Anda di halaman 1dari 19

Analisis ketidakadilan gender terhadap upahkerja dalam

ketenagakerjaan
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Dari zaman dahulu hingga sekarang perbedaan peran antara laki-laki
dan perempuan telah dikenal. Mulai dari zaman prasejarah yang
memisahkan pekerjaan laki-laki untuk berburu dan perempuan untuk
mengumpulkan bahan makanan seperti buah-buahan, sampai zaman
sekarang yang masih memisahkan pekerjaan laki-laki untuk bekerja di luar
rumah dan perempuan untuk mengerjakan urusan ruma tangga di dalam
rumah. Peran yang sudah diatur ini telah lama berkembang di dalam
masyarakat dan jika dilanggar akan dilihat sebagai suatu perilaku yang
menyimpang.
Perbedaan peran ini disebut dengan perbedaan gender. Gender dalam
prakteknya menimbulkan banyak persoalan sosial yang mendasar seperti
diskriminasi. Diskriminasi dalam gender melahirkan ketidak seteraan dan
ketidak adilan yang dalam hal ini dialami oleh sebagian besar kaum
perempuan. Gender banyak dipersoalkan karena secara sosial telah
melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi, serta ruang
aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Diskriminasi gender terjadi hampir di seluruh wilayah dunia dalam
berbagai bidang dan penyelesaiannya menjadi masalah yang bersifat global.
Salah satu upaya dunia internasional dalam mengatasi diskriminasi ini
adalah dengan membuat berbagai konferensi internasional yang memuat
kesetaraan dan menentang adanya diskriminasi gender yang salah satunya
adalah CEDAW.
Indonesia sebagai negara yang beradab dan menjunjung tinggi HAM
telah ikut berpartisipasi dalam menegakkan kesetaraan gender dengan

meratifikasi konferensi tersebut dan menerapkannya dalam praktek hukum


di indonesia. Meskipun demikian, diskriminasi gender masih sering
dijumpai di indonesia dan salah satu bidang yang banyak menimbulkan
pesoalan gender adalah ketenagakerjaan. Dalam hal ini kami akan
menganalisis salah satu diskriminasi gender terhadap perempuan dalam
bidang ketenagakerjaan khususnya dalam pembayaran gaji/upah.

1.2 Rumusan masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan diskriminasi gender ?
2. Bagaimana kedudukan gender didalam lingkup ketenagakerjaan ?
3. Bagaimanakah diskriminasi gender terhadap upah ketenagakerjaan ?

Bab II

Pembahasan
2.1.Ketidaksetaraan gender
Pengertian dari gender adalah Perbedaan peran, sifat, tugas,fungsi
dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat, dan
dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai perkembangan
jaman. Sedangkan Pengertian Sex Adalah perbedaan jenis yang ditentukan
secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan
permpuan. jadi dari keduanya dapat dibedakan jika Sex lebih mengacu pada
perbedaan biologis hormonal dan anatomis antara permpuan dan laki-laki,
tidak bisa berubah, permanen dan tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki
dan perempuan, sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki dan
perempuan dalam hal peran, sifat, tugas, fungsi,hak perilaku yang dibentuk
oleh masyarakat karenanya ia bersifat relative, dapat berubah dan
dipertukarkan.
Ketidaksetaraan gender adalah diskriminasi yang menempatkan
perempuan dalam status dibelakang laki-laki atau suatu kondisi dimana
terjadi ketidak sejajaran dan ketidak seimbangan dalam hubungan kerjasama
laki-laki dan perempuan sehingga tidak berjalan secara harmonis.
Ketidaksetaraan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran
yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk.
Ketidak adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami
oleh perempuan. secara turun temurun, tingkah laku laki-laki dan permpuan
berbeda, baik peran, tugas dan tanggung jawab. karena rekayasa social,
tingkah laku tersebut disyahkan dan menetap menjadi budaya dan norma
dalam masyarakat.
Perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu
permasalahan

sepanjang

perbedaan

tersebut

tidakmengakibatkan

diskriminasi atau ketidak adilan. Patokan atau ukuran sederhana yang dapat
digunakan untukmengukur apakah perbedaan gender itu menimbulkan
ketidakadilan atau tidak adalah sebagai berikut:

Sterotype
Stereotype berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang
atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan
seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari
satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya
relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk
menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negative juga dapat
dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative
ditimpakan kepada perempuan. Contohnya Perempuan dianggap cengeng,
suka digoda,tidak rasional, serta emosional. Perempuan juga dianggap tidak
bisa mengambil keputusan penting,Perempuan sebagai ibu rumah tangga
dan pencari nafkah tambahan. sedangkan Laki-laki sebagai pencari nafkah
utama.
Kekerasan
Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non
fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi
keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya.Peran
gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan
dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud
dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan
sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan
sebagainya.Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun
ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan.
Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan
untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.Sepertihalnya
Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap
isterinya di dalam rumah tangga,Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan
yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan,Pelecehan seksual.
Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.

Beban ganda (double burden)


Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima
salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin
lainnya.Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis
dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang
bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban
mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka
adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti
pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun
demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan.
Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda. Contoh: seorang
istri yang bekerja mencari nafkah, sementara is juga mengerjakan pekerjaan
rumah tangga tanpa bantuan suaminya.
Marginalisasi
Marjinalisasi artinya suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis
kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.Banyak cara yang dapat
digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya
adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan
bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika
mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan
anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah
berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Contohnya Guru TK,
perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai
sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang
diterima.
Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK
dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja
karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan,

pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi,


hamil,melahirkandan menyusui.
Subordinasi
Subordinasi Artinya suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran
yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.Telah
diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan
memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan
dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik
atau

reproduksi,

sementara

laki-laki

produksi.Pertanyaannya adalah, apakah

dalam

urusan

public

atau

peran dan fungsi dalam urusan

domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran


publik dan produksi? Jika jawabannya tidak sama, maka itu berarti peran
dan fungsi public laki-laki. Sepanjang penghargaan social terhadap peran
domestic dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi,
sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung. Contohnya Masih
sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran
pengambil keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki. Dalam
pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena
mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak. Masih
sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota
legislative dan eksekutif ).
2.2 Kedudukan gender dalam lingkup ketenagakerjaan
Pada saat ini kedudukan gender antara pria dan wanita didalam
lingkup tenaga kerja sudah tidak hanya dimonopoli oleh pria tetapi
keikutsertaan

wanita

didalam

ketenagakerjaan

sudah

mendapatkan

kedudukan dan posisi. Terutama sejak munculnya era emansipasi wanita


yang dipelopori oleh R.A.Kartini yang selalu mengedepankan bahwa
seorang wanita juga berhak mendapatkan posisi dan kedudukan yang
seimbang dibidang pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan sebagainya. Namun
pada prakteknya banyak pertentangan mengenai kedudukan kedudukan

pekerja wanita pada suatu bidang usaha atau dalam hal ini dalam bentuk
konkretnya kita sebut sebagai perusahaan, dimana dalam suatu perusahaan
seringkali terjadi pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dengan
pihak pekerja wanita yang akhirnya berujung pada suatu sengketa atau
pertentangan kepentingan.
Pertentangan kepentingan pada pihak pengusaha dan pihak pekerja
wanita disebabkan oleh perbedaan penafsiran yang dianut oleh pihak
pengusaha dan pekerja wanita, dimana pihak pengusaha lebih banyak
menggunakan logika bisnis dengan asas no work no pay yaitu suatu asas
yang dianut dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa
seorang pekerja tidak akan mendapatkan upah apabila tidak bekerja.
Penerapan asasno work no pay menurut pengusaha bertentangan dengan
pemahaman pekerja khususnya pekerja wanita karena apabila kita cermati
dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pihak pekerja wanita
mendapatkan berbagai macam cuti selain cuti khusus yang diatur pada Pasal
93 UU No. 13/2003 dimana cuti yang dimaksud adalah cuti hamil dan cuti
haid sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 UU No. 13/2003 tentang
ketenagakerjaan.
Permasalahan yang sering dihadapi dalam hubungan industrial
adalah pihak pengusaha cenderung tidak mau menerima apabila timbul cuti
melahirkan bagi wanita terutama pekerja wanita dengan status PKWT,
karena dengan timbulnya cuti hamil bagi pekerja wanita maka pihak
pengusaha merasa rugi apabila harus mengeluarkan upah bagi seorang
pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya apalagi sampai 3 bulan
lamanya (1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan),
karena pihak pengusaha menganggap ini adalah suatu diskriminasi bagi
pekerja pria yang hanya mendapatkan cuti khusus yang diatur dalam Pasal
93 ayat 4 UU No. 13/2003, padahal kedudukan pekerja wanita sudah
diistimewakan dalam UU No. 13/ 2003 yang diatur tersendiri dalam pasal
76 ayat 1 dan ayat 2 yaitu

1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan


belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul
07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Dalam hal ini bahwa suatu pertentangan yang sebagaimana
dijelaskan diatas terdapat kekerasan ekonomi yang mana terdapat suatu
kegiatan yang melakukan penelantaran Penelantaran sebagaimana dimaksud
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang
layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali
orang

tersebut

(diskriminasi

upah,

menunda

pembayaran

upah,

menghilangkan nafkah, mengkaryakan istri dll)


Sistem pengaturan
Sistem hukum yang dimiliki oleh indonesia merupakan warisan dari
hukum kolonial. Dengan adanya asas Uti Posidentis,maka peraturan yang
tidak dihapuskan atau belum diatur pada masa pra-kemerdekaan akan tetap
berlaku. Hal ini menjadi bumerang untuk pososi kaum perempuan.
Bugerlijk Wetboek berisi aturan-aturan yang menomor duakan wanita.
Perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak cakap melaksanakan
perbuata hukum sehingga wajib diwakili oleh suaminya dalam melakukan
perbuatan hukum. meskipun ketentuan seperti ini telah dihapus oleh Surat
Edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 1963, peraturan hukum lainnya yang
tercermin dalam Kitab Undang-Undang hukum pidana bertolak dari
perspektif yang memandang perempuan dengan cara sama. Hal ini
menimbulkan timpangnya kedudukan perempuan dalam peraturan hukum
indonesia.

Kebudayaan asli indonesia yang terlanjur memarginalkan peran


perempuan pun memeliki andil besar dalam pembentukan karakter bangsa.
Sebagai contoh budaya jawa yang menempatkan perempuan sebagai second
sex yang bahkan tercermin dalam ungkapan verbal yang sangat
mengunggulkan Laki-laki suarga nunut neraka katut1. faktanya, masing
banyak masyarakat jawa yang mengikuti tradisi tersebut.
Perhatian pemerintah akan kedudukan perempuan serta perlindungan
terhadap hak-hak pemerintah akan baru muncul pada tahun 1984.
Diratifikasinya Convention on the Elimination of all forms of discrimination
Against Women melalui Undang-undang No.7 tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita menjadi awal pembaharuan sistem perlindungan terhadap wanita.
Sebelumnya, peraturan perundang-undangan mengenai perempuan amatlah
sedikit. Bahkan boleh dibilang tidak ada undang-undang maupun peraturan
hukum khusus yang membicarakan persoalan hak-hak perempuan dalam
masyaraka,

berbangsa

dan

bernegara.

Sebagai

konsekuensi

atas

diratifikasinya Konvensi ini, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan


perlindungan hukum terhadap hak-hak kaum perempuan yang sama dengan
Laki-laki, tidak melakukan diskriminasi berbasis gender, serta mencabut
segala bentuk peraturan pidana nasional yang tidak melindungi kepentingan
perempuan2
Miskinnya peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh
indonesia terkait perempuan,membuktikan bahwa

rendahnya tingkat

perhatian maupun sokongan dari pemerintah terhadap pihak perempuan.


Disisi lain, perempuan yang telah lama berada dibawah tekanan tidak
banyak yang mempersoalkan posisi mereka yang masih jauh dari
1 Riswan,yulianingsih. Identitas perempuan Indonesia: status,
perjuangan gender,dan perjuangan ekonomi politik. Depok :
Desantra. 2010.
2 Sihite, Romany.Perempuan, Kesetaraan, Keadilan. Jakarta: PT.
Rajagrafindo. 2007

perlindungan hak dan kewajiban. Roscoe Pount dalam teorinya law as a


tool of social control mengatakan bahwa hukum adalah saran untuk
mempengaruhi warga agar bertindak dan betingkah laku sesuai yang
dikehendaki masyarakat. Hukum digunakan sebagai alat untuk merubah
tingkah laku warga masyarakat kearah yang terlah direncanakan. Tanpa
adanya aturan hukum yang tegas dan mengatur masalah perempuan, maka
masyarakat pun tidak akan pernah melek dari kenyataan pahit terkait
kesejahteraan kaum hawa.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kurang optimalnya fungsi
hukum sebagai social engineering yaitu:
1. Faktor perundang-undangan
Ketiadaan aturan hukum

membuat

upaya-upaya

perlindungan perempuan penuh dengan ketidakpastian serta


tanda tanya.
2. Faktor penegak hukum
Aparat penegak hukum memili tanggung jawab
sebagai aktor yang melaksanakan perintah perundangundangan. Tanpa kinerja yang giat dan efektif, perturan
hukum yang melindungi permpuan tidak akan dapat berjalan
sesuai dengan tujuan pembentukannya.
3. Faktor ketiga adalah warga masyarakat
Peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum
menjadi penting sebab disanalah fungsi operasional hukum
4.

dapat terlihat jelas.


Faktor fasilitas pendukungnya
Kelengkapan sarana dan prasarana yang menunjang
pelakasanaan

peraturan

perundang-undangan

mengenai

perempuan akan memberikan banyak kemudahan serta


kemanfaat baik dari pihak pelaksana maupun target yang
disasar oleh peraturan hukum tersebut.
Dalam
ketenagakerjaan

hal

ini

secara

bahwa

kedudukan

eksplisitnya

dibidang

perempuan
ekonomi,

dibidang
kedudukan

perempuan masih tersubordinasi baik dalam pekerjaan dan upah kerja yang

didapatkan perempuan yang dikarekan masih adanya perusahaan yang


menggunakan prinsip no work no pay yang menyebabkan adanya hak-hak
perempuan yang bersifat privat tidak diakui dan dipenuhi oleh suatu
perusahaan tertentu meskipun Di Indonesia telah mengakui dan mensahkan(
ratifikasi) konvensi cewdaw melalui Undang-undang No 7 tahun 1984
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi yang sampai saat ini telah
diratifikasi oleh 177 negara diseluruh dunia.
Sebagai bahan pertimbangan bahwa adanya subordinasi antara
kedudukan pria dan wanita kami mengambil contoh diskriminasi terhadap
pegawai pramugari PT.Garuda Indonesia yaitu :
1. Cuti hamil pramugari
Pada tahun 1985 dilakukan pengangkatan tetap bagipramugari yang
tadinya berstatus honorer. Pengangkatan inimemungkinkan pramugari yang
telah menikah untuk mendapat cuti hamil. Akibat jenis pekerjaannya
pramugari mendapat cuti hamil sebagai cuti di luar tanggungan perusahaan
selama 1 tahun. Konsekwensinya, selama cuti,pramugari tersebut tidak
menerima upah dan fasilitas lainnya.Setelah aktif kembali ia akan
mendapat uang suka cita sebesar Rp 100.000,- .
Tahun 1988 peraturan cuti hamil ini dirubah menjadi cuti diluar tanggungan
perusahaan selama 2 tahun, dengandiberikan upah selama 3 bulan
sedangkan fasilitas lainnya Tidak diberikan. Akibat dari masuknya cuti
hamil pramugari kedalam kategori cuti di luar tanggungan perusahaan,
maka salah satu klausul Surat Keputusan Cuti berbunyi dapat diterima
kembali bekerja sebagai Awak Kabin jika ada formasi. Artinya tidak ada
jaminan seorang pramugari yang mengambil cuti hamil dapat memperoleh
pekerjaannya kembali selepas cuti. Padahal isteri pramugara mendapat
fasilitas pemeriksaan kehamilan dan perusahaan menanggung seluruh biaya
kelahiran dan imunisasi bayi
2. Diskriminasi usia pensiun

PT Garuda Indonesia Indonesia menetapkan batas usia pensiun


pramugari adalah 46 tahun melalui surat keputusan Direktur Utama No
DZ/SKEP/5052/99 tanggal 21 Juli 1999. Sedangkan batas usia pensiun
pramugara 56 tahun (Brahmanie Hastawati, 2006: 3). Padahal baik
persyaratan penerimaan, pelatihan maupun standar kompetensi pramugara
dan pramugari tidak berbeda. Pembatasan usia pensiun pramugari yang
berbeda dari pramugara ini (lebih dini) disebabkan karena adanya pemikiran
bahwa perempuan layak bekerja sebagai pramugari maksimal sampai usia
46 tahun saja. Setelah itu secara fisik, perempuan dianggap tidak lagi
menarik sehingga tidak memenuhi syarat yang ditetapkan perusahaan (harus
tampil menarik) sebagai seorang pramugari (Tirtawening, 2005). Ketentuan
ini diperkuat oleh Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) antara Perusahaan
dan Serikat Pekerja Garuda Indonesia yaitu KKB 2000-2003 yang isinya
antara lain Batas usia pensiun pramugari adalah 46 tahun, pramugara 56
tahun dan penerbang laki-laki 60 tahun, penerbang perempuan 50 tahun.
(Brahmanie Hastawati, 2006:3-4)

2.3. Diskriminasi Upah terhadap gender


Secara sederhana, diskriminasi atau adanya kesenjangan upah antar
gender adalah kesenjangan antara apa yang didapatkan oleh pekerja laki-laki
dan apa yang didapatkan oleh pekerja perempuan. Kaum perempuan
menghadapi beragam masalah dalam mengakses pendidikan dan pelatihan,
dalam mendapatkan pekerjaan, dan dalam memperoleh perlakuan yang
sama di tempat kerja. Kendala-kendala ini dapat menimbulkan pelanggaran
akan hak-hak dasar serta menghambat kesempatan kaum perempuan dan
pada gilirannya akan merugikan masyarakat dan perekonomian Indonesia
mengingat hilangnya kontribusi
perempuan melalui tempat kerja.

besar yang dapat diberikan kaum

Menurut data dari International Labour Organization (ILO),


menemukan masih ada kesenjangan upah antargender di Indonesia dengan
selisih hingga 19% pada tahun 2012, perempuan memperoleh upah rata-rata
81% dari upah laki-laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan
pengalaman yang sama. Di Indonesia, perempuan mewakili sekitar 38%
layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan
tradisional, seperti mengajar dan mengasuh, yang cenderung memperoleh
upah kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki.
Padahal rata-rata jumlah kesenjangan upah antar gender di dunia
mencapai 18%. Negara-negara di Eropa, Oceania dan Amerika Latin
umumnya menunjukkan hasil yang lebih positif dari Asia dan Afrika.
Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan upah setinggi 46% ditemukan
di Azerbaijan, dan kesenjangan upah terendah sebanyak 4% ditemukan di
Paraguay. Di Indonesia sendiri, kesenjangan upah antargender adalah
sebesar 19% di tahun 2012. Dengan adanya kesenjangan upah antar gender
ini berdampak besar bagi kehidupan pekerja perempuan dan seluruh
keluarganya, terutama ketika perempuan ini adalah pencari nafkah tunggal
dan orang tua tunggal. Kesenjangan upah memberikan kontribusi terhadap
kondisi kehidupan yang buruk dan gizi yang buruk. Hal ini tentunya akan
berpengaruh besar terhadap tugas Pemerintah untuk memberantas
kemiskinan dan kelaparan. Yang pada akhirnya karena tuntutan kebutuhan
finansial rumah tangga, banyak pekerja perempuan di Indonesia menjadi
pekerja paruh waktu, yang sebagian besar dibayar rendah. Lapangan
pekerjaan yang biasanya mereka geluti adalah retail kecil, grosir, atau
industri makanan, industri jasa dan industri pabrik. Untuk masalah
pembayaran gaji, gaji pekerja perempuan paruh waktu biasanya dihitung per
hari dia bekerja. Dan dalam sehari bekerja bisa mencapai lebih dari 8 jam.
Selain itu, pekerjaan paruh waktu menawarkan ruang lingkup kecil untuk
promosi jabatan.
Tetapi bila dilihat dari segi alasannya, adanya kesenjangan upah ini
dikarenakan beberapa faktor, yang diantaranya :

1. Karakteristik pribadi : jenis kelamin, usia, tingkat dan jenis


pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, jumlah anak,
status perkawinan, suku, ras dan migrasi, daerah dan
agama
2. Karakteristik pekerjaan: pekerjaan jenis kontrak, waktu
bekerja (paruh waktu vs kerja full time) dan status
pekerjaan
3. Karakteristik Perusahaan:

sektor ekonomi, ukuran

perusahaan, keberadaan serikat pekerja dalam perusahaan


4. Segregasi:

horisontal atau vertikal. Dalam segregasi

horisontal, perempuan terkonsentrasi di sejumlah kecil


sektor / profesi yang upahnya kurang memadai. Dalam
segregasi vertikal, hanya sedikit jumpah perempuan yang
bekerja di perusahaan yang memberikan upah yang sesuai
dan banyak dari mereka yang menghadapi hambatan
dalam kemajuan karir mereka.
5. Kelembagaan:

lembaga

pendidikan

dan

pelatihan

profesional, hubungan industrial, kebijakan cuti, perawatan


anak, perawatan di hari tua.
6. Norma Sosial: pendidikan perempuan, pilihan pekerjaan,
pola karir.
Jika dilihat dari faktor diatas, alasan yang paling sering didapatkan
ketika adanya kesenjangan upah kerja antara perempuan dan laki-laki,
terutama terletak pada tingkat pendidikan yang rendah pada perempuan.
Padahal menurut ata Wage Indicator menunjukkan bahwa pekerja
perempuan

dengan

pendidikan

yang

lebih

tinggi

tidak

selalu

mengakibatkan kesenjangan upah menjadi lebih kecil. Dalam beberapa


kasus kesenjangan sebenarnya meningkat dengan tingkat pendidikan yang
diperoleh. Namun, secara umum, pendidikan yang lebih tinggi berarti
pekerja akan mendapat gaji dan jabatan yang lebih tinggi secara
keseluruhan.

Sedangkan dalam hukum Intetnasional sebenarnya diskriminasi atau


kesenjangan upah ini telah diatur, dimana ILO atau Organisasi Perburuhan
Internasional telah mengaturnya dalam Konvensi No.100 mengenai upah
yang setara di tahun 1951. Konvensi No.100 ini mendukung kesetaraan
upah yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang
sama nilainya. Konvensi No.100 mengenai upah yang setara ini adalah salah
satu dari delapan konvensi ILO dasar, yang berusaha untuk menghapus
diskriminasi dalam hal remunerasi dengan memastikan bahwa pekerja lakilaki dan perempuan menerima upah yang sama.
Yang mana Ringkasan isi Konvensi Upah yang Setara, 1951
(No.100) diantaranya yaitu :
1) Upah yang setara untuk jenis pekerjaan yang memiliki
nilai yang setara berarti suatu standar upah yang baku
tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin
2) Memberikan upah sebagai imbalan dan honorarium baik
dalam bentuk tunai maupun non tunai.
3) Melakukan penilaian terhadap pekerjaan secara obyektif
berdasarkan isi dari pekerjaan tersebut.
Sedangkan Ringkasan Rekomendasi Upah yang Setara, 1951 (No.90)
yaitu :
1) Merekomendasi

pemerintah

untuk

memastikan

pengusaha/perusahaan dan peker ja memperoleh

bahwa
informasi

tentang persyaratan hukumnya.


2) Prinsip upah yang setara dapat diterapkan dengan memadai
melalui:
3) penetapan metode analisis terhadap pekerjaan yang dilakukan
secara memadai.
4) pemberian fasilitas panduan magang, pelatihan dan penempatan
untuk meningkatkan efisiensi perempuan yang setara bagi ke dua
jenis kelamin.
5) Pemberian pelayanan sosial dan kesejahteraan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan perempuan.

6) Promosi kesetaraan laki - laki dan perempuan dalam mengakses


pekerjaan.
7) Promosi pemahaman publik

tentang prinsip-prinsip kesetaraan,

dan penelitian serta studi-studi lapangan.


Hasil dari konvensi diatas dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya :
1. Dengan undang-undang atau peraturan nasional;
2. Oleh badan penetapan upah yang didirikan menurut peraturan
yang berlaku atau yang diakui sah;
3. Dengan perjanjian perburuhan/perjanjian kerja bersama
4. Dengan menggabungkan cara-cara ini.
Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah mempunyai peraturan UU
yang mengatur mengenai kesenjangan upah antar gender. Pada tahun 1957,
Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100 menjadi Undangundang nomor 80 tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi
Perburuhan Internasional No: 100 mengenai Pengupahan bagi Pekerja Lakilaki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya. Dimana isi dalam UU
No.80 tahun 1957 sama dengan isi Konvensi ILO No.100 mengenai upah
yang setara.

Tetapi

dalam

pelaksanaannya

masih

ditemukan

kesenjangan

atas

diskriminasi dalam penerimaan upah, meskipun sudah ada Undang-Undang


yang mengaturnya. Berikut adalah contoh-contoh diskriminasi kesenjangan
upah antar gender yang masih terjadi di Indonesia :
I.

Upah yang berbeda diberikan untuk jenis pekerjaan yang


sama

Contoh : Laki-laki dan perempuan sama-sama berprofesi sebagai karyawan


di sebuah perusahaan. Keduanya memiliki pengalaman, kualifikasi,
tanggung jawab dan melakukan pekerjaan yang sama. Akan tetapi mereka
mendapat upah yang berbeda.

II.

Pekerjaan yang berbeda tetapi nilai/jumlah pekerjaannya


sama, dibayar berbedar

Contoh : Pekerja laki-laki bekerja sebagai marketing executive dan pekerja


perempuan bekerja sebagai public relation. Keduanya memiliki pekerjaan
yang berbeda akan tetapi pengalaman, masa kerja, kualifikasi, job
description, tanggung jawabnya sama. Akan tetapi mereka mendapat upah
yang berbeda.
Dari penjelasan diatas, seharusnya pemerintah mampu mengatur dan
mengawasi jalannya peraturan yang telah dibuat, serta berani menegur
bahkan memberikan sanksi kepada perusahaanperusahaan yang melakukan
pemberian upah yang tidak setara antara pria dan wanita. Pada setiap
perusahaan dimana banyak terjadi diskriminasi gender di dalam pemberian
upahnya, dan perempuan menjadi pihak yang dirugikan dalam hal ini.
Meskipun pekerjaan yang dikerjakan oleh perempuan sama dengan pria
namun upah yang diperoleh lebih sedikit daripada yang didapatkan pria.
Perusahaan pun sebagai tempat dimana banyak orang mencari
nafkah baik pria maupun wanita seharusnya juga tidak melakukan
diskriminasi gender terhadap pekerja wanitanya. Banyak perusahaan yang
mengancam jika pegawainya terlalu banyak menuntut upah maka akan
dipecat sehingga banyak pekerja wanita yang mau tidak mau tetap bekerja
meskipun upah mereka terima relatif kecil.
Wanita sebagai korban dari diskriminasi upah, harusnya berani untuk
bersuara menuntut adanya keadilan dalam pemberian upah tersebut. Wanita
juga harus berani dalam memperjuangkan haknya. Yang salah satu caranya
dengan membentuk organisasi atau perkumpulan yang bertujuan untuk
menggalang kekuatan dengan mengumpulkan wanita-wanita yang memiliki
permasalahan yang sama untuk bersama-sama dalam menuntut hak keadilan
dalam pemberian upah yang harusnya didapatkan secara penuh.

Bab.III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Disini kami menyarankan kepada pemerintah Indonesia sesuai dengan UU
No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pihak pekerja wanita mendapatkan
berbagai macam cuti selain cuti khusus yang diatur pada Pasal 93 UU No.
13/2003 dimana cuti yang dimaksud adalah cuti hamil dan cuti haid
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 UU No. 13/2003 tentang
ketenagakerjaan agar mengawasi tiap-tiap perusahaan swasta yang berdiri
untuk menjalankan UU tersebut sebagaimana mestinya. Seperti yang tertera
dalam UU No. 13/2003 yang diatur dalam pasal 76 (1), (2) dimana dalam
pasal tersebut kedudukan pekerja wanita sudah diistimewakan. Dan disini
kami menyarankan agar pemerintah melaksanakan sepenuhnya isi dari
konvensi cewdaw yang sudah diratifikasi oleh Indonesia didalam Undangundang No 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
dijalankan dengan tegas dan diterapkan pada tiap-tiap perusahaan swasta
yang mempekerjakan pekerja wanita. Serta agar pemerintah memerintahkan
aparat-aparat atau penegak hukum untuk mengawasi tiap perusahaan, agar
tidak ada perusahaan yang menyeleweng dari peraturan UU yang telah
dibuat. Lalu sebaiknya pemerintah dapat memerintahkan tiap perusahaan
swasta agar tidak membuat peraturan sepihak yang pada umumnya
merugikan kaum pekerja wanita dan agar diberi sanksi bagi perusahaan
swasta yang melanggar peraturan dari pemerintah itu.

Daftar pustaka
Dr.Ir.Adhi Santika.Phd.,2007.Laporan Pengkajian Hukum tentang
Optional Protocal Cedaw terhadap Hukum Nasional yang Berdampak
Terhadap Pemberdayaan Perempuan. BPHN PUSLITBANG
http://carabuatbloggampangdanmudah.blogspot.com/2012/10/tugaspsikologi-ketidaksetaraan-gender
www.academia.edu/6703584/Perempuan_dan_Peraturan_Perundang
-Undangan_di_Indonesia
http://nuardiatidaksa.wordpress.com/2011/08/23/kedudukan-danhak-pekerja-wanita/

Anda mungkin juga menyukai