Oleh kelompok 3
Salomo 211073006
Septi Dwi Krisnawati 211073009
Rindi Purnama Sari 211073010
Anissa Aqillah 211074014
Secara ekonomis masuk akal bagi perusahaan kalau berusaha meminimumkan biaya
penggunaan modal keuangan. Biaya modal maupun biaya lain, seperti biaya manufaktur,
sama-sama memiliki ciri bahwa secara potensial mereka bisa mengurangi besarnya deviden
tunai yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham biasa.
Deviden tunai terdiri seluruhnya (kalau dimiliki tanpa batas waktu) atau sebagiannya (bila
dimiliki dalam jangka tertentu) dari pengembalian yang diharapkan ini. Sekarang semua hal
lain yang bisa mempengaruhi harga saham selain biaya modal dianggap konstan. Bila biaya
modal ini bisa dipertahankan tetap minimum, aliran deviden yang mengalir ke pemegang
saham biasa akan dimaksimalkan. Maka, ini akan mernaksimalkan harga saham biasa pula.
Bila biaya modal dapat dipengaruhi oleh struktur modal, maka manajemen struktur modal
jelas merupakan bagian penting dari manajemen keuangan bisnis.
Setting Analitis
Pokok-pokok kontroversi struktur modal sangat digaris bawahi dalam kerangka yang oleh
para ahli ekonomi disebut analisis keseimbangan parsial, dimana perubahan yang terjadi
dalam beberapa faktor dan berdampak pada hal-hal tertentu diabaikan, agar bisa mempelajari
efek perubahan suatu faktor utama terhadap hal yang menarik perhatian. Di sini, ada dua hal
sekaligus yang menarik perhatian : (1) Ko; biaya modal komposit perusahaan, dan (2) Po,
harga saham biasa perusahaan itu. Penggunaan leverage keuangan merupakan faktor utama
yang di izinkan berubah dalam analisis it. Ini berarti bahwa keputusan keuangan yang penting,
seperti kebijakan investasi dan deviden, dianggap konstan dalam seluruh diskusi. Kita hanya
memperhatikan efek perubahan campuran pendanaan terhadap harga saham dan biaya modal.
Analisis kita akan dipermudah bila kita menggunakan versi model valuasi deviden dasar
dalam yang disederhanakan dalam studi prinsip valuasi kita, dan dalam kajian biaya modal.
Model ini diperlihatkan dalam persamaan 16-2:
∞
D𝑡
𝑃𝑜 = ∑
(1 + K𝑐)𝑡
𝑡=1
Dt = pembayaran deviden tuna per lembar yang diharapkan investor selama periode t
1. Deviden tuna yang dibayarkan tidak akan berubah sepanjang waktu kepemilikan tak
terbatas. Maka D1 = D, = D3 = ..• = D∞• Tidak ada harapan pertumbuhan dalam aliran
deviden.
2. Perusahaan tidak menahan sedikitpun labanya saat ini. Ini berarti bahwa semua EPS
masing-masing periode dibayarkan ke pemegang saham dalam bentuk deviden tunai. Rasio
pembayaran deviden adalah 100 persen. Maka deviden tunai per lembar dalam persamaan
16-2 sama dengan EPS untuk periode itu.
Dengan asumsi ini, deviden tuna yang mengalir ke investor dapat dipandang
sebagai tingkat pembayaran selama periode kepemilikan tak terbatas. dan menurut
matematika keabadian, persamann 16-2 men-jadi 16-3 di mana Et merupakan EPS selama
periode t.
𝐷𝑡 𝐸𝑡
Po = =
𝐾𝑐 𝐾𝑐
Selain itu, situasi analitis untuk pembahasan tori struktur modal mencakup beberapa asumsi
berikut:
Ini melengkapi deskripsi kita tentang situasi analitis. Sekarang kita bahas tiga pandangan
berbeda dalam kaitan dengan penggunaan leverage keuangan dan nilai saham biasa. Bahasan
dan ilustrasi kedua posisi ekstrem tentang pentingnya struktur modal yang mengikutinya
dimaksudkan untuk memperjelas perbedaan kritis diantara berbagai pandangan. In tidak
berarti bahwa pasar benar-benar berperilaku persis sama dengan posisi manapun tidak. Intinya
adalah mengidentifikasi posisi kutub tentang cara kerja berbagai hal. Kemudian dengan
mengendurkan asumsi-asumsi yang restriktif, dapat diperoleh teori yang bermanfaat tentang
bagaimana membuat keputusan pendanaan. Hasilnya adalah pandangan ketiga yang moderat.
Menurut teori pecking order yang dikutip oleh Smart dan Gitman (2009) terdapat skenario
urutan (hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu :
1. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau pendanaan
internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba ditahan
yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan.
2. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama kali mulai
dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah resikonya, turun ke
hutang yang lebih beresiko, sekuritas hybrid seperti obligai konversi, saham preferen, dan
yang terakhir saham biasa.
3. Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah
pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan
tersebut untung atau rugi.
4. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan deviden yang
konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan investasi, maka
perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia.
Brealy dan Myers (2014) menyatakan pecking order theory diawali dengan berdasarkan
asumsi asimetris manajer yang mengetahui lebih banyak informasi dari pada investor luar
tentang profitabilitas dan prospek perusahaan. Informasi ini mempengaruhi pilihan antara
pembiayaan internal dan eksternal. Pecking order theory tidak menyangkal bahwa pajak dan
masalah keuangan dapat menjadi faktor penting dalam pilihan struktur modal. Meskipun
demikian teori ini menyatakan bahwa faktor – faktor ini tidak terlalu penting dibandingkan
preferensi manajer atas dana internal melebihi dana eksternal atas pendanaan utang melebihi
penerbitan saham yang baru (Brealy danMyers, 2014).
Shyam-Sunder dan Myers (1999) mengembangkan model sederhana dari pecking order
theory (POT), dimana jika perusahaan membutuhkan dana dari pihak eksternal, maka akan
menggunakan Debt, bukan Equity. Equity financing hanya akan digukanan dalam kondisi yang
sangat mendesak, yaitu jika biaya akibat dari financial distress menjadi begitu tinggi dan debt
capacity perusahaan telah dilampaui. Spesifikasi model pengujian POT adalah dalam bentuk
persamaan berikut:
dimana Δ Dit adalah debt yang dikeluarkan oleh perusahaan i pada tahun t, DEFit adalah
deficit cash flow, dan βPO adalah koefisien pecking order dari DEF, serta εit merupakan error
terms yang mana εit ~idd(0,σ e 2 ) Jadi persamaan tersebut diatas menggambarkan hubungan
antara kekurangan dana dengan penarikan pinjaman, atau antara kelebihan dana dengan
pembayaran kembali pinjaman. Dengan mengikuti model yang digunakan oleh Frank dan
Goyal (2003), cash flow deficit didefinisikan sebagai berikut:
Baik Shyam-Sunder dan Myers (1999) maupun Frank dan Goyal (2003) menggunakan tiga
macam proxy untuk debt yang diterbitkan perusahaan, yaitu delta total debt ratio, net debt
issued dibagi dengan nilai perusahaan, dan gross debt issued masing-masing dibagi dengan nilai
perusahaan
Teori Trade off menjelaskan adanya hubungan antara pajak, resiko kebangkrutan dan
penggunaan hutang yang disebabkan keputusan struktur modal yang diambil perusahaan
(Brealey dan Myers,1991).Teori ini merupakan keseimbangan antara keuntungan dan kerugian
atas penggunaan hutang. Modeltrade-off mengasumsikan bahwa struktur modal perusahaan
merupakan hasil trade-off dari keuntungan pajak dengan menggunakan hutang dengan biaya
yang akan timbul sebagai akibat penggunaan hutang tersebut (Hartono, 2003), dan
Laksmi,2010. Esensi trade-off theory dalam struktur modal adalah menyeimbangkan manfaat
dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar,
tambahan hutang masih diperkenankan. Apabila pengorbanan karena penggunaan hutang sudah
lebih besar, maka tambahan hutang sudah tidak diperbolehkan. Trade-off theory telah
mempertimbangkan berbagai faktor seperti corporate tax, biaya kebangkrutan, dan personal
tax dalam menjelaskan mengapa suatu perusahaan memilih struktur modal tertentu (Suad
Husnan, 2001). Kesimpulannya adalah penggunaan hutang akan meningkatkan nilai
perusahaan tetapi hanya pada sampai titik tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan hutang
justru menurunkan nilai perusahaan (Hartono, 2003). Walaupun model trade-off theory tidak
dapat menentukan secara tepat struktur modal yang optimal, namun model tersebut memberikan
kontribusi penting yaitu (Hartono, 2003); dalam laksmi,2010:
1. Perusahaan yang memiliki aktiva yang tinggi, sebaiknya menggunakan sedikit hutang.
2. Perusahaan yang membayar pajak tinggi sebaiknya lebih banyak menggunakan hutang
dibandingkan perusahaan yang membayar pajak rendah.
Pemahaman Anda tentang teori struktur modal telah berkembang. Ini membuat anda lebih
mampu mencari stuktur modal yung upcimal bagi perusahaan Anda. Ada beberapa alat yang
bisa membantu Anda dalam
proses pencarian ini dan yang
sekaligus membantu Anda
mengambil pilian pendanaan yang
berhati-hati. Alat-alat ini
berorientasi pada keputusan.
Mereka membantu kita menjawab
pertanyaan, “Kalau kita butuh lagi
$20 juta, apakah sebaiknya kita
menerbitkan saham biasa atau
menjual obligasi jangka
panjang?”
Efek leverage keuangan pertama adalah tambahan variabilitas aliran EPS yang
menggunakan sekuritas dengan bean tetap dalam struktur modal perusahaan. Dengan ukuran
derajat leverage keuangan (DFLEBIT), telah kita jelaskan bagaimana variabilitas ini dapat
dikuantifikasi. Perusahaan yang menggunakan lebih banyak leverage keuangan akan
mengalami perubahan relatif yang lebih besar dalam EPS-nya sesuai dengan fluktuasi EBIT
ketimbang yang sebaliknya. Misalkan Pierce Grain memilih rencana pendanaan C ketimbang
A. Leverage pada rencana C sangat tinggi, sedang A tanpa leverage. Kenaikan 100 persen
dalam EBIT dari $20.000 ke $40.000 akan menyebabkan EPS naik 147 persen dengan rencana
C, namun hanya 100 persen menurut rencana A. Sayangnya, efeknya akan beroperasi dalam
arah negatif pula. Perubahan EBIT akan diperbesar dengan penggunaan leverage keuangan.
Pembesaran ini tercermin dalam variabilitas EPS perusahaan. Lihat boks Persoalan Keuangan,
“Ben Bernanke tentang Teori Arus Kas Bebas Struktur Modal dan Menumpukya Hutang
Korporat”.
Efek leverage keuangan kedua terkait dengan tingkat EPS pada EBIT tertentu dengan
struktur modal tertentu. Lihat Tabel 16-5. Pada tingkat EBIT $20.000, EPS akan menjadi $5,
$5,33, dan $5,67 menurut rencana A, B, dan C. Di atas titik kritis EBIT, EPS perusahaan akan
lebih tinggi bila digunakan leverage yang lebih besar. Demikian pula sebaliknya, di bawah
titik kritis EBIT, EPS akan menderita leverage keuangan yang lebih besar. Bila efek leverage
keuangan pertama dikuantifikasi menurut derajat leverage keuangan (DFLEBIT), yang kedua
dikuantifiksi dengan apa yang disebut sebagai analisis EBIT-EPS. Logika di balik jenis
analisis ini sederhana. Earning merupakan salah satu variabel kunci yang mempengaruhi nilai
pasar saham biasa perusahaan. Maka, efek keputusan pendanaan pada EPS harus dipahami
karena keputusan itu mungkin akan mempengaruhi nilai investasi pemegang saham.
2.7 Ben Bernanke Tentang Teori Arus Kas Bebas Dari Struktur Modal Dan Menumpuknya
Hutang Korporat
Para wartawan bisnis dan periset akademis membuat beberapa penjelasan tentang makin
banyaknya penggunaan pendanaan hutang oleh perusahaan pada tahun 1980-an. Tidak semua
analis menerima hipotesis kontrol Jensen untuk penciptaan hutang. Profesor Bernanke ragu-
ragu. la mengulas tori arus kas bebas Jensen dan mengomentari menumpuknya leverage
korporat tahun 1980-an. “Pendekatan berbasis insentif” merupakan istilah Bernanke untuk
teori arus kas bebas struktur modal.
Idenya adalah bahwa struktur kuangan perusahaan mempengaruhi insentif “orang dalam”
(manajer, direktur, pemegang saham besar dengan kepentingan operasional dalam bisnis itu)
dan secara khusus tingkat hutang yang tinggi, semuanya bisa meningkatkan keinginan orang
dalam untuk meraih laba agar bekerja keras dan mengambil keputusan yang memaksimalkan
laba. Pendekatan berbasis insentif ini membuat kontribusi penting bagi pemahaman kita
tentang struktur modal perusahaan. Namun sementara teori ini menjelaskan mengapa
perusahaan secara umum suka menggunakan hutang, ini tidak menjelaskan mengapa
penggunaan hutang telah meningkat beberapa tahun terakhir ini.
Michel Jensen, pendiri dan pendukung utama pendekatan berbasis insentif terhadap
struktur modal, berkata bahwa itu bisa saja. Jensen fokus pada memburukya persoalan “arus
kas bebas” akhir-akhir ini. Arus kas bebas didefinisikan sebagai bagian arus kas perusahaan
yang tidak dapat diinvestasikan secara menguntungkan di dalam perusahaan. Perusahaan
dalam berbagai industri yang menguntungkan tidak lagi punya banyak potensi untuk ekspansi,
misalnya industri minyak AS punya banyak arus kas bebas.
Jensen berpendapat bahwa manajer kerap tergoda menggunakan arus kas bebas untuk
memperluas ukuran perusahaan, bahkan bila ekspansi itu tidak menguntungkan. Ini karena
manajer merasa bahwa kekuasaan dan kepuasan mereka akan meningkat dengan makin
besarnya perusahaan, karena kompensasi manajer terkait dengan profitabilitas perusahaan.
Jensen berpendapat bahwa manajer akan secara pribadi merasa berharga melakukan ekspansi
ke operasi-operasi yang menghasilkan duit. Dalam prinsipnya, dewan direktur dan pemegang
saham harus mampu memblokir investasi yang tidak menguntungkan ini, namun dalam
praktek manajemen biasanya punya informasi lebih banyak tentang investasi potensial
ketimbang para direktur luar dan pemegang saham, sehingga sulit memberikan pandangan
kedua selain rekomendasi manajemen.
Manajer dengan banyak arus kas bebas mungkin berusaha menggunakan uang itu untuk
meningkatkan kekuasaan dan tunjangan yang di dapatkannya, dengan beban ditanggung
pemegang saham. Jensen berpendapat bahwa solusi bagi masalah arus kas bebas adalah
leverage yang lebih besar. Misalnya, misalkan manajemen menggunakan arus kas bebas
perusahaan, ditambah penerimaan dari penerbitan hutang baru, adalah membeli kembali
saham dari pemegang saham luar, yakni melakukan management buy out. Ini membantu
menyelesaikan masalah arus kas bebas dengan beberapa cara. Pengembalian pribadi manajer
sekarang lebih terkait dengan laba perusahaan, yang memberi mereka insentif agar lebih
efisien. Kedua, proses penggunaan leverage menyingkirkan arus kas bebas yang ada dalam
perusahaan, sehingga proyek investasi apapun di masa mendatang harus di danai secara
eksternal. Maka proyek masa depan harus memenuhi uji pasar yang bisa diterima oleh bank
luar atau pembeli obligasi. Akhirnya, pembayaran bunga yang tinggi akibat leverage
mengakibatkan disiplin yang permanen pada diri manajer. Supaya bisa memenuhi
pembayaran ini, mereka harus dengan kejam memangkas operasi yang memboroskan uang,
menghindari investasi yang dipertanyakan, dan melakukan tindakan lain yang mendukung
efisiensi.
Menurut Jensen, masalah kenaikan besar dalam arus kas bebas akibat deregulasi,
matangnya sejumlah industri besar, dan beberapa faktor lain merupakan sumber ekspansi
hutang besar akhir-akhir ini. Jensen juga menunjuk beberapa faktor institusional yang
mendorong meningkatnya leverage, seperti mengendurnya pembatasan merger, yang telah
menurunkan hambatan pengambilalihan korporat akibat hukum anti trust dan makin
canggihnya keuangan, seperti meningkatnya operasi besar spesialis pengambilalihan misalnya
Drexel Burnham Lambert Inc. dan pengembangan pasar “junk bond”, Diagnosis Jensen tidak
kontroversial, sangat tepat bahwa faktor-faktor ini plus berubahnya norma tentang seberapa
tingkat hutang yang “bisa diterima”, paling tidak menjelaskan bagian dari trend menuju
peningkatan hutang korporat. Salah satu bagian penting bukti yang mendukung penjelasan ini
adalah bahwa penerbitan ekuitas bersih selama ini cukup negatif sejak 1983. Ini menyatakan
bahwa banyak penerimaan penerbitan baru digunakan untuk membeli kembali saham yang
ada. Inilah yang terjadi bila perusahaan berúsaha me-leverage-kan kembali aktiva mereka
yang ada dan bukannya menggunakan hutang untuk memperluas kepemilikan aktiva mereka.
Namun, kesimpulannya bahwa tumpukan hutang secara keseluruhan berguna bagi ekonomi,
itulah yang lebih kontroversial.
Meskipun Sebagian besar investor terkena pajak, beberapa perusahaan investasi, trust, dan
program pensiun, dikecualikan dari deviden mereka. Demikian pula, untuk keperluan pajak,
perusahaan bisa mengecualikan 70 persen deviden yang diterima dari perusahaan lain. Dalam
kasus ini, investor lebih suka deviden ketimbang capital gain.
Argumen bahwa deviden tidak relevan sulit ditolak, dengan adanya asumsi bahwa pasar
sempurna. Namun, dalam dunia nyata, tidak selalu mudah merasa nyaman dengan argumen
seeperti itu. Sebaliknya filosofi deviden tinggi, yang mengukur resiko menurut bagaimana kita
membagi arus kas perusahaan antara deviden dan menahan laba, tidak secara khusus menarik
bila dipelajari dengan seksama. Padangan Ketiga, yang hakikatnya merupakan argumen pajak
terhadapa deviden tinggi, sangan peruasif.
Orang yang bernalar tidak dapat mencapai kesimpulan yang definitif: namun demikian,
manajemen tidak diberi pilihan. Perusahaan harus mengembangkan suatu kebijakan deviden,
yang diharapkan berdasarkan pengetaauan terbaik yang ada. Meskipun kita bisa memberikan
nasihat dengan sejumlah catatan, beberapa kesimpulan berikut tampaknya cukup masuk akal:
1. Ketika peluang perusahaan naik, rasio pembayaran deviden harus turun. Dengan kata
lain, ada hubungannya terbalik antara besarnya investasi dengan tingkat pengembalian
yang diharapakan yang melebihi biaya modal dan deviden yang dikembalikan ke
investor. Karena adanya biasa pengembangan yang terkait dengan modal eksternal,
penahanan ekuitas internal lebih disukai ketimbang menjual saham.
2. Kebijakan deviden perusahaan tampak penting, namun penampilannya bisa menipu.
Isu sebenarnya mungkin kemampuan perusahaan meraih laba yang diharapkan dan
tingkat resiko pendapatan ini. Investor mungkin menggunakan pembayaran deviden
sebagai sumber informasi tentang laba yang diharapkan. Tindakan manajemen dalam
hal deviden mungkin memberi bobot lebih besar ketimbang pernyataan manajemen
bahwa laba akan naik.
3. Bila deviden mempengaruhi harga saham, ini mungkin berdasarkan keinginan investor
untuk meminimalkan dan menunda pajak dan berdasar peran deviden dalam
meminimalkan biaya agensi.
4. Bila teori ekspektasi benar, yang kita percayai memang begitu, manajemen harus
menghindari mengejutkan investor ketika terkait dengan keputusan deviden. Kebijakan
deviden harus secara efektik diperlakukan sebagai residu jangka panjang. Ketimbang
memproyeksikan kebutuhan investasi untuk satu tahun, manajemen dapat
mengantisipasi kebutuhan pendanaan untuk beberapa tahun. Berdasarkan peluang
investai yang diharapakan selama horizon perencaaan, campuran ekuitas-hutang, dan
dana yang dihasilkan dari operasi, rasio pembayaran deviden target dapat ditentukan.
Bila dana internal tetap ada setelah proyeksi pendanaan ekuitas yang perlu,deviden
harus dibayarkan.
2.11 Teori-Teori Kebijakan Deviden
(Sudana, 2009:220-222) Terdapat beberapa teori tentang kebijakan dividen yang dapat
mempengaruhi nilai suatu perusahaan antara lain:
1. Dividend Irrelevance Theory
Teori ini dikemukakan oleh Merton Miller dan Franco Modigliani (MM). Menurut
dividend irrelevance theory, kebijakan dividen tidak mempengaruhi harga pasar saham
perusahaan atau nilai perusahaan. Modigliani dan Miller berpendapat bahwa, nilai
perusahaan hanya ditentukan ileh kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
pendapatan (earning power) dan risiko bisnis, sedangkan bagaimana cara membagi
arus pendapatan menjadi dividen dan laba ditahan tidak mempengaruhi nilai
perusahaan.
2. Bird-in-the-Hand Theory
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan John Lintner. Berdasarkan bird in the
hand theory, kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap harga pasar saham.
Artinya, jika dividen yang dibagikan perusahaan semakin besar, maka harga pasar
saham perusahaan tersebut akan semakin tinggi dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena,
pembagian dividen dapat mengurangi ketidakpastian yang dihadapi investor.
3. Tax Preference Theory
Berdasarkan tax preference theory, kebijakan dividen mempunyai pengaruh negatif
terhadap harga pasar saham perusahaan. Artinya, semakin besar jumlah dividen yang
dibagikan suatu perusahaan semakin rendah harga pasar perusahaan yang
bersangkutan. Hal ini terjadi jika ada perbedaan antara tarif pajak personal atas
pendapatan dividen dan capital gain. Apabila tarif pajak dividen lebih tinggi diperoleh
perusahaan tetap ditahan di perusahaan, untuk membelanjai investasi yang dilakukan
perusahaan. Dengan demikian di masa yang akan datang diharapkan terjadi
peningkatan capital gain yang tarif pajaknya lebih rendah. Apabila banyak investor
yang memiliki pandangan demikian, maka investor cenderung memilih saham-saham
dengan dividen kecil dengan tujuan untuk menghindari pajak.
2.12 Keputusan deviden dalam praktek
Banyak pertimbangan yang mungkin mempengaruhi keputusan perusahaan tentang
devidennya, Sebagian dari mereka bersifat unik terhadap perusahaan itu. Berikut ini yang
menjadi Sebagian pertimbanga yang lebih bersifat umum.
1. Pembatasan Hukum
Beberapa pembatasan hukum tertentu mungkin membatasi besarnya deviden yang
dapat dibayarkan perusahaan. Kendala legal ini termasuk dalam dua kategori. Pertama,
restriksi statute mungkin mencegah perusahaan membayar deviden. Meskipun
pembatasan spesifik bisa berbeda menurut negara bagian, umumnya perusahaan tidak
boleh membayar deviden bila:
1) Pasiva perusahaan melebihi aktifanya
2) Besarnya deviden melebihi laba yang diakumulasikan (laba ditahan)
3) Devide nitu dibayarkan dari modal yang diinvestasika ke dalam perusahaan.
Tipe pembatasan kedua bersifat unik bagi isetiapperusahaan dan bersaall dari pembatasan
dalam kontrak hutang dam saham ppreferen.
1. Posisi Likuiditas
Berlawanan dengan pendapat umum, fakta dasar bahwa perusahan memperlihatkan
laba ditahan yang besar dalam neraca tidak menunjukan kas yang tersedia untuk
pembayaran deviden. Posisis aktiva likuid perusahaan saat ini termasuk kas, pada
dasarnya tergantung pada besarnya laba ditahan. Secara historis, perusahaan dengan
laba ditahan yang besar telah suskes menghasilkan kas dari operasi.
2. Tidak adanya sumber pendanaan lainnya
Seperti yang dikatakan perusahaan bisa menahan laba untuk reinvestasi, atau
membayar deviden dan menerbitkan sekuritas hutang atau saham untuk mendanai
investasi. Bagi banyak perusahaan kecil atau baru, pilihan kedua ini tidak realistis.
Perusahaan ini tidak punya akses ke pasar modal. Sehingga harus sangat mengandalkan
dana internal. Konsekuensinya, rasio pembayaran deviden umumnya lebih kecil untuk
perusahaan kecil atau baru ketimbang pperusahaan besar yang dimiliki publik.
3. Laba dapat diramalkan atau tidak
Rasio pembayaran deviden tergantung pada sejauh mana laba perusahaan dapat
diramalkan atau tidak. Bila pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dimasa mendatang.
Bila laba bisa dihasilkan, perusahaan mungkin menahan jumlah lebih besar untuk
memastikan bahwa uang tersedia pada saat dibutuhkan. Sebaliknya, perusahaan dengan
pendapatan yang stabil biasanya membayar bagian labanya dengan lebih besar dalam
bentuk deviden. Perusahaan ini itidak terlalu kuatir tentang tersedianya laba untuk
memneuhi kebutuan modal di masa mendatang.
4. Kontrol kepemilikan
Bagi banyak perusahaan besar, kontrol melalui kepemilikan saham biasanya bukan
masalah. Namun bagi banyak perusahan kecil dan menengah, mempertahankan kontrol
voting merupakan prioritas yang tinggi. Bila pemegang saham biasa sekarang tidak
berpartisipasi dalam penawaran baru, penerbitan saham baru tidak menarik, dalam hal
bahwa kontrol pemegang saham sekarang dicairkan. Pemilik mungkin lebih suka
bahwa menajemen mendanai investasi baru dengan hutan dan melalui laba ketimbang
menerbitkan saham baru.
5. Inflasi
Dalam perode inflasi, idealnya ketika aktiva tetap mulai rusak dan ketinggalan jaman,
dana yang dihasilkan dari depresiasi digunakan untuk mendanai penggantian. Karena
dana peralatan yang setara terus naik, dana depresiasi tidak mencukupi. Ini menuntut
agar laba ditahan, yang mengimplikasikan bahwa deviden terkena pengaruh kurang
menguntungkan.
Secara garis besar ada 4 jenis rasio yang dapat digunakan untuk menilai kinerja keuangan
perusahaan, yaitu rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio leverage dan rasio profiabilitas (Harjito
dan Martono, 2012:53).
Aktivity ratio mengukur sejauh mana efektivitas manajemen perusahaan dalam mengelola
aset-asetnya. Artinya dalam hal ini adalah mengukur kemampuan manajemen perusahaan
dalam mengelola persediaan bahan mentah, barang dalam proses, dan barang jadi serta
kebijakan manajemen dalam mengelola aktiva lainnya dan kebijakan pemasaran (Harjito dan
Martono, 2012:57).
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Di pasar yang sempurna, pilihan anatra membayar atau tidak membayar deviden tidak
penting. Namun, ketika menyadari bahwa di dunia nyata ada biaya untuk menerbitkan
saham, kita lebih suka menggunakan ekuitas internal untuk membiaya peluang investasi.
Disini keputusan deviden sekedar faktor sisa, dimana pembayaran deviden harus sama
dengan sisa modal internal setelah dikurangi pendanaan baikan ekuitas investasi.
2. Ketidaksempurnaan pasar lain yang bisa membuat kebijakan deviden mempengaruhi harga
saham adalah: keunggulan pajak capital gain, biaya agensi, efek klientel, dan isi informasi
kebijakan tertentu.
Stock dividend dan stock split telah digunakan dalam kaitan sebagai suplemen dividen kas.
Sekarang, tidak ada bukti empirik tentang hubungan antara stock dividend dan stok split dan
harga saham di pasar. Namun stock dividend atau stock split dapat digunakan untuk membuat
harga saham tetap dalam rentang yang optimal. Demikian pula investor mempersepsi bahwa
stock dividend mengandung informasi yang menguntungkan tentang operasi perusahaan,
sehingga harga saham bisa naik.
Alternatif dari pembayaran deviden, manajemen bisa membeli kembali saham. Di pasar
yang sempurna, investor tidal peduli antara penerimaan deviden atau pembelian kembali saham
investor bisa menciptakan aliran deviden dengan menjual saham ketika membutuhkan pendapatan.
Bila pasat tidak sempurna, investor mungkin lebih suka salah satu metode distribusi pendapatan
korporat. Pembelian kembali bisa juga dipandang sebagai keputusan pendanaan dengan
menerbitkan hutang dan membeli kembali saham, perusahaan bisa langsung mengubah campuran
hutang – ekuitasnya dengan proporsi hutang lebih tinggi. Demikian pula, bannyak manajer
menanggap pembelian kembali saham sebagai keputusan investasi pembeli saham k