Anda di halaman 1dari 10

Multiple Intelligence yang bikin pusing di Indonesia

June 11, 2010 at 12:44pm


Membicarakan teori MI selalu saja banyak kontroversinya. Sebenarnya kontroversi seputar
teori dan filosofikal pemikiran dibaliknya merupakan suatu hal yang lumrah dalam dunia
ilmu pengetahuan. Setiap orang berhak mengeluarkan beragam teori baru apapun itu. Di
dunia ilmu pengetahuan empiris biasanya setiap ada teori baru yang muncul (dan menarik)
maka akan banyak yang meneliti dan membahas teori tersebut terutama pada bidang
keilmuan yang terkait erat areanya dengan teori baru tersebut. Penelitian, bahasan dan
diskusi-diskusi disertai controversial polemic dalam bentuk tulisan ilmiah, artikel ilmiah
maupun debat-debat langsung dalam forum-forum dan konferensi akadamis terhapad teori
baru biasanya meliputi :
1. Filosofi pemikiran teori tersebut
2. Metoda dan kerangka berpikir dari teori yang dimaksud
3. Apakah ada latar belakang pendukung dari teori-teori sebelumnya dan peneliitan-penelitian
terdahulu.
4. Apakah Teori tersebut dapat dibuktikan dalam artian : bisa diukur dan dibedakan variablevariable
yang akan di ukur.
5. Bisa di wujudkan dalam penelitian-penelitian empiris untuk pembuktiannya
6. Bisa di cobakan metode-metode aplikasi berdasarkan teori tersebut kedalam kehidupan
masyarakat dan apakah bermanfaat untuk di cobakan.
Ke enam hal diatas hanya sebagian kecil dari area yang biasanya dilihat di dalam penemuan
suatu teori baru. Dan sebelum teori tersebut di terapkan langsung dan di aplikasikan ke
masyarakat luas, biasanya diperlukan pembuktian-pembuktian yang signifikan yang
menunjang kebenaran teori tsb. Bila sudah ada pembuktian-pembuktian melalui riset-riset
empiris dengan jumlah yang cukup banyak dan samplenya mewakili populasi yang
ditargetkan, barulah metode dengan teori yang dimaksudkan dapat diterapkan secara
bertanggung jawab terhadap masyarakat dan dapat di generalisasikan bagi populasi umum.
Apa sih Multiple Intelligense(MI) itu dan bagaimana koq sampai muncul teori tersebut.
Teori MI dicetuskan oleh Dr. Howard Gardner, salah satu professor di fakultas pendidikan
Havard University. Dari beragam penelitiannya di area dunia pendidikan Dr. Gardner melihat
adanya ketidak lengkapan pada standard tes IQ conventional yang umum digunakan dan pada
konsep kecerdasan secara umum. Menurut beliau standard tes IQ yang sudah ratusan tahun
teruji validitas dan reliabilitasnya itu serta teori-teori klasik yang menjelaskan konsep dasar
kecerdasan manusia itu tidak lengkap dalam menggambarkan kecerdasan manusia. Alasannya
kecerdasan manusia adalah suatu permasalahan yang sangat kompleks, sementara standard
IQ test hanya dapat menjelaskan sebagian kecil kemampuan berpikir manusia, yaitu
kemampuan-kemampuan berpikir yang berdasarkan pada kemampuan verbal dan
matematikal saja. Beliau menolak pemahaman klasik seputar konsep kecerdasan bahawa
kecerdasan dasar/potensi yang dimiliki setiap manusia sejak lahir adalah berbeda-beda. Dan

karena potensi dasarnya berbeda-beda, maka dalam pencapaian kecerdasan aktual (prestasi)
pada setiap orang pun berbeda-beda.
Menurut beliau semua manusia terlahir dengan potensi dan kecerdasan yang sama. Sementara
faktor lingkunganlah yang dapat meciptakan kecerdasan-kecerdasan yang beragam-ragam.
Menurut beliau IQ test yang ada sekarang ini salah dalam mengintepretasikan konsep
kecerdasan manusia, Karena kecerdasan manusia itu lebih besar dari gambaran yang
diberikan oleh konsep IQ (Intelligence quotient) karena di dalamnya banyak hal/fenomena
dan prilau manusia yang tidak bisa dijelaskan dalam konsep IQ tersebut, dank arena konsep
IQ begitu sempit maka standard IQ test pun hanya bisa mengukur sebagian kecil kemampuan
berpikir manusia. Beliau mencontohkan dalam interviewnya dengan BBC di tahun 2006
bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh seorang artis (pelukis) misalnya bisa saja berbeda
dengan kecerdasan yang dimiliki oleh seorang pilot, karena dua area tersebut menggunakan
pola berpikir yang berbeda, beliau berpendapat bila saja kita melihat konsep kecerdasan
secara berbeda, maka akan lebih banyak kecerdasan-kecerdasan yang bisa kita lihat begitu
kira-kira yang beliau utarakan di dalam interview tersebut. Maka di dalam teorinya
berdasarkan penelitian studi kasus yang dilakukannya beliau pun mengusulkan untuk melihat
kecerdasan dalam bentuk yang berbeda, menurut teori yang di usulkannya ada 7 area
kecerdasan (tadinya hanya 6 lantas berkembang jadi 7) yang bila diartikan secara harafiah
sebagai berikut :
1. Kecerdasan linguistic atau kecerdasan berbahasa (linguistic intelligence)
2. Kecerdasan logika dan matematika (Logical, reasoning mathematical intelligence)
3. Spatial intelligence (spatial = kemampuan melihat bentuk/ruang/gambarsaya nggak tahu
kata yang paling tepat untuk ini apa jadi biar nggak lost in translation saya sebut saja spatial
ya).
4. Bodily kinesthetic intelligence (kemampuan olah tubuh/olah raga, motor kasar, motor
halus)
5. Kecerdasan bermasyarakat/bersosial/berinteraksi dengan manusia lain (Inter personal
intelligence).
6. Kecerdasan di dalam diri sendiri (Intrapersonal intelligence/self smart)
7. Naturalist intelligence (nature smart) atau kecerdasan natural
Teori kecerdasan yang diusulkan beliau ini adalah berdasarkan riset dalam bentuk case study
2 individu yang memiliki kondisi khusus (cidera otak) dan Idiot Savant (contoh kasusnya
Nadia, yang kemampuan matematika luar biasa, tetapi dalam test IQ masuk ke dalam
kategori mental retardasi). (Gardner 1983,1999).
Kritik terhadap teori MI
Seperti yang suda diutarakan pada awal artikel ini, dunia ilmu pengetahuan terkait pun segera
melakukan beragam diskusi, penelitian dan percobaan-percobaan untuk melihat apakah teori
ini memiliki kemungkinan untuk berkembang dan apakah teori ini memiliki kemungkinan
untuk di ukur dan dirumuskan dengan lebih baik supaya bisa di cobakan secara empiris dan

supaya bisa dilakukan pembuktian-pembuktian ilmiah yang terukur dan dapat dirumuskan
kedalam metode aplikatif yang nantinya bisa di teliti dan dicobakan sehingga nantinya bisa di
generalisir dan diterapkan ke masyarakat umum dengan bertanggung jawab. Beberapa
professor ahli dibidang cognitive development (tumbuh kembang kecerdasan manusia),
psikologi, psikologi pendidikan dan pendidikan dan lain-lainnya pun secara individual dan
bersamaan menelaah dan mengkaji teori tersebut.
Secara filosofis memang teori ini sangat bagus dan sangat ideal. Begitu idealnya sehingga
sulit untuk dijadikan kenyataan. Berdasarkan literature-literature yang membahas khusus
seputar teori MI ini ternyata banyak sekali kerancuan-kerancuan konsep pemikiran di
dalamnya. Banyak sekali kontradiktif dan sulit dibedakan mana yang merupakan
kecerdasan dan mana yang merupakan produk kecerdasan. Karena yang sudah absah dan
teruji ratusan tahun adalah konsep IQ, dan yang juga di tolak oleh Dr. Gardner adalah tes IQ
(teori usulan tersebut dimaksudkan untuk memberikan alternative/pembanding konsep yang
sudah ada). Maka wajarlah kalau yang dibandingkan adalah konsep konvensional IQ.
Morgan (1999) salah satu ahli psikometri dan prof cognitive development mengkritik bahwa
ke tujuh kecerdasan yang diajukan oleh Gardner adalah semata penjelasan semantik (dari
Kecerdasan aktual pada konsep klasik) saja dan tidak menjelaskan adanya perbedaan
mendasar di dalam pemahaman bentuk kecerdasan itu sendiri. Bila memang ketujuh
kecerdasan tersebut adalah 7 kecerdasan yang berbeda-beda, tentunya masing-masing dari
kecerdasan tersebut dapat eksis tanpa adanya kemunculan dari kecerdasan-kecerdasan
lainnya. Ketujuh kecerdasan tersebut harusnya juga bisa di ukur terpisah-pisah sehingga bisa
dijelaskan bagaimana dan faktor apa saya yang diperlukan agar masint-masing kecerdasan
tumbuh seperti yang di jabarkan dalam teori tersebut. Di dalam literature yang meneliti
seputar MI tidak ada kejelasan dan penjelasan mana yang kecerdasan dan mana yang
merupakan produk dari kecerdasan tersebut. Ambiguitas-ambiguitas yang terdapat di dalam
teori ini pun di aminkan oleh Klein (1998). Menurut Klein ada 3 paradoks penting yang
saling tumpang tindih dalam konsep kecerdasan yang diajuan oleh Gardner . Pada dasarnya
Klein berpendapat 1) Di dalam teori MI variable-variable inteligensi disebut sebagai variable
kecerdasan yang terpisah secara pemahaman, content, dan area kognitifnya jadi harusnya bisa
diukur masing-masing kecerdasan tersebut, 2) Bila dilihat lagi masing-masing variable
intelligensi tersebut sebenarnya saling berinteraksi antara satu dengan lainnya, 3) Padahal
kalau berdiri sendir-sendiri maka logikanya setiap variable intelligence di dalam teori tersebut
bisa memiliki sub kategori yang dapat berfungsi sendiri-sendiri , pada kenyataannya kan
tidak. Maka perlu dulu di jelaskan dengan baik apa dan bagaimana yang dimaksud dengan
masing-masing kecerdasan tersebut. (Contohnya saja kecerdasan kinestetik (raga/tubuh),
kalau memang ada yang namanya kecerdasan olah tubuh tersebut, maka harusnya tanpa
kecerdasan kalkulasi (math) maka si individu bisa main bola kaki dengan baik (tanpa
menggunakan perhitungan kapan harus nendang bola, menghitung jarak sejauh mana bola
dengan tiang gawang dan seberapa kencang harus menendangitu semua kan yang
melakukan otak dalam bentuk berpikir yang kemudian di translate mejadi gerakan-gerakan
motorik otot )
Kritik lainnya yang banyak disebutkan para ahli adalah : masing-masing kecerdasan yang
dijabarkan di dalam teori MI itu dapat dijelaskan secara gamblang cara kerjanya di dalam
konsep klasik IQ sebagai ketrampilan dan kecerdasan aktual yang sering juga disebut sebagai
gaya berpikir cognitive style didalam teori teori klasik tumbuh kembang. Bedanya di dalam
konsep klasik IQ semua itu bisa di ukur dengan jelas, sementara di dalam teori MI hal
tersebut tumpang tindih dan belum ada pengukurannya. Contoh simple pemahaman masing-

masing kecerdasan didalam MI dapat dijelaskan dalam konsep klasik IQ sbb: bagi mereka
yang memang memiliki cognitive style cenderung pada spatial kinestetik, maka biasanya
mereka ini paling mudah mempelajari sesuatu secara hands on atau langsung melakukan
aktivitas.Dan mereka yang memiliki gaya berpikir semodel ini, biasanya memang sangat baik
kemampuan spatial kinestetiknya (karena ini memang merupakan domain area yang dominan
di dalam dirinya), sehingga mereka akan menonjol pada kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik.
Namun demikian prestasinya dibidang-bidang kegiatan fisik tersebut tetap saja tergantung
pada Kecerdasan Potensi/dasar yang dimilikinya sejak lahir karena faktor genetic. Begitu
kira-kira penjelasan sederhananya.
Kritik lainnya adalah tidak adanya bukti empiris yang cukup dan jelas di dalam beragam
penelitian seputar ini. Kebanyakan penelitian yang di claim sebagai penelitian ilmiah di
dalam penerapan teori MI adalah pengumpulan catatan-catatan anecdotal dari beragam jenis
kasus yang berbeda-beda, dan bentuk kasusnya pun study kasus per individual, sehingga sulit
sekali untuk dapat di generalisir di dalam penerapan metode aplikatif untuk populasi umum.
MI pun sampai sekarang belum memiliki alat pengukur yang jelas untuk masing-masing
kecerdasan didalamnya, sehingga sulit untuk di lihat apakah kecerdasan tsb sudah muncul?
Kalau sudah apakah lebih baik atau lebihburuk dari sebelumnya? Ini semua tidak bisa diukur
dengan metode yang menggunakan prinsip MI.
Dengan kritik-kritik tersebut maka beragam ilmuwan, ahli dibidang ini sepakat bahwa teori
ini masih dalam taraf filosofikal. Dalam artian masih memerlukan banyak penjelasan dan
kejelasan kerangka berpikir untuk bisa dirumuskan kedalam suatu metoda untuk mengecek
kebenaran-kebenaran dan untuk membuatkan metoda-metoda yang bisa diaplikasikan ke
khalayak luas. Dr. Gardner sendiri pun mengakui kesulitan yang dihadapinya untuk
melakukan pembuktian-pembuktian empiris terhadap teori tersebut hal ini banyak di tulisnya
pada beragam literature ilmiah dalam menjawab kritik-kritik ilmiah dari beragam kalangan
ilmuwan.
Tanpa bermaksud meninggikan diri, hanya bermaksud berbagi, saya pribadi pernah mengikuti
psikometri conferences beberapa tahun yang silam yang kebetulan dihadiri oleh Dr. Gardner
yang mempresentasikan risetnya. Dalam ceramah ilmiah tersebut pertanyaan pertanyaan
sejenis di atas (terkait dengan kritik-kritiknya) pun ditanyakan. Dan jawabannya masih sama
belum bisa di buktikan dan belum bisa diukur.
Tahun 2006 BBC London mencoba membuat program riset sederhana untuk membandingkan
antara konsep klasik IQ dengan standard IQ tesnya dengan teori MI, caranya dengan
melakukan tes-tes IQ standard dan melakukan beberapa area kecerdasan yang di claim
Gardner tidak tercakup dalam tes IQ seperti kecerdasan kinestetik, Kreativitas, dan kecerasan
seni /art. Argumennya di dalam tes IQ klasik ada faktor yang di sebtu G faktor (yang
merupakan penggambaran kemampuan umum seorang manusia), bila total IQ score(G) di
dalam normal range misalnya kita gunakan WISC dengan standard deviasi 15, dan nilai
tengah 100, maka range normal adalah 85-115. Nah kalau total score (G) masuk dalam range
normal, maka bisa diprediksikan bahwa individual tersebut dapat berfungsi dengan normal
sesuai dengan usianya . Berfungsi yang dimaksud disini tidak hanya fungsi verbal dan
mathnya saja tetapi fungsinya dalam berfikir dan belajar, sehingga dia dapat memiliki
kemampuan aktual (ketrampilan) yang umumnya diperlukan untuk hidup produktif di dalam
society dimana dia tinggal. Begitukira-kira pemahaman simple untuk G. di dalam asumsi
klasik IQ, semakin tinggi G maka semakin tinggi kemampuan si individu dan semakin tinggi
target yang bisa di raihnya dan semakin luas kemampuannya untuk mempelajari beragam

hal(karena memang potensinya juga sudah tinggi). Dan begitu sebaliknya. Sementara itu pada
pemahaman MI dimana semua individu terlahir dengan potensi yang sama, maka G faktor
tidak ada. Setiap orang punya chances yang sama untuk belajar di segala bidang dan bisa
menonjoal.
Maka dibuatlah suatu program penelitian kecil yang hasilnya ditayangkan di TV. Judul
programnya : Battle of the brain, silahkan check di You tube, terakhir saya check masih ada
postingan di sana. Ada beberapa segmen di You tube (buat yang penasaran dan berminat
melihat pembuktian semi ilmiah ini. Bisa juga check langsung ke websitenya BBC dan
nonton di websitenya). Pada program percobaan tersebut dikumpulkan beberapa orang yang
berbeda-beda kemampuannya (semua menonjol kemampuan dibidangnya), jadi asumsinya
semua memiliki kecerdasan potensial (dasar) yang sama seperti asumsi dasar teori MI.
Peserta secara garis besar dikelompokkan menjadi 2 area, yaitu mereka yang memiliki
kemampuan scientif/pengetahuan eksakta (Brainy) dan mereka yang menonjol diarea
kreativitas (Artsy). Ada seorang ahli quantum fisik yang IQnya menjulang tinggi (diatas 2
sd), seorang pilot terbaik pesawat tempur, seorang artis drama yang terkenal sering sekali
menulis drama-drama dan shows dibroadway NY , seorang pelukis muda berbakat , seorang
composer orchestra muda genius, dan seorang professional dibidang tes dan pengukuran.
Peserta-peserta percobaan tersebut kemudian diberikan beberapa tasks seperti test IQ
konvensional dan beragam tes psikologi non konvensional untuk mengecek kemampuan
spatial kinestetik (dengan menggunakan goggle/kacamata khusus yang membuat semua
kelihatan terbalik) kemampuan kreatifitas dll. Pendek cerita di akhir program tersebut
terbukti bahwa konsep IQ masih merupakan faktor yang penting untuk diperhitungkan dalam
memahami kecerdasan seorang manusia secara menyeluruh. Kenapa? Karena pemenang dari
acara tersebut adalah si ahli quantum fisik dan si ahli pembuat scenario drama dan kedua
orang itulah yang memiliki tempat tertinggi di dalam tes klasik IQ, walaupun di dalam tes-tes
lainnya semua berimbang antara kelompok brainy dengan kelompokartsy. Di dalam
program tersebut juga ditunjukkan betapa sulitnya mengukur suatu produk yang dihasilkan
oleh kreativitas (seperti lukisan misalnya) karena faktor subyektifitas berperan penting dalam
mengukur bagus tidaknya suatu produk seni.
Intinya dari program tersebut yang saya ingin tekankan adalah dalam menyikapi suatu
kecerdasan memang kita harus berhati-hati, konsep IQ yang sudah ratusan tahun terbukit
validitas dan reliabilitasnya itu bukan tanpa alasan. Memang konsep tersebut mungkin belum
sempurna dan masih banyak yang harus dikembangkan sehingga kita bisa mengukur
fenomena kecerdasan manusia dengan lebih luas. Untuk sementara ini konsep IQ klasik
masih merupakan konsep yang paling bisa dipertanggungjawabkan, bisa diukur dan sudah
terbukti. Sehingga bila kita ingin menggunakan aplikasi aplikasi keilmuan seputar pendidikan
dll, maka konsep inilah baiknya yang menurut prinsip EBP dapat menjadi pegangan sampai
ada konsep lain yang bisa menandingi dan bisa menjelaskan lebih baik. Konsep MI memang
filosofisnya baik, tetapi karena belum bisa terbukti dan terukur maka BELUM BISA
diterapkan secara metodologi baik dari segi riset maupun aplikasi. Karena belum bisa
dirumuskan dan diterapkan secara metodologis maka bila diaplikasikan belum bisa
dipertanggung jawabkan secara ilmiah, sehingga resiko kesalahan dan resiko ketidak
efektifannya masih sangat tinggi, jatuhnya jadi non EBP.
Mengapa di Indonesia dan Negara-negara yang baru berkembang & Negara yang baru
maju (contoh cina) konsep ini begitu di puja?

Menurut saya karena kebanyakan di Negara-negara tersebut belum memiliki ketertiban


didalam penerapan keilmuwan layaknya di Negara-negara maju yang sudah mapan. Belum
ada lembaga-lembaga independent yang dapat mengkontrol beragam jenis aplikasi metode
yang ditawarkan di lapangan. Dan pada umumnya bentuk system pendidikannya belum
sepenuhnya mengajarkan pola berpikir kritis. Sehingga budaya pola berpikir kritis belum
banyak ditemui dimasyarakatnya, segala yang ditawarkan segala yang baru akan dengan
mudah di terima dan dilahap saja.
Mengapa koq teori ini sangat popular di dunia pendidikan dan bagi para guru & orangtua?
Ya karena bunyi dan penjabaran yang sampai di Indonesia itu tidak lengkap. Jadi kesannya
memang kan bagus sekali memperlakukan semua murid secara sama, karena setiap anak itu
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, setiap anak memiliki potensi yang
samakalau ditilik lagi itu kan bahasa dan konsep dari teori klasik pendidikan memang
seperti teori-teorinya Piaget, Gessel, maupun teori tabularasanya John Locke..dimana anak
lahir itu seperti kertas putih gimana lingkungan aja yang membentuknyabenar TAPIIIIII
pada kenyataanya Tuhan mentakdirkan kertas putihnya itu ada yang ukuran quarto, ada yang
ukuran folio, ada yang ukuran karton manila guedeeee dan luaaas hehe..itu yang dinisbikan
oleh teori MI.
Dan sayangnya para guru itu punya kebiasaan malas ngecheck teori ini kayaknya dimanamana, sudah sekolah tinggi tinggi ngabisin uang, begitu ngajar hanya berbasis perasaan dan
kepribadian si guru serta pemahaman teori yang sepotong-sepotong. Saya tidak menyalahkan
gurunya seratus persen (dan tidak semua guru demikian, namun sebagian besar ya demikian
hehe), karena itu tidak sepenuhnya kesalahan guru (saya juga dulu pernah sekolah guru di
Indonesia yang sering bikin saya bete). Tetapi system pengajarannyalah yang tidak mendidik
dan menyiapkan si guru untuk kritis dan suka meneliti. Jadi ya gitu itu..asal kedengeran
bagus, nggak ada ruginya bagi para murid hajar bleh aja=). Kalau diingatkan itu secara
ilmiah belum terujikan lohlantas dengan mudah bilang : kita ini guru, atau kita ini orangtua
atau orang awam, urusan ilmiah-ilmiah biar ilmuwan ajalah yang ngurusin. Padahal untuk
kehidupan sehari-hari kita ini kan nggak jauh dari penerapan ilmiah, dari menghirup udara
sampe memilih makanantsk..tsk..bikin prihatin.
To be fair, saya akui juga teori MI digemari oleh para guru itu ada segi positifnya juga,
kenapa? Karena dengan teori ini maka guru akan memperlakukan muridnya sama dan
berusaha memahami kekurangan dan kelebihan si murid. Itu yang saya lihat berdampak
positif bagi guru/orangtua yang memegang teori MI.
Mengapa koq bu Adi selalu kenceng ngeromel bila bicara seputar penerapan MI?
Karena saya bosan melihat kerancuan ini makin hari makin ruwet di Indonesia
hehe..seriously..
Berdasarkan komentar, pendapat, tanggapan, dan pertanyaan dari beragam khalayak yang
saya lihat majoritas berpendapat setiap manusia terlahir dengan kemampuan masing-masing
dalam artian kemampuan dasar (potensi) yang berbeda-beda termasuk didalamnya
kecerdasan dasar/potensi yang berbeda-beda. Dimana ada individu individu yang memiliki
kemampuan kecerdasan dasar/potensi yang rendah dibawah normal (seperti mental retardasi)
dan ada yang kemampuan kecerdasan dasar/potensinya tinggi (seperti kondisi cerdas

berbakat). LIngkungan dapat membantu pembentukan prestasi-prestasi secara maksimal dari


potensi dasar tersebut (yang kita sebut sebagai kecerdasan aktual/prestasi).
Nah bila kita menggunakan teori MI maka hal tersebut tidak ada/dinisbikan karena teori
tersebut berpendapat setiap manusia memiliki potensi dasar yang sama, lingkunganlah yang
mempengaruhi kecerdasan manusia. Teori ini tidak bisa menjelaskan mengapa koq ada anakanak dengan Mental Retardasi parah yang berusaha semaksimal apapun prestasi dan
kemampuan aktualnya nggak akan pernah bisa sama kualitas maupun kuantitasnya dengan
anak-anak normal lainnya.
Setiap orang bolah boleh saja bikin teori macem-macem, sah-sah saja...mau bilang teori
tumbuh kembang manusia mirip dengan kethek (monyet) via teori evolusi ya boleeh...mau
bilang tumbuh kembang manusia itu mirip dengan tekek ndlosor sana sini atau kodok yang
mlumpat mlumpat atau iwak bawal yang hebring kalau berenang ya boleh boleh
saja...hehehe...lha wong teori koq..boleh suka suka...perkara mau percaya atau tidak dengan
teori itu, bagaimana kita memilah milah teori yang akan kita pakai dan yang akan kita
gunakan... lha ini kan lain ceritanya...ada rambu dan aturan keilmuannya.
Yang menjadi masalah adalah ketika teori yang belum ada pembuktian ilmiahnya atau teori
yang ternyata pembuktiannya itu belum jelas keabsahannya, belum bisa digeneralisir dan dan
dipastikan keefektifan serta validitasnya, tetapi sudah nekat diaplikasikan ke manusia lantas
rame-rame di jual dan dipasarkan ke masyarakat luas(nota bene : majoritas awam dibidang
keilmuwan tsb) dan dipakai untuk aplikasi intervensi dengan embel-embel sebagai method
yang "canggih" dan memberikan "harapan" perbaikan atau penyembuhan bahkan garansi
menaikkan IQ dan kecerdasan anak ada yang bombastis sekali saya baru dapet e-mail
penawarannya di Indonesia, suatu metode belajar multiple intelligence yang bisa menaikkan
kecerdasan anak sampai 50% lebih tinggi dan slogan model ini di pasarkan kepada
konsumennya naaah ini yang nggak bener...hehehe....dan saya Adi Adinugroho-Horstman
saya punya masalah BESAAR dengan hal ini dan tidak bisa diam saja dan manut manut wae,
apalagi bila itu terjadi pada sesame saderek Indonesian.
Kenapa? Karena di dalam beberapa bidang keilmuan ada itu kode etik dan "sumpah" professi
maupun kode etik akademis yang merupakan KONSENSUS KESEPAKATAN DUNIA via
perjanjian perjanjian bidang professi secara international, seperti perjanjian Wina, perjanjian
UNESCO, Declarasi Salamanca, yang mengatur rambu rambu aplikasi keilmuan pada bidang
bidang tersebut. Dari panduan WHO untuk bidang kedokteran dan kesehatan pun guideline
untuk aplikasi harus selalu mengacu pada Evidence Based Practice, dimana dominannya
memang via pembuktian ilmiah dulu kalau sudah absah baru di aplikasi.
Bidang-bidang yang punya aturan ini umumnya adalah bidang bidang yang aplikasinya
berkenaan dan berpengaruh pada kehidupan orang secara langsung maupun tidak, beberapa
diantaranya adalah bidang : kedokteran, psikologi, pendidikan. Ini saya nggak ngarangan
dhewek lho ya...nek mau silahkan diopreki itu perjanjian-perjanjian professi international,
ngEndonesia ngikut tanda tangan koq...hehehe
Kenapa hal diatas menjadi penting? sebenernya sumpah dan kode etik serta aturan tsb kan
untuk melindungi kepentingan masyarakat luas (again nota bene orang awam dibidang
ini).Jadi para ilmuwan, pakar, praktisi itu ada kontrolnya. Pakar dan ilmuwan dengan title
berderet canggih itu bukan Dewa mereka juga manusia yang bisa jadi salah, jadi konsumen

juga jangan gampang aja seratus persen percaya plek. Selama masyarakatnya masih nggak
kritis maka oknum oknum bergelar akademis atau professional masih saja bisa seenak jidat
mengkomersialisasikan keilmuwannya tanpa punya hatimumpung nama saya lagi ngetop
saya punya jabatan dan saya punya pendidikan, mumpung masyarakat percaya saya, njur
kasih tauh ke masyarakat sepotong-sepotong ajalah, toh dampaknya ke anak gak banyak,
duuuh .
Kalau di US sini karena memang UU negaranya ada yang mengatur mana teori teori yang
sudah absah dan bisa dipertanggung jawabkan mana yang tidak. Menjadi masalah besar di
Indonesia karena di Indonesia tidak ada itu UU dan aturan ini...jadi piye?...lhaa yang paling
kesian dan soro kan konsumen. Lantas gimana dong? Lha kalau UU belum ada, di lapangan
morat marit rimba belantara, maka kita hanya bisa berpegang pada garis TIPIS... yaitu
tanggung jawab Professi dan Tanggung Jawab sosial. Para pakar, ahli dan professional itu
harusnya punya Tanggung Jawab yang "lebih" dari masyarakat biasa...yaitu tanggung jawab
professi dan etis. Sebagai konsumen pun harusnya kita punya tanggung jawab
pribadi...Jangan lantas ah biarin ajalaah...biar yang ahli ahli aja yang ributin, karena ribetnya
di Indonesia itu salah satu sebabnya adalah kontrol sosial yang sudah semaput mati
suri...makanya pada seenak jidat gitu.
Concern saya yang paling utama dibidang yang saya geluti adalah, banyak orangtua dengan
anak berkekhususan lantas menisbikan method klasik maupun method lainnya yang sudah
terbukti efektif secara ilmiah, karena tergiur dengan "harapan" yang diberikan oleh method
method baru berdasarkan teori yang masih remeng-remeng kejelasannya. lha kan kasihan,
waktu dan energy yang dipakai jatuhnya bisa jadi mubazir karena nggak efektif, padahal bila
menggunakan metode yang jelas EBP bisa lebih efektif dan sudah jelas keabsahannya
bermanfaat bagi anaknya.
Bagi yang digunakan pada anak anak "normal" tentunya hal ini tidak menjadi masalah yang
terlalu berarti. Paling banter ya duit orangtua dan waktu/tenaga saja yang kebuang, Sementara
karena si anak memang "normal" ya perkembangan kecerdasan maupun ketrampilannya tetap
somewhat "normal" dan tidak memiliki masalah berarti.Menjadi sangat tinggi resikonya
ketika diterapkan pada anak-anak yang memiliki kondisi "kekhususan". Karena tidak hanya
uang/tenaga yang terbuang, tetapi juga terbuangnya kesempatan dan hak anak untuk
mendapatkan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan ketunaannya yang merupakan bekal
utama baginya untuk menjadi manusia mandiri dan produktif dimasa mendatang (ketika si
anak dewasa).Kenapa? karena by nature anak-anak berkekhususan in general memang sudah
memiliki delay dalam tahapan tumbuh kembangnya, dalam mempelajari sesuatu pun
tergantung dengan kondisi & severitas kekhususannya, umumnya mereka mempunyai
tahapan dan gaya yang berbeda dengan anak "normal". Belum lagi ragam jenis kekhususan
itu macem-macem banget, jadi nggak itu satu metode mengajar/belajar untuk semua jenis
kekhususan.
Satu hal lagi, faktor "waktu" dalam intervensi dan mendidik. Waktu dalam sistem pendidikan
anak berkekhususan ini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan anak dimasa
dewasa...karena by nature mereka kan memang selalu "harus" mengejar ketinggalannya
karena kondisi kekhususannya tersebut. Bisa dibayangkan kerugian si anak dimasa dewasa,
bila si orang tua terpaku saja menjalankan method yang jelas nggak efektif buat anaknya
selama bertahun tahun karena mengharapkan keberhasilan semu yang dijanjikan aplikasi
yang belum terbukti keefektivannya? Kan kasihan...si anak dan si orangtua.

Anak-anak berkekhususan itu tidak punya "cushion" time to fall back, seperti rekannya yang
"normal"..Jadi perencanaan dan pemilihan metode intervensi yang akan digunakan dalam
mendidik anak-anak ini benar-benar harus hati-hati dan serious dipertimbangkan. Orangtua
sebaiknya kritis dalam menyikapi hal ini.
Saya paham betul permasalahan di Indonesia itu kompleks sekali. Untuk bisa membantu
populasi berkekhususan, dan membantu orangtua/masyarakat, tidak mudah dan sangat rumit.
Salah satu cara dan upaya perbaikan adalah dengan mengubah cara berpikir masyarkaat
Indonesia (terutama orangtua). Maka saya nggak akan segan dan nggak akan bosan untuk
mengingatkan ini selalu kepada masyarakat, dimana saya punya kesempatan.
Semoga ini ada manfaatnya,
Salam, Adi
Referensi tulisan ini berdasarkan bacaan berikut :
Gardner, H. (1999a). Intelligence reframed: Multiple intelligences for the 21st century. New
York: Basic Books.
Gardner, H. (1999b, February). Who owns intelligence? Atlantic Monthly, 67-76.
Gardner, H. (1998). Are there additional intelligences? The case for naturalist, spiritual, and
existential intelligences. In J. Kane (Ed.), Education, information, and transformation (pp.
111-131). Upper Saddle River, NJ: Merrill-Prentice Hall.
Gardner, H. (1995). Reflections on multiple intelligences. Phi Delta Kappan, 77(3), 200-208.
Gardner, H. (1993). Multiple intelligences: The theory in practice. New York: Basic Books.
Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. New York: Basic
Books.
Morgan, H. (1996). An analysis of Gardner's theory of multiple intelligence. Roeper Review
18, 263-270.
Plucker, J., Callahan, C. M., & Tomchin, E. M. (1996). Wherefore art thou, multiple
intelligences? Alternative assessments for identifying talent in ethnically diverse and
economically disadvantaged students. Gifted Child Quarterly, 40, 81-92.
Sternberg, R. J. (1991). Death, taxes and bad intelligence tests. Intelligence, 15, 257-269.
http://www.pz.harvard.edu/PIs/HG.htm (2000). Biographical data on Howard Gardner,
Principle Investigators, Project Zero Website.
http://www.nea.org/neatoday/9903/meet.html (1999). NEA Today Online, Meet Howard
Gardner: All kinds of smarts.

Brualdi, Amy. (1998). Multiple intelligences: Gardners theory. Teacher Librarian, 26, 2, p268.
Campbell, Linda. (1997). Variations on a themehow teachers interpret MI theory.
Educational Leadership, 55, p14-19.
Carvin, Andy. (1999). MI-The Theory. EdWeb: Exploring Technology and School Reform.
Available at: http://edweb.gsn.org/edref.mi.th.html
Checkley, Kathy. (1997). The first sevenand the eighth: a conversation with Howard
Gardner. Educational Leadership, 55, p8-13.
Collins, James. (1998). Seven kinds of smart. Time, 152, 16, p94-6.
Emig, Veronica Borruso. (1997). A multiple intelligences inventory. Educational Leadership,
55, p47-50.
Granat, Diane. (1997). Im smart, youre smart. Washingtonian, 32, p60-3.
Klein, Perry D. (1998). A response to Howard Gardner: falsifiability, empirical evidence, and
pedagogical usefulness in educational psychologies. Canadian Journal of Education, 23, 1,
p103-12.
LaFarge, Phyllis. (1994). Seven keys to learning. Parents, 69, p118-20.
Meyer, Maggie. (1997). The Greening of learning: using the eighth intelligence. Educational
Leadership, 55, p32-4.
Morgan, Harry. (1996). An analysis of Gardners theory of multiple intelligence. Roeper
Review, 18, p263-9.
Reiff, Judith Campbell. (1996). Bridging home and school through multiple intelligences.
Childhood Education, 72, p164-6.
Rheault, Karen. (1999). Karen Rheaults Multiple Intelligence Homepage. Available at:
http://members.tripod.com/~RheaultK/index.html
Siegel, Janna & Shaughnessy, Michael F. (1994). Educating for understanding. Phi Delta
Kappan, 75, p563-6.
Silver, Harvey F., Strong, Richard W., & Perini, Matthew. (1997). Integrating learning styles
and multiple intelligences. Educational Leadership, 55, p22-27.
Traub, James. (1998). Multiple intelligence disorder. The New Republic, 219, 17, p20-3.

Anda mungkin juga menyukai