Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kita arahkan perhatian kita pada penentuan campuran keuangan yang tepat bagi
perusahaan. Bayangkan sisi kanan neraca sebagai kue besar. Kue itu dipotong menjadi beberapa
potongan dengan ukuran berbeda, satu potongan harus diberi label hutang jangka panjang, lainnya
equitas preferen, dan equitas biasa. Kita ingin mencapur potongan-potongan ini sebagus mungkin
sehingga kue bisa sebesar mungkin.
Dalam beberapa hal, mengubah label mungkin tidak bisa mengubah ukurannya – namun
dalam kasus lain bisa juga. Inilah tantangan manajemen struktur keuangan. Nilai total
perusahaan diwakili oleh ukuran akhir kue itu. Semakin besar nilai (kue)nya, semakin baik.
Perencanaan campuran keuangan perusahaan adalah proses penentuan sumber-sumber dana yang
akan digunakan oleh perusahaan untuk membiayai operasi dan pertumbuhan bisnisnya.
Campuran keuangan perusahaan dapat terdiri dari sumber dana internal seperti laba ditahan,
penghematan operasional, dan penjualan aset, serta sumber dana eksternal seperti penerbitan
saham baru, penerbitan obligasi, dan pinjaman.
Langkah-langkah dalam perencanaan campuran keuangan perusahaan meliputi:
Analisis keuangan: Analisis keuangan harus dilakukan untuk mengevaluasi kinerja keuangan
perusahaan dan memahami kebutuhan keuangan untuk pertumbuhan bisnis. Ini termasuk
mengidentifikasi arus kas, keuntungan dan kerugian, dan struktur modal perusahaan.
Penentuan sumber dana: Setelah menganalisis keuangan, perusahaan dapat menentukan sumber-
sumber dana yang akan digunakan untuk membiayai operasi dan pertumbuhan bisnisnya.
Sumber-sumber ini dapat meliputi pendanaan internal seperti laba ditahan dan penghematan
operasional, serta pendanaan eksternal seperti penerbitan saham baru, penerbitan obligasi, dan
pinjaman.
Menentukan proporsi sumber dana: Perusahaan harus menentukan proporsi dari masing-masing
sumber dana yang akan digunakan dalam campuran keuangan perusahaan. Proporsi ini harus
dipertimbangkan dengan hati-hati, karena setiap sumber dana memiliki risiko dan biaya yang
berbeda.
Mengelola risiko: Setiap sumber dana memiliki risiko yang berbeda, dan perusahaan harus
mempertimbangkan risiko tersebut dalam perencanaan campuran keuangannya. Misalnya,
penggunaan pinjaman akan meningkatkan risiko keuangan jika tingkat bunga naik.
Menetapkan target pengembalian: Perusahaan harus menetapkan target pengembalian untuk
campuran keuangannya. Target ini harus mencakup biaya modal perusahaan dan tingkat
pengembalian yang diharapkan oleh pemegang saham.
Perencanaan campuran keuangan perusahaan harus berfokus pada tujuan jangka panjang
perusahaan dan harus dipertimbangkan secara hati-hati agar dapat memaksimalkan nilai
perusahaan dan keuntungan pemegang saham.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sekilas Teori Struktur Modal


Komponen-komponen utama struktur modal harus dipahami. Asumsi risiko keuangan yang
berlebihan dapat membuat perusahaan bangkrut. Sebagian orang berpendapat bahwa keputusan
menggunakan sedikit leverage keuangan akan mengakibatkan kurang berharganya saham dipasar.
Manajer keuangan yang efektif harus tahu bagaimana menemukan leverage keuangan yang
optimum – ini akan memperkuat nilai saham, bila semua hal lain dianggap konstan. Maka,
kebijakan struktur keuangan yang baik.
Kontroversi yang terus berlangsung dalam teori keuangan berkaitan dengan efek leverage
keuangan terhadap biaya modal keseluruhan perusahaan. Inti argumen ini dapat diungkapkan
dalam bentuk pertanyaan: Dapatkah perusahaan mempe-ngaruhi seluruh biaya modalnya, entah
menguntungkan atau tidak, dengan meng-ubah campuran sumber dana yang digunakan?
Bentuk kontroversi ini bisa elegan sekali dalam literatur keuangan. Kebanyakan presentasi ini
lebih menarik para akademisi ketimbang praktisi manajemen keuangan. Untuk menekankan unsur-
unsur teori struktur modal yang ada aplikasi praktisnya bagi manajemen keuangan bisnis, kita akan
mencari pendekatan intuitif, non-materiatis, agar bisa lebih memahami dasar-dasar argumen
struktur modal-biaya modal ini.
Pentingnya Struktur Modal
Secara ekonomis masuk akal bagi perusahaan kalau berusaha meminimumkan biaya
penggunaan modal keuangan. Biaya modal maupun biaya lain, seperti biaya manufaktur, sama-
sama memiliki ciri bahwa secara potensial mereka bisa mengu. rangi besarnya deviden tunai yang
dapat dibayarkan kepada pemegang saham biasa.
Deviden tunai terdiri seluruhnya (kalau dimiliki tanpa batas waktu) atau sebagiannya (bila
dimiliki dalam jangka tertentu) dari pengembalian yang diharapkan ini. Sekarang semua hal lain
yang bisa mempengaruhi harga saham selain biaya modal dianggap konstan. Bila biaya modal in
bisa dipertahankan tetap minimum, aliran deviden yang mengalir ke pemegang saham biasa akan
dimaksimalkan. Maka, in akan mernaksimalkan harga saham biasa pula.
Bila biaya modal dapat dipengaruhi oleh struktur modal, maka manajemen struktur modal jelas
merupakan bagian penting dari manajemen keuangan bisnis.
SETTING ANALITIS
Pokok-pokok kontroversi struktur modal sangat digaris bawahi dalam kerangka yang oleh para
ahli ekonomi disebut analisis keseimbangan parsial," dimana perubahan yang terjadi dalam
beberapa faktor dan berdampak pada hal-hal tertentu diabaikan, agar bisa mempelajari efek
perubahan suatu faktor utama terhadap hal yang menarik perhatian. Di sini, ada dua hal sekaligus
yang menarik perhatian :
(1) Ko; blaya modal komposit perusahaan, dan (2) Po, harga saham biasa perusahaan itu.
Penggunaan leverage keuangan merupakan faktor utama yang dijinkan berubah dalam analisis it.
Ini berarti bahwa keputusan keuangan yang penting, seperti kebijakan investasi dan deviden,
dianggap konstan dalam seluruh diskusi. Kita hanya memperhatikan efek perubahan campuran
pendanaan terhadap harga saham dan biaya modal.
Analisis kita akan dipermudah bila kita menggunakan versi model valuasi deviden dasar
dalam bab 8 yang disederhanakan dalam studi prinsip valuasi kita, dan dalam Bab 12 tentang kajian
biaya modal. Model ini diperlihatkan dalam per-samaan 16-2:

D𝑡
𝑃𝑜 =
(1 + K𝑐)𝑡

di mana Po = harga saham biasa saat-ini


Dt = pembayaran deviden tuna per lembar yang diharapkan investor selama periode t
Kt = biaya modal ekuitas biasa
Kita dapat menyingkirkan kerumitan dengan membuat beberapa asumsi berikut tentang proses
valuasi yang implisit dalam persamaan 16-2:
1. Deviden tuna yang dibayarkan tidak akan berubah sepanjang waktu kepemilikan tak
terbatas. Maka D1 = D, = D3 = ..• = D∞• Tidak ada harapan pertumbuhan dalam aliran
deviden.
2. Perusahaan tidak menahan sedikitpun labanya saat ini. Ini berarti bahwa semua EPS
masing-masing periode dibayarkan ke pemegang saham dalam bentuk deviden tunai. Rasio
pembayaran deviden adalah 100 persen. Maka deviden tunai per lembar dalam persamaan
16-2 sama dengan EPS untuk periode itu.
Dengan asumsi ini, deviden tuna yang mengalir ke investor dapat dipandang seba-gai tingkat
pembayaran selama periode kepemilikan tak terbatas. Aliran pemba-jadi I beg adi selamanya, dan
menurut matematika keabadian, persamann 16-2 men-jadi 16-3 di mana Et merupakan EPS selama
periode t.
𝐷𝑡 𝐸𝑡
Po = =
𝐾𝑐 𝐾𝑐
Selain itu, situasi analitis untuk pembahasan tori struktur modal mencakup beberapa asumsi
berikut:
1. Pendapatan korporat tidak tergantung pada pajak. Implikasi utama dari penghi-langan
asumsi ini nanti akan dibahas.
2. Struktur modal hanya terdiri dari saham dan obligasi. Selain itu, derajat leverage keuangan
yang digunakan diubah dengan penerbitan saham biasa yang peneri-maannya digunakan
untuk melunasi hutang yang ada, atau penerbitan hutang dengan penerimaan yang
digunakan untuk membeli kembali saham. Ini memungkinkan penggunaan leverage
berubah namun tetap menjaga nilai buku struktur modal perusahan tetap konstan.
3. Nila yang diharapkan dari semua ramalan investor tentang tingkat EBIT masa depan untuk
masing-masing perusahaan bersifat identik. Misalkan anda meramalkan tingkat EBIT rata-
rata General Motors selama periode yang lama (N - ∞ ). Ramalan Anda akan sama dengan
ramalan kami, dan akan sama dengan ramalan semua orang yang berminat dengan saham
biasa General Motors. Selain itu, kita tidak mengharap EBIT General Motors bertumbuh
dalam perjalanan waktu. Ramalan setiap tahun sama dengan ramalan tahun lainnya. Ini
konsisten dengan asumsi kita yang mendasar persamaan 16-3 di mana aliran deviden
perusahaan tidak diharapkan bertumbuh.
4. Sekuritas diperdagangkan dalam pasar yang sempurna atau efisien. Ini berarti bahwa biaya
transaksi dan pembatasan legal tidak mengganggu insentif investor untuk melakukan
perubahan portofolio yang mereka harapkan bisa meningkatkan kekayaan. Informasi
tersedia bebas. Selain itu, perusahaan dan individu dengan risiko kredit yang sama bisa
meminjam dana dengan suku bunga yang sama.
Ini melengkapi deskripsi kita tentang situasi analitis. Sekarang kita bahas tiga pandangan berbeda
dalam kaitan dengan penggunaan leverage keuangan dan nilai saham biasa.
Bahasan dan ilustrasi kedua posisi ekstrem tentang pentingnya struktur modal yang mengikutinya
dimaksudkan untuk memperjelas perbedaan kritis diantara berbagai pandangan. In tidak berarti
bahwa pasar benar-benar berperilaku persis sama dengan posisi manapun- tidak. Intinya adalah
mengidentifikasi posisi kutub tentang cara kerja berbagai hal. Kemudian dengan mengendurkan
asumsi-asumsi yang restriktif, dapat diperoleh teori yang bermanfaat tentang bagaimana membuat
keputusan pendanaan. Hasilnya adalah pandangan ketiga yang moderat.

Teori Modiglani - Miller (MM) Tanpa Pajak


Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh dua (2) ahli manajemen keuangan yaitu Franco
Modigliani dan Merton Miller pada tahun 1958 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungannya
antara nilai perusahaan dan biaya modal dengan struktur modalnya. Pernyataan tersebut didukung
oleh adanya proses arbitrase. Melalui proses arbitrase akan membuat harga saham atau nilai
perusahaan baik yang tidak menggunakan hutang atau yang menggunaka hutang, akhirnya sama.
Proses arbitrase ini muncul karena investor bersifat rasional, artinya investor lebih menyukai
investasi yang sama tetapi menghasilkan keuntungan yang lebih besar atau dengan investasi yang
lebih kecil menghasilkan keuntungan yang sama (Sutrisno, 2013). Beberapa asumsi yang
mendasari teori MM-Tanpa Pajak :
1. Tidak terdapat agency cost.
2. Tidak ada pajak.
3. Investor dapat menggunakan utang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan
perusahaan.
4. Investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai prospek
perusahaan di masa depan.
5. Tidak ada biaya kebangkrutan.
6. Earnings Before Interest and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penggunaan dari utang.
7. Para investor adalah price-takers.
8. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar (market value).
Dengan asumsi-asumsi tersebut, Modigliani-Miller mengajukan dua proposisi yang dikenal
sebagai proposisi Modigliani-Miller tanpa pajak. Proposisi I: nilai dari perusahaan yang
menggunakan utang sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak menggunakan utang. Implikasi
dari proposisi I ini adalah struktur modal dari suatu perusahaan tidak relevan, perubahan struktur
modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan dan Weighted Average Cost of Capital (WACC)
perusahaan akan tetap sama tidak dipengaruhi 14 oleh bagaimana perusahaan memadukan utang
dan modal untuk membiayai perusahaan Proposisi II: biaya modal saham akan meningkat apabila
perusahaan melakukan atau mencari pinjaman dari pihak luar. Risk of the equity bergantung pada
risiko dari operasional perusahaan (business risk) dan tingkat utang perusahaan (financial risk).
Brealey, Myers dan Marcus (1999) dalam Aji (2003) menyimpulkan dari teori Modigliani-Miller
tanpa pajak ini yaitu tidak membedakan antara perusahaan yang menggunakan utang atau
pemegang saham memiliki utang pada saat kondisi tanpa pajak dan pasar yang sempurna. Nilai
perusahaan tidak bergantung pada struktur modalnya. Dengan kata lain, manajer keuangan tidak
dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan merubah proporsi debt dan equity yang digunakan
untuk membiayai perusahaan.

Teori Modligiani – Miller (MM) Dengan Pajak


Teori Modigliani-Miller tanpa pajak dianggap tidak realistis dan kemudian Modigliani-Miller
memasukkan faktor pajak ke dalam teorinya. Pajak dibayarkan kepada pemerintah, yang berarti
merupakan aliran kas keluar. Utang dapat digunakan untuk menghemat pajak, karena bunga dapat
dipakai 15 sebagai pengurang pajak. Dalam teori Modigliani-Miller dengan pajak ini terdapat dua
proposisi yaitu: Proposisi I: nilai dari perusahaan yang menggunakan utang sama dengan nilai dari
perusahaan yang tidak menggunakan utang ditambah dengan penghematan pajak karena bunga
utang. Implikasi dari proposisi I ini adalah pembiayaan dengan utang sangat menguntungkan dan
Modigliani-Miller menyatakan bahwa struktur modal optimal perusahaan adalah seratus persen
utang. Proposisi II: biaya modal saham akan meningkat dengan semakin meningkatnya utang,
tetapi penghematan pajak akan lebih besar dibandingkan dengan penurunan nilai karena kenaikan
biaya modal saham. Implikasi dari proposisi II ini adalah penggunaan utang yang semakin banyak
akan meningkatkan biaya modal saham. Menggunakan utang yang lebih banyak, berarti
menggunakan modal yang lebih murah (biaya modal utang lebih kecil dibandingkan dengan biaya
modal saham), sehingga akan menurunkan biaya modal rata-rata tertimbangnya (meski biaya
modal saham meningkat). Teori Modigliani-Miller tersebut sangat kontroversial. Implikasi teori
tersebut adalah perusahaan sebaiknya menggunakan utang sebanyak-banyaknya. Dalam
praktiknya, tidak ada perusahaan yang mempunyai utang sebesar itu, karena 16 semakin tinggi
tingkat utang suatu perusahaan, akan semakin tinggi juga kemungkinan kebangkrutannya. Inilah
yang melatarbelakangi teori Modigliani-Miller mengatakan agar perusahaan menggunakan utang
sebanyak-banyaknya, karena Modigliani-Miller mengabaikan biaya kebangkrutan.
Pecking Order Theory
Pecking Order Theory pertama kali diperkenalkan oleh Donaldson pada tahun 1961. Teori
pecking order menjelaskan mengapa perusahaan yang menguntungkan meminjam jumlah uang
yang lebih sedikit. Teori ini berbunyi sebagai berikut :
1. Perusahaan menyukai pendanaan internal, karena dana ini terkumpul tanpa mengirimkan
sinyal sebaliknya yang dapat menurunkan harga saham.
2. Jika dana eksternal dibutuhkan, perusahaan menerbitkan utang lebih dahulu dan hanya
menerbitkan ekuitas sebagai pilihan terakhir. Pecking order ini muncul karena penerbitan
utang tidak terlalu diterjemahkan sebagai pertanda buruk oleh investor bila dibandingkan
dengan penerbitan ekuitas.
Menurut teori pecking order yang dikutip oleh Smart dan Gitman (2009) terdapat skenario
urutan (hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu :
1. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau pendanaan
internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba ditahan
yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan.
2. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama kali mulai
dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah resikonya, turun ke
hutang yang lebih beresiko, sekuritas 16 hybrid seperti obligai konversi, saham preferen,
dan yang terakhir saham biasa.
3. Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah
pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan
tersebut untung atau rugi.
4. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan deviden yang
konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan investasi, maka
perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia.
Brealy dan Myers (2014) menyatakan pecking order theory diawali dengan berdasarkan asumsi
asimetris manajer yang mengetahui lebih banyak informasi dari pada investor luar tentang
profitabilitas dan prospek perusahaan. Informasi ini mempengaruhi pilihan antara pembiayaan
internal dan eksternal. Pecking order theory tidak menyangkal bahwa pajak dan masalah keuangan
dapat menjadi faktor penting dalam pilihan struktur modal. Meskipun demikian teori ini
menyatakan bahwa faktor – faktor ini tidak terlalu penting dibandingkan preferensi manajer atas
dana internal melebihi dana eksternal atas pendanaan utang melebihi penerbitan saham yang baru
(Brealy danMyers, 2014).
Spesifikasi Model Pecking Order Theory
Shyam-Sunder dan Myers (1999) mengembangkan model sederhana dari pecking order theory
(POT), dimana jika perusahaan membutuhkan dana dari pihak eksternal, maka akan menggunakan
Debt, bukan Equity. Equity financing hanya akan digukanan dalam kondisi yang sangat mendesak,
yaitu jika biaya akibat dari financial distress menjadi begitu tinggi dan debt capacity perusahaan
telah dilampaui. Spesifikasi model pengujian POT adalah dalam bentuk persamaan
berikut:
Δ Dit = α + βPO DEFit + εit (6)
dimana Δ Dit adalah debt yang dikeluarkan oleh perusahaan i pada tahun t, DEFit adalah deficit
cash flow, dan βPO adalah koefisien pecking order dari DEF, serta εit merupakan error terms yang
mana εit ~idd(0,σ e 2 ) Jadi persamaan (6) tersebut diatas menggambarkan hubungan antara
kekurangan dana dengan penarikan pinjaman, atau antara kelebihan dana dengan pembayaran
kembali pinjaman.
Dengan mengikuti model yang digunakan oleh Frank dan Goyal (2003), cash
flow deficit didefinisikan sbb:
DEF = – CF + I + DIV + Δ C = (Δ D + ΔE) (7)
Dimana CF adalah arus kas dari operasi perusahaan dikurangi dengan hasil investasi dan bunga
pinjaman setelah dikurangi pajak, I adalah investasi neto, DIV adalah dividen yang dibayar, Δ C
adalah perubahan kas bersih, Δ D adalah perubahan bersih debt, dan ΔE adalah perubahan bersih
equity.
Baik Shyam-Sunder dan Myers (1999) maupun Frank dan Goyal (2003) menggunakan tiga
macam proxy untuk debt yang diterbitkan perusahaan, yaitu delta total debt ratio, net debt issued
dibagi dengan nilai perusahaan, dan gross debt issued masing-masing dibagi dengan nilai
perusahaan

Balancing Theory
Sejak tahun 1976, teori keuangan memakai model ekonomi standar untuk menggambarkan
perilaku perusahaan. Model tersebut menganggap perusahaan seperti sebuah kotak hitam yang
memproses input menjadi suatu output dan perusahaan diasumsikan akan memberikan respon
rasional terhadap adanya insentif ekonomi.
Model struktur modal dalam lingkup Balancing theories (Myers,1984 dan Bayles and
Diltz,1994) disebut sebagai teori keseimbangan yaitu menyeimbangkan komposisi hutang dan
modal sendiri. Teori ini pada intinya yaitu menyeimbangkan antara manfaat dan pengorbanan yang
timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat masih besar ,hutang akan ditambah.
Tetapi bila pengorbanan karena menggunakan hutang sudah lebih besar maka hutang tidak lagi
ditambah. Pengorbanan karena menggunakan hutang tersebut bisa dalam bentuk biaya
kebangkrutan (Bankruptcy cost) dan biaya keagenan (agency cost). Biaya kebangkrutan antara lain
terdiri dari legal fee yaitu biaya yang harus dibayar kepada ahli hukum untuk menyelesaikan klaim
dan distress price yaitu kekayaan perusahaan yang terpaksa dijual dengan harga murah sewaktu
perusahaan dianggap bangkrut. Semakin besar kemungkinan terjadi kebangkrutan dan semakin
besar biaya kebangkrutan, semakin tidak menarik menggunakan hutang. Hal ini disebabkan karena
adanya biaya kebangkrutan, biaya modal sendiri akan naik dengan tingkat yang makin cepat.
Sebagai akibatnya, meskipun memperoleh manfaat penghematan pajak dari penggunaan hutang
yang besar berdampak oleh kenaikan biaya modal sendiri yang tajam, sehingga berakhir dengan
menaikkan biaya perusahaan.
Masulis (1980),dalam Suad Husnan (1998), juga membahas biaya kebangkrutan saat
membuktikan dampak perubahan komposisi hutang terhadap harga saham. Masulis menunjukkan
bahwa abnormal returns pada hari pengumuman dan sehari setelah pengumuman dari perusahaan-
perusahaan yang meningkatkan proporsi penggunaan hutang, ternyata positif.
Sedangkan perusahaan yang menurunkan leverage ternyata memperoleh abnormal returns
yang negatif pada hari pengumuman dan sehari setelahnya. Abnormal returns yang positif berarti
bahwa keuntungan yang diperoleh para pemodal lebih besar dari keuntungan yang seharusnya.
Abnormal returns yang positif bagi perusahaan yang meningkatkan proporsi penggunaan hutang
berarti bahwa peningkatan leverage dinilai memberikan manfaat bagi pemodal dalam bentuk
penghematan pajak. Disamping itu mereka juga menunjukkan bahwa nampaknya manfaat dari
penghematan pajak lebih dari kerugian karena kemungkinan munculnya biaya kebangkrutan.
Menurut MM dalam Dermawan Sjahrial (2009), Biaya lain yang timbul adalah biaya
keagenan yaitu biaya yang muncul kerena perusahaan menggunakan hutang dan melibatkan
hubungan antara pemilik perusahaan (pemegang saham) dan kreditur. Ada kemungkinan pemilik
perusahaan yang menggunakan hutang melakukan tindakan yang merugikan kreditur, sebagai
misal perusahaan melakukan investasi pada proyek-proyek beresiko tinggi. Biaya keagenan ini
antara lain terdiri dari biaya kehilangan kebebasan karena kreditur melindungi diri dengan
perjanjian-perjanjian pada saat memberikan kredit, dan biaya memonitor perusahaan untuk
menjamin perusahaan menaati perjanjian yang dibebankan pada perusahaan dalam bentuk bunga
hutang yang lebih.
2.1.1.4. Trade Off Theory.
Teori Trade off menjelaskan adanya hubungan antara pajak, resiko kebangkrutan dan
penggunaan hutang yang disebabkan keputusan struktur modal yang diambil perusahaan (Brealey
dan Myers,1991).Teori ini merupakan keseimbangan antara keuntungan dan kerugian atas
penggunaan hutang. Modeltrade-off mengasumsikan bahwa struktur modal perusahaan
merupakan hasil trade-off dari keuntungan pajak dengan menggunakan hutang dengan biaya yang
akan timbul sebagai akibat penggunaan hutang tersebut (Hartono, 2003), dalam Laksmi,2010.
Esensi trade-off theory dalam struktur modal adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan
yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar, tambahan hutang
masih diperkenankan. Apabila pengorbanan karena penggunaan hutang sudah lebih besar, maka
tambahan hutang sudah tidak diperbolehkan. Trade-off theory telah mempertimbangkan berbagai
faktor seperti corporate tax, biaya kebangkrutan, dan personal tax dalam menjelaskan mengapa
suatu perusahaan memilih struktur modal tertentu (Suad Husnan, 2001). Kesimpulannya adalah
penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi hanya pada sampai titik tertentu.
Setelah titik tersebut, penggunaan hutang justru menurunkan nilai perusahaan (Hartono, 2003).
Walaupun model trade-off theory tidak dapat menentukan secara tepat struktur modal yang
optimal, namun model tersebut memberikan kontribusi penting yaitu (Hartono, 2003); dalam
laksmi,2010:
1. Perusahaan yang memiliki aktiva yang tinggi, sebaiknya menggunakan sedikit hutang.
2. Perusahaan yang membayar pajak tinggi sebaiknya lebih banyak menggunakan hutang
dibandingkan perusahaan yang membayar pajak rendah.
PENGUJIAN EMPIRIS STRUKTUR MODAL
ALAT-ALAT DASAR MANAJEMEN STRUKTUR MODAL
Pemahaman Anda tentang teori struktur modal telah berkembang. Ini membuat anda
lebih mampu mencari stuktur modal yung upcimal bagi perusahaan Anda.
Ada beberapa alat yang bisa membantu Anda dalam proses pencarian ini dan yang
sekaligus membantu Anda mengambil pilian pendanaan yang berhati-hati. Alat-alat in
berorientasi pada keputusan. Mereka membantu kita menjawab pertanyaan, "Kalau kita butuh
lagi $20 juta, apakah sebaiknya kita menerbitkan saham biasa atau menjual obligasi jangka
panjang?"
Efek leverage keuangan pertama adalah tambahan variabilitas aliran EPS yang
menggunakan sekuritas dengan bean tetap dalam struktur modal perusahaan. Dengan ukuran
derajat leverage keuangan (DFL𝐸𝐵𝐼𝑇), telah kita jelaskan bagaimana variabilitas ini dapat
dikuantifikasi. Perusahaan yang menggunakan lebih banyak leverage keuangan akan mengalami
perubahan relatif yang lebih besar dalam EPS-nya sesuai dengan fluktuasi EBIT ketimbang yang
sebaliknya. Misalkan Pierce Grain memilih rencana pendanaan C ketimbang A. Leverage pada
rencana C sangat tinggi, sedang A tanpa leverage. Kenaikan 100 persen dalam EBIT dari $20.000
ke $40.000 akan menyebabkan EPS naik 147 persen dengan rencana C, namun hanya 100 persen
menurut rencana A. Sayangnya, efeknya akan beroperasi dalam arah negatif pula. Perubahan EBIT
akan diperbesar dengan penggunaan leverage keuangan. Pembesaran ini tercermin dalam
variabilitas EPS perusahaan. Lihat boks Persoalan Keuangan, "Ben Bernanke tentang Teori Arus
Kas Bebas Struktur Modal dan Menumpukya Hutang Korporat".
Efek leverage keuangan kedua terkait dengan tingkat EPS pada EBIT tertentu dengan
struktur modal tertentu. Lihat Tabel 16-5. Pada tingkat EBIT $20.000, EPS akan menjadi $5,
$5,33, dan $5,67 menurut rencana A, B, dan C. Di atas titik kritis EBIT, EPS perusahaan akan
lebih tinggi bila digunakan leverage yang lebih besar.
Demikian pula sebaliknya, di bawah titik kritis EBIT, EPS akan menderita leverage keuangan yang
lebih besar. Bila efek leverage keuangan pertama dikuantifikasi menurut derajat leverage
keuangan (DFLEBIT), yang kedua dikuantifiksi dengan apa yang disebut sebagai analisis EBIT-
EPS. Logika di balik jenis analisis ini sederhana. Earning merupakan salah satu variabel kunci
yang mempengaruhi nilai pasar saham biasa perusahaan. Maka, efek keputusan pendanaan pada
EPS harus dipahami karena keputusan itu mungkin akan mempengaruhi nilai investasi pemegang
saham.
BEN BERNANKE TENTANG TEORI ARUS KAS BEBAS DARI STRUKTUR MODAL
DAN MENUMPUKNYA HUTANG KORPORAT
Para wartawan bisnis dan periset akademis membuat beberapa penjelasan tentang makin
banyaknya penggunaan pendanaan hutang oleh perusahaan pada tahun 1980-an. Tidak semua
analis menerima hipotesis kontrol Jensen untuk penciptaan hutang. Profesor Bernanke ragu-ragu.
la mengulas tori arus kas bebas Jensen dan mengomentari menumpuknya leverage korporat tahun
1980-an. "Pendekatan berbasis insentif" merupakan istilah Bernanke untuk teori arus kas bebas
struktur modal.
Idenya adalah bahwa struktur kuangan perusahaan mempengaruhi insentif "orang dalam"
(manajer, direktur, pemegang saham besar dengan kepentingan operasional dalam bisnis itu) dan
secara Khusus tingkat hutang yang tinggi, semuanya bisa meningkatkan keinginan orang dalam
untuk meraih laba agar bekerja keras dan mengambil keputusan yang memaksimalkan laba.
Pendekatan berbasis insentif ini membuat kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang struktur
modal perusahaan. Namun sementara teori ini menjelaskan mengapa perusahaan secara umum
suka menggunakan hutang, ini tidak menjelaskan mengapa penggunaan hutang telah meningkat
beberapa tahun terakhir ini.
Michel Jensen, pendiri dan pendukung utama pendekatan berbasis insentif terhadap
struktur modal, berkata bahwa itu bisa saja. Jensen fokus pada memburukya persoalan "arus kas
bebas" akhir-akhir ini. Arus kas bebas didefinisikan sebagai bagian arus kas perusahaan yang tidak
dapat diinvestasikan secara menguntungkan di dalam perusahaan. Perusahaan dalam berbagai
industri yang menguntungkan tidak lagi punya banyak potensi untuk ekspansi, misalnya industri
minyak AS punya banyak arus kas bebas.
Mengapa arus kas bebas menjadi masalah? Jensen berpendapat bahwa manajer kerap
tergoda menggunakan arus kas bebas untuk memperluas ukuran perusahaan, bahkan bila ekspansi
itu tidak menguntungkan. Ini karena manajer merasa bahwa kekuasaan dan kepuasan mereka akan
meningkat dengan makin besarnya perusahaan; karena kompensasi manajer terkait dengan
profitabilitas perusahaan. Jensen berpendapat bahwa manajer akan secara pribadi merasa berharga
melakukan ekspansi ke operasi-operasi yang menghasilkan duit. Dalam prinsipnya, dewan direktur
dan pemegang saham harus mampu memblokir investasi yang tidak menguntungkan ini, namun
dalam praktek manajemen biasanya punya informasi lebih banyak tentang investasi potensial
ketimbang para direktur luar dan pemegang saham, sehingga sulit memberikan pandangan kedua
selain rekomendasi manajemen.
Bagaimana Leverage Lebih Banyak bisa Bermanfaat
Manajer dengan banyak arus kas bebas mungkin berusaha menggunakan uang itu untuk
meningkatkan kekuasaan dan tunjangan yang didapatkannya, dengan beban ditanggung pemegang
saham. Jensen berpendapat bahwa solusi bagi masalah arus kas bebas adalah leverage yang lebih
besar. Misalnya, misalkan manajemen menggunakan arus kas bebas perusahaan, ditambah
penerimaan dari penerbitan hutang baru, adalah membeli kembali saham dari pemegang saham
luar, yakni melakukan management buyout. Ini membantu menyelesaikan masalah arus kas bebas
dengan beberapa cara. Pengembalian pribadi manajer sekarang lebih terkait dengan laba
perusahaan, yang memberi mereka insentif agar lebih efisien. Kedua, proses penggunaan leverage
menyingkirkan arus kas bebas yang ada dalam perusahaan, sehingga proyek investasi apapun di
masa mendatang harus didanai secara eksternal. Maka proyek masa depan harus memenuhi uji
pasar yang bisa diterima oleh bank luar atau pembeli obligasi. Akhirnya, pembayaran bunga yang
tinggi akibat leverage mengakibatkan disiplin yang permanen pada diri manajer. Supaya bisa
memenuhi pembayaran ini, mereka harus dengan kejam memangkas operasi yang memboroskan
uang, menghindari investasi yang dipertanyakan, dan melakukan tindakan lain yang mendukung
efisiensi.
Menurut Jensen, masalah kenaikan besar dalam arus kas bebas akibat deregulasi,
matangnya sejumlah industri besar, dan beberapa faktor lain merupakan sumber ekspansi hutang
besar akhir-akhir ini. Jensen juga menunjuk beberapa faktor institusional yang mendorong
meningkatnya leverage, seperti mengendurnya pembatasan merger, yang telah menurunkan
hambatan pengambil-alihan korporat akibat hukum anti trust dan makin canggihnya keuangan,
seperti meningkatnya operasi besar spesialis pengambilalihan misalnya Drexel Burnham Lambert
Inc. dan pengembangan pasar "junk bond", Diagnosis Jensen tidak kontroversial: sangat tepat
bahwa faktor-faktor ini plus berubahnya norma tentang seberapa tingkat hutang yang "bisa
diterima", paling tidak menjelaskan bagian dari trend menuju peningkatan hutang korporat. Salah
satu bagian penting bukti yang mendukung penjelasan ini adalah bahwa penerbitan ekuitas bersih
selama ini cukup negatif sejak 1983. Ini menyatakan bahwa banyak penerimaan penerbitan baru
digunakan untuk membeli kembali saham Yang ada. Inilah yang terjadi bila perusahaan berúsaha
me-leverage-kan kembali aktiva mereka yang ada dan bukannya menggunakan hutang untuk
memperluas kepemilikan aktiva mereka. Namun, kesimpulannya bahwa tumpukan hutang secara
keseluruhan berguna bagi ekonomi, itulah yang lebih kontroversial.
Kritik, terhadap-Penalaran berbasis Insentif bagi Peningkatan Hutang
Jensen dan dua pendukung lain pendekatan berbasis insentif relah membuat kasus teoretis yang
meyakinkan bagi efek, menguntungkan pendanaan hutang, dan banyak perancang restrukturisasi
berskala besar telah memberikan insentif makin besar dan janji efisiensi yang lebih besar sebagai
bagian dari logika peningkatan leverage. Ide bahwa leverage bermanfaat tentu saja dianut oleh
pasar saham: bahkan rumor tanpa bukti tentang kemungkinan leverage buyout (LBO) telah cukup
membuat harga saham perusahaan yang dibidik meledak kerap sampai 40 persen atau lebih. Paling
tidak, ini menunjukkan bahwa peserta pasar saham percaya bahwa leverage yang lebih tinggi
meningkatkan profitabilitas. Pendukung restrukturisasi menafsirkan bukti ini bahwa hutang baik
bagi ekonomi.
Namun ada juga kritik terhadap kesimpulan ini. Pertama, fakta bahwa harapan pasar saham
atas profitabilitas perusahaan naik bila ada buyout bukan bukti bahwa laba akan naik dalam
kenyataan. Masih terlalu dini menilai apakah kenaikan leverage dalam tahun 1980-an akan
mengantar kepada kenaikan profitabilitas yang berkelanjutan. Orang bisa merenungkan data
historis untuk menjawab pertanyaan ini. Namun buyout dalam tahun 1960-an dan 1970-an sedikit
berbeda karakternya dari restrukturisasi yang lebih belakangan ini, dan toh bukti profitabilitas
dalam episode sebelumnya tercampur baur. Bahkan bila laba lebih tinggi yang diharapkan pasar
saham menjadi nyata, ada anggapan atas asal-usulnya. Teori struktur modal berbasis insentif
mengatakan bahwa laba itu berasal dari perbaikan efisiensi. Namun sebagian penentang teori ini
menyatakan bahwa laba lebih tinggi terutama mencerminkan transfer ke pemegang saham dari
pihak lain karyawan, pelanggan, pemasok, pemegang obligasi, dan pemerintah. Pelanggan
mungkin menderita bila pengambil-alihan terkait dengan meningkatnya monopolisasi pasar.
Pemegang obligasi paling rugi dalam sejumlah buyout, Karena leverage yang lebih tinggi
meningkatkan risiko bangkrut dan mengurangi nilai obligasi yang ada.
Pemerintah mungkin kehilangan pemasukan pajak, seperti halnya perusahaan, karena
peningkatan leverage mengaki-batkan peningkatan potongan bunga (meskipun dimbangi pajak
yang dibayar oleh pemegang saham atas capital gain mereka). Persepsi bahwa banyak laba yang
terkait dengan leverage dan buyout berasal dari “perasan” para pewaris perusahaan menjelaskan
banyak agitasi politik mutakhir untuk membatasi aktivitas ini.
Menumpuknya hutang juga bisa dikritik dari perspektif teori berbasis insentif itu sendiri.
Dua hal patut dikemukakan: pertama, masalah utama bahwa leverage lebih tinggi dianggap
menjawab hubungan yang relatif lemah antara laba perusahaan dan pengembalian pribadi manajer,
yang mengurangi insentif manajer untuk mengambil tindakan memaksimalkan laba. Namun bila
ini masalah yang sebenarya, ini bisa dijawab lebih langsung tanpa harus mengaitkan perusahaan
ke risiko kebangkrutan serius, hanya dengan mengubah skema kompensasi manajerial agar bisa
mencakup lebih banyak insentif berbasis laba.
Penurunan Pendanaan Hutang
Meningkatnya hutang bukan solusi optimal bagi semua masalah insentif. Misalnya, seperti sudah
diperlihatkan, sebagai, proposisi teoretis, bahwa manajer perusahaan dengan pendanaan hutang
punya insentif untuk memilih proyek-proyek berisiko ketimbang yang aman; ini karena peusahaan
dengan kewajiban hutang tetap menikmati semua potensi ke atas proyek-proyek berisiko tinggi
namun juga ikut menanggung sisi rugi ke bawah dengan pemilik hutang, yang tidak dibayar penuh
bila investasi buruk menyebabkan perusahaan gagal.
Bahwa leverage yang tinggi tidak selalu mendukung efisiensi dapat dilihat ketika
perusahaan dengan leverage tinggi menderita rugi dan berada dalam kesulitan keuangan. Ketika
terjadi kesulitan keuangan, kebutuhan memenuhi pembayaran bunga mungkin memaksa manajer
untuk mengambil perspektif jangka pendek yang membuat mereka memangkas produksi dan
tenaga kerja, serta menjual aktiva dengan harga obral. Karena risiko bangkrut begitu besar,
perusahaan yang dalam kesulitan keuangan tidak dapat membuat kesepakatan jangka panjang;
mereka kehilangan pelanggan dan pemasok yang takut bahwa mereka tidak dapat mengandalkan
kelanjutan hubungan serta mereka harus membayar upah yang lebih tinggi untuk mempekerjakan
orang. Kerugian efisiensi ini, ditambah biaya langsung kebangkrutan (seperti biaya hukum)
merupakan sisi ke bawah dari leverage yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai