Anda di halaman 1dari 28

BAB XI

TEORI STRUKTUR MODAL DAN KONSEP LEVERAGE

Capaian Pembelajaran :

Setelah mempelajari bab ini mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian

struktur modal, teori struktur modal Operating Leverage, Financial Leverage dan

Total Leverage serta memperhitungkan DOL, DFL dan DTL dengan tingkat

kebenaran 100 %.

Manajer keuangan perusahaan mempunyai tugas antara lain adalah

mencari sumber pendanaan dan menginvestasikan dana perusahaan dalam

bentuk aktiva tetap operasional. Mencari sumber pendanaan dapat berarti

dihadapkan pada pilihan menggunakan modal sendiri atau hutang. Hal ini

biasanya merupakan pertimbangan menggunakan hutang dan saham preferen

yang mempunyai beban tetap (berupa bunga dan dividen saham preferen) atau

menggunakan saham biasa dengan biaya modal yang lebih besar.

Disisi lain manajer keuangan menggunakan dana tersebut untuk

membiayai pembelian aktiva operasional. Keputusan tersebut diharapkan dapat

meningkat keuntungan bagi perusahaan, atau dengan kata lain beban tetap yang

terjadi karena keputusan pendanaan dan investasi pada aktiva tetap operasional

akan memperbesar pengaruhnya terhadap peningkatan laba.

Apabila pembiayaan terhadap aktiva tetap operasional di mark-up

sedemikian rupa, sehingga usulan proyek membutuhkan biaya proyek yang lebih

besar dari semestinya, maka yang terjadi adalah beban tetap menjadi lebih

besar baik dari nilai aktiva maupun pendanaan. Pada kondisi tertentu yaitu

159
penjualan tidak mencapai target yang direncanakan, maka yang terjadi beban

tetap tersebut akan memperbesar pengaruh penurunan keuntungan bahkan

akan terjadi kerugian. Dalam hal ini manajer keuangan harus benar-benar

memperhitungkan kelayakan usulan proyek dari bagian lain perusahaan, apakah

usulan proyek ini menguntungkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Sebaiknya manajer keuangan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Apakah usulan aktiva tetap operasional yang baru memberikan :

a. Kapasitas produksi yang lebih besar dan product line yang lebih

bervariasi.

b. Efisiensi biaya produksi.

c. Mutu produk yang lebih baik.

d. Tingkat kerusakan produk yang lebih rendah.

2. Apakah sumber pendanaan memberikan biaya modal yang paling efisen, baik

menggunakan hutang maupun saham preferen atau kombinasi kedua sumber

pendanaan tersebut.

11.1 PENGERTIAN STRUKTUR MODAL

Modal (pembelanjaan dari luar perusahaan dikelompokkan ke dalam 2 jenis

yaitu hutang dan ekuitas atau dapat disebut dengan modal sendiri. Hutang

mempunyai keunggulan berupa :

a. Bunga mengurangi pajak sehingga hutang rendah.

b. Kreditur mempunyai return terbatas sehingga pemegang saham tidak perlu

berbagi keuntungan ketika kondisi bisnis sedang maju.

160
c. Kreditur tidak memiliki hak suara sehingga pemegang saham dapat

mengendalikan perusahaan dengan penyertaan dana yang kecil.

Namun demikian hutang juga memiliki juga kelemahan yaitu :

a. Hutang biasanya berjangka waktu tertentu untuk dilunasi tepat waktu.

b. Rasio hutang yang tinggi akan meningkatkan risiko yang selanjutnya akan

meningkatkan biaya modal.

c. Bila perusahaan dalam kondisi sulit da labanya tidak dapat memenuhi beban

bunga maka tidak tertutup kemungkinan dilakukan tindakan likuiditas.

Gabungan hutang dan ekuitas untuk pendanaa perusahaan merupakan

bahasan utama dari keputusan struktur modal (capital structure decision).

Gabungan modal yang efisien dapat menekan biaya modal (cost of capital), yang

dapat meningkatkan kembalinya ekonomi neto dan meningkatkan nilai

perusahaan. Perusahaan yang hanya menggunakan ekuitas disebut "unlevered

firm", sedangkan yang menggunakan gabungan ekuitas dan berbagai macam

hutang disebut "levered firm".

Pada dasarnya tugas manajer keuangan perusahaan adalah berusaha

mencari keseimbangan finansial neraca yang dibutuhkan serta mencari susunan

kualitatif neraca tersebut dengan sebaik - baiknya. " pemilihan susunan kualitatif

pada sisi assets akan menentukan struktur kekayaan perusahaan, sedangkan

pemilihan susunan kualitatif dari sisi lialibilities dan equities akan menentukan

struktur keuangan dan struktur modal perusahaan" (Brigham & Houston,

2019:495). (Brigham & Houston, 2019:496) menyatakan bahwa struktur modal

harus dapat dibedakan dengan struktur keuangan. Struktur keuangan

161
menyatakan dengan bagaimana harta perusahaan dibiayai. Oleh karena itu

keuangan adalah keseluruhan yang terdapat di dalam neraca sebelah kredit.

Pada neraca sebelah kredit terdapat hutang jangka panjang maupun hutang

jangka pendek, dan modal sendiri (ekuitas) baik jangka panjang maupun jangka

pendek. Jadi struktur keuangan mencakup semua pembelanjaan baik jangka

panjang maupun jangka pendek. Sebaliknya struktur modal hanya menyangkut

pembelanjaan jangka panjang saja, tidak termasuk pembelanjaan jangka pendek.

Ross (2016:497) memberikan definisi struktur modal sebagai pembiayaan

permanen yang terdiri dari hutang jangka panjang, saham preferen, dan modal

pemegang saham. Nilai buku dari modal pemegang saham terdiri dari saham

biasa, modal disetor atau surplus modal dan akumulasi modal ditahan. Bila

perusahaan memiliki saham preferen, maka saham tersebut akan ditambahkan

pada modal pemegang saham. Menurut Lawrence, Gitman (2000, p.488), definisi

struktur modal adalah sebagai berikut " capital structure is the mix of long term

debt and equity maintained by the firm ". Struktur modal perusahaan

menggambarkan perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri

yang digunakan oleh perusahaan. ada 2 macam tipe modal menurutnya yaitu

modal hutang (debt capital) dan modal sendiri (equity capital). Tetapi dalam

kaitannya dengan struktur modal, jenis modal hutang yang diperhitungkan hanya

hutang jangka panjang.

11.2 TEORI STRUKTUR MODAL

1. Model Modigliani Miller tanpa pajak

162
Pada tahun 1958, dalam American Economic Review 48 (1958) yang berjudul The

Cost of Capital, Corporate Finance and The Theory of Investment, mereka

mengemukakan teori struktur modal dengan berbagai asumsi yang tidak

mungkin terjadi, akan tetapi sangat membantu dalam memahami bagaimana

perusahaan menentukan gabungan pendanaan yang berasal dari hutang dan

ekuitas secara benar (Brigham & Houston, 2019:497). Asumsi - asumsi yang

mendasar adalah:

a. Semua aset berwujud dimiliki oleh perusahaan.

b. Pasar modal sempurna (tidak ada pajak, tidak ada biaya transaksi dan tidak

ada biaya kebangkrutan.

c. Perusahaan hanya dapat menerbitkan dua macam sekuritas yakni ekuitas

yang beresiko dan hutang bebas (tanpa) resiko.

d. Individu atau perusahaan dapat meminjam atau meminjamkan uang dengan

tingkat suku bunga bebas resiko.

e. Para investor mempunyai ekspektasi yang sama (homogen) terhadap

keuntungan perusahaan dimasa mendatang.

f. Semua perusahaan tidak mengalami pertumbuhan (arus kas diasumsikan

konstan dan perpetual dan semua laba dibagikan dalam bentuk deviden ).

g. Semua perusahaan dapat dikelompokkan dalam satu kelompok kembalian

dan kembalian saham dari semua perusahaan dalam kelompok tersebut

adalah proporsional.

Berdasarkan asumsi - asumsi tersebut, maka nilai perusahaan yang tidak

menggunakan hutang (unlevered firm) sama persis dengan perusahaan yang

163
menggunakan hutang (levered firm). Apabila nilai perusahaan yang tidak

menggunakan hutang diberi notasi VU dan nilai perusahaan yang menggunakan

hutang diberi notasi VL, maka VU = VL.

VU= EBIT
Ksu
VL = EBIT
WACC
Keterangan :

EBIT = Laba sebelum bunga dan pajak

Ksu = keuntungan yang disyaratkan pada saham unlevered firm

WACC= Weighted Average Cost of Capital

Semua laba dibagikan dalam bentuk deviden dan laba diperkirakan konstan

untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Jadi saham biasa dianggap sama seperti

saham preferen. Nilai intrinsik saham preferen (VP) dapat ditentukan dengan

cara :

VP = SP = D = EBIT = SU
Ksu
Keterangan :

SP = Nilai saham preferen

D = Deviden

Model tersebut dikenal sebagai model MM proposisi 1 tanpa pajak. Proposisi

tersebut mengakui bahwa perusahaan tidak dipengaruhi oleh strategi

pendanaan. Dengan kata lain, nilai perusahaan bergantung pada bagaimana

bisnis itu dijalankan dan tidak pada bagaimana uang itu diperoleh.

Ketika nilai Unlevered firm sama persis dengan levered firm, menurut model MM

(tanpa pajak), biaya modal rata - rata tertimbang (WACC - weighted average cost

164
of capital) kedua perusahaan juga identik. Hal ini mengarahkan pada proposisi 2

dari model MM tanpa pajak :

KsL = Ksu + (Ksu - Kd) (D/S)

KsL = Keuntungan yang disyaratkan pada modal sendiri / biaya modal sendiri pada

levered firm

Kd = Biaya hutang

D/S = Hutang/modal sendiri

Apa yang disampaikan oleh proposisi 2 dari model MM tanpa pajak? untuk

mengetahui apa yang disampaikan, perlu dilihat dulu apa pengaruh perubahan

keputusan pendanaan terhadap perilaku pemegang saham. Penambahan

penggunaan biaya hutang biasanya diikuti dengan bertambahnya beban

keuangan berupa biaya bunga. Sesuai dengan proposisi 1, perubahan keputusan

pendanaan ( struktur modal ) tidak akan mempengaruhi nilai perusahaan.

Dengan kata lain, pemegang saham dihadapkan pada peningkatan resiko

keuangan tanpa kompensasi dari meningkatnya nilai perusahaan. Jadi, pemegang

saham akan menuntut kembalian ( return ) yang lebih tinggi sebagai kompensasi

dari meningkatnya resiko dan hal ini disebut biaya penggunaan saham biasa yang

lebih tinggi bagi levered firm. Pada umumnya biaya hutang lebih murah

dibandingkan biaya saham biasa, sehingga perusahaan memperoleh "

penghematan " ketika perusahaan mengalihkan pendanaan ekuitas ke

pendanaan hutang. Mengacu pada proposisi 1 bahwa WACC unlevered firm dan

levered firm adalah identik, maka " penghematan " dari penggunaan hutang

tercermin pada peningkatan biaya saham biasa.

165
BIAYA MODAL dan NILAI PERUSAHAAN MENURUT MODEL MM - 1 (1958)

Dari modem MM -1 yang dikemukakan olegh Franco Modigliani dan Merton

Miller, dapat dipetik dua hal utama yaitu :

Dalam situasi tanpa pajak, nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur

modal, Jadi, nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh jumlah hutang, sehingga

WACC juga tidak dipengaruhi oleh struktur modal. Kecenderungan perusahaan

yang makin banyak menggunakan hutang akan lebih beresiko, sebab harus

membayar biaya bunga yang lebih banyak pula. Perusahaan tidak dapat

mengabaikan pembayaran biaya bunga, sehingga pemegang saham " menuntut "

kembalian yang lebih tinggi yang tercermin pada biaya ekuitas yang lebih tinggi.

Dalam kondisi demikian, perusahaan memperoleh " penghematan " yang makin

banyak dengan menggunakan hutang yang lebih banyak karena lebih murah dari

pada ekuitas. Meskipun demikian, biaya ekuitas akan meningkat sesuai dengan

penambahan hutang. " Penghematan " yang dihasilkan dari penggunaan hutang

otomatis akan meningkatkan biaya ekuitas, sehingga WACC tidak berubah.

2. Modigliani-Miller Model 2 ( MM Model with corporate taxes ).

Pada tahun 1963 Modigliani dan Miller mempublikasikan sebuah artikel dalam

American Economic Review 53 ( 1963, June ) yang berjudul Corporate Income

Taxes and the Cost of Capital : A Correction, untuk memperbaiki model awal

mereka dengan memperhitungkan adanya pajak perseroan ( akan tetapi tetap

mengabaikan pajak perorangan ). Untuk selanjutnya model tersebut dikenal

dengan sebutan model MM-2 atau model MM dengan pajak perseroan (Brigham

166
and Houston, 2019:497-499). Kehadiran pajak perseroan ( diberi notasi T )

mempengaruhi kedua proposisi awal pada model MM-1 sebagai berikut :

Proposisi 1 :

VL= Vu + TD

dimana S=VU = EBIT ( 1 - T )


Ksu
Sebagai alasan bahwa nilai unlevered firm ( VU ) berubah adalah kebutuhan

perusahaan untuk membayar pajak perseroan atau laba yang diperoleh sebelum

membayarkan deviden kepada pemegang saham.

Proposisi 2 :

KsL = Ksu + (Ksu - Kd) (1-T) (D/S)

BIAYA MODAL dan NILAI PERUSAHAAN MENURUT MODEL MM - 2 ( 1963 )

Dari model MM - 2, dapat diperoleh dua hal utama yang berbeda dari model

MM-1 sebelumnya adalah :

a. Dalam proporsi 1, struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan.

Dalam kenyataan, struktur modal mempunyai pengaruh positif terhadap nilai

perusahaan yaitu bertambahnya penggunaan hutang akan meningkatkan nilai

perusahaan. Dengan kata lain, pajak memberi manfaat dalam pendanaan yang

berasal dari hutang sebesar : Tax advantage = TD

manfaat pajak dari penggunaan hutang diperoleh dari beban biaya bunga hutang

yang dapat diperhitungkan sebagai elemen biaya yang mengurangi besraan laba

kena pajak, sedangkan pembayaran deviden tidak dapat diperhitungkan sebagai

elemen biaya. Jadi, perusahaan (seperti) menerima subsidi dari pemerintah atas

penggunaan hutang untuk menambah modal.

167
b. Dengan adanya pajak perseroan, diperoleh dua manfaat penggunaan hutang

yakni : hutang merupakan sumber modal yang lebih murah dari pada ekuitas dan

biaya bunga menjadi elemen pengurang pajak. Dari model MM-1, diketahui

bahwa penghematan dari penggunaan hutang yang lebih murah sepenuhnya

digantikan oleh peningkatan biaya penggunaan ekuitas. Meskipun demikian,

dalam situasi dengan adanya pajak perseroan, keuntungan yang diperoleh

perusahaan dari penggunaan hutang lebih besar dari pada peningkatan biaya

ekuitas. Dengan demikian, biaya ekuitas dari levered firm dalam situasi ada pajak

perseroan pertambahannya lebih lamban daripada bila situasinya tanpa pajak

perseroan. Dengan kata lain, pemegang saham memeperoleh kompensasi untuk

resiko keuangan yang lebih kecil dalam situasi ada pajak perseroan. "

Penghematan " dari penggunaan hutang yang lebih besar dari pada peningkatan

biaya ekuitas, menghasilkan WACC yang makin kecil seiring dengan

bertambahnya hutang.

11.3 LEVERAGE

Leverage adalah kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan

aktiva dan dana yang mempunyai beban tetap (fixed cost assets and funds)

dengan tujuan meningkatkan pendapatan (return) pemegang saham (Brigham &

Houston, 2019:478).

Leverage dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu :

1. Operating Leverage

2. Financial Leverage

168
3. Total Leverage (combined leverage)

Leverage dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Gambar 11.1 Leverage

OPERATING
LEVERAGE

LEVERAGE TOTAL
LEVERAGE

FINANCIAL
LEVERAGE
Sumber: Konsepsi penulis

Manajemen perusahaan dalam usahanya untuk meningkatkan

keuntungan dapat menggunakan konsep leverage, yaitu dengan cara mengelola

sumber keuangannya yang berasal dari modal jangka panjang (kredit jangka

panjang perbankan, obligasi dan saham preferen) yang mempunyai beban tetap

(fixed financial cost) dan digunakan untuk membiayai aktiva operasional

(operating assets) yang mempunyai beban tetap (fixed operating cost).

169
Bagian-bagian leverage ditunjukkan dalam laporan keuangan sebagai berikut :

Gambar 11.2 Bagian – Bagian Leverage

Sales Revenue
Variable Cost (-)

OPERATING Contribution Margin


LEVERAGE Fixed Operating Cost (-)

Earning Before Interest and Taxes


Interest (-)

Earning Before Taxes


Taxes (-)
FINANCIAL
LEVERAGE Earning After Taxes
Preffered Stock Dividend (-)

Earning Available for Commonstock holders


Numbers of Commonstock Outstanding (: )

Earning per Share

11.4 OPERATING LEVERAGE

Operating leverage adalah kemampuan perusahaan dalam

menggunakan aktiva operasinya yang mempunyai beban tetap (fixed operating

cost) guna memperbesar pengaruh perubahan Sales terhadap perubahan EBIT

(Brigham & Houston, 2019:481). Operating Leverage ini diukur dengan Degree of

Operating Leverage (DOL), dimana ukuran ini menggambarkan pengaruh fixed

Operating Cost terhadap daya ungkit Sales terhadap EBIT. Akan tetapi DOL ini

juga sekaligus menggambarkan Operating Risk atau Business Risk suatu

perusahaan. Semakin tinggi DOL maka dapat dikatakan bahwa daya ungkit Sales

terhadap EBIT juga semakin besar, dan di lain pihak Operating Risk juga

170
meningkat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Operating Risk atau Business

Risk adalah ketidakpastian tentang kemampuan perusahaan untuk menutup

Fixed Operating Cost.

%  Sales
DOL =
(11.1)
%  EBIT

DOL pada tingkat penjualan tertentu dapat dirumuskan sebagai berikut (Brigham

& Houston, 2019:482):

X(P–V)
DOL (X) =
(11.2)
X(P–V)-F

Analisis DOL ini dapat dijelaskan melalui konsep Break Even Point (BEP),

di mana pada posisi BEP ditunjukkan dengan besarnya EBIT = 0.

Break Even Point (BEP)

Break Even Point atau BEP seringkali diterjemahkan sebagai titik impas,

atau Penjualan hanya dapat menutup Variable Cost dan Fixed Cost, sehingga

dengan demikian EBIT = 0 (Ross, 2016:212). Adapun yang menjadi asumsi

diperhitungkannya BEP adalah sebagai berikut :

1. BEP hanya bersifat jangka pendek.

2. Biaya-biaya dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya

variabel (variable cost).

3. Penjualan dan biaya-biaya bersifat linier (asumsi linearity).

BEP dapat dirumuskan sebagai berikut :

171
FC
BEP (unit) =
(11.3)
P–V

FC
BEP (Rp) = (11.4)
1 – TVC/S

Teknik BEP ini digunakan untuk menjelaskan analisis operating leverage dan

secara grafis adalah sebagai berikut :

Gambar 11.3 Break Even Point

Rp
TR TC

VC
BEP

FC

Q
Sumber: Data diolah

Misalkan sebuah perusahaan pada berbagai kondisi ingin

memperhitungkan besarnya DOL dengan data sebagai berikut :

Tabel 11.1. Data perusahaan untuk menghitung DOL

Account Kondisi I Kondisi II Kondisi III


Sales Rp. 150.000 Rp. 225.000 Rp. 337.500
Variable Cost 75.000 112.500 168.750
Contribution Margin 75.000 112.500 168.750
Fixed Cost 75.000 75.000 75.000
EBIT 0 37.500 93.750
Sumber: Data diolah

172
Keterangan :

1. Kondisi I memberikan gambaran bahwa penjualan hanya cukup menutup

biaya variabel dan biaya tetap. dimana pada keadaan EBIT=0 adalah

kondisi BEP.

2. Pada kondisi II dan III terjadi peningkatan penjualan sehingga besarnya

EBIT menjadi Rp. 37.500 pada kondisi II dan Rp. 93.750 pada kondisi III.

3. Perubahan sales ditunjukkan dengan %  Sales =  50 %

4. Perubahan EBIT ditunjukkan dengan %  EBIT =  150 %.

5. Dengan demikian perhitungan DOL adalah sebagai berikut

150 %
DOL =
50 %
DOL = 3.

Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat dijelaskan bahwa :

1. Terjadinya perubahan penjualan sebesar 50 % menyebabkan perubahan

EBIT sebesar 150 %.

2. Fixed Operating Cost memberikan pengaruh peningkatan EBIT sebesar

150 % apabila penjualan meningkat sebesar 50 %.

3. Sebaliknya Fixed Operating Cost juga memberikan pengaruh terhadap

penurunan EBIT sebesar 100 % apabila terjadi perubahan penjualan

sebesar 50 %.

173
11.5 FINANCIAL LEVERAGE

Financial Leverage merupakan kemampuan perusahaan dalam

menggunakan dana yang mempunyai beban tetap guna memperbesar pengaruh

perubahan EBIT terhadap perubahan EPS (Brigham & Houston, 2019:485).

Financial Leverage diukur dengan Degree of Financial Leverage (DFL), dimana

DFL ini merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam menggunakan dana

yang mempunyai beban tetap guna memperbesar pengaruh EBIT terhadap

perubahan EPS.

Degree of Financial Leverage dapat dirumuskan sebagai berikut

(Brigham & Houston, 2019:486):

%  EBIT
DFL =
%  EPS (11.5)

Apabila DFL diperhitungkan pada EBIT tertentu, maka DFL dapat

dirumuskan sebagai berikut (Brigham & Houston, 2019:487):

X (P – V) – FC
DFL =
X (P –V) – FC – I – Dp/ (1-T)
(11.6)

Dibawah ini adalah data yang dapat digunakan untuk memperhitungkan Degree

of Financial Leverage (DFL).

174
Tabel 11.2. Data perusahaan untuk menghitung DFL

Account Kondisi I Kondisi II Kondisi III


EBIT Rp. 1.200.000 Rp. 2.000.000 Rp. 2.800.000
Interest 400.000 400.000 400.000
EBT 800.000 1.600.000 2.400.000
Taxes 40 % 320.000 640.000 960.000
EAT 480.000 960.000 1.440.000
Dp 480.000 480.000 480.000
EACS 0 480.000 960.000
CSO 1.000 Lembar 1.000 Lembar 1.000 Lembar
EPS 0 Rp. 480 960
Sumber: Data diolah

Keterangan :

1. Kondisi I memberikan gambaran bahwa EBIT hanya cukup menutup

Interest dan Dividend saham preferen, sehingga kondisi ini

menyebabkan EPS = 0.

2. Pada kondisi II dan III terjadi peningkatan EBIT sehingga terjadi

peningkatan besarnya EPS menjadi Rp. 480 pada kondisi II dan Rp.

960 pada kondisi III.

3. Perubahan EBIT ditunjukkan dengan %  EBIT =  40 %

4. Perubahan EPS ditunjukkan dengan %  EPS =  100 %.

5. Dengan demikian perhitungan DFL adalah sebagai berikut :

100 %
DFL =
40 %
DFL = 2,5.

Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat dijelaskan bahwa :

175
1. Terjadinya perubahan EBIT sebesar 40 % menyebabkan perubahan

EPS sebesar 100 %.

2. Interest dan Preffered Stock Dividend memberikan pengaruh

peningkatan EPS sebesar 100 % apabila EBIT meningkat sebesar 40 %.

3. Sebaliknya Interest dan dividen saham preferen juga memberikan

pengaruh terhadap penurunan EPS sebesar 100 % apabila terjadi

penurunan EBIT sebesar 40 %.

11.6 TOTAL LEVERAGE

Total Leverage merupakan kombinasi antara Operating Leverage dan

Financial Leverage atau seringkali disebut sebagai Combined Leverage. Misalkan

manajemen perusahaan akan mengganti aktivanya dengan aktiva yang baru,

maka pembelian aktiva tersebut dapat dibiayai dengan berbagai alternatif

sumber pendanaan.

Pendanaan dengan modal sendiri akan berarti bahwa perusahaan harus

menjual saham biasa baru dan hal ini akan menambah jumlah saham biasa yang

beredar. Sedangkan apabila menggunakan hutang atau saham preferen maka

konsekwensinya perusahaan akan menerima beban tetap berupa bunga

(interest) atau dividen saham preferen (preffered stock dividend). Dengan

demikian maka perusahaan harus menanggung fixed operating cost serta

interest dan dividen saham preferen.

Peningkatan penjualan secara signifikan dapat diharapkan untuk

menutup beban tetap tersebut dan dimungkinkan akan meningkatkan

176
keuntungan per lembar saham (earning per share). Akan tetapi di lain pihak

apabila terjadi penurunan tingkat penjualan secara signifikan maka penggunaan

aktiva dengan sumber dana hutang dan saham preferen akan menyebabkan

penurunan EPS. Kondisi ini disebut adanya total risk yang merupakan kombinasi

operating risk dan financial risk. Total Risk dapat didefinisikan sebagai

ketidakpastian tentang kemampuan perusahaan untuk menutup beban tetapnya

berupa fixed operating cost serta interest dan preffered stock dividend.

Degree of Total Leverage (DTL) dapat dirumuskan sebagai berikut :

%  sales
DTL =
(11.7)
%  EPS

DTL pada tingkat penjualan tertentu dapat dirumuskan sebagai berikut :

X (P – V) – F
DTL =
X (P – V) – F – I – Dp/ (1-T)
(11.8)

Contoh Kasus Total Leverage:

Sebuah perusahaan mempunyai data keuangan sebagai berikut :

Tabel 11.3. data keuangan perusahaan untuk menghitung total leverage

Account Kondisi I Kondisi II Kondisi III


Sales Unit 20.000 unit 30.000 unit 45.000 unit
Price/unit Rp. 500 Rp. 500 Rp. 500
Sales Revenue Rp. 10.000.000 Rp. 15.000.000 Rp. 22.500.000
Variable Cost 4.000.000 6.000.000 7.200.000
Contribution Margin Rp. 6.000.000 Rp. 9.000.000 Rp. 15.300.000
Fixed Operating Cost 1.000.000 1.000.000 1.500.000
EBIT Rp. 5.000.000 Rp. 8.000.000 Rp. 13.800.000
Interest 2.000.000 2.000.000 2.300.000

177
EBT Rp. 3.000.000 Rp. 6.000.000 Rp. 11.500.000
Taxes 40 % 1.200.000 2.400.000 4.600.000
EAT Rp. 1.800.000 Rp. 3.600.000 Rp. 6.900.000
Pref. Stock Dividend 1.200.000 1.200.000 1.500.000
EACS Rp. 600.000 Rp. 2.400.000 Rp. 5.400.000
CSO 5.000 lembar 5.000 lembar 4.500 lembar
Earning per Share Rp. 120 Rp. 480 Rp. 1.200
Sumber: Data diolah

a. Perhitungan DTL berdasar Kondisi I Dan Kondisi II :

Pada Kondisi I dan Kondisi II, Variable Cost per unit adalah sebesar Rp. 200.

Sales Unit mengalami kenaikan menjadi 30.000 unit dan faktor lainnya tetap,

maka DTL dapat diperhitungkan sebagai berikut :

1. Perhitungan %  Sales = 50 %

2. Perhitungan %  EPS = 300 %

3. Maka DTL = 6

b. Perhitungan DTL berdasar Kondisi I dan Kondisi III.

Pada kondisi III, manajemen merubah beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi besarnya DTL, yaitu sebagai berikut :

1. Sales unit diperkirakan meningkat menjadi 45.000 unit.

2. Diperkirakan terdapat peningkatan nilai aktiva operasional sehingga Fixed

Operating Cost meningkat menjadi Rp. 1.500.000.

3. Peningkatan nilai Aktiva operasional mempunyai dampak menurunnya

Variable Cost menjadi Rp. 160 / unit.

4. Terdapat kemungkinan perubahan pendanaan, sehingga besarnya

interest menjadi sebesar Rp. 2.300.000 dan Preffered Stock Dividend

178
sebesar Rp. 1.500.000. Di pihak lain Commonstock Outstanding turun

menjadi 4.500 lembar.

Maka Perhitungan DTL adalah sebagai berikut :

1. Perhitungan %  Sales = 125 %.

2. Perhitungan %  EPS = 900 %.

3. Maka DTL = 7,2.

c. Kesimpulan :

Dengan adanya beberapa perubahan pada kondisi III, maka hal ini

mempengaruhi besarnya DTL dari 6 kali menjadi 7,2 kali. Dengan demikian

pengaruh perubahan Sales terhadap perubahan EPS mengalami peningkatan,

atau dengan kata lain keuntungan per lembar saham menjadi lebih besar.

Akan tetapi di lain pihak terdapat risiko yang akan dihadapi (total risk), yaitu

ketidak pastian kemampuan perusahaan untuk menutup beban tetapnya

yaitu Fixed Operating Cost dan Fixed Financial Cost.

Penurunan jumlah lembar saham biasa yang beredar (number’s of

commonstock outstanding) merupakan teknik kompensasi risiko keuangan

dan rsiko bisnis yang lebih tinggi karena adanya penggunaan hutang dan

aktiva tetap operasional perusahaan. Saham yang beredar dibeli kembali oleh

perusahaan dan disimpan sebagai saham treasury, dengan demikian cara ini

akan meningkatkan earning per share (EPS) dan peningkatan harga saham di

bursa. Dalam hal ini peningkatan risiko yang akan dihadapi investor akan

dikompensasi dengan return saham yang lebih tinggi. Dalam jangka panjang

apabila perusahaan akan melakukan emisi saham baru, akan dapat

179
menentukan harga perdana yang lebih tinggi sehingga agio saham yang

diperoleh lebih besar.

11.7 Pendekatan EBIT – EPS dalam Keputusan Struktur Modal

Konsep Financial leverage yang telah dibahas sebelumnya memberikan

gambaran tentang peningkatan keuntungan (dalam hal ini EPS) sebagai akibat

penggunaan hutang dalam stuktur modal perusahaan (Brigham & Houston,

2019:490). Konsep tersebut dapat dikatakan memberikan suatu pemahaman

bahwa peningkatan jumlah hutang dalam struktur modal perusahaan akan

meningkatkan keuntungan (ditunjukkan dengan besarnya DFL), meskipun hal itu

juga akan meningkatkan risiko keuangan perusahaan.

Pendekatan EBIT-EPS memberikan gambaran bahwa penambahan

jumlah hutang dalam struktur modal perusahaan hanya diperbolehkan apabila

EBIT perusahaan telah mencapai jumlah tertentu (EBIT “break even”). Pada

tingkat EBIT tersebut ditunjukkan bahwa penambahan jumlah modal

perusahaan dengan menggunakan saham maupun hutang akan memberikan EPS

yang sama. Dengan demikian apabila EBIT yang dihasilkan lebih besar dari EBIT

“break even” maka penambahan modal dengan hutang akan memberikan EPS

yang lebih besar. Keadaan ini tentu saja akan menjadi pertimbangan investor

berkaitan dengan peningkatan risiko keuangan perusahaan. EPS yang lebih tinggi

merupakan gambaran tentang pendapatan per lembar saham, dalam hal ini

secara fundamental akan mempengaruhi persepsi investor terhadap kepemilikan

sahamnya.

180
Sebagai ilustrasi PT.Titan akan mempertimbangkan kebutuhan dananya,

apakah akan dipenuhi dengan saham baru atau menggunakan hutang.

Kebutuhan dana PT.Titan adalah sebesar Rp. 50.000.000. Apabila kebutuhan

dana tersebut dipenuhi dengan emisi saham baru dengan nilai nominal Rp.

2.500, maka jumlah lembar saham yang ditambahkan adalah sebesar 20.000

lembar (jumlah lembar saham yang telah beredar sebanyak 100.000 lembar).

Sedangkan apabila kebutuhan dana dipenuhi dengan hutang, maka tingkat

bunga diperkirakan 10 % per tahun.

Tabel di bawah ini menggambarkan apabila kebutuhan dana dipenuhi

dengan emisi saham baru atau menggunakan hutang dan pengaruhnya terhadap

besarnya EPS.

Tabel 11.4. Data keuangan perusahaan untuk menghitung EPS

Account Saham Baru Hutang


EBIT Rp. 100.000.000 Rp. 100.000.000
Interest 0 Rp. 5.000.000
EBT Rp. 100.000.000 Rp. 95.000.000
Taxes 30 % Rp. 30.000.000 Rp. 28.500.000
EAT Rp. 70.000.000 Rp. 66.500.000
Dp Rp. 40.000.000 Rp. 40.000.000
EACS Rp. 30.000.000 Rp. 26.500.000
CSO 120.000 lembar 100.000 lembar
EPS Rp. 250 Rp. 265
Sumber: Data diolah

Dari perhitungan di atas dapat diketahui bahwa :

1. Pada tingkat EBIT Rp. 100.000.000, apabila kebutuhan dana dipenuhi dengan

menggunakan hutang dengan bunga sebesar Rp. 5.000.000 (10% dari Rp.

50.000.000), maka akan menghasilkan EPS sebesar Rp. 265.

181
2. Sedangkan apabila kebutuhan dana dipenuhi dengan melakukan emisi saham

baru sebanyak 20.000 lembar, maka akan menghasilkan EPS sebesar Rp. 250.

Dari perhitungan tersebut maka dapat disimpulkan menggunakan hutang

akan memberikan EPS yang lebih tinggi.

Tabel di bawah ini menggambarkan apabila tingkat EBIT yang dicapai

adalah sebesar Rp. 80.000.000, maka perhitungan EPS adalah sebagai berikut :

Tabel 11.5 Perhitungan EPS

Account Saham Baru Hutang


EBIT Rp. 80.000.000 Rp. 80.000.000
Interest 0 Rp. 5.000.000
EBT Rp. 80.000.000 Rp. 75.000.000
Taxes 30 % Rp. 24.000.000 Rp. 22.500.000
EAT Rp. 56.000.000 Rp. 52.500.000
Dp Rp. 40.000.000 Rp. 40.000.000
EACS Rp. 16.000.000 Rp. 12.500.000
CSO 120.000 lembar 100.000 lembar
EPS Rp. 133 Rp. 125
Sumber: Data diolah

1. Pada tingkat EBIT Rp. 80.000.000, apabila kebutuhan dana dipenuhi

dengan menggunakan hutang dengan bunga sebesar Rp. 5.000.000 (10%

dari Rp. 50.000.000), maka akan menghasilkan EPS sebesar Rp. 125.

2. Sedangkan apabila kebutuhan dana dipenuhi dengan melakukan emisi

saham baru sebanyak 20.000 lembar, maka akan menghasilkan EPS

sebesar Rp. 133.

Perhitungan di atas menunjukkan bahwa pada tingkat EBIT Rp.

80.000.000, pemenuhan kebutuhan dana dengan emisi saham baru akan

memberikan EPS sebesar Rp. 133 dan apabila dipenuhi dengan hutang akan

memberikan EPS sebesar Rp. 125.

182
Kedua ilustrasi di atas memberikan perhitungan EPS yang berbeda.

Perhitungan EBIT “break even” dengan pendekatan EBIT-EPS akan memberikan

gambaran Tingkat EBIT yang memberikan EPS yang sama.

EBIT “break even” dapat dirumuskan sebagai berikut :

(EBIT* - I1) (1 – Tc) – Dp1 (EBIT* - I2) (1 – Tc) – Dp2


=
N1 N2
(11.9)

EBIT* = EBIT break even

I1, I2 = Bunga yang dibayarkan untuk alternative 1 dan 2

Tc = Tingkat Pajak

Dp1, Dp2 = Dividen saham preferen untuk alternative 1 dan 2

N1, N2 = Jumlah saham yang beredar untuk alternative 1 dan 2

Apabila rumus EBIT break even digunakan, maka perhitungannya

adalah sebagai berikut :

(EBIT* - 0) (1 – 0,30) – 40 juta (EBIT* - 5 juta) (1 – 0,30) – 40 juta


=
120.000 100.000

0,7 EBIT* - 40 juta 0,7 EBIT* - 3,5 juta - 40 juta


=
120.000 100.000

100.000 (0,7 EBIT* - Rp. 40 juta) = 120.000 (0,7 EBIT* - Rp. 43,5 juta)

70.000 EBIT* - 100.000 x Rp. 40 juta = 84.000 EBIT* - 120.000 x Rp. 43,5 juta

84.000 EBIT*- 70.000 EBIT* = (120.000xRp.43,5 juta) – (100.000xRp.40 juta)

84 EBIT* - 70 EBIT* = (120 x 43,5 juta) – (100 x 40 juta)

183
14 EBIT* = Rp. 1,220 M

EBIT* = Rp. 87.142.857

Perhitungan EBIT break even adalah sebesar Rp. 87.142.857 dan hal ini

akan memberikan EPS yang sama, baik kebutuhan dana dipenuhi dengan emisi

saham baru maupun menggunakan hutang.

Tabel 11.6 Perhitungan EBIT dan EPS

Account Saham Baru Hutang


EBIT Rp. 87.142.857 Rp. 87.142.857
Interest 0 Rp. 5.000.000
EBT Rp. 87.142.857 Rp. 82.142.857
Taxes 30 % Rp. 26.142.857 Rp. 24.642.857
EAT Rp. 61.000.000 Rp. 57.500.000
Dp Rp. 40.000.000 Rp. 40.000.000
EACS Rp. 21.000.000 Rp. 17.500.000
CSO 120.000 lembar 100.000 lembar
EPS Rp. 175 Rp. 175
Sumber: Data diolah

Dari perhitungan di atas ternyata dengan EBIT “break even” sebesar Rp.

87.142.857, dalam hal ini menggunakan emisi saham baru maupun

menggunakan hutang memberikan EPS yang sama yaitu sebesar Rp. 175 per

lembar saham. Apabila EBIT perusahaan yang diperoleh lebih besar dari EBIT

“break even”, maka pemenuhan kebutuhan dana dengan menggunakan hutang

akan memberikan EPS yang lebih besar. Sebaliknya apabila EBIT perusahaan yang

diperoleh lebih kecil dari EBIT “break even”, maka pemenuhan kebutuhan dana

dengan menggunakan hutang akan memberikan EPS yang lebih kecil.

Dengan demikian manajemen perusahaan dapat mempertimbangkan

pendekatan EBIT-EPS sebagai pedoman penyusunan struktur modalnya, sehingga

184
penggunaan sumber modal yang memberikan konsekuensi risiko dapat

dikompensasi dengan return investor dengan indicator EPS.

11.8 LATIHAN SOAL

1. Perusahaan A (tidak menggunakan hutang), Perusahaan B (mempunyai

hutang 100 juta). Asumsikan bahwa semua asumsi MM terpenuhi, tidak

ada pajak. EBIT perusahaan 40 juta dan biaya modal perusahaan adalah

20 % biaya hutang 10%.

a. Berapa nilai perusahaan menurut teori MM tanpa pajak?

b. Berapa biaya modal sendiri untuk ke-2 perusahaan?

c. Berapa biaya modal tertimbang (WACC) untuk kedua perusahaan?

2. Melanjutkan soal no.1 semua data sama kecuali asumsi tidak ada pajak.

Asumsi baru perusahaan dikenai pajak 20%.

a. Berapa nilai perusahaan menurut teori MM dengan pajak?

b. Berapa biaya modal sendiri untuk ke-2 perusahaan?

c. Berapa biaya modal tertimbang (WACC) untuk kedua perusahaan?

3. PT. Makmur Abadi memproduksi teko teh dan menjualnya dengan harga

Rp 10.000,- per unit. Hingga tingkat produksi 400.000 unit, biaya tetapnya

adalah Rp 600.000.000,-. Biaya variabel adalah Rp 7.000 per unit.

a. Berapakah laba atau rugi perusahaan pada tingkat penjualan 175.000

unit dan pada tingkat 300.000 unit?

b. Berapakah titik impasnya? Gambarkan dalam bentuk grafik!

185
c. Berapakah tingkat leverage operasi PT. Makmur Abadi pada tingkat

penjualan 225.000 unit? Berapa pula pada tingkat penjualan 300.000

unit?

4. Perusahaan industri elektronik PT. Casio Incorporated sedang

mempertimbangkan suatu program yang memerlukan dana Rp 8.000.000,-.

Alternatif pendanaan adalah:

(1) Menerbitkan saham biasa yang menghasilkan Rp 20,- per lembar saham.

(2) Menerbitkan obligasi dengan bunga 9 %.

(3) Kombinasi 50% saham dan 50% obligasi (hutang) dengan harga jual Rp

20,- per lembar saham dan bunga 9 %.

Biaya tetap adalah 2 juta, biaya variabel per unit Rp 25,- dan harga jual per

unit Rp50,-. Perusahaan saat ini memiliki 800.000 lembar saham yang

beredar dan dikenai pajak 40%.

a. Berapakah BEP perusahaan? (abaikan biaya bunga).

b. Berapakah DOL pada BEP?

c. Perusahaan mengharapkan penjualan adalah 100.000 unit. Hitung

expected EPS untuk setiap alternatif pendanaan!

d. Tentukan DFL untuk setiap alternatif pendanaan pada tingkat penjualan

yang diharapkan!

e. Tentukan DTL untuk setiap alternatif pendanaan pada tingkat penjualan

yang diharapkan!

186

Anda mungkin juga menyukai