PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi bangsa Indonesia dalam hal ini, berupa kegiatan usaha
individu maupun kegiatan untuk hajat hidup orang banyak, membutuhkan faktor
lingkungan. Baik itu lingkungan alam, maupun lingkungan sosial sebagai unsur
produksi. Lingkungan alam menjadi pemasok sumberdaya alam yang akan
diproses lebih lanjut, guna memenuhi kebutuhan manusia. Sedangkan lingkungan
sosial menyediakan sumberdaya manusia sebagai pelaku pembangunan.
Sebaliknya, lingkungan membutuhkan pembangunan untuk bisa memberikan nilai
guna atau manfaat yang dapat diukur secara ekonomi. Namun demikian, dalam
kaitan dengan lingkungan alam, ancaman datang dari dua sumber yakni polusi
dan deplesi sumberdaya alam. Polusi berkaitan dengan kontaminasi lingkungan
oleh industri, sedangkan deplesi sumberdaya alam bersumber dari penggunaan
sumbersumber yang terbatas jumlahnya (Hadi dan Samekto, 2007:2).
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks negera Negara Republik
Indonesia secara nyata dituangkan berupa undang-undang yang ditujukan untuk
perlindungan lingkungan hidup. Undang-undang perlindungan lingkungan yang
terbaru adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Semangat undangundang ini pada prinsipnya untuk mengatur hak dan kewajiban warga negaranya
berkenaan dengan fungsi lingkungan hidup juga secara eksplisit mengatur
kewajiban pelaku usaha untuk berperan aktif dalam perlindungan lingkungan
hidup di Indonesia.
Pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia relatif belum
lama dan baru dirintis menjelang Pelita III. Namun demikian, dalam waktu yang
pendek itu Indonesia telah banyak berbuat untuk mulai mengelola lingkungan
hidupnya. Hasil utama pengembangan lingkungan hidup ini nampak pada
munculnya kesadaran dan kepedulian di kalangan masyarakat. Antara lain
1
lingkungan
hidup
sebelumnya
disempurnakan
dengan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemanfaatan Lingkungan SDA Masa Prasejarah
Pemanfaatan lingkungan sumberdaya alam Indonesia berawal sejak masa
prasajarah. Kehidupan manusia purba berburu dan mengumpulkan makanan
ketika itu, ditandai dengan cara kehidupan yang bergantung pada alam.
Ketergantungan dengan alam ini, menyebabkan manusia hidupnya selalu
berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lainya, tergantung dari sedikit
banyaknya persediaan makanan oleh alam. Apabila daerah yang disinggahi telah
menipis atau bahkan habis sumber persediaan makanan, maka mereka akan
segera mencari tempat yang baru lagi guna mendapatkan sumber makananya
kembali. Dengan demikian pola kehidupannya akan selalu berpindah-pindah atau
mengembara dari satu tempat ketempat lainya, dan tergantung dari jumlah
persediaan makanan yang terdapat di dalam alam (besifat nomaden). (Hermanto,
2012:79- 89).
Sejalan dengan tingkat perkembangan manusia, maka tingkat kehidupan
ekonomi pun mengalami pergeseran. Jika, sebelumnya, kehidupan manusia purba
masih berada pada tingkat pengembaraan (nomaden) untuk mencari sumber
ekonomi (makanan), maka pada masa ini manusia mulai memikirkan untuk
mencari tempat berteduh, dan hidup manetap serta mengembangkan ekonomi
sendiri, manusia mulai mengembangkan konsep bercocok tanam, walaupun masih
tingkat sederhana. Ketika manusia sudah mulai mengembangkan teknik bercocok
tanam, serta sudah hidup menerap lebih lama lagi di suatu tempat, bahkan telah
menetap untuk selamanya, maka lahirlah pola kehidupan yang baru, yakni
sebagaimana yang disebut dengan nama masa percocok tanam atau bertani. Atau
dengan kata lain cara kehidupan ekonominya sudah beralih dari hunting end food
gathering ke cara hidup food producing (menghasilkan makanan). Adanya
kemapuan memproduksi makanan itu, memandakan manusia sudah benar-benar
menetap secara parmanenen untuk mengelolah alam, demi melangsungkan
kehidupan selanjutnya. (Hermanto, 2012: 88-89).
Karena itu, yang menjadi cacatan penting menurut hemat penulis yaitu
pertama, untuk mempertahankan hidup, manusia ketika itu, masih mengharapkan
sumber ekonomi dari lingkungannya. Kedua, ketika sumber ekonomi dari
lingkungannya tidak lagi tersedia, maka manusia berpindah lagi untuk
mendapatkan
sumber
ekonomi
tersebut.
Ketiga,
seiring
perkembangan
Dari berbagai penelitian para ahli, ada laporan penelitian arkeologi dari C.J.H.
Franses bahwa di daerah Jawa Barat orang sudah mengunakan perhiasan gelang,
dan batu-batu pilihan seperti agate, kalsedon, dan jaspis berwarna putih, kuning
coklat, merah, dan hijau. Von Koningswald juga menemukan gelang-gelang kulit
kerang dan sejumlah manic-manik serta beliung persegi di daerah kirai dekat
Surakarta. Selanjutnya M.W.F. Tweddie mengatakan bahwa perhiasan-perhiasan
tersebut dikerjakan dengan cara menggurdi seperti gelang-gelang batu seperti
yang dikerjakan di Malaysia dan Thailand. Sedangkan di luar Indonesia
gelangang-gelangang batu seperti itu, ditemukan juga oleh Szechwan, Fogtien,
Siberia, Jepang, Korea, Jekol, Vietnam, Muagthai, Malaysia, Honan, Lamma, dan
Taiwan.
Dengan Bukti penemuan dan alat-alat perhiasan-perhiasan di atas dapatlah
disimpulkan bahwa cara hidup manusia terus mengalami perubahan dan
peningkatan
yang
tentu
sangat
erat
kaitanya
dengan
perkembangan
dicapai
dalam
bidang
teknologi
telah
mengamati, bahwa biji yang terjatuh di tanah berkecambah dan kemudian tumbuh
menjadi tanaman baru, dan bawah batang tanaman tertentu yang ditancapkan di
tanah dapat tumbuh. Tentu perlu disadari bahwa awal dari upaya manusia untuk
bercocok tanam berkaitan dengan apa yang mereka tanam (Koentjaraningrat,
2003: 52-53).
Dalam perkembangan kemudian, orang mulai mengembangkan sistem
berkebun/berladang. Akan tetapi menurut Koentjaraningrat berkebun yang
dilakukan dengan sistem berladang itu tampaknya merupakan aktivitas Sembilan.
Tanaman yang ditanami adalah ubi-ubian, keladi, pisang, tebu, papaya, beberapa
macam sayur dan palawija. (Koentjaraningrat, 1997 dalam Leirissa, et.al, 2012:6).
Di bidang perikanan, katakanlah masyarakat desa/dusun dibeberapa tempat di
Maluku, sebut saja komunitas orang Buton yang bermukim di pesisir pantai
Hoamual Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, para nelayan atau pencari ikan
dilaut dengan perahu koli-koli atau perahu cadik juga berkebun. Mereka selain
berprofesi sebagai nalayan, mereka juga tidak meningalkan pekerjaan pertanian,
seperti berkebun ubi-ubian, berbagi jenis sayur-mayur, cengkeh, cokla, pala, dan
sebagainya. Ini membuktikan bahwa dalam sejarah perjalanan kehidupan mereka
secara tidak sadar telah mengembangkan konsep ekonomi lingkungan dengan
memanfaatkan ruang dan waktu.
B. Perekonomian Indonesia dalam Perjalanan Sejarah
Dalam perspektif sejarah Indonesia, bahwa perekonomian Indonesia sebelum era
kemerdekaan dikendalikan oleh:
1. para bangsawan,
2. kerajaan-kerajaan lokal, dan
3. para penjajah (Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang).
=Ketika kolonialisme Belanda mulai menanamkan kekuasaanya di Indonesia
berbagai sistem kebijakan ekonomi yang berlaku pada masa itu diantaranya :
a. Membentuk Serikat Dagang Belanda (VOC),
b. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), dan
c. Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal).
rakyat
(angka
partisipasi
10
sebagai proses pembukaan tata ruang pada tempat lain untuk memindahkan
penduduk agar lebih mudah dikontrol oleh kerajaan. Dalam proses pembukaan
tata ruang ini tentunya terjadi eksploitasi hutan (Hidayat 2008).
Pembangunan ibu kota Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur, dilakukan
dengan membabat hutan jati. Pada tahun 1200, terdapat banyak industri kapal
yang menyebabkan deforestasi hutan di Jawa. Industri kapal ini umumnya
dikuasai oleh pengusaha Cina di sepanjang pantai utara pulau Jawa yang
terbentang mulai dari Pasuruhan di Jawa Timur sampai di Tegal Jawa Tengah.
Perusahan kapal pada masa kerajaan Majapahit sangat penting untuk melakukan
hubungan dagang dengan Cina, Champa, Siam, Burma, India dan Madagaskar di
Afrika Timur (Simon 2008).
Eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin intensif pada masa VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Pengusaha etnis Tionghoa juga berperan
dalam eksploitasi hutan pada masa VOC.
ekspoitasi terhadap hutan, VOC meminta izin kepada raja-raja Jawa. Pada tahun
1743, ketika Raja Mataram melepaskan wilayah pantai utara-timur Jawa
(Rembang, Jepara, Waleri, Pekalongan, dan lain-lain), hutan daerah ini
dieksploitasi oleh VOC. Pada tahun 1812, hutan Jipang yang didominasi hutan
jati direbut VOC. Hutan bagian selatan Jipang kemudian dikuasai pada tahun
1930. Tujuan eksploitasi saat itu adalah untuk mendukung perusahaan perkapalan
di Rotterdam dan Amsterdam. Selain itu, pada masa VOC, eksploitasi hutan
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar di perusahaan gula di Jawa.
Oleh karena itu, hutan di daerah seperti Bekasi, Depok, Tanggerang dan Jakarta
dieksploitasi untuk mendukung perindustrian gula milik VOC (Awang 2005).
Ketika VOC mendapat hak-hak konsesi hutan dari raja-raja Jawa, VOC juga
merambah eksploitasi hasil hutan berupa getah, damar, kopra, biji-bijian yang
menghasilkan minyak dan rotan (Hidayat 2008). Ketika VOC bangkrut pada abad
ke-18, maka kekuasaan atas hutan di Indonesia diambilalih oleh pemerintah
Kerajaan Belanda. Karena pentingnya bahan baku untuk industri kapal di
11
Rotterdam dan Amsterdam yang sangat penting bagi ekonomi nasional, Kerajaan
Belanda mengirim Herman Willem Daendels menjadi gubernur Jenderal (18081811). Salah satu tugas Daendels adalah membangun kembali hutan jati di Jawa
(Simon 2008). Pada masa Jepang, hutan di Jawa mengalami kerusakan serius
karena dieksploitasi untuk ongkos perang (Awang 2005).
Pada masa Soekarno, tata kelola kehutanan bersifat desentralistik. Melalui
Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957, pemerintah mendesentralisasikan tata
kelola kehutanan di luar pulau Jawa kepada pemerintah propinsi. Oleh karena itu,
pemerintah propinsi berwewenang untuk memberikan izin pemanfaatan sumber
daya hutan dalam bentuk: (1) konsesi hutan di wilayah kerjanya maksimal 10.000
hektar dengan jangka waktu 20 tahun, (2) memberi ijin penebangan maksimal
5.000 hektar dengan jangka waktu 5 tahun, (3) ijin tebang kayu dan pemungutan
hasil hutan non-kayu lainnya sampai dengan batas tertentu selama 2 tahun
(Santoso 2008).
Kebijakan yang desentralistis dalam sektor kehutanan pada masa Soekarno
ditopang oleh kebijakan ekonomi politik yang berdasarkan pada gagasan
sosialisme dan nasionalisme yang anti investasi Barat. Oleh karena itu, pada masa
Soekarno, sumber daya hutan kurang dieksploitasi baik oleh pengusaha asing
maupun pribumi. Banyak perusahaan Amerika dan Inggris yang terpaksa
mengundurkan diri karena iklim usaha yang merugikan investor asing. Pada tahun
1957/1958, Sukarno mengumumkan sikap anti barat dan hingga tahun 1963
upaya nasionalisasi perusahaan Belanda, Inggris dan Cina, terus berlangsung.
Hampir tidak ada investasi komersial dalam bidang kehutanan kecuali oleh
perusahaan Jepang, seperti Mitsui yang melakukan eksploitasi hutan pada tahun
1950an di Kalimantan dengan perjanjian pembagian produksi yang adil. Namun,
kerja sama dengan Jepang ini dinilai kurang berhasil (Awang 2005).
Pada masa Orde Baru (1968-1998), tata kelola hutan bersifat sentralistis dan
kebijakan ekonomi politik menjadi pro-investasi barat dan investasi dalam negeri
serta mengembangkan skenario pinjaman luar negeri untuk melaksanakan
12
pembangunan nasional melalui IMF dan Bank Dunia (Awang 2006: 16).
Kebijikan ekonomi pragmatis ini diambil untuk menyelamatkan ekonomi nasional
yang gagal di era akhir era Soekarno yang ditunjukkan inflasi yang mencapai 650
persen (Awang 2005). Sumber daya hutan seluas 143 juta hektar menjadi sumber
devisa yang penting untuk pembangunan bangsa. Dengan dikeluarkannya UU No.
1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan UU No. 11 tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pintu investasi asing
dan swasta untuk mendapat konsesi hutan terbuka lebar (Siahaan 2007). Sejak
saat ini, para investor diberi konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk hutan
di luar Jawa, terutama hutan di Sumatra dan Kalimantan.. Dengan dibekukannya
hak-hak masyarakat adat oleh pemerintah pada tahun 1970-an, HPH berkembang
dengan subur tanpa hambatan perlawanan dari masyarakat adat (Awang 2006).
Pada tahun 1989, 572 unit HPH menguasai 64 juta hektar hutan produksi. Hingga
tahun 2000, jumlah HPH meningkat sekitar 600 unit. Dengan menjamurnya HPH,
menurut FAO, antara tahun 1976-1980, 550.000 hektar hutan rusak setiap tahun
(Hidayat 2008). Pada tahun 1980, laju deforestasi adalah 1 juta hektar. Pada tahun
1885, laju deforestasi sebesar antara 600-1,2 hektar per tahun. Laju deforestasi
pun semakin meningkat pada tahun 1985-1997, yakni 1,7 juta hektar per tahun
(Awang 2005).
Pada tahun
1970an,
sektor
kehutanan
melalui
pemberian
HPH
menyumbangka devisa kedua terbesar setelah sektor minyak bumi. Pada tahun
1974, pendapatan devisa asing meningkat menjadi 564 juta dolar Amerika Serikat
(AS) dibandingkan dengan tahun 1968 yang hanya 6 juta dolar AS. Di
penghujung tahun 1968, Indonesia menjadi produsen kayu log utama, lebih besar
dari seluruh negara Afrika dan Amerika Latin, yang menyumbangkan devisa 2,1
miliar dolar AS (sekitar 40 persen saham dari pasar log global). Pada tahun 1985,
ekspor log dilarang pemerintah karena pemerintah ingin membuat kebijakan
untuk mengintegrasikan pemanfaatan sumber daya hutan dari hulu hingga hilir
13
14
skenario peminjaman kepada IMF dan Bank Dunia untuk memulihkan ekonomi
nasional. Selain itu, pemerintah menjalankan kebijakan privatisasi terhadap
perusahaan negara seperti perbankan, PT. Telkom, PT Pupuk Kaltim, dan industri
semen. Bersamaan dengan itu, masa pasca Orde Baru ditandai oleh perubahan
sistem politik dari sentralisasi menjadi desentralisasi dengan dikeluarkannya UU
No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan oleh
UU No. 32 Tahun 2004. Namun, UU desentralisasi ini memiliki konflik
kewenangan (conflict of norm) dengan UU Kehutanan No. 41/1999. Namun,
karena pemerintah pusat menjadi lemah, maka terjadi penyalahgunaan wewenang
dan korupsi dalam pengelolaan hutan oleh para pejabat publik di daerah. Selain
itu, masyarakat adat yang merasa dirugikan oleh pemerintah Orde Baru menuntut
pengelolaan hutan dikembalikan kepada masyarakat. Konflik masyarakat dengan
pengusaha HPH terjadi di mana-mana. Oleh karena itu, banyak HPH yang
beroperasi di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi,
dan Riau tidak lagi beroperasi. Di sisi lain, depertemen kehutanan juga
memberhentikan operasi HPH karena tidak memperhatikan kelestarian hutan
yang merupakan tanggung jawabnya (Awang 2006, Awang 2005).
Namun, meskipun banyak HPH yang berhenti beroperasi. Pada masa pasca
Orde Baru, tingkat deforestasi justru semakin tinggi. Pengimplementasian
otonomi yang berlebihan oleh pemerintah daerah dalam desentralisasi
pengelolaan kehutanan adalah salah satu penyebab meningkatnya deforestasi
(Awang 2006, Awang 2005).
Akibat dari kebijakan eknomi neo-liberal dan implementasi desentralisasi
pengelolaan sumber daya hutan, pada tahun 1990, 1,8 juta hektar hutan ditebang
setiap tahun. Sejak itu, tingkat deforestasi terus meningkat dari 1,7 persen ke 2
persen setiap tahun. (Siahaan 2007). Namun, laju kerusakan hutan yang tinggi ini
tidak diimbangi dengan pemasukan yang diterima pemerintah. Menurut laporan
Bank Dunia (2006), dalam 10 tahun terakhir, sektor kehutanan hanya
berkontribusi terhadap 3-4 persen GDP. Oleh karena itu, sumber daya hutan di
15
16
orang yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan suatu negara
mengalami kemiskinan karena tidak cukup sumber-sumber alam yang
dimilikinya. Pengelolaan SDA haruslah dilakukan secara bertanggung jawab.
Artinya harus dilakukan secara bijaksana untuk melestarikan persediaan sumber
daya alam tersebut, sehingga generasi sekarang dan mendatang dapat
menikmatinya. Pengelolaan sumber daya alam haruslah sedemikian rupa dengan
pertimbangan ekologis, sehingga sumber daya alam itu selalu dapat ditingkatkan
persediaannya melalui usaha eksplorasi dan eksploitasi, peningkatan efisiensi
proses produksi, peningkatan fungsi serta dengan bantuan teknologi untuk dapat
meningkatkan proses daur ulang.
Menurut Baldwin dan Meier, agar perkembangan ekonomi dapat berjalan
seperti yang diharapkan, ada beberapa syarat yaitu adanya kekuatan dari dalam
masyarakat itu sendiri, adanya mobilitas faktor produksi, akumulasi kapital,
kriteria dan arah investasi yang sesuai dengan kebutuhan, penyerapan kapital dan
stabilitas nilai-nilai serta lembaga-lembaga yang ada. Untuk perkembangan
ekonomi suatu negara antara faktor-faktor ekonomi dan nonekonomi mempunyai
peranan yang seimbang, karena antara keduanya saling ketergantungan dan saling
melengkapi, sebab kemakmuran ekonomi itu hanya sebagian saja dari
kemakmuran sosial. Karena itu mengelolah SDA unuk kepentingan pembangunan
ekonomi nasional harus dengan mepertimbangkan aspek ekologis (Sitiromlah, tt).
Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengelolaan SDA antara
lain adalah: sumber daya alam persediaannya terbatas, lokasi dari sumber daya
alam letaknya jauh dari yang memerlukan, pergeseran para pengguna dari yang
semula memakai sumber daya alam yang renewable menjadi semakin tergantung
pada sumber daya alam yang non renewable, pemanfaatan sumber daya alam
tidak lagi bijaksana dan berpandangan jangka pendek, dan belum adanya
pertimbangan lingkungan. (Sitiromlah, tt).
Kerusakan lingkungan disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk
yang tidak terkontrol dan tidak seimbang dengan peningkatan kualitas atau
17
18
kebutuhan generasi yang akan datang. Demikian besar peranan lingkungan dalam
pembangunan ekonomi sehingga dikhawatirkan pembangunan itu sendiri akan
mengalami stagnasi, karena sumber daya alam sudah tidak ada lagi yang dapat
digali atau karena kondisi sumber daya alamnya sudah demikian buruk, karena
menggebunya pembangunan yang dilaksanakan atau karena pertumbuhan
penduduk yang cepat sehingga tidak terpikirkan pelestarian dari sumber daya
alam itu sendiri. Pembangunan yang berwawasan lingkungan merupakan suatu
usaha untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat/affluent society
dengan memperhatikan dan memelihara sumber daya alam atau planet bumi agar
di kemudian hari tidak terjadi deteriorasi ekologis, soil depletion dan penyusunan
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Lingkungan alam menjadi pemasok sumberdaya alam yang akan diproses
lebih lanjut guna memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan lingkungan sosial
menyediakan sumberdaya manusia sebagai pelaku pembangunan bangsa.
Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara yang memiliki hutan tropis
terluas setelah Brazil dan Republik Kongo (Tolo 2012). Pada tahun 2009, total
luas hutan Indonesia 90,1 juta hektar (Brockhaus et.al 2012: 32). Namun,
keberadan hutan Indonesia terus terancam oleh deforestasi dan degradasi hutan
19
yang disebabkan oleh kebakaran hutan, legal logging dan illegal logging
(Noordwijk et.al 2008, Tolo 2012).
Sejarah mencatat bahwa ekspolitasi lingkungan hutan untuk pembangunan
pengembangan ekonomi bangsa, sudah terjadi jauh sebelum Indonesia merdaka.
Mulai dari jaman kerjaaan-kerajaan Hidu-Budah sampai munculnya kerajaan
islam di tanah Jawa. Eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin intensif pada
masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Pengusaha etnis Tionghoa
juga berperan dalam eksploitasi hutan pada masa VOC. Biasanya sebelum
melakukan ekspoitasi terhadap hutan atas izin raja-raja Jawa yang berkuasa di
wilayah tersebut.
Dalam konteks kekinian pembanguan ekonomi yang berbasis lingkungan
belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Karena itu butuh pemahaman sejarah
dan kesadaran sejarah dalam memahi lingkungan sebagai penjedia sumber
ekonomi, untuk kepentingan pembangunan bangsa ini di masa mendatang.
B. SARAN
Dalam makalah ini penulis menyarangakan sebagia berikut:
1. Bagi pemerintah dalam hal meninkatkan tarap hidup orang banyak, agar
mengelolah lingkungan dan Sumberdaya Alam Indonesia, harus sesuai dengan
peruntunganya, dengan memperhatikan aspek ekolosis.
2. Untuk pihak swasta, terutama perusahan yang mengembangkan produk
barang, baik untuk kepentingan pembangunan ekonomi bangsa ini maupun
untuk kebutuhan hidup individu, mestinya juga memperhatikan aspek
lingkungan. Sistem kapitalisme hutan, yang diprakatekan bangsa Asing di
negara ini harus dihapuskan, sebab tidak sesuai dengan krakter masyakat
Indonesia.
20
DAFTAR PUSTAKA
Awang, San Afri. 2005. Sejarah Pemikiran Pengelolaan Hutan Indonesia, Wacana
edisi 20, Yogyakarta: Insist Press.
_____________ 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan
Perlawanan. Yogyakarta: Debut Press.
Anonim.
2014.
Sistem
Pengolahan
Sampah.
(Online)
https://sites.google.com/site/praswilkel07/ studi-kasus,
diakses
pada
tanggal 24 Maret 2015.
Capra, Fritjof. 1993. Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan. Cet. ke-3, Yogyakarta: Bentang Budaya.
21
22
23