Anda di halaman 1dari 37

MERENCANAKAN CAMPURAN KUANGAN PERUSAHAAN

KEBIJAKAN DEVIDEN DAN PENDANAAN INTERNAL


Dosen Pengampu: Bpk. Saur C. Simamora, SP. MM

Oleh kelompok 3
Salomo 211073006
Septi Dwi Krisnawati 211073009
Rindi Purnama Sari 211073010
Anissa Aqillah 211074014

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA
2022/20203
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Merencanakan Campuran Kuangan Perusahaan


Kita arahkan perhatian kita pada penentuan campuran keuangan yang tepat bagi
perusahaan. Bayangkan sisi kanan neraca sebagai kue besar. Kue itu dipotong menjadi
beberapa potongan dengan ukuran berbeda, satu potongan harus diberi label hutang jangka
panjang, lainnya equitas preferen, dan equitas biasa. Kita ingin mencapur potongan-potongan
ini sebagus mungkin sehingga kue bisa sebesar mungkin.
Dalam beberapa hal, mengubah label mungkin tidak bisa mengubah ukurannya namun
dalam kasus lain bisa juga. Inilah tantangan manajemen struktur keuangan. Nilai total
perusahaan diwakili oleh ukuran akhir kue itu. Semakin besar nilai (kue) nya, semakin baik.
Perencanaan campuran keuangan perusahaan adalah proses penentuan sumber-sumber dana
yang akan digunakan oleh perusahaan untuk membiayai operasi dan pertumbuhan bisnisnya.
Campuran keuangan perusahaan dapat terdiri dari sumber dana internal seperti laba ditahan,
penghematan operasional, dan penjualan aset, serta sumber dana eksternal seperti penerbitan
saham baru, penerbitan obligasi, dan pinjaman. Langkah-langkah dalam perencanaan
campuran keuangan perusahaan meliputi:
1. Analisis keuangan
Analisis keuangan harus dilakukan untuk mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan dan
memahami kebutuhan keuangan untuk pertumbuhan bisnis. Ini termasuk mengidentifikasi
arus kas, keuntungan dan kerugian, dan struktur modal perusahaan.
2. Penentuan sumber dana
Setelah menganalisis keuangan, perusahaan dapat menentukan sumber-sumber dana yang
akan digunakan untuk membiayai operasi dan pertumbuhan bisnisnya. Sumber-sumber ini
dapat meliputi pendanaan internal seperti laba ditahan dan penghematan operasional, serta
pendanaan eksternal seperti penerbitan saham baru, penerbitan obligasi, dan pinjaman.
3. Menentukan proporsi sumber dana
Perusahaan harus menentukan proporsi dari masing-masing sumber dana yang akan
digunakan dalam campuran keuangan perusahaan. Proporsi ini harus dipertimbangkan
dengan hati-hati, karena setiap sumber dana memiliki risiko dan biaya yang berbeda.
4. Mengelola risiko
Setiap sumber dana memiliki risiko yang berbeda, dan perusahaan harus
mempertimbangkan risiko tersebut dalam perencanaan campuran keuangannya. Misalnya,
penggunaan pinjaman akan meningkatkan risiko keuangan jika tingkat bunga naik.
5. Menetapkan target pengembalian
Perusahaan harus menetapkan target pengembalian untuk campuran keuangannya. Target
ini harus mencakup biaya modal perusahaan dan tingkat pengembalian yang diharapkan
oleh pemegang saham.
Perencanaan campuran keuangan perusahaan harus berfokus pada tujuan jangka
panjang perusahaan dan harus dipertimbangkan secara hati-hati agar dapat
memaksimalkan nilai perusahaan dan keuntungan pemegang saham.

1.2 Latar Belakang Kebijakan Deviden Dan Pendanaan Internal


Tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan nilai, atau harga saham perusahaan.
Keberhasilan atau kegagalan keputusa manajer hanya dapat dinilai berdasar dampaknya pada
harga saham biasa perusahaan. Kita amati ini bahwa investasi perusahaan dan keputusan
pendanaan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Ketika kita bahas kebijakan pendanaan
internal dan deviden berarti seberapa banyak pendanaan perusahaan yag berasal dari arus kas
yang dihasilkan secara internal.
Pilihan korporat untuk membayar atau tidak membayar deviden kas kepada pemegang
saham dan pilihan lebih lajut untuk meningkatkan, mengurangi, atau mempertahankan tingkat
deviden merupakan salah satu bidang kebijakan keuangan korporat yang paling menentukan
dan rumit. Karena pengambilan ke pemegang saham hanya ada dua bentuknya: perubahan
harga saham dan deviden kas yang diterima, maka keputusan deviden secara langsung
berdampak pada kekayaan pemegang saham.
Seperti yang kita ketahui bahwa investor yang rasional lebih suka kaya ketimbang tidak.
Maka, dewan direktur korporat menghadapi keputusan yang menakutkan setiap kali
pertanyaan kebijakan deviden dan kemungkinan mengubah deviden kas masuk kedalam
agenda.
Dalam bentuk yang paling sederhana, peningkatan deviden kas serentak mengurangi
cadangan modal keuangan internal (kas) yang tersedia untuk belanja modal. NPV yang
diharapkan dari usulan proyek akan mempengaruhi harga saham. Namun, sampai ke informasi
baru tentang keberhasilan (atau kekurangberhasilan) proyek modal akan dicerna oleh pasar
modal dan selanjutnya tercermin ke dalam harga saham. Maka, yang lebih tingga pada setiap
dolar yang ditahan adalam perusahaan ketimbang yang didapat diperoleh investor ada semua
pertimbangan ekomoninya, speerti keharusan membayar pajak pribadi atas deviden kas yang
diterima sekarang bukan nanti, ini memang pilihan korporat yang membingungkan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sekilas Teori Struktur Modal


Komponen-komponen utama struktur modal harus dipahami. Asumsi risiko keuangan yang
berlebihan dapat membuat perusahaan bangkrut. Sebagian orang berpendapat bahwa
keputusan menggunakan sedikit leverage keuangan akan mengakibatkan kurang berharganya
saham dipasar. Manajer keuangan yang efektif harus tahu bagaimana menemukan leverage
keuangan yang optimum ini akan memperkuat nilai saham, bila semua hal lain dianggap
konstan. Maka, kebijakan struktur keuangan yang baik.
Kontroversi yang terus berlangsung dalam teori keuangan berkaitan dengan efek leverage
keuangan terhadap biaya modal keseluruhan perusahaan. Inti argumen ini dapat diungkapkan
dalam bentuk pertanyaan: “Dapatkah perusahaan mempengaruhi seluruh biaya modalnya,
entah menguntungkan atau tidak, dengan mengubah campuran sumber dana yang digunakan?”
Bentuk kontroversi ini bisa elegan sekali dalam literatur keuangan. Kebanyakan presentasi
ini lebih menarik para akademisi ketimbang praktisi manajemen keuangan. Untuk
menekankan unsur-unsur teori struktur modal yang ada aplikasi praktisnya bagi manajemen
keuangan bisnis, kita akan mencari pendekatan intuitif, non-materiatis, agar bisa lebih
memahami dasar-dasar argumen struktur modal-biaya modal ini.

Pentingnya Struktur Modal

Secara ekonomis masuk akal bagi perusahaan kalau berusaha meminimumkan biaya
penggunaan modal keuangan. Biaya modal maupun biaya lain, seperti biaya manufaktur,
sama-sama memiliki ciri bahwa secara potensial mereka bisa mengurangi besarnya deviden
tunai yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham biasa.

Deviden tunai terdiri seluruhnya (kalau dimiliki tanpa batas waktu) atau sebagiannya (bila
dimiliki dalam jangka tertentu) dari pengembalian yang diharapkan ini. Sekarang semua hal
lain yang bisa mempengaruhi harga saham selain biaya modal dianggap konstan. Bila biaya
modal ini bisa dipertahankan tetap minimum, aliran deviden yang mengalir ke pemegang
saham biasa akan dimaksimalkan. Maka, ini akan mernaksimalkan harga saham biasa pula.
Bila biaya modal dapat dipengaruhi oleh struktur modal, maka manajemen struktur modal
jelas merupakan bagian penting dari manajemen keuangan bisnis.

Setting Analitis

Pokok-pokok kontroversi struktur modal sangat digaris bawahi dalam kerangka yang oleh
para ahli ekonomi disebut analisis keseimbangan parsial, dimana perubahan yang terjadi
dalam beberapa faktor dan berdampak pada hal-hal tertentu diabaikan, agar bisa mempelajari
efek perubahan suatu faktor utama terhadap hal yang menarik perhatian. Di sini, ada dua hal
sekaligus yang menarik perhatian : (1) Ko; biaya modal komposit perusahaan, dan (2) Po,
harga saham biasa perusahaan itu. Penggunaan leverage keuangan merupakan faktor utama
yang di izinkan berubah dalam analisis it. Ini berarti bahwa keputusan keuangan yang penting,
seperti kebijakan investasi dan deviden, dianggap konstan dalam seluruh diskusi. Kita hanya
memperhatikan efek perubahan campuran pendanaan terhadap harga saham dan biaya modal.

Analisis kita akan dipermudah bila kita menggunakan versi model valuasi deviden dasar
dalam yang disederhanakan dalam studi prinsip valuasi kita, dan dalam kajian biaya modal.
Model ini diperlihatkan dalam persamaan 16-2:

D𝑡
𝑃𝑜 = ∑
(1 + K𝑐)𝑡
𝑡=1

di mana Po = harga saham biasa saat-ini

Dt = pembayaran deviden tuna per lembar yang diharapkan investor selama periode t

Kt = biaya modal ekuitas biasa

Kita dapat menyingkirkan kerumitan dengan membuat beberapa asumsi berikut


tentang proses valuasi yang implisit dalam persamaan 16-2:

1. Deviden tuna yang dibayarkan tidak akan berubah sepanjang waktu kepemilikan tak
terbatas. Maka D1 = D, = D3 = ..• = D∞• Tidak ada harapan pertumbuhan dalam aliran
deviden.
2. Perusahaan tidak menahan sedikitpun labanya saat ini. Ini berarti bahwa semua EPS
masing-masing periode dibayarkan ke pemegang saham dalam bentuk deviden tunai. Rasio
pembayaran deviden adalah 100 persen. Maka deviden tunai per lembar dalam persamaan
16-2 sama dengan EPS untuk periode itu.
Dengan asumsi ini, deviden tuna yang mengalir ke investor dapat dipandang
sebagai tingkat pembayaran selama periode kepemilikan tak terbatas. dan menurut
matematika keabadian, persamann 16-2 men-jadi 16-3 di mana Et merupakan EPS selama
periode t.

𝐷𝑡 𝐸𝑡
Po = =
𝐾𝑐 𝐾𝑐

Selain itu, situasi analitis untuk pembahasan tori struktur modal mencakup beberapa asumsi
berikut:

1. Pendapatan korporat tidak tergantung pada pajak. Implikasi utama dari


penghilangan asumsi ini nanti akan dibahas.
2. Struktur modal hanya terdiri dari saham dan obligasi. Selain itu, derajat leverage
keuangan yang digunakan diubah dengan penerbitan saham biasa yang
penerimaannya digunakan untuk melunasi hutang yang ada, atau penerbitan hutang
dengan penerimaan yang digunakan untuk membeli kembali saham. Ini
memungkinkan penggunaan leverage berubah namun tetap menjaga nilai buku
struktur modal perusahan tetap konstan.
3. ila yang diharapkan dari semua ramalan investor tentang tingkat EBIT masa depan
untuk masing-masing perusahaan bersifat identik. Misalkan anda meramalkan
tingkat EBIT rata-rata General Motors selama periode yang lama (N - ∞ ). Ramalan
Anda akan sama dengan ramalan kami, dan akan sama dengan ramalan semua orang
yang berminat dengan saham biasa General Motors. Selain itu, kita tidak
mengharap EBIT General Motors bertumbuh dalam perjalanan waktu. Ramalan
setiap tahun sama dengan ramalan tahun lainnya. Ini konsisten dengan asumsi kita
yang mendasar persamaan 16-3 di mana aliran deviden perusahaan tidak
diharapkan bertumbuh.
4. Sekuritas diperdagangkan dalam pasar yang sempurna atau efisien. Ini berarti
bahwa biaya transaksi dan pembatasan legal tidak mengganggu insentif investor
untuk melakukan perubahan portofolio yang mereka harapkan bisa meningkatkan
kekayaan. Informasi tersedia bebas. Selain itu, perusahaan dan individu dengan
risiko kredit yang sama bisa meminjam dana dengan suku bunga yang sama.

Ini melengkapi deskripsi kita tentang situasi analitis. Sekarang kita bahas tiga pandangan
berbeda dalam kaitan dengan penggunaan leverage keuangan dan nilai saham biasa. Bahasan
dan ilustrasi kedua posisi ekstrem tentang pentingnya struktur modal yang mengikutinya
dimaksudkan untuk memperjelas perbedaan kritis diantara berbagai pandangan. In tidak
berarti bahwa pasar benar-benar berperilaku persis sama dengan posisi manapun tidak. Intinya
adalah mengidentifikasi posisi kutub tentang cara kerja berbagai hal. Kemudian dengan
mengendurkan asumsi-asumsi yang restriktif, dapat diperoleh teori yang bermanfaat tentang
bagaimana membuat keputusan pendanaan. Hasilnya adalah pandangan ketiga yang moderat.

2.2 Teori Modiglani - Miller (MM) Tanpa Pajak


Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh dua (2) ahli manajemen keuangan yaitu Franco
Modigliani dan Merton Miller pada tahun 1958 yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungannya antara nilai perusahaan dan biaya modal dengan struktur modalnya. Pernyataan
tersebut didukung oleh adanya proses arbitrase. Melalui proses arbitrase akan membuat harga
saham atau nilai perusahaan baik yang tidak menggunakan hutang atau yang menggunaka
hutang, akhirnya sama. Proses arbitrase ini muncul karena investor bersifat rasional, artinya
investor lebih menyukai investasi yang sama tetapi menghasilkan keuntungan yang lebih besar
atau dengan investasi yang lebih kecil menghasilkan keuntungan yang sama (Sutrisno, 2013).
Beberapa asumsi yang mendasari teori MM-Tanpa Pajak :
1. Tidak terdapat agency cost.
2. Tidak ada pajak.
3. Investor dapat menggunakan utang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan
perusahaan.
4. Investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai prospek
perusahaan di masa depan.
5. Tidak ada biaya kebangkrutan.
6. Earnings Before Interest and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penggunaan dari
utang.
7. Para investor adalah price-takers.
8. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar (market value).

Dengan asumsi-asumsi tersebut, Modigliani-Miller mengajukan dua proposisi yang


dikenal sebagai proposisi Modigliani-Miller tanpa pajak. Proposisi I: nilai dari perusahaan
yang menggunakan utang sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak menggunakan utang.
Implikasi dari proposisi I ini adalah struktur modal dari suatu perusahaan tidak relevan,
perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan dan Weighted Average Cost
of Capital (WACC) perusahaan akan tetap sama tidak dipengaruhi oleh bagaimana perusahaan
memadukan utang dan modal untuk membiayai perusahaan Proposisi II: biaya modal saham
akan meningkat apabila perusahaan melakukan atau mencari pinjaman dari pihak luar. Risk of
the equity bergantung pada risiko dari operasional perusahaan (business risk) dan tingkat
utang perusahaan (financial risk). Brealey, Myers dan Marcus (1999) dalam Aji (2003)
menyimpulkan dari teori Modigliani-Miller tanpa pajak ini yaitu tidak membedakan antara
perusahaan yang menggunakan utang atau pemegang saham memiliki utang pada saat kondisi
tanpa pajak dan pasar yang sempurna. Nilai perusahaan tidak bergantung pada struktur
modalnya. Dengan kata lain, manajer keuangan tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan
dengan merubah proporsi debt dan equity yang digunakan untuk membiayai perusahaan.

2.3 Teori Modligiani – Miller (MM) Dengan Pajak


Teori Modigliani-Miller tanpa pajak dianggap tidak realistis dan kemudian Modigliani-
Miller memasukkan faktor pajak ke dalam teorinya. Pajak dibayarkan kepada pemerintah,
yang berarti merupakan aliran kas keluar. Utang dapat digunakan untuk menghemat pajak,
karena bunga dapat dipakai sebagai pengurang pajak. Dalam teori Modigliani-Miller dengan
pajak ini terdapat dua proposisi yaitu: Proposisi I: nilai dari perusahaan yang menggunakan
utang sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak menggunakan utang ditambah dengan
penghematan pajak karena bunga utang. Implikasi dari proposisi I ini adalah pembiayaan
dengan utang sangat menguntungkan dan Modigliani-Miller menyatakan bahwa struktur
modal optimal perusahaan adalah 100 persen utang. Proposisi II: biaya modal saham akan
meningkat dengan semakin meningkatnya utang, tetapi penghematan pajak akan lebih besar
dibandingkan dengan penurunan nilai karena kenaikan biaya modal saham. Implikasi dari
proposisi II ini adalah penggunaan utang yang semakin banyak akan meningkatkan biaya
modal saham. Menggunakan utang yang lebih banyak, berarti menggunakan modal yang lebih
murah (biaya modal utang lebih kecil dibandingkan dengan biaya modal saham), sehingga
akan menurunkan biaya modal rata-rata tertimbangnya (meski biaya modal saham
meningkat). Teori Modigliani-Miller tersebut sangat kontroversial. Implikasi teori tersebut
adalah perusahaan sebaiknya menggunakan utang sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya,
tidak ada perusahaan yang mempunyai utang sebesar itu, karena semakin tinggi tingkat utang
suatu perusahaan, akan semakin tinggi juga kemungkinan kebangkrutannya. Inilah yang
melatarbelakangi teori Modigliani-Miller mengatakan agar perusahaan menggunakan utang
sebanyak-banyaknya, karena Modigliani-Miller mengabaikan biaya kebangkrutan.

2.4 Pecking Order Theory


Pecking Order Theory pertama kali diperkenalkan oleh Donaldson pada tahun 1961. Teori
pecking order menjelaskan mengapa perusahaan yang menguntungkan meminjam jumlah
uang yang lebih sedikit. Teori ini berbunyi sebagai berikut :
1. Perusahaan menyukai pendanaan internal, karena dana ini terkumpul tanpa mengirimkan
sinyal sebaliknya yang dapat menurunkan harga saham.
2. Jika dana eksternal dibutuhkan, perusahaan menerbitkan utang lebih dahulu dan hanya
menerbitkan ekuitas sebagai pilihan terakhir. Pecking order ini muncul karena penerbitan
utang tidak terlalu diterjemahkan sebagai pertanda buruk oleh investor bila dibandingkan
dengan penerbitan ekuitas.

Menurut teori pecking order yang dikutip oleh Smart dan Gitman (2009) terdapat skenario
urutan (hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu :

1. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau pendanaan
internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba ditahan
yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan.
2. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama kali mulai
dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah resikonya, turun ke
hutang yang lebih beresiko, sekuritas hybrid seperti obligai konversi, saham preferen, dan
yang terakhir saham biasa.
3. Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah
pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan
tersebut untung atau rugi.
4. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan deviden yang
konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan investasi, maka
perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia.

Brealy dan Myers (2014) menyatakan pecking order theory diawali dengan berdasarkan
asumsi asimetris manajer yang mengetahui lebih banyak informasi dari pada investor luar
tentang profitabilitas dan prospek perusahaan. Informasi ini mempengaruhi pilihan antara
pembiayaan internal dan eksternal. Pecking order theory tidak menyangkal bahwa pajak dan
masalah keuangan dapat menjadi faktor penting dalam pilihan struktur modal. Meskipun
demikian teori ini menyatakan bahwa faktor – faktor ini tidak terlalu penting dibandingkan
preferensi manajer atas dana internal melebihi dana eksternal atas pendanaan utang melebihi
penerbitan saham yang baru (Brealy danMyers, 2014).

Spesifikasi Model Pecking Order Theory

Shyam-Sunder dan Myers (1999) mengembangkan model sederhana dari pecking order
theory (POT), dimana jika perusahaan membutuhkan dana dari pihak eksternal, maka akan
menggunakan Debt, bukan Equity. Equity financing hanya akan digukanan dalam kondisi yang
sangat mendesak, yaitu jika biaya akibat dari financial distress menjadi begitu tinggi dan debt
capacity perusahaan telah dilampaui. Spesifikasi model pengujian POT adalah dalam bentuk
persamaan berikut:

Δ Dit = α + βPO DEFit + εit (6)

dimana Δ Dit adalah debt yang dikeluarkan oleh perusahaan i pada tahun t, DEFit adalah
deficit cash flow, dan βPO adalah koefisien pecking order dari DEF, serta εit merupakan error
terms yang mana εit ~idd(0,σ e 2 ) Jadi persamaan tersebut diatas menggambarkan hubungan
antara kekurangan dana dengan penarikan pinjaman, atau antara kelebihan dana dengan
pembayaran kembali pinjaman. Dengan mengikuti model yang digunakan oleh Frank dan
Goyal (2003), cash flow deficit didefinisikan sebagai berikut:

DEF = – CF + I + DIV + Δ C = (Δ D + ΔE) (7)


Dimana CF adalah arus kas dari operasi perusahaan dikurangi dengan hasil investasi dan
bunga pinjaman setelah dikurangi pajak, I adalah investasi neto, DIV adalah dividen yang
dibayar, Δ C adalah perubahan kas bersih, Δ D adalah perubahan bersih debt, dan ΔE adalah
perubahan bersih equity.

Baik Shyam-Sunder dan Myers (1999) maupun Frank dan Goyal (2003) menggunakan tiga
macam proxy untuk debt yang diterbitkan perusahaan, yaitu delta total debt ratio, net debt
issued dibagi dengan nilai perusahaan, dan gross debt issued masing-masing dibagi dengan nilai
perusahaan

2.5 Balancing Theory


Sejak tahun 1976, teori keuangan memakai model ekonomi standar untuk menggambarkan
perilaku perusahaan. Model tersebut menganggap perusahaan seperti sebuah kotak hitam yang
memproses input menjadi suatu output dan perusahaan diasumsikan akan memberikan respon
rasional terhadap adanya insentif ekonomi.
Model struktur modal dalam lingkup Balancing theories (Myers,1984 dan Bayles and
Diltz,1994) disebut sebagai teori keseimbangan yaitu menyeimbangkan komposisi hutang dan
modal sendiri. Teori ini pada intinya yaitu menyeimbangkan antara manfaat dan pengorbanan
yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat masih besar, hutang akan
ditambah. Tetapi bila pengorbanan karena menggunakan hutang sudah lebih besar maka
hutang tidak lagi ditambah. Pengorbanan karena menggunakan hutang tersebut bisa dalam
bentuk biaya kebangkrutan (Bankruptcy cost) dan biaya keagenan (agency cost). Biaya
kebangkrutan antara lain terdiri dari legal fee yaitu biaya yang harus dibayar kepada ahli
hukum untuk menyelesaikan klaim dan distress price yaitu kekayaan perusahaan yang
terpaksa dijual dengan harga murah sewaktu perusahaan dianggap bangkrut. Semakin besar
kemungkinan terjadi kebangkrutan dan semakin besar biaya kebangkrutan, semakin tidak
menarik menggunakan hutang. Hal ini disebabkan karena adanya biaya kebangkrutan, biaya
modal sendiri akan naik dengan tingkat yang makin cepat. Sebagai akibatnya, meskipun
memperoleh manfaat penghematan pajak dari penggunaan hutang yang besar berdampak oleh
kenaikan biaya modal sendiri yang tajam, sehingga berakhir dengan menaikkan biaya
perusahaan.
Masulis (1980), dan Suad Husnan (1998), juga membahas biaya kebangkrutan saat
membuktikan dampak perubahan komposisi hutang terhadap harga saham. Masulis
menunjukkan bahwa abnormal returns pada hari pengumuman dan sehari setelah
pengumuman dari perusahaan-perusahaan yang meningkatkan proporsi penggunaan hutang,
ternyata positif.
Sedangkan perusahaan yang menurunkan leverage ternyata memperoleh abnormal returns
yang negatif pada hari pengumuman dan sehari setelahnya. Abnormal returns yang positif
berarti bahwa keuntungan yang diperoleh para pemodal lebih besar dari keuntungan yang
seharusnya. Abnormal returns yang positif bagi perusahaan yang meningkatkan proporsi
penggunaan hutang berarti bahwa peningkatan leverage dinilai memberikan manfaat bagi
pemodal dalam bentuk penghematan pajak. Disamping itu mereka juga menunjukkan bahwa
nampaknya manfaat dari penghematan pajak lebih dari kerugian karena kemungkinan
munculnya biaya kebangkrutan.
Menurut MM dalam Dermawan Sjahrial (2009), Biaya lain yang timbul adalah biaya
keagenan yaitu biaya yang muncul kerena perusahaan menggunakan hutang dan melibatkan
hubungan antara pemilik perusahaan (pemegang saham) dan kreditur. Ada kemungkinan
pemilik perusahaan yang menggunakan hutang melakukan tindakan yang merugikan kreditur,
sebagai misal perusahaan melakukan investasi pada proyek-proyek beresiko tinggi. Biaya
keagenan ini antara lain terdiri dari biaya kehilangan kebebasan karena kreditur melindungi
diri dengan perjanjian-perjanjian pada saat memberikan kredit, dan biaya memonitor
perusahaan untuk menjamin perusahaan menaati perjanjian yang dibebankan pada perusahaan
dalam bentuk bunga hutang yang lebih.

Trade Off Theory.

Teori Trade off menjelaskan adanya hubungan antara pajak, resiko kebangkrutan dan
penggunaan hutang yang disebabkan keputusan struktur modal yang diambil perusahaan
(Brealey dan Myers,1991).Teori ini merupakan keseimbangan antara keuntungan dan kerugian
atas penggunaan hutang. Modeltrade-off mengasumsikan bahwa struktur modal perusahaan
merupakan hasil trade-off dari keuntungan pajak dengan menggunakan hutang dengan biaya
yang akan timbul sebagai akibat penggunaan hutang tersebut (Hartono, 2003), dan
Laksmi,2010. Esensi trade-off theory dalam struktur modal adalah menyeimbangkan manfaat
dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar,
tambahan hutang masih diperkenankan. Apabila pengorbanan karena penggunaan hutang sudah
lebih besar, maka tambahan hutang sudah tidak diperbolehkan. Trade-off theory telah
mempertimbangkan berbagai faktor seperti corporate tax, biaya kebangkrutan, dan personal
tax dalam menjelaskan mengapa suatu perusahaan memilih struktur modal tertentu (Suad
Husnan, 2001). Kesimpulannya adalah penggunaan hutang akan meningkatkan nilai
perusahaan tetapi hanya pada sampai titik tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan hutang
justru menurunkan nilai perusahaan (Hartono, 2003). Walaupun model trade-off theory tidak
dapat menentukan secara tepat struktur modal yang optimal, namun model tersebut memberikan
kontribusi penting yaitu (Hartono, 2003); dalam laksmi,2010:

1. Perusahaan yang memiliki aktiva yang tinggi, sebaiknya menggunakan sedikit hutang.
2. Perusahaan yang membayar pajak tinggi sebaiknya lebih banyak menggunakan hutang
dibandingkan perusahaan yang membayar pajak rendah.

2.6 Pengujian Empiris Struktur Modal

Alat-Alat Dasar Manajemen Struktur Modal

Pemahaman Anda tentang teori struktur modal telah berkembang. Ini membuat anda lebih
mampu mencari stuktur modal yung upcimal bagi perusahaan Anda. Ada beberapa alat yang
bisa membantu Anda dalam
proses pencarian ini dan yang
sekaligus membantu Anda
mengambil pilian pendanaan yang
berhati-hati. Alat-alat ini
berorientasi pada keputusan.
Mereka membantu kita menjawab
pertanyaan, “Kalau kita butuh lagi
$20 juta, apakah sebaiknya kita
menerbitkan saham biasa atau
menjual obligasi jangka
panjang?”
Efek leverage keuangan pertama adalah tambahan variabilitas aliran EPS yang
menggunakan sekuritas dengan bean tetap dalam struktur modal perusahaan. Dengan ukuran
derajat leverage keuangan (DFLEBIT), telah kita jelaskan bagaimana variabilitas ini dapat
dikuantifikasi. Perusahaan yang menggunakan lebih banyak leverage keuangan akan
mengalami perubahan relatif yang lebih besar dalam EPS-nya sesuai dengan fluktuasi EBIT
ketimbang yang sebaliknya. Misalkan Pierce Grain memilih rencana pendanaan C ketimbang
A. Leverage pada rencana C sangat tinggi, sedang A tanpa leverage. Kenaikan 100 persen
dalam EBIT dari $20.000 ke $40.000 akan menyebabkan EPS naik 147 persen dengan rencana
C, namun hanya 100 persen menurut rencana A. Sayangnya, efeknya akan beroperasi dalam
arah negatif pula. Perubahan EBIT akan diperbesar dengan penggunaan leverage keuangan.
Pembesaran ini tercermin dalam variabilitas EPS perusahaan. Lihat boks Persoalan Keuangan,
“Ben Bernanke tentang Teori Arus Kas Bebas Struktur Modal dan Menumpukya Hutang
Korporat”.

Efek leverage keuangan kedua terkait dengan tingkat EPS pada EBIT tertentu dengan
struktur modal tertentu. Lihat Tabel 16-5. Pada tingkat EBIT $20.000, EPS akan menjadi $5,
$5,33, dan $5,67 menurut rencana A, B, dan C. Di atas titik kritis EBIT, EPS perusahaan akan
lebih tinggi bila digunakan leverage yang lebih besar. Demikian pula sebaliknya, di bawah
titik kritis EBIT, EPS akan menderita leverage keuangan yang lebih besar. Bila efek leverage
keuangan pertama dikuantifikasi menurut derajat leverage keuangan (DFLEBIT), yang kedua
dikuantifiksi dengan apa yang disebut sebagai analisis EBIT-EPS. Logika di balik jenis
analisis ini sederhana. Earning merupakan salah satu variabel kunci yang mempengaruhi nilai
pasar saham biasa perusahaan. Maka, efek keputusan pendanaan pada EPS harus dipahami
karena keputusan itu mungkin akan mempengaruhi nilai investasi pemegang saham.

2.7 Ben Bernanke Tentang Teori Arus Kas Bebas Dari Struktur Modal Dan Menumpuknya
Hutang Korporat
Para wartawan bisnis dan periset akademis membuat beberapa penjelasan tentang makin
banyaknya penggunaan pendanaan hutang oleh perusahaan pada tahun 1980-an. Tidak semua
analis menerima hipotesis kontrol Jensen untuk penciptaan hutang. Profesor Bernanke ragu-
ragu. la mengulas tori arus kas bebas Jensen dan mengomentari menumpuknya leverage
korporat tahun 1980-an. “Pendekatan berbasis insentif” merupakan istilah Bernanke untuk
teori arus kas bebas struktur modal.
Idenya adalah bahwa struktur kuangan perusahaan mempengaruhi insentif “orang dalam”
(manajer, direktur, pemegang saham besar dengan kepentingan operasional dalam bisnis itu)
dan secara khusus tingkat hutang yang tinggi, semuanya bisa meningkatkan keinginan orang
dalam untuk meraih laba agar bekerja keras dan mengambil keputusan yang memaksimalkan
laba. Pendekatan berbasis insentif ini membuat kontribusi penting bagi pemahaman kita
tentang struktur modal perusahaan. Namun sementara teori ini menjelaskan mengapa
perusahaan secara umum suka menggunakan hutang, ini tidak menjelaskan mengapa
penggunaan hutang telah meningkat beberapa tahun terakhir ini.
Michel Jensen, pendiri dan pendukung utama pendekatan berbasis insentif terhadap
struktur modal, berkata bahwa itu bisa saja. Jensen fokus pada memburukya persoalan “arus
kas bebas” akhir-akhir ini. Arus kas bebas didefinisikan sebagai bagian arus kas perusahaan
yang tidak dapat diinvestasikan secara menguntungkan di dalam perusahaan. Perusahaan
dalam berbagai industri yang menguntungkan tidak lagi punya banyak potensi untuk ekspansi,
misalnya industri minyak AS punya banyak arus kas bebas.
Jensen berpendapat bahwa manajer kerap tergoda menggunakan arus kas bebas untuk
memperluas ukuran perusahaan, bahkan bila ekspansi itu tidak menguntungkan. Ini karena
manajer merasa bahwa kekuasaan dan kepuasan mereka akan meningkat dengan makin
besarnya perusahaan, karena kompensasi manajer terkait dengan profitabilitas perusahaan.
Jensen berpendapat bahwa manajer akan secara pribadi merasa berharga melakukan ekspansi
ke operasi-operasi yang menghasilkan duit. Dalam prinsipnya, dewan direktur dan pemegang
saham harus mampu memblokir investasi yang tidak menguntungkan ini, namun dalam
praktek manajemen biasanya punya informasi lebih banyak tentang investasi potensial
ketimbang para direktur luar dan pemegang saham, sehingga sulit memberikan pandangan
kedua selain rekomendasi manajemen.

Bagaimana Leverage Lebih Banyak bisa Bermanfaat ?

Manajer dengan banyak arus kas bebas mungkin berusaha menggunakan uang itu untuk
meningkatkan kekuasaan dan tunjangan yang di dapatkannya, dengan beban ditanggung
pemegang saham. Jensen berpendapat bahwa solusi bagi masalah arus kas bebas adalah
leverage yang lebih besar. Misalnya, misalkan manajemen menggunakan arus kas bebas
perusahaan, ditambah penerimaan dari penerbitan hutang baru, adalah membeli kembali
saham dari pemegang saham luar, yakni melakukan management buy out. Ini membantu
menyelesaikan masalah arus kas bebas dengan beberapa cara. Pengembalian pribadi manajer
sekarang lebih terkait dengan laba perusahaan, yang memberi mereka insentif agar lebih
efisien. Kedua, proses penggunaan leverage menyingkirkan arus kas bebas yang ada dalam
perusahaan, sehingga proyek investasi apapun di masa mendatang harus di danai secara
eksternal. Maka proyek masa depan harus memenuhi uji pasar yang bisa diterima oleh bank
luar atau pembeli obligasi. Akhirnya, pembayaran bunga yang tinggi akibat leverage
mengakibatkan disiplin yang permanen pada diri manajer. Supaya bisa memenuhi
pembayaran ini, mereka harus dengan kejam memangkas operasi yang memboroskan uang,
menghindari investasi yang dipertanyakan, dan melakukan tindakan lain yang mendukung
efisiensi.

Menurut Jensen, masalah kenaikan besar dalam arus kas bebas akibat deregulasi,
matangnya sejumlah industri besar, dan beberapa faktor lain merupakan sumber ekspansi
hutang besar akhir-akhir ini. Jensen juga menunjuk beberapa faktor institusional yang
mendorong meningkatnya leverage, seperti mengendurnya pembatasan merger, yang telah
menurunkan hambatan pengambilalihan korporat akibat hukum anti trust dan makin
canggihnya keuangan, seperti meningkatnya operasi besar spesialis pengambilalihan misalnya
Drexel Burnham Lambert Inc. dan pengembangan pasar “junk bond”, Diagnosis Jensen tidak
kontroversial, sangat tepat bahwa faktor-faktor ini plus berubahnya norma tentang seberapa
tingkat hutang yang “bisa diterima”, paling tidak menjelaskan bagian dari trend menuju
peningkatan hutang korporat. Salah satu bagian penting bukti yang mendukung penjelasan ini
adalah bahwa penerbitan ekuitas bersih selama ini cukup negatif sejak 1983. Ini menyatakan
bahwa banyak penerimaan penerbitan baru digunakan untuk membeli kembali saham yang
ada. Inilah yang terjadi bila perusahaan berúsaha me-leverage-kan kembali aktiva mereka
yang ada dan bukannya menggunakan hutang untuk memperluas kepemilikan aktiva mereka.
Namun, kesimpulannya bahwa tumpukan hutang secara keseluruhan berguna bagi ekonomi,
itulah yang lebih kontroversial.

2.8 Kritik Terhadap Penalaran Berbasis Insentif Bagi Peningkatan Hutang


Jensen dan dua pendukung lain pendekatan berbasis insentif relah membuat kasus teoretis
yang meyakinkan bagi efek, menguntungkan pendanaan hutang, dan banyak perancang
restrukturisasi berskala besar telah memberikan insentif makin besar dan janji efisiensi yang
lebih besar sebagai bagian dari logika peningkatan leverage. Ide bahwa leverage bermanfaat
tentu saja dianut oleh pasar saham, bahkan rumor tanpa bukti tentang kemungkinan leverage
buy out (LBO) telah cukup membuat harga saham perusahaan yang dibidik meledak kerap
sampai 40 persen atau lebih. Paling tidak, ini menunjukkan bahwa peserta pasar saham
percaya bahwa leverage yang lebih tinggi meningkatkan profitabilitas. Pendukung
restrukturisasi menafsirkan bukti ini bahwa hutang baik bagi ekonomi.
Namun ada juga kritik terhadap kesimpulan ini. Pertama, fakta bahwa harapan pasar saham
atas profitabilitas perusahaan naik bila ada buyout bukan bukti bahwa laba akan naik dalam
kenyataan. Masih terlalu dini menilai apakah kenaikan leverage dalam tahun 1980an akan
mengantar kepada kenaikan profitabilitas yang berkelanjutan. Orang bisa merenungkan data
historis untuk menjawab pertanyaan ini. Namun buy out dalam tahun 1960an dan 1970an
sedikit berbeda karakternya dari restrukturisasi yang lebih belakangan ini, dan toh bukti
profitabilitas dalam episode sebelumnya tercampur baur. Bahkan bila laba lebih tinggi yang
diharapkan pasar saham menjadi nyata, ada anggapan atas asal-usulnya. Teori struktur modal
berbasis insentif mengatakan bahwa laba itu berasal dari perbaikan efisiensi. Namun sebagian
penentang teori ini menyatakan bahwa laba lebih tinggi terutama mencerminkan transfer ke
pemegang saham dari pihak lain karyawan, pelanggan, pemasok, pemegang obligasi, dan
pemerintah. Pelanggan mungkin menderita bila pengambil-alihan terkait dengan
meningkatnya monopolisasi pasar. Pemegang obligasi paling rugi dalam sejumlah buyout,
Karena leverage yang lebih tinggi meningkatkan risiko bangkrut dan mengurangi nilai
obligasi yang ada.
Pemerintah mungkin kehilangan pemasukan pajak, seperti halnya perusahaan, karena
peningkatan leverage mengakibatkan peningkatan potongan bunga (meskipun dimbangi pajak
yang dibayar oleh pemegang saham atas capital gain mereka). Persepsi bahwa banyak laba
yang terkait dengan leverage dan buy out berasal dari “perasan” para pewaris perusahaan
menjelaskan banyak agitasi politik mutakhir untuk membatasi aktivitas ini.
Menumpuknya hutang juga bisa dikritik dari perspektif teori berbasis insentif itu sendiri.
Dua hal patut dikemukakan: pertama, masalah utama bahwa leverage lebih tinggi dianggap
menjawab hubungan yang relatif lemah antara laba perusahaan dan pengembalian pribadi
manajer, yang mengurangi insentif manajer untuk mengambil tindakan memaksimalkan laba.
Namun bila ini masalah yang sebenarya, ini bisa dijawab lebih langsung tanpa harus
mengaitkan perusahaan ke risiko kebangkrutan serius, hanya dengan mengubah skema
kompensasi manajerial agar bisa mencakup lebih banyak insentif berbasis laba.

2.9 Penurunan Pendanaan Hutang


Meningkatnya hutang bukan solusi optimal bagi semua masalah insentif. Misalnya, seperti
sudah diperlihatkan, sebagai, proposisi teoretis, bahwa manajer perusahaan dengan pendanaan
hutang punya insentif untuk memilih proyek-proyek berisiko ketimbang yang aman; ini
karena peusahaan dengan kewajiban hutang tetap menikmati semua potensi ke atas proyek-
proyek berisiko tinggi namun juga ikut menanggung sisi rugi ke bawah dengan pemilik
hutang, yang tidak dibayar penuh bila investasi buruk menyebabkan perusahaan gagal.
Bahwa leverage yang tinggi tidak selalu mendukung efisiensi dapat dilihat ketika
perusahaan dengan leverage tinggi menderita rugi dan berada dalam kesulitan keuangan.
Ketika terjadi kesulitan keuangan, kebutuhan memenuhi pembayaran bunga mungkin
memaksa manajer untuk mengambil perspektif jangka pendek yang membuat mereka
memangkas produksi dan tenaga kerja, serta menjual aktiva dengan harga obral. Karena risiko
bangkrut begitu besar, perusahaan yang dalam kesulitan keuangan tidak dapat membuat
kesepakatan jangka panjang; mereka kehilangan pelanggan dan pemasok yang takut bahwa
mereka tidak dapat mengandalkan kelanjutan hubungan serta mereka harus membayar upah
yang lebih tinggi untuk mempekerjakan orang. Kerugian efisiensi ini, ditambah biaya
langsung kebangkrutan (seperti biaya hukum) merupakan sisi ke bawah dari leverage yang
tinggi.
2.10 Kebijakan deviden mempengaruhi harga saham
Kebijakan deviden adalah kebijakan mengenai keputusan yang diambil perusahaan tentang
bagaimana tingkat laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham
sebagai deviden atau ditahan dalam bentuk laba ditahan yang nantinya digunakan untuk
membiayai investasi perusahaan dimasa yang akan datang. Kebijakan mengenai jumlah
besaran deviden yang akan dibagikan kepada para pemegang saham sangat mempengaruhi
investor dalam niatnya untuk menanamkan modalnya diperusahaan. Sedangkan, laba yang
ditahan merupakan salah satu sumber dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan,
semakin baik pengelolaan pembiayaan perusahaan yang berasal dari laba ditahan semakin
kuat pula posisi financial perusahaan tersebut. Nantinya laba ditahan ini dijadikan sebuah
investasi oleh perusahaan, dan dipergunakan untuk membiayai operasi perusahaan dimasa
datang.
Sekilas, kita mungkin berkesimpulan bahwa kebijakan deviden penting. Kita telah
mendefinisikan nilai saham sama dengan nilai sekarang dari deviden di masa mendatang.
Ada orang yang berpandangan bahwa bwsarnya deviden tidak relevan, dan waktu yan
dihabiskan untuk keputusan itu hanya pemboran waktu. Yang lain permendapat bahwa
deviden tidak tinggi akan mengakibatkan harga saham yang tinggi. Ada juga yang
berpandangan bahwa deviden sebenarnya merugikan hara saham.
1. Pandangan 1: Kebijakan deviden tidak relevan
Banyak kontroversi tentang masalah deviden didasarkan pada ketidaksepakatan
diantara komunitas akademis dan profesional. Sebagian praktisi yang berpengalaman
berpandangan bahwa harga saham berubah akibat pengumuman deviden, sehingga
deviden dipandang penting. Banyak orang di kalangan akademis, yakni para profesor
keuangan yang berpendapat bahwa deviden tidak penting, melihat kekacauan
permasalahan akibat tidak hati-hatinya pedefinisian apa yang disebut kebijakan deviden.
Pembayaran deviden dapat mempengarhui harga saham bila pemegang saham tidak
punya cara lain untuk menerima pendapatan dari investasi itu. Namun, asumsi bahwa
pasar modal relative efisien, pemegang saham yang ingin pendapatan sekarang selalu bisa
menjual sahamnya. Bila perusahaan itu membayar deviden, investor bisa secara pribadi
menciptakan aliran deviden yang diinginkan, entah apapun kebijakan deviden yang
diambil.
Contoh tentang tidak relevannya deviden. Untuk memperlihatkan bahwa deviden tidak
menjadi soal, datanglah ke Negeri Ez, dimana lingkungannya sangat sederhana. Pertama,
raja, karena hatinya baik, tidak memungut pajak pendapatan sama sekali. Kedua, investor
bisa membeli dan menjual sekuritas tanpa membayar komisi apapun. Selain itu, Ketika
perusahaan menerbitkan sekuritas baru (berupa saham atau obligasi) tidak ada biaya
pengambangan. Tambahan lagi, Negeri Ez sepenuhnya dikomputerisasi, sehingga semua
informasi tentang perusaan tersedia sat itu juga bagi public tanpa biaya.selanjutnya,
semua investor menyadari bahwa nilai perusahaan merupakan fungsi dari peluang
investasinya dan keputusan pendanaannya. Maka, kebijakan deviden tidak memberi
informasi baru tentang kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan atau
resiko pendapatan itu, akhirnya semua perusahaan dimiiki dan dikelola oleh pihak yang
sama, sehingga tidak ada konflik kepentingan diantara pemilik dan manager. Di utopia
keuangan ini deviden tidak ada efeknya terhadap harga saham.
2. Pandangan 2: Deviden yang tinggi meningkatkan harga saham
Keyakinan bahwa kebijakan deviden tidak penting secara implisit mengasumsikan
bahwa investor harus menggunakan tingkat pengembalian yang sama entah
pendapatan dari capital gain atau melalui deviden. Namun, deviden lebih mudah
diramalkan ketimbang capital gain; manajemen lebih dapat mengontrol deviden,
namun tidak bisa mengontrol harga saham. Investor kurang pasti dalam penerimaan
pendapatan dari capital gain ketimbang deviden, dan ini mengimplikasikan tingkat
pengembalian lebih tinggi diinginkan untuk satu dolar dari capital gain ketimbang dari
deviden, dengan kata lain, kita menilai satu dolang yang diharapkan dari deviden lebih
tinggi daripada satu dolar dari capital gain yang diharapakan. Meningkatnya deviden
tidak mengurangi resiko dasar saham, melainka nbila pembayaran deviden menuntut
penerbitan saham baru, ini hanya mentransfer resiko dan kepemilikan dari pemilik
skearang dan pemilik baru. Kita harus mengakui bawa investor sekarang yang
menerima deviden memperdagangkan capital gain yang tiak pasti untuk mendapatkan
aktiva yang “aman” (deviden tunai). Namun, bila tujuannya pengurangan resiko,
investor bisa saja menyimpan uangnya di bank dan tidak membeli saham.
3. Pandangan 3: Deviden yang rendah meningkatkan harga saham
Pandangan ketiga tentang pengaruh deviden terhadap harga sahanm menyatakan
bahwa deviden sebenarnya merugikan investor. Argumen ini umumnya berdasarkan
perbedaan perlakuan pajak untuk pendapapt deviden dan capital gain yang kerap
berubah. Tidak seperti investor Ez, kebanyakan investor lain harus membayar pajak.
Masih ada keunggulan lain capital gain ketimbang deviden. Pajak pada deviden
dibayarkan Ketika deviden itu diterima, sedangkan pajak pada apresiasi harga saham
(Capital gain) ditunda sampai saham itu benar-benar dijual. Maka ketika menyangkut
pertimbangan pajak, kebanyakan imvestor lebih suka menahan pendapatan perusahaan
dibanding pembayaran deviden tunai. Bila laba ditahan dalam perusahaan, harga
saham naik, namun kenaikan itu tidak dikenakan apjak samapai sahamnya dijual.

Meskipun Sebagian besar investor terkena pajak, beberapa perusahaan investasi, trust, dan
program pensiun, dikecualikan dari deviden mereka. Demikian pula, untuk keperluan pajak,
perusahaan bisa mengecualikan 70 persen deviden yang diterima dari perusahaan lain. Dalam
kasus ini, investor lebih suka deviden ketimbang capital gain.

Ringkasnya, bila menyangkut pajak, kita ingin memaksimalkan pengembalian setelah


pajak, dibandingkan sebelum pajak. Investor berusaha menunda pajak sebisa mungkin, saham
yang memungkinkan penundaan pajak selalu mungkin dijual dengan harga premium dibanding
saham yang menuntut punutan pajak sekarang. Dengan demikian, dua saham mungkin
memberikan pengembalian stelah pajak yang sebanding, ini menyatakan bahwa kebijakan
membayar deviden rendah akan mengakibatkan harga saham yang tinggi. Yakni deviden tinggi
merugikan investor, sedangkan deviden rendah dan laba ditahan yang tinggi justru membantu
investor. Inilah logika yang membela kebijakan deviden rendah.

Argumen bahwa deviden tidak relevan sulit ditolak, dengan adanya asumsi bahwa pasar
sempurna. Namun, dalam dunia nyata, tidak selalu mudah merasa nyaman dengan argumen
seeperti itu. Sebaliknya filosofi deviden tinggi, yang mengukur resiko menurut bagaimana kita
membagi arus kas perusahaan antara deviden dan menahan laba, tidak secara khusus menarik
bila dipelajari dengan seksama. Padangan Ketiga, yang hakikatnya merupakan argumen pajak
terhadapa deviden tinggi, sangan peruasif.
Orang yang bernalar tidak dapat mencapai kesimpulan yang definitif: namun demikian,
manajemen tidak diberi pilihan. Perusahaan harus mengembangkan suatu kebijakan deviden,
yang diharapkan berdasarkan pengetaauan terbaik yang ada. Meskipun kita bisa memberikan
nasihat dengan sejumlah catatan, beberapa kesimpulan berikut tampaknya cukup masuk akal:

1. Ketika peluang perusahaan naik, rasio pembayaran deviden harus turun. Dengan kata
lain, ada hubungannya terbalik antara besarnya investasi dengan tingkat pengembalian
yang diharapakan yang melebihi biaya modal dan deviden yang dikembalikan ke
investor. Karena adanya biasa pengembangan yang terkait dengan modal eksternal,
penahanan ekuitas internal lebih disukai ketimbang menjual saham.
2. Kebijakan deviden perusahaan tampak penting, namun penampilannya bisa menipu.
Isu sebenarnya mungkin kemampuan perusahaan meraih laba yang diharapkan dan
tingkat resiko pendapatan ini. Investor mungkin menggunakan pembayaran deviden
sebagai sumber informasi tentang laba yang diharapkan. Tindakan manajemen dalam
hal deviden mungkin memberi bobot lebih besar ketimbang pernyataan manajemen
bahwa laba akan naik.
3. Bila deviden mempengaruhi harga saham, ini mungkin berdasarkan keinginan investor
untuk meminimalkan dan menunda pajak dan berdasar peran deviden dalam
meminimalkan biaya agensi.
4. Bila teori ekspektasi benar, yang kita percayai memang begitu, manajemen harus
menghindari mengejutkan investor ketika terkait dengan keputusan deviden. Kebijakan
deviden harus secara efektik diperlakukan sebagai residu jangka panjang. Ketimbang
memproyeksikan kebutuhan investasi untuk satu tahun, manajemen dapat
mengantisipasi kebutuhan pendanaan untuk beberapa tahun. Berdasarkan peluang
investai yang diharapakan selama horizon perencaaan, campuran ekuitas-hutang, dan
dana yang dihasilkan dari operasi, rasio pembayaran deviden target dapat ditentukan.
Bila dana internal tetap ada setelah proyeksi pendanaan ekuitas yang perlu,deviden
harus dibayarkan.
2.11 Teori-Teori Kebijakan Deviden
(Sudana, 2009:220-222) Terdapat beberapa teori tentang kebijakan dividen yang dapat
mempengaruhi nilai suatu perusahaan antara lain:
1. Dividend Irrelevance Theory
Teori ini dikemukakan oleh Merton Miller dan Franco Modigliani (MM). Menurut
dividend irrelevance theory, kebijakan dividen tidak mempengaruhi harga pasar saham
perusahaan atau nilai perusahaan. Modigliani dan Miller berpendapat bahwa, nilai
perusahaan hanya ditentukan ileh kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
pendapatan (earning power) dan risiko bisnis, sedangkan bagaimana cara membagi
arus pendapatan menjadi dividen dan laba ditahan tidak mempengaruhi nilai
perusahaan.
2. Bird-in-the-Hand Theory
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan John Lintner. Berdasarkan bird in the
hand theory, kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap harga pasar saham.
Artinya, jika dividen yang dibagikan perusahaan semakin besar, maka harga pasar
saham perusahaan tersebut akan semakin tinggi dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena,
pembagian dividen dapat mengurangi ketidakpastian yang dihadapi investor.
3. Tax Preference Theory
Berdasarkan tax preference theory, kebijakan dividen mempunyai pengaruh negatif
terhadap harga pasar saham perusahaan. Artinya, semakin besar jumlah dividen yang
dibagikan suatu perusahaan semakin rendah harga pasar perusahaan yang
bersangkutan. Hal ini terjadi jika ada perbedaan antara tarif pajak personal atas
pendapatan dividen dan capital gain. Apabila tarif pajak dividen lebih tinggi diperoleh
perusahaan tetap ditahan di perusahaan, untuk membelanjai investasi yang dilakukan
perusahaan. Dengan demikian di masa yang akan datang diharapkan terjadi
peningkatan capital gain yang tarif pajaknya lebih rendah. Apabila banyak investor
yang memiliki pandangan demikian, maka investor cenderung memilih saham-saham
dengan dividen kecil dengan tujuan untuk menghindari pajak.
2.12 Keputusan deviden dalam praktek
Banyak pertimbangan yang mungkin mempengaruhi keputusan perusahaan tentang
devidennya, Sebagian dari mereka bersifat unik terhadap perusahaan itu. Berikut ini yang
menjadi Sebagian pertimbanga yang lebih bersifat umum.
1. Pembatasan Hukum
Beberapa pembatasan hukum tertentu mungkin membatasi besarnya deviden yang
dapat dibayarkan perusahaan. Kendala legal ini termasuk dalam dua kategori. Pertama,
restriksi statute mungkin mencegah perusahaan membayar deviden. Meskipun
pembatasan spesifik bisa berbeda menurut negara bagian, umumnya perusahaan tidak
boleh membayar deviden bila:
1) Pasiva perusahaan melebihi aktifanya
2) Besarnya deviden melebihi laba yang diakumulasikan (laba ditahan)
3) Devide nitu dibayarkan dari modal yang diinvestasika ke dalam perusahaan.

Tipe pembatasan kedua bersifat unik bagi isetiapperusahaan dan bersaall dari pembatasan
dalam kontrak hutang dam saham ppreferen.

1. Posisi Likuiditas
Berlawanan dengan pendapat umum, fakta dasar bahwa perusahan memperlihatkan
laba ditahan yang besar dalam neraca tidak menunjukan kas yang tersedia untuk
pembayaran deviden. Posisis aktiva likuid perusahaan saat ini termasuk kas, pada
dasarnya tergantung pada besarnya laba ditahan. Secara historis, perusahaan dengan
laba ditahan yang besar telah suskes menghasilkan kas dari operasi.
2. Tidak adanya sumber pendanaan lainnya
Seperti yang dikatakan perusahaan bisa menahan laba untuk reinvestasi, atau
membayar deviden dan menerbitkan sekuritas hutang atau saham untuk mendanai
investasi. Bagi banyak perusahaan kecil atau baru, pilihan kedua ini tidak realistis.
Perusahaan ini tidak punya akses ke pasar modal. Sehingga harus sangat mengandalkan
dana internal. Konsekuensinya, rasio pembayaran deviden umumnya lebih kecil untuk
perusahaan kecil atau baru ketimbang pperusahaan besar yang dimiliki publik.
3. Laba dapat diramalkan atau tidak
Rasio pembayaran deviden tergantung pada sejauh mana laba perusahaan dapat
diramalkan atau tidak. Bila pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dimasa mendatang.
Bila laba bisa dihasilkan, perusahaan mungkin menahan jumlah lebih besar untuk
memastikan bahwa uang tersedia pada saat dibutuhkan. Sebaliknya, perusahaan dengan
pendapatan yang stabil biasanya membayar bagian labanya dengan lebih besar dalam
bentuk deviden. Perusahaan ini itidak terlalu kuatir tentang tersedianya laba untuk
memneuhi kebutuan modal di masa mendatang.
4. Kontrol kepemilikan
Bagi banyak perusahaan besar, kontrol melalui kepemilikan saham biasanya bukan
masalah. Namun bagi banyak perusahan kecil dan menengah, mempertahankan kontrol
voting merupakan prioritas yang tinggi. Bila pemegang saham biasa sekarang tidak
berpartisipasi dalam penawaran baru, penerbitan saham baru tidak menarik, dalam hal
bahwa kontrol pemegang saham sekarang dicairkan. Pemilik mungkin lebih suka
bahwa menajemen mendanai investasi baru dengan hutan dan melalui laba ketimbang
menerbitkan saham baru.
5. Inflasi
Dalam perode inflasi, idealnya ketika aktiva tetap mulai rusak dan ketinggalan jaman,
dana yang dihasilkan dari depresiasi digunakan untuk mendanai penggantian. Karena
dana peralatan yang setara terus naik, dana depresiasi tidak mencukupi. Ini menuntut
agar laba ditahan, yang mengimplikasikan bahwa deviden terkena pengaruh kurang
menguntungkan.

2.13 Kebijakan deviden alternatif


Entah apapun kebijakan deviden jangka panjangnya, kebanyakan perusahaan memilikj
salah satu dari beberapa pola pembayaran deviden dari tahun ke tahun:
1. Rasio pembayaran deviden yang konstan. Dalam kebijakan ini, persentasi laba yang
dibayarkan dijaga tetap. Meskipun rasio deviden terhadap laba stabil, jumlah dolar
deviden biasanya berfluktuasi dari tahun ke tahun sesuai dengan laba.
2. Pembayaran dolar deviden per lembar yang stabil. Kebijakan ini mempertahankan
deviden dolar yang relatif stabil. Kenaikan deviden dolar biasanya tidak terjadi sampai
manajemen yakin bahwa deviden yang lebih besar bisa dipertahankan dimasa
mendatang. Manajemen juga tidak akan mengurangi deviden dolar sampai bukti jelas
menunjukan bahwa kesinambungan deviden sekarang tidak bisa didukung.
3. Pembayaran deviden kecil, teratur, plus deviden ekstra pada akhir tahun. Perusahaan
yang mengikuti kebijakan ini membayar deviden dolar yang kecil dan teratur ditambah
deviden ekstra pada tahun yang makmur. Deviden ekstra dinyatakan menjelang akhir
tahun fiskal ketika laba perusahaan sudah bisa diestimasi. Sasaran manajemen adalah
menghindari konotasi deviden yang permanen. Namun tujuan ini mungkin hilang bila
deviden ekstra lantas menjadi harapan oleh para investor.

Secara garis besar ada 4 jenis rasio yang dapat digunakan untuk menilai kinerja keuangan
perusahaan, yaitu rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio leverage dan rasio profiabilitas (Harjito
dan Martono, 2012:53).

1. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio)


Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio) yaitu rasio yang menunjukkan hubungan antara
kas perusahaan dan aktiva lancar lainnya dengan hutang lancar. Rasio likuiditas digunakan
untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
finansialnya yang harus segera dipenuhi atau kewajiban jangka pendek (Harjito dan
Martono, 2012:53).R
a. Rasio Lancar (Current Ratio)
Rasio Lancar (Current Ratio) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan
perusahaan, dalam membayar kewajiban jangka pendek atau utang yang segera jatuh
tempo, pada saat ditagih secara keseluruhan. Dengan kata lain, seberapa banyak aktiva
lancar yang tersedia untuk menutupi kewajiban jangka pendek yang segera jatuh
tempo. Rasio lancer dapat pula dikatakan sebagai bentuk untuk mengukurtingkat
keamanan suatu perusahaan (Kasmir, 2013:134).
Current Ratio yang tinggi memberikan indikasi jaminan yang baik bagi kreditor jangka
pendek, dalam arti setiap saat perusahaan memiliki kemampuan untuk melunasi
kewajiban-kewajiban finansial jangka pendeknya. Akan tetapi current ratio yang tinggi
akan berpengaruh negatif terhadap kemampuan meperoleh laba (rentabilitas), karena
sebagian modal kerja tidak berputar atau mengalami pengangguran (Harjito dan
Martono, 2012:56).
Semakin tinggi nilai Current Ratio berarti semakin besar kemampuan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban keuangan jangka pendeknya. Namun demikian tidak
berarti dengan semakin tingginya nilai Current Ratio, akan selalu menjadi indikator
yang baik bagi perusahaan, karena current ratio yang sangat tinggi memberikan
indikasi, bahwa pendapatnya aktiva lancar (kas, surat berharga, piutang dan
persediaan) yang terlalu banyak (berlebihan) serta tidak produktif di dalam perusahaan
(Lukviarman, 2006:25).
Current Ratio sangat berguna untuk mengukur likuiditas perusahaan, akan tetapi dapat
menjebak. Hal ini dikarenakan current ratio yang tinggi dapat disebabkan adanya
piutang yang tidak tertagih, atau persediaan yang tidak terjual, yang tentu saja tidak
dapat dipakai untuk membayar utang (Prastowo, 2011:85).
Rumus: Current Ratio (CR) = Aset lancar
Liabilitas
b. Rasio Cepat (Quick Ratio)
Alat ukur yang lebih akurat untuk mengukur tingkat likuiditas perusahaan adalah quick
ratio (atau disebut juga acid test ratio). Rasio ini merupakan pertimbangan antara
jumlah aktiva lancar dikurangi persediaan dengan jumlah hutang lancar (Harjito dan
Martono, 2012:56).
Rasio ini seperti current ratio tetapi persediaan tidak diperhitungkan karena kurang
likuid dibandingkan dengan kas, surat berharga, dan piutang. Oleh karena itu, quick
ratio memberikan ukuran yang lebih akurat dibandingkan dengan current ratio, tentang
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek perusahaan
(Sudana, 2011:21)
Rumus: QR = Aset Lancar – Persediaan
Passiva Lancar
c. Rasio Kas (Cash Ratio)
Cash Ratio merupakan salah satu ukuran dari rasio likuiditas (liquidity ratio), yang
merupakan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya (current
liability), melalui sejumlah alat likuid (kas dan setara kas) yang dimiliki perusahaan
(Dendawijaya, 2003 dalam Difah, 2011:39).
Rasio ini paling akurat dalam mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek, karena hanya memperhitungkan komponen aktiva lancar
yang paling likuid. Semakin tinggi rasio likuiditas menunjukkan semakin baik kondisi
keuangan jangka pendek prusahaan, dan sebaliknya (Sudana, 2011:21).
Rumus: Cash Ratio = Kas + Ekuivalen Kas
Hutang Jangka Pendek

2. Rasio Aktivitas (Activity Ratio)

Aktivity ratio mengukur sejauh mana efektivitas manajemen perusahaan dalam mengelola
aset-asetnya. Artinya dalam hal ini adalah mengukur kemampuan manajemen perusahaan
dalam mengelola persediaan bahan mentah, barang dalam proses, dan barang jadi serta
kebijakan manajemen dalam mengelola aktiva lainnya dan kebijakan pemasaran (Harjito dan
Martono, 2012:57).

a. Perputaran Piutang (Receivable Turnover)


Memberikan wawasan tentang kualitas piutang perushaan dan kesuksesan
perusahaan dalam mengumpulkan piutang dagang (Harjito dan Martono, 2012:57).
Receivable Turnover mengukur perputaran piutang dalam menghasilkan penjualan.
Semakin tinggi perputaran piutang berarti semakin efektif dan efisien manajemen
piutang yang dilakukan oleh perusahaan dan sebaliknya (Sudana, 2009:25).
Rumus: Receivable Turnover = Penjualan Kredit Bersih Setahun
Rata- Rata Piutang

b. Perputaran Persediaan (Inventory Turnover)


Inventory Turnover dihitung dengan cara membagi harga pokok penjualan dengan
rata- rata persediaan. Rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas manajemen
perusahaan dalam mengelola persediaan (Harjito dan Martono, 2012:58).
Rumus: Inventory Turnover = Harga Pokok Penjualan
Rata- Rata Persediaan
c. Perputaran Piutang Harian (Receivable Turnover in Days)
Receivable Turnover in Days disebut juga sebagai avarage collection period yang
digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam setiap jangka waktu
tertentu (Harjito dan Martono, 2012:58).
Rumus: Avarage Collection Period =
Jumlah Hari Dalam Setahun
Perputaran Piutang

d. Perputaran Aktiva (Total Assets Turnover)


Total Assets Turnover mengukur perputaran dari semua aset yang dimiliki
perusahaan. Total Assets Turnover dihitung dari pembagian antara penjualan
dengan total asetnya (Harjito dan Martono, 2012:59).
Rumus: Total Assets Turnover = Penjualan Bersih
Total Aktiva

3. Rasio Hutang (Leverage)


a. Debt Ratio
Debt Ratio merupakan rasio totang hutang dengan total aset yang dinyatakan dalam
persentase. Rasio hutang mengukur berapa persen aset perusahaan yang dibelanjai
dengan hutang (Harjito dan Martono, 2012:59).
Rumus: Debt Ratio = Total hutang
Total Aktiva

b. Rasio Total Hutang terhadap Modal Sendiri (Debt to Equity Ratio)


Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan
ekuitas. Rasio ini dicari dengan cara membandingkan antara seluruh utang,
termasuk utang lancar dengan seluruh ekuitas. Rasio ini berguna untuk mengetahui
jumlah dana yang disediakan peminjam (kreditor) dengan pemilik perusahaan
(Kasmir, 2013:157-158).
Bagi bank (kreditor), semakin besar rasio ini, akan semakin tidak menguntungkan,
karena akan semakin besar risiko yang ditanggung atas. kegagalan yang mungkin
terjadi di perusahaan. Namun, bagi perusahaan justru semakin besar rasio akan
semakin baik (Kasmir, 2013:158).
Bahwa debt to equity ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
memenuhi seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian modal
sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Oleh karena itu, semakin rendah
DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar semua
kewajibannya. Semakin besar proporsi utang yang digunakan untuk struktur modal
suatu perusahaan, maka akan semakin besar jumlah kewajiban. Peningkatan hutang
pada gilirannya akan mempengaruhi besar kecilnya laba bersih yang tersedia bagi
para pemegang saham termasuk dividen yang akan diterima, karena kewajiban
tersebut lebih diprioritaskan daripada pembagian dividen. Jika beban hutang tinggi,
maka kemmapuan perusahaan untuk membagi dividen akan semakin rendah,
sehingga DER mempunyai hubungan negatif dengan dividend payout ratio
(Prihantoro, 2003 dalam Aan, 2014:22-23).
Rumus: DER= Total Utang
Ekuitas

4. Rasio Keuntungan (Profitability Ratio)


Rasio profitabilitas terdiri dari dua jenis rasio yang menunjukkan laba dalam hubungannya
dengan penjualan dan rasio yang menunjukkan laba, dalam hubungannya dengan investasi
( Harjito dan Martono, 2012:60).
a. Return On Equity (ROE)
Return On Equity merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan memperoleh laba, atas sejumlah investasi yang dilakukan
oleh pemegang saham (Lukviaman, 2006:35). Sumarto (2007) dalam Latiefasari
(2011) mengungkapkan pada kebijakan pembayaran dividen yang berfluktuasi,
besarnya dividen yang dibayarkan berdasarkan pada tingkat keuntungan pada setiap
akhir periode. Apabila tingkat keuntungan tinggi, maka besarnya dividen yang
dibayarkan cenderung tinggi, dan sebaliknya bila tingkat keuntungan rendah, maka
besarnya dividen yang dibayarkan juga cenderung rendah. Rasio ini menunjukkan
efisiensi penggunaan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini, semakin baik. Artinya
posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula sebaliknya (Kasmir,
2013:204).
Rumus: ROE = Laba bersih setelah pajak
Total Ekuitas

b. Return On Assets (ROA)


ROA merupakan jenis rasio untuk mengukur seberapa besar kemampuan sebuah
perusahaan dibandingkan dengan total set. Laba bersih dapat dilihat dari laporan
rugi laba (profit/ loss), sedangkan total asset dapat dilihat di neraca (balance sheet).
Semakin mendekati 100 persen itu semakin baik (Fatihudin, 2012:89). Wati (2015)
mengungkapkan bahwa perusahaan yang memiliki laba bersih yang tinggi, maka
meningkatkan kemampuan perusahaan tersebut dalam membagikan dividen kepada
pemegang saham. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan yang
semakin baik, karena tingkat kembalian investasi (return) semakin besar dan akan
berdampak terhadap tingginya pembayaran dividen bagi investor. ROA
menunjukkan kemampuan perusahaan dengan menggunakan sekuruh aktiva yang
dimiliki untuk menghasilkan laba setelah pajak. Rasio ini penting bagi pihak
manajemen, untuk mengevaluasi efektivitas dan efesiensi manajemen perusahaan
dalam mengelola seluruh aktiva perusahaan. Semakin besar ROA, berarti semakin
efisien penggunaan aktiva perusahaan, atau dengan kata lain dengan jumlah aktiva
sama bisa dihasilkan laba yang lebih besar, dan sebaliknya (Sudana, 2009:26).

Rumus: ROA = Laba Setelah Pajak


Total Aktiva

2.14 Prosedur pembayaran deviden


Bagian integral dari kebijakan saham adalah penggunaan stock devidends (deviden
saham) dan stock splits (pemecah saham). Keduanya melibatkan penerbitan lembar saham
baru secara pro rata terhadap pemegang saham yang ada sekarang, sementara aktiva,
pendapatan, dan resiko perusahan yang ditanggung serta persentasi kepemilikian inveestir
dalah perusaahaan tetap. Satu-satunya hasil definitive dari deviden saham atau pemecah
saham adalah kenaikan jumlah lembar saham yang ada saja.
Para pendukung stock dividen dan split kerap menyatakan bahwa pemegang saham
sesuai proporsi dengan kenaikan lembar. Untuk split dari satu menjadi dua, harga saham
mungkin tidak turun penuh 50 persen, dan pemegang saham menerima nilai total yang lebih
tinggi. Ada dua alasan bagi ketidakaseimbangan ini, pertama, banyak ekskutif keuangan
percaya bahwa ada suatu tentang harga optimal. Dalam rentang ini, nilai pasar total
pemegang saham bisa dianggap bisa dimaksimalkan. Ketika harga melebihi rentang ini,
lebih sedikit investor yang bisa membeli saham itu, sehingga menghambat permintaan.
Alasan kedua bagi stock dividen dan split dalan konservasi uang korporat. Bila menghadapi
persoalan kas, perusahaan bisa mensubsitusikan sotck dividend untuk cash dividend,
namun, seperti sebelumnya, investor mungkin melihat lebih jauh deviden itu untuk
menegaskan alasan sebenarnya baik tindakan mengkonservasikan kas itu. Bila stock
dividen itu merupakan usaha untuk menghemat kas bagi peluang invetasi yang menarik,
pemegamg saham mungkin akan menilai lebih harga saham.
Prosedur pembelian kembali saham. Bila manajemen bermaksud membeli kembali
sejumlah saham yang ada, maka manajemen harus mengumukannya kepada publik. semua
investor harus diberi kesempaatan untuk mencerna informasi yang lengkap. Mereka harus
diberitahu tentang tujuan pembelian kembali, maupun metode pembelian saham itu.
Ada tiga merode pembelian kembali saham. Pertama, saham dibeli di pasar. Di sini
perusahaan membeli saham melalui pialang pada harga pasar saat itu Pendekatan ini
mungkin memberi tekanan keatas pada harga saham sampai saham terbeli. Demikian pula
komisi kepada pialang harus dibayar sebagai upah atas jasa mereka. Metode kedua adalah
penawaran tender (tender offer) kepada pemegang saham. Tender offer adalah penawaran
formal oleh perusahaan untuk membeli jumlah tertentu saham dengan harga yang
ditentukan sebelumnya. Harga tender ditetapkan di atas harga pasar saat itu agar bisa
menarik penjual. Tender offer paling baik bila saham yang mau dibeli cukup banyak,
karena maksud perusahaan jelas dan setiap pemegang saham punya peluang untuk menjual
saham pada harga yang ditenderkan. Metode ketiga dan terakhir adalah pembelian saham
dari salah satu atau lebih pemegang saham utam. Pembelian kembali ini dilakukan melalui
negosiasi. Harus dilakukan dengan seksama agar didapatkan harga yang setara dan fair.
Bila tidak, pemegang saham lainnya akan merugi akibat penjualan itu.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Keputusan deviden perusahaan punya dampak langsung terhadap campuran keuangan


perusahaan. Bila pembayaran deviden naik, dana internal yang tersedia untuk investasi lebih
sedikit. Konsekuensinya, bila dibutuhkan tambahan modal ekuitas, perusahaan harus
menerbitkan saham biasa baru. Dalam usaha memahami efek kebijakan deviden terhadap
harga saham perusaaan, kita harus menyadari hal-hal berikut ini:

1. Di pasar yang sempurna, pilihan anatra membayar atau tidak membayar deviden tidak
penting. Namun, ketika menyadari bahwa di dunia nyata ada biaya untuk menerbitkan
saham, kita lebih suka menggunakan ekuitas internal untuk membiaya peluang investasi.
Disini keputusan deviden sekedar faktor sisa, dimana pembayaran deviden harus sama
dengan sisa modal internal setelah dikurangi pendanaan baikan ekuitas investasi.
2. Ketidaksempurnaan pasar lain yang bisa membuat kebijakan deviden mempengaruhi harga
saham adalah: keunggulan pajak capital gain, biaya agensi, efek klientel, dan isi informasi
kebijakan tertentu.

Stock dividend dan stock split telah digunakan dalam kaitan sebagai suplemen dividen kas.
Sekarang, tidak ada bukti empirik tentang hubungan antara stock dividend dan stok split dan
harga saham di pasar. Namun stock dividend atau stock split dapat digunakan untuk membuat
harga saham tetap dalam rentang yang optimal. Demikian pula investor mempersepsi bahwa
stock dividend mengandung informasi yang menguntungkan tentang operasi perusahaan,
sehingga harga saham bisa naik.

Alternatif dari pembayaran deviden, manajemen bisa membeli kembali saham. Di pasar
yang sempurna, investor tidal peduli antara penerimaan deviden atau pembelian kembali saham
investor bisa menciptakan aliran deviden dengan menjual saham ketika membutuhkan pendapatan.
Bila pasat tidak sempurna, investor mungkin lebih suka salah satu metode distribusi pendapatan
korporat. Pembelian kembali bisa juga dipandang sebagai keputusan pendanaan dengan
menerbitkan hutang dan membeli kembali saham, perusahaan bisa langsung mengubah campuran
hutang – ekuitasnya dengan proporsi hutang lebih tinggi. Demikian pula, bannyak manajer
menanggap pembelian kembali saham sebagai keputusan investasi pembeli saham k

Anda mungkin juga menyukai