PENDAHULUAN
D𝑡
𝑃𝑜 =
(1 + K𝑐)𝑡
Balancing Theory
Sejak tahun 1976, teori keuangan memakai model ekonomi standar untuk menggambarkan
perilaku perusahaan. Model tersebut menganggap perusahaan seperti sebuah kotak hitam yang
memproses input menjadi suatu output dan perusahaan diasumsikan akan memberikan respon
rasional terhadap adanya insentif ekonomi.
Model struktur modal dalam lingkup Balancing theories (Myers,1984 dan Bayles and
Diltz,1994) disebut sebagai teori keseimbangan yaitu menyeimbangkan komposisi hutang dan
modal sendiri. Teori ini pada intinya yaitu menyeimbangkan antara manfaat dan pengorbanan yang
timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat masih besar ,hutang akan ditambah.
Tetapi bila pengorbanan karena menggunakan hutang sudah lebih besar maka hutang tidak lagi
ditambah. Pengorbanan karena menggunakan hutang tersebut bisa dalam bentuk biaya
kebangkrutan (Bankruptcy cost) dan biaya keagenan (agency cost). Biaya kebangkrutan antara lain
terdiri dari legal fee yaitu biaya yang harus dibayar kepada ahli hukum untuk menyelesaikan klaim
dan distress price yaitu kekayaan perusahaan yang terpaksa dijual dengan harga murah sewaktu
perusahaan dianggap bangkrut. Semakin besar kemungkinan terjadi kebangkrutan dan semakin
besar biaya kebangkrutan, semakin tidak menarik menggunakan hutang. Hal ini disebabkan karena
adanya biaya kebangkrutan, biaya modal sendiri akan naik dengan tingkat yang makin cepat.
Sebagai akibatnya, meskipun memperoleh manfaat penghematan pajak dari penggunaan hutang
yang besar berdampak oleh kenaikan biaya modal sendiri yang tajam, sehingga berakhir dengan
menaikkan biaya perusahaan.
Masulis (1980),dalam Suad Husnan (1998), juga membahas biaya kebangkrutan saat
membuktikan dampak perubahan komposisi hutang terhadap harga saham. Masulis menunjukkan
bahwa abnormal returns pada hari pengumuman dan sehari setelah pengumuman dari perusahaan-
perusahaan yang meningkatkan proporsi penggunaan hutang, ternyata positif.
Sedangkan perusahaan yang menurunkan leverage ternyata memperoleh abnormal returns
yang negatif pada hari pengumuman dan sehari setelahnya. Abnormal returns yang positif berarti
bahwa keuntungan yang diperoleh para pemodal lebih besar dari keuntungan yang seharusnya.
Abnormal returns yang positif bagi perusahaan yang meningkatkan proporsi penggunaan hutang
berarti bahwa peningkatan leverage dinilai memberikan manfaat bagi pemodal dalam bentuk
penghematan pajak. Disamping itu mereka juga menunjukkan bahwa nampaknya manfaat dari
penghematan pajak lebih dari kerugian karena kemungkinan munculnya biaya kebangkrutan.
Menurut MM dalam Dermawan Sjahrial (2009), Biaya lain yang timbul adalah biaya
keagenan yaitu biaya yang muncul kerena perusahaan menggunakan hutang dan melibatkan
hubungan antara pemilik perusahaan (pemegang saham) dan kreditur. Ada kemungkinan pemilik
perusahaan yang menggunakan hutang melakukan tindakan yang merugikan kreditur, sebagai
misal perusahaan melakukan investasi pada proyek-proyek beresiko tinggi. Biaya keagenan ini
antara lain terdiri dari biaya kehilangan kebebasan karena kreditur melindungi diri dengan
perjanjian-perjanjian pada saat memberikan kredit, dan biaya memonitor perusahaan untuk
menjamin perusahaan menaati perjanjian yang dibebankan pada perusahaan dalam bentuk bunga
hutang yang lebih.
2.1.1.4. Trade Off Theory.
Teori Trade off menjelaskan adanya hubungan antara pajak, resiko kebangkrutan dan
penggunaan hutang yang disebabkan keputusan struktur modal yang diambil perusahaan (Brealey
dan Myers,1991).Teori ini merupakan keseimbangan antara keuntungan dan kerugian atas
penggunaan hutang. Modeltrade-off mengasumsikan bahwa struktur modal perusahaan
merupakan hasil trade-off dari keuntungan pajak dengan menggunakan hutang dengan biaya yang
akan timbul sebagai akibat penggunaan hutang tersebut (Hartono, 2003), dalam Laksmi,2010.
Esensi trade-off theory dalam struktur modal adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan
yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar, tambahan hutang
masih diperkenankan. Apabila pengorbanan karena penggunaan hutang sudah lebih besar, maka
tambahan hutang sudah tidak diperbolehkan. Trade-off theory telah mempertimbangkan berbagai
faktor seperti corporate tax, biaya kebangkrutan, dan personal tax dalam menjelaskan mengapa
suatu perusahaan memilih struktur modal tertentu (Suad Husnan, 2001). Kesimpulannya adalah
penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi hanya pada sampai titik tertentu.
Setelah titik tersebut, penggunaan hutang justru menurunkan nilai perusahaan (Hartono, 2003).
Walaupun model trade-off theory tidak dapat menentukan secara tepat struktur modal yang
optimal, namun model tersebut memberikan kontribusi penting yaitu (Hartono, 2003); dalam
laksmi,2010:
1. Perusahaan yang memiliki aktiva yang tinggi, sebaiknya menggunakan sedikit hutang.
2. Perusahaan yang membayar pajak tinggi sebaiknya lebih banyak menggunakan hutang
dibandingkan perusahaan yang membayar pajak rendah.
PENGUJIAN EMPIRIS STRUKTUR MODAL
ALAT-ALAT DASAR MANAJEMEN STRUKTUR MODAL
Pemahaman Anda tentang teori struktur modal telah berkembang. Ini membuat anda
lebih mampu mencari stuktur modal yung upcimal bagi perusahaan Anda.
Ada beberapa alat yang bisa membantu Anda dalam proses pencarian ini dan yang
sekaligus membantu Anda mengambil pilian pendanaan yang berhati-hati. Alat-alat in
berorientasi pada keputusan. Mereka membantu kita menjawab pertanyaan, "Kalau kita butuh
lagi $20 juta, apakah sebaiknya kita menerbitkan saham biasa atau menjual obligasi jangka
panjang?"
Efek leverage keuangan pertama adalah tambahan variabilitas aliran EPS yang
menggunakan sekuritas dengan bean tetap dalam struktur modal perusahaan. Dengan ukuran
derajat leverage keuangan (DFL𝐸𝐵𝐼𝑇), telah kita jelaskan bagaimana variabilitas ini dapat
dikuantifikasi. Perusahaan yang menggunakan lebih banyak leverage keuangan akan mengalami
perubahan relatif yang lebih besar dalam EPS-nya sesuai dengan fluktuasi EBIT ketimbang yang
sebaliknya. Misalkan Pierce Grain memilih rencana pendanaan C ketimbang A. Leverage pada
rencana C sangat tinggi, sedang A tanpa leverage. Kenaikan 100 persen dalam EBIT dari $20.000
ke $40.000 akan menyebabkan EPS naik 147 persen dengan rencana C, namun hanya 100 persen
menurut rencana A. Sayangnya, efeknya akan beroperasi dalam arah negatif pula. Perubahan EBIT
akan diperbesar dengan penggunaan leverage keuangan. Pembesaran ini tercermin dalam
variabilitas EPS perusahaan. Lihat boks Persoalan Keuangan, "Ben Bernanke tentang Teori Arus
Kas Bebas Struktur Modal dan Menumpukya Hutang Korporat".
Efek leverage keuangan kedua terkait dengan tingkat EPS pada EBIT tertentu dengan
struktur modal tertentu. Lihat Tabel 16-5. Pada tingkat EBIT $20.000, EPS akan menjadi $5,
$5,33, dan $5,67 menurut rencana A, B, dan C. Di atas titik kritis EBIT, EPS perusahaan akan
lebih tinggi bila digunakan leverage yang lebih besar.
Demikian pula sebaliknya, di bawah titik kritis EBIT, EPS akan menderita leverage keuangan yang
lebih besar. Bila efek leverage keuangan pertama dikuantifikasi menurut derajat leverage
keuangan (DFLEBIT), yang kedua dikuantifiksi dengan apa yang disebut sebagai analisis EBIT-
EPS. Logika di balik jenis analisis ini sederhana. Earning merupakan salah satu variabel kunci
yang mempengaruhi nilai pasar saham biasa perusahaan. Maka, efek keputusan pendanaan pada
EPS harus dipahami karena keputusan itu mungkin akan mempengaruhi nilai investasi pemegang
saham.
BEN BERNANKE TENTANG TEORI ARUS KAS BEBAS DARI STRUKTUR MODAL
DAN MENUMPUKNYA HUTANG KORPORAT
Para wartawan bisnis dan periset akademis membuat beberapa penjelasan tentang makin
banyaknya penggunaan pendanaan hutang oleh perusahaan pada tahun 1980-an. Tidak semua
analis menerima hipotesis kontrol Jensen untuk penciptaan hutang. Profesor Bernanke ragu-ragu.
la mengulas tori arus kas bebas Jensen dan mengomentari menumpuknya leverage korporat tahun
1980-an. "Pendekatan berbasis insentif" merupakan istilah Bernanke untuk teori arus kas bebas
struktur modal.
Idenya adalah bahwa struktur kuangan perusahaan mempengaruhi insentif "orang dalam"
(manajer, direktur, pemegang saham besar dengan kepentingan operasional dalam bisnis itu) dan
secara Khusus tingkat hutang yang tinggi, semuanya bisa meningkatkan keinginan orang dalam
untuk meraih laba agar bekerja keras dan mengambil keputusan yang memaksimalkan laba.
Pendekatan berbasis insentif ini membuat kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang struktur
modal perusahaan. Namun sementara teori ini menjelaskan mengapa perusahaan secara umum
suka menggunakan hutang, ini tidak menjelaskan mengapa penggunaan hutang telah meningkat
beberapa tahun terakhir ini.
Michel Jensen, pendiri dan pendukung utama pendekatan berbasis insentif terhadap
struktur modal, berkata bahwa itu bisa saja. Jensen fokus pada memburukya persoalan "arus kas
bebas" akhir-akhir ini. Arus kas bebas didefinisikan sebagai bagian arus kas perusahaan yang tidak
dapat diinvestasikan secara menguntungkan di dalam perusahaan. Perusahaan dalam berbagai
industri yang menguntungkan tidak lagi punya banyak potensi untuk ekspansi, misalnya industri
minyak AS punya banyak arus kas bebas.
Mengapa arus kas bebas menjadi masalah? Jensen berpendapat bahwa manajer kerap
tergoda menggunakan arus kas bebas untuk memperluas ukuran perusahaan, bahkan bila ekspansi
itu tidak menguntungkan. Ini karena manajer merasa bahwa kekuasaan dan kepuasan mereka akan
meningkat dengan makin besarnya perusahaan; karena kompensasi manajer terkait dengan
profitabilitas perusahaan. Jensen berpendapat bahwa manajer akan secara pribadi merasa berharga
melakukan ekspansi ke operasi-operasi yang menghasilkan duit. Dalam prinsipnya, dewan direktur
dan pemegang saham harus mampu memblokir investasi yang tidak menguntungkan ini, namun
dalam praktek manajemen biasanya punya informasi lebih banyak tentang investasi potensial
ketimbang para direktur luar dan pemegang saham, sehingga sulit memberikan pandangan kedua
selain rekomendasi manajemen.
Bagaimana Leverage Lebih Banyak bisa Bermanfaat
Manajer dengan banyak arus kas bebas mungkin berusaha menggunakan uang itu untuk
meningkatkan kekuasaan dan tunjangan yang didapatkannya, dengan beban ditanggung pemegang
saham. Jensen berpendapat bahwa solusi bagi masalah arus kas bebas adalah leverage yang lebih
besar. Misalnya, misalkan manajemen menggunakan arus kas bebas perusahaan, ditambah
penerimaan dari penerbitan hutang baru, adalah membeli kembali saham dari pemegang saham
luar, yakni melakukan management buyout. Ini membantu menyelesaikan masalah arus kas bebas
dengan beberapa cara. Pengembalian pribadi manajer sekarang lebih terkait dengan laba
perusahaan, yang memberi mereka insentif agar lebih efisien. Kedua, proses penggunaan leverage
menyingkirkan arus kas bebas yang ada dalam perusahaan, sehingga proyek investasi apapun di
masa mendatang harus didanai secara eksternal. Maka proyek masa depan harus memenuhi uji
pasar yang bisa diterima oleh bank luar atau pembeli obligasi. Akhirnya, pembayaran bunga yang
tinggi akibat leverage mengakibatkan disiplin yang permanen pada diri manajer. Supaya bisa
memenuhi pembayaran ini, mereka harus dengan kejam memangkas operasi yang memboroskan
uang, menghindari investasi yang dipertanyakan, dan melakukan tindakan lain yang mendukung
efisiensi.
Menurut Jensen, masalah kenaikan besar dalam arus kas bebas akibat deregulasi,
matangnya sejumlah industri besar, dan beberapa faktor lain merupakan sumber ekspansi hutang
besar akhir-akhir ini. Jensen juga menunjuk beberapa faktor institusional yang mendorong
meningkatnya leverage, seperti mengendurnya pembatasan merger, yang telah menurunkan
hambatan pengambil-alihan korporat akibat hukum anti trust dan makin canggihnya keuangan,
seperti meningkatnya operasi besar spesialis pengambilalihan misalnya Drexel Burnham Lambert
Inc. dan pengembangan pasar "junk bond", Diagnosis Jensen tidak kontroversial: sangat tepat
bahwa faktor-faktor ini plus berubahnya norma tentang seberapa tingkat hutang yang "bisa
diterima", paling tidak menjelaskan bagian dari trend menuju peningkatan hutang korporat. Salah
satu bagian penting bukti yang mendukung penjelasan ini adalah bahwa penerbitan ekuitas bersih
selama ini cukup negatif sejak 1983. Ini menyatakan bahwa banyak penerimaan penerbitan baru
digunakan untuk membeli kembali saham Yang ada. Inilah yang terjadi bila perusahaan berúsaha
me-leverage-kan kembali aktiva mereka yang ada dan bukannya menggunakan hutang untuk
memperluas kepemilikan aktiva mereka. Namun, kesimpulannya bahwa tumpukan hutang secara
keseluruhan berguna bagi ekonomi, itulah yang lebih kontroversial.
Kritik, terhadap-Penalaran berbasis Insentif bagi Peningkatan Hutang
Jensen dan dua pendukung lain pendekatan berbasis insentif relah membuat kasus teoretis yang
meyakinkan bagi efek, menguntungkan pendanaan hutang, dan banyak perancang restrukturisasi
berskala besar telah memberikan insentif makin besar dan janji efisiensi yang lebih besar sebagai
bagian dari logika peningkatan leverage. Ide bahwa leverage bermanfaat tentu saja dianut oleh
pasar saham: bahkan rumor tanpa bukti tentang kemungkinan leverage buyout (LBO) telah cukup
membuat harga saham perusahaan yang dibidik meledak kerap sampai 40 persen atau lebih. Paling
tidak, ini menunjukkan bahwa peserta pasar saham percaya bahwa leverage yang lebih tinggi
meningkatkan profitabilitas. Pendukung restrukturisasi menafsirkan bukti ini bahwa hutang baik
bagi ekonomi.
Namun ada juga kritik terhadap kesimpulan ini. Pertama, fakta bahwa harapan pasar saham
atas profitabilitas perusahaan naik bila ada buyout bukan bukti bahwa laba akan naik dalam
kenyataan. Masih terlalu dini menilai apakah kenaikan leverage dalam tahun 1980-an akan
mengantar kepada kenaikan profitabilitas yang berkelanjutan. Orang bisa merenungkan data
historis untuk menjawab pertanyaan ini. Namun buyout dalam tahun 1960-an dan 1970-an sedikit
berbeda karakternya dari restrukturisasi yang lebih belakangan ini, dan toh bukti profitabilitas
dalam episode sebelumnya tercampur baur. Bahkan bila laba lebih tinggi yang diharapkan pasar
saham menjadi nyata, ada anggapan atas asal-usulnya. Teori struktur modal berbasis insentif
mengatakan bahwa laba itu berasal dari perbaikan efisiensi. Namun sebagian penentang teori ini
menyatakan bahwa laba lebih tinggi terutama mencerminkan transfer ke pemegang saham dari
pihak lain karyawan, pelanggan, pemasok, pemegang obligasi, dan pemerintah. Pelanggan
mungkin menderita bila pengambil-alihan terkait dengan meningkatnya monopolisasi pasar.
Pemegang obligasi paling rugi dalam sejumlah buyout, Karena leverage yang lebih tinggi
meningkatkan risiko bangkrut dan mengurangi nilai obligasi yang ada.
Pemerintah mungkin kehilangan pemasukan pajak, seperti halnya perusahaan, karena
peningkatan leverage mengaki-batkan peningkatan potongan bunga (meskipun dimbangi pajak
yang dibayar oleh pemegang saham atas capital gain mereka). Persepsi bahwa banyak laba yang
terkait dengan leverage dan buyout berasal dari “perasan” para pewaris perusahaan menjelaskan
banyak agitasi politik mutakhir untuk membatasi aktivitas ini.
Menumpuknya hutang juga bisa dikritik dari perspektif teori berbasis insentif itu sendiri.
Dua hal patut dikemukakan: pertama, masalah utama bahwa leverage lebih tinggi dianggap
menjawab hubungan yang relatif lemah antara laba perusahaan dan pengembalian pribadi manajer,
yang mengurangi insentif manajer untuk mengambil tindakan memaksimalkan laba. Namun bila
ini masalah yang sebenarya, ini bisa dijawab lebih langsung tanpa harus mengaitkan perusahaan
ke risiko kebangkrutan serius, hanya dengan mengubah skema kompensasi manajerial agar bisa
mencakup lebih banyak insentif berbasis laba.
Penurunan Pendanaan Hutang
Meningkatnya hutang bukan solusi optimal bagi semua masalah insentif. Misalnya, seperti sudah
diperlihatkan, sebagai, proposisi teoretis, bahwa manajer perusahaan dengan pendanaan hutang
punya insentif untuk memilih proyek-proyek berisiko ketimbang yang aman; ini karena peusahaan
dengan kewajiban hutang tetap menikmati semua potensi ke atas proyek-proyek berisiko tinggi
namun juga ikut menanggung sisi rugi ke bawah dengan pemilik hutang, yang tidak dibayar penuh
bila investasi buruk menyebabkan perusahaan gagal.
Bahwa leverage yang tinggi tidak selalu mendukung efisiensi dapat dilihat ketika
perusahaan dengan leverage tinggi menderita rugi dan berada dalam kesulitan keuangan. Ketika
terjadi kesulitan keuangan, kebutuhan memenuhi pembayaran bunga mungkin memaksa manajer
untuk mengambil perspektif jangka pendek yang membuat mereka memangkas produksi dan
tenaga kerja, serta menjual aktiva dengan harga obral. Karena risiko bangkrut begitu besar,
perusahaan yang dalam kesulitan keuangan tidak dapat membuat kesepakatan jangka panjang;
mereka kehilangan pelanggan dan pemasok yang takut bahwa mereka tidak dapat mengandalkan
kelanjutan hubungan serta mereka harus membayar upah yang lebih tinggi untuk mempekerjakan
orang. Kerugian efisiensi ini, ditambah biaya langsung kebangkrutan (seperti biaya hukum)
merupakan sisi ke bawah dari leverage yang tinggi.