Faruhumpenai
Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara berkembang yang mempunyai luas hutan 137,09 juta ha
dan luas lahan gambut 17 juta ha terbesar ketiga di dunia. Dengan kekayaan alam
yang sangat berlimpah, hutan mempunyai manfaat tidak hanya berupa kayu,
melainkan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Jasa lingkungan seperti
menampung air, mencegah banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber
keanekaragaman hayati, dan menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran
udara. Akan tetapi telah terjadi degradasi dan deforestasi hutan yang mencapai 1,87
ha / tahun.
Luas hutan konservasi yang terdapat di Indonesia seluas 27,2 juta ha, atau kurang
lebih 20 % dari luas kawasan hutan di Indonesia. Pemanfaatan kawasan konservasi
lebih banyak diarahkan pada pemanfaatan produk jasa dari ekosistem hutan, yang
secara garis besar berupa :
a. Jasa penyediaan untuk menghasilkan berbagai komoditas kebutuhan manusia
termasuk obat-obatan, sumber genetik, air, dll
b. Jasa pengaturan untuk menjaga kualitas iklim, udara, air, erosi, dan
mengontrol berbagai aspek biologis di muka bumi.
c. Jasa kultural dalam membentuk identitas budaya, hubungan sosial,
peninggalan pusaka, wisata,dll
d. Jasa pendukung dalam membentuk formasi tanah, produk oksigen, habitat,
dan siklus mineral.
Akibat adanya perubahan iklim yang disebabkan aktivitas manusia terutama
berasal dari aktivitas industri dan perusakan hutan dan perubahan tata guna lahan
Indonesia telah menandatangani mekanisme REDD (Reduction Emissions from
Deforestation and Forest Degradation). Mekanisme REDD merupakan mekanisme
internasional untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang
berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Serta melakukan
pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan penurunan kuantitas penutupan
hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan.
Di dalam Bali Road MAP, pengelolaan lestari dari hutan (sustainable forest
management) merupakan salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon yang
termasuk di dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi plus.
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan
Untuk sektor kehutanan pengurangan emisi dari pencegahan kebakaran hutan dan
degradasi lahan hutan gambut merupakan prioritas utama untuk mengurangi dampak
pemanasan global.
Kawasan konservasi memiliki potensi yang sangat besar dalam menyerap emisi
karbon. Pada kegiatan ini dilakukan valuasi ekonomi karbon pada Cagar Alam
Faruhumpenai yang merupakan wilayah Balai Besar konservasi Sumber Daya Alam
Sulawesi Selatan.
B. Maksud dan Tujuan
1.
Maksud
Maksud penyusunan Laporan kegiatan Valuasi Ekonomi Carbon di CA.
Faruhumpenai Kabupaten Luwu Timur ini adalah untuk memberikan
gambaran potensi CA. Faruhumpenai dalam menyerap karbon dan
mengetahui nilai ekonomi dari penyerapan karbon kawasan.
2.
Tujuan
Tujuan penyelenggaraan Kegiatan Valuasi Ekonomi Carbon di CA
Faruhumpenai Kabupaten Luwu Timur adalah untuk mengetahui potensi
CA. Faruhumpenai dalam menyerap emisi karbon dan nilai ekonomis dari
penyerapan karbon.
II.KONDISI WILAYAH
A. Luas, Letak, dan Dasar Hukum
a)
Nama kawasan
b)
Luas kawasan
: 90.000 hektar
c)
Fungsi
: Cagar Alam
d)
Keunikan
Merupakan contoh perwakilan ekosistem hutan hujan tropis
pegunungan rendah, hutan pamah dan hutan rawa yang memiliki
keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Beberapa jenis yang
endemik di sub kawasan Sulawesi atau kawasan Wallacea diantaranya
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan
Status
f)
Letak administrasi
Batas Selatan
Batas Barat
g)
Batas Timur
Letak astronomis
: Bujur
Lintang
: 120 45 52 BT - 121 17 32 BT
: 02 13 06 LS - 02 32 40 LS
Status hukum
B. Kondisi Fisik
a) Deskripsi topografi
Merupakan wilayah yang terdiri dari areal berawa sampai tanah kering
serta lapangan yang berbatu cadas. Bentuk lapangan bervariasi dari datar,
berombak, berbukit-bukit sampai dengan bergunung. Kelerengan lapangan
bervariasi antara 0 % sampai dengan di atas 80 %. Pada beberapa bagian
kawasan terdapat tebing-tebing berbatu yang sangat terjal.
b) Tinggi minimum : 80 m di atas permukaan laut
c) Tinggi maksimum : 1.786 m di atas permukaan laut
d) Deskripsi kondisi tanah
Berdasarkan data yang termuat dalam Peta Tanah Propinsi Sulawesi
Selatan skala 1 : 500.000 yang diterbitkan oleh Balai Inventarisasi dan
Perpetaan Hutan Wilayah VII Makassar (bersumber dari Peta Geologi
Indonesia), jenis tanah di kawasan Cagar Alam Faruhumpenai bervariasi dari
jenis Alluvial, Latosol dan Podsolik. Komposisi jenis tanah di dalam kawasan
dan sekitarnya yaitu : Alluvial membujur dari Luwu bagian Selatan sampai ke
Utara; Latosol di Kecamatan Mangkutana bagian Selatan; dan Podsolik yang
terdapat di Kecamatan Nuha bagian Barat.
e) Deskripsi geologi
Berdasarkan data yang termuat dalam Peta Geologi Propinsi Sulawesi
Selatan skala 1 : 500.000 yang diterbitkan oleh Balai Inventarisasi dan
Perpetaan Hutan Wilayah VII Makassar (bersumber dari Peta Geologi
Indonesia), formasi geologi kawasan Cagar Alam Faruhumpenai terdiri dari
Batuan Sedimen Alluvium Undak dan Terumbu Koral, Batuan Sedimen
Meozoikum Tak Dibedakan, Batuan Sedimen Neogen, Batuan Sedimen Sekis
f)
g)
h)
i)
plasma nutfah bagi jenis Diospyros celebica bersama dengan kawasan Cagar
Alam Kalaena dan Cagar Alam Ponda-ponda di Sulawesi Selatan.
Kawasan Cagar Alam Faruhumpenai pada umumnya merupakan
daerah aliran sungai yaitu Sungai Cerekang, Angkona dan Kalaena. Dimana
daerah aliran sungai Cerekang dapat dijumpai pada bagian selatan pada
kawasan di daerah Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur, Angkona di
Kecamatan Angkona dan daerah aliran sungai Kalaena di Kecamatan
Mangkutana. Limbahan daerah aliran sungai tersebut bermuara di Teluk Bone
wilayah Kabupaten Luwu Timur.
C. Tipe Ekosistem
1. Hutan Rawa Air Tawar
Vegetasi banyak didominasi oleh jenis-jenis rumput (Poaceae), serta
jenis-jenis flora yang terapung dan hidup di dalam air (Hydrocharitaceae).
Jenis-jenis fauna didominasi oleh moluska dan jenis-jenis ikan air tawar
seperti Julung-julung (Dermogenys weberi) dan lain sebagainya.
2. Hutan Pamah Primer
Tipe ekosistem ini pada Cagar Alam Faruhumpenai didominasi oleh
jenis-jenis pepohonan yang tinggi dan jenis-jenis perdu. Jenis yang menonjol
di kawasan ini yaitu Diospyros celebica yang tumbuh sampai pada ketinggian
900 m dpl. Tipe ekosistem ini juga merupakan habitat alami Babyrousa
babirussa yang populasinya sudah sangat kecil. Rendahnya densitas populasi
jenis ini diperkirakan sebagai akibat dari persaingannya dengan Sus
celebensis.
3. Hutan Hujan Tropis Pegunungan Bawah
Pada ekosistem hutan hujan tropis pegunungan bawah di Cagar Alam
Faruhumpenai masih dapat ditemukan jenis-jenis pepohonan yang tinggi
tetapi sangat jarang. Jenis-jenis anggrek dari berbagai genus dengan mudah
dapat ditemukan di dalam kawasan. Pada bagian tengah hingga utara kawasan
merupakan kawasan karst. Karena kelembaban udara yang tinggi, karst ini
kebanyakan berlumut dan dalam proses pelapukan. Vegetasi yang ada juga
kebanyakan terbungkus oleh lumut, sehingga nampak seperti vegetasi pada
hutan lumut.
1.
D. Pengelolaan
Sejarah kawasan
Cagar Alam Faruhumpenai merupakan suatu formasi hutan yang
memiliki tipe ekosistem hutan hujan tropis pegunungan yang kaya akan jenis
tumbuhan alam seperti Palaquium sp, Calophyllum sp, Vitex sp, Agathis sp
dan khususnya Diospyros celebica. Kawasan ini juga merupakan habitat satwa
liar yang dilindungi undang-undang seperti Anoa Babalus quarlesi, Kera
Hitam Sulawesi Macaca tonkeana, Babirusa Babyrousa babirussa serta
memiliki keindahan alam yang menarik. Cagar Alam Faruhumpenai
merupakan kawasan catchment area beberapa sungai di kawasan Malili dan
sekitarnya serta merupakan bank plasma nutfah bagi jenis Diospyros celebica
bersama dengan kawasan Cagar Alam Kalaena dan Cagar Alam Ponda-ponda
di Sulawesi Selatan. Kawasan Faruhumpenai ditunjuk menjadi kawasan
konservasi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
274/Kpts/Um/4/1979 tanggal 24 April 1979 dengan luas 90.000 ha.
Sebelumnya, kawasan ini merupakan hutan lindung. Karena kelimpahan
populasi Diospyros celebica, di kawasan ini pernah diadakan pemanenan
Ebony secara besar-besaran. Sisa-sisa kegiatan eksploitasi ini yang belum
sempat terangkut hingga dihentikannya kegiatan masih terdapat di dalam
kawasan.
2. Nilai konservasi
Di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Cagar Alam Faruhumpenai
merupakan kawasan suaka alam terluas. Cagar Alam Faruhumpenai memiliki
indeks nilai konservasi tertinggi. Indeks nilai konservasi tersebut merupakan
hasil perhitungan (scoring) berdasarkan faktor-faktor kekayaan spesies, areal
habitat, rarity, derajat kepunahan jenis, derajat perlindungan dan derajat
kekhususan (Anonim, 1982 dalam Whitten et al, 2002). Kawasan
Faruhumpenai terdiri dari 3 tipe ekosistem alami (perairan dan terrestrial).
Kawasan ini merupakan habitat dari berbagai jenis keanekaragaman hayati
Sulawesi, baik dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang. Kawasan
Sulawesi khususnya atau kawasan Wallacea umumnya memiliki
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan
III.
TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan iklim global ini akan terus terjadi dengan peningkatan aktifitas
kegiatan manusia yang menghasilkan emisi karbon, dan selanjutnya akan terjadi
kenaikan temperatur global. Menurut manne et al., 1995, didapatkan bahwa
konsentrasi karbon global akan naik mencapai titik tertinggi sebesar 500 rpm pada
tahun 2060, dan selanjutnya akan turun dengan peningkatan konsumsi teknologi
rendah emisi dalam total energi mix dunia.
B. Perdagangan Karbon
Rintisan awal untuk mengembangkan mekanisme pembiayaan penyerapan
karbon dimulai pada Pertemuan Tingkat Tinggi Bumi I di Rio de Janeiro (Brazil)
tahun 1992. Pada waktu itu lebih dari 150 negara menandatangani perjanjian
kerjasama untuk mengantisipasi perubahan iklim di bawah naungan PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) dengan menetapkan batas-batas pelepasan (emisi) gasgas rumah kaca ke udara. Anggota konvensi ini mengadakan pertemuan Pertama di
Berlin pada tahun 1995 yang disebut dengan pertemuan antar pihak I atau Conference
of the Parties (COP1).
Sejak itu ada beberapa pertemuan COP di beberapa Negara. Salah satu
pertemuan penting yaitu pertemuan ketiga (COP3) diselenggarakan di Kyoto, Jepang
pada bulan Desember 1997 yang menghasilkan apa yang disebut Kyoto Protocol
(Protokol Kyoto). Pertemuan ini menjadi landasan bagi pengembangan Mekanisme
Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism atau CDM), yang
mengharuskan negara-negara maju mengurangi pencemaran udara sebesar kurang
lebih 5 persen pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 1990. Umumnya negaranegara maju dan industri adalah sumber utama polusi dunia. Dengan mekanisme
pembangunan bersih negara-negara maju harus memenuhi sebagian kewajiban
mereka mengurangi gas rumah kaca dengan membiayai proyek-proyek energi bebas
polusi dan penggunaan lahan untuk penyerapan karbon di negara sedang berkembang.
Salah satu yang mendapat perhatian khusus adalah karbon yang terdapat dalam
beberapa bentuk gas yang menyebabkan tanaman hutan atau penghutanan dan
reboisasi untuk menyerap karbon. Namun kini ada beberapa kesepakatan baru untuk
menjajaki adanya tambahan bentuk kegiatan penyerapan karbon melalui kehutanan
dan perpaduannya dengan pertanian.(Warta Kebijakan, 2003)
10
kehutanan masih sebagai net emitter, namun pemerintah bertekad untuk menurunkan
tingkat emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dari Business as Usual (BAU).
Untuk itu sektor kehutanan diwajibkan memberikan kontribusi sebesar 14% atau 52%
dari total penurunan emisi yang 26%.
Untuk menurunkan emisi, kegiatan mitigasi harus dilakukan yaitu dengan
mempertahankan kapasitas hutan dalam mneyerap karbon serta meningkatkan
penanaman. Selain itu upaya penurunan emisi harus menerapkan MRV yaitu dapat
diukur, dilaporkan, dan diverifikasi. Kegiatan-kegiatan seperti REDD dan
inventarisasi GRK harus memenuhi kaidah MRV. Sistem inventarisasi/monitoring
emisi harus menghasilkan informasi yang seakurat mungkin (reliable) dan sesuai
dengan kaidah internasional.
C. Valuasi Ekonomi Karbon
Teori valuasi ekonomi bukanlah hal baru dalam menghitung sumberdaya alam.
Konsep ini telah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika melahirkan undangundang River and Harbor Act Of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk melaporkan
tentang keseluruhan manfaat dan biaya yang ditimbulkan oleh proyek-proyek yang
dilakukan di sungai dan pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih dikembangkan setelah
perang dunia kedua dimana konsep manfaat dan biaya lebih dikembangkan setelah
perang dunia kedua dimana konsep manfaat dan biaya lebih dikembangkan ke
pengukuran nilai tidak langsung (intangible) atau nilai yang tidak tampak (Cantlon
dan Herman, 1999).
Menurut Suparmoko (2005) pendekatan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya
alam dapat dilakukan dengan empat metode :
1. Perubahan produksi, dimana terdiri dari jenis produksi apa saja, seperti
produksi pertanian, perikanan, produksi air, dan juga perubahan tingkat
kesehatan dalam masyarakat yang menyebabkan menurunnya produktifitas
serta biaya peluang (opportunity cost) juga dapat menyebabkan menurunnya
produktifitas, misal sebelum kuliah pendapatan 1 juta, setelah kuliah uang 1
juta tersebut hilang, ini yang disebut opportunity cost.
2. Nilai Properti (hedonic approach) nilai lahan, beda pendapatan/upah. Terjadi
perubahan pendapatan, misalnya tadinya sebagai petani, sekarang menjadi
buruh tambang.
11
IV.
METODOLOGI
12
Meteran rol, tali rapiah, dan patok kayu untuk pembuatan plot contoh
Ring sample, sendok tanah, pisau cutter, papan kayu ukuran 20 x 20 cm, dan
palu untuk pengambilan contoh tanah
Kuadran yang terbuat dari bambu atau kayu dengan ukuran 100 x 100 cm
untuk pengambilan contoh serasah dan tumbuhan bawah
Oven dan peralatan lainnya, untuk mengeringkan contoh tanah dan tanaman
sampai mencapai berat kering konstan
Gergaji, Parang dan gunting tanaman untuk pengambilan contoh kayu dan
tanaman
Amplop dan kantong plastik, untuk wadah contoh tanaman dan tanah
Timbangan kasar dan analitik untuk mengetahui berat basah dan kering
contoh kayu, tumbuhan bawah dan serasah
13
C. Metode Kegiatan
Pengumpulan data dalam pelaksanaan Valuasi Ekonomi Karbon secara garis
besarnya dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pengumpulan data sekunder dan
pengumpulan data primer.
1) Pengumpulan data sekunder, yaitu data yang berkaitan dengan jumlah
penduduk, curah hujan, jenis tanah, berupa laporan dan publikasi ilmiah dari
berbagai instansi pemerintah, badan pusat statistik, perguruan tinggi, dan
lembaga penelitian.
2) Pengumpulan data primer, yaitu data yang diambil langsung di lapangan
dengan menggunakan metode survey dan analisis di laboratorium meliputi
data, data tanah, berat jenis kayu masing jenis pohon, serasah, biomassa
tanaman, nekromassa, dan tumbuhan bawah.
a. Pembuatan Jalur
Jalur dibuat dengan memotong kontur
Lebar jalur 20 m dengan panjang 50 m
Tiap-tiap plot diberikan jarak 50 m
Tiap jalur mewakili jenis hutan primer dan sekunder
10
m
10
50
m
50
m
14
15
Timbang berat basah tumbuhan bawah pada kuadran 100 cm x 100 cm,
contoh yang didapatkan hanya sedikit (<100 gr) maka timbang semuanya.
Keringkan sampel tumbuhan bawah pada oven dengan suhu 80oC selama
2 x 24 jam. Timbang berat keringnya dan catat dalam blanko.
d.
16
dibutuhkan adalah berat isi tanah, tekstur (persentase kandungan liat, pasir, dan
debu) dan pH tanah. Ada 2 macam contoh tanah yang harus diambil yaitu :
1. Contoh tanah terganggu yang digunakan untuk analis kimia tanah seperti
pH, C organic, N total, P-tersedia, K, Ca, Mg, Kapasitas Tukar Kation,
kandungan pasir, liat, debu. Khusus untuk tanah masam analisis kendungan
Aluminium dapat dipertukar (Aldd) dan Hdd perlu juga diukur.
2. Contoh tanah utuh (tidak terganggu), untuk pengukuran BI tanah.
Contoh tanah terganggu
Ambil contoh tanah dengan menggunakan cangkul atau parang pada titik
contoh yang sama pengambilan tumbuhan bawah dan serasah dengan
kedalaman 30 cm.
3030cm
Masukkan contoh tanah ke dalam plastik sekitar 1 kg . beri label dan ikat
17
BI =
W 2(gr )
V ( volume tanahdalam cm 3 )
camp/laboratorium.
Keringkan semua serasah di bawah sinar matahri, bila sudah kering
goyang-goyangkan agar tanah yang menempel dalam serasah rontok dan
sebagai sub-contoh.
Timbang berat keringnya dan catat dalam blanko yang telah disediakan.
Masukkan serasah ke dalam kantong plastik dan beri label untuk
yang berdiri maupun roboh, tunggul tanaman mati, cabang, dan ranting.
Catat dalam blanko pengukuran
18
19
V.
A. HASIL
1.
No
Jal
ur
1
No.Plo
t
3
4
5
6
Sub
Total
Sub
Rata2
1
2
3
4
5
6
Y1
(biomasa)/
(karbon)kg
plot
/plot
Y1 (karbon)
ton/plot
Y1
(karbon)
Y1
ton/ha
71,4781297
1
2
Y1
16908,9479
8454,4740
8,4545
84,5447
7
372,001819
38574,6974
19287,3487
19,2873
192,8735
9
50,9739067
14279,2026
7139,6013
7,1396
71,3960
2
15,9913123
7997,8278
3998,9139
3,9989
39,9891
8
78,8850807
17763,4547
8881,7274
8,8817
88,8173
19709,9883
9854,9942
9,8550
98,5499
97,1209097
115234,1187
57617,0593
57,6171
576,1706
686,4512
19205,6865
9602,8432
9,6028
96,0284
114,4085
233,036325
30531,0547
15265,5274
15,2655
152,6553
3
128,719118
22690,8897
11345,4449
11,3454
113,4544
8
165,721806
25746,5964
12873,2982
12,8733
128,7330
5
163,085679
25541,0007
12770,5004
12,7705
127,7050
2
555,145622
47123,0569
23561,5285
23,5615
235,6153
9
250,698583
31666,9281
15833,4641
15,8335
158,3346
20
7
8
9
31207,6391
15603,8196
15,6038
156,0382
5
27,3532321
10460,0635
5230,0318
5,2300
52,3003
1
216,903942
29455,3182
14727,6591
14,7277
147,2766
Sub
Total
Sub
Rata2
3
254422,5473
127211,2737
127,2113
1272,1127
1984,1435
28269,1719
14134,5860
14,1346
141,3459
220,4604
120,102585
1
2
21918,265
10959,1325
10,9591
109,5913
2
26,9764652
10387,7746
5193,8873
5,1939
51,9389
Sub
Total
Sub
Rata2
Grand
Total
Grand
Rata2
2.
32306,0396
16153,0198
16,1530
161,5302
147,0791
16153,0198
8076,5099
8,0765
80,7651
73,5395
401962,7056
200981,3528
200,9814
2009,8135
2817,6737
23644,8650
11822,4325
11,8224
118,2243
165,7455
No
.
No.
Jal
Plot
B.Total
BS
BS
Basah
Kering
BK
(g/m2)
(kg/m2
(ton/ha
ur
1
1000
150
61,5300
410,2000
1141,765
205,1000
0,2051
2,0510
2380
150
71,9600
570,8827
0,5709
5,7088
1500
150
70,7300
707,3000
1364,290
353,6500
0,3537
3,5365
3710
150
55,1600
682,1453
0,6821
6,8215
740
150
60,3500
297,7267
1493,166
148,8633
0,1489
1,4886
6
Sub
2500
150
89,5900
409,320
7
5414,44
746,5833
2707,22
0,7466
7,4658
0
68,2200
93
902,408
47
451,204
Total
Sub
11830
1971,66
900
150
2,7072
0,4512
27,0722
4,5120
21
6667
310
150
35,3800
73,1187
1556,184
36,5593
0,0366
0,3656
3540
150
65,9400
778,0920
0,7781
7,7809
1070
150
89,8800
641,1440
320,5720
0,3206
3,2057
200
150
65,6200
87,4933
43,7467
0,0437
0,4375
790
150
64,1300
337,7513
168,8757
0,1689
1,6888
470
150
40,0000
125,3333
62,6667
0,0627
0,6267
260
150
65,3300
113,2387
56,6193
0,0566
0,5662
870
150
46,7500
271,1500
135,5750
0,1356
1,3558
9
Sub
430
150
26,2300
499,260
75,1927
3280,60
37,5963
1640,30
0,0376
0,3760
1350
60
30
150
55,4733
364,511
182,255
Total
Sub
RataRata
3
7940
882,222
2222
1,6403
16,4030
0,1823
1,8226
320
150
56,9200
121,4293
60,7147
0,0607
0,6071
2
Sub
320
150
57,9900
114,910
123,7120
245,141
61,8560
122,570
0,0619
0,6186
0,1226
1,2257
61,2853
0,0613
0,6129
4,4701
44,7010
0,2629
2,6295
Total
Sub
640
300
Rata-
320
150
57,4550
20410
2550
Rata
Grand
Total
Grand
RataRata
3.
1200,58
150
8235
122,570
7
1023,49
8940,19
4470,09
00
67
83
525,893
262,947
60,2053
No
.
B.S
(kg/
(ton/
(g/m2)
m2)
ha)
Jal
No.
B.
Bas
BS
ur
Plot
Total
ah
Kering
450
150
69,0400
207,1200
103,5600
51,7800
0,0518
0,5178
1680
150
62,4700
699,6640
349,8320
174,9160
0,1749
1,7492
1700
150
54,2600
614,9467
307,4733
153,7367
0,1537
1,5374
1430
150
66,1000
630,1533
315,0767
157,5383
0,1575
1,5754
BK
22
1130
150
62,3600
469,7787
234,8893
117,4447
0,1174
1,1744
6
Sub
450
150
65,7100
379,940
197,1300
2818,792
98,5650
1409,396
49,2825
704,698
0,0493
0,4928
0,7047
7,0470
63,3233
469,7988
234,8994
0,1174
1,1745
Total
Sub
Rata-
6840
900
1140
150
Rata
2
117,449
7
1650
150
69,0400
759,4400
379,7200
189,8600
0,1899
1,8986
2040
150
62,4700
849,5920
424,7960
212,3980
0,2124
2,1240
1050
150
54,2600
379,8200
189,9100
94,9550
0,0950
0,9496
870
150
66,1000
383,3800
191,6900
95,8450
0,0958
0,9585
900
150
62,3600
374,1600
187,0800
93,5400
0,0935
0,9354
1280
150
65,7100
560,7253
280,3627
140,1813
0,1402
1,4018
1020
150
125,0000
850,0000
425,0000
212,5000
0,2125
2,1250
2760
150
125,0000
2300,0000
1150,0000
575,0000
0,5750
5,7500
9
Sub
870
150
125,0000
754,940
725,0000
7182,117
362,5000
3591,058
181,2500
1795,52
0,1813
1,8125
17,955
93
83,8822
798,0130
399,0065
12440
Total
Sub
1382,2
Rata-
222
Rata
3
1350
150
199,503
3
1,7955
0,1995
1,9950
810
200
125,0000
506,2500
253,1250
126,5625
0,1266
1,2656
2
Sub
810
200
125,0000
250,000
506,2500
1012,500
253,1250
126,5625
253,125
0,1266
1,2656
0,2531
2,5313
0,1266
1,2656
Total
Sub
RataRata
Grand
Total
Grand
RataRata
4.
1620
400
810
200
20900
2650
1229,4
155,
118
125,000
506,2500
0
126,562
506,2500
253,1250
1384,88
11013,41
5506,705
2753,35
00
00
25
81,4635
647,8476
323,9238
161,961
9
2,7534
0,1620
No.Jal
ur
1
Nekromasa
No. Plot
1
2
3
4
(ton/ha)
22,7751
14,9536
18,8787
9,0869
23
27,533
5
1,6196
5.
5
6
Sub Total
Sub Rata-
0,0677
2,1281
67,8901
Rata
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sub Total
Sub Rata-
11,3150
6,3804
2,0920
38,6968
10,4415
9,7477
18,2473
5,6349
6,9300
98,1706
Rata
1
2
Sub Total
Sub Rata-
12,2713
21,3214
16,2741
37,5955
Rata
Grand Total
Grand Rata-
18,7977
203,6562
Rata
12,7285
No
Jalu
Kedalama
C-Organik
BD
n Tanah
volume
(%)
(g/cm3)
(m)
(m3)
No. Plot
1,03
1,2
0,2
2000
24,7
1,02
1,2
0,2
2000
24,5
2,54
1,2
0,2
2000
61,0
1,02
1,2
0,2
2000
24,5
2,44
1,2
0,2
2000
58,6
2,43
1,2
0,2
2000
58,3
10,48
7,2
1,2
12000
251,52
Sub Total
ton/ha
24
1,7467
1,2000
0,2000
00
41,9200
2,68
1,2
0,2
2000
64,3
2,66
1,2
0,2
2000
63,8
1,04
1,2
0,2
2000
25,0
2,33
1,2
0,2
2000
55,9
2,33
1,2
0,2
2000
55,9
3,32
1,2
0,2
2000
79,7
3,13
1,2
0,2
2000
75,1
3,11
1,2
0,2
2000
74,6
9
Sub Total
Sub RataRata
3
2000,00
2,31
1,2
0,2
2000
55,4
22,91
10,8
1,8
18000
2000,00
549,84
2,5456
1,2000
0,2000
00
61,0933
2,43
1,2
0,2
2000
58,3
2,03
1,2
0,2
2000
48,7
Sub Total
Sub Rata-
4,46
2,4
0,4
4000
107,04
Rata
Grand
2,23
1,2
0,2
2000
53,5200
Total
Grand
37,85
20,4
3,4
34000
2000,00
908,4
2,2265
1,2000
0,2000
00
53,4353
Rata-Rata
B. Pembahasan
Hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi bila dibandingkan dengan
sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman
jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang
penyimpan C tertinggi. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian
atau perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah C tersimpan akan merosot.
Jumlah C tersimpan antar lahan tersebut berbeda-beda, tergantung pada keragaman
dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya.
Indonesia memiliki berbagai macam penggunaan lahan, mulai dari yang paling
ekstensif, misalnya agroforestry kompleks yang menyerupai hutan, hingga paling
intensif seperti sistem pertanian semusim monokultur. Pengukuran secara kuantitatif
C tersimpan dalam berbagai macam lahan perlu dilakukan. Untuk itu diperlukan
25
metode pengukuran standar yang baku dan telah dipergunakan secara luas, agar
hasilnya dapat dibandingkan antar lahan dan antar lokasi.
Valuasi ekonomi karbon merupakan penghitungan kemampuan suatu kawasan
dalam menyerap karbon yang dapat dinilai secara ekonomis. Pada kegiatan valuasi
ekonomi karbon ini dilaksanakan pada kawasan Cagar Alam Faruhumpenai
kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Kawasan ini merupakan kawasan
suaka alam terluas di provinsi Sulawesi Selatan. Merupakan contoh perwakilan
ekosistem hutan hujan tropis pegunungan rendah, hutan pamah primer dan hutan
rawa yang memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Antara lain
jenis tumbuhan alam seperti Palaquium sp, Callophyllum sp, Vitex sp, Agathis sp, dan
lain-lain. Menurut Jumina (2010) "Harga kredit karbon ini berkisar antara USD 10-13
per ton CO2 dan mekanisme pembayaran serta klaimnya dikoordinasikan oleh
sejumlah badan dunia, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, dan
European Union (EU).
Parameter yang diukur dalam penghitungan karbon pada kegiatan ini meliputi :
pohon, tumbuhan bawah, serasah, nekromassa dan tanah. Untuk tingkat pohon
parameter yang diukur meliputi diameter dan tinggi pada plot yang berukuran 20 m x
50 m. Tumbuhan bawah, serasah dan tanah diukur pada petak yg berukuran 1 m x 1
m dengan cara menimbang beratnya dan menyiapkan untuk sampel analisis sekitar
200 gr. Sedangkan nekromassa (pohon mati) baik yang berdiri maupun sudah rebah
diukur pada areal plot 20 m x 50 m.
Pengukuran karbon dilaksanakan dengan metode jalur yang terdiri dari plot- plot
(petak ukur) dengan ukuran petak ukur 20 m x 50 m dan jarak antar plot sebesar 50
m. Pada kegiatan ini jalur yang dibuat sebanyak 3 jalur dengan jumlah plot (petak
ukur) 17 buah.
1. Pengukuran pada tingkat pohon
Cagar Alam Faruhumpenai sangat kaya dan beragam oleh jenis pepohonan. Pada
jalur 1 yang berbatasan dengan desa non blok terdapat berbagai jenis pohon
diantaranya bintangur, barringtonia, matoa, Gnetum gnemon, kalapi, betao, pandan,
rambutan, dan lain-lain. Dengan diameter yang beragam antara 5,09 cm hingga 66,85
cm. Jumlah plot dalam jalur 1 ini sebanyak 6 plot. Tumbuhan dalam kehidupannya
sehari-hari melakukan apa yang disebut fotosintesis. Dalam proses fotosintesis ini
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan
26
selain diproduksi zat organik juga dihasilkan gas oksigen. Penyerapan CO2 oleh
tumbuhan memberi andil dalam mengurangi pencemaran CO2 di udara. Karbon dari
CO2 ini disimpan di dalam jaringan tumbuhan (kayu).
Fotosintesis tumbuhan adalah suatu proses alamiah yang terjadi di dalam daundaun tumbuhan dimana terjadi penyerapan CO2 dan dihasilkannya gas oksigen yang
ditambahkan ke udara kita. Persamaan reaksi kimia fotosintesis adalah :
karbondioksida gas (CO2) + air (H2O) + pigmen klorofil daun + energi mata hari
zat organik (C6H12O6) + oksigen gas (O2).
Tipe hutan pada jalur 1 terdiri dari hutan sekunder dan hutan primer dengan
ketinggian antara 174-225 mdpl. Pada jalur ini, kemampuan pepohonannya menyerap
karbon sebesar 576,1706 ton/ha dengan rata-rata per plot 96,0284 ton/ha. Plot 2
memiliki kemampuan menyerap karbon yang paling besar yaitu 192,8735 ton/ha.
Pohon yang terdapat pada plot 2 yaitu Palaquium sp, Mangifera sp, pandan,
rambutan, bonuk, matoa, betao, jambu-jambu, Pometia Pinnata. Plot 2 terletak pada
koordinat 223'10" dan 12051'6" dengan ketinggian 187 mdpl.
Jalur 2 terdiri dari 9 plot (petak ukur) dengan ketinggian antara 668-746 mdpl.
Pada jalur 2 kemampuan pepohonannya menyerap karbon sebesar 1272,1127 ton/ha.
Plot 5 mempunyai kemampuan menyerap karbon yang paling besar yaitu 235,6153
ton/ha. Jenis pohon yang terdapat pada plot 5 antara lain Gluta renghas,
Cinnamomum sp, Barringtonia sp, Quercus sp, pada, dengeng, dan pada. Sedangkan
jalur 3 memiliki kemampuan menyerap karbon sebesar 161,5302 ton/ha.
Sehingga rata-rata kemampuan menyerap karbon pepohonan yang terdapat pada
Cagar Alam Faruhumpenai adalah 118,2243 ton/ha. Dengan luas kawasan 90.000 ha
maka secara total pepohonan di dalam kawasan mampu menyerap karbon sebesar
10.640.187 ton. Sehingga apabila nilai secara ekonomi sebesar $ 106.401.870 dengan
asumsi $10 / ton.
Sumber karbon (carbon pool) penting harus disesuaikan berdasarkan pola
penggunaan sumberdaya alam dan additionality yang ingin dicapai. Pola pemanfaatan
sumberdaya alam tertentu akan berdampak pada sumber karbon tertentu. Pola
pemanfaatan sumberdaya hutan memiliki potensi pengurangan sumber karbon yang
berbeda dengan pola pemanfaatan sumber daya lahan lainnya. Karena itu identifikasi
27
sumber karbon yang penting untuk diukur perlu disesuaikan dengan pola penggunaan
lahan dan tipe program pengurangan emisi karbon.
Berbeda dengan sistem pengukuran karbon, sistem penilaian tegakan hutan
biasanya hanya mengukur satu dari 5 sumber karbon yang ada, yaitu BAP (Biomassa
Atas Permukaan). Itu pun hanya sebagian saja, mengingat tujuan utama inventarisasi
hutan adalah penilaian tegakan komersil pada tinggi bebas cabang. Vegetasi lain,
seperti tumbuhan bawah, liana, palem, dan herba juga merupakan bagian dari BAP.
(Pambudhi, 2010)
2. Pengukuran Pada Tumbuhan Bawah
Tumbuhan bawah pada kawasan Cagar Alam Faruhumpenai memiliki kandungan
karbon rata-rata 2,6295 ton/ha, sehingga total keseluruhan karbon tersimpan
tumbuhan bawah sebesar 236.655 ton/ha.
Metode yang digunakan pada tumbuhan bawah secara destructif yang terdiri dari
pohon berdiameter < 5 cm, herba dan rumput-rumputan.
Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan
bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu
menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara
lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi
makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai
vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan
dengan net growth (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada fase
pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan
pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap
CO2 berlebih/ekstra (Kyrklund, 1990). Dengan adanya hutan yang lestari maka
jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh
karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi
hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer.
Secara ekonomis kemampuan tumbuhan bawah dalam menyerap karbon pada
Cagar Alam Faruhumpenai sebesar $ 2.366.550. Nilai ini sangat kecil apabila
dibandingkan dengan pepohonan.
3. Pengukuran Pada Serasah
28
Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu (1) yaitu lapisan
bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan (2) bahan-bahan yang
tidak terikat lagi pada tumbuhan (Yunasfi, 2006). Serasah merupakan bahan organik
yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi dpat mengahsilkan zat yang
penting bagi kehidupan dan produktifitas perairan, terutama dalam peristiwa rantai
makanan (Arief, 2003). Menurut Mason (1977) terdapat 2 tahap proses dekomposisi
serasah yaitu :
1. Proses pelidihan (leaching), yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan yang
terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air.
2. Penghawaan (wathering), merupakan mekanisme pelapukan oleh faktorfaktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air.
3. Aktifitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh makhluk
hidup yang melakukan dekomposisi.
Serasah pada kawasan ini mempunyai kemampuan rata-rata menyerap karbon
sebesar 1,6196 ton/ha. Sehingga totalnya sebesar 145.764 ton jumlah karbon. Secara
ekonomi nilai jual penyerapan karbon serasah sebesar $ 1.457.640.
Penyerapan karbon yang paling besar terdapat pada jalur 2 dengan jumlah ratarata 1,9950 ton/ha, sedangkan yang paling rendah pada jalur 1 dengan jumlah ratarata 1,1745 ton/ha. Plot 7 pada petak ukur 2 memiliki nilai karbon tersimpan yang
paling tinggi diantara plot-plot lain yaitu 5,75 ton/ha.
Jumlah karbon pada serasah sangat dipengaruhi oleh banyaknya tegakan yang
mati. Hal ini disebabkan karena adanya aliran permukaan yang membuat tercucinya
karbon dari serasah. Proses respirasi pada serasah juga akan melepas karbon terikat
menjadi karbon bebas ke atmosfer, proses respirasi ini sangat dipengaruhi oleh suhu
udara.
4. Pengukuran Pada Nekromassa dan Tanah
Nekromassa merupakan massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang
masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di
permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum
terlapuk.
29
Nekromassa yang tedapat pada jalur pengukuran yaitu pandan, nato, pada, mata
kucing, dengeng, jambu-jambu, bakata, betau pangka. Jumlah karbon tersimpan pada
nekromassa yang terbesar terdapat pada jalur 2 dengan rata-rata 21,1042 ton/ha.
Sedangkan rata-rata karbon tersimpan pada nekromassa secara keseluruhan pada
kawasan sebesar 12,7285 ton/ha. Sehingga total karbon pada nekromassa yaitu
1.145.565 ton. Secara ekonomi nilainya sebesar $ 11.455.650.
Penyimpanan karbon dalam tanah merupakan penyimpanan karbon dalam bentuk
yang relatif stabil, baik melalui fiksasi CO2 atmosfer secara langsung maupun tidak
langsung. Pengikatan karbon secara langsung terjadi reaksi senyawa inorganik
kalsium dan magnesium karbonat, sedangkan secara tidak langsung melalui
fotosintesis tanaman yang mampu merubah CO2 atmosfer menjadi biomasa tanaman.
Secara berangsur biomasa tanaman ini secara tidak langsung tersimpan dalam bentuk
bahan organik tanah selama proses dekomposisi. Jumlah karbon yang tersimpan pada
tanah merupakan refleksi keseimbangan yang telah dicapai dalam jangka panjang
antara mekanisme pengambilan dan pelepasan karbon. Banyak metode agronomi,
kehutanan dan konservasi termasuk sebagai pengelolaan lahan yang dapat
meningkatkan fiksasi karbon di dalam tanah.
Tanah merupakan pol karbon yang penting didunia yang meliputi 1.500 2.000
Pg (1Pg = petagram = 1 milyar ton) dan 800 1.000 Pg sebagai karbon inorganik
tanah dalam bentuk karbonat (Eswaran et al, 1993). Kandungan karbon organik tanah
umumnya tinggi dalam tanah alami di bawah vegetasi rumput atau hutan. Konversi
hutan dan padang rumput menjadi areal budidaya tanaman dan peternakan
mengakibatkan hilangnya karbon organik tanah. Lahan padang rumput dan hutan
mengalami kehilangan karbon organik tanah 20 50 % kandungan awalnya setelah
diolah selama 40 50 tahun. Kehilangan karbon organik tanah masa lalu sering
berkaitan dengan tingkat produksi yang rendah, pengolahan tanah yang intensif,
penggunakan pupuk dan amelioran organik yang kurang memadai dan kurangnya
perlindungan tanah dari erosi dan proses degradasi lahan yang lain.
Karbon tersimpan pada tanah di kawasan faruhumpenai memiliki rata-rata
sebesar 53,4353 ton/ha. Jalur 2 mempunyai rata-rata karbon tersimpan yang paling
30
besar yaitu 61,0933 ton/ha sedangkan yang paling kecil pada jalur 1 yaitu 41,92
ton/ha. Total keseluruhan kemampuan tanah pada CA. Faruhumpenai sebesar
4.809.177 ton, sehingga secara ekonomis nilai karbonnya sebesar $ 48.091.770.
Jumlah karbon tersimpan pada CA. Faruhumpenai tidak dipengaruhi oleh
perubahan fungsi lahan karena merupakan kawasan konservasi yang dijaga
kelestariannya sehingga semua siklus karbon berjalan secara alami.
Penyimpanan karbon di dalam tanah dapat berubah karena erosi, yang
menyebabkan redistribusi karbon pada lansekap. Pemecahan agregat menyebabkan
peningkatan mineralisasi bahan organik yang sebelumnya terlindung dalam agregat.
Bahan tererosi yang terdeposisikan pada suatu lansekap atau di dalam sistem perairan
tidak semuanya dapat dianggap sebagai karbon yang hilang ke atmosfer. Untuk alasan
yang sama, karbon tanah yang dapat dipertahankan dari penurunan erosi tidak dapat
dihitung seluruhnya sebagai transformasi dari CO2 atmosfer.
VI.
A. Kesimpulan
1. Karbon tersimpan pada tingkat pohon pada kawasan CA. Faruhumpenai
sebesar 10.640.187 ton dengan nilai ekonomi sebesar $ 106.401.870.
2. Daya serap karbon pada tumbuhan bawah sebesar 236.655 ton dengan nilai
ekonomi sebesar $ 2.366.550.
3. Karbon tersimpan pada serasah sebesar 145.764 ton dengan nilai ekonomi
sebesar $ 1.457.640.
4. Karbon tersimpan pada nekromassa sebesar 1.145.565 ton dengan nilai
ekonomi sebesar $ 11.455.650.
5. Karbon tersimpan pada tanah sebesar 4.809.177 ton dengan nilai ekonomi
sebesar $ 48.091.770.
6. Total karbon tersimpan pada kawasan Cagar Alam Faruhumpenai sebesar
16.977.348 ton dengan nilai ekonomi sebesar $ 169.773.480.
B. Saran
1. Perlu digunakan metode destruktif pada tingkat pohon untuk menemukan
rumus allometrik dari setiap jenis pohon.
2. Kegiatan valuasi ekonomi karbon ini perlu dilaksanakan secara berkelanjutan
khususnya di daerah CA. Faruhumpenai untuk lebih melengkapi data yang
telah diperoleh dari kegiatan valuasi ekonomi karbon sebelumnya.
31
32