang Rp. 300.000.000,- dengan bunga 11% dan keuntungan yang disyaratkan sebesar 16%
2. Hutang Rp. 450.000.000,- dengan bunga 12% dan keuntungan yang disyaratkan sebesar 17%
Dari data di atas hitunglah nilai pasar perusahaan dan biaya modalnya serta tentukan struktur
modal yang optimal.
Penyelesaiannya:
Menghitung nilai perusahaan:
Alternatif 1
Alternatif 2
Keterangan
(Rp)
(Rp)
Laba operasi bersih
(0)
75.000.000
75.000.000
Bunga hutang obligasi
(I)
33.000.000
54.000.000
Laba yang tersedia bagi Pemegang saham (E)
42.000.000
21.000.000
Keuntungan yang disyaratkan
(ke)
16%
17%
Nilai pasar saham
(S)
262.500.000 123.529.412*
Nilai pasar hutang
(B)
300.000.000
450.000.000
Biaya Hutang
11%
12%
Nilai total perusahaan
(V)
562.500.000
573.529.412
Biaya modal alternatif 1 = Rp. (75.000.000 / 562.500.000) = 13,33%
Biaya modal alternatif 2 = Rp. (75.000.000 / 573.379.000) = 13,08%
Dari perhitungan di atas dapat dikemukakan struktur modal yang optimal adalah alternatif 2,
karena menghasilkan nilai perusahaan yang lebih besar dengan biaya modal yang lebih kecil.