Bab 2 Penalaran
Bab 2 Penalaran
Penalaran
2
Penalaran (Reasoning)
Scientists, being only human, cannot always admit their errors,
even when confronted with strict proof.
(Thomas S. Kuhn, 1970)
Telah disebutkan dalam Bab 1 bahwa pengertian teori akuntansi dalam buku ini
difokuskan pada pengertian teori sebagai suatu penalaran logis untuk menjelaskan bagaimana suatu standar akuntansi diturunkan, dikembangkan, atau dipilih.
Penalaran sangat penting perannya dalam belajar teori akuntansi karena teori
akuntansi menuntut kemampuan penalaran yang memadai. Teori akuntansi
banyak melibatkan proses penilaian kelayakan dan validitas suatu pernyataan dan
argumen. Penalaran memberi keyakinan bahwa suatu pernyataan atau argumen
layak untuk diterima atau ditolak. Penalaran logis merupakan salah satu sarana
untuk memverifikasi validitas suatu teori.
Penalaran merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip berpikir logis
yang menjadi basis dalam diskusi ilmiah. Penalaran juga merupakan suatu ciri
sikap (attitude) ilmiah yang sangat menuntut kesungguhan (commitment) dalam
menemukan kebenaran ilmiah.1 Sikap ilmiah membentengi sikap untuk memecahkan masalah secara serampangan, subjektif, pragmatik, dan emosional. Karena
pentingnya masalah penalaran ini, bab ini membahas secara khusus pengertian
penalaran dan berbagai aspeknya serta aplikasinya dalam akuntansi.
Pengertian
Sebagai titik tolak pembahasan, diajukan pengertian penalaran oleh Nickerson
(1986) sebagai berikut:2
Reasoning encompasses many of the processes we use to form and evaluate
beliefsbeliefs about the world, about people, about the truth or falsity of claims
we encounter or make. It involves the production and evaluation of arguments,
the making of inferences and the drawing of conclusions, the generation and
1
Istilah kebenaran dalam pembahasan di sini tidak dimaksudkan dalam pengertian kebenaran
mutlak (absolute truth) tetapi lebih dalam pengertian kebenaran ilmiah yang dibatasi oleh kemampuan
penalaran manusia. Kebenaran mutlak adalah milik Tuhan. Oleh karena itu, walaupun digunakan istilah kebenaran, kebenaran di sini harus lebih diartikan sebagai validitas. Lihat catatan kaki 16 di Bab 1.
2
Raymond S. Nickerson, Reflections on Reasoning (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates,
Publisher, 1986). Pembahasan di bab ini banyak didasarkan atas buku tersebut.
42
Bab 2
Dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir logis dan sistematis
untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan (belief) terhadap suatu
pernyataan atau asersi (assertion). Pernyataan dapat berupa teori (penjelasan)
tentang suatu fenomena atau realitas alam, ekonomik, politik, atau sosial. Penalaran perlu diajukan dan dijabarkan untuk membentuk, mempertahankan, atau
mengubah keyakinan bahwa sesuatu (misalnya teori, pernyataan, atau penjelasan) adalah benar. Penalaran melibatkan inferensi (inference) yaitu proses penurunan konsekuensi logis dan melibatkan pula proses penarikan simpulan/konklusi
(conclusion) dari serangkaian pernyataan atau asersi. Proses penurunan simpulan
sebagai suatu konsekuensi logis dapat bersifat deduktif maupun induktif. Penalaran mempunyai peran penting dalam pengembangan, penciptaan, pengevaluasian,
dan pengujian suatu teori atau hipotesis.
Teori (pernyataan-pernyataan teoretis) merupakan sarana untuk menyatakan suatu keyakinan sedangkan penalaran merupakan proses untuk mendukung
keyakinan tersebut. Oleh karena itu, keyakinan (terhadap suatu teori atau pernyataan) berkisar antara lemah sampai kuat sekali atau memaksa (compelling)
bergantung pada kualitas atau keefektifan penalaran dalam menimbulkan daya
bujuk atau dukung yang dihasilkan.
43
Penalaran
Proses
Keluaran
Asersi sebagai
elemen
argumen
Argumen
Keyakinan
bahwa asersi
konklusi benar
Asersi
Asersi
Asersi
Asersi
Asersi
inferensi
inferensi
inferensi
Asersi
konklusi
Asersi
Gambar di atas menunjukkan bahwa argumen dalam proses penalaran merupakan salah satu bentuk bukti yang oleh Mautz dan Sharaf (1964) disebut sebagai
argumentasi rasional (rational argumentation).4 Dua jenis bukti yang lain adalah
bukti natural (natural evidence) dan bukti ciptaan (created evidence). Bukti dalam
bentuk argumen rasional akan banyak diperlukan dalam teori akuntansi yang
membahas masalah konseptual khususnya bila akuntansi dipandang sebagai
teknologi dan teori akuntansi diartikan sebagai penalaran logis. Bukti adalah
3
Kata ini digunakan untuk menunjuk kata argumen. Dalam buku ini, kata tia (sebagai padan
kata it dalam bahasa Inggris) kadangkala digunakan sebagai kata ganti penunjuk nomina sebagai
varian kata dia yang digunakan sebagai kata ganti penunjuk orang ketiga. Sebagai objek (pelengkap
penderita) atau untuk menyatakan kata ganti posesif (padan kata its dalam bahasa Inggris), kata nya
sebagai akhiran masih tetap dapat digunakan. Dengan penalaran yang sama, kata meretia akan
digunakan dalam buku ini sebagai padan kata they untuk kata ganti penunjuk benda (nomina) jamak.
4
R. K. Mautz dan Hussein A. Sharaf, The Philosophy of Auditing (Sarasota, FL: American
Accounting Association, 1964), hlm. 68.
44
Bab 2
membentuk,
memelihara,
mengubah
Keyakinan bahwa
pernyataan benar
sebagai bukti
B bukan C
Asersi
Asersi (pernyataan) memuat penegasan tentang sesuatu atau realitas. Pada
umumnya asersi dinyatakan dalam bentuk kalimat. Berikut ini adalah contoh
beberapa asersi (beberapa adalah asersi dalam akuntansi):
Penalaran
45
46
Bab 2
Gambar 2.3
Penyajian Asersi Dengan Diagram
Perusahaan
pencari laba
Perusahaan
pencari laba
BUMN
BUMN
Asersi:
Semua BUMN adalah PPL
Non-BUMN
pencari laba
BUMN
Non-BUMN
pencari laba
BUMN
Non-pencari laba
Non-BUMN direpresentasi dalam Gambar 2.4 kiri dengan area abu-abu. Nonperusahaan pencari laba di Gambar 2.4 kanan (area yang diarsir) meliputi segala
macam unit organisasi yang tidak terbatas pada unit organisasi yang disebut perusahaan atau pencari laba. Jadi, area non-PPL sebenarnya merepresentasi universa
(universe) himpunan yang tak terbatas sehingga areanya tidak dapat dibatasi
menjadi empat persegi panjang seperti di atas. Penggambaran seperti itu sematamata merupakan konvensi untuk merepresentasi suatu universa.
47
Penalaran
BUMN
NPL
BUMN
PL
Representasi asersi dengan diagram bertujuan untuk menjelaskan asersi verbal yang meragukan maksudnya. Asersi verbal berbunyi Beberapa A adalah B
hanya memberitahu bahwa beberapa A adalah B tetapi tidak menunjukkan
hubungan antara himpunan A dan himpunan B secara lengkap. Jadi, tidak diketahui apakah himpunan B termasuk di dalam himpunan A atau tidak (saling-isi).
Gambar 2.6 di halaman berikut menunjukkan cara merepresentasi asersi verbal
Beberapa A adalah B atas dasar informasi tentang hubungan himpunan.
Bila diketahui bahwa terdapat A yang bukan B dan terdapat B yang bukan A,
diagram (1) merupakan representasi yang tepat. Akan tetapi, bila area B yang
bukan A tidak mempunyai anggota (kosong), representasi dalam diagram (2) lebih
tepat. Bila tidak ada informasi tambahan apapun, kedua diagram tersebut dapat
merepresentasi asersi Beberapa A adalah B.5
Dalam bahasa matematika, area yang diarsir pada diagram (1) dalam Gambar
2.6 disebut dengan interseksi (intersection), produk (product), atau konjungsi (conjunction). Kombinasi dua kelas atau himpunan disebut dengan uni (union), tam-
48
Bab 2
bah (sum), atau-inklusif (inclusive or), atau disjungsi (disjunction). Kombinasi dua
himpunan tidak termasuk bagian yang saling-isi disebut dengan atau-eksklusif
(exclusive or) atau disjungsi eksklusif (exclusive disjunction).
Gambar 2.6
A
A
B
B
(1)
(2)
Dalam menyatakan asersi, perlu dibedakan penggunaan kata non dan nir.6
Non (dari kata Inggris non) berarti bukan dan bersifat komplementer. Walaupun
demikian, dalam pemakaiannya kata non lebih bermakna sebagai suatu orientasi
daripada klasifikasi. Sebagai contoh, kata non-profit lebih bermakna tidak
mementingkan profit daripada tidak ada atau tanpa profit. Berbeda dengan non,
nir (dari kata Inggris -less) berarti tanpa dan tidak harus bersifat komplementer
dan juga tidak harus mengklasifikasi. Kata yang tepat menggunakan nir misalnya
sugarless (tanpa gula atau nirgula), useless (tanpa guna atau nirguna), riskless
(tanpa risiko atau nirrisiko), atau scripless (tanpa skrip). Jadi, non-profit jelas berbeda dengan nir-profit. Oleh karena itu, tidak tepat pulalah memadankatakan
non-profit dengan nirlaba.7
Interpretasi Asersi
Untuk menerima kebenaran suatu asersi, harus dipastikan lebih dahulu apa arti
atau maksud asersi. Sangat penting sekali untuk memahami arti asersi untuk
menentukan keyakinan terhadap kebenaran asersi tersebut. Untuk memahami
5
Bila benar bahwa semua A adalah B atau bila A dan B merupakan himpunan yang sama, benar
juga dikatakan bahwa beberapa A adalah B. Dalam hal ini, representasi dalam diagram akan menunjukkan area A ada di dalam area B atau area A berimpitan (saling isi penuh) dengan area B. Bila tidak
ada informasi tersebut, pada umumnya asersi Beberapa A adalah B diartikan sebagaimana direpresentasi dalam diagram (1) atau (2) dalam Gambar 2.6.
6
Dalam tata bahasa, kata-kata semacam ini disebut pro-leksem. Penulisannya di depan dan melekat pada kata yang diwatasi.
7
Istilah nirlaba digunakan oleh Ikatan Akuntan Indonesa (IAI) dalam Standar Akuntansi Keuangan 2002 (PSAK No. 45).
Penalaran
49
maksud asersi, orang juga harus mempunyai pengetahuan tentang subjek atau
topik yang dibahas. Kesalahan interpretasi dapat terjadi karena dua bentuk asersi
yang berbeda dapat berarti dua hal yang sama atau dua hal yang sangat berbeda.
Perhatikan beberapa contoh bentuk asersi berikut:
(1) Semua A adalah B.
(2) Semua B adalah A.
(3) Tidak satu pun A adalah B.
(4) Tidak satu pun B adalah A.
(5) Beberapa A adalah B.
(6) Tidak semua A adalah B.
Asersi (1) jelas berbeda arti dan bentuknya dengan asersi (3). Demikian juga,
asersi (1) jelas berbeda dengan asersi (2). Kesalahan menginterpretasi asersi (1)
sama dengan asersi (2) disebut dengan kesalahan konversi premis (premise conversion error).
Asersi (3) mempunyai makna yang sama dengan asersi (4) karena kalau asersi
yang satu benar, tidak mungkin asersi yang lain salah. Dalam hal ini, asersi yang
satu merupakan implikasi asersi yang lain. Bila asersi (3) benar, dengan sendirinya asersi (4) juga benar.
Dalam percakapan sehari-hari, asersi (5) sering disamakan dengan asersi (6)
dan dapat disaling-tukar penggunaannya. Artinya, dianggap bahwa bila asersi (5)
benar dengan sendirinya asersi (6) juga benar. Interpretasi yang lebih teliti secara
logis dapat menunjukkan perbedaan makna kedua asersi tersebut. Asersi (5)
menegaskan bahwa terdapat beberapa A yang juga B tetapi tidak mementingkan
apakah terdapat beberapa A yang bukan B. Dapat saja beberapa A yang bukan B
tidak ada. Di lain pihak, asersi (6) mengandung penegasan bahwa terdapat beberapa A yang bukan B tetapi tidak mementingkan informasi bahwa terdapat beberapa B yang bukan A. Asersi ini biasanya merupakan penyangkalan terhadap asersi
Semua A adalah B. Kedua asersi dapat berbeda karena kalau asersi (5) benar
tidak dengan sendirinya asersi (6) juga benar. Jadi, makna beberapa dan tidak
semua dapat berarti dua hal yang sama atau berbeda bergantung pada konteks
yang dibahas atau informasi yang tersedia.
Asersi untuk Evaluasi Istilah
Representasi asersi dalam bentuk diagram dapat digunakan untuk mengevaluasi
ketepatan makna suatu istilah. Sebagai contoh, manakah istilah yang tepat antara
bersertifikat akuntan publik (BAP) dan akuntan publik bersertifikat
(APB) sebagai padan kata certified public accountant (CPA).
Bersertifikat akuntan publik bermakna himpunan (set) orang-orang yang bersertifikat dan salah satu subhimpunannya adalah akuntan publik. Sesuai dengan
makna aslinya, akuntan publik bersertifikat bermakna sebagai subhimpunan
akuntan publik dan akuntan publik merupakan subhimpunan akuntan. Diagram
berikut menjelaskan perbedaan makna kedua istilah tersebut.
50
Bab 2
Gambar 2.7
Perbedaan Makna BAP dan APB
Makna Bersertifikat Akuntan Publik
Bersertifikat
Akuntan
Akuntan
Publik
Dukun
Akuntan Publik
Ahli
Pijat
Ahli
Kaca Mata
Akuntan Publik
Bersertifikat
Gambar di atas menunjukkan bahwa penggunaan istilah bersertifikat akuntan publik alih-alih (instead of) akuntan publik bersertifikat merupakan suatu
kesalahan fatal. Kesalahan tersebut disebabkan oleh tidak dipahaminya makna
istilah aslinya, tidak dipahaminya teori himpunan, dan tidak ditaatinya kaidah
diterangkan-menerangkan (DM) dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris menggunakan kaidah menerangkan-diterangkan (MD). Kesalahan paling telak dalam
istilah BAP adalah penyimpangan kaidah DM. Sebagai analogi, blue round table
jelas tidak dapat diterjemahkan menjadi biru meja bundar atau meja biru
bundar karena menyalahi kaidah DM sehingga maknanya menyimpang.
Pada dasarnya, istilah merefleksi suatu asersi. Diagram sebelah kiri mengisyaratkan asersi-asersi antara lain sebagai berikut:8
Semua akuntan publik adalah bersertifikat.
Semua ahli kaca mata adalah bersertifikat.
Yang tidak bersertifikat akuntan publik adalah bersertifikat dukun, ahli
pijat, dan ahli kacamata.
Di lain pihak, diagram sebelah kanan menggambarkan secara tepat makna
yang dimaksud oleh istilah aslinya dalam bentuk asersi-asersi berikut:
8
Bersertifikat dapat dipandang sebagai komplemen himpunan takbersertifikat yang di dalamnya
terdapat subhimpunan akuntan publik, dukun, dan sebagainya. Oleh karena itu, akan didapatkan pula
subhimpunan takbersertifikat akuntan publik. Akan tetapi, untuk menyatakan makna certified
public accountant sebagai pusat perhatian, himpunan takbersertifikat akuntan publik sebagai komplemennya tidak relevan lagi.
Penalaran
51
52
Bab 2
Fungsi Asersi
Telah ditunjukkan dalam Gambar 2.1 bahwa asersi merupakan bahan olah dalam
argumen. Dalam argumen, asersi dapat berfungsi sebagai premis (premise) dan
konklusi (conclusion). Premis adalah asersi yang digunakan untuk mendukung
suatu konklusi. Konklusi adalah asersi yang diturunkan dari serangkaian asersi.
Suatu argumen paling tidak berisi satu premis dan satu konklusi. Karena premis
dan konklusi keduanya merupakan asersi, konklusi (berbentuk asersi) dalam
suatu argumen dapat menjadi premis dalam argumen yang lain.
Ketiga jenis asersi yang dibahas sebelum iniasumsi, hipotesis, pernyataan
faktadapat berfungsi sebagai premis dalam suatu argumen. Dalam hal ini, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa kredibilitas konklusi tidak dapat melebihi
kredibilitas terendah premis-premis yang digunakan untuk menurunkan konklusi. Artinya, kalau konklusi diturunkan dari serangkaian premis yang salah satu
merupakan pernyataan fakta dan yang lain asumsi, konklusi tidak dapat dipandang sebagai pernyataan fakta. Dengan kata lain, keyakinan terhadap konklusi
dibatasi oleh keyakinan terhadap premis.
Keyakinan
Keyakinan terhadap asersi adalah tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa
asersi tersebut benar. Keyakinan diperoleh karena kepercayaan (confidence) tentang kebenaran yang dilekatkan pada suatu asersi. Suatu asersi dapat dipercaya
karena adanya bukti yang kuat untuk menerimanya sebagai hal yang benar.
Orang dikatakan yakin terhadap suatu asersi bila dia menunjukkan perbuatan,
sikap, dan pandangan seolah-olah asersi tersebut benar karena dia percaya bahwa
asersi tersebut benar.10 Kepercayaan diberikan kepada suatu asersi biasanya setelah dilakukan evaluasi terhadap asersi atas dasar argumen yang digunakan untuk
menurunkan asersi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keyakinan merupakan produk, hasil, atau tujuan suatu penalaran. Berbagai faktor mempengaruhi
tingkat keyakinan seseorang atas suatu asersi. Karakteristik (sifat) asersi menentukan mudah-tidaknya keyakinan seseorang dapat diubah melalui penalaran.
Properitas Keyakinan
Semua penalaran bertujuan untuk menghasilkan keyakinan terhadap asersi yang
menjadi konklusi penalaran. Pemahaman terhadap beberapa properitas (sifat)
keyakinan sangat penting dalam mencapai keberhasilan berargumen. Argumen
10
Istilah keyakinan sering digunakan sebagai padan kata belief dan confidence. Istilah confidence
sering diterjemahkan menjadi keyakinan atau kepercayaan. Dalam buku ini, keyakinan digunakan
untuk padan kata belief yang dibedakan dengan kepercayaan yang digunakan untuk padan kata confidence. Keyakinan adalah hal yang diperoleh dan dianut dari asersi sedangkan kepercayaan adalah hal
yang diberikan kepada asersi. Dari segi subjek (pemegang keyakinan), keyakinan arahnya masuk
sedangkan kepercayaan arahnya keluar. Orang menjadi yakin akan sesuatu karena dia percaya pada
sesuatu tersebut. Tidak ada keyakinan tanpa adanya kepercayaan; keduanya tidak dapat dipisahkan.
Penalaran
53
54
Bab 2
Penalaran
55
Argumen
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah argumen sering digunakan secara keliru
untuk menunjuk ketidaksepakatan, perselisihan pendapat (dispute), atau bahkan
pertengkaran mulut (Jawa: padu). Dalam pengertian ini, argumen mempunyai
konotasi negatif. Orang yang suka bertengkar dan ingin menangnya sendiri akan
menikmati dan memburunya tetapi orang yang ingin mencari solusi atau alternatif pemecahan masalah yang terbaik akan menghindarinya. Dalam arti positif,
argumen dapat disamakan dengan penalaran logis untuk menjelaskan atau mengajukan bukti rasional tentang suatu asersi. Bila seseorang mengajukan alasan
untuk mendukung suatu gagasan atau pandangan, dia biasanya menawarkan
suatu argumen. Argumen dalam arti positif selalu dijumpai dalam bacaan, percakapan, dan dalam diskusi ilmiah. Argumen merupakan bagian penting dalam
pengembangan pengetahuan. Agar memberi keyakinan, argumen harus dievaluasi
kelayakan atau validitasnya.
Gambar 2.1 dan 2.2 menunjukkan arti argumen sebagai proses dan sebagai
suatu bukti tentang keyakinan. Pengertian argumen seperti itu didasarkan atas
definisi yang diajukan Nickerson (1986) sebagai berikut:
56
Bab 2
Anatomi Argumen
Dari definisi di atas dan Gambar 2.1 dapat dikatakan bahwa argumen terdiri atas
serangkaian asersi. Asersi berkaitan dengan yang lain dalam bentuk inferensi
atau penyimpulan. Asersi dapat berfungsi sebagai premis atau konklusi (atau
asersi kunci) yang merupakan komponen argumen. Berikut ini adalah beberapa
contoh argumen (beberapa merupakan argumen dalam akuntansi):
Merokok adalah penyebab kanker karena kebanyakan penderita
kanker adalah perokok.
Jika suatu binatang menyusui, maka binatang tersebut mempunyai
paru-paru karena semua binatang menyusui mempunyai paru-paru.
Kreditor adalah pihak yang dituju oleh pelaporan keuangan sehingga
statemen keuangan harus memuat informasi tentang kemampuan
membayar utang.
Karena akuntansi menekankan substansi daripada bentuk, statemen
keuangan beberapa perusahaan yang secara yuridis terpisah tetapi
secara ekonomik merupakan satu perusahaan harus dikonsolidasi.
Karena akuntansi menganut kesatuan usaha ekonomik, beberapa
perusahaan yang secara yuridis terpisah harus dianggap sebagai satu
kesatuan ekonomik kalau perusahaan-perusahaan tersebut ada di
bawah satu kendali. Oleh karena itu, laporan konsolidasian harus
disusun oleh perusahaan pengendali.
Sebagai suatu argumen, asersi yang satu harus mendukung asersi yang lain
yang menjadi konklusi. Kata-kata dengan huruf miring di atas merupakan kata
indikator argumen yang dapat digunakan untuk menunjuk mana premis dan
mana konklusi. Daftar di bagian atas halaman berikut ini memuat beberapa kata
yang biasanya menjadi indikator suatu argumen.13
Dalam suatu kalimat argumen, kata-kata dalam daftar tersebut secara umum
mengisyaratkan suatu makna dengan alasan bahwa. Di samping kata-kata di
atas, beberapa kata kerja (verba) dapat menjadi indikator argumen seperti:
menunjukkan bahwa, membuktikan bahwa, menegaskan bahwa, berimplikasi
bahwa, mengakibatkan bahwa, mempunyai konsekuensi bahwa, menjadi landasan
berpikir bahwa, dan semacamnya.
13
Dalam tata bahasa Indonesia, kata-kata tersebut berfungsi sebagai kata penghubung kalimat
majemuk (setara atau bertingkat) atau kata pengait kalimat dalam paragraf. Lihat kaidah penempatan
dan penggunaan kata-kata tersebut dalam kalimat atau paragraf dalam buku tata bahasa Indonesia.
57
Penalaran
Indikator konklusi
Indikator premis
Inggris
Indonesia
Inggris
Indonesia
so
thus
therefore
hence
be concluded that
consequently
since
for
because
assuming that
for the reason that
oleh karena
karena, mengingat
karena
dengan asumsi bahwa
dengan alasan bahwa
Premis (1)
Premis (2)
Konklusi:
14
Walaupun Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) menganjurkan untuk menulis
kata anda dengan huruf kapital, tia ditulis dengan huruf kecil dalam contoh ini (kecuali pada awal
kalimat) karena tia dianggap padan kata you dalam bahasa Inggris. Seperti you, kata anda merupakan
kata ganti orang kedua dan bukan kata sebutan seperti Bapak, Ibu, atau Saudara. Ciri kata sebutan
adalah tia dapat diikuti nama orang. Bila tidak, tia merupakan kata ganti. Sebagai kata ganti, kata
anda merupakan kata yang netral serta bebas gender dan kelas masyarakat sehingga sangat dianjurkan agar tia digunakan dalam pergaulan akademik dan ilmiah yang menghendaki kenetralan.
58
Interpretasi 2:
Interpretasi 3:
Bab 2
Premis (1)
Premis (2)
Konklusi:
Premis (1)
Premis (2)
Konklusi:
Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.
Pada interpretasi 1, jelas dapat dirasakan bahwa asersi Anda harus datang ke
seminar itu paling tepat didukung dalam argumen daripada dua asersi yang lain.
Interpretasi 1 adalah yang terbaik (paling valid) dibanding interpretasi yang lain
karena bila semua premis benar, maka konklusi juga benar (yang merupakan
salah satu syarat validitas argumen). Dalam hal ini, premis (1) menyatakan bahwa
bila anda memenuhi kondisi tertentu (berjanji) maka anda mempunyai kewajiban
(menepati janji). Premis (2) menegaskan bahwa anda memenuhi kondisi berjanji
(akan datang ke seminar). Kalau kedua premis benar, maka konklusi (Anda
seharusnya datang ke seminar) harus benar. Dengan demikian dapat dikatakan
konklusi mengikuti atau diturunkan secara logis dari (follow from) premis. Atas
dasar prinsip interpretasi terdukung dan syarat validitas argumen, interpretasi 2
dan 3 dapat dianalisis bahwa keduanya kurang valid dibanding interpretasi 1.
Jenis Argumen
Berbagai karakteristik dapat digunakan sebagai basis untuk mengklasifikasi argumen. Misalnya argumen dibedakan menjadi argumen langsung dan taklangsung,
formal dan informal, serta meragukan dan meyakinkan. Klasifikasi yang ditinjau
dari bagaimana penalaran (reasoning) diterapkan untuk menurunkan konklusi
merupakan klasifikasi yang sangat penting dalam pembahasan buku ini. Dalam
hal ini, argumen dapat diklasifikasi menjadi argumen deduktif dan induktif.15
Contoh argumen yang diberikan dalam interpretasi 1, 2, dan 3 di atas sebenarnya
merupakan contoh argumen deduktif. Salah satu jenis argumen yang lain adalah
argumen dengan analogi (argument by analogy). Berikut ini dibahas berbagai jenis
argumen tersebut.
15
Karena argumen selalu melibatkan penalaran, argumen itu sendiri sering disebut dengan
penalaran. Oleh karena itu, argumen deduktif atau induktif sering disebut juga penalaran deduktif
atau induktif (deductive or inductive reasoning). Penalaran induktif sebenarnya hanyalah merupakan
salah satu jenis penalaran nondeduktif. Termasuk dalam penalaran nondeduktif adalah penalaran
dengan analogi, generalisasi empiris, dan generalisasi kausal. Lihat pembahasan lebih lanjut dalam
Cederblom dan Paulsen (1986), hlm. 171-205.
59
Penalaran
Argumen Deduktif
Telah disebutkan bahwa argumen atau penalaran deduktif adalah proses penyimpulan yang berawal dari suatu pernyataan umum yang disepakati (premis) ke
pernyataan khusus sebagai simpulan (konklusi). Argumen deduktif disebut juga
argumen logis (logical argument) sebagai pasangan argumen ada benarnya (plausible argument). Argumen logis adalah argumen yang asersi konklusinya tersirat
(implied) atau dapat diturunkan/dideduksi dari (deduced from) asersi-asersi lain
(premis-premis) yang diajukan. Disebut argumen logis karena kalau premispremisnya benar konklusinya harus benar (valid). Kebenaran konklusi tidak selalu berarti bahwa konklusi merefleksi realitas (truth). Hal inilah yang membedakan
argumen sebagai bukti rasional dan bukti fisis/langsung/empiris berupa fakta.16
Salah satu bentuk penalaran deduktif adalah suatu penalaran yang disebut
silogisma. Silogisma terdiri atas tiga komponen yaitu premis major (major
premise), premis minor (minor premise), dan konklusi (conclusion). Dalam silogisma, konklusi diturunkan dari premis yang diajukan seperti contoh berikut:
Premis major:
Premis minor:
Konklusi:
Semua binatang menyusui dalam contoh di atas disebut anteseden (antecedent) sedangkan mempunyai paru-paru merupakan konsekuen (consequent).
Dalam silogisma, konklusi akan benar bila kedua premis benar dan premis minor
menegaskan anteseden (disebut pola modus ponens) atau premis minor
menyangkal konsekuen (disebut pola modus tollens). Konklusi di atas benar karena kucing binatang menyusui menegaskan semua binatang menyusui sebagai
anteseden. Jadi, konklusi mengikuti kedua premis secara logis. Walaupun kedua
premis benar, konklusi dapat saja salah sebagaimana contoh di bawah ini:
Premis major:
Premis minor:
Konklusi:
60
Bab 2
bahwa semua burung bertelur tetapi tidak berarti bahwa binatang lain tidak ada
yang bertelur. Konklusi akan benar kalau premis minor menyangkal konsekuen
dan silogisma di atas dimodifikasi seperti berikut:
Premis major:
Premis minor:
Konklusi:
Penalaran deduktif berlangsung dalam tiga tahap yaitu: (1) penentuan pernyataan umum (premis major) yang menjadi basis penalaran, (2) penerapan konsep umum ke dalam situasi khusus yang dihadapi (proses deduksi), (3) penarikan
simpulan secara logis yang berlaku untuk situasi khusus tersebut. Penalaran
deduktif lebih dari sekadar silogisma karena penalaran deduktif dan unsurunsurnya (asersi-asersi) akan membentuk argumen untuk mengubah suatu
keyakinan. Misalnya, keyakinan bahwa penilaian aset atas dasar kos sekarang
lebih relevan daripada kos historis. Contoh lain adalah keyakinan bahwa istilah
biaya lebih tepat daripada beban sebagai padan kata expense.
Penalaran deduktif dalam akuntansi digunakan untuk memberi keyakinan
tentang simpulan-simpulan yang diturunkan dari premis yang dianut. Dalam teori
akuntansi, premis major sering disebut sebagai postulat (postulate). Sebagai
penalaran logis, argumen-argumen yang dihasilkan dengan pendekatan deduktif
dalam akuntansi akan membentuk teori akuntansi. Gambar 2.8 di halaman
berikut ini menunjukkan salah satu contoh penalaran deduktif dalam akuntansi.
Dalam gambar tersebut, premis 1 merupakan premis major yang berfungsi
sebagai postulat dalam penalaran logis akuntansi. Semua premis dan konklusi
berbentuk suatu pernyataan atau penegasan yang semuanya merupakan asersi.
Dalam akuntansi, premis major dapat berasal dari konklusi penalaran deduktif. Penalaran deduktif untuk suatu masalah menghasilkan argumen untuk
masalah tersebut. Oleh karena itu, penalaran dalam akuntansi dapat menjadi panjang dan terdiri atas beberapa argumen. Apakah suatu argumen cukup meyakinkan? Dengan kata lain, bersediakah orang menerima kebenaran konklusi. Untuk
menjawab ini, perlu dinilai apakah struktur penalaran logis dan premis-premisnya
dapat diterima (dapat dipercaya sebagai benar).
Evaluasi Penalaran Deduktif
Tujuan utama mengevaluasi argumen adalah untuk menentukan apakah konklusi
argumen benar dan meyakinkan. Untuk menilai suatu argumen deduktif (logis),
Nickerson (1986) mengajukan empat pertanyaan yang harus dijawab, yaitu:
(1) Apakah tia lengkap?
(2) Apakah artinya jelas?
(3) Apakah tia valid? (Apakah konklusi mengikuti premis?)
(4) Apakah premis dapat dipercaya (diterima)?
61
Penalaran
Gambar 2.8
Penalaran Deduktif Dalam Akuntansi
Premis 1
Premis 2
Premis 3
Premis 4
Kemampuan perusahaan membayar utang dapat ditunjukkan dengan informasi tentang likuiditas, solvensi, dan
profitabilitas melalui statemen keuangan.
Konklusi
Laporan keuangan harus memuat elemen: aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, biaya, rugi, untung, investasi
pemilik, distribusi ke pemilik, dan laba.
Argumen sebagai
hasil penalaran
deduktif
62
Bab 2
nya dalam karya tulis. Arti penting kemampuan berbahasa dan kaitannya dengan
argumen untuk tujuan ilmiah dinyatakan Suriasumantri (1999) seperti berikut:17
Kemampuan berbahasa yang baik dan benar merupakan persyaratan mutlak untuk melakukan kegiatan ilmiah sebab bahasa merupakan sarana komunikasi ilmiah yang pokok. Tanpa penguasaan tata bahasa dan kosa kata yang
baik akan sukar bagi seorang ilmuwan untuk mengkomunikasikan gagasannya
kepada pihak lain. Dengan bahasa selaku alat komunikasi, kita bukan saja
menyampaikan informasi tetapi juga argumentasi, di mana kejelasan kosa
kata dan logika tata bahasa merupakan persyaratan utama (hlm. 14).
Benar
Premis
Takbenar
Benar
Takbenar
Harus/pasti
(Konklusi harus benar
kalau premis benar)
Tidak mungkin
(Konklusi tidak
mungkin takbenar
kalau premis benar)
Mungkin
(Konklusi mungkin
benar meskipun
premis takbenar)
Mungkin
(Konklusi mungkin
takbenar bila premis
takbenar)
17
Jujun S. Suriasumantri, Hakikat Dasar Keilmuan, dalam M. Thoyibi (editor), Filsafat Ilmu
dan Perkembangannya (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999). Penebalan kata argumentasi oleh penulis. Kata di mana seharusnya diganti dengan yang di dalamnya.
18
Kata takbenar digunakan sebagai padan kata false. Falsity dipadankan dengan ketakbenaran.
63
Penalaran
64
Bab 2
Argumen Induktif
Penalaran ini berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan berakhir dengan pernyataan umum yang merupakan generalisasi dari keadaan khusus
tersebut. Berbeda dengan argumen deduktif yang merupakan argumen logis (logical argument), argumen induktif lebih bersifat sebagai argumen ada benarnya
(plausible argument). Dalam argumen logis, konklusi merupakan implikasi dari
premis. Dalam argumen ada benarnya (plausible), konklusi merupakan generalisasi dari premis sehingga tujuan argumen adalah untuk meyakinkan bahwa probabilitas atau kebolehjadian (likelihood) kebenaran konklusi cukup tinggi atau
sebaliknya, ketakbenaran konklusi cukup rendah kebolehjadiannya (unlikely).
Berikut ini adalah contoh struktur suatu penalaran induktif:
Contoh 1:
Premis
Premis
Konklusi:
Contoh 2:
Premis
Konklusi:
65
Penalaran
Argumen Deduktif
Argumen Induktif
Premis (1):
Premis (1):
Premis (2):
Premis (2):
Konklusi:
(boleh jadi)
Konklusi:
(pasti)
Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam argumen deduktif bila semua premis benar maka konklusi pasti atau harus benar. Akan tetapi, dalam argumen
induktif, konklusi tidak selalu benar meskipun kedua premis benar. Perbedaan
tersebut menjadi dasar untuk menilai perbedaan keefektifan atau keberhasilan
kedua jenis argumen. Argumen deduktif dengan premis benar dapat dikatakan
berhasil jika kebenaran premis menjadikan konklusi tidak mungkin (impossible)
takbenar. Di lain pihak, argumen induktif dengan premis benar dapat dikatakan
berhasil jika kebenaran premis menjadikan konklusi kecil kemungkinan atau kecil
kebolehjadian takbenarnya. Karena ada kebolehjadian takbenar, asersi ilmiah
yang bersandar pada penalaran induktif diperlakukan sebagai hipotesis bukan
pernyataan fakta.
Argumen dengan Analogi
Argumen induktif sebenarnya merupakan salah satu jenis penalaran nondeduktif.
Salah satu penalaran nondeduktif lainnya adalah argumen dengan analogi (argument by analogy). Penalaran dengan analogi adalah penalaran yang menurunkan
konklusi atas dasar kesamaan atau kemiripan (likeness) karakteristik, pola, fungsi, atau hubungan unsur (sistem) suatu objek yang disebutkan dalam suatu asersi.
Analogi bukan merupakan suatu bentuk pembuktian tetapi merupakan suatu
sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi mempunyai kebolehjadian
untuk benar. Dengan kata lain, bila premis benar, konklusi atas dasar analogi
belum tentu benar. Struktur argumen ini digambarkan sebagai berikut:
Premis (1)
Premis (2)
Konklusi:
66
Bab 2
Premis (2)
Konklusi:
Dalam contoh di atas, hubungan kemiripan negara dan kapal dapat diinterpretasi bahwa keduanya sama-sama merupakan suatu wilayah (teritori) yang di
dalamnya hidup sekelompok warga yang menyerahkan sebagian kedaulatannya
kepada seorang pemimpin. Penalar dapat juga menginterpretasi bahwa kemiripan
tersebut berkaitan dengan pemerintahan atau manajemen. Karena kemiripan
tersebut, disimpulkan bahwa kekuasaan (karakteristik, fungsi, atau sistem pemerintahan) presiden sama dengan kekuasaan nahkoda. Kesamaan kekuasaan merupakan argumen untuk mendukung konklusi bahwa presiden dapat mengeluarkan
undang-undang darurat dalam situasi krisis.
Walaupun analogi banyak digunakan dalam argumen, argumen semacam ini
banyak mengandung kelemahan. Perbedaan-perbedaan penting yang mempengaruhi (melemahkan) konklusi sering tersembunyi atau disembunyikan. Perbedaan sering lebih dominan daripada kemiripan. Dalam analogi nahkoda misalnya,
warga dalam kapal jumlahnya lebih kecil dan tidak terdapat lembaga perwakilan
seperti dalam negara. Karena bukan merupakan pembuktian, analogi sering
disalahgunakan untuk pembuktian sebagai cara untuk mengecoh orang.
Argumen Sebab-Akibat
Menyatakan konklusi sebagai akibat dari asersi tertentu merupakan salah satu
bentuk argumen yang disebut argumen dengan penyebaban (argument by causation) atau generalisasi kausal (causal generalization). Hubungan penyebaban
biasanya dinyatakan dalam struktur X menghasilkan Y atau X memaksa Y terjadi atau X menyebabkan Y terjadi atau Y terjadi akibat X atau Y berubah
karena X berubah. Akan tetapi, pernyataan tersebut sebenarnya hanyalah cara
memverbalkan bahwa A bervariasi atau berasosiasi dengan B tetapi tidak menunjukkan bahwa apa yang sebenarnya terjadi merupakan hubungan kausal.
Untuk dapat menyatakan adanya hubungan kausal perlu diadakan pengujian
tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kaidah untuk menguji adanya hubungan
kausal adalah apa yang disebut kaidah kecocokan (method of agreement), kaidah
kecocokan negatif (negative canon of agreement) dan kaidah perbedaan (method of
Penalaran
67
difference) yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (sehingga seluruh kaidah
disebut dengan kaidah Mill).20
Kaidah kecocokan menyatakan bahwa jika dua kasus (atau lebih) dalam suatu
fenomena mempunyai satu dan hanya satu kondisi atau faktor yang sama (C),
maka kondisi tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya gejala (Z).
Kaidah kecocokan negatif menyatakan bahwa jika tiadanya suatu faktor (C)
berkaitan dengan tiadanya gejala (Z), maka ada bukti bahwa hubungan faktor dan
gejala tersebut bersifat kausal.
Kaidah perbedaan menyatakan bahwa jika terdapat dua kasus atau lebih
dalam suatu fenomena, dan dalam salah satu kasus suatu gejala (Z) muncul
sementara dalam kasus lainnya gejala tersebut (Z) tidak muncul; dan jika faktor
tertentu (C) terjadi ketika gejala tersebut (Z) muncul, dan faktor tersebut (C) tidak
terjadi ketika gejala tersebut (Z) tidak muncul; maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan kausal antara faktor (C) dan gejala (Z) tersebut.
Dalam argumen, kasus-kasus dalam ketiga kaidah di atas dapat diperlakukan
sebagai premis. Kaidah ketiga sebenarnya merupakan gabungan antara kaidah
pertama dan kedua. Kaidah Mill didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada faktor
lain (selain C) yang mempengaruhi gejala Z. Kaidah Mill digunakan untuk
meyakinkan apakah hubungan dua faktor bersifat korelasional atau kausal. Kaidah Mill ini didiagramkan dalam Gambar 2.10 di halaman berikut.
Kriteria Penyebaban
Kaidah perbedaan Mill sebenarnya merupakan suatu rancangan untuk menguji
secara ekperimental apakah memang terdapat hubungan kausal. Akan tetapi,
kaidah tersebut belum dapat sepenuhnya meyakinkan karena mungkin ada faktor
lain (selain C) yang menyebabkan gejala Z terjadi. Oleh karena itu, untuk menguji
dan menyatakan bahwa suatu faktor atau variabel (C) menyebabkan suatu gejala
atau variabel lain (Z) terjadi, tiga kriteria berikut harus dipenuhi:
(1) C dan Z bervariasi bersama. Bila C berubah, Z juga berubah.
(2) Perubahan C terjadi sebelum atau mendahului perubahan Z terjadi.
(3) Tidak ada faktor lain selain C yang mempengaruhi perubahan Z.
Kriteria (1) harus dipenuhi karena hubungan sebab-akibat hanya terjadi jika
ada perubahan baik faktor sebab maupun faktor akibat. Bila salah satu faktor
berubah sementara yang lain tetap, maka jelas bahwa kedua faktor tersebut tidak
berhubungan sama sekali. Perubahan di sini harus diartikan secara luas sebagai
perbedaan keadaan (status/klasifikasi/gejala) atau nilai (skor/peringkat). Misalnya
keadaan kena kanker dan tidak kena kanker, merokok dan tidak merokok, diberi
obat dan tidak diberi obat, muncul dan tidak muncul, serta sembuh dan tidak sembuh merupakan suatu perbedaan keadaan yang menggambarkan perubahan.
Demikian juga, perbedaan skor hasil pengukuran dua kasus atau lebih menunjuk20
68
Bab 2
kan adanya perubahan. Misalnya perbedaan skor rata-rata tes potensi akademik
(TPA) sebelum dan sesudah mengikuti kursus, perbedaan tingkat kecerdasan yang
diukur pada waktu yang berbeda, perbedaan kinerja sekelompok karyawan yang
diukur pada waktu yang berbeda atau, dan perbedaan kinerja dua kelompok setelah adanya suatu percobaan merupakan indikasi adanya perubahan.
Gambar 2.10
Kaidah Penyebaban Mill
Kaidah Kecocokan
Faktor Penjelas
Gejala
Kasus 1
Kasus 2
Kasus 3
Konklusi
menyebabkan
Kaidah Perbedaan
Faktor Penjelas
Gejala
Kasus 1
Kasus 2
-Z
Konklusi
menyebabkan
(Tak ada Z)
Penalaran
69
70
Bab 2
menjadi suatu variabel yang dapat diamati dalam dunia nyata sehingga konsep
abstrak dapat diukur. Dalam contoh ini, aset (dapat juga penjualan) dijadikan definisi operasional (proksi) ukuran perusahaan sedangkan banyaknya butir pengungkapan yang tidak diatur oleh standar akuntansi merupakan definisi
pengungkapan sukarela. Dalam pengujian statistis, hubungan teoretis antarvariabel sering dinyatakan dalam bentuk hipotesis.22
Gambar 2.11
Contoh Penalaran Induktif dalam Akuntansi
Tataran abstrak
Rerangka/landasan
teoretis
Hubungan teoretis
Konsep:
Ukuran perusahaan
Tataran empiris
Proposisi
Definisi operasional
Variabel X:
Hipotesis
Aset
Pengukuran
sampel
Sampel
Konsep:
Tingkat pengungkapan
sukarela
Variabel Y:
Banyaknya pengungkapan yang tidak diwajibkan oleh standar.
Generalisasi
sebagai
penalaran
induktif
Pengukuran
sampel
71
Penalaran
antara variabel diuji dengan alat statistis tertentu (misalnya regresi). Bila
pengujian secara statistis menunjukkan bahwa hubungan antara variabel secara
statistis signifikan, berarti ada keyakinan tinggi (misalnya tingkat keyakinan
95%) bahwa teori yang diajukan didukung secara empiris sehingga dapat dilakukan generalisasi. Dari contoh di atas, generalisasi secara formal dapat dinyatakan
dalam penalaran induktif sebagaimana tampak pada argumen di bawah ini.
Premis:
Konklusi:
Kecohan (Fallacy)
Dalam kehidupan sehari-hari (baik akademik maupun nonakademik), acapkali
dijumpai bahwa argumen yang jelek, lemah, tidak sehat, atau bahkan tidak masuk
akal ternyata mampu meyakinkan banyak orang sehingga mereka terbujuk oleh
argumen tersebut padahal seharusnya tidak. Bila hal ini terjadi, akan banyak
praktik, perbuatan, atau tindakan dalam masyarakat yang dilandasi oleh teori
atau alasan yang tidak sehat. Akibatnya praktik itu sendiri menjadi tidak sehat.
Cederblom dan Paulsen (1986) membahas hal ini dengan mengajukan pertanyaan:
Why are bad arguments sometimes convincing? Pertanyaan tentang adanya
kecohan penalaran dalam akuntansi misalnya adalah Mengapa istilah yang salah
banyak dipakai orang?
Telah dibahas sebelumnya bahwa keyakinan mempunyai beberapa sifat yang
menjadikan perubahan atau pemertahanan keyakinan tidak semata-mata dilandasi oleh validitas dan kekuatan argumen tetapi juga oleh faktor manusia. Dalam
72
Bab 2
kasus tertentu (bahkan dalam konteks ilmiah atau akademik), manusia lebih terbujuk atau terkecoh oleh emosi atau kepentingan pribadi daripada logika. Dengan
kata lain, keyakinan tidak selalu diperoleh melalui argumen logis atau akal sehat.
Apapun faktor yang menyebabkan, bila terdapat suatu asersi yang nyatanya membujuk dan dianut banyak orang padahal seharusnya tidak lantaran argumen yang
diajukan mengandung cacat (faulty), maka pasti terjadi kesalahan yang disebut
kecohan atau salah nalar (fallacy). Cederblom dan Paulsen (1986) mendefinisi
pengertian kecohan sebagai berikut:
A fallacy is a kind of argument or appeal that tends to persuade us, even though
it is faulty. ... Fallacies are arguments that tend to persuade but should not persuade (hlm. 102).
Kita harus mengenal berbagai kecohan agar kita waspada bahwa hal semacam
itu memang ada sehingga kita tidak terkecoh atau mengecoh orang lain secara tak
sengaja. Orang dapat terkecoh oleh dirinya sendiri sehingga dia berpikir bahwa
dia mengajukan argumen yang valid padahal sebenarnya tidak valid. Sebaliknya,
orang dapat mengecoh orang lain dengan sengaja semata-mata karena ingin
memaksakan kehendak atau ingin menangnya sendiri sehingga dia akan menggunakan segala taktik untuk meyakinkan orang lain tentang keyakinan atau
pendapatnya dengan menyampingkan masalah pokok atau menyembunyikan
argumen yang valid. Oleh karena itu, perlu dibedakan kecohan lantaran taktik
atau akal bulus (yang oleh Nickerson disebut dengan stratagem) dan kecohan lantaran salah logika atau nalar dalam argumen (reasoning fallacy).23 Ciri yang membedakan keduanya adalah maksud atau niat (intention) untuk berargumen.
Stratagem
Stratagem adalah pendekatan atau cara-cara untuk mempengaruhi keyakinan
orang dengan cara selain mengajukan argumen yang valid atau masuk akal (reasonable argument). Stratagem merupakan salah satu bentuk argumen karena
merupakan upaya untuk menyakinkan seseorang agar dia percaya atau bersedia
mengerjakan sesuatu. Berbeda dengan argumen yang valid, stratagem biasanya
digunakan untuk membela pendapat yang sebenarnya keliru atau lemah dan tidak
dapat dipertahankan secara logis. Karenanya, stratagem dapat mengandung kebohongan (deceit) dan muslihat (trick). Biasanya, stratagem digunakan dengan niat
semata-mata untuk memaksakan kehendak, membujuk orang agar meyakini
sesuatu, menjadikan hal yang tidak baik/benar kelihatan baik/benar, atau menjatuhkan lawan bicara dalam debat atau perselisihan. Stratagem dapat melibatkan
salah nalar walaupun tidak harus selalu demikian. Artinya, argumen yang logis
tidak selalu dapat membujuk. Oleh karena itu, keyakinan kadang-kadang dianut
bukan karena kekuatan argumen semata-mata tetapi juga karena stratagem.
23
Pengertian kecohan yang diajukan oleh Cederblom dan Paulsen meliputi pula stratagem sedangkan istilah kecohan oleh Nickerson dibatasi pada pengertian sebagai salah nalar. Stratagem juga sering
disebut sebagai argumen informal sementara penalaran logis disebut sebagai argumen formal.
Penalaran
73
Stratagem banyak dijumpai dalam arena politik walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa hal tersebut dijumpai dalam diskusi ilmiah. Pakar atau ilmuwan
kadang kala lebih menunjukkan stratagem daripada argumen yang valid. Berikut
ini dibahas beberapa stratagem yang sering dijumpai dalam diskusi atau perdebatan baik politis maupun akademik.
Persuasi Taklangsung
Persuasi taklangsung merupakan stratagem untuk menyakinkan seseorang akan
kebenaran suatu pernyataan bukan langsung melalui argumen atau penalaran
melainkan melalui cara-cara yang sama sekali tidak berkaitan dengan validitas
argumen. Contoh persuasi taklangsung banyak dijumpai dalam periklanan (advertising). Untuk membujuk agar orang mau membeli produk, orang tidak disuguhi
argumen tentang mengapa produk tersebut berkualitas melainkan ditunjuki
pemandangan bahwa seorang selebritis menggunakan produk tersebut. Harapannya adalah orang yang tidak menggunakan produk akan merasa bahwa dia tidak
termasuk dalam golongan yang bergaya hidup selebritis.
Orang yang rasional tentunya tidak mudah terbujuk oleh stratagem tersebut.
Akan tetapi, teknik-teknik persuasi sudah canggih dan halus sehingga orang yang
rasional pun masih terkecoh secara emosional.
Membidik Orangnya
Stratagem ini digunakan untuk melemahkan atau menjatuhkan suatu posisi atau
pernyataan dengan cara menghubungan pernyataan atau argumen yang diajukan
seseorang dengan pribadi orang tersebut.24 Alih-alih mengajukan kontra-argumen
(counter-argument) yang lebih valid, pembicara mengajukan kejelekan atau sifat
yang kurang menguntungkan dari lawan berargumen. Jadi, yang dilawan orangnya bukan argumennya. Dengan cara ini diharapkan bahwa daya bujuk argumen
akan menjadi turun atau jatuh. Taktik ini sering disebut argumentum ad hominem. Berikut ini adalah beberapa contoh stratagem ini.
Dia tidak mungkin menjadi pemimpin yang andal karena dia bekas
militer (atau tahanan politik yang pernah dihukum).
Praktisi akuntansi yang tidak mengikuti standar akuntansi seperti apa
adanya adalah orang yang tidak loyal dan tidak profesional.
Jangan menggunakan istilah tersebut karena yang mengusulkan orang
Yogya. (Saya tidak setuju istilah itu karena itu istilah Yogya.)
Program tersebut tidak valid didukung karena yang mengajukan
adalah partai politik A.
Kurikulum ini harus diganti total karena yang mengembangkan adalah
pengelola lama (rezim orde baru).
24
Posisi yang dimaksud di sini adalah posisi setuju (mendukung) atau tidak sejutu (menolak) terhadap suatu gagasan, ide, usul, konsep, atau kebijakan.
74
Bab 2
Penalaran
75
dengan baik. Kemudian dia datang ke dosennya, setelah tahu nilainya jelek, untuk
memprotes dan berargumen bahwa itulah yang dipahami tentang pertanyaan
ujian (meskipun dia tahu benar maksud sebenarnya pertanyaan).
Penyampingan masalah pokok sering disebut dengan taktik red herring dalam
perdebatan politik untuk menutupi atau menghindari kekalahan dalam argumen.
Red herring adalah praktik dalam perburuan untuk menghalangi anjing pelacak
membaui sasaran dengan cara memasang ikan herring melintang pada jalan setapak atau jejak (trail).
Misrepresentasi
Stratagem ini digunakan biasanya untuk menyanggah atau menjatuhkan posisi
lawan dengan cara memutarbalikkan atau menyembunyikan fakta baik secara
halus maupun terang-terangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara misalnya:
mengekstremkan posisi lawan, menyalahartikan maksud baik posisi lawan, atau
menonjolkan kelemahan dan menyembunyikan keunggulan argumen lawan.
Sebagai contoh, seorang anggota DPR dari Partai A mengajukan argumen
untuk mendukung agar pemerintah mengurangi anggaran untuk pertahanan dan
menambah anggaran untuk pendidikan. Anggota dari Partai B, sebagai penyanggah, menuduh anggota dari Partai A ingin menghancurkan militer dan menempatkan negara pada kondisi kurang aman. Ini merupakan misrepresentasi dengan
mengekstremkan posisi lawan.
Contoh lain misalnya adalah seorang mahasiswa, Amin, meminta dosennya
untuk mengomentari tulisan atau proposal skripsinya. Dosennya menyarankan
perbaikan-perbaikan yang rinci dan jelas. Amin, yang mengharapkan untuk
mendapat pujian dari dosennya, mengeluh dengan mengatakan kepada temantemannya bahwa dosen tersebut sangat rewel padahal tulisan atau proposalnya
memang amburadul.
Berkaitan dengan strategi ini adalah apa yang dikenal dengan istilah the
deceptive use of truth. Dengan taktik ini, penalar menunjukkan fakta atau kebenaran (truth) tetapi tidak secara utuh atau hanya sebagian. Pengiklan obat
menunjukkan khasiat obat tanpa menunjukkan efek samping. Peneliti menunjukkan perbedaan karakteristik dua kelompok dengan menggambar grafik perbedaan
di bagian ujung saja sehingga perbedaan yang secara statistis tidak signifikan
menjadi tampak secara ekonomik signifikan. Ada berbagai cara lain untuk mengelabuhi dengan statistik tanpa harus berbohong.
Imbauan Cacah
Stratagem ini biasanya digunakan untuk mendukung suatu posisi dengan menunjukkan bahwa banyak orang melakukan apa yang dikandung posisi tersebut.
Sebagai contoh, suatu kelompok memegang posisi untuk membolehkan penaikan
harga (mark-up) kontrak atau tender karena banyak rekanan melakukan hal
tersebut. Dalam promosi produk, pengiklan membuat klaim Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun merek X untuk membujuk konsumer agar
76
Bab 2
Penalaran
77
jukan stratagem bahwa dia menggunakan istilah beban karena autoritas (Ikatan
Akuntan Indonesia) menggunakan istilah tersebut tanpa mempersoalkan apakah
istilah tersebut layak atau tidak padahal dia tahu bahwa istilah beban tidak valid
(tidak dapat didukung secara argumentatif).25
Agar kita tidak terkecoh atau terperangkap ke stratagem, beberapa prinsip
yang diajukan Nickerson (1986, hlm. 114-115) berikut dapat dijadikan dasar
untuk mengembangkan argumen atau penalaran:
The fact that an authoritative person holds a particular view does not
make that view correct.
The fact that a highly knowledgeable individual holds a certain belief
with respect to his particular area of knowledge should carry some
weight.
A belief is not necessarily right because it is held by an expert.
Berkaitan dengan stratagem ini adalah imbauan autoritas yang tidak tepat
(appeal to inappropriate authority). Dengan taktik ini, penalar berusaha untuk
meningkatkan kredibilitas dan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa posisi tersebut juga dipegang oleh orang yang diakui sebagai ahli di bidang
yang tidak berpautan dengan masalah yang dibahas. Memang orang yang telah
menyandang julukan ahli atau pakar pada umumnya mempunyai kemampuan
yang baik juga dalam menalar suatu gagasan di luar bidang keahliannya. Akan
tetapi, tidak selayaknyalah dalam berargumen kita berasumsi bahwa orang yang
memenuhi kualifikasi untuk berbicara dengan penuh autoritas dalam suatu
bidang ilmu (karena telah menekuninya cukup lama) juga dengan sendirinya
memenuhi kualifikasi untuk berbicara dengan penuh autoritas dalam bidang ilmu
lain yang tidak berkaitan. Untuk tujuan sensasional, jurnalis media masa atau
televisi sering mengundang pakar atau penguasa untuk berbicara tentang
masalah yang tidak dikuasainya atau yang keahliannya tidak bersangkutan sama
sekali dengan masalah yang diberitakan.
Imbauan Tradisi
Dalam beberapa hal, orang sering mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu
semata-mata karena memang begitulah cara yang telah lama dikerjakan orang.
Dalam dunia ilmiah atau akademik, orang sering memegang suatu keyakinan
dengan mengajukan argumen bahwa memang demikianlah orang-orang mempunyai keyakinan. Namun, kenyataan bahwa sesuatu telah lama dikerjakan dengan
cara tertentu di masa lampau tidak dengan sendirinya menjadi argumen untuk
25
Stratagem yang lebih parah adalah bilamana ada seorang akademisi yang memilih istilah akademik yang menyimpang dengan alasan enak didengar bukan dengan alasan kaidah bahasa. Di sini,
suatu istilah yang sifatnya akademik dinilai atas dasar telinga bukan atas dasar apa yang ada di balik
telinga. Alasan enak didengar saja tidak cukup untuk membentuk istilah. Bila alasan ini digunakan
padahal terdapat alternatif istilah yang lebih baik maka alasan tersebut dapat dikatakan sebagai stratagem menyampingkan masalah.
78
Bab 2
meneruskan cara tersebut khususnya kalau terdapat cara lain yang terbukti lebih
valid atau baik (secara rasional dan praktis).
Misalnya seorang dosen berargumen bahwa skripsi mahasiswa harus ditulis
dengan mesin ketik (bukan komputer) karena tradisi penulisan jaman dulu atau,
bila boleh menggunakan komputer, dosen melarang mahasiswa mencetak kata
yang biasanya diberi garis bawah dengan huruf miring karena mempertahankan
tradisi penulisan ilmiah jaman sebelum datangnya komputer. Di sini, dosen tersebut tidak lagi berkepentingan untuk mengevaluasi argumen bahwa jaman dulu
suatu kata diberi garis bawah karena mesin ketik tidak dapat menghasilkan huruf
miring sementara itu secara tipografis penekanan kata akan lebih baik tampilannya kalau kata dicetak dengan huruf miring (garis bawah merupakan distraksi).
Imbauan terhadap tradisi juga mempunyai justifikasi sehingga tradisi tidak
dapat ditinggalkan begitu saja. Akan tetapi, justifikasi tersebut dapat menjadi
kecohan kalau tia dipaksakan secara membabi buta. Hal yang perlu dicatat dalam
kaitannya dengan argumen ini adalah bahwa maksud baik tradisi tidak merupakan alasan yang kuat untuk mempertahankannya atau untuk menolak mempertimbangkan bukti baru kalau memang terdapat bukti kuat baru bahwa maksud
tersebut tidak lagi valid. Prinsip ini sering disebut the purpose defeats the law.
Dilema Semu
Dilema semu (false dilemma) adalah taktik seseorang untuk mengaburkan argumen dengan cara menyajikan gagasannya dan satu alternatif lain kemudian
mengkarakterisasi alternatif lain sangat jelek, merugikan, atau mengerikan
sehingga tidak ada cara lain kecuali menerima apa yang diusulkan penggagas.
Misalnya, dalam suatu perdebatan tentang amandemen udang-undang dasar, seorang anggota fraksi mengatakan (untuk meyakinkan anggota dewan yang lain):
Kita harus menyetujui amandemen ini atau negara kita akan hancur.
Dasar pikiran argumen di atas adalah bahwa negara kita tidak boleh hancur
dan karenanya simpulannya adalah kita harus menyetujui amandemen. Kecohan
terjadi karena pengargumen mengklaim bahwa hanya ada dua alternatif dan yang
satu jelas tidak diinginkan sehingga hanya alternatif yang diusulkannya yang
harus diterima. Akan tetapi, dia mengecoh seakan-akan hanya ada dua alternatif
padahal kenyataannya ada beberapa alternatif lain yang lebih valid. Sayangnya,
dalam banyak hal, orang tidak cukup kritis untuk menanyakan apakah ada alternatif lain yang lebih masuk akal. Struktur dilema semu (sering disebut inapproriate dichotomizing) dapat dinyatakan secara umum sebagai berikut:
Kalau kita tidak memilih alternatif A, maka kita akan mengalami penderitaan atau kerugian
akibat dipilihnya alternatif B.
79
Penalaran
Baik A atau B.
Bukan B.
A.
80
Bab 2
pendapat dalam artikel dosen anda. Anda tidak setuju dengan pendapat tersebut
karena memang pendapat itu tidak valid secara akademik tetapi anda mendukung
secara penuh pendapat tersebut karena dosen tersebut akan keras terhadap anda.
Konklusi di sini adalah pendapat dosen tersebut valid meskipun bukti akademik
tidak mendukung.
Dari dua contoh di atas, faktor yang membuat argumen menjadi persuasif
adalah motif bukan validitas argumen. Kedua stratagem tersebut menempatkan
orang menjadi tidak enak kalau tidak menerima (meyakini) konklusi meskipun
keduanya tidak mengajukan bukti pendukung untuk meyakinkan bahwa konklusi
adalah benar (valid). Cederblom dan Paulsen (1986) mendeskripsi karakteristik
kedua stratagem ini sebagai berikut:
When a person gets you to agree to something because he will be hurt if you
dont agree, this is an appeal to pity. If someone gets you to agree because he will
hurt you if you dont agree, this is an appeal to force (hlm. 115).
81
Penalaran
Menegaskan Konsekuen
Telah disinggung sebelumnya bahwa agar argumen valid maka tia harus mengikuti kaidah menegaskan anteseden (affirming the antecedent atau modus ponens).
Bila simpulan diambil dengan pola premis yang menegaskan konsekuen, akan terjadi salah nalar. Berikut struktur dan contoh argumen yang valid dan salah nalar.
Valid:
Menegaskan anteseden (modus ponens)
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
Jika A, maka B.
A.
B.
Takvalid:
Menegaskan konsekuen
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
Jika A, maka B
B.
A.
Contoh:
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
26
Walaupun demikian, makna kedua pernyataan tersebut berbeda. Jika saya di Semarang, maka
saya di Jawa Tengah merupakan pernyataan fakta sedangkan Jika saya di Jawa Tengah, maka saya
di Semarang merupakan pernyataan empiris atau sekadar janji.
82
Bab 2
Menyangkal Anteseden
Kebalikan dari salah nalar menegaskan konsekuen adalah menyangkal anteseden.
Suatu argumen yang mengandung penyangkalan akan valid apabila konklusi
ditarik mengikuti kaidah menyangkal konsekuen (denying the consequent atau
modus tollens). Bila simpulan diambil dengan struktur premis yang menyangkal
anteseden, simpulan akan menjadi tidak valid. Berikut struktur dan contoh argumen yang valid dan salah nalar.
Valid:
Menyangkal konsekuen (modus tollens)
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
Jika A, maka B.
Tidak B.
Tidak A.
Takvalid:
Menyangkal anteseden
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
Jika A, maka B
Tidak A.
Tidak B.
Contoh:
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
Konklusi di sebelah kanan tidak valid karena premis (2) menyangkal anteseden (Jika saya di Semarang). Konklusi akan valid bila premis (1) diubah menjadi
Jika saya di Jawa Tengah, maka saya di Semarang sehingga argumen mengikuti
pola modus tollens. Akan tetapi, makna premis ini tidak lagi sama dengan makna
premis semula. Jadi, salah nalar akibat menegaskan konsekuen atau menyangkal
anteseden dapat terjadi karena makna jika A, maka B disamakan atau dikacaukan dengan jika B, maka A.
Pentaksaan (Equivocation)
Salah nalar dapat terjadi apabila ungkapan dalam premis yang satu mempunyai
makna yang berbeda dengan makna ungkapan yang sama dalam premis lainnya.
Dapat juga, salah nalar terjadi karena konteks premis yang satu berbeda dengan
konteks premis lainnya. Argumen dalam bahasa Inggris berikut memberi ilustrasi
salah nalar ini (Nickerson, 1986, hlm. 4).
Premis major:
Premis minor:
Konklusi:
83
Penalaran
Secara struktural, argumen di atas menjadi salah nalar karena kata nothing
dalam premis major berbeda maknanya dengan kata nothing dalam premis minor.
Dalam premis major, nothing bermakna tidak ada satupun dari himpunan objek
yang memenuhi syarat sehingga kebahagiaan abadi adalah satu-satunya yang terbaik.27 Sementara itu, nothing dalam premis minor bermakna tidak tersedianya
anggota lain dalam himpunan yang di dalamnya ham sandwhich merupakan salah
satu anggota sehingga ham sandwhich bukan satu-satunya yang terbaik.28 Jadi,
nothing dalam premis major mensyiratkan kebahagiaan abadi sebagai sesuatu
yang terbaik sedangkan nothing dalam premis minor mensyiratkan ham sandwhich sebagai sesuatu yang terjelek sehingga konklusi tidak masuk akal atau
tidak valid. Salah nalar seperti ini terjadi karena penalar bermaksud menerapkan
kaidah transitivitas (transitivity) tetapi tidak memenuhi syarat. Transitivitas dan
contoh dapat dinyatakan sebagai berikut:
Kaidah:
Contoh:
Premis (1):
Premis (2):
B > C.
A > B.
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
A > C.
Konklusi:
Argumen dalam contoh di atas valid apabila unsur B atau Baroto mengacu
pada makna atau objek yang sama sehingga tidak terjadi pentaksaan.
Perampatan-lebih (Overgeneralization)29
Salah nalar yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah melekatkan (mengimputasi) karakteristik sebagian kecil anggota ke seluruh anggota himpunan, kelas, atau kelompok secara berlebihan. Bila seseorang menyimpulkan
bahwa warga Kampung X adalah pencuri karena dia mendapati bahwa dua pencuri yang baru saja ditangkap berasal dari Kampung X maka dia telah melakukan
salah nalar.
Perampatan atau generalisasi itu sendiri bukan merupakan salah nalar.
Kemampuan merampatkan merupakan suatu kemampuan intelektual yang
sangat penting dalam pengembangan ilmu. Masalahnya adalah bila derajat perampatan begitu ekstrem (atas dasar sampel atau pengamatan terbatas) sehingga
mengabaikan kemungkinan bahwa apa yang diamati merupakan peluar (outlier)
atau pengecualian (exceptions to the rule). Dalam penelitian empiris, ukuran
27
Dalam bahasa statistika atau matematika, nothing di sini bermakna himpunan kosong (tidak
mempunyai anggota).
28
Ham sandwhich merupakan salah satu anggota himpunan sandwhich yang dapat terdiri atas
beef, cheese, chicken, ham, peanut-butter, dan tuna sandwhich. Dalam hal ini, dapat saja beef atau cheese
sandwhich lebih baik daripada ham sandwhich.
29
Istilah perampatan digunakan oleh Anton M. Moeliono dalam Kembara Bahasa: Kumpulan
Karangan Tersebar (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm. 125.
84
Bab 2
sampel yang terlalu kecil dan kurangnya kerepresentatifan sampel dapat menghasilkan konklusi yang keliru.
Salah nalar yang bartalian dengan perampatan lebih adalah apa yang dikenal
dengan istilah penstereotipaan (stereotyping). Salah nalar ini terjadi bila penalar
mengkategori seseorang sebagai anggota suatu kelompok kemudian melekatkan
semua sifat atau kualitas kelompok kepada orang tersebut. Misalnya, orang
mengetahui bahwa para akuntan publik umumnya adalah kaya (sifat kelompok).
Salah nalar dapat terjadi kalau penalar menyimpulkan bahwa Hariman pasti kaya
karena dia adalah akuntan publik.
Parsialitas (Partiality)
Penalar kadang-kadang terkecoh karena dia menarik konklusi hanya atas dasar
sebagian dari bukti yang tersedia yang kebetulan mendukung konklusi. Hal ini
mirip dengan perampatan lebih lantaran sampel kecil atau ketakrepresentatifan
bukti. Kadang-kadang kita sengaja memilih dan melekatkan bobot yang tinggi
pada bukti (argumen) yang cenderung mendukung konklusi atau keyakinan yang
kita sukai dengan mengabaikan bukti yang menentang konklusi tersebut. Kesalahan semacam ini tidak harus merupakan suatu stratagem karena penalar tidak
bermaksud mengecoh atau menjatuhkan lawan tetapi karena semata-mata dia
tidak objektif (bias) dalam penggunaan atau pengumpulan bukti.
Dalam penelitian, peneliti sering bias dalam pengumpulan data dengan membuat pertanyaan yang mengarahkan responden (disebut leading questions). Bila
peneliti berupaya untuk mendukung teori yang disukainya dengan mengarahkan
bukti secara bias, hal tersebut disebut membangun kasus (building the case).
Pembuktian dengan Analogi
Telah dibahas sebelumnya bahwa analogi bukan merupakan cara untuk membuktikan (to prove) validitas atau kebenaran suatu asersi. Analogi lebih merupakan
suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi mempunyai kebolehjadian
(likelihood) untuk benar. Dengan kata lain, bila premis benar, konklusi atas dasar
analogi belum tentu benar. Jadi, analogi dapat menghasilkan salah nalar.
Menyatakan bahwa dua objek sama atau serupa dalam beberapa aspek (misalnya a, b, dan c) lebih dimaksudkan untuk menunjukkan kemiripan kedua objek
tersebut. Namun demikian, mengetahui bahwa dua objek sama dalam aspek a, b,
dan c tidak menjadi bukti bahwa kedua objek tersebut juga sama dalam aspek d.
Bila diketahui bahwa kedua objek tersebut serupa dalam aspek d maka analogi
tidak diperlukan untuk membuktikannya.
Bila tidak diketahui bahwa dua objek sama dalam aspek d, salah nalar dapat
terjadi bila orang mengatakan bahwa karena X analogus dengan Y dalam aspek a,
b, dan c, X juga pasti punya d karena Y punya d. Jadi, Y punya d bukan merupakan bukti bahwa X punya d meskipun X dan Y analogus. Kesalahan semacam ini
dapat dicontohkan sebagai berikut:
85
Penalaran
Premis (1):
Premis (2):
Konklusi:
Konklusi atas dasar analogi di atas valid karena konklusi mengikuti kaidah
(struktur) yang melekat pada tiap premis. Bahasa Indonesia mengikuti kaidah DM
(diterangkan-menerangkan) sedangkan bahasa Inggris mengikuti kaidah MD
(menerangkan-diterangkan). Salah nalar terjadi justru kalau real estate diserap
menjadi real estat sebagaimana terlihat dalam Standar Akuntansi Keuangan,
PSAK No. 44. Salah nalar terjadi karena kaidah penalaran pembentukan istilah
dilanggar yaitu menggunakan kaidah MD untuk istilah bahasa Indonesia.30
Merancukan Urutan Kejadian dengan Penyebaban
Dalam percakapan sehari-hari atau diskusi, kesalahan yang sering dilakukan
orang adalah merancukan urutan kejadian (temporal succession) dengan penyebaban (causation). Bila kejadian B selalu mengikuti kejadian A, orang cenderung
menyimpulkan bahwa B disebabkan oleh A. Karena malam selalu mengikuti
siang, tidak berarti bahwa siang menyebabkan malam. Salah nalar terjadi bila
urutan kejadian disimpulkan sebagai penyebaban. Kesalahan ini sering disebut
dalam bahasa Latin post hoc ergo propter hoc (setelah ini, maka karena ini).
Telah dibahas sebelumnya bahwa urutan kejadian hanyalah merupakan salah
satu syarat untuk menyatakan adanya penyebaban (lihat kembali subbahasan
Argumen Sebab-Akibat di halaman 60). Syarat ini merupakan syarat perlu (necessary condition) untuk penyebaban tetapi bukan syarat cukup (sufficient condition). Kalau A memang menyebabkan B maka perlu dipenuhi syarat bahwa A
selalu mendahului B. Syarat ini makin kuat mendukung penyebaban bilamana
30
Penerjemahan atau penyerapan estate menjadi estat sudah sangat tepat mengikuti analogi
penyerapan accurate, senate, candidate, carbonate, atau variate menjadi akurat, senat, kandidat,
karbonat, atau variat sebagaimana ditentukan dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI).
86
Bab 2
Penalaran
87
refutation). Semangat ini dilandasi oleh pikiran bahwa suatu teori ilmiah tidak
harus dapat dibuktikan benar tetapi harus dapat disanggah (dibuktikan salah)
kalau tia memang salah; misalnya dengan pengajuan teori baru yang lebih baik.
Dasar pikiran ini sering disebut dengan prinsip ketersalahan atau keterbuktisalahan (principle of falsifiability). Bila ilmuwan tidak dapat menunjukkan dengan
meyakinkan bahwa teori barunya lebih valid, maka ilmuwan terpaksa menerima teori yang disanggahnya.32 Prosedur penyimpulan semacam ini bukan merupakan salah nalar tetapi lebih merupakan usaha untuk mencapai ketegaran
ilmiah (scientific rigor). Hal ini penting agar orang tidak dengan mudah mengganti teori dengan teori yang belum teruji secara meyakinkan. Namun, prosedur ini
mengandung risiko yaitu ilmuwan tidak menolak teori yang disangkalnya padahal
teori tersebut sebenarnya salah. Jadi, ilmuwan menerima teori yang salah. Risiko ini disebut kesalahan penyimpulan (error of inference) dan harus dihindari.
Dalam penelitian ilmiah (empiris), konklusi atau teori biasanya dinyatakan
dalam bentuk hipotesis. Konklusi pasangan yang dibahas di atas sering ditempatkan sebagai hipotesis nol (null atau default hypothesis) sedangkan hipotesis (teori
baru) yang diajukan dan akan diuji ditempatkan sebagai hipotesis alternatif (alternative hypothesis). Kalau peneliti tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang
sangat kuat untuk mendukung teorinya (bukti-bukti empiris yang diajukan tidak
mendukung secara statistis hipotesis alternatif), maka peneliti terpaksa menyimpulkan (tidak menolak) hipotesis nol. Jadi, bila bukti empiris tidak cukup
meyakinkan untuk menyimpulkan hipotesis alternatif, maka dikatakan bahwa
peneliti gagal menolak hipotesis nol (to fail to reject the null or default hypothesis).
Dalam hal ini, peneliti menghadapi dua jenis risiko kesalahan penyimpulan yaitu
menyimpulkan hipotesis nol padahal sebenarnya tia salah atau menyimpulkan
hipotesis alternatif padahal sebenarnya tia salah.
Dalam bahasa statistika, kesalahan menyimpulkan hipotesis alternatif (atau
menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya hipotesis alternatif adalah salah
disebut dengan kesalahan Tipa I atau . Sebaliknya, kesalahan menyimpulkan
hipotesis nol (tidak menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya hipotesis nol
adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa II atau .
Prosedur refutasi ilmiah juga diterapkan dalam sistem pengadilan dengan
dianutnya asas praduga takbersalah (presumption of innocence). Pengadilan harus
memutuskan (menyimpulkan) bahwa seorang terdakwa bersalah (guilty) atau takbersalah (innocent atau not guilty). Penyimpulan ini sejalan dengan pengujian
hipotesis yang dibahas di atas. Dengan asas praduga takbersalah, terdakwa harus
dianggap takbersalah sampai terbukti memang bersalah (until proven guilty)
sehingga posisi takbersalah ditempatkan sebagai hipotesis nol dan posisi bersalah
sebagai hipotesis alternatif. Tugas jaksalah atau penuntutlah untuk menunjukkan
bukti-bukti yang meyakinkan bahwa terdakwa bersalah. Dengan kata lain, beban
32
Bahwa ilmuwan menerima teori yang disangkal tidak berarti bahwa teori tersebut benar. Makna
menerima di sini harus diinterpretasi bahwa ilmuwan tidak dapat menolak teori tersebut karena tidak
dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan untuk menyanggahnya. Jadi, masih ada kemungkinan
teori yang disanggahnya tersebut salah. Itulah sebabnya buku-buku statistika menganjurkan menggunakan ungkapan tidak menolak H0 untuk menyimpulkan H0 bukan menerima H0.
88
Bab 2
pembuktian (burden of proof) ada di tangan penuntut. Bila penuntut tidak dapat
mengajukan bukti-bukti yang sangat meyakinkan, maka hakim atau juri harus
memutuskan bahwa terdakwa takbersalah dengan risiko kesalahan bahwa terdakwa sebenarnya memang bersalah (benar-benar melakukan kejahatan yang dituduhkan). Kesalahan ini dapat dipadankan dengan kesalahan Tipa II. Dapat juga
terjadi risiko kesalahan bahwa terdakwa yang memang tidak bersalah dinyatakan
salah. Risiko ini merupakan kesalahan Tipa I. Hal yang perlu diingat adalah
bahwa, dengan bukti yang sama, mengecilkan risiko yang satu akan berakibat
memperbesar risiko yang lain. Masalah bagi pengadilan atau negara adalah manakah risiko yang akan ditekan sekecil-kecilnya. Asas praduga takbersalah pada
umumnya diterapkan dengan harapan bahwa risiko kesalahan Tipa I adalah
sekecil-kecilnya atau bahkan mendekati nol.33
Penalaran
89
ditawarkan sehingga dia tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi secara saksama
kelayakan penjelasan dan membadingkannya dengan penjelasan alternatif.
Dengan kata lain, orang menjadi tidak kritis dalam menerima penjelasan. Akibatnya, argumen dan pencarian kebenaran akan terhenti sehingga pengembangan
ilmu pengetahuan akan terhambat.
Kepentingan Mengalahkan Nalar
Hambatan untuk bernalar sering muncul akibat orang mempunyai kepentingan
tertentu (vested interest) yang harus dipertahankan. Kepentingan sering memaksa
orang untuk memihak suatu posisi (keputusan) meskipun posisi tersebut sangat
lemah dari segi argumen.
Dalam dunia akademik dan ilmiah, kepentingan untuk menjaga harga diri
individual atau kelompok (walaupun semu) dapat menyebabkan orang (akademisi
atau ilmuwan) berbuat yang tidak masuk akal. Hal ini terjadi umumnya pada
mereka yang sudah mendapat julukan pakar atau ilmuwan yang kebetulan mempunyai kekuasaan politis (baik formal atau informal). Nickerson (1986) menggambarkan hal ini dengan mengatakan bahwa people with good reasoning ability may
find themselves behaving in an unreasonable way.34
Kebebasan akademik merupakan suatu ciri penting lingkungan akademik
yang kondusif untuk pengembangan pengetahuan dan profesi (khususnya akuntansi). Kebebasan akademik harus diartikan sebagai kebebasan untuk berbeda
pendapat secara akademik dalam suatu forum yang memungkinkan akademisi
berargumen secara terbuka. Sikap akademisi yang patut dihargai adalah kebersediaan untuk berargumen.
Sikap ilmiah menuntut akademisi (termasuk pengelola suatu institusi) untuk
berani membaca dan memahami gagasan alternatif dan, kalau gagasan tersebut
valid dan menuju ke perbaikan, bersedia membawa gagasan tersebut ke kelas
atau diskusi ilmiah dan bukan malahan mengisolasinya. Keberanian dan kebersediaan seperti itu merupakan suatu ciri sikap ilmiah dan akademik yang sangat terpuji (respected). Ini tidak berarti bahwa ilmuwan/akademisi harus selalu setuju
dengan suatu gagasan. Ketidaksetujuan dengan suatu gagasan itu sendiri (setelah
berani membaca) merupakan suatu sikap ilmiah asal dilandasi dengan argumen
yang bernalar dan valid. Ketidakberanian dan ketidakbersediaan itulah yang
merupakan sikap tidak ilmiah (akademik) dan justru hal ini sering terjadi dalam
dunia akademik tidak hanya pada masa sekarang tetapi juga masa lalu.
Sikap pakar dan akademisi yang tidak masuk akal tersebut, yang sering disebut sebagai sikap yang insulting the intelligence, dikemukakan Hirshleifer (1988,
hlm. 4) sebagai berikut:35
34
Pakar atau akademisi dapat dianggap mempunyai kemampuan penalaran yang baik karena
pengetahuan ilmiah atau akademiknya umumnya harus dipahami dengan proses penalaran yang baik
dan objektif.
90
Bab 2
Penalaran
91
seperti ini, akademisi sering tidak berani untuk membaca sumber gagasan karena
takut jangan-jangan pendapatnya yang telah telanjur disebarkan kepada mahasiswa benar-benar keliru. Dapat juga, akademisi tersebut memang berani membaca dan benar-benar dapat menerima argumen tetapi di muka umum (kelas) dia
bersikap seolah-olah tidak pernah tahu gagasan baru tersebut (bersikap tak peduli) apalagi membahasnya di kelas dengan cukup dalam. Manifestasi lain dari sindroma ini adalah akademisi (dosen) mengisolasi gagasan baru agar mahasiswa
tidak pernah tahu semata-mata untuk menutupi kelemahan suatu gagasan lama
yang dianutnya.
Bila sindroma semacam ini banyak diindap oleh akademisi, dapat dipastikan
kemajuan pengetahuan dan profesi akan terhambat dan rugilah dunia pendidikan.
Mentalitas Djoko Tingkir
Bila kepentingan mengalahkan nalar sebagaimana digambarkan dalam kasus
Galileo di atas, maka pengembangan ilmu pengetahuan dapat terhambat dan pada
gilirannya praktik kehidupan yang lebih baik juga ikut terhambat. Sayangnya,
ilmuwan atau akademisi yang merasa ada di bawah kekuasaan kolega senior
sering memihak seniornya dan mengajarkan apa yang sebenarnya salah dengan
menyembunyikan apa yang sebenarnya valid semata-mata untuk menghormati
kolega senior (atau kelompoknya) atau untuk melindungi diri dari tekanan senior.
Akibatnya, timbul situasi yang di dalamnya argumen yang lemah harus dimenangkan dan dilestarikan semata-mata karena kekuasaan. Ini berarti kekuasaan lebih
unggul dari penalaran.
Budaya Djoko Tingkir digunakan untuk menggambarkan lingkungan akademik atau profesi seperti ini karena konon perbuatan Djoko Tingkir yang tidak
terpuji harus dibuat menjadi terpuji dengan cara mengubah skenario yang sebenarnya terjadi semata-mata untuk menghormatinya karena dia bakal menjadi raja
(kekuasaan). Dalam dunia akademik, status pakar merupakan kekuasaan atau
autoritas akademik. Kepakaran merupakan kekuasaan karena orang dapat memperoleh kekuasaan dan kedudukan (baik politik, struktural, atau institusional)
lantaran pengetahuan atau ilmunya. Namun, tidak semestinya kalau kekuasaan
tersebut lalu menentukan ilmu. Dunia akademik harus mengembangkan ilmu
atas dasar validitas argumen dan bukan atas dasar kekuasaan politik/jabatan.
Merasionalkan Daripada Menalar
Bila karena keberpihakan, kepentingan, atau ketakkritisan, orang telanjur mengambil posisi dan ternyata posisi tersebut salah atau lemah, orang ada kalanya
berusaha untuk mencari-cari justifikasi untuk membenarkan posisinya. Dalam hal
ini, tujuan diskusi bukan lagi untuk mencari kebenaran atau validitas tetapi
untuk membela diri atau menutupi rasa malu. Bila hal ini terjadi, orang tersebut
sebenarnya tidak lagi menalar (to reason) tetapi merasionalkan (to rationalize).
Sikap merasionalkan posisi dapat terjadi karena keterbatasan pengetahuan
orang bersangkutan dalam topik yang dibahas tetapi orang tersebut tidak mau
92
Bab 2
mengakuinya. Agar argumen berjalan dengan baik, para penalar paling tidak
harus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam topik yang dibahas. Kurangnya
pengetahuan (topical knowledge) dapat menjebak orang untuk lari ke stratagem
daripada argumen yang layak.
Sikap merasionalkan dalam diskusi dapat menimbulkan pertengkaran mulut,
perselisihan pendapat (dispute), atau debat kusir. Dalam situasi ini, pihak yang
terlibat dalam diskusi biasanya tidak lagi mengajukan argumen yang sehat untuk
mendukung posisi tetapi mengajukan argumen kusir (pedestrian argument) untuk
menyalahkan pihak lain dan memenangi perselisihan. Jadi, tujuan diskusi bukan
lagi mencari solusi tetapi mencari kemenangan (kadang-kadang menangnya sendiri). Memenangi debat (selisih pendapat) dan meyakinkan suatu gagasan adalah
dua hal yang sangat berbeda. Untuk memenangi selisih pendapat, faktor emosional lebih banyak berperan daripada faktor rasional atau penalaran. Pakarpun
kadang-kadang lebih suka berdebat daripada berargumen. Hal ini dikemukakan
Nickerson (1986, hlm. 97) sebagai berikut:36
Disputes often arise when each of the two people builds a case favoring the opposite conclusion and tries to convince the other person that he or she is wrong.
Disputes can be very frustrating. Even highly intelligent people sometimes
act childishly when engaged in them.
... winning a dispute and persuading someone to believe something are
not necessarily the same things. Indeed, winning a dispute may be the least likely way of winning an opponent over your point of view. Disputes are rarely
resolved by reason, because the disputing parties typically are not seeking resolution; rather each is seeking to win.
Persistensi
Karena kepentingan tertentu harus dipertahankan atau karena telah lama melekat dalam rerangka pikir, seseorang kadang-kadang sulit melepaskan suatu keyakinan dan menggantinya dengan yang baru. Dengan kata lain, orang sering
berteguh atau persisten terhadap keyakinannya meskipun terdapat argumen yang
kuat bahwa keyakinan tersebut sebenarnya salah sehingga dia seharusnya
melepaskan keyakinan tersebut.
Sampai tingkat tertentu persistensi merupakan sikap yang penting agar
orang tidak dengan mudahnya pindah dari keyakinan atau paradigma yang satu
ke yang lain. Paradigma adalah satu atau beberapa capaian ilmu pengetahuan
pada masa lalu (past scientific achievements) yang diakui oleh masyarakat ilmiah
pada masa tertentu sebagai basis atau tradisi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan praktik selanjutnya. Capaian (achievements) dalam ilmu pengetahuan
(sciences) dapat berupa filosofi, postulat, konsep, teori, prosedur ilmiah, atau
pendekatan ilmiah. Untuk menjadi paradigma, suatu capaian harus mempunyai
penganut yang cukup teguh dan capaian tersebut bersaing dengan capaian atau
kegiatan ilmiah lain yang juga mempunyai sekelompok penganut. Paradigma
36
Penalaran
93
harus terbuka untuk diperbaiki atau diganti oleh capaian pesaing atau baru
sehingga dimungkinkan terjadi pergeseran atau pergantian paradigma dari masa
ke masa (conversion of paradigm). Konversi dapat terjadi pada diri ilmuwan secara
individual pada masa hidupnya atau pada generasi ilmuwan ke generasi ilmuwan
berikutnya. Riwayat terjadinya konversi paradigma antargenerasi disebut oleh
Thomas Kuhn sebagai revolusi ilmiah (scientific revolution).37
Dalam dunia ilmiah, persistensi untuk tidak melepaskan suatu keyakinan
dapat dimaklumi kalau tujuannya adalah untuk memperoleh argumen atau bukti
yang kuat untuk menunjukkan bahwa keyakinan yang dianut memang salah.
Tidak selayaknyalah suatu keyakinan atau paradigma dipertahankan kalau
memang terdapat bukti yang sangat meyakinkan bahwa tia salah. Namun, manusia tidak selalu dapat bersikap objektif dan tidak memihak (impartial). Karena
kepentingan tertentu yang perlu dipertahankan, ilmuwan atau pakar pun sering
bersikap demikian sehingga konversi keyakinan sulit terjadi. Thomas Kuhn (1970)
menunjukkan contoh sebagai berikut:
Priestley never accepted the oxygen theory, nor Lord Kelvin the electromagnetic
theory, and so on. The difficulties of conversion have often been noted by scientists themselves. Darwin, in a particulary perceptive passage at the end of his
Origin of Species, wrote: Although I am fully convinced of the truth of the views
given in this volume..., I by no means expect to convince experienced naturalists
whose mind are stocked with a multitude of facts all viewed, during a long
course of years, from a point of view directly opposite to mine. ... [B]ut I look with
confidence to the future, to young and rising naturalists, who will be able to
view both sides of the question with impartiality. And Max Planck, ..., sadly
remarked that a new scientific truth does not triumph by convincing its opponents and making them see the light, but rather because its opponents eventually
die, and a new generation grows up that is familiar with it (hlm. 151).
Memang menyedihkan apa yang dikatakan Planck bahwa gagasan baru yang
benar (a new scientific truth) mengungguli atau menang atas gagasan yang keliru
bukan lantaran pemegang gagasan lama sadar dan melihat sinar kebenaran
melainkan lantaran generasi baru telah menggantinya. Mengapa hal ini terjadi?
Kuhn menjelaskan hal ini dengan menyatakan (penebalan oleh penulis):
... scientists, being only human, cannot always admit their errors, even when
confronted with strict proof. I would argue, rather, that in these matters neither
proof nor error is at issue. The transfer of allegience from paradigm to paradigm
is a conversion experience that cannot be forced (hlm. 151).
Sebagai manusia, ilmuwan atau pakar tidak selalu dapat mengakui kesalahannya meskipun dihadapkan pada bukti yang sangat telak (strict proof). Lagi pula,
37
Lihat pembahasan selanjutnya dalam Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: The University of Chicago Press, 1970). Thomas Kuhn menyebut tradisi kegiatan ilmuwan
yang mendasarkan diri pada capaian-capaian ilmiah pada masanya disebut ilmu normal (normal sciences). Ilmu ini biasanya terefleksi dalam buku-buku teks pada masa dianutnya paradigma.
94
Bab 2
konversi paradigma (atau keyakinan) bukanlah hal yang dapat dipaksakan sehingga resistensi adalah takterhindarkan dan sah-sah saja (legitimate).
Berkaitan dengan persistensi adalah gejala psikologis atau perilaku manusia
untuk terpaku pada makna suatu simbol atau objek dan kemudian menjadikan
orang tidak mampu melihat makna alternatif atau objek alternatif. Orang secara
intuitif melekatkan makna pada suatu objek melalui pengalamannya dan sering
tidak menyadari bahwa makna tersebut bersifat kontekstual di masa lalu dan
tidak lagi relevan dengan situasi yang baru. Perilaku semacam ini dikenal dengan
istilah keterpakuan atau fiksasi fungsional (functional fixation). Dalam akuntansi,
keterpakuan ini digunakan untuk menjelaskan mengapa investor tidak mampu
untuk mengubah keputusannya sebagai tanggapan atas perubahan proses akuntansi dalam menyediakan data laba. Orang hanya melihat angka laba (bottom line)
dalam statemen laba-rugi tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut ditentukan atau terpengaruh oleh perubahan metoda (proses) akuntansi. Keterpakuan
fungsional juga merupakan penghambat terjadinya argumen yang sehat.38 Orang
yang sudah terpaku dengan istilah harga pokok penjualan akan sangat sulit
untuk dapat menerima istilah kos barang terjual yang sebenarnya lebih tepat
menggambarkan makna istilah aslinya yaitu cost of goods sold.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek manusia sangat berperan
dalam argumen yang bertujuan mencari kebenaran. Rasionalitas merupakan
unsur penting dalam argumen. Walaupun demikian, faktor-faktor psikologis dan
emosional, kekuasaan, dan kepentingan pribadi atau kelompok juga berperan dan
dapat menghalangi terjadinya argumen yang sehat.
Rangkuman
Praktik yang sehat harus dilandasi oleh teori yang sehat pula. Teori yang sehat
harus dilandasi oleh penalaran yang sehat karena teori akuntansi menuntut
kemampuan penalaran yang memadai. Penalaran merupakan proses berpikir logis
dan sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan akan asersi.
Unsur-unsur penalaran adalah asersi, keyakinan, dan argumen. Interaksi
antara ketiganya merupakan bukti rasional untuk mengevaluasi kebenaran suatu
pernyataan teori. Asersi merupakan pernyataan bahwa sesuatu adalah benar atau
penegasan tentang suatu realitas. Keyakinan merupakan kebersediaan untuk
menerima kebenaran suatu pernyataan. Argumen adalah proses penurunan simpulan atau konklusi atas dasar beberapa asersi yang berkaitan secara logis.
Asersi dapat dinyatakan secara verbal atau struktural. Asumsi, hipotesis, dan
pernyataan fakta merupakan jenis tingkatan asersi. Jenis tingkatan konklusi
tidak dapat melebihi jenis tingkatan asersi yang terendah.
Keyakinan merupakan hal yang dituju oleh penalaran. Keyakinan mengandung beberapa sifat penting yaitu: keadabenaran, bukan pendapat, bertingkat,
mengandung bias, memuat nilai, berkekuatan, veridikal, dan tertempa.
38
Penalaran
95
96
Bab 2
Diskusi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
97
Penalaran
15. Berilah suatu contoh situasi untuk menunjukkkan bahwa pernyataan Beberapa A
adalah B berbeda dengan Tidak semua A adalah B.
16. Sebut dan jelaskan jenis tingkatan asersi dan berilah contoh untuk masing-masing.
17. Jelaskan pengertian keyakinan (belief) terhadap suatu asersi.
18. Sebut dan jelaskan sifat-sifat keyakinan. Mengapa mengubah suatu keyakinan melalui
argumen merupakan suatu proses yang tidak mudah dan kompleks?
19. Apakah perbedaan karakteristik antara keyakinan dan opini?
20. Jelaskan apakah pernyataan berikut merupakan keyakinan atau pendapat:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
98
Bab 2
37. Sebut dan jelaskan serta berilah contoh berbagai jenis salah nalar (sedapat-dapatnya
dalam bidang akuntansi).
38. Evaluasilah penyimpulan deduktif berikut ini:
Premis major:
Premis minor:
Konklusi:
39. Aspek-aspek apa saja yang harus anda perhatikan agar anda tidak terjebak dalam
stratagem?
40. Bagaimana pendapat anda tentang prisip penilaian plausibilitas asersi yang berbunyi:
Serahkan saja pada ahlinya. Apa kelemahan prinsip ini?
41. Seseorang yang cukup terpandang di bidang profesi dan penyusunan standar akuntansi
membuat pernyataan dalam suatu seminar nasional di bawah ini. Evaluasilah apakah
pernyataan tersebut merupakan stratagem atau salah nalar?
Kita tidak perlu macam-macam tentang istilah beban. Istilah beban untuk expense adalah
benar karena nyatanya semua kantor akuntan publik menggunakan istilah tersebut.
43. Jelaskan pengertian beberapa konsep berikut ini dan bila perlu berilah contoh situasi
nyata untuk lebih menjelaskan konsep tersebut.
put-downs
red herring
deceptive use of truth
sleight of hand
dilution by generalization
appeal to inappropriate
authority
inappropriate dechotomizing
appeal to pity
appeal to force
modus tollens
modus ponens
affirming the consequent
denying the antecedent
principle of falsifiability
false dilemma
leading question
building the case
stereotyping
error of inference
pedistrian arguments
functional fixation
clinical test syndrom
44. Sebut dan jelaskan berbagai aspek manusia yang dapat menjadi penghalang terjadinya
argumen yang sehat.!
99
Penalaran
Teori
Akuntansi
Perekayasaan Pelaporan Keuangan
Suwardjono
Fakultas Ekonomika dan Busines
Universitas Gadjah Mada
Penerbit:
BPFE
Yogyakarta
2005
100
Bab 2
Daftar Isi
Pengertian 41
Unsur dan Struktur Penalaran 42
Asersi 44
Interpretasi Asersi 48
Asersi untuk Evaluasi Istilah 49
Jenis Asersi (Pernyataan) 51
Fungsi Asersi 52
Keyakinan 52
Properitas Keyakinan 52
Keadabenaran 53
Bukan Pendapat 53
Bertingkat 53
Berbias 54
Bermuatan nilai 54
Berkekuatan 54
Veridikal 54
Berketertempaan 55
Argumen 55
Anatomi Argumen 56
Jenis Argumen 58
Argumen Deduktif 59
Evaluasi Penalaran Deduktif 60
Argumen Induktif 64
Argumen dengan Analogi 65
Argumen Sebab-akibat 66
Kriteria Penyebaban 67
Penalaran Induktif dalam
Akuntansi 69
Kecohan (Fallacy) 71
Strategem 72
Persuasi Taklangsung 73
Membidik Orangnya 73
Menyampingkan Masalah 74
Misrepresentasi 75
Imbauan Cacah 75
Imbauan Autoritas 76
Imbauan Tradisi 77
Dilema Semu 78
Imbauan Emosi 79
Salah Nalar (Reasoning Fallacy) 80
Menegaskan Konsekuen 81
Menyangkal Anteseden 82
Pentaksaan (Equivocation) 82
Perampatan-lebih (Overgeneralization) 83
Parsialitas (Partiality) 84
Pembuktian dengan Analogi 84
Merancukan Urutan Kejadian
dengan Penyebaban 85
Menarik Simpulan Pasangan 86
Aspek Manusia dalam Penalaran 88
Penjelasan Sederhana 88
Kepentingan Mengalahkan
Nalar 89
Sindroma Tes Klinis 90
Mentalitas Djoko Tingkir 91
Merasionalkan Daripada
Menalar 91
Persistensi 92
Rangkuman 94
Diskusi 96
Kontak: suwardjono@ugm.ac.id
101
Penalaran
Penalaran
dan
Sikap Ilmiah
Suwardjono
Fakultas Ekonomika dan Busines
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta