Anda di halaman 1dari 23

RABIES

LATAR BELAKANG
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya
saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang
terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi
jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.
Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neurotropik, yang hanya
dapat berkembang biak di dalam jaringan saraf. Dan ukurannya antara 100-150
milimikron. Virus ini tahan terhadap kekeringan, akan tetapi mudah dimatikan
dengan menggunakan antiseptic, sinar matahari langsung, pemanasan, dan radiasi
dengan menggunakan sinar ultraviolet. Masa Inkubasi pada hewan sekitar 3-6
minggu setelah gigitan hewan rabies, sedangkan pada manusia tergantung dari
parah tidaknya luka gigitan, jauh tidaknya luka dengan susunan saraf pusat,
banyaknya saraf pada luka, jumlah virus yang masuk, serta jumlah luka gigitan.
Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan
binatang. Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain
melalui cakaran hewan, sekresi yang mengkontaminasi membrane mukosa, virus
yang masuk melalui rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies
menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga system saraf pusat, dan dapat
menyebabkan encephalomyelitis (radang yang mengenai otak dan medulla
spinalis)2

Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang
bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia,
Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang,
dan Taiwan.

DEFINISI
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya
saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang
terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi
jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.
Nama lain untuk rabies hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia),
la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama
penyakit Anjing Gila.

SEJARAH
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23 Sebelum
Masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada
tahun 500 SM. Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala
hydrophobia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies
baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro, seorang dokter Italia. Pada tahun
1880 Louis Pastuer mendemostrasikan adanya infeksi pada susunan saraf pusat.
Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya vaksin oleh

Louis Pastuer pada tahun 1885. pertumbuhan virus rabies pada jaringan
ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop
elektron pada tahun 1960.

ETIOLOGI
Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal,
beramplop, berbentuk peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota
kelompok rhabdovirus. Amplop glikoprotein tersusun dalam struktur seperti
tombol yang meliputi permukaan virion. Glikoprotein virus terikat pada reseptor
asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody
neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas
sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibody yang mengikat komplemen.
Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya bersifat protektif.
Antibody antirabies digunakan pada analisis imunofluororescent diagnostic yang
umumnya ditujukan pada antigen nukleokapsid. Isolasi virus rabies dari spesies
binatang yang berbeda dan memiliki perbedaan sifat antigenic dan biologic.
Variasi variasi ini bertanggung jawab terhadap perbedaan dalam virulensi antara
isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies, khususnya dalam jaringan dengan
konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam memperlambat infeksi yang
progresif.
Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56C waktu paruh
kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37C dapat
bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%,

solusi jodium. Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies
diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1, mokola genotipe
3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan 6.
DISTRIBUSI DAN INSIDENSI
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang
bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia,
Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang,
dan Taiwan.

EPIDEMIOLOGI
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : urban, disebarluaskan
terutama oleh anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan sylvatic,
disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala,
dan kelelawar. Infeksi pada binatang yang jinak biasanya menunjukkan kelebihan
reservoar infeksi sylvatic, dan manusia dapat terinfeksi oleh salah satunya. Oleh
karena itu infeksi pada manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat
enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang
tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka. Kematian karena
rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World Health Organization (WHO)
setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia diperkirakan lebih dari
30.000 kasus pertahun. Asia tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan
tropik adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Pada beberapa area endemik 1
sampai 2% dari pasien yang diotopsi menunjukkan tanda tanda rabies.

Peningkatan penyebaran rabies yang hidup di darat dan peningkatan perjalanan ke


negara negara yang didalamnya terdapat rabies perkotaan telah membuat
perhatian mengenai rabies klinis dan pencegahannya. Di Amerika, rabies manusia
sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang
yang terpajan di negara negara yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing.
Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus
rabies untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara),
luwak (Afrika Selatan, Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika
Selatan) juga merupakan vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing
sekarang ini dilaporkan lebih sering daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi
kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung
jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan, dengan anjing dan
kucing hanya sekitar 2-3%. Akan tetapi, sebagian besar kasus profilaksis pasca
pemajanan dihubungkan dengan gigitan anjing dan kucing.
Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi
kornea juga pernah ditemukan.4

TRANSMISI
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing,
kucing, kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan
binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun
melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap
infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan. Infeksi

rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka pada kulit
(garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi melalui gigitan
anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang
terinfeksi (serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui
inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang
mengunjungi gua kelelawar tanpa adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies
pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang
masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan
transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.

PATOGENESIS
Kejadian pertama pengenalan hidup melalui epidermis atau ke dalam
membran mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di
daerah inokulasi. Sistem saraf perifer terpajan pada berkas neurotendinal dan/atau
neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai
sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf perifer dengan kecepatan
3mm/jam. Secara eksperimen, viremia terbukti terjadi, tetapi tidak dianggap
mempunyai peranan pada penyakit yang secara alami didapat. Sekali virus
mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam
substansia kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom
untuk mencapai jaringan jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula
adrenalis, ginjal, paru-paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Perjalanan

menuju kelenjar saliva menyebabkan transmisi lanjutan penyakit melalui saliva


yang terinfeksi. Virus juga tersebar pada air susu dan urine.
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari
1 tahun (rata rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada
jumlah virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan
penjamu dan jarak sesungguhnya virus berjalan dari daerah inokulasi ke sistem
saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang ( 2
sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi. Respons imun
penjamu dan strain viral juga dapat mempengaruhi ekspresi penyakit. Respons
imun yang diperantai sel dicatat pada pasien dengan ensefalitis rabies, tetapi tidak
ada pasien dengan rabies paralitik.
Neuropati rabies menyerupai penyakit viral lain pada sistem saraf pusat:
hiperemia, berbagai derajat kromatolisis, piknosis nuklear dan neurofagia sel
saraf; diinfiltrasi oleh limposit dan sel plasma ruang Virchow-Robin; infiltrasi
mikroglia dan area parenkim destruksi sel saraf. Pada model hewan
eksperimental, sering terjadi infeksi adenohipofisis karena virus rabies, dengan
pengurangan pada hormon pertumbuhan dan pelepasan vasopresin. Lesi rabies
yang patognomik adalah badan negri. Massa eosinofilik ini, berukuran sekitar
10nm tersusun atas matriks fibilar halus dan partikel virus rabies. Badan negri
tersebar di seluruh otak, terutama kornu Ammon, korteks serebral, otak tengah,
hipotalamus, sel purkinje serebelum dan ganglia dorsalis medulla spinalis. Badan
negri tidak ditemukan pada sedikitnya 20% kasus rabies dan tidak adanya badan
negri ini pada material otak tidak menyingkirkan diagnosis.

MANIFESTASI
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi
antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena
lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya
gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang
dewasa. Lamanya masa inkubasi

dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka

gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat
patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi
25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal
non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3)
disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik
ensefalitis rabies, dan (4) jarang, sembuh.
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai
dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue),
anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak
produktif. Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia
dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin
berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang
mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80% pasien.
Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit
akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau

paralitik. Mioedema dijumpai pada stadium prodromal dan menetap selama


perjalanan penyakit.
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang
berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi,
combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus,
posisi opistotonik, kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode penyimpangan
mental yang diselingi dengan periode lucid tapi bersama dengan berkembangnya
penyakit, peride lucid menjadi lebih pendek sampai pasien akhirnya menjadi
koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang,
suara keras, sentuhan, bahkan tiupan yang lembut sering terjadi. Pada
pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6C. abnormalitas sistem saraf
otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler,lakrimasi meningkat, salivasi,
berkeringat dan hipotensi postural. Juga terdapat tanda paralisis motor neuron
bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon
ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase
ensefalitis. Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, kelumpuhan fsialm
neuritis optik dan kesulitan menelan yang khas. Gabungan salivasi yang
berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran tradisional foaming at
the mouth. Hidrofobia, kontraksi diafragma involunter, kuat dan nyeri, kontraksi
otot respirasi tambahan, faringeal, dan laringeal yang dimulai dengan menelan
cairan, tampak pada sekitar 50% kasus. Terkenanya nukleus amigdaloideus
menyebabkan priapismus dan ejakulasi spontan. Pasien menjadi koma, dan

terkenanya pusat respirasi menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya disfungsi


batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya dan
bertanggung jawab pada perjalanan penyakit yang menurun cepat. Daya tahan
hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan maksimum 20hari,
kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.
Kadang - kadang, rabies dapat terjadi sebagai paralisis asenden yang
menyerupai sindroma Landry-Guillan-Barr (dumb rabies, rage tranquille). Pola
klinis ini terjadi paling sering pada mereka yang digigit kelelawar atau pada
mereka yang mendapat profilaksis rabies pasca pemajanan.
Kesulitan menduga rabies jika disertai dengan paralisis asendens yang
digambarkan dengan dokumentasi penularan virus dari orang ke orang pada
transplantasi jaringan. Jaringan transplan dari dua donor yang meninggal karena
dicurigai sindroma Landry-Guillan-Barr menimbulkan rabies klinis dan
kematian pada resipien. Pemeriksaan patologik retrospektif pada otak dari kedua
resipien menunjukkan badan negri, dan virus rabies selanjutnya diisolas dari
setiap mata donor yang dibekukan.
Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies
Stadium
Inkubasi

Lamanya (% kasus)
< 30 hari (25%)

30-90 hari (50%)

90 hari 1 tahun (20%)

>1 tahun (5%)

Prodromal
2-10 hari

Manifestasi klinis
Tidak ada

Parestesi,

nyeri

gigitan,

demam,

pada

luka

malaise,

10

anoreksia, mual & muntah, nyeri


kepala,

lethargi,

agitasi,

anxietas, depresi
Neurologik akut

Furious (80%)
2-7 hari

Halusinasi, bingung, delirium,


tingkah

laku

aneh,

menggigit,

agitasi,

hidropobia,

hipersalivasi, disfagia, afasia,


inkoordinasi, hiperaktif, spasme
faring, aerofobia, hiperventilasi,
disfungsi

saraf

otonom,

sindroma abnormalitas ADH

Paralisis flaksid

Paralitik
2-7 hari

Autonomic

Koma
0-14 hari

instability,

hipoventilasi, apnea, henti nafas,


hipotermia/hipertermia,
hipotensi,

disfungsi

rhabdomiolisis,

pituitari,

aritmia

dan

henti jantung

KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya
timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan
intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom
abnormalitas

hormon

antidimetik

(SAHAD);

disfungsi

otonomik

yang

11

menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti


jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan
aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi
hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi
pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal
jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.

TEMUAN LABORATORIUM
Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi
abnormalitas terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan
gastrointestinal, dan komplikasi lainnya. Jumlah leukosit perifer agak meningkat
(12000 sampai 17000 sel permikroliter) tapi mungkin normal atau setinggi 30000
sel per mikroliter.
Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada
(1) isolasi virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, jarang cairan serebrospinalis
(CSF), atau jaringan (otak)], (2) petunjuk serologik infeksi akut, atau (3) adanya
antigen virus dalam jaringan yang terinfeksi, misalnya, apusan impresi kornea,
biopsi kulit, atau otak. Sampel otak diperoleh dengan pemeriksaan postmortem
atau pada biopsi otak yang ditujukan untuk (1) pemeriksaan inokulasi tikus untuk
isolasi virus (2) pewarnaan antibodi fluoresen (FA, fluorescent antibody) untuk
antigen virus, dan (3) pemeriksaan histologik dan/atau mikroskopik elektron
untuk melihat badan Negri.

12

Jika pasien tidak pernah menerima imunisasi antirabies, kenaikan antibodi


netralisasi terhadap virus rabies sebanyak 4 kali lipat dalam serangkaian sampel
serum merupakan diagnostik. Jika pasien menerima vaksin rabies, petunjuk untuk
diagnosis mungkin diperoleh dari titer absolut antibodi netralisasi serum dan
adanya antibodi netralisasi terhadap rabies dalam cairan serebrospinal. Profilaksis
rabies

pasca

pemajanan

jarang

menimbulkan

antibodi

netralisasi-cairan

serebrospinal terhadap rabies. Jika adanya, biasanya dengan titer yang rendah,
misalnya kurang dari 1:64, sedangkan titer cairan serebrospinal dalam rabies
manusia dapat bervariasi dari 1:200 sampai 1:160000.
Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang
berasal dari saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kulit.otak,
cairan serebrospinal dan kadang-kadang urin. Isolasi virus kadang-kadang tidak
berhasil didapatkan dari bahan-bahan tersebut setelah 10-14 hari sakit, hal ini
berhubungan dengan adanya neuralizing antibodi.
Deteksi neutralizing antibodi dalam serum penderita yang tidak
divaksinasi dapat dipakai sebagai alat diagnostik. Terdapatnya antibodi dalam
cairan serebrospinal juga menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih
lambat dibandingkan dengan antibodi serum dan kurang bermanfaat pada awal
penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi respons antibodi pada serum dan
CSS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi (pada CSS kadarnya 2-25%
dari serum).
Fluororescent antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen
virus rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin, bahkan setelah

13

teknik isolasi virus tidak berhasil. Sensitivitas tes ini bahkan 60-100%. FAT pada
hapusan kornea sangat tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif
palsu. Pada awal penyakit (minggu I) FAT dari kulit leher merupakan tes yang
paling sensitif walaupun dapat terjadi negatif palsu.
Di Amerika Serikat, tes standard adalah rapid fluororescent focus
inhibition test (RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh
dalam waktu 48 jam.2
Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk
penyakit tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik
terdapat butir-butir basofilik didalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui
pemeriksaan histologis biopsi jaringan otak penderita post mortem dan jaringan
otak hewan terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi
RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya dapat dilakukan melalui
pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

DIAGNOSIS BANDING
Rabies harus difikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik,
psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di
daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis
rabies.
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi
psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap
rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum

14

(pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus dan pada
awalnya akan menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme
laring.
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang
pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status
mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat
hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan
tidak dijumpai hidropobia.
Rabies paralitik dapar dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre
transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis
atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik
sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik. Ensefalitis post
vaksinasi rabies terjadi 1 :200 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies
vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah
dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium
berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.
Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak
penyebab dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti
herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan
diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster dan enterovirus
seperti coxsackievirus, echovirus, poliovirus, dan enterovirus manusia 68 hingga
71. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geograpi, umur pasien, riwayat

15

perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu
menolong penegakan diagnosa.

PENANGANAN RABIES
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies;
penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan
gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya
tidak

menggembirakan.

perawatan

intensif

hanyalah

metode

untuk

memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah


komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita
penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari rangsanganrangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf
rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin,
air mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa
atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal precaution
(memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak menular melalui darah dan
tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia,
aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri.
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara
adekuat untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obatobat anti serum, anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya
tidak terbukti efektif.

16

PENCEGAHAN
Setiap tahun lebih dari 1 juta orang Amerika digigit binatang. Pada setiap
keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies pasca
pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies,
digunakan pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis
dengan saliva atau bahan lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah
rabies diketahui atau diduga pada spesies dan area yang dihubungkan dengan
pemajanan (misalnya, semua individu dalam kepulauan Amerika digigit kelelawar
yang kemudian lolos sebaiknya menerima profilaksis pasca-pemajanan), (3)
keadaan sekitar pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif dan komplikasi.
Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang
terlibat pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap, jika mungkin. Binatang
buas atau yang sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau berkeliaran
terlibat dalam pemajanan rabies, khususnya binatang yang terlibat gigitan tanpa
ada rangsangan, menunjukkan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya
dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke
laboratorium yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika
pemeriksaan otak dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat
disimpulkan bahwa saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak
perlu diobati. Individu yang terkena binatang buas yang lolos dan mengandung
rabies (kelelawar, skunk, serigala padang rumput, rubah, raccoon, dan lain-lain).
Dalam area tempat rabies diketahui atau diduga ada maka orang tersebut
sebaiknya menerima imunisasi terhadap rabies baik pasif maupun aktif.

17

Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu
ditangkap, diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau
tingkah laku yang abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang
itu dibunuh untuk pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan
epidemiologik menunjukkan bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari
setelah gigitan tidak akan menularkan virus rabies rabies pada waktu menggigit.
1.

Penanganan luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan

rabies. Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan
diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran
0.1%. luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit
kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus
dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu
diberikan antibiotik.
2.

Profilaksis pasca paparan


Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah neutralizing

antibody terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah
masuknya virus kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup
tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit.
neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum
antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.1
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve
Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci,

18

kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti
Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC); b). Non Nerve Tissue Vaccine yang
berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo
Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human
Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi
pada semua kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang
biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR)
adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik
dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum
homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies Immune Globulin = HRIG)
dan serum heterolog yang berasal dari hewan.
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan
berupa pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral
paha dengan dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi
WHO), atau pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen
Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand
digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRC-ID),
dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1
dosis pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam
waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup
diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat,
vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan leher ke atas, pada

19

jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis
tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah luka
dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan
SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.

3.

Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan,

penyelidik gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat


profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung
ke daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka
dianjurkan mendapatkan pencegahan pre-exposure. Vaksin anti rabies diberikan
dengan dosis 1 mL secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster
setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.
4.

Efek samping/komplikasi vaksinasi


Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies

juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu
reaksi lokal, berupa bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat
suntikan serta reaksi umum berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan
mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kompres lokal pad tempat
suntikan, anti histamin dan antipiretik.
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis
dengan gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia,
kaku kuduk, ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi

20

dengan NTV yang berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik
dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan saraf. Pada pemakaian DEV dapat
pula terjadi reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif. Pada
keadaan ini vaksinasi harus dihentikan dan penderita diberikan kortikosteroid
dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada pemberian HDCV
dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang. Pada
vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi
ensefalomielitis.
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum
sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum
sickness diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi
pada sekitar 20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM
mengalami reaksi mirip-kompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis,
nausea, vomitus, dan kadang-kadang angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh
sendiri dan tampaknya dihubungkan dengan adanya -propriolakton-albumin
serum manusia yang berubah dalam vaksin dan timbulnya antibodi IgE terhadap
antigen ini. Individu yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya mendapat
pengukuran antibodi secara periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka
dengan titer antibodi yang rendah. Mereka dengan resiko yang sangat rendah
dapat memilih untuk tidak menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima
imunisasi aktif dengan substansi yang mana saja.

21

PROGNOSIS
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus
sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari
kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun
1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis
seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian
terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun
paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang
melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis
yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan
angka survival 100%.

22

23

Anda mungkin juga menyukai